• Tidak ada hasil yang ditemukan

AL QURAN DAN SAINS Temuan Sains adalah P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "AL QURAN DAN SAINS Temuan Sains adalah P"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

AL QUR’AN DAN SAINS: Temuan Sains adalah Penjelasan Bagi Ayat-Ayat Al Qur’an*

Oleh: Hamdan Hadi Kusuma

Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang

A. Pendahuluan

Hubungan antara agama dan sains tidak sama di segala tempat dan segala masa. Adalah suatu fakta bahwa tak ada kitab suci agama monotheist yang menghukum Sains. Tetapi dalam prakteknya, kita harus mengakui bahwa ahli-ahli Sains bercekcok dengan penguasa keagamaan tertentu. Di dunia Kristen, selama beberapa abad, pembesar-pembesar menentang perkembangan Sains atas initiatif mereka sendiri dan tidak bersandar kepada teks autentik dalam Kitab Suci. Terhadap mereka yang memajukan Sains, mereka melancarkan tindakan-tindakan yang kita ketahui dalam sejarah, yaitu tindakan-tindakan yang menjerumuskan para ahli Sains dalam pembuangan, jika mereka ingin selamat daripada hukuman “mati dibakar,” atau sedikitnya memaksa mereka untuk menebus dosa mereka dan memperbaiki sikap mereka serta memohon maaf. Dalam hal ini, kita ingat peradilan Galile yang dituntut hanya karena ia mengikuti penemuan Copernikus tentang peredaran bumi. Galile kemudian dihukum dengan alasan menafsirkan Bibel secara keliru sebab tidak ada Kitab Suci yang dapat dibantah.

Bagi Islam, sikap terhadap Sains pada umumnya sangat berlainan. Tak ada yang lebih jelas daripada hadits Nabi yang sangat masyhur. “Tuntutlah ilmu walaupun di negeri Cina” atau hadits lain yang maksudnya: mencari ilmu adalah wajib bagi seorang muslimin dan seorang muslimat. Adalah suatu kenyataan yang penting seperti yang akan kita bahas dalam makalah ini, bahwa Al-Qur-an yang mengajak memperdalam Sains. Al-Al-Qur-an itu memuat bermacam-macam pemikiran tentang fenomena alam, dengan perinci yang menerangkan hal-hal yang secara pasti cocok dengan Sains modern.

B. Relasi Agama dan Sains

(2)

manusia. Pengaruh agama dan sains tidak dapat dipungkiri dalam perjalanan kehidupan manusia, agama merupakan kebenaran absolut yang akan memberikan puncak kebahagian (happy ending) pada pemeluknya. Sedangkan sains berikut produk dan turunannya berwajah ganda, artinya sains bisa memberikan sumbangan yang positif-konstruktif bagi kehidupan manusia, namun tidak jarang juga memberikan trend negatif dalam perjalannanya. Pada masa sekarang ini sains dengan tekhnologi menyebabkan manusia berada dalam kondisi yang over normal (over normal condition) sehingga menyebabkan manusia modern sering mengalami split personality (keperibadian yang mendua, terpecah). Dalam kondisi seperti inilah manusia modern banyak mencari ketenangan dalam dunia spritualitas atau agama.

Agama bersumber pada norma mutlak dan suci (perennial knowledge) dan bersifat deduktif sehingga kebenarannya tak terbantah, sementara watak sains bersumber pada logika emperik (logico-hypothetico- verifikatif) yang beranjak dari fenomena empiris dan bersifat induktif yang dikembangkan melalui laboratorium menghasilkan kebenaran yang relatif (acquired knowledge). Dalam perjalanan sejarahnya, agama dan sains ini saling berupaya melakukan hegemoni kebenaran atas corak kehidupan manusia dan menjadi tidak akur meski saling berkomunikasi.

Perjalanan agama dan sains dalam bingkai historis-sosiologis, tidak bisa dilepaskan dari agama dan filsafat karena sains dengan berbagai variannya merupakan anak kandung filsafat sebagaimana para ilmuwan menyebut filsafat sebagai induk pengetahuan (The Mother Of Knowledge).

Pembentukan sains yang sederhana sudah dipraktekkan oleh nabi Adam dan keturunan pertamanya seperti yang tercatat dalam al-Qur’an. Aktualisasi pengetahuan yang sederhana juga dipraktekkan oleh Qabil putra Adam yang sedang diliputi kebingungan ketika dia ingin menyembunyikan jasad saudaranya yang telah dibunuh sendiri. Kemudian dia mempunyai inisiatif untuk menguburkan mayat saudaranya tersebut setelah terinspirasi oleh seekor burung yang sedang menggali tanah.

(3)

Filsafat menjadi mistis ketika berada di tangan para kelompok gerejawan, filsafat harus tunduk dan mengabdi pada agama. Gejolak antara agama dan sains mencapai titik klimaksnya ketika Nicolaus Copernicus dan Galileo menemukan teori bahwa bumi bukan pusat jagat raya (geosentris), melainkan matahari yang merupakan pusat jagat raya (heliosentris), kalangan gereja sangat marah. Peristiwa besar yang dialami Galileo inilah yang oleh Barbour dan Haught digambarkan sebagai tipologi konflik dalam membincang hubungan agama dan sains, di mana antara sains dan agama saling berebut tempat dominan.

Pada sekitar kurang-lebih abad ke-15 ada juga menyebut abad ke-16, filsafat kembali menemukan kebebasannya dengan munculnya gerakan Renaissance, yang berarti kelahiran kembali yang disusul dengan gerakan aufklarung yang terjadi pada abad ke-18. Gerakan aufklarung berhasil membuat filsafat tidak lagi berada dalam kungkungan agama (gerejawan). Akibatnya, antara agama dan ilmu tidak ada persinggungan, sehingga sains di Barat tidak mengenal agama. Dari sini muncul semboyan sains untuk sains, atau sains yang bebas nilai. “Science without religion is lame, religion without science is blind“. Ilmu Pengetahuan tanpa agama akan pincang, agama tanpa ilmu pengetahuan akan buta (Einstein). Dalam bukunya, Philoshopy and Science in the Islamic World, Qadir menjelaskan bahwa ilmu mempunyai dua tujuan, yaitu: Tujuan Ilahi dan tujuan duniawi. Ilmu mempuyai tujuan Ilahi karena ilmu bisa dijadikan landasan untuk memahami alamat-alamat tuhan (ayat-ayat kauniyah) yang ada di alam semesta, melalui pengamatan reflektif-rasional Tuhan bisa lebih dikenal dan diImani. Sedangkan ilmu mengandung tujuan dunia mempunyai pengertian bahwa ilmu dapat membantu seseorang untuk menjalani kehidupannya lebih efektif-efisien sehingga mudah berhasil dengan memahami alam baik yang fisis maupun psikis, dan juga memanfaatkan ilmu itu untuk kepentingan dan kemaslahatan individu dan masyarakat.

Secara rinci Harun Nasution menuliskan pertentangan-pertentangan antara sains dan agama sebagi berikut:

Kalau dalam agama terdapat sikap statis, di dalam bidang ilmiah terdapat sikap dinamis. Kalau dalam agama terdapat sikap tertutup, di dalam bidang ilmiah terdapat sikap terbuka. Kalau dalam agama terdapat sikap emosional, di dalam bidang ilmiah terdapat sikap rasional. Kalau dalam agama terdapat sikap yang sangat terikat pada tradisi, di dalam bidang ilmiah terdapat sikap mudah melanggar sikap tardisi.

(4)

Poin-poin di atas menurut Harun Nasution merupakan sebagian dari banyak hal yang membuat agama dan sains kurang harmonis. Agama dipandang irasional sedangkan ilmu pengetahuan dianggap rasional.

Apabila dilihat lebih jauh, sebenarnya agama dan sains mempunyai tujuan suci (sacred goal) yang sama, yakni: Kebenaran. Ilmu dengan metodenya dan persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik yang bersifat masalah vertikal maupun horisontal. Sains dengan cara dan metode yang dimilikinya dapat merumuskan pandangannya sendiri tentang dunia yang seringkali pandangan-pandangan sains berbeda dengan agama maupun dengan filsafat, begitupun agama juga mempunyai cara dan metodenya tersendiri.

Dalam Al-Quran dan Hadis, akal di tempatkan pada kedudukan yang tinggi serta mendorong manusia untuk menggunakannya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ungkapan ayat yang menyuruh manusia menggunakan akalnya. Kata ya’qilu (memakai akal) terdapat pada 48 ayat dalam berbagai bentuknya. Kata nadzara (melihat secara abstrak) terdapat pada 30 ayat. Kata tafakkara (berpikir) terkandung dalam 19 ayat. Kata tadzakkara (memperhatikan, mempelajarai) yang terkandung dalam 40 ayat. Kata faqiha (perbuatan berpikir) dikandung dalam 16 ayat. Selain itu dalam Al-Quran terdapat pula kata-kata ulu-al albab (orang berpikir), ulu-al-‘ilmi (orang berilmu), ulu-al-abshar (orang berpandangan), ulu-al-nuha (orang bijaksana). Semua itu adalah sebutan yang memberi sifat berpikir yang terdapat pada manusia. Banyaknya kata dan ungkapan tentang akal tersebut di atas mengandung pengertian bahwa potensi yang dimiliki manusia sangat dihargai Al-Quran. Bahkan Nabi menyebutkan peranan akal sangat menentukan dalam pengamalan beragama, sabdanya: Agama adalah akal, sabda nabi tiada beragama bagi orang yang tidak menggunakan akalnya.

Dalam pandangan Islam, sains dan agama memiliki dasar metafisik yang sama, dan tujuan pengetahuan yang diwahyukan maupun pengetahuan yang diupayakan adalah mengungkapkan ayat-ayat (signs) kebesaran dan keberadaan Tuhan dan sifat-sifat-Nya kepada umat manusia. Jadi, kita dapat mempertimbangkan kegiatan ilmiah sebagai bagian dari kewajiban agama, tentunya kegiatan ilmiah yang mempunyai prosedur dan metodologi yang mempunyai orientasi “Maslahatul Ummah”.

(5)

Al-Qur’an, memperingatkan umat manusia bahwa kajian tentang alam hanya dapat membawa manusia dari penciptaan kepada Sang Pencipta, jika manusia memiliki modal Iman kepada Tuhan, firman Allah : “Katakanlah, Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman” (QS. Yunus, ayat 101).

Dengan dasar ini, maka jika seorang ilmuwan mendekati alam dengan iman kepada Tuhan, imannya akan diperkuat oleh kegiatan dan temuan-temuan ilmiahnya. Jika tidak demikian, maka kajian tentang alam tidak dengan sendirinya akan membawanya kepada Tuhan. Maka, Mehdi Golshani, mengatakan kegiatan ilmiah yang selalu disertai dengan praanggapan-praanggapan metafisik dari si ilmuwan meskipun dia mungkin tidak menyadarinya. Jadi, kegiatan kealaman hanya dapat membawa orang kepada Tuhan, jika kerangka kerja metafisiknya bersesuaian.

Sumber agama adalah wahyu dan sumber ilmu pengetahuan adalah hukum alam ciptaan Tuhan yaitu sunnnatullah, sedang keduanya berasal dari sumber yang satu, yakni Allah.

Relasi agama dan ilmu pengetahuan (sains) di dalam Islam sangat erat dan berdiri berdampingan. Penggunaan rasio atau ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari keImanan kepada Allah Yang Transenden, dari ajaran-ajaran, aturan-aturan, nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang diberitakan kepada manusia melalui wahyu Ilahi dalam pengertiannya yang paling universal.

Dengan demikian, sudah saatnya kita harus menghilangkan ”dikotomik” antara agama dan sains. Sudah lama, kita merindukan sebuah harmoni yang par excellence antara ruh spiritualitas agama dan sains. Sudah saatnya, agama dan sains harus menghadirkan kesadaran yang muncul lewat pandangan-pandangan yang lebih harmonis.

C. Konsep Islamisasi Sains

(6)

Begitu banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk memperhatikan alam semesta dengan menggunakan akalnya sehingga mencapai kesimpulan bahwa di balik keteraturan alam semesta terdapat Al-Khaliq, Tuhan sang Maha Pencipta segala sesuatu, yaitu Allah Swt. Hal ini dapat kita perhatikan dari firman-firman Allah Swt sebagai berikut :

بباببلللا يلبولأأللب تتايبل رباهبنلبلاوب لبيلللبلا فبلبتبخلاوب ضبرللباوب تباوبامبسلبلا قبللخب يفب نلبإب

”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (QS Ali Imran (3) : 190)

نبوقأتلبيب متولقبللب تتايبل ضبرللباوب تباوبامبسلبلا يفب هألللا قبلبخب امبوب رباهبنلبلاوبلبيلللبلا فبلبتبخلا يفب نلبإب

“Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagiorang-orang yang bertakwa”. (QS Yunus (10) : 6)

نبمب هألللا لبزبنأب امبوب سبانلبلا عأفبنيب امببب ربحلببللا يفب يربجلتب يتبللبا كبللفأللاوب رباهبنلبلاوب لبيلللبلا فبلبتبخلاوب ضبرللباوب تباوبامبسلبلا قبللخب يفب نلبإب

ضبرللباوب ءامبسلبلانبيلبب ربخلبسبمأللا بباحبسلبلاوب حبايبرلبلا فبيربصلتبوب ةتبلبآدب للبكأ نمب اهبيفب ثلبببوب اهبتبول دبعلبب ضبرللا هببب ايبحلأبفب ءاملب نمب ءامبسلبلا نبولأقبعليب متولقبللب تتايبل

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) -nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda tanda keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (QS. Al Baqarah (2) : 164)

(7)

Mekkah pada tanggal 31 Maret sampai dengan 8 April 1977, yang salah satu tujuannya adalah untuk mendiskusikan masalah-masalah dalam Pendidikan Islam dan mencari cara-cara untuk memasukan konsep-konsep Islami serta menciptakan metodologi Islami.

Al Attas menyifatkan islamisasi sebagai proses pembebasan atau memerdekakan, sebab ia melibatkan pembebasan roh manusia yang mempunyai pengaruh atas jasmaninya, dan proses ini menimbulkan keharmonisan dan kedamaian dalam dirinya sesuai dengan fitrahnya. Islamisasi juga membebaskan manusia dari sikap tunduk kepada keperluan jasmaninya yang condong menzhalimi dirinya sendiri, sebab sifat jasmaniyahnya lebih condong untuk lalai terhadap tabiatnya sehingga menjadi jahil tentang tujuan asalnya. Islamisasi bukanlah proses evolusi, tetapi satu proses pengembalian kepada fitrah. Islamisasi diawali dengan isalamisasi bahasa, dan ini dibuktikan di dalam Alqur’an ketika diturunkan kepada orang Arab. Bahasa, pemikiran dan rasionalitas terkait erat dan saling bergantung dalam membayangkan world view atau visi hakikat (reality) kepada manusia.

Menurut Al-Faruqi, islamisasi ilmu sebagai usaha untuk mengacukan kembali ilmu, yaitu mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikirkan kembali argument dan rasionalisasi, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan melakukannya secara yang membolehkan disiplin itu memperkayakan visi dan perjuangan Islam. Sebagaimana Al Attas, Al Faruqi menekankan kepentingan mangacu dan membangun kembali disiplin sains sosial, sains kemanusiaan dan sain tabi’i dalam kerangka Islam dengan memadukan prinsip-prinsip Islam ke dalam tubuh ilmu tersebut. Islamisasi dapat dicapai melalui integrasi ilmu baru ke dalam khasanah warisan Islam dengan membuang, menata, menganalisa, menafsir ulang dan menyesuaikannya menurut nilai dan pandangan Islam.

Secara ontologi, Islamisasi sains memandang bahwa dalam realitas alam semesta, realitas sosial, dan historis ada hukum ciptaan Allah Swt yang disebut dengan sunnatullah . sebagai ciptaan Allah Swt, hukum tersebut tidak netral, tetapi mempunyai tujuan sesuai dengan tujuan Allah Swt yang menciptakannya.

Tujuan islamisasi ilmu, sebagaimana yang dikemukakan Al Attas adalah :

(8)

untuk mengembangkan ilmu yang hakiki yang dapat membangunkan pemikiran dan rohani pribadi muslim yang akan menambahkan keimanannya kepada Allah Swt.

Melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan dan kekuatan keimanan.

Selanjutnya, Al Faruqi menguraikan tujuan yang mengacu kepada rencana kerja islamisasi ilmu pengetahuan (sains) adalah sebagai berikut :

Penguasaan disiplin ilmu modern Penguasaan khasanah Islam

Penentuan relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern Pencarian sintesa kreatif antara khasanah Islam dengan ilmu modern

Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah Swt.

D. Sains dan Islam : jangan ada dikotomi

Perkembangan sains dari masa ke masa adalah hasil upaya manusia dalam memahami lingkungan semestanya. Karena itu, sains tak seharusnya dipisahkan dari agama. Menurut Thomas Djamaluddin (seorang Profesor Riset Astronomi Astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) menyatakan bahwa sains harus jadi bagian dari kehidupan, sejalan dengan Alquran. Oleh karena itu, seharusnya tak ada klaim tentang kecocokan ilmu pengetahuan tertentu dengan ajaran agama.Temuan-temuan sains adalah penjelasan bagi ayat-ayat Alquran, bukan pencocokan.

Peran dan kontribusi Muslim dalam sains seperti bidang astronomi dibahas sesuai dengan kontribusi yang mereka berikan. Selain pemikiran mengenai konsep-konsep astronomi, kontribusi tersebut juga dilihat dari karya tulis yang mereka hasilkan.

(9)

benda langit dan diameter bumi serta planet-planet lainnya. Juga Ibnu Hayyan yang dikenal sebagai Bapak Kimia, menjelaskan tentang warna matahari, konsep bayangan, serta pelangi. Dan banyak lagi astronom Muslim yang mewarnai sejarah astronomi.

Ada dua hal utama yang perlu dilakukan dan diperbaiki. pertama, umat Islam harus menghilangkan dikotomi sains dan Islam. Selama ini, sains kerap dianggap produk Barat, sehingga ada pemilahan mana sains Barat dan mana pengetahuan Islam. Padahal seharusnya tidak demikian. Sains bisa dibuktikan dengan mengikuti kaidah-kaidah ilmiah, bukan dengan klaim bahwa ini sains milik Muslim dan ini milik non Muslim. Sains dapat dikaji ulang oleh siapapun tanpa memandang bangsa ataupun agama. Ia harus jadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan juga sejalan dengan Alquran. Maka tugas ilmuan adalah untuk terus mengembangkan ilmu pengetahuan bagi maslahat manusia dan juga alam semesta.

Kedua, setelah menghapuskan dikotomi tersebut, senada dengan pesan Rasulullah saw, saya berharap umat Islam terus belajar, termasuk mendalami ilmu pengetahuan. Mengapa? Karena sains adalah bagian dari cara kita memahami alam semesta. Sains adalah kontribusi manusia sepanjang masa.

Satu dari hal yang paling luar biasa dalam Al-Quran adalah bagaimana ia menguraikan ilmu pengetahuan. Al-Quran yang dinyatakan kepada Muhammad (saw) pada abad ke 7 berisikan fakta-fakta ilmiah menakjubkan yang sedang ditelusuri di abad ini. Para ahli ilmu pengetahuan terkejut dan kerap terbungkam saat mereka diperlihatkan betapa terperinci dan akuratnya beberapa ayat dalam Quran tentang ilmu pengetahuan modern.

1. Penjelasan sains terhadap ayat Alqur’an tentang alam semesta

(10)

Pada hampir 14 abad lalu, ayat di atas menjadi satu di antara firman-firman Allah yang turun kepada Rasulullah saw dengan muatan sains. Ayat tersebut menjelaskan tentang asal-mula langit dan bumi, yang mulanya satu dan kemudian dipisahkan.

Teori Big Bang atau Letupan Besar yang dikemukakan pada abad 20 menjadi bukti sekaligus penegas kebenaran ayat Alquran di atas. Ayat tersebut menjelaskan proses awal penciptaan alam semesta sejak 14 abad lalu, ketika teknologi belum menunjang penelitian astronomi dan bahwa sang penerima wahyu, Rasulullah saw, bahkan tak mengenal baca-tulis. Teori tersebut menjelaskan, semesta bermula dari sebuah benda seukuran bola tenis pada masa 0 detik atau sebelum semuanya ada. Materi tersebut sangat padat dengan kepadatan tak terkira dan suhu yang luar biasa. Ia meledak, dan pada detik pertama menghasilkan partikel dan energi eksotis. Lalu, tiga menit pertama, tercipta hydrogen (unsur pembentuk air) dan helium. Proses tersebut berlangsung sampai dengan enam tahap hingga tercipta alam semesta seperti sekarang.

Teori abad 20 tersebut sekaligus menjelaskan apa yang telah dipaparkan Alquran dalam surah Yunus ayat 3, “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan…”

Namun untuk memperdetil tahapan dalam enam hari itu, ayat 27-32 surah An-Nazi’at adalah dalil yang paling menjelaskan. Pertama, ayat 27 yang berbunyi “Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membangunnya” menunjukkan penciptaan langit sebagai tahap pertama pembangunan semesta, yang menurut perkembangan sains hari ini diyakini sebgai peristiwa big bang tersebut.

Sedangkan ayat selanjutnya, Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya”, menunjukkan ekspansi yang dilakukan Allah. Jika dikaitkan dengan Teori Big Bang, tahap ini adalah tahap evolusi bintang. Setelah itu, pada ayat 29, firman Allah “Dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita dan menjadikan siangnya terang benderang” menunjukkan proses terbentuknya matahari dan juga tata planet, karena telah ada siang dan malam. Sementara ayat 30, “Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya” mengindikasikan proses evolusi yang terjadi di bumi, seperti pergeseran lempeng bumi.

(11)

makhluk pertama di bumi berupa tumbuh-tumbuhan. Tahap ini dijelaskan dalam ayat “Ia memancarkan daripadanya mata airnya dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya.”

Sebagai tahap akhir, gunung dalam ayat “Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh” menjadi simbol tahap penyempurnaan bumi oleh Allah swt, sebelum akhirnya ia menciptakan binatang dan manusia. Tahap-tahap yang enam ini juga dijelaskan dalam beberapa ayat dan surah lain. Salah satunya adalah Fushshilat ayat 9-11.

2. Penjelasan sains terhadap Al-Qur’an tentang embriologi

Di tahun 1982 Keith Moore, seorang profesor di Universitas Toronto, menghasilkan sebuah buku berjudul ”The Developing Human, edisi ke 3″. Dalam buku ini Moore menyatakan keterkejutannya mengenai bagaimana perkembangan embrio dikisahkan dalam Al-Qur’an. Moore dan para kaum Muslim pendukungnya merujuk kepada ayat berikut ini:

“Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani dalam tempat yang kokoh; Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah; lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging; dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging; kemudian Kami jadikan dia makhluk yang lain.” (Surah 23:13-14)

Al-Qur’an mengatakan bahwa gumpalan darah kemudian menjadi tulang dan kemudian Tuhan ”membungkus tulang dengan daging” (Surah 23:13-14). Adalah suatu fakta ilmiah bahwa jaringan terbentuk lebih dulu, dan tulang tumbuh sesaat kemudian, dan terus bertambah kuat (dengan membangun kalsium) bertahun-tahun setelah kelahiran. Oleh sebab itu, ini sudah jelas adalah satu dari banyak ketidakcermatan ilmiah dalam al-Qur’an.

3. Penjelasan sains terhadap Al-Qur’an tentang pengiraan kecepatan cahaya

(12)

menganjak paradigma fisika berbunyi “kecepatan cahaya merupakan ketetapan alam yang besarnya bersifat tetap dan tidak bergantung kepada kecepatan sumber cahaya dan kecepatan pengamat”.

Menurut Einstein, tidak ada yang mutlak di dunia ini (termasuk waktu ) kecuali kecepatan cahaya. Selain itu, kecepatan cahaya adalah kecepatan tertinggi di alam ini. Pendapat Einstein ini mendapat dukungan dari percobaan yang dilakukan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 oleh Michelson-Morley, Fizeau, dan Zeeman.

Secara umum, keberadaan Einstein ini menimbulkan banyak keanehan. Misalnya, sejak dulu logika kita berpendapat bahwa jika kita bergerak dengan kecepan v_1 di atas kenderaan yang berkecepatan v_2 , kecepatan total kita terhadap pengamat yang diam adalah v_1 + v_2 . Tetapi, menurut Einstein, cara penghitungan tersebut salah kerana dapat mengakibatkan munculnya kelajuan yang melebihi kelajuan cahaya. Oleh kerana itu, menurut Einstein, formula penjumlahan kelajuan yang benar adalah sebagai berikut:

(v_1 + v_2) / (1+(v_1 \times v_2 / c^2 )).

Mengetahui besar kelajuan cahaya adalah sesuatu yang sangat menarik bagi manusia. Sifat unik cahaya menurut Einstein adalah satu-satunya komponen alam yang tidak pernah berubah, membuat sebahagian ilmuwan terobsesi untuk menghitung sendiri besarnya kecepatan cahaya dari berbagai informasi.

Seorang ilmuwan matematik dan fisika dari Mesir, Dr. Mansour Hassab Elnaby merasa adanya bukti-bukti dari Alquran yang membuat ia tertarik untuk menghitung kecepatan cahaya, terutama berdasarkan data-data yang disajikan Alquran. Dalam bukunya yang berjudul A New Astronomical Quranic Method for The Determination of the Speed C, Mansour Hassab Elnaby menghuraikan secara jelas dan sistematik tentang cara menghitung kecepatan cahaya berdasarkan redaksi ayat-ayat Alquran. Dalam menghitung kelajuan cahaya ini, Mansour menggunakan sistem yang lazim dipakai oleh ahli astronomi iaitu sistem Siderial.

(13)

Pertama, “Dialah (Allah) yang menciptakan Matahari bersinar dan Bulan bercahaya dan ditetapkannya tempat bagi perjalanan Bulan itu, agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan ” (Q.S. Yunus ayat 5).

Kedua, ” Dialah (Allah) yang menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan masing-masing beredar dalam garis edarnya” (Q.S. Anbia ayat 33).

Ketiga, “Dia mengatur urusan dari langit ke Bumi, kemudian (urusan) itu kembali kepadaNya dalam satu hari yang kadarnya seribu tahun menurut perhitunganmu” (Q.S. Sajdah ayat 5).

Dari ayat-ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahawa jarak yang dicapai “sang urusan” selama satu hari adalah sama dengan jarak yang ditempuh Bulan selama 1.000 tahun atau 12.000 bulan. Dalam bukunya, Dr. Mansour menyatakan bahawa “sang urusan” inilah yang diduga sebagai sesuatu “yang bekecepatan cahaya “.

Hitungan Alquran tentang kecepatan cahaya

Dari ayat di atas dan menggunakan rumus sederhana tentang kelajuan, kita mendapatkan persamaan sebagai berikut:

c \times t = 12.000 \times L

c = kecepatan “sang urusan” atau kecepatan cahaya t = kala rotasi Bumi = 24 x 3600 detik = 86164,0906 detik

L = jarak yang ditempuh Bulan dalam satu pusingan = V \times T

Untuk menghitung L , kita perlu menghitung kelajuan Bulan. Jika kelajuan Bulan kita notasikan dengan V , maka kita perolehi persamaan:

(14)

R = jari-jari lintasan Bulan terhadap Bumi = 324264 km T = kala Revolusi Bulan = 655,71986 jam, sehingga diperolehi V = 3682,07 km / jam (sama dengan hasil yang diperoleh NASA)

Meskipun demikian, Einstein mengusulkan agar faktor graviti Matahari dieliminir terlebih dahulu untuk mendapatkan hasil yang lebih tepat.

Menurut Einstein, graviti matahari membuat Bumi berputar sebesar :

a = T_m / T_e \times 360 \pi

T_m = waktu edar Bulan = 27,321661 hari

T_e = waktu edar Bumi = 365,25636 hari, didapat a= 26,92848

Besarnya putaran ini harus dieliminasi sehingga didapati kecepatan tepat Bulan adalah

V_e= V \cos a.

Jadi, L = v_e \times T , di mana T waktu peredaran Bulan = 27,321661 hari = 655,71986 jam Sehingga L = 3682,07 \times \cos 26,92848 \times 655,71986 = 2152612,336257 km

Dari persamaan (1) kita mendapatkan bahwa c \times t = 12.000 \times L Jadi, diperolehi c = 12.000 \times 2152612,336257 km / 86164,0906 detik

(15)

Hasil hitungan yang diperolehi oleh Dr. Mansour Hassab Elnaby ternyata sangat mirip dengan hasil hitungan lembaga lain yang menggunakan peralatan sangat canggih. Berikut hasilnya : Hasil hitung Dr. Mansour Hassab Elnaby c = 299.792,4998 km/detik

Hasil hitung US National Bureau of Standard c = 299.792,4601 km/ detik Hasil hitung British National Physical Labs c = 299.792,4598 km/detik Hasil hitung General Conf on Measures c = 299.792,458 km/detik

E. Kesimpulan

Dalam pandangan Islam, sains dan agama memiliki dasar metafisik yang sama, dan tujuan pengetahuan yang diwahyukan maupun pengetahuan yang diupayakan adalah mengungkapkan ayat-ayat (signs) kebesaran dan keberadaan Tuhan dan sifat-sifat-Nya kepada umat manusia. Jadi, kita dapat mempertimbangkan kegiatan ilmiah sebagai bagian dari kewajiban agama, tentunya kegiatan ilmiah yang mempunyai prosedur dan metodologi yang mempunyai orientasi “Maslahatul Ummah”.

Sains dalam pandangan Islam setidaknya mempunyai signifikansi vertikal dan horisontal. Sains dengan metode mengamati alam semesta secara empiris dalam mengamati ayat-ayat kauniyah Tuhan dapat mengantarkan manusia untuk lebih mengenal Tuhannya.

Perkembangan sains dari masa ke masa adalah hasil upaya manusia dalam memahami lingkungan semestanya. Karena itu, sains tak seharusnya dipisahkan dari agama. Sains harus jadi bagian dari kehidupan, sejalan dengan Alquran. Oleh karena itu, seharusnya tak ada klaim tentang kecocokan ilmu pengetahuan tertentu dengan ajaran agama.Temuan-temuan sains adalah penjelasan bagi ayat-ayat Alquran, bukan pencocokan.

F. Daftar Pustaka

(16)

Ahsin, Muhammad, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains, Tafsir Islami atas Sains, terj. Bandung : Mizan, 2004.

Anshari, Saifuddin, Endang, Ilmu, Filsafat, Dan Agama, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2009. Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997.

Bagir, Zainal Abidin, et al, Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, Bandung: Mizan, 2005.

Bakar, Osman, Tauhid dan Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.

Borgias, Fransiskus, Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog, terj.Bandung: Mizan, 2004.

——- Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, ter. Agus Efendi, Bandung: Mizan, 1998. Nasution, Harun, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1998.

Qadir, Philoshopy and Science In The Islamic World, London: Routledge,1990.

——, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosial Politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Rosnani Hashim, Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer : sejarah Perkembangan dan Arah Tujuan, (Islamia Thn II No.6/Juli-September, 2005), hal. 34

Republika. co.id, Minggu, 03 Juni 2012, 19:56 WIB.

Wildaiman, Alumni Matematika ITB, Guru Matematika Pontren Al Masudiyah-Cigondewah , Kab. Bandung.

Referensi

Dokumen terkait

Syarat subyektif penahanan diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yaitu perintah penahanan atau penahanan lanjut dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa

Bahwa Hadits nabi lebih sedikit yang ditulis dibanding dengan yang diriwayatkan secara hafalan di kalangan para sahabat dan itu pun belum mendapat pengujian (cek

Hasil pengujian hipotesis penelitian (Uji t) menunjukkan nahwa terdapat pengaruh yang signifikan variabel kemampuan (X3) terhadap kinerja guru SMA Negeri di Kabupaten

Saat ini di Kota Balikpapan masih banyak masyarakat yang belum memahami tentang bahaya ketinggian bangunan yang melebihi batas rekomendasi yang dikeluarkan, untuk itu

Kalau membicarakan pidana badan, cambuk itu termasuk didalam hukum pidana itu disebut dengan pidana badan. Pidana badan itu memang ada juga tanggapan yang

Berdasarkan permasalahan di atas, adapun rumusan masalah dalam penulisan ini yaitu pertama, bagaimana pelaksanaan pencatatan motif kerajinan perak Bali sebagai karya cipta yang

Untuk memulikan kembali kondisi dimana banyak sekutu Suriah yang hilang, namun juga mengambil kesempatan untuk menjadi salah satu Negara yang mengendalikan tatanan

Berdasarkan hasil analisis telah terindikasi adanya intrusi air laut pada beberapa lokasi antara lain di titik sampling T1 jalan sangir kelurahan Mintragen kecamatan Tegal