TEKNOLOGI INFORMASI MENJADI ANCAMAN DAN TANTANGAN DUNIA PENDIDIKAN
Fenomena merebaknya infomasi yang tidak berdasar atau biasa disebut hoax serta ujaran kebencian ini menjadi perhatian khusus dunia pendidikan. Fenomena tersebut berlawanan arus dengan tujuan pendidikan nasional. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dunia pendidikan harus responsif menghadapi informasi hoax dan hatespeech, karena hal tersebut menyangkut akhlak, moral, kreativitas, serta demokratis, dan tanggung jawab. Penyalahgunaan teknologi informasi nyaris menyerang semua sendi tujuan pendidikan nasional. Anak-anak kita terancam arus negatif dari era demokasi digital yang telah menyimpang dari koridornya. Kebebasan ekspresi yang “didewakan” malah gagal memberikan rasa nyaman dan aman bagi masyarakat, malah kemudian yang terjadi adalah perang kebencian, dan penyebarluasan kebohongan.
bersama. Sialnya adalah rasa saling tolong-menolong juga mulai terdegradasi, misalnya ketika terjadi suatu peristiwa kecelakaan, karakter manusia era digital ini lebih memilih untuk cepat menginfomasikan, dengan mendokumentasikan kejadiaan dengan ekspresi andalannya yaitu swafoto (selfie). Jika dicermati lebih jauh, orang lebih memilih mendahulukan menginfomasikan peristiwa daripada menolong dan membantu koban peristiwa. Dengan kata lain cepat menyerap informasi, tapi lambat tanggap dan aksi sosial. Hal ini menjadi “suara sumbang” dari kemajuan teknologi informasi.
Penyebaran informasi hoax dan hatespeech memberikaan kontibusi bagi perkembangan radikalisme di tengah masyarakat. Kurangnya pertahanan pendidikan mengakibatkan hilangnya moral dan daya kritis masyarakat. Tantangan pendidikan kita tidak lagi pada komersialisasi pendidikan seperti era 90-an hingga 2000-an, akan tetapi kini tantangan pendidikan kita lebih substantif, yaitu kehilngan moral dan daya kritis. Keduanya berkontribusi pada perkembangan radikaisme yang mengancam kedauatan, keutuhan, dan keselamatan negara. Informasi hoax yang tersebar luas adalah gejala hilangnya daya kritis dan budaya literasi kita. Sebagian orang lebih memilih cara-cara instan untuk mendapatkan informasi dan ilmu, salah satu medianya adalah memanfaatkkan teknologi informasi (baca: internet). Budaya literasi mulai banyak ditinggalkan, buku-buku bacaan dianggap tidak praktis untuk mengakses pengetahuan. Tindakan ini adalah bentuk “gagal paham” dari pemanfaatan teknologi.