• Tidak ada hasil yang ditemukan

CINTA DAN SELF MONITORING TERHADAP ORIEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "CINTA DAN SELF MONITORING TERHADAP ORIEN"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

CINTA DAN SELF-MONITORING TERHADAP ORIENTASI MASA DEPAN DALAM HUBUNGAN ROMANTIS PADA DEWASA MUDA YANG BERPACARAN

Disusun oleh :

Ramaika Putri

1110070000130

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Orientasi masa depan merupakan salah satu fenomena perkembangan kognitif yang terjadi pada masa remaja. Sebagai individu yang mengalami proses peralian dari masa kanak-kanak mencapai kedewasaan, mereka memilki tugas-tugas yang mengarah pada persiapannya memenuhi tuntutan dan harapan peran sebagai orang dewasa. Oleh sebab itu sebagaimana yang dikemukakan oleh Elizabet B. Hurlock (1981), remaja mulai memikirkan tentang masa depan mereka secara sungguh-sungguh. Remaja mulai memberikan perhatian yang besar terhadap berbagai lapangan kehidupan yang akan dijalaninya sebagai manusia dewasa dimasa mendatang. (dalam Desmita,2005)

Orientasi masa depan remaja terlihat lebih nyata ketika individu telah mencapai tahap-tahap pemikiran operasional formal merupakan salah satu perkembangan kognitif, dimana membuat remaja mampu berpikir secara abstrak dan hipotesis, serta merumuskan proposisi secara logis. Hal ini berarti masa remaja merupakan masa berkembang pesatnya orientasi masa depan. Selain itu operasional formal juga, memberikan remaja kemampuan untuk mengantisipasi masa depannya atau kemampuan membuat skemata kognitif untuk merumuskan rencana bagi masa depannya. Dengan kata lain, remaja mampu membuat perencanaan dan melakukan evaluasi terhadap rencana dimasa depannya. (Desmita,2005)

(3)

berhubungan dengan perkiraan dan antisipasi individu pada hal tertentu, misalnya individu yang berminat pada pekerjaan tertentu saja.

Sejalan dengan pemikiran Gjesme, Oner (2000a) mengemukakan bahwa orientasi masa depan pada hubungan romantis berbeda dari orientasi masa depan pada umumnya. Orientasi masa depan pada hubungan romantis merupakan kecenderungan untuk mencari hubungan sementara atau permanen dengan lawan jenis. Mengacu pada oner (2000b), individu dengan tingkat orientasi masa depan yang tinggi diperkiraan akan mencari hubungan yang relatif permanen. Sebaliknya individu dengan tingkat orientasi masa depan yang lebih rendah lebih dapat menikmati hubungan yang sementara. Dalam penelitianya, oner menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi orientasi masa depan pada hubungan romantis, yaitu perhatian terhadap komitmen masa depan, investasi masa depan (Oner, 2000a), pencarian hubungan permanen, serta fokus pada hubungan di masa depan (Oner, 2000b). Selain itu, jenis kelamin, kepuasan dalam hubungan, serta beberapa karakteristik individu, seperti kecemburuan, dan self-motoring , tampaknya juga berpengaruh pada orientasi masa depan (Oner, 2000b), meskipun hanya pada batas tertentu (Kalkan, 2008).

Berdasarkan penelitian Oner (2000a), individu dengan prefensi terhadap komitmen jangka panjang akan mencari hubungan yang relatif permanen (berorientasi masa depan), serta memiliki sikap yang lebih hati-hati dalam memulai dan membina hubungan romantis. Sikap berhati-hati ini dapat mempengaruhi kepuasan individu terhadap hubungannya. Namun demikian, individu juga perlu memperhatikan komponen intimacy dan passion, serta lamanya hubungan romantis yang ia jalani. Menurut Berscheid (dalam Sternberg, 1986). Pada awal hubungan romantis, ketidakpastian dalam hubungan membuat individu tidak mampu memprediksi tingkah laku dan kondisi emosi pasangannya. Ketidakmampuan ini dapat membuat individu dapat membuat individu mereasa tidak nyaman dengan hubungannya. Selanjutnya, bila dalam suatu hubungan romantis individu tidak mendapat kebutuhan passionnya dengan baik, ia juga dapat tidak puas, yang dapat mengakibatkan berakhirnya suatu hubungan (Sternberg, 1986). Hal ini berarti bahwa kepuasan dalam hubungan juga dapat melibatkan tinggi atau rendahnya derajat dari masing-masing komponen cinta.

(4)

‘hubungan intim’, suatu istilah yang luas dan tidak menentu, dimana dapat meliputi berbagai asosiasi berbeda antara teman, pasangan, keluarga dan sanak famili (Gillies, 2003). Interaksi dan hubungan intim ini mempengaruhi adaptasi dalam perubahan kebutuhan dan tekanan yang terlibat pada setiap tahapan perkembangan pada kehidupan seseorang.

Menurut Erikson (dalam Papalia,2007), mengembangkan hubungan intim merupakan tugas perkembangan yang penting bagi dewasa muda. Kebutuhan untuk menciptakan hubungan yang kuat, stabil, dekat dan peduli menjadi motivator yang sangat kuat bagi tingkah laku individu. Dalam membina hubungan intim, individu perlu memiliki pemahaman diri, kemampuan dalam mengekspresikan eosi, kemampuan dalam berkomitmen, dan pengambilan keputusan dalam seksualitas. Hal-hal ini sangat penting bagi dewasa muda dalam memutuskan apakah mereka akan menikah atau membentuk hubungan homoseksual. Bentuk ekspresi dalam hubungan intim dapat berupa persahabatan, cinta ataupun seksualitas.

Cinta merupakan ekspresi emosi manusia yang paling hebat dan paling diinginkan setiap orang. Menurut Sternberg (1987), cinta terdiri dari tiga komponen utama yaitu intimacy, passion dan commitment yang ketiganya saling berhubungan satu sama lain. Intimacy mengacu pada perasaan dekat dan terikat dengan pasangan; passion merupakan dorongan percintaan, ketertarikan fisik dan seksual; dan commitment terjadi ketika ndividu mulai memutuskan (aspek jangka pendek) dan mempertahankan (aspek jangka panjang) cinta yang ia miliki. Kadar cinta yang dimiliki seseorang bergantung pada derajat atau proporsi dari ketiga komponen tersebut (strenberg, 1988). Perbedaan kadar cinta ini dapat dijelaskan melalui kombinasi dari ke tiga komponen, misalnya cinta yang romantis mengandungkomponen intimacy dan passion yan lebih banyak daripada komponen commitment. Selain itu, hubungan yang hanya didasarkan pada satu komponen saja lebih sulit bertahan daripada berdasarkan dua atau tiga komponen sekaligus.

(5)

dalam hal gairah seksual, diaman telah muncul fase awal dewasa muda, sedangkan wanita cenderung mengutama kedekatan emosi dan komunikasi.

Berkenaan dengan cinta, Kielen (2007) menyebutkan tiga tahapan dalam percintaan, yaitu romantic feeling (rasa cinta), ketertarika fisik, dan kelekatan emosi. Pertama-tama, perasaan cinta muncul pada invidu karena adanya kedekatan dengan lawan jenis. Selanjutnya, pikiran individu dipenuhi oleh orang terkasih dan mulai menjadikannya, sebagai pasangan yang ideal. Tahap ketertarikan fisik ini sering dikatakan sebagai fase “lovesick” atau mabuk kepayang. Kemudian hubungan berlanjut pada kelekatan emosi, dimana melibatkan komitmen, pertemanan, atau bahkan anak. Pada tahap terakhir ini, individu mengetahui karakter positif maupun negatif dari pasangan, dan memutuskan apakah ingin membangun kehidupan bersama. Ketiga tahapan ini tidak saling terpisah melainkan perpaduan ketiganya dalam hubungan romantis jangka panjang salah satunya adalah ikatan pernikahan dengan komitmen untuk saling berbagi (Stutzer & Frey, 2006)

Usia dewasa muda merupakan usia di mana individu mengalami transisi yang penting dalam kehidupannya. Selain kondisi fisik yang berada pada masa puncaknya, individu dewasa muda juga dianggap telah memiliki kepribadian yang relatif stabil. Dengan kestabilan ini, individu dianggap siap untuk menjalani tugas perkembangan berikutnya, yaitu menjalin hubungan intim dengan orang lain. Pemenuhan tugas perkembangan ini diwujudkan oleh sebagian besar individu melalui pernikahan dan pengalaman menjadi orang tua. Hubungan pacaran merupakan hubungan intim yang dijadikan landasan sebelum individu menjalani pernikahan. Hubungan ini juga dapat dikatakan sebagai masa persiapan individu sebelum memilih dan menetapkan calon pasangan hidupnya.

(6)

Hal ini didukung oleh teori Snyder mengenai selfmonitoring, yang menyatakan bahwa tingkat komitmen seseorang dapat dipengaruhi oleh tingkat self-monitoringnya.Self-monitoring merupakan suatu trait kepribadian seseorang yang melibatkan kemampuan untuk mengatur petunjuk nonverbal dan mengubah tingkah laku individu. Semakin tinggi tingkat selfmonitoring yang dimiliki individu tersebut, maka semakin tinggi pula kemampuannya dalam merespon lingkungan sosialnya serta mengubah tingkah lakunya sesuai dengan kondisi saat itu. Terdapatnya pengaruh selfmonitoring terhadap komitmen dilandasi oleh pemikiran bahwa individu dengan tingkat self-monitoring tinggi cenderung terpengaruh oleh lingkungan sosialnya.

Asumsinya adalah bila lingkungan sosial bereaksi negatif terhadap hubungan pacarannya, maka individu dengan selfmonitoring tinggi dapat mengakhiri hubungan pacaran tersebut. Sebaliknya, bila lingkungan sosial bereaksi positif terhadap hubungannya, maka individu dengan tingkat self-monitoring tinggi dapat terus menjalani hubungan pacarannya tersebut. Individu dengan tingkat self-monitoring rendah, lebih stabil antara sikap dan tingkah lakunya, meskipun menghadapi beragam individu dan berada dalam situasi sosial yang berbeda-beda. Dalam hal komitmen, individu yang memiliki self-monitoring rendah lebih berkomitmen bila dibandingkan dengan individu yang memiliki self-monitoring tinggi.

(7)

Berkenaan dengan mempertahankan hubungan romantis jangka panjang, merupakan hal yang terpenting bagi individu untuk mampu mengekspresikan emosi, komitmen dan keputusan dalam seksualitas. Hal ini merujuk pada kemampuan individu dalam melakukan penetapan, perencanaan dan pengambilan keputusan mengenai hubungan romantis yang sedang dijalani, sebagaimana hal tersebut penting bagi tingkah laku seksual dewasa muda (McCabe & Barnett, 2000). Penetapan , perencanaan, dan pengambilan keputusan dalam hidup seseorang erat kaitannya dengan orietasi masa depan (Seninger et al, dalam Seninger, 1992). Penelitian lintas budaya mengenai orientasi masa depan seringkali membandingkan domain orientasi masa depan pada remaja dan dewasa muda, dimana pada masa remaja lebih difokuskan pada pemikiran dan perasaan mereka mengenai masa depan pendidikan dan pencapaian karir, sementara intimacy lebih difokuskan pada dewasa muda (McCabe & Barnett, 2000). Sejalan dengan itu, Salmela-Aro, Aunola, dan Nurmi (dalam Nurmi, 2005) melakukan penelitian longtudinal terhadap mahasiswa perguruan tinggi dalam periode 10 tahun. Mereka menemukan bahwa setelah tahun kedua dan ketiga perkuliahan, pendidikan dianggap kurang penting. Sebaliknya , karir ,keluarga, dan anak menjadi tujuan yang lebih khusus. Dengan demikian, tema-tema yang terkait dengan masa depan, terutama masa depan pada hubungan romantis, menjadi hal yang penting pada dewasa muda.

1.2 Pembatasan Masalah

Dalam melakukan penelitian, di bawah ini akan dijelaskan batasan masalah yang digunakan sebagai berikut:

Cinta adalah suatu perasaan dan tingkah laku yang positif, serta komitmen yang dimiliki seseorang guna menjaga kestabilan perasaan dan tingkah lakunya yang dapat mempengaruhi hubungan yang sedang dijalani ( Sternberg,1987).

Self monitoring merupakan tingkatan individu dalam mengatur perilakunya berdasarkan situasi eksternal dan reaksi orang lain (self monitoring tinggi) atau atas dasar faktor internal seperti keyakinan, sikap, dan minat (self monitoring rendah) ( Baron & Byrne 1994).

(8)

untuk meramalkan dan mengantisipasi, serta membuat perencanaan dan menorganisasikan berbagai kemungkinan yangdapat terjadi di masa yang akan datang. (Gjesme, 2000 )

Dewasa muda yang di maksud disini adalah para dewasa muda yang sudah memiliki pasangan.

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas masalah yang akan dirumuskan dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana pengaruh cinta dan self monitoring terhadap orientasi masa depan hubungan romantis pada partisipan dewasa muda yang berpacaran ?”

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh pengaruh cinta dan self-monitoring terhadap orientasi masa depan pada hubungan romantis. Selain itu, penelitan ini juga bertujuan untuk menentukan komponen dari cinta mana yang paling berperan pada orientasi masa depan pada hubungan romantis seseorang. Serta untuk mengetahui orang yang mempunyai self-monitoring seperti apa yang paling baik dalam orientasi masa depan pada hubungan romantis seseorang.

1.3 Manfaat Penelitian

1. Memperkaya pengetahuan-pengetahuan seputar orientasi masa depan pada hubungan romantis

2. Sebagai penelitian lintas budaya, karena tidak banyak peneliian tentanf orientasi masa depan pada hubungan romantis di Indonesia.

3. Memberikan masukan kepada pasangan mengenai komponen-komponen cinta yang mana yang perlu di tingkatkan. Diharapkan pengetahuin ini dapat dipergunakan oleh pasangan untuk membina hubungan yang lebih baik.

1.6 Sistematika Penelitian

(9)

BAB 1: Pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang dilakukannya penelitian mengenai pengaruh cinta dan self monitoring terhadap orientasi masa depan hubungan romantis pada dewasa muda berpacaran, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat dan sitematika penulisan.

BAB 2: Kajian teori menguraikan sejumlah teori yang digunakan dalam penelitian diantaranya :

1. Penjabaran dan definisi tentang cinta dan, komponen cinta, pengukuran cinta, definisi tentang self-monitoring, komponen self monitoring, ciri-ciri self monitoring, pengukuran self-monitoring, definisi orientasi masa depan, definisi orientasi masa depan hubungan romantis , definisi orientasi masa depan hubungan romantis pada dewasa muda, dan pengukuran orientasi masa depan hubungan romantis. Kerangka berpikir dan hipotesis

(10)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai teori-teori yang terkait dengan variabel penelitian, yaitu cinta, self-monitoring dan orientasi masa depan hubungan romantis.

2.1 Cinta

Cinta merupakan suatu emosi positif yang paling intens dan paling diinginkan oleh setiap orang. Kelley (dalam Sternberg,1987) mendefinikan cinta sebagai :

“possitive feeling and behaviors and commitment to the stability of the force that affect an an on going relationship.” (Kelley, dalam Sternberg, 1987)

Menurut definisi di atas, cinta adalah suatu perasaan dan tingkah laku yang positif, serta komitmen yang dimiliki seseorang guna menjaga kestabilan perasaan dan tingkah lakunya yang dapat mempengaruhi hubungan yang sedang dijalani. Untuk memahami dan menguraikan cinta secara mendalam, Sternberg (1987) memformulasikan sebuah model berkenaan dengan cinta. Teori ini dinamakan Tringular Theory of Love atau teori triangulasi cinta yang menjelaskan bahwa cinta dapat dipahami melalui tiga komponen yaitu intimacy, passion, dan commitment.

2.1.1 Komponen Intimacy

Menurut Sternberg (1987), intimacy refer to those feelings in relationship that promote closeness, bondedness, and connectedness. Keintiman mengacu pada perasaan-perasaan dalam suatu hubungan yang dapat meningkatkan kedekatan, keterikatan, dan pertalian antara orang-orang di dalamnya. Komponen keintiman meliputi juga perasaan yang dapat menimbulkan kehangatan dalam hubungan percintaan.

Sternberg & Grajek (dalam Sternberg, 1987) mengidentifikasikan sepuluh komponen intimacy dalam cinta:

(11)

2. Merasa bahagia dan menikmati saat-saat menyenangkan dengan orang yang dicintai. 3. Menghormati dan menghargai pasangan saat dibutuhkan.

4. Dapat mengharapkan dan mengandalkan pasangan saat dibutuhkan . 5. Saling mengerti dan memahami kelebihan atau kekurangan satu sama lain.

6. Berbagi diri, waktu, kepemilikan, dan rahasia bersama dengan orang yang dicintai. 7. Merasa mendapat dukungan dan dorongan dari pasangan.

8. Berempati dan memberikan dukungan emosional pada orang yang dicintai kapanpun dibutuhkan.

9. Dapat berkomunikasi secara intim, mendalam, dan terbuka mengenai perasaan-perasaan terdalam dengan orang yang dicintai.

10. Menilai dan menganggap penting orang yang dicintai.

Selain itu, berdasarka penelitian mengenai sejumlah tingkah laku yang tergolong dalam cinta romantis, Sternberg dan Barnes (dalam Sternberg, 1987) menemukan tiga subdimensi yang dapat lebih menjelaskan komponen intimacy. Ketiga subdimensi ini mengacu pada perbedaan level keintiman. Subdimensi pertama mengacu pada semua perilaku yang umumnya muncul dalam hubungan intim, sementara subdimensi ini mengacu pada perbedaan level keintiman. Subdimensi pertama mengacu pada semua perilaku yang umumnya dalam hubungan intim, sementara subdimensi kedua mengacu pada aspek-aspek khusus yang baik bagi individu. Selanjutnya, pada subdimensi ketiga mengacu pada hal yang lebih dalam lagi, yaitu aspek-aspek pada intimacy yang dapat menjadikan suatu pasangan sudah sangat dekat dan selalu merasakan kebersamaan meskipun terpisah jauh.

Dari tiga subdimensi diatas, Sternberg dan Barnes (dalam Sternberg, 1987) membedakan tiga level keintiman :

 Aspek yang baik untuk siapapun dalam hubungan;

(12)

 Aspek yang dapat menjadikan pasangan spesial atau unik.

2.1.2 Kompenen Passion

Passion adalah suatu kondisi yang secara intens membuat kita selalu ingin bersatu dengan orang yang dicintai (Hatfield & Walster, dalam Sternberg 1987). Menurut Sternberg (1987), passion is largely the expression of desire and needs—such as for self-esteem, nurturance, affiliation, dominance, submission, and sexual fulfillment. Passion merupakan ekspresi dari berbagai keinginan dan kebutuhan, seperti penghargaan diri, kedewasaan, kebutuhan dalam pertalian, keinginan untuk berkuasa dan menuruti kehendak penguasa, serta pemenuhan kebutuhan seksual. Secara sederhana, komponen ini mengacu pada dorongan yang mengarah pada romansa, ketertarikan fisik, dan kepuasan seksual. Eksperesi dari berbagai kebutuhab ini berbeda antara satu individu dengan individu yang lain, sehingga passion antara dua individu yang bercinta mungkin akan berbeda pula.

Kebanyakan orang hanya menghubungkan passion dengan kebutuhan seksual, padahal tidak hanya sekedar itu. Kebutuhan lain seperti harga diri, afiliasi, dominasi, dan sebagainya juga berkontribusi dalam passion. Tidak dapat dipungkiri bahwa passion dalam cinta cenderung berhubungan dengan intimacy. Sebagai contoh, hasrat seksual yang baik akan menghasilkan keintiman. Dengan demikian, kedua komponen ini hampir selalu berinteraksi satu sama lain dalam hubungan dekat.

2.1.3 Komponen Commitment

Harold Kelley (dalam Sternberg, 1987) mendefinisikan komitmen sebagai “the extent to which a person is likely to stick with something or someone and see it (or him or her) through to finish”. Komitmen merupakan tingkat yang memungkinkan seseorang untuk ‘melekat’ atau ‘terpaut’ pada sesuatu atau seseorang, dan menjaga hal tersebut hingga selesai. Seseorang yang menjalankan sesuatu diharapkan terus melakukannya hingga sasaran tercapai. Permasalahan yang mungkin terjadi adalah bahwa pasangan yang bercinta memiliki pandangan yang berbeda tentang apa yang harus dicapai, sehingga dapat terjadi komitmen yang berbeda antara satu individu dengan pasangannya.

(13)

mempertahankan cinta tersebut. Kedua aspek dari komponen keputusan/komitmen ini tidak harus terjadi bersamaan. Keputusan untuk bercinta tidak harus mengimplikasikan komitmen dalam bercinta, dan sebaliknya komitmen tidak mengimplikasikan keputusan. Namun demikian, keputusan hendaknya mendahului komitmen.

2.1.4 Cinta pada Dewasa Muda

Pada tahap perkembangan dewasa muda, individu akan mengalami perubahan signifikan dalam hubungan personal dengan orang lain, terutama yang berkaitan dengan menjalin dan membangun ikatan berdasarkan pertemanan, cinta, dan seksualitas (Papalia, Olds, & Feldman, 2001). Individu pada tahap perkembangan ini akan berusaha untuk mencari dan menemukan pasangan hidup yang tepat, sebagaimana berkenaan dengan tugas perkembangannya yang sangat penting, yaitu membina hubungan intim (Erikson dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2001). Akan tetapi, hubungan intim menuntut pengorbanan dan persetujuan antara dua individu yang memutuskan untuk menjalin hubungan bersama, sehingga sangat diperlukan komitmen pribadi untuk mempertahankan hubungan.

Dalam tahap perkembangan psikososial Erikson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2007), dewasa muda termasuk kedalam tahap keenam, yaitu intimacy versus isolation. Jika dewasa muda tidak dapat melakukan komitmen pribadi secara mendalam dengan orang lain, mereka akan terisolasi dan cenderung memisahkan diri. Erikson juga menjelaskan bahwa”virtue” dari tahapan dewasa muda adalah “love”, yaitu rasa kesetiaan antara pasangan yang telah memilih untuk berbagi kehidupan bersama. Cinta pada dewasa muda berhubungan dengan keintiman, pemberi perhatian, dan komitmen dalam mempertahankan hubungan percintaan yang dijalani.

2.1.5 Pengukuran Cinta

(14)

2.2 Pengertian Self Monitoring

Self monitoring merupakan konsep yang berhubungan dengan konsep pengaturan kesan (impression management) atau konsep pengaturan diri (Snyder & Gangestad, 1986, h.125). Teori tersebut menitik beratkan perhatian pada kontrol diri individu untuk memanipulasi citra dan kesan orang lain tentang dirinya dalam melakukan interaksi sosial (Shaw & Constanzo, 1982, h.338). Individu baik secara sadar maupun tidak sadar memang selalu berusaha untuk menampilkan kesan tertentu mengenai dirinya terhadap orang lain pada saat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Berdasarkan konsep ini Mark Snyder mengajukan konsep self monitoring, yang menjelaskan mengenai proses yang dialami dari tiap individu dalam menampilkan impression management dihadapan orang lain. Menurut Snyder (Watson et al, 1984, h.85), self monitoring merupakan suatu usaha yang dilakukan individu untuk menampilkan dirinya dihadapan orang lain dengan menggunakan petunjuk-petunjuk yang ada pada dirinya atau petunjuk-petunjuk-petunjuk-petunjuk yang ada di sekitarnya.

Snyder & Cantor (Fiske & Taylor, 1991, h.534) mendefinisikan self monitoring sebagai cara individu dalam membuat perencanaan, bertindak, dan mengatur keputusan dalam berperilaku terhadap situasi sosial. Hal ini diperkuat dengan pendapat Robbins (1996, h.60) yang menyatakan bahwa self monitoring merupakan suatu ciri kepribadian yang mengukur kemampuan individu untuk menyesuaikan perilakunya pada faktor-faktor situasional luar. Menurut Baron & Byrne (1994, h.189) self monitoring merupakan tingkatan individu dalam mengatur perilakunya berdasarkan situasi eksternal dan reaksi orang lain (self monitoring tinggi) atau atas dasar faktor internal seperti keyakinan, sikap, dan minat (self monitoring rendah).

Berdasarkan berbagai pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa self monitoring merupakan kemampuan individu dalam menampilkan dirinya terhadap orang lain dengan menggunakan petunjuk-petunjuk yang ada pada dirinya maupun petunjuk-petunjuk yang ada di sekitarnya, guna mendapatkan informasi yang diperlukan untuk bertingkah laku yang sesuai dengan kondisi dan situasi yang dihadapi dalam lingkungan sosialnya.

2.2.1 Komponen Self Monitoring

(15)

a. Kesesuaian lingkungan sosial dengan presentasi diri seorang individu berarti menyesuaikan peran seperti yang diharapkan orang lain dalam situasi sosial.

b. Memperhatikan informasi perbandingan sosial sebagai petunjuk dalam mengekspresikan diri agar sesuai dengan situasi tertentu berarti memperhatikan informasi eksternal yang berasal dari lingkungan sekitarnya sebagai pedoman bagi dirinya dalam berperilaku. c. Kemampuan mengontrol dan memodifikasi presentasi diri berarti berhubungan dengan

kemampuan untuk mengontrol dan mengubah perilakunya.

d. Kesediaan untuk menggunakan kemampuan yang dimilikinya (pada huruf c) pada situasi-situasi khusus berarti mampu untuk menggunakan kemampuan yang dimilikinya pada situasi-situasi yang penting.

e. Kemampuan membentuk tingkah laku ekspresi dan presentasi diri pada situasi yang berbeda-beda agar sesuai dengan situasi di lingkungan sosialnya berarti tingkah lakunya bervariasi pada berbagai macam situasi di lingkungan sosial.

Baron & Greenberg (1990, h.203) menyatakan bahwa self monitoring mempunyai tiga komponen, yaitu:

a. Kesediaan untuk menjadi pusat perhatian. Hal ini berhubungan dengan kemampuan sosial dalam mengekspresikan emosional individu.

b. Kecenderungan yang menggambarkan kepekaan individu dalam reaksinyaterhadap orang lain.

c. Kemampuan dan kesediaan individu untuk menyesuaikan perilaku sehingga menimbulkan reaksi yang positif terhadap orang lain.

Briggs & Cheek pada tahun 1986 (Snyder & Gangestad, 1986, h.126) menyempurnakan pendapat Snyder (1974) maupun Lennox & Wolfe (1984) mengenai komponen self monitoring. Briggs & Cheek menyatakan bahwa pendapat para pendahulunya tersebut kurang dapat digunakan untuk mengukur secara individual. Ketiga komponen self monitoring yang dikemukakan oleh Briggs & Cheek adalah sebagai berikut:

(16)

3) Berbicara di depan umum secara spontan.

b. Social Stage Presence, yaitu kemampuan untuk bertingkah laku yang sesuai dengan situasi yang dihadapi, kemampuan untuk mengubah-ubah tingkah laku dan kemampuan untuk menarik perhatian sosial. Ciri-cirinya adalah:

1) Ingin tampil menonjol atau menjadi pusat perhatian. 2) Suka melucu.

3) Suka menilai kemudian memprediksi secara tepat pada suatu perilaku yang belum jelas.

c. Other directed self present, yaitu kemampuan untuk memainkan peran seperti apa yang diharapkan oleh orang lain dalam suatu situasi sosial, kemampuan untuk menyenangkan orang lain dan kemampuan untuk tanggap terhadap situasi yang dihadapi. Ciri-cirinya adalah: 1) Berusaha untuk menyenangkan orang lain.

2) Berusaha untuk tampil menyesuaikan diri dengan orang lain (conformity). 3) Suka menggunakan topeng untuk menutupi perasaannya.

Kemampuan individu dalam menampilkan dirinya sesuai dengan tuntutan dari lingkungan sosialnya dan sejauh mana individu mementingkan faktor-faktor eksternal maupun internal dalam berperilaku dapat dilihat melalui self monitoring. Komponen-komponen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Expressive self control, Social Stage Presence, dan Other directed self present. Komponenkomponen yang dikemukakan oleh Briggs & Cheek ini lebih lengkap dan tepat untuk digunakan dalam penelitian ini dibandingkan dengan komponen-komponen lain yang dikemukakan oleh tokoh lain karena merupakan hasil memperbaiki dan menyempurnakan pendapat tokoh lain.

2.2.2 Ciri-ciri Self Monitoring

(17)

monitoring tinggi biasanya sangat memperhatikan penyesuaian tingkah lakunya pada situasi sosial dan hubungan interpersonal yang dihadapinya.

Snyder (Baron & Byrne, 1997, h.169) menambahkan bahwa individu dengan self monitoring tinggi mampu untuk menyesuaikan diri pada situasi dan mempunyai banyak teman serta berusaha untuk menerima evaluasi positif dari orang lain. Singkatnya, individu dengan self monitoring tinggi cenderung fleksibel, penyesuaian dirinya baik dan cerdas sehingga cenderung lebih cepat mempelajari apa yang menjadi tuntutan di lingkungannya pada situasi tertentu (Wrightsman & Deaux, 1981, h.100).

Selanjutnya, Snyder & Cantor (Fiske & Taylor, 1991, h.534) menyatakan bahwa individu dengan self monitoring tinggi juga sangat sensitif terhadap norma sosial dan berbagai situasi yang ada di sekitarnya sehingga dapat lebih mudah untuk dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Hal ini mencerminkan bahwa individu dengan self monitoring yang tinggi cenderung peka terhadap aturan-aturan yang ada di sekitar dirinya sehingga selalu berusaha untuk menampilkan dirinya sesuai dengan tuntutan situasi (Brehm & Kassin, 1993, h.87). Sejalan dengan pendapat tersebut, Hoyle & Sowards (Baron & Byrne, 1997, h.169) menyatakan bahwa individu dengan self monitoring tinggi cenderung melakukan analisis terhadap situasi sosial dengan cara membandingkan dirinya dengan standar perilaku sosial dan berusaha untuk mengubah dirinya sesuai dengan situasi saat itu.

(18)

h.172).Hal ini mencerminkan bahwa individu dengan self monitoring rendah tidak berusaha untuk mengubah perilakunya sesuai dengan situasi dan tidak tertarik dengan informasi-informasi sosial dari lingkungan di sekitarnya.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki self monitoring tinggi menunjukkan ciri-ciri tanggap terhadap tuntutan dari lingkungan di sekitarnya, memperhatikan informasi sosial yang merupakan petunjuk baginya untuk menampilkan diri sesuai dengan informasi atau petunjuk tersebut, mempunyai kontrol yang baik terhadap tingkah laku yang akan ditampilkan, mampu menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk berperilaku dalam situasi-situasi yang penting, dan mampu mengendalikan diri, mengubah perilaku serta ekspresif. Sebaliknya, individu yang memiliki self monitoring rendah menunjukkan ciriciri kurang tanggap terhadap situasi-situasi yang menuntutnya untuk menampilkan dirinya, kurang memperhatikan pendapat orang lain dan kurang memperhatikan informasi sosial, kurang dapat menjaga dan suka mengabaikan penampilannya, kurang berhasil dalam menjalin hubungan interpersonal, perilaku dan ekspresi diri lebih dipengaruhi oleh pendapat dirinya pada situasi sekitarnya.

2.2.3 Pengukuran Self-Monitoring

Alat ukur untuk tingkat self-monitoring menggunakan The Self-monitoring Scale yang disusun oleh Snyder dan Gangestad (1986) yang terdiri dari tiga aspek, yaitu : kontrol penampilan diri (exspresive self‐control), pementasan pertunjukan sosial (social stage presence), penyajian kesesuaian diri (other directedness self‐presentation. Skala ini terdiri dari 36 item, dimana komponen expressive self control terdiri dari 12 item; komponen social stage presence terdiri dari 12 item; dan komponen other directed self present terdiri dari 12 item .

2.3 Orientasi Masa Depan

(19)

Gjesme (dalam Oner, 2000a) menyebutkan tentang empat faktor dalam orientasi masa depan secara umum, yaitu involvement, anticipation, occupation, dan speed. Involvement merupakan derajat di mana individu fokus pada suatu peristiwa tertentu. Anticipation menentukan seberapa mantap kesiapan individu menghadapi kejadian di masa depan. Occupation adalah jumlah waktu yang diluangkan individu untuk memikirkan masa depannya. Speed merupakan kecepatan individu dalam mempersepsikan pendekatan yang dilakukan untuk mencapai masa depan (Gjesme, dalam Chak, 2007)

Dalam memahami konteks yang digunakan dalam orientasi masa depan, Gjesme (dalam Oner, 2000a) mengemukakan perbedaan antara orientasi masa depan seseorang secara umum dengan orientasi masa depan seseorang pada situasi tertentu. Menurut Gjesme, tinggi atau rendahnya skor orientasi masa depan seseorang yang diukur pada situasi tertentu, tidak selalu menunjukkan posisi orang tersebut dalam istilah orientasi masa depan. Skor ini mungkin hanya merefleksikan orientasi individu pada situasi tertentu saja. Berdasarkan hal tersebut, Gjesme menegaskan pentingnya penggunaan acuan umum dalam memahami orientasi masa depan.

Di lain pihak, pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Oner (2000a). Menurutnya, pengukuran orientasi masa depan dapat dilakukan pada situasi tertentu. Beberapa aspek pada konsepsi orientasi masa depan tidak selalu bisa diamati dalam analisis umum saja, melainkan perlu adanya analisis pada konteks tertentu. Salah satu konteks pada situasi tertetu adalah orientasi masa depan pada hubungan romatis.

2.3.1 Orientasi Masa Depan Hubungan Romantis (FTORR)

Oner (2000a) mengemukakan bahwa orientasi masa depan pada hubungan romantis berbeda dari orientasi masa depan pada umumnya. Future time orientation in romantic relationships is tendencies to seek temporary or permanent relationships with the opposite sex (Oner, 2000a). Orientasi masa depan pada hubungan romantis (selanjutnya akan disebut sebagai FTORR) merupakan kecenderungan untuk mencari hubungan sementara atau permanen dengan lawan jenis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Oner (2000b), ditemukan dua skala faktor, yaitu permanent relationships seeking dan future relationship focus.

(20)

mencermikan kecenderungan hubungan permanen, sedangkan skor rendah mencerminkan kecenderungan pada hubungan yang sementara. Selanjutnya, faktor future relationship focus mengindikasikan pada investasi dan keterlibatan individu dalam menentukan masa depan hubungan yang dijalani. Skor tinggi pada faktor ini mencermikan perhatian atau kepentingan yang tinggi pada masa depan hubungan, sedangkan skor rendah mencermikan rendahnya perhatian individu pada masa depan hubungan yang sedang dijalani.

Selain kedua faktor di atas , terdapat pula beberapa hal lain yang juga dapat mempengaruhi FTORR, di antaranya pengalaman berpacaran, kepuasaan dalam hubungan, kecemburuan, dan gender. Yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah orientasi masa depan pada konteks yang lebih khusus, yaitu pada hubungan romantis.

2.3.2 Orientasi Masa Depan Hubungan Romantis (FTORR) pada Dewasa Muda Sehubungan dengan tugas perkembangannya, yaitu pembentukkan gaya hidup dan keluarga, pada tahap dewasa muda terjadi pengambilan keputusan seputar pemilihan gaya hidup dan hubungan intim dengan pasangan. Bersamaan dengan itu, dewasa muda juga juga mulai memutuskan tentang pembinaan keluarga, seperti pernikahan dan anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Kesemua hal ini berkaitan erat dengan penetapan, perencanaan, dan pengambilan keputusan mengenai kehidupan di masa depan.

(21)

2.4 Kerangka Berpikir

Cinta merupakan salah satu aspek yang penting bagi dewasa muda dalam menjalin hubungan romantis. Cinta dapat menjadi penentu kualitas hubungan romantis pada dewasa muda. Terkait dengan keputusan dewasa muda untuk menjalin hubungan romantis, cinta mungkin dapat berpengaruh terhadap kecenderungan individu untuk memutuskan apakah dewasa akan menjalin hubungan jangka pendek atau jangka panjang. Kecenderungan individu untuk menjalin hubungan jangka pendek atau jangka panjang. Kecenderungan individu untuk menjalin hubungan jangka pendek atau jangka panjang dinamakan sebagai FTORR.

Dari berbagai penelitian mengenai tujuan dan sasaran dalam hubungan romantis, Reeder (2008) menyimpulkan bahwa pengetahuan tentang tujuan dan sasaran ini membantu individu untuk memahami dan mengingat interaksi manusia dengan lebih baik. Sejalan dengan calon pasangan hidup masa depan, pengertian mengenai tujuan dan sasaran akan membantu dalam meramalkan dan mengatur interaksi kita dengan pasangan kita (Dennet, dalam Reeder 2008).

Selanjutnya, dalam penelitian mengenai orientasi masa depan pada hubungan romantis, Oner (2000a) menemukan bahwa semakin tinggi kebutuhan atau perhatian seseorang terhadap komitmen masa depan, semakin rendah kepuasan orang tersebut terhadap hubungan yang dijalani. Preferensi terhadap komitmen jangka panjang dalam meningkatkan harapan dalam suatu hubungan dan membuat individu menjadi lebih waspada terhadap hubungan yang sedang dijalani atau dalam memulai hubungan baru.

(22)

Bila dikaitkan dengan tahap perkembangan dewasa muda, terutama pada dewasa muda awal seperti mahasiswa, sedikit banyak dari mereka berada dalam tahap membangun hubungan percintaan, yang dapat mengarah pada hubungan romantis, baik jangka panjang ataupun jangka pendek. Untuk itu orientasi masa depan pada hubungan romantis, tidak dapat hanya dilihat dari sisi komitmennya saja tetapi juga dari sisi intimacy dan passion. Hal ini disebabkan untuk dapat memutuskan tentang masa depan hubungan romantis yang dijalani, individu perlu memahami tentang cinta yang dimiliki, sebagaimana cinta itu diuraikan melalui tiga komponen cinta, yaitu intimacy, passion dan commitment.

Individu law self monitoring adalah individu yang dianggap lebih konsisten dan teguh pada prinsip, bertingkah laku berdasarkan faktor internal, seperti keyakinan, sikap, dan nilai yang mereka anut. Sedangkan individu dengan high self-monitoring memiliki karakteristik yang fleksibel, bersifat situasional, peka terhadap keinginan orang lain, dan dengan demikian, mereka lebih cenderung untuk memodifikasi presentasi diri mereka. Sebuah penelitian yang dilakukan Oner (2002) menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara self-monitoring dan future time orientation in romantic relationship (FTORR). Ini menandakan bahwa partisipan dengan law self-monitoring menunjukkan orientasi masa depan yang lebih panjang dalam hubungan romantis dibandingkan partisipan dengan high self-monitoring. Komitmen yang lebih tinggi yang dimiliki oleh individu dengan law self-monitoring dan kecenderungan untuk tampil apa adanya tanpa manipulasi menjadi faktor yang mendukung terciptanya hubungan romantis yang lebih permanen pada individu dengan law self-monitoring.

(23)

individu low self monitoring (Ickes dan Barnes, 1977 dalam Prihatini, 1988). Namun berbeda halnya dalam hubungan romantis. Individu dengan low self-monitoring cenderung memiliki hubungan romantis yang lebih permanen dibandingkan individu dengan high self-monitoring karena mereka lebih berkomitmen dan tampil apa adanya.

The right person in the right place at the right time” adalah sebuah kalimat yang menggambarkan individu dengan high self-monitoring yang tinggi (Snyder 1995 p.36, dalam Buyuksahin, 2008). Mereka menggambarkan diri mereka sebagai orang-orang yang fleksibel, mudah beradaptasi dan beberapa perilakunya seringkali menunjuk pada faktor-faktor situasional (Snyder, 1976 dalam Prihatini, 1988). Sedangkan individu dengan law self-monitoring melihat diri mereka sebagai orang-orang yang lebih konsisten dan teguh pada prinsip dibandingkan kelompok individu high self-monitoring, serta memberikan penjelasan-penjelasan yang menunjuk faktor-faktor disposisional untuk perilaku-perilaku mereka (Snyder, 1974, 1979 dalam Prihatini, 1988). Mereka bertingkah laku berdasarkan faktor internal, seperti keyakinan, sikap, dan nilai yang mereka anut (Gangestad & snyder, 1985; Snyder & Ickes, 1985 dalam Baron, 2003). Individu high self monitoring dianggap unggul karena mampu memperlihatkan keterampilan sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu low self monitoring (Ickes dan Barnes, 1977 dalam Prihatini, 1988). Namun berbeda halnya dalam hubungan romantis. Individu dengan low self-monitoring cenderung memiliki hubungan romantis yang lebih permanen dibandingkan individu dengan high self-monitoring karena mereka lebih berkomitmen dan tampil apa adanya.

Berdasarkan hal tersebut maka peneliti berasumsi bahwa ada

pengaruh yang signifikan antara cinta dan self-monitoring terhadap

orientasi masa depan hubungan romantis terhadap dewasa muda yang

(24)

Gambar

Skema Kerangka Berpikir “Cinta dan Self Monitoring terhadap

Orientasi Masa Depan Hubungan Romantis pada Dewasa Muda

Berpacaran”

LOVE

Self- Monitoring

Intimacy

Passion

Commitment

Expressive self control

Social stage presence

Other directed present

Faktor Demografis Jenis Kelamin

(25)

2.5. Hipotesis

2.5.1 Hipotesis mayor

H0 : Ada pengaruh yang signifikan antara cinta dan self-monitoring terhadap orientasi masa

depan hubungan romantis pada dewasa muda berpacaran.

2.5.2 Hipotesis minor

H1 : Ada pengaruh yang signifikan antara intimacy terhadap orientasi masa depan

hubungan romantis pada dewasa muda berpacaran.

H2 : Ada pengaruh yang signifikan antara passion orientasi masa depan hubungan

romantis pada dewasa muda berpacaran.

H3 : Ada pengaruh yang signifikan antara commitmen terhadap orientasi masa depan

hubungan romantis pada dewasa muda berpacaran.

H4 : Ada pengaruh yang signifikan antara Expressive self control terhadap orientasi masa

depan hubungan romantis pada dewasa muda berpacaran.

H5 : Ada pengaruh yang signifikan antara Social stage presence terhadap terhadap

orientasi masa depan hubungan romantis pada dewasa muda berpacaran.

H6 : Ada pengaruh yang signifikan antara Other directed present terhadap terhadap

orientasi masa depan hubungan romantis pada dewasa muda berpacaran.

H7 : Ada pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin terhadap terhadap orientasi masa

(26)

BAB 3

METODE PENELITIAN

Bab ini terdiri dari enam subbab yang membahas mengenai populasi dan sampel, variabel penelitian, instrumen pengumpulan data, uji validitas dan realibilitas, teknik analisis data, dan prosedur penelitian.

3.1 Populasi dan Sampel

Dalam penelitian ini, populasi yang akan diteliti adalah dewasa muda yang sedang berpacaran. Peneliti memilih kelompok populasi ini berdasarkan tugas perkembangan pada tahap perkembangan dewasa muda, yaitu membina intimacy dengan “love” sebagai virtunya (Erikson, dalam Papalia 2007).

Namun demikian, mengingat besarnya jumlah populasi dewasa muda dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh peneliti, maka sulit kiranya untuk melakukan penelitian terhadap seluruh populasi tersebut. Untuk itu, peneliti memperkecil jumlah partisipan dari populasi dengan cara mengambil sampel penelitian. Dalam penelitian ini, sampel penelitian yang akan digunakan adalah dewasa muda yang sedang berpacaran dan bertempat tinggal di Jabotabek. Alasan pemilihan sampel adalah karena kemudahan serta kesesuaian usia partisipan dengan tahapan perkembangan dewasa muda, yaitu usia 20-40 tahun (Papalia, 2007).

(27)

pada penelitian ini, kemudian diminta kesediaannya untuk mengisi kuesioner.

3.2 Variabel Penelitian

3.2.1 Identifikasi Variabel

Pada penelitian ini yang menjadi variabel terikat (dependent variable)

adalah orientasi masa depan hubungan romantis. Sedangkan variabel

bebasnya (independent variable) yaitu cinta dan self-monitoring.

3.2.2 Definisi operasional variabel

Adapun definisi operasional untuk ketiga variabel ini adalah:

1. Independent Variabel (X1): Cinta

Definisi operasional: perfeksionisme yang dimaksud yaitu jumlah

skor dari skala cintayang diperoleh dari keseluruhan item-item skala

cinta mengenai suatu emosi positif yang paling intens dan paling diinginkan oleh

setiap orang. Adapun indikatornya yaitu: intimacy, passion dan

commitment.

2. Independen Variabel (X2): Self-Monitoring

Definisi operasional: Self-monitoring yang dimaksud yaitu jumlah

skor dari skala self-monitoring mengenai konsep yang berhubungan dengan

konsep pengaturan kesan (impression management) atau konsep pengaturan diri Adapun indikatornya yaitu: Expressive self control, Social Stage Presence, dan

Other directed self present.

3. Dependent Variabel (Y): Orientasi masa depan hubungan romantis. Definisi operasional: orientasi masa depan hubungan romantis yang

(28)

hubungan romantis mengenai kecenderungan untuk mencari

hubungan sementara atau permanen dengan lawan jenis.

3.3 Pengumpulan Data

3.3.1 Instrumen Pengumpulan Data

1. Skala Cinta

Untuk mengukur komponen cinta, alat ukur yang digunakan adalah

The Sternberg Triangular Love Scale” milik Robert J. Sternberg (1987).

Alat ukur ini berisi 45 pernyataan yang terbagi ke dalam tiga subdimensi,

yaitu 15 pernyataan untuk komponen intimacy, 15 pernyataan untuk

komponen passion, dan 15 pertanyaan sisanya untuk komponen

commitment. Respon partisipan akan dihitung berdasarkan enan skala

respon, yaitu angka 1 untuk respon “sangat tidak sesuai”, angka 2 untuk

respon “tidak sesuai”, angka 3 untuk respon “agak tidak sesuai”, angka 4

untuk respon “agak sesuai”, angka 5 untuk respon “sesuai”, dan angka 6

untuk respon “sangat sesuai”

Skor partisipan akan dapat didapat dengan cara menjumlahkan

setiap rating dari masing-masing komponen, sehingga akan didapatkan

tiga skor yang berbeda, masing-masing skor untuk komponen intimacy,

passion, dan commitment. Kemudian ketiga skor tersebut dijumlahkan

(29)

Tabel 3.1

Blue Print Skala Cinta

Komponen Indikator Contoh Item

Intimacy

Baik untuk siapapun Saya merasa bahwa saya

memahami pasangan saya

Baik untuk saya Saya mendapatkan dukungan

emosi yang memadai dari

pasangan saya Aspek yang dapat

membuat pasangan

spesial

Pasangan saya dapat

mengandalkan saya kapanpun

dubutuhkan

Passion

Romansa Sepanjang hari, saya memikirkan

tentang pasangan saya

Ketertarikan fisik Saya menikmati kontak fisik yang

terjadi antara saya dan pasangan

saya

Kepuasan seksual Hanya dengan melihat pasangan

saya membuat saya bergairah Commitment Aspek jangka pendek Saya tahu bahwa saya

memperhatikan pasangan saya Aspek jangka panjang Saya berkomitmen untuk

mempertahankan hubungan saya

dengan pasangan saya dengan

pasangan saya

(30)

Pembuatan skala Self Monitoring bertujuan untuk mengukur seberap tinggi-rendahnya tingkat Self Monitoring pada karyawan. Skala SM disusun berdasarkan komponen-komponen dari Briggs & Cheek (Snyder & Gangestad, 1986, h.126) :

a. Expressive self control, yaitu berhubungan dengan kemampuan untuksecara aktif mengontrol tingkah lakunya. Individu yang mempunyai self monitoring tinggi suka mengontrol tingkah lakunya agar terlihat baik.

b. Social Stage Presence, yaitu kemampuan untuk bertingkah laku yang sesuai dengan situasi yang dihadapi, kemampuan untuk mengubah-ubah tingkah laku dan kemampuan untuk menarik perhatian sosial.

c. Other directed self present, yaitu kemampuan untuk memainkan peran seperti apa yang diharapkan oleh orang lain dalam suatu situasi sosial, kemampuan untuk menyenangkan orang lain dan kemampuan untuk tanggap terhadap situasi yang dihadapi

Skala ini terdiri dari 36 item, dimana komponen expressive self control terdiri dari 12 aitem; komponen social stage presence terdiri dari 12 item; dan komponen other directed self present terdiri dari 12 item.

other directed self present Berusaha untuk menyenangkan orang lain.

Berusaha untuk tampil menyesuaikan diri dengan orang lain

(31)

menutupi perasaannya

3. Skala Orientasi Masa Depan Hubungan Romantis

Untuk mengukur orientasi masa depan hubungan romantis adalah “Future Time Orientation of Romantic Relatiionship Scale” milik Oner (2000). Alat ukur ini berisi 11 pernyataan dengan enam skala respon yaitu angka 1 untuk respon “sangat tidak sesuai”, angka 2 untuk respon “tidak sesuai”, angka 3 untuk respon “agak

tidak sesuai”, angka 4 untuk respon “agak sesuai”, angka 5 untuk respon

“sesuai”, dan angka 6 untuk respon “sangat sesuai”.

Tabel 3.3

Blue Print Skala orientasi masa depan hubungan romantis

Subdomain dan Indikator

Permanent Relationship Seeking (kecenderungan untuk mencari

hubungan sementara atau permanen)

Future Relationship Focus (berpusat

pada masa depan hubungan)

Investasi dini untuk masa depan Keterlibatan mengenai perencanaan

masa depan

3.4 Uji Validitas dan Realibilitas

3.4.1 Uji Validitas

Sebelum melakukan analisis data, peneliti melakukan pengujian terhadap

validitas konstruk alat ukur. Untuk menguji validitas konstruk digunakan

(32)

hal ini, yang dimaksud dengan teori adalah konsep bahwa seluruh item

mengukur satu hal yang sama (unidimensional) yaitu konstruk yang

diukur. Analisis faktor adalah alat analisis statistik yang dipergunakan

untuk mereduksi faktor-faktor yang mempengaruhi satu variabel menjadi

beberapa set indikator saja, tanpa kehilangan informasi yang berarti,

sehingga akan ada kemungkinan item tidak valid dan akan dibuang

sedangkan item yang valid akan dihitung dan digunakan dalam penelitian.

Melalui analisis faktor, akan didapatkan data variabel konstruk (faktor

skor) sebagai data input analisis lebih lanjut atau sebagai data penelitian.

Untuk menguji validitas alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini

peneliti menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) dengan bantuan

software Lisrel 8.70 (joreskog & Sorbom, 2004) dalam Mulia Iffatullah

2012 adapun langkah-langkah untuk mendapatkan kriteria item yang baik

pada CFA adalah sebagai berikut:

1. Dilakukan uji CFAdengan model satu faktor dan dilihat nilai

chi-square yang dihasilkan. Jika nilai chi-square tidak signifikan (P >

0,05) berari semua item hanya mengukur satu faktor saja. Namun

jika nilai chi-square signifikan (P < 0,05), maka perlu dilakukan

modifikasi terhadap model pengukuran yang diuji sesuai dengan

langkah kedua berikut ini:

2. Jika nilai chi-square signifikan (P < 0,05), maka dilakukan modifikasi

model pengukuran dengan cara membebaskan parameter berupa

korelasi kesalahan pengukuran. Ini terjadi ketika suatu item

mengukur selain konstruk yang ingin diukur. Item tersebut juga

(33)

konstruk/multidimensional). Setelah beberapa kesalahan

pengukuran dibebaskan untuk saling berkorelasi, maka akan

diperoleh model yang fit, maka model terakhir inilah yang akan

digunakan pada langkah selanjutnya.

3. Jika telah diperoleh model yang fit, maka dilakukan analisis item

dengan melihat apakah muatan faktor item tersebut signifikan dan

mempunyai koefisien positif.

4. Setelah dilakukan modifikasi terhadap model, maka dilakukan oleh

data untuk mendapatkan faktor skornya. Selanjutnya melakukan

pengolahan data menggunakan SPSS 20 dengan ketentuan tidak

mengikutsertakan skor mentah dari item yang di drop.

Terdapat kriteria item yang baik pada CFA, yaitu:

1. Menguji apakah item signifikan atau tidak mengukur apa yang

hendak diukur, dengan menggunakan t-test. Melihat signifikan

tidaknya item tersebut mengukur faktornya dengan melihat nilai t

bagi koefisien muatan faktor item. Perbandingannya adalah jika t >

1,96 maka item tersebut tidak akan didrop dan sebaliknya.

2. Melihat koefisien muatan faktor dari item. Jika item tersebut sudah

diskoring dengan favorable (pada skala model likert 1 – 4), maka

nilai koefisien muatan faktor harus bermuatan positif, dan

sebaliknya. Apabila item favorable, namun muatan faktor item

bernilai negatif, maka item tersebut akan didrop dan sebaliknya. 3. Terakhir, apabila kesalahan pengukuran item terlalu banyak

berkorelasi, maka item tersebut akan didrop. Sebab, item yang

demikian selain mengukur apa yang hendak diukur, ia juga

(34)

3.4.2 Uji reliabilitas

Reliabilitas menunjuk kepada taraf keterpercayaan atau taraf konsistensi

hasil ukur. Dari pengertian tersebut dapat diartikan bahwa reliabilitas

adalah sejauh mana instrumen menghasilkan pengukuran yang relatif

sama meskipun dilakukan dalam waktu yang berbeda. Untuk mencari nilai

estimasi reliabilitas dari instrimen penelitian yang digunakan, peneliti

menggunakan teknik Alpha Cronbach dalam perhitungannya adalah

dengan menggunakan program SPSS 20.

Tinggi atau rendahnya reliabilitas yang dihasilkan dilihat dari kaidah

reliabilitas Guilford dan pendapat Azwar (2006) dalam Putrie Indrayati

(2013) yang menyatakan bahwa semakin tinggi koefisien reliabilitas yang

mendekati 1,00 berarti semakin baik begitu juga sebaliknya. Hal tersebut

terlihat di bawah ini:

Tabel 3.4

Kaidah Reliabilitas Guilford

Koefisien Kriteria

>0,90 Sangat Reliabel

0,70 – 0,89 Reliabel

(35)

Gambar

Tabel 3.2

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengujian antara kadar antosianin dan warna pada permen jelly rosela memberikan nilai korelasi (r) yang tinggi untuk korelasi antara kadar antosianin dan parameter

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar Sales Promotion Girl Marlboro berpendapat bahwa mereka sangat setuju untuk selalu ingin terlibat membantu masalah

Dari hasil simulasi pada sistem distribusi radial IEEE 33-bus, hasil simulasi menunjukkan bahwa Metode Newton Raphson dapat digunakan untuk menganalisis aliran

Penelitian yang dilakukan oleh Charles menunjukkan bahwa urutan bobot kategori dalam penilaian vendor adalah kualitas produk, pengiriman, harga, lokasi,

bahwa dengan berlakunya Peraturan Daerah Nomor 24 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Lain Provinsi Jawa Barat maka perlu diatur lebih lanjut Tugas

Pelatihan jaringan GRNN dengan input data debu diambil data ke t-1 dan data ke t-2, jaringan yang terbentuk terdiri dari dua unit input dengan masing-masing 92 data atau vektor

Rencana tindakan yang penulis susun adalah berikan klien dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal dengan rasional perubahan pada tekanan intrakranial dan dapat menyebabkan

Nasir dan Karakaya (2014) memberikan informasi bahwa faktor orientasi pada kesehatan, konsumsi yang bertanggung jawab secara sosial, tanggungjawab pada lingkungan serta nilai dan