BAB II
GAMBARAN UMUM ETNIS TIONGHOA DI LINGKUNGAN VII DAN VIII KELURAHAN KOTA BANGUN
2.1. Lokasi dan Keadaan Alam
Secara geografis Kelurahan Kota Bangun terletak di pinggiran Kota Medan, yang merupakan bagian dari Kecamatan Medan Deli, Provinsi Sumatera Utara. Yang terdiri dari 8 (delapan) lingkungan, kelurahan ini telah berdiri sejak
tahun 1957 yang hingga saat ini pertumbuhan penduduknya semakin bertambah padat seiring dengan berjalannya waktu. Kelurahan Kota Bangun berdiri atas
sebuah pemekaran dari Kelurahan Titi Papan. Hal ini karena diperlukannya perluasan pembangunan dengan membentuk kelurahan-kelurahan baru di daerah tersebut. Sebelum terjadi pemekaran, Kelurahan Kota Bangun merupakan sebuah
kampung yang dipimpin oleh perangkat desa yang dahulu disebut sebagai perangkat kampung yang bekerja secara sukarela dan dibentuk pertama kalinya
pada tahun 1974, oleh Ki Awaluddin Hadiluwih masyarakat buyut yang dipercaya sebagai pendiri Kelurahan Kota Bangun. Selanjutnya masyarakat-masyarakat asli Kelurahan Kota Bangun seperti, Bapak Kamaluddin (54 tahun) mulai mengisih
pekerjaan menjadi perangkat Kelurahan Kota Bangun tahun 1974 sebagai pegawai swasta. Dan akhirnya pada tahun 1981, terjadi pengangkatan status perangkat
kampung dari pegawai swasta menjadi pegawai negeri sipil untuk mengelola Kelurahan Kota Bangun tersebut. Selanjutnya lurah yang pertama kali menjabat di Kelurahan Kota Bangun ini adalah Ok Ki Penyok Awali.
Kelurahan Kota Bangun ke Ibukota Kotamadya/Kabupaten ± 15 (lima belas) Km/jam jika menggunakan alat transportasi umum seperti bus dan angkutan
umum lainnya, dan sedangkan jarak tempuh dari Kelurahan Kota Bangun ke Ibukota Propinsi juga jika menggunakan alat transportasi umum seperti bus dan angkutan umum lainnya, ± 15 (lima belas) Km/jam. Dalam hal ini Kelurahan Kota
Bangun, Kecamatan Medan Deli, Kotamadya Medan memiliki batas-batas wilayah yang dapat menghubungkan antara kelurahan yang satu dengan kelurahan
yang lainnya seperti.
1. Sebelah Utara Berbatasan dengan Kelurahan Titi Papan 2. Sebelah Selatan Berbatasan dengan Helvetia dan Brayan
3. Sebelah Barat Berbatasan dengan Kelurahan Karang Berombang 4. Sebelah Timur Berbatasan dengan Industri KIM II dan Mabar.
Kelurahan Kota Bangun memiliki luas wilayah ± 250 Ha. Dari luas wilayah Kelurahan Kota Bangun tersebut memiliki penduduk yang tersebar diberbagai lingkungan yang ada di Kelurahan Kota Bangun ini. Sesuai dengan
data yang ada, pada bulan april tahun 2012 penduduk Kelurahan Kota Bangun berkisar 14.262 jiwa. Penduduk sebanyak itu tersebar dari lingkungan satu sampai
lingkungan delapan4
. Yang menjadi tempat pemukiman petani Cina Kebun Sayur dalam fokus penelitian ini berada di lingkungan VII dan VIII. Walaupun Kelurahan Kota Bangun adalah sebuah Kelurahan kecil yang terletak di pinggiran
Kota Medan. Kelurahan Kota Bangun tidak hanya menjadi sebuah kelurahan yang tertinggal dalam bidang pembangunan. Pada saat sekarang ini, Kelurahan Kota
munculnya industri-industri rumahan di Kelurahan Kota Bangun itu sendiri. Seperti, rumah makan, grosir eceran, pertokoan dan lain sebagainya, menjadikan
kelurahan ini tetap bertumbuh pesat seiring berjalannya waktu. Kelurahan Kota Bangun dapat dijadikan sebagai daerah yang memiliki potensi wisata, seperti wisata Kebun Sayur yang dikelola langsung oleh petani Cina kebun sayur itu
sendiri, dan juga daerah Kelurahan Kota Bangun ini merupakan kawasan sejarah datangnya etnis Tionghoa di Kelurahan Kota Bangun pada masa Kolonial Belanda
saat itu. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Amirudin (52 tahun), beliau mengatakan bahwa nama Kota Bangun sendiri adalah sebuah nama yang diambil dari masyarakat datuk besar yang memiliki ilmu pada masa itu yakni Datuk Kota
Bangun. Menurut Beliau, bahwa dahulu Guru Patimpus pernah berguru dengan Datuk Kota Bangun tersebut. Selain potensi wisata sejarah, Kelurahan Kota
Bangun juga dapat menjadi sebuah ikon wisata alam. Dimana terdapat beberapa daerah yang sebenarnya masih asri, walaupun Kelurahan Kota Bangun berada pada posisi jalan lintas menuju Belawan. Misalnya saja pada lingkungan VII dan
VIII. Pada lingkungan ini terdapat areal pertanian yang di diami oleh masyarakat ber-etnis Tionghoa.
Lingkungan yang asri dengan sepanjang jalan yang dihiasi penampang sayur di kanan dan di kiri jalan. Dengan penampang hijau khas tanaman yang mereka tanam, menghiasi setiap rumah-rumah mereka yang sederhana dan bersih.
Walaupun tidak begitu banyak pepohonan besar yang menghiasi daerah tersebut, namun di lingkungan VII dan VIII ini masih tetap segar untuk dijadikan suatu
yang tidak dibuat-buat. Keramahan yang menjadikan ciri khas mereka sebagai etnis Tionghoa di Kelurahan Kota Bangun ini.
Salah satu kunci keramahan etnis Tionghoa tersebut adalah sebuah proses akulturasi antara budaya etnis Tionghoa dengan budaya etnis pribumi seperti Jawa. Koenjaraningrat (2002) mengungkapkan bahwa akulturasi adalah sebuah
proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu, dihadapkan dengan unsur budaya asing dengan sedemikian rupa sehingga
suatu kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah dalam kebudayaan sendiri tanpa menghilangkan budaya sendiri. Etnis Tionghoa mengadopsi keramahan yang dimiliki oleh etnis Jawa tanpa kehilangan identitas mereka
sebagai etnis Tionghoa dengan logat dan cara mereka bertutur.
Menurut beberapa informasi, proses akulturasi yang terjadi tidak hanya
sampai pada tahap tingkat adopsi sebuah nilai. Namun proses tersebut menjalar sampai pada tahap silang budaya. Dimana beberapa dari mereka yang etnis Tionghoa bukanlah etnis Tionghoa asli lagi, walaupun masih kental dengan
bahasa dan logat mereka ketika berbicara. Etnis Tionghoa ini juga telah memiliki keturunan dengan etnis pribumi seperti Jawa, Batak, dan lain-lainnya. Hal tersebut
terbukti bahwa banyak ditemukan dari mereka yang beretnis Tionghoa, yang identik dengan kulit putih dan bermata sipit tidak selalu berlaku disini, banyak diantara mereka yang tidak lagi berkulit putih dan bermata sipit. Bahkan mereka
sendiri sudah susah untuk di identifikasi, apakah ia Orang Jawa atau Orang Tionghoa. Karena dari sisi kulit dan wajah mereka lebih menyerupai Jawa atau
tetap memiliki kesamaan dengan etnis lainnya. Maka tidak perlu heran jika di Kelurahan Kota Bangun ini terlihat jelas bagaimana harmonisasi, hormat
menghormati antara etnis Tionghoa dengan etnis lainya berjalan dengan baik sampai sekarang ini. Namun ketika saya datang dan berkunjung di kediaman Bapak Billy (50 tahun), terlihat jelas bagaimana simbol-simbol etnis Tionghoa
tersebut tidak lepas dari sisi rumahnya sebagai tempat pemujaan mereka terhadap dewa dewinya. Pertanyaan muncul ketika saya mencoba mengidentifikasi etnis
Tionghoa di Kelurahan Kota Bangun ini, dari mana sebenarnya asal mereka sehingga pertumbuhan mereka telah bertambah setiap tahunnya. Dan Sejak kapan mereka bermukim disini dan lain sebagainya hingga bagaimana mereka bisa
bertahan sampai sekarang ini, hal tersebut akan terjawab di dalam sejarah kedatangan mereka seperti di bawah ini.
2.2. Sejarah Etnis Tionghoa di Lingkungan VII dan VIII Kelurahan Kota Bangun
Masyarakat etnis Cina/Tionghoa sebenarnya sudah ada di Indonesia ini sejak berabad-abad yang lalu. Mereka telah melebur menjadi ‘warga setempat’
yang memiliki kisah pasang surut sejarah panjang di Indonesia, meski tak selalu mulus. Sebab, adalah suatu fakta sejarah yang tak terbantah, bahwa warga etnis
Cina adalah pendatang (terlepas dari kenyataan bahwa kedatangannya terjadi berabad-abad yang lampau, sehingga keberadaannya bukan lagi hal yang baru). Fakta sejarah ini tak bisa dihapus dan harus diterima sebagai bagian dari integral
kehidupan dan keberadaan masyarakat Cina di Indonesia.
Leluhur masyarakat Tionghoa-Indonesia telah berimigrasi secara
menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian
menyuburkan perdagangan dan arus lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan begitu juga sebaliknya. Awal mula kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia, termasuk juga kedatangannya di Sumatera Utara yang nantinya akan
menyebar keberbagai wilayah di Sumatera Utara termasuk di Kelurahan Kota Bangun. Dimulai pada masa kejayaan Kerajaan Kutai di pedalaman Kalimantan,
atau tepatnya di Kabupaten Kutai, yang daerahnya kaya akan hasil tambang emas dari situlah mereka dibutuhkan sebagai pandai perhiasan emas. Karena kebutuhan akan emas semakin meningkat, maka didatangkan emas dari Cina daratan,
disamping itu dan sejalan juga dengan itu ikut dalam kelompok tersebut para pekerja pembuat bangunan dan perdagangan. Mereka telah bermukim menyebar
mulai dari Kabupaten Kutai, Sanggau Pontianak dan daerah sekitarnya.5
Beberapa bukti peninggalan zaman dahulu yang menyebutkan tentang kedatangan etnis Tionghoa ada, baik di Indonesia maupun di negeri Cina. Pada
prasasti-prasasti yang berasal dari Jawa menyebutkan bahwa masyarakat Cina adalah warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari
berbagai Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan suatu kerajaan di Jawa (“To lo mo”)
dan I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Budha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta terlebih dahulu. Di Jawa ia
berguru pada masyarakat bernama Jñânabhadra dalam suatu prasasti perunggu
5
bertahun 860 dari Jawa Timur disebut sebagai suatu istilah Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus masyarakat-masyarakat Tionghoa yang tinggal di
sana.
Kedatangan etnis Tionghoa pada masa lampau tujuan utamanya adalah untuk berdagang. Mereka memasarkan dagangannya di Indonesia serta bermukim
bertempat tinggal di Indonesia. Saat mereka bermukim itulah etnis Tionghoa lambat laun berbaur menjadi satu dengan warga pribumi. Dengan kata lain suatu
proses pembauran pun terjadi. Untuk daerah Sumatera Utara kedatangan etnis Tionghoa tidak sekedar untuk berdagang, namun ada pula etnis Tionghoa yang bermukim dan membuka lahan ataupun bekerja sebagai buruh tani. Hal ini telah
tergambar ketika pada masa pendudukan Kolonial Belanda yang dimana pada saat itu dibutuhkan banyak buruh perkebunan untuk mengerjakan kebun-kebun milik
Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara ketika itu.
Hal ini pun sesuai dengan kondisi etnis Tionghoa di Kelurahan Kota
Bangun. Menurut penuturan yang diucapkan oleh Bapak Billy (50 tahun) masyarakat etnis Tionghoa yang bermukim di Kelurahan Kota Bangun, sudah ada
di tempat ini sejak tahun 1917. Sejak saat itu etnis Tionghoa di Kelurahan Kota Bangun sudah bercocok tanam. Oleh karena keberhasilan usahanya dalam bercocok tanam, pemerintah Kolonial Belanda pada masa itu memberikan hak
kepada etnis Tionghoa di Kelurahan Kota Bangun untuk memiliki sebidang tanah yang ditandai dengan sebuah surat LANDREFORM. Isi dari surat
Surat tersebut sah untuk mereka dengan berbagai kebebasan menanam apa saja dan bermukim, membangun rumah dan lain sebagainya. Pada saat itu
petani Tionghoa ini memilih untuk menanam sayur mayur. Oleh karena itulah muncullah pada saat itu sebuah ungkapan Cina kebun sayur, yang mengidentifikasikan diri sebagai etnis Cina/Tionghoa yang melakukan usaha
bercocok tanam sayur. Sampai sekarang keberadaan Cina kebun sayur di Kelurahan Kota Bangun ini terus bertahan dengan surat yang telah lama
dikeluarkan oleh pemerintah Kolonial Belanda, yang memberikan mereka hak untuk mengelola areal selama dua puluh lima (25) tahun. Ketika menjelang habisnya perjanjian tersebut, Indonesia telah merdeka yang tetap terdapat di dalam
surat perjanjian LANDREFORM. Dimana hak kepemilikan tanah akan menjadi hak etnis Tionghoa di Kelurahan Kota Bangun apabila telah mencapai dua puluh
lima (25) tahun. Menurut penuturan Bapak Billy (50 tahun), seharusnya etnis Cina di Kelurahan Kota Bangun sudah merasa aman dengan hak kepemilikan tanah atas berakhirnya perjanjian LANDREFORM tersebut. Namun pemerintah Indonesia
pada saat itu, tidak menanggapi hak-hak yang seharusnya mampu di akomodir dengan memberikan hak kepemilikan tanah kepada etnis Tionghoa yang telah dua
puluh lima (25) tahun mengerjakan tanah ini.
Sejak saat itu etnis Tionghoa kian masuk dalam ruang kehidupan mereka sendiri, termasuk usaha pertanian sayur mayur yang mereka buat sendiri. Begitu
juga dengan etnis Tionghoa di Kelurahan Kota Bangun masuk dalam ruang kehidupan sosial mereka sendiri. Rasa ketakutan mereka terhadap komunis pada
pasar-pasar umum. Alhasil mereka hanya menjual pada tempat-tempat yang menjadi basis etnis mereka. Bahasa hokkien yang biasa mereka gunakan, tidak
begitu bebas mereka gunakan lagi akibat dari trauma itu. Etnis Tionghoa Kelurahan Kota Bangun yang bermukim di lingkungan VII dan VIII, banyak yang menghabiskan waktu sehari-hari mereka di warung-warung. Warung inilah yang
menjadi pusat segala informasi tersebut, dengan tema pagi yang cerah, mereka selalu memulai obrolan pagi dengan duduk di warung-warung ini. Berteman kopi
dan beberapa sarapan pagi, obrolan tidak pernah putus mereka bincangkan hingga menghabiskan waktu sampai matahari benar-benar berada di tengah sebagai tanda waktu siang hari. Dengan ketersediaan pusat informasi ini mereka mengolah
segala bentuk informasi tersebut, termasuk membangun jaringan keluar dan lain sebagainya. Mereka hidup pada jaringan atau masyarakat-masyarakat yang itu-itu
saja, atau masyarakat-masyarakat yang telah mereka percaya dari golongan mereka sendiri untuk membuat berbagai suatu bentuk kerja sama. Termasuk dalam hal pertanian sayur mayur yang mereka lakukan.
2.3. Keadaan Penduduk di Kelurahan Kota Bangun
Berdasarkan hasil pengumpulan data yang saya peroleh dari kantor
Kelurahan Kota Bangun, Kecamatan Medan Deli. Secara keseluruhan jumlah penduduk yang terdapat di Kelurahan Kota Bangun pada tahun 2012 saat ini berjumlah 14.262 jiwa. Khusus di lingkungan VII jumlah penduduknya terdapat
375 Kepala Keluaraga (KK), sedangkan di lingkungan VIII jumlah penduduknya terdapat 215 Kepala Keluarga (KK). Dari jumlah penduduk tersebut dapat
Penduduk yang tinggal di lingkungan VII dan VIII Kelurahan Kota Bangun umumnya mayoritas bersuku bangsa Tionghoa, yang dahulu datang dari
luar Sumatera Utara. Hal tersebut terlihat bahwa etnis Tionghoa yang bermukim di Kelurahan Kota Bangun sudah ada di kelurahan ini sejak tahun 1917, dan hingga saat ini pertumbuhan etnis Tionghoa sudah berkembang dengan pesat.
Namun ada juga masyarakat Tionghoa yang tinggal di Kelurahan Kota Bangun sudah pergi merantau, ada yang merantau di sekitar Kota Medan dan ada juga
yang merantau keluar Kota Medan, seperti Pekan Baru, Panipahan, Kalimantan dan Jakarta. Selain di lingkungan VII dan VIII, di lingkungan lainnya terdapat juga suku-suku bangsa lain yang mendiami Kelurahan Kota Bangun ini,
diantaranya suku bangsa Melayu, Batak, Jawa, Cina, India dan suku bangsa lainnya. Untuk lebih jelasnya perbandingan jumlah penduduk berdasarkan suku
bangsa dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel I
Jumlah Perbandingan Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa
No. Suku Bangsa Jumlah/Jiwa
1. Melayu 3.590
2. Batak 2.841
3. Jawa 2.439
4. Cina (Tionghoa) 5.117
5. India (Tamil) 10
6. Suku Lainnya 265
Total 14.262
Sumber : Kantor Kelurahan Kota Bangun, KecamatanMedan Deli 2012.
dominasi suku bangsa tersebut berada di lingkungan VII dan VIII. Walaupun dominasi masyarakat Tionghoa di Kelurahan Kota Bangun paling banyak
jumlahnya, akan tetapi sampai sekarang ini sangat jarang terjadi konflik suku baik antara suku yang satu maupun dengan suku yang lainnya. Dan dalam fokus penelitian ini, saya fokuskan di lingkungan VII dan VIII.
2.3.1. Komposisi Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk di Kelurahan Kota Bangun, Kecamatan Medan Deli saat ini bejumlah 14.262 jiwa. Namun khusus di lingkungan VII jumlah penduduknya saat ini berjumlah 375 Kepala Keluarga (KK) terdiri dari 912 jiwa
jumlah laki-laki dan perempuan berjumlah 963 jiwa. Untuk lingkungan VIII jumlah penduduk saat ini berjumlah 215 Kepala Keluarga (KK), terdiri dari 610
jiwa laki-laki dan perempuan berjumlah 640 jiwa. Data tersebut saya peroleh dari Dokumen Kantor Kelurahan Kota Bangun dan kemudian saya kelola berdasarkan data yang ada.
2.3.2. Sistem Mata Pencaharian Hidup
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara yang telah saya lakukan sebelumnya, penduduk yang tinggal di lingkungan VII dan VIII memiliki sistem
mata pencaharian hidup yang beraneka ragam. Seperti bertani, buruh pabrik, pedagang, karyawan swasta dan lainnya yang mereka lakukan sehari-harinya. Hal
Tabel. II
Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian Hidup
No. Jenis Pekerjaan Jumlah %
1. Petani 80 %
2. Buruh Pabrik Industri 1 %
3. Pegawai Negeri Sipil -
4. TNI/POLRI -
5. Pedagang/Pengusaha 10 %
7. Karyawan Swasta 8 %
8. Dll 1 %
Jumlah 100 %
Sumber : Dokumen Kepala Lingkungan VII dan VIII.
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa, masyarakat terkhusus di lingkungan VII dan VIII Kelurahan Kota Bangun ini. Dengan tingkat mata
pencaharian yang paling tinggi adalah di sektor bertani dengan jumlah 80 % dari 368 Kepala Keluarga (KK) di lingkungan VII, dan 219 KK di lingkungan VIII.
Sedangkan buruh pabrik berjumlah 1 % dari 58 KK di lingkungan VII, dan 56 KK di lingkungan VIII. Disusul dengan Pedagang/Pengusaha berjumlah 10 %, dari 300 KK di lingkungan VII, dan 200 KK di lingkungan VIII. Sedangkan yang
menjadi Karyawan Swasta berjumlah 8 % dan lain-lainya 1 %. Secara turun temurun dalam keseharian masyarakat Cina di Kelurahan Kota Bangun ini, masih
tetap melakukan bertani seperti yang dilakukan nenek moyang mereka terdahulu. Adapun aktifitas pertanian yang mereka lakukan adalah bertani sayur mayur, sehingga masyarakat di Kelurahan Kota Bangun ini 80% mayoritas bermata
2.4. Sarana Fisik
2.4.1. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana menjadi hal yang mampu untuk membantu
setiap aktifitas yang dimiliki oleh setiap manusia. Terlepas dari apapun aktifitas tersebut, sarana menjadi hal yang penting untuk melakukan sebuah kegiatan sama halnya seperti sebuah instrument yang menentukan. Sarana
menjadi suatu hal yang vital bagi setiap orang, petani Cina kebun sayur sangat tahu akan hal tersebut, Akan pentingnya suatu perbaikan sarana
tersebut untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian maupun investasi di Kelurahan Kota Bangun ini. Berikut adalah sarana dan prasarana yang menjadi kebutuhan masyarakat Cina kebun sayur, khusus di lingkungan VII
dan VIII Kelurahan Kota Bangun.
Untuk itu masyarakat Cina kebun sayur di Kelurahan Kota Bangun
ini, tetap membangun sarana mereka secara bertahap dengan tujuan untuk tetap dapat bertahan hidup. Seperti membangun pola pemukiman, membangun sarana pendidikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan
mereka, membangun sarana ibadah untuk meningkatkan kesadaran mereka dalam memiliki keyakinan di dalam agama. Hingga tempat-tempat mereka
berbagi suka dan duka, serta informasi untuk memecahkan segala masalah di dalam kehidupan mereka masing-masing.
2.4.2. Sarana Pendidikan
Sarana pendidikan sangat dipercaya sebagai investasi masa depan
pada masa mendatang dapat meningkatkan taraf hidup mereka. Untuk itu pendidikan bagi masyarakat etnis Tionghoa Kelurahan Kota Bangun adalah
hal yang sangat terpenting dalam kehidupan mereka. Mereka akan lebih bangga ketika menyebutkan bahwa anak mereka berhasil menjadi orang yang sukses di kota, dari pada harus meneruskan kegiatan pertanian orangtuanya.
Hal ini telah terlihat dari sedikitnya para penerus ataupun kaum muda yang terlihat mengangkat cangkul ataupun sekedar memperhatikan sayur mayur.
Sebuah kebanggaan tersebut mengakibatkan para masyarakat maupun orang tua untuk mencoba berbagai cara bagaimana anaknya dapat bersekolah ataupun merantau di kota, untuk mencari sesuatu yang lebih baik dari
sebelumnya.
Untuk itu banyak Orangtua mereka yang menyekolahkan anaknya di
luar Kelurahan Kota Bangun dan menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah yang baik di Kota Medan. Sehingga sang anak dapat melihat dunia lebih luas dan berusaha untuk menjadi orang yang sukses dengan keadaan dunia yang
mereka lihat. Namun ada juga yang menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah di Kelurahan Kota Bangun seperti di Yayasan Perguruan Tsuji
Murni. Satu-satunya sekolah yang ada di lingkungan VII dan VIII. Yayasan Perguruan Tsuji Murni ini didirikan oleh masyarakat Tionghoa yang peduli dengan dunia pendidikan, karena dahulu warga Tionghoa tidak pernah
mendapatkan pendidikan yang tinggi seperti sekarang ini. Oleh sebab itu masyarakat Cina kebun sayur di Kelurahan Kota Bangun saat ini,
Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA).
Walaupun sekolah ini kecil dan terkesan sederhana, namun sekolah ini memiliki ruang yang komplek karena memiliki setiap jenjang pendidikan. Hal ini digunakan untuk memudahkan masyarakat Cina kebun sayur untuk
menyekolahkan anaknya dengan sistem membagi dua waktu. Yayasan Perguruan Tsuji Murni terus beroperasi hingga sekarang. Taman Kanak
Kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) yang belajar dari pukul 08.00 wib hingga pukul 12.00 wib siang. Disusul dengan SMP dan SMA pada siang hari hingga sore hari.
Selain menyekolahkan anaknya di sekolah Tsuji Murni, masyarakat Cina kebun sayur lebih memilih menyekolahkan anaknya disekolah luar yang
juga merupakan yayasan yang dimiliki oleh etnis Tionghoa. Ketakutan masa lalu dan tingkat kehati-hatian mereka tetap mereka jaga. Menurut penuturan Bapak Billy (50 tahun), banyak orang Cina kebun sayur ini lebih memilih
menyekolahkan anaknya disekolah etnis Cina dan lain-lainnya dari pada di sekolah pribumi dan bergabung dengan pribumi. Karena takut akan
menimbulkan konflik SARA.
2.4.3. Sarana Ibadah
Kegiatan beribadah menjadi hal yang sama pentingnya bagi masyarakat Cina kebun sayur yang tinggal di Kelurahan Kota Bangun ini.
Dimana hubungan antara tuhan yang mereka percaya selalu tetap terjaga dalam lindungan dan keuntungan. Mereka yang banyak beragama Tao dan
sendiri sebagai sarana dan kebutuhan mereka akan suatu keyakinan. Masyarakat Cina kebun sayur di Kelurahan ini memiliki keterikatan dengan
dunia kosmos mereka, dimana mereka sangat percaya dengan adanya campur tangan sang dewa-dewinya yang memberikan keberkahan, kelancaran rezeki, dan lain sebagainya. Untuk mewujudkan hal tersebut mereka membutuhkan
suatu Rumah ibadah sebagai sarana yang penting bagi kehidupan mereka dalam beribadah.
Rumah ibadah di Kelurahan Kota Bangun ini berjumlah tiga unit. Rumah ibadah yang mereka sebut dalam kesehariannya sebagai Vihara, Vihara ini berjarak tidak jauh dari pemukiman masyarakat Cina kebun sayur
di kelurahan itu yang saling berdekatan antara satu sama lain. Rumah ibadah tersebut terletak di lingkungan VIII. Menurut Ibu Tuti (47 tahun) masyarakat
Cina kebun sayur, berpendapat bahwa kedekatan Rumah ibadah tersebut bertujuan untuk memudahkan proses ibadah masyarakat yang ada di Kelurahan Kota Bangun khusus di lingkungan VII dan VIII. Mengingat
bahwa setiap dewa memiliki keterikatan satu sama lain. Jadi apabila masyarakat melaksanakan ibadah dan berdoa pada dewa dewi maka pintu
rezeki seseorang tersebut akan diberikan kemudahan dalam rezeki, dan seseorang juga dapat meminta pada dewa agar diberikan kehidupan yang layak. Selain rumah ibadah yang berbentuk besar, masyarakat Cina Kebun
Sayur di Kelurahan Kota Bangun ini juga memiliki tempat-tempat ibadah di rumah mereka masing-masing. Seperti adanya rumah datuk/pekong yang
penghormatan kepada leluhur dan kepada dewa dewi khususnya, maka akan dapat diberikan kesejahteraan dan diberikan kebahagiakan dalam kehidupan
mereka.
Keadaan religi masyarakat Cina kebun sayur, yang berhubungan dengan Yin dan Yang. Sebuah elemen-elemen yang mereka percaya
menguasai dunia ini. Elemen gelap dan terang, Yin dengan elemen terang yang disimbolkan dengan kehidupan yang terang bagi mereka yang percaya.
Seperti kehidupan sosial, pekerjaan dan sesuatu yang berbentuk nyata dan mampu untuk dilihat. Sedangkan yang berkaitan dengan elemen Yang adalah sebuah elemen yang disimbolkan dengan gelap di ibaratkan bahwa sesuatu
yang berbentuk religi, maka hal tersebut tidak akan tampak secara kasat mata dan hal tersebut dapat diyakini keberadaannya. Keyakinan tersebut yang
menjadi dasar sesungguhnya bagaimana religi dan kehidupan pada masyarakat Cina kebun sayur di Kelurahan Kota Bangun ini telah berlangsung, dimana rumah ibadah dan segala bentuk-bentuk religi menjadi
alat simbol dan bentuk komunikasi mereka terhadap dewa dewinya.
2.4.4. Sarana Angkutan
Kota Bangun adalah kelurahan yang diapit oleh dua jalan lintas menuju Belawan. Yakni jalan Yos Sudarso disebelah timur dan jalan Veteran
Helvetia di sebelah barat, jalan Yos Sudarso yang terletak disebelah barat tersebut adalah jalan lintas yang di sepanjang jalan terdapat beragam pabrik-
seperti makanan, pakaian, dan lain sebagainya. Kedua jalan ini mengapit Kelurahan Kota Bangun menuju kawasan Belawan.
Transportasi yang menghubungkan Kelurahan Kota Bangun dengan kelurahan lainnya adalah angkutan umum. Begitu banyak angkutan umum yang melintas di Kelurahan ini apabila masyarakat ingin bepergian. Angkutan
umum ini melintas dari berbagai daerah yang ada di Kota Medan ini. Misalnya saja Amplas, Padang Bulan, Delitua, Brayan, dan berujung di
daerah Belawan. Selain angkutan umum, kendaraan pribadi juga banyak menghiasi jalan-jalan di sepanjang Kelurahan Kota Bangun. Hal ini mengindikasikan bahwa Kelurahan Kota Bangun merupakan sebuah
kelurahan yang berkembang dengan tingkat pendapatan menengah kebawah. ditambah lagi dengan berkembangnya usaha-usaha kecil di daerah tersebut.
Masyarakat Cina kebun sayur juga memakai jasa transportasi dalam kehidupan sehari-harinya, mereka memiliki sepeda motor dan juga ada beberapa yang memiliki mobil pribadi. Namun tidak jarang juga masyarakat
Cina Kebun Sayur yang memakai jasa angkutan umum sebagai kendaraan mereka sehari-hari. Dengan keadaan seperti itu masyarakat Cina kebun sayur
dapat mengakses apa saja yang ingin mereka peroleh. Seperti informasi, dan lain sebagainya.
2.4.5. Sarana Informasi
Komunikasi menjadi hal yang penting bagi masyarakat Cina kebun sayur
sekedar untuk menjadi bahan obrolan sehari-hari. Masyarakat Cina kebun sayur memiliki ruang komunikasi yang mereka ciptakan sendiri ditengah komunitas
mereka sendiri. Ruang aktifitas tersebut mereka dapat dimana saja, apakah mereka dapat di jalan, di warung, di kebun sayur, atau diruang lainnya. Sehingga ruang tersebut menghadirkan segala bentuk informasi, karena masyarakat Cina Kebun
Sayur di Kelurahan Kota Bangun ini selalu setia dengan berbagai informasi yang mereka terima.
Kelurahan Kota Bangun khususnya di lingkungan VII dan VIII, memiliki perkembangan dalam bidang informasi komunikasi seperti telepon, handphone, televisi, internet dan radio. Sehingga menjadikan lingkungan ini tidak tertinggal
dari berbagai informasi yang mereka butuhkan. Sampai saat ini, hal tersebut telah memberikan dampak yang positif bagi masyarakat Cina kebun sayur khususnya di
Kelurahan Kota Bangun ini, sebagai penggerak perekonomian mereka sehari-hari. Misalnya saja dalam memasarkan hasil tanaman yang mereka tanam seperti sayur mayur, mereka harus mengetahui berapa harga sayuran dipasaran untuk mereka
jual nantinya dipasar. Selain itu kebutuhan masyarakat dalam informasi, menjadikan masyarakat tersebut dituntut agar lebih aktif dalam menerima
berbagai informasi untuk membangun jaringan bisnis mereka.
2.4.6. Pola Pemukiman Masyarakat
Petani Cina kebun sayur memiliki pemukiman yang bersahaja. Pola
pemukiman yang bersih dan diselingi dengan Kebun Sayur di pekarangan rumahnya. Petani Cina kebun sayur memanfaatkan setiap lahan yang mereka
Rumah yang sederhana dengan masih menggunakan papan mendominasi pemukiman petani Cina kebun sayur. Rumah-rumah tersebut berdiri dan tersebar
di dua lingkungan yang ada. Masyarakat Cina kebun sayur bukan masyarakat yang terlalu memperhatikan kondisi rumah mereka. Justru kesederhanaan dan harmonisasi masa lalu masih mereka pertahankan dari kondisi rumah mereka.
Cina kebun sayur memiliki investasi besar dengan adanya anak-anak mereka yang sukses dengan investasi barang-barang yang mereka miliki. Jadi kesederhanaan
mereka tidak selalu menggambarkan kemiskinan mereka.
Pemukiman Cina Kebun Sayur juga diisi oleh rumah-rumah yang mulai menggunakan beton dan model rumah-rumah modern. Rumah ini dihuni oleh
anak-anak mereka yang tinggal dan membangun rumah baru disana. Anak-anak tersebut mulai membuka usaha seperti panglong, ternak ayam, sampai
pengumpulan barang-barang bekas. Pemukiman Cina Kebun Sayur memiliki aturan sesuai dengan fengshui yang mereka yakini. Mereka yakin posisi rumah dapat menghasilkan rezeki yang bagus. Untuk itu tidak ada bentuk khusus untuk
Tabel.
Pola Pemukiman Masyarakat Di Kelurahan Kota Bangun
Berdasarkan tabel diatas, pola pemukiman masyarakat Cina banyak terdapat di lingkungan VII dan VIII, dahulu memang masyarakat Cina juga
banyak terdapat di lingkungan I dan lingkungan III. Namun karena masyarakat Cina telah banyak bercocok tanam, khususnya sayur mayur. Maka mereka menyebar dan bermukim di lingkungan VII dan VIII, karena tanah di daerah ini
subur dan memungkinkan untuk bercocok tanam sayur mayur. Sekitar 80 % dari 375 KK di lingkungan VII dan di lingkungan VIII 215 KK kehidupan mereka