• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI - Gambaran Family Matters Pada Remaja Tunadaksa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI - Gambaran Family Matters Pada Remaja Tunadaksa"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A . Family Matters

1. Defenisi

Konsep mattering didefenisikan sebagai sebuah persepsi mengenai

kebermaknaan individu didalam lingkungan sekitarnya (Elliot,2009). Seseorang dapat

memiliki persepsi ini terhadap orang-orang yang spesifik (contoh:teman, kekasih,

guru); institusi sosial (contoh: keluarga dan perusahaan); komunitas individu secara

keseluruhan ataupun masyarakat luas. Persepsi ini tidak selamanya harus dimiliki

oleh individu terhadap semua orang, namun hanya berlaku pada orang-orang yang

dianggap menjadi figur penting saja. Hal ini mengindikasikan bahwa

pengalaman-pengalaman mattering pada setiap individu berbeda-beda, karena adanya pengalaman-pengalaman

personal maupun pengalaman sosialisasi yang berbeda pula. Pengalaman-pengalaman

personal tersebut pada akhirnya membuat individu melakukan instropeksi terhadap

hubungan mereka dengan individu ataupun institusi lain sehingga membentuk suatu

persepsi tentang kebermaknaan mereka terhadap lingkungan.

Konsep mattering sepenuhnya bersifat kognitif. Berdasarkan hal tersebut maka

perkembangan kognitif individu memiliki pengaruh yang penting bagi pengalaman

mattering seseorang. Hal ini disebabkan seiring berkembangnya kemampuan kognitif

(2)

dalam menentukan pemahaman mengenai kebermaknaan itu sendiri. Ketika mattering

tidak tercapai khususnya pada figur yang dianggap penting, misalnya pada orang tua,

maka hal tersebut akan menjadi suatu bentuk penolakan diri yang mendalam pada

individu (Elliot,2009).

Konsep ini menjadi teori utama yang digunakan oleh peneliti dalam melihat

bagaimana persepsi remaja tunadaksa itu sendiri mengenai kebermaknaan mereka

dalam lingkungan, secara khusus didalam keluarga, berdasarkan indikator-indikator

yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya. Didalam penelitian digunakan istilah

family matters untuk merujuk kepada konsep mattering yang diaplikasikan didalam

kehidupan keluarga. Hal ini menjadi penting, mengingat interaksi ataupun perlakuan

dari lingkungan secara khusus keluarga, akan memberikan kontribusi terhadap

bagaimana individu memandang dirinya sendiri, terkait dengan keterbatasan yang

mereka miliki sebagai penyandang tunadaksa.

Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat disimpukan, bahwa family matters

merupakan konsep yang bersifat kognitif, yang dimunculkan dalam bentuk persepsi

mengenai kebermaknaan diri dalam lingkungan, secara khusus keluarga, yang

dipelajari berdasarkan pengalaman personal serta pengalaman sosialisasi.

2. Komponen Mattering

Terdapat tiga komponen yang menjadi indikator dalam melihat gambaran family

(3)

a. Awareness

Komponen ini melibatkan individu sebagai fokus bagi perhatian orang lain, yang

sepenuhnya bersifat kognitif. Seseorang akan merasa penting apabila orang lain

merealisasikan keberadaan mereka dan memandang mereka sebagai seorang individu

yang dapat dibedakan dari orang lain meskipun ditengah keramaian. Selain itu,

Komponen ini juga mengindikasikan reaksi yang dimunculkan oleh lingkungan,

misalnya keluarga, terhadap kehadiran partisipan serta keterlibatan partisipan

ditengah-tengah keluarga.

b. Importance

Komponen kedua dari mattering bersifat lebih kompleks, yang mengisyaratkan

sebuah hubungan antara individu dengan orang lain yang dianggap penting bagi

mereka. Ketika orang lain menyediakan dukungan secara emosional, mau melakukan

sesuatu agar apa yang diperlukan terpenuhi, atau turut merasa bangga dengan prestasi

yang dicapai, menginvestasikan waktu dan energi mereka untuk kebaikan individu,

maka hal tersebut mengindikasikan bahwa individu tersebut menjadi bagian yang

penting dalam dunia mereka.

c. Reliance

Pada komponen ini, seorang individu merasa bermakna jika orang lain melihat

diri individu tersebut sebagai individu yang dapat menjadi solusi bagi keperluan atau

(4)

Berdasarkan tiga komponen yang telah dikemukakan diatas, dapat disimpulkan

bahwa ketiga komponen ini sepenuhnya bersifat kognitif. Persepsi mengenai

kebermaknaan diri oleh individu muncul bila orang lain menyadari keberadaan

dirinya seutuhnya (awareness), menyediakan dukungan secara emosional,

menginvestasikan waktu, energi serta bersedia berkorban demi terpenuhinya apa yang

diperlukan (importance) serta apabila individu dapat menjadi solusi bagi keperluan

ataupun kebutuhan orang lain, misalnya dalam memberikan bantuan ataupun solusi

atas permasalahan orang lain (reliance).

3. Faktor Pendukung Mattering

Adapun faktor pendukung mattering yakni proses pemahaman diri

(self-understanding). Pemahaman terhadap diri menjadi bagian yang tidak terlepas dalam

tercapainya mattering. Para ahli sosial mengemukakan tiga proses utama yang

menciptakan suatu bentuk pemahaman terhadap diri sendiri.

a. Reflected Appraisal

Proses yang pertama yakni reflected appraisal, yang menegaskan bahwa konsep

diri secara mendalam dipengaruhi oleh bagaimana orang lain bereaksi terhadap

individu (Sullivan, 1947, dalam Elliot, 2009). Orang lain secara berkesinambungan

akan mengkomunikasikan seperti apa dan bagaimana individu tersebut dalam

pandangan mereka, dan secara tidak langsung pemahaman itu akan diinternalisasi

sehingga membentuk konsep diri individu. Proses ini memiliki kemungkinan menjadi

(5)

dianggap penting akan menentukan persepsi seberapa penting individu tersebut bagi

orang lain (Elliot, 2009).

b. Social Comparison

Proses lain dalam menciptakan suatu pemahaman terhadap diri sendiri yakni

melalui social comparison. Proses ini melibatkan bagaimana individu

membandingkan diri dengan orang lain dalam menentukan kesesuaian dengan orang

lain, apakah sama atau berbeda, lebih baik atau lebih buruk (Festinger, 1957, dalam

Elliot, 2009). Proses ini juga menjadi salah satu cara lain dalam menilai seberapa

penting individu tersebut bagi orang lain melalui bagaimana individu memaknai

kualitas hubungan yang dibangun individu dengan orang lain. Dengan kata lain

individu mendapatkan informasi yang bernilai mengenai dirinya sendiri melalui

proses ini.

c. Self Atribution

Proses ini lebih didasarkan pada observasi terhadap perilaku yang dimiliki oleh

seseorang dan situasi seperti apa yang mengakibatkan perilaku tersebut muncul, yang

disebut sebagai self-attribution. Melalui proses ini individu mempelajari sesuatu

mengenai dirinya sendiri dengan menaruh perhatian pada apa yang dilakukan (Bem,

1972, dalam Elliot, 2009). Proses ini juga dapat menjadi salah satu cara dalam

menilai mattering individu, misalnya dengan sekedar mengingat berapa kali individu

tersebut menanggapi permintaan akan dukungan emosional yang diperlukan orang

(6)

B. Tunadaksa

1. Defenisi

Tunadaksa didefenisikan sebagai suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai

akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya

yang normal, yang dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau pembawaan

sejak lahir (White House Conference, 1931, dalam Somantri,2006). Keadaan

tundaksa ini dapat menjadi suatu kondisi yang menghambat kegiatan inidividu akibat

gangguan ataupun kerusakan yang dialami sehingga dapat mengurangi kapasitas

normal individu untuk mengikuti pendidikan ataupun untuk berdiri sendiri.

Berdasarkan defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa tunadaksa merupakan

suatu kondisi, dimana individu memiliki keterbatasan secara fisik yang disebabkan

berbagai macam faktor seperti faktor keturunan, kesalahan ketika proses kelahiran,

penyakit ataupun peristiwa-peristiwa traumatik. Faktor-faktor penyebab diatas dapat

memiliki dampak yang berbeda-beda pada individu. Misalnya, individu yang

mengalami kondisi cacat sebagai hasil dari faktor keturunan ataupun kesalahan ketika

proses kelahiran , akan mengalami hambatan dalam kecakapan fungsi motoriknya.

Sementara itu, dampak secara psikologis lebih kuat terjadi pada individu yang

mengalami kondisi kecacatan ketika mencapai usia tertentu, dimana kondisi normal

pernah dialami, misalnya disebabkan oleh peristiwa-peristiwa traumatik

(7)

2. Klasifikasi Tunadaksa

Tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Koening, dalam Somantri

2006):

1. Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau merupakan keturunan, yakni:

a. Club-foot (kaki seperti tongkat)

b. Club-hand (tangan seperti tongkat)

c. Polydactylism (jari yang lebih dari lima baik pada tangan maupun kaki)

d. Syndactylism (jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan yang

lainnya)

e. Torticolis (gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka)

f. Spina-bifida (sebagian dari sumsum tulang belakang tidak tertutup

g. Cretinism (kerdil/katai)

h. Mycrocephalus (kepala yang kecil, tidak normal)

i. Hydrocephalus (kepala yang besar karena berisi cairan)

j. Clefpalats (langit-langit mulut yang berlubang)

k. Herelip (gangguan pada bibir dan mulut)

l. Congenital hip dislocation (kelumpuhan pada bagian paha)

m. Congenital Amputation (bayi yang lahir tanpa anggota tubuh tertentu)

n. Fredresich ataxia (gangguan pada sumsum tulang belakang)

o. Coxa valga (gangguan pada sendi paha , terlalu besar)

(8)

2. Kerusakan pada waktu kelahiran :

a. Erb‟s palsy (kerusakan pada syaraf lengan akibat tertekan atau tertarik

pada waktu kelahiran)

b. Fragilitas osium (tulang yang rapuh atau mudah patah)

3. Infeksi :

a. Tuberkolosis tulang (menyerang sendi paha sehingga menjadi kaku)

b. Osteomyelitis (radang didalam dan disekeliling sumsum tulang karena

bakteri)

c. Poliomyelitis (infeksi virus yang menyebabkan kelumpuhan)

d. Pott‟s Disease (tuberculosis sumsum tulang belakang)

e. Still‟s Disease (radang pada tulang yang menyebabkan kerusakan

permanen pada tulang)

f. Tuberkulosis pada lutut atau sendi lainnya

4. Kondisi Traumatik :

a. Amputasi (anggota tubuh yang dibuang akibat kecelakaan)

b. Kecelakaan akibat luka bakar

c. Patah tulang

5. Tumor :

a. Oxoxtosis (tumor tulang)

b. Osteosis fibrosa cystic (kista yang berisi cairan didalam tulang)

Berdasarkan pemamparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa tunadaksa

(9)

kerusakan yang dibawa sejak lahir atau keturunan, kerusakan pada waktu kelahiran,

infeksi, kondisi traumatik dan tumor. Perbedaan faktor penyebab terjadinya tunadaksa

dapat menimbulkan perbedaan dalam hal kondisi fisik dan psikologis pula, misalnya

bila dilihat dari usia ketika kondisi kecacatan terjadi.

3. Aspek Perkembangan Individu Tunadaksa

Aspek perkembangan pada individu tunadaksa hampir sama dengan individu

normal pada umumnya, yang meliputi perkembangan secara fisik, kognitif serta

psikososial yakni perkembangan sosial serta emosi dan kepribadian individu. Semua

dari aspek perkembangan ini tentunya akan sangat dipengaruhi oleh kondisi ketunaan

itu sendiri. Dampak psikologis akibat ketunaan kebanyakan muncul dari reaksi

lingkungan ketika berinteraksi dengan individu tunadaksa. Selain itu, dampak

psikologis juga berkaitan dengan proses penerimaan diri individu terhadap kondisi

fisik mereka, mengingat pada masa remaja, individu menjadi lebih fokus dengan

kondisi fisik nya daripada aspek lain dalam diri mereka (Papalia, 2007).

Secara umum perkembangan fisik pada individu normal dengan individu

tunadaksa dapat dikatakan hampir sama, namun tidak utuh karena ada bagian tubuh

yang tidak sempurna ataupun adanya anggota tubuh lain yang mengalami kerusakan

ataupun yang terpengaruh akibat kerusakan tersebut (Somantri, 2006).

Perkembangan kognitif individu tunadaksa mengalami hambatan dalam

(10)

berjalan sebagaimana mestinya apabila adanya suatu lingkungan yang memberikan

dorongan serta individu yang memiliki anggota tubuh yang lengkap dalam arti fisik

dan biologik. Bagi individu tunadaksa proses adaptasi ini tidak berjalan sempurna

akibat keterbatasan fisik yang mereka miliki, meskipun dukungan dari lingkungan

telah mereka dapatkan, karena faktor internal maupun eksternal harus terjadi

bersama-sama. Hambatan dalam keterampilan motorik akan memberikan pengaruh

terhadap perkembangan keterampilan motorik yang lebih kompleks pada tahap

selanjutnya.

Faktor usia pertama kali mengalami ketunaan menarik untuk disoroti. Individu

yang mengalami kecacatan ketika mereka sudah berada pada usia tertentu, baik pada

remaja ataupun dewasa, keterampilan-keterampilan tertentu biasanya sudah dikuasai

karena mereka pernah berada pada kondisi individu yang normal. Akan tetapi kondisi

seperti ini bagi mereka adalah suatu kemunduran sehingga efek secara psikologis

sebenarnya lebih cenderung terjadi pada individu ini daripada efek perkembangan

fisik. Sedangkan pada individu yang mengalami kecacatan sejak lahir ataupun ketika

berada pada usia kanak-kanak, akan mengalami hambatan dalam perkembangan

kognitif mereka, karena terhambatnya usaha untuk menguasai keterampilan yang

akan mengarah kepada terhambatnya fungsi-fungsi normal secara keseluruhan

(Somantri, 2006). Namun baik individu yang mengalami ketunaan akibat peristiwa

(11)

keluarga, teman sebaya serta masyarakat pada umumnya yang berdampak pada

kondisi psikologis individu tunadaksa tersebut (Somantri, 2006).

Penyesuaian diri terhadap lingkungan menjadi tantangan bagi individu

tunadaksa. Sikap serta perlakuan yang dimunculkan oleh lingkungan dapat

berpengaruh terhadap penyesuaian diri yang mereka lakukan. Selain itu sikap orang

tua, teman sebaya, keluarga, serta masyarakat pada umumnya dapat mempengaruhi

konsep diri dari individu tunadaksa, yang terbentuk melalui interaksi ataupun respon

yang dimunculkan lingkungan terhadap diri mereka (Somantri, 2006). Hal ini akan

mengarah kepada suatu bentuk evaluatif yang kemudian membentuk penilaian

mereka terhadap diri mereka sendiri berdasarkan penilaian yang dibuat oleh

lingkungan terhadap mereka (Dacey & Kenny, 1997).

Tuntutan lingkungan secara langsung memberikan pengaruh dalam kehidupan

sosial individu tunadaksa. Masyarakat yang menjadikan prestasi sebagai tolak ukur

keberhasilan akan menyebabkan individu tunadaksa akan menarik diri dari pergaulan

akibat keterbatasan yang mereka miliki. Selanjutnya dikatakan bahwa individu

tunadaksa yang berada pada usia sekolah yang lebih tinggi akan cenderung merasa

tertolak dibandingkan dengan individu tunadaksa yang berada pada usia sekolah

dasar (Somantri, 2006). Selain itu, individu tundaksa sering tidak terlibat dalam

kegiatan yang melibatkan kelompok sosial, yang mungkin harus tinggal dirumah

(12)

Kondisi sosial pada individu tunadaksa akan berpengaruh terhadap

perkembangan kepribadian mereka. Selanjutnya Somantri (2006) mengemukakan

bahwa perkembangan kepribadian individu tunadaksa secara keseluruhan dipengaruhi

oleh beberapa hal yaitu tingkat ketidakmampuan akibat ketunaan yang juga tidak

terlepas dari perlakuan individu normal terhadap mereka. Respon yang dimunculkan

individu tunadaksa terhadap ketunadaksaaanya sesuai dengan gaya hidup yang

terbentuk pada masa kanak-kanak melalui hambatan dan pengalaman yang dihadapi

individu tersebut.

Perkembangan kepribadian tidak hanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan

ataupun faktor pembawaan mereka, tetapi bagaimana mereka mengartikan kedua

faktor tersebut. Selain itu, faktor usia pertama kali ketika ketunaan terjadi

memberikan pengaruh pada tingkat tertentu seperti secara psikologis. Selanjutnya,

nampak atau tidaknya kondisi tunadaksa menunjukkan pengaruh terhadap

kepribadian individu tundaksa terutama mengenai gambaran tubuhnya (body image)

dan dukungan dari keluarga serta masyarakat pada umumnya akan membantu

individu untuk mengembangkan rasa berharga pada dirinya ketika lingkungan

(13)

C. Remaja

1. Defenisi

Papalia (2007) mendefenisikan tahap remaja sebagai masa transisi perkembangan

antara kanak-kanak dengan dewasa yang melibatkan perubahan yang signifikan

dalam kondisi fisik, kognitif, serta sosial, yang pada umumnya dimulai pada usia 12

atau 13 tahun dan berakhir pada usia belasan tahun atau awal dua puluh tahun.

Tranisisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa

kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai.

Kata “remaja” berasal dari bahasa Latin yaitu adolescene yang berarti to grow atau to

grow maturity. Hal ini mendeskripsikan bahwa masa remaja menjadi masa dimana

individu bertumbuh ke arah perkembangan yang lebih mendekati kedewasaan atau

kematangan, dimana bagian dari masa dewasa meliputi proses kematangan semua

organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kemantangan kognitif yang ditandai

dengan kemampuan berpikir secara abstrak (Hurlock,1990;Papalia & Olds,2001

dalam Jahja,2011).

2. Aspek-Aspek Perkembangan Remaja

Masa remaja merupakan masa transisi yang melibatkan perubahan yang

signifikan pada aspek fisik, kognitif serta psikososial, yang meliputi perkembangan

sosial dan kepribadian. Semua aspek tersebut mempengaruhi kondisi psikologis

(14)

a. Perkembangan Fisik

Perkembangan fisik ditandai dengan adanya peningkatan hormon yang menjadi

pendorong dalam munculnya perubahan-perubahan secara fisik seperti organ-organ

yang berkaitan dengan organ reproduksi maupun organ-organ yang secara tidak

langsung berkaitan dengan hal itu, seperti pertumbuhan payudara pada perempuan,

perluasan daerah bahu pada laki-laki, perubahan dalam suara, tekstur kulit,

pertumbuhan rambut didaerah tertentu, dan sebagainya. Namun perubahan fisik,

seperti peningkatan berat dan tinggi badan secara tajam juga terjadi pada masa ini,

yang pada umumnya berlangsung selama dua tahun sebelum remaja mencapai

kematangan seksual (Papalia,Olds,2007). Perubahan yang cepat secara fisik yang

disertai dengan kematangan seksual yang terjadi, baik secara internal seperti sistem

sirkulasi, pencernaan dan sistem respirasi, maupun secara eksternal seperti tinggi

badan, berat badan dan proporsi tubuh sangat berpengaruh pada konsep diri mereka

(Jahja,2011).

Perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada masa ini memiliki dampak secara

psikologis bagi diri remaja itu sendiri, yang disebabkan karena kebanyakan remaja

menjadi lebih fokus dengan penampilannya daripada aspek lain dalam diri mereka.

Selama masa remaja sebagian besar dari self-esteem dipengaruhi oleh perasaan

seberapa menarik individu secara fisik, karena hal tersebut sangat berpengaruh

terhadap evaluasi diri yang positif, popularitas, penerimaan teman sebaya, juga

perkembangan kepribadian, hubungan sosial serta perilaku sosial pada remaja (Rice

(15)

Fokus dengan body image, yakni keyakinan yang bersifat deskriptif dan evaluatif

mengenai penampilan seseorang sering mulai terjadi pada pertengahan kanak-kanak

atau lebih awal dan semakin intens pada masa remaja terutama pada remaja

perempuan (Papalia, Olds,2007), yang semakin meningkat pada awal remaja madya

yang dipengaruhi oleh penekanan budaya terhadap atribut fisik. Selain itu, menerima

keadaan fisik diri sendiri menjadi salah satu tugas perkembangan remaja (Zulkifli,

2005) yang menjadi komponen yang penting pada konsep diri serta self-esteem

remaja (Dacey & Kenny, 1997).

b. Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif ditandai dengan meningkatnya kemampuan dalam

berpikir secara abstrak yang menjadi ciri pada tahap perkembangan operasi formal

serta berkembangnya struktur kognitif yang merupakan kemampuan mental yang

bersifat kualitatif ataupun kuantitatif (Dacey & Kenny, 1997). Papalia (2007)

menambahkan bahwa kemampuan berpikir secara abstrak juga memiliki implikasi

emosional.

c. Perkembangan Sosial dan Kepribadian

Salah satu yang menjadi ciri pada masa remaja yakni terjadinya peningkatan

emosional yang terjadi pada masa remaja awal, dimana Hall,1904 (dalam Rice &

Dolgin,2008) menyebutnya sebagai periode “sturm und drang” atau masa “storm &

stress”. Peningkatan emosional dapat merupakan hasil dari perubahan fisik serta

peningkatan hormon yang terjadi ataupun yang berasal dari lingkungan sosial

(16)

misalnya dalam hal berperilaku, kemandirian dan tanggung jawab, serta mulai

memperluas lingkungan sosial mereka (Jahja, 2011).

Keluarga menjadi komponen lingkungan sosial yang sangat penting bagi remaja,

dimana keluarga merupakan sistem sosial pertama dimana anak terlibat didalamnya.

Dukungan orang tua serta ketergantungan secara emosional pada masa ini

memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan psikologis serta perasaan nyaman

terhadap diri mereka sendiri.

Hubungan remaja dengan orang tua juga berkaitan dengan kelekatan

(attachment) antara remaja dengan orang tua. Orang tua yang sensitif, hangat dan

responsif akan membantu anak untuk mengembangkan secure attachment yang

berpengaruh terhadap kepercayaan diri mereka untuk berinteraksi dengan dunia sosial

serta lebih berkompeten secara sosial. Gaya kelekatan ini juga berkontribusi terhadap

pandangan yang positif terhadap diri mereka sendiri sehingga kurang cenderung

untuk bergantung pada sikap yang dimunculkan oleh orang lain. Selain itu

kecenderungan anak untuk mengalami depresi juga lebih rendah dibandingkan

dengan remaja yang tidak merasakan kelekatan dengan orang tua yang cenderung

untuk merasa tertolak serta kurangnya kepercayaan diri (Dacey & Kenny, 1997).

Aspek-aspek perkembangan remaja ini bertujuan melihat setiap aspek perkembangan

yang terjadi pada individu tunadaksa serta pengaruh ketunaan yang dialami seorang

(17)

D. Family Matters Pada Remaja Tunadaksa

Pemahaman remaja terhadap dirinya sendiri sangat dipengaruhi oleh bagaimana

orang lain menilai diri mereka, serta bagaimana orang lain bereaksi terhadap mereka

yang kemudian diinternalisasi menjadi bagian yang utuh dalam diri mereka (Sulivan,

1947 dalam Elliot, 2009). Hal ini juga berlaku pada remaja tunadaksa

ditengah-tengah keterbatasan yang mereka miliki. Bagaimana perilaku orang lain terhadap

mereka akan sangat mempengaruhi persepsi mereka terhadap diri mereka sendiri.

Keluarga menjadi sumber utama bagi remaja tundaksa untuk memberikan

dukungan secara emosional, serta berperan sebagai „protektor‟ bagi mereka terhadap

ancaman yang bersifat fisik ataupun psikologis (Sanders, 2006). Hal ini mengingat

bahwa remaja tunadaksa rentan untuk mengalami tekanan secara emosional, terkait

dengan kondisi fisik yang mereka alami. Sleeper (2008) menambahkan bahwa orang

tua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus berperan dalam melatih mereka.

Dalam hal ini orang tua membantu mereka dalam mengembangkan pemikiran yang

independen, percaya diri, kreatif yang membantu pertumbuhan personal mereka

dalam mempersiapkan masa depan.

Ancaman secara fisik dan psikologis rentan untuk dialami oleh individu

berkebutuhan khusus, misalnya pada remaja tunadaksa. Elliot (2009) mengemukakan

bahwa ancaman, tersebut dapat diatasi ketika individu memilki persepsi bahwa

mereka menjadi bagian yang penting dalam lingkungan secara khusus pada orang tua,

(18)

Konsep mattering sendiri sebenarnya merupakan salah satu dimensi konsep diri

yang merupakan suatu kondisi dimana kita meyakini akan kebermaknaan diri bagi

orang lain melalui proses sosialisasi yang kita pelajari dari lingkungan. Orang tua

serta masyarakat yang menunjukkan sikap menolak akan mengakibatkan anak

tunadaksa menjadi merasa rendah diri, tidak berdaya, merasa tidak pantas, frustasi,

merasa bersalah, merasa benci, dan sebagainya (Somantri,2006). Individu mampu

menghargai diri mereka sendiri apabila lingkungan menerima mereka apa adanya

sehingga memunculkan perasaan bahwa dirinya adalah suatu individu utuh dan

berbeda dari orang lain.

Penilaian serta sikap yang diberikan lingkungan secara khusus orang tua akan

berpengaruh terhadap bagaimana individu akan memandang dirinya sendiri melalui

proses interaksi yang terjadi. Hal ini sesuai dengan konsep reflected appraisal yang

dikemukakan oleh Sullivan (dalam Elliot,2009), dimana individu akan

menginternalisasikan pandangan individu terhadap mereka, sehingga membentuk

pandangan serta konsep diri mereka sendiri.

Pengalaman mattering pada masing-masing individu berbeda, karena pada

dasarnya setiap individu berada pada kondisi yang berbeda pula, sebagaimana pada

individu tunadaksa. Individu tunadaksa menjadi rentan untuk mengalami tekanan

secara psikologis, terutama pada individu yang mengalami kecacatan setelah berada

pada usia tertentu, dimana menjalani kehidupan yang normal pernah dialami. Kondisi

ini yang pada akhirnya menjadikan mereka sebagai individu yang memiliki

(19)

orang tua menjadi sangat penting dalam memberikan dorongan secara emosional

ataupun mengajarkan mereka bagaimana memiliki sikap yang positif terhadap diri

mereka sendiri (Smith, 2002). Hal ini tentunya akan sangat membantu individu

tunadaksa untuk mengatasi tekanan emosional yang mereka alami, sehingga

mattering dapat menyelamatkan individu dari kerusakan konsep diri yang parah

(20)

Referensi

Dokumen terkait

Lanskap Camplong memiliki kawasan TWA Camplong yang di kelilingi oleh beberapa desa yaitu; Desa Camplong I, Camplong II, Naunu, Silu dan Oebola Dalam yang.. merupakan desa enclave

KANTOR KEMENTERIAN AGAMA KABUPA AN AGAMA KABUPATEN GARUT TEN GARUT.. 5 NAM NAMA A JABA JABAT TAN

Kondisi Arus Lalu Lintas Ruas Jalan Seturan Raya Ke Arah Jalan Padjajaran Pada Hari Kamis, 09 November 2017 .... Kondisi Arus Lalu Lintas Ruas Jalan Seturan Raya Ke

Ketepatan kebijakan, ditunjukkan dengan perumusan program yang sesuai dengan permasalahan di masyarakat yaitu penanggulangan kemiskinan, dibuat oleh lembaga yang berwenang menyusun

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh subtitusi minyak sawit oleh minyak ikan lemuru dan suplementasi vitamin E dalam ransum ayam broiler terhadap

Hasil penelitian menunjukkan pendapatan bersih yang diperoleh usaha pembuatan keripik keladi Di Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa dalam melakukan usahanya sebesar Rp

Variasi itu banyak ditentukan oleh seberapa besar kemiringan batang-tubuh pada pemain tertentu sewaktu melakukan gerakan (kemiringan batang tubuh menyamping adalah