BAB II
KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM ORGANISASI PERIKANAN INTERNASIONAL
A. Prosedur dan Persyaratan dalam Organisasi Perikanan Internasional
Berdasarkan hukum organisasi internasional akan dianalisis terkait dengan
Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) dan Western
and Central Pasific Fisheries Commision (WCPFC) sebagai organisasi
internasional yang merupakan subjek hukum internasional. Organisasi
internasional merupakan suatu organisasi yang beranggotakan negara-negara
sebagai institusi yang mempunyai kapasitas sebagai pengemban hak dan
kewajiban internasional.23
Pengertian lainnya, organisasi internasional adalah himpunan
negara-negara yang terkait dalam suatu perjanjian internasional yang dilengkapi dengan
suatu anggaran dasar dan organ-organ bersama serta mempunyai suatu
personalitas hukum yang berbeda dari yang dimiliki oleh negara-negara
anggota.
24
23
Melda Kamil Ariadno, Hukum Internasional, Hukum yang hidup, Diadit Media, Jakarta, 2007, hal. 221
24
Boer Mauna, Pengertian Hukum Internasional, Peranan dan Fungsi dalam Era dinamika Globalisasi, Alumni, Bandung, 2000, hal 419-420 .
Landasan konstitusional dalam pengelolaan dan konservasi sumber
daya ikan adalah pasal 33 Undang-Undang Dasara Negara Republik Indonesia
tahun 1945 yang menyatakan “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung
kemakmuran rakyat”. Negara mengatur pemanfaatan sumber daya ikan agar dapat
berkelanjutan dan untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Dalam perkembangannya ternyata rakyat Indonesia tidak hanya
memanfaatkan sumber daya ikan di dalam wilayah pengelolaan perikanan saja
namun juga diluar wilayah pengelolaan perikanan yaitu laut lepas. Dengan
demikian negara harus mengawasi rakyatnya yang memanfaatkan sumber daya
ikan dilaut lepas sebagai bentuk tanggung jawab perlindungan terhadap mereka
agar tidak terkena tuduhan melakukan illegal fishing.
Wilayah pengelolaan perikanan diatur dalampasal 5 UU perikanan meliputi,
(a) perairan Indonesia, (b) ZEE indonesia, (c) sungai, danau, waduk, rawa,
genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang
pontensial di wilayah Indonesia. Sebagai landasan hukum pengelolan sumber
daya ikan di ZEE Indonesia diatur dalam Undang-undang ZEE (ZEEI) pada
tanggal 18 Oktober 1983 ( UU no.5 Tahun 1983, LNRI 1983, No 44 dan TLNRI
no 3260). Undang-undang ZEEI diundangkan dengan tujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan bangsa dengan memanfaatakan segenap sumber daya alam yang
tersedia, baik hayati maupun non hayati; melindungi dan mengelola dengan cara
yang tepat, terarah dan bijaksana terhadap sumber daya alam ZEE.
Menyadari akan hal ini, maka Indonesia memperkuat sistem pengelolaan
perikanan dengan masuknya Indonesia kedalam organisasi internasional yang
mengatur mengenai pengelolaan ikan yakni Convention for the Conservation of
Commision (WCPFC 2013). Amanat pasal 64 Unclos 1982 untuk bekerjasama
berkaiatan dengan pengelolaan dan konservasi suberdaya ikan di laut lepas telah
mendapat respon sejumlah negara di dunia dengan dibentuknya organisasi –
organisasi pengelolaan perikanan regional. Menurut Satya N Nanda, Amanat pasal
64 UNCLOS 1982 ini lahir karena adanya:
1) kesadaran keadaan penurunan stok ikan tidak hanya berbahaya bagi
ekosistem laut, namun juga mengancam pasokan pangan (ketahanan
pangan);
2) penurunan stok akan pangan akan mempengaruhi kesejahteraan
ekonominelayan dan industri perikanan;
3) keputusan negara-negara terhadap usaha untuk melindungi
pengelolaandilaut lepas.
Namun tentunya sebelum masuk kedalam organisai tersebut ada prosedur
dan persyaratan yang harus dipenuhi Indonesia agar dapat bergabung menjadi
bagian CCSBT dan WCPFC. Keanggotaan untuk CCSBT terdiri dari dua bagian.
Yang peratama full members yaitu Australia, Jepang, Slandia baru, Taiwan, Korea
Selatan, Indonesia. Yang kedua Coorporeting Non-Members yaitu Afrika selatan
dan Philipina dan Uni Eropa. Dalam keanggotaan penuh (full members) maka
anggota akan ikut serta dalam semua keanggotaan organisasi dengan segala
hak-haknya. Sedangkan dalam keanggotaan luar biasa (associate members), anggota
dapat berpartisipasi namun tidak mempunyai hak suara di alat perlengkapan
organisasi internasional tergantung pada maksud dan tujuan organisasi, fungsi
yang akan dilaksanakan dan perkembangan apakah yang diharapkan dari
organisasi internasioanl tersebut.
Prinsip keanggotaan dapat dibedakan antara prinsip universalitas dan
terbatas (selective)25
1. keanggotaan yang didasarkan pada kedekatan letak geografis. Namun
pengertian kedekatan geografis ini kadang tidak hanya didasarkan pada
kedekatan geografis semata, namun sering juga didasarkan pada
pertimbangan politis.
. Prinsip keanggotaan Universalitas dan terbatas tidak
membedakan sistem pemerintahan, ekonomi ataupun politik yang dianut oleh
negara anggota. Sedangkan dalam prinsip terbatas (selective) menekankan
syarat-syarat tertentu bagi keanggotaan. Syarat tersebut adalah sebagai berikut:
26
2. Keanggotaan yang didasarkan pada kepentingan yang akan dicapai
3. Keanggotaan yang didasarkan pada sistem pemerintahan tertentu atau
pada sistem ekonomi tertentu
4. Keanggotaan yang didasarkan kerena adanya persamaan kebudayaan,
agama, etnis, dan pengalaman sejarah.
5. Ketetapan yang diterapkan didasarkan pada penerapan hak-hak asasi.
25
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal 37
26
Satu prasyarat untuk berdirinya suatau organisasi internasional adalah
adanya keinginan untuk bekerja sama yang jelas-jalas kerjasama internasional
tersebut akan bermanfaat dalam bidangnya dengan syarat organisasi tidak
melanggar kekuasaan dan kedaulatan negara anggota. Suatu organisasi
internasional semakin supranasional, maka semakin sedikit aspirasi negara dapat
ambil bagian didalamnya. Persyaratan pendirian organisasi internasional dapat
dikembangkan dari unsur-unsur perjanjian internasional sebagaimana tertuang
dalam Konvensi Wina 1969 yang menegaskan bahwa:
“ an internasional agreement conclude between states in written form and
governed by internasional law, whether embodied in a single instrument or in two
or more related instrument, and whatever its particular designation”.27
1. Setiap anggota harus diwakili oleh extended komisi, dengan tidak lebih
dari tiga delegasi yang dapat didampangi oleh para ahli dan penasihat. Namun tentunya prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi Indonesia
agar dapat bergabung menjadi bagian CCSBT dan WCPFC.
Yang menjadi persyaratan dan prosedur masuk sebagai full member
CCSBT, berdasarkan anggaran dasar yang menjadi pedoman bagi CCSBT, antara
lain adalah:
2. Setiap anggota wajib menginformasikan kepada komisi sekretaris
eksekutif nama-nama delegasi kepada komisi termasuk identitas kepala
delegasi dan para ahli dan penasihat yang menyertai delegasi tersebut dan
27
perubahan-perubahannya sejauh belum dimulainya setiap pertemuan
komisi.
3. Setiap anggota wajib menunjukan seorang koresponden yang akan
memiliki tanggung jawab utama untuk penghubung dengan sekretaris
eksekutif selama priodepertemuan dan akan segera menginformasikan
sekretaris eksekutif nama dan alamat koresponden tersebut dan setiap
perubahan daripadanya.
4. Kecuali untuk aturan 4 ayat (3) dan peraturan 9, peraturan tata tertib
komisi untuk konservasi Southerm Bluiten Tuna berlaku mutatis mutandis
kepada komisi sepanjang ada hal-hal lain yang tuduk pada hal berikut :
a. Ganti Aturan 2 (1)
Sampai saat sekretaris didirikan dan lokasi markas besar komisi
ditentukan, maka pertemuan yahunan komisi akan dilaksanakan oleh
rotasi atau seperti yang telah disetujui.
b. Aturan pergantian 2 (b):
Setelah sekretris telah dibentuk dan lokasi markas besar komisi telah
ditentukan, setiap pertemuan tahuanan komisi akan dilaksanakan oleh
salah satu anggota melalui rotasi. Dalam hal anggota tidak
berkeinginan menjadi tuan rumah pertemuan tahunan,pertemuan itu
akan diadakan dimarkas extended komisi, sepanjang tidak ditentukan
Syarat dan prosedur manjadi anggota CCSBT berstatus Co-Operation Non
Anggota ialah:
“Suatu negara, organisasi integrasi ekonomi regional atau badan
yang diakui komisi dalam kapasitas co-opretion no-anggota akan
memiliki hak untuk berpartisipasi aktif dalam pertemuan Komisi,
Komite Ilmiah Extended dan termasuk pertumbuhan mereka,
namuun tidak terbatas pada hak untuk membuat proposal dan hak
untuk bicara tetapi bukan hak untuk memilih. Komisi dapat
memutuskan untuk membatasi partisipas dan kerjasama
non-anggota dalam item agenda tertentu”.
Akibat hukum terdaftarnya indonesia sebagai anggota Convention for the
conservation of southern bluefin secara tersendiri diatur sabagai berikut:28
1. Hak negara anggota Convention for the conservation of southern bluefin 1993
adalah :
a) Menempatkan perwakilan dalm komisi dengan tidak melebihi tiga
delegasi didampingi oleh ahli dan penasihat,29
b) Mendapatkan hak uuntuk mengajukan adanyapertemuan khusu komisi
dengan didukung sedikitnya oleh dua negara pihak lainnya,30
28
Diambil dari naskah penjelasan pengesahan CCSBT, “Draft Final 22 Maret 2007”, Departemen kelautan dan perikanan, Jakarta, 2007.
29
Pasal 7 CCSBT 1993
30
c) Mempunyai kesempatan untuk megajukan adanya pertemuan khusus
komisi dengan didukung sedikitnya oleh dua negara Pihak lainnya,31
d) Sebagai anggota dalam komite ilmiah, dimana Komite ilmiah merupakan
badan penasihat komisi,32
e) Menempatkan perwakilan yang memiliki kualifikasi ilmiah dalam komite
Ilmiah atau diwakilkan oleh ahli dan penasihat,33
f) Mendapatkan alokasi jumlah tangkapan tuna sirip biru selatan yang
diperbolehkan (kuota) seuai dengan hasil rekomendasi Komite Ilmiah,34
g) Memiliki kesempatan dalam mengusulkan amandemen konvensi,35
h) Hak mendapatkan data perikanan, sampel biologis dan informasi lain
yang berhubungan dengan penelitian ilmiah tuna sirip biru selatan,36
i) Hak mendapatkan informasi tentang setiap penangkapan ikan tuna sirip
biru selatan oleh warga negara, penduduk dan kapal-kapal dari setiap
negara bukan konvensi.37
2. Kewajiban Negara Anggota anatara lain
a) Melakukan tindakan penting untuk menjamin penegakan Konvensi serta
b) Bekerjasama dalam penyedian Informasi ilmiah kepada komisi, statistik
hasil tangkapan, upaya penangkapan dan data lainnya yang berhubungan
dengan upaya penangkapan dan data lainnya yang berhubungan dengan
konservasi tuna sirip biru selatan dan spesies lain yang terkait secara
ekologi.
B. Keanggotaan Indonesia dalam Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT)
CCSBT (Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna)
adalah sebuah organisasi antar pemerintah yang bertanggungjawab atas
pengelolaan dan konservasi ikan tuna sirip biru selatan secara global dan termasuk
distribusinya.
Pembentukan CCSBT didasari oleh menurunnya jumlah ikan tuna sirip
biru (southern bluefin tuna) dewasa, dan tangkapan tahunan mulai jatuh secara
cepat pada awal tahun 1960-an. Penurunan hasil tangkapan semakin meningkat,
dimana pada pertengahan tahun 1980-an diperlukan pembatasan tangkapan. Hal
inilah yang menuntut Australia, Jepang dan Selandia Baru melakukan tindakan
pengelolaan dan konservasi untuk meningkatkan stok ikan SBT pada tahun 1985,
dengan cara membatasi kuota hasil tangkapan kapal ikannya.39
CCSBT 1993 ditandatangani di Canberra, Australia disepakati tanggal 10
Mei 1993, yang beranggotakan 3 negara yaitu Australia, Jepang dan Selandia
38
Pasal 5 ayat (1) CCSBT 1993
39
Baru. CCSBT 1993 mulai berlaku secara efektif pada tanggal 20 Mei 1994.
Negara-negara anggota CCSBT terdiri dari full members, yaitu Australia, Jepang,
Selandia Baru, Taiwan (Fishing Entity of Taiwan), Korea Selatan, Indonesia dan
Cooperating Non-Members yaitu Afrika Selatan, Filipina, dan Uni Eropa.
Indonesia telah menjadi anggota tetap CCSBT sejak tanggal 8 April 2008
dan telah meratifikasi Convention of Southern Bluefin Tuna 1993 melalui
Peraturan Presiden RI No. 109 tahun 2007 tentang Pengesahan CCBT 1993 pada
tanggal 6 Desember 2007 (L.N. Tahun 2007 No.148).40
Wilayah kompetensi pengelolaan CCSBT terhadap ikan tuna sirip biru
selatan berada pada wilayah 57 dan 58 (Samudera Hindia dan barat Australia)
yaitu 300 LS – 500 LS
Indonesia sebagai salah
satu negara anggota CCSBT memiliki potensi yang sangat besar dalam produksi
tuna dikarenakan wilayah laut lepas yang berdampingan dengan perairan
Indonesia.
41
sebagaimana terlihat pada gambar dibawah ini.42
40
Chomariyah, Op.Cit. hal.19
41Ibid.
hal.157
42
Dari sejarah pembentukkannya, CCSBT merupakan salah satu organisasi
pengelolaan perikanan regional yang berdiri sebelum disepakatinya UNFSA 1995,
namun tetap memiliki kewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam
persetujuan tersebut.43
Tujuan utama CCSBT sudah jelas sesuai dengan isi Konvensi Pasal 3
CCSBT 1993 yaitu “The objective of this Convention is to ensure, through
appropriate management, the conservation and optimum utilisation of southern
bluefin tuna”.
Permasalahan penurunan jumlah tangkapan ikan tuna sirip
biru selatan juga disebabkan adanya kondisi overfishing dan praktik illegal fishing
yang bersifat borderless (tanpa batas) karena sifat ikan yang selalu bergerak atau
berpindah tempat yang jangkauannya melintasi batas negara.
44
1. Unsur pertama, organisasi pengelolaan perikanan regional, CCSBT dibentuk
berdasarkan perjanjian internasional yaitu Conservation for the Conservation
of Southern Bluefin Tuna 1993 dan berlaku mengikat pesertanya. CCSBT
dilengkapi degan organ dan diatur oleh hukum internasional, yaitu:
Dengan kata lain, untuk memastikan, memalui pengelolaan yang
tepat, konservasi dan pemanfaatan yang optimal tuna sirip biru selatan.
Sebagaimana organisasi internasional umumnya, CCSBT memiliki legal
personality yang artinya organisasi tersebut memiliki hak dan kewajibannya
menurut hukum internasional. Legal personality CCSBT ini dapat dianalisis
sebagai berikut :
43
Chomariyah, Op.Cit, hal. 22
44
(a.)Komisi (the Commission) yang terdiri dari ketua dan wakil
ketua komisi,45
(b.)Badan penasehat Komisi, yaitu Komite Keilmuan (Scientific
Committee);
dipilih pada setiap pertemuan tahunan;
46
(c.)Sekretariat terdiri dari Sekretaris Eksekutif, yang diangkat oleh
Komisi, dan staf yang memadai, yang diangkat oleh Sekretaris
Eksekutif;47
2. Unsur kedua, CCSBT memiliki legal personality,48
3. Unsur ketiga, adanya pembagian kewenangan hukum anatara organisasi
internasional dengan Negara-negara anggota. Organisasi internasional
memiliki kewenangan untuk membuat ketentuan-ketentuan yang mengikat bahwa sebagai subjek
hukum internasional CCSBT memiliki hak dan kewajiban. Legal personality
diperlukan oleh Komisi CCSBT dalam hubungannya dengan
organisasi-organisasi internasional lain dan di wilayah negara-negara pihak memiliki
kemampuan hukum sebagaiman diperlukan untuk melaksanakan fungsinya
dan mencapai tujuannya. Kekebalan hukum (immunities) dan hak istimewa
(priviliges) yang didapatkan oleh Komisi dan pegawai-pegawainya dalam
wilayah negara-negara CCSBT harus tunduk pada perjanjian antara Komisi
dengan Negara-negara anggota yang bersangkutan.
Negara-negara anggotanya. CCBT sendiri melalui Komisinya berwenang
untuk mengambil keputusan yang mengikat Negara-negara aggotanya, yaitu:49
(a) Untuk mengumpulkan dan menghimpun informasi ilmiah, data
statistik dan informasi lain yang berkaitan dengan tuna sirip
biru selatan;
(b) Informasi yang berkaitan dengan hukum, peraturan-peraturan
dan langkah-langkah administrative tentang perikanan tentang
perikanan tuna sirip biru selatan;
(c) Setiap informasi lain yang berkaitan dengan tuna sirip biru
selatan.
Indonesia pada awalnya bukan merupakan anggota CCSBT, tetapi
Indonesia beberapa kali diundang dalam pertemuan CCSBT dengan status sebagai
peninjau bersama-sama Korea Selatan dan Taiwan. Hal ini mengingat ketiga
negara tersebut dianggap banyak melakukan kegiatan penangkapan ikan tuna sirip
biru selatan di wilayah kompetensi pengelolaan CCSBT, sehingga dituntut untuk
menjadi anggota agar dapat turut bertanggung jawab dalam pengelolaan tuna sirip
biru selatan.50
Sanksi perdagangan internasional akibat status Indonesia yang bukan
anggota CCSBT telah terjadi, seperti embargo tuna sirip biru selatan oleh Jepang
sejak tahun 2009.51
49
Pasal 8 CCSBT 1993
50
Arif Satria, Ekologi Politik Nelayan, LKis Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hal.188
51Ibid.
ancaman pemboikotan tuna Indonesia di negara-negara lain juga akan semakin
besar apabila status Indonesia masih belum menjadi anggota CCSBT. Namun
Indonesia masih memiliki “senjata” bahwa spawning ground tuna ada di wilayah
Selatan Indonesia, dimana hal tersebut masih memungkinkan bagi Indonesia
untuk melakukan negoisasi dengan anggota CCSBT.
Alasan ini memiliki konsekuensi cukup serius bagi Indonesia, dikarenakan
dengan tidak menjadi anggota, Indonesia akan dianggap tidak memiliki goodwill
untuk mau memerhatikan aspek konservasi sumber daya ikan tuna di wilayah
tersebut.52 Dengan kondisi ilegal, tentu hasil produksi tuna Indonesia yang dilakukan di wilayah perairan tersebut akan tergolong unreported. Hasil produksi
yang tidak terlaporkan itu akan mengganggu proses fisheries management yang
selama ini diupayakan oleh negara-negara anggota.53
Illegal Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing) merupakan
bentuk-bentuk praktik penangkapan ikan yang dihindari dan dicegah oleh
Indonesia maupun organisasi pengelolaan perikanan internasional dan regional
termasuk CCSBT karena merusak sumber daya ikan, terumbu karang serta
rusaknya mangrove.54
Setelah bergabungnya Indonesia, posisi Indonesia dalam CCSBT belumlah
menguntungkan karena masalah-masalah dalam negeri sendiri, seperti pencurian
ikan, peningkatan kapasitas penangkapan, dan otonomi daerah dalam pengelolaan
perairan.55
52
Ibid.
Tanggungjawab dalam pengelolaan dan konservasi perikanan regional dan
internasional yang berkelanjutan di laut lepas maupun Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) terutama di wilayah laut yang berdampingan dengan perairan Indonesia
tidak hanya milik anggota CCSBT tetapi juga milik Indonesia sehingga didalam
ketentuan ”menimbang” PerPres RI No.109 tahun 2007 tentang Pengesahan
CCSBT 1993 menyebutkan :56
(a) Bahwa dalam rangka menjamin dan mendukung konservasi dan
pengelolaan secara tepat sumberdaya perikanan tuna sirip biru selatan
untuk pemanfaatan secara optimal dan berkelanjutan, di Canberra,
Australia, pada tanggal 10 Mei 1993 telah ditandatangani
Conservation for the Conservation of Southern Bluefin Tuna
(Konvensi tentang Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan).
(b) Bahwa Indoneisa sebagai Negara pantai memiliki potensi sumberdaya
ikan tuna sirip biru selatan, yang perlu dikelola dan dimanfaatkan bagi
kepentingan nasional.
(c) Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang dimaksud dalam
huruf a dan b, perlu mengesahkan Konvensi tersebut dengan dengan
Peraturan Presiden.
CCSBT dalam menetapkan TAC (Total Allowable Catch) dan alokasi
diantara Negara-negara anggota didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut :57 (a) Bukti ilmiah yang berhubungan dengan jumlah tangkapan;
56
Pepres No.109 tahun 2007 tentang Pengesahan CCSBT
57
(b) Kebutuhan pembangunan perikanan tuna sirip biru selatan yang
berkelanjutan dan teratur;
(c) Kepentingan-kepentingan Negara anggota yang ZZEnya dilalui oleh
migrasinya tuna sirip biru selatan;
(d) Kepentingan-kepentingan Negara anggota yang kapalnya melakukan
penangkapan tuna sirip biru selatan termasuk mereka yang secara
historis melakukan penangkapan dan mereka yang perikanan tuna sirip
biru selatannya belum berkembang;
(e) Kontribusi Negara anggota untuk konservasi dan penelitian ilmiah.
Berdasarkan Pasal 8 ayat (3) (b) CCSBT, Komisi dapat, apabila
diperlukan, memutuskan langkah-langkah tambahan lain. Langkah-langkah
tambahan lain tersebut berupa resolusi-resolusi terkait dengan pengelolaan,
konservasi dan pemanfaatan optimal tuna sirip biru selatan. Salah satunya ialah
Resolution on establishing the CCSBT Vessel Monitoring System.58
Pertimbangan yang mendasari resolusi tentang establishing the CCSBT
Vessel Monitoring System (VMS)59 adalah pentingnya system pemantauan kapal sebagai bagian integral dari Monitoring, Control and Surveillance (MCS) yang
efektif untuk tuna sirip biru selatan ,khususnya untuk memastikan keberlanjutan
jangka panjang dari stok.60
58
Chomariyah, Op.Cit, hal.159
59
Resolusi diterima pada Pertemuan Tahunan ke-15, 14-17 Oktober 2008, di Auckland, New Zealand.
60Ibid
Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC) yang telah ditetapkan
Komisi pada pertemuan tahunan Komisi Tuna Sirip Biru Selatan ke-16, 20-23
Oktober 2009, di Jeju Island, Korea Selatan telah menetapkan TAC untuk
keseluruhan negara anggota CCSBT dan Cooperating Non-Members, tahun 2009
sebesar 11.810 ton, Pada pertemuan tahunan ke-17, 15 Oktober 2010, di Narita ,
Jepang, Komisi menetapkan TAC global menjadi 9.449 ton, pengurangan alokasi
tersebut untuk tahun 2010-2011, bagi anggota dan Cooperating Non-Members,
penetapannya mulai tahun 2009-2011 sebagai berikut :
(a) Jepang (3.000 ton; 2.261 ton)
(b) Australia (5.265 ton; 4.270 ton)
(c) Korea Selatan (1.140 ton; 859 ton)
(d) Taiwan (1.140 ton; 859 ton)
(e) Selandia Baru (420 ton; 754 ton)
(f) Indonesia (750 ton; 651 ton)
Sedangkan untuk Cooperating Non-Members and Observers :
(g) Filipina (45 ton; 45 ton)
(h) Afrika Selatan (40 ton; 40 ton)
(i) Uni Eropa (10 ton; 10 ton)
Perkembangan terakhir pada pertemuan tahunanan CCSBT ke-18, pada
masing-masing negara anggota dan Cooperating Non-Members and Observers,
mengalami kenaikkan untuk tahun 2014, yaitu :61
Pada tahun 2012 sampai tahun 2014, penetapan alokasi TAC global adalah
10.449 ton, 10.949 ton dan 12.449 ton, yang kemudian dibagi kepada
masing-masing anggota CCSBT sebagai berikut :
Jepang (3.366 ton), Australia
(5.147 ton), Selandia Baru (909 ton), Korea Selatan (1.036 ton), Taiwan (1.036
ton), Indonesia (750 ton) dan untuk Cooperating Non-Members and Observers
Filipina (45 ton), Afrika Selatan (150 ton) dan Uni Eropa (10 ton).
62
(a) Jepang (2.519 ton; 2.689 ton; 3.366 ton)
(b) Australia (4.528 ton; 4.698 ton; 5.147 ton)
(c) Selandia Baru (800 ton; 830 ton; 909 ton)
(d) Korea Sealatan (911 ton; 945 ton; 1.036 ton)
(e) Taiwan (911 ton; 945 ton; 1.036 ton)
(f) Indonesia (685 ton; 707 ton; 750 ton)
Pertemuan tahunan CCSBT ke-21 pada tanggal 13-16 Oktober 2014, di
Auckland, New Zealand menyepakati bahwa adanya kenaikan jumlah TAC tuna
sirip biru selatan untuk tahun 2015-2017 yaitu :63
Report of the Twenty First Annual Meeting of the Commission, 13-16 October 2014, Auckland, Newzealand
Jepang (4.337 ton; 4847 ton),
Australia (5.665 ton; 5.665 ton), Selandia Baru (1.000 ton; 1.000 ton), Korea
750 ton), sedangkan Cooperating Non-Members Afrika Selatan (150 ton; 40 ton),
Filipina (45 ton; 45 ton) dan Uni Eropa (10 ton; 10 ton). Untuk Afrika Selatan
diberikan kesempatan untuk menjadi anggota CCSBT per 31 Mei 2015 agar
angka alokasi penangkapan tuna sirip biru selatannya tetap sebesar 150 ton dan
apabila tidak maka akan turun menjadi 40 ton.
Ketentuan tentang Scientific Committee, diatur dalam Pasal 9 CCSBT
1993, yang mempunyai kewajiban untuk :
(a) Mengkaji dan menganalisa status dan kecenderungan-kecenderungan
dengan populasi tuna sirip biru selatan;
(b) Mengkoordinasikan penelitian dan pengkajian tuna sirip biru selatan;
(c) Melaporkan kepada Komisi penemuan-penemuan termasuk konsensus,
pandangan-pandangan mayoritas dan minoritas terhadap status
persediaan tuna sirip biru selatan;
(d) Membuat rekomendasi-rekomendasi, kepada Komisi melalui
consensus terhadap hal-hal mengenai pengelolaan, konservasi dan
pemanfaatan optimal tuna sirip biru selatan;
(e) Mempertimbangkan hal-hal lain yang dirujuk oleh Komisi.
Resolusi yang berkaitan dengan pengelolaan dan konservasi tuna sirip biru
Ensure Compliance with Conservation and Management Measures, terdiri dari
lima penetapan yaitu :64
(a) Masing-masing negara anggota dan Cooperating Non-Members
harus menyerahkan rencana kegiatan untuk memastikan pentaatan
terhadap langkah-langkah pengelolaan dan konservasi tuna sirip
biru kepada sekretariat pada tanggal 1 April 2010; Rencana
kegiatan harus meliputi skema verifikasi data penangkapan tuna
sirip biru selatan dan Ecologically Related Species/ERS, secara
sistematis;
(b) Negara bendera dan Cooperating Non-Members,dari kapal-kapal
longline harus menjelaskan rencana perbaikan kegiatannya;
(c) Pada musim penangkapan 2011, negara Cooperating
Non-Members, harus menjalankan Stereo Video System, untuk
mengawasi 10% tuna sirip biru selatan yang menuju kandang
(cage);
(d) Komisi harus menggali semua kemungkinan dan pengembangan
program penelitian regional untuk diterapkan ke semua kegiatan
perikanan dan budi-daya tuna sirip biru selata; dan
(e) Semua negara anggota dan Cooperating Non-Members harus
mengumpulkan laporan pelaksanaan dan hasil rencana kegiatan
tahun 2010 pada pelaksanaan rapat Komisi 2010.
64
CCSBT melaksanakan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach)
melaui strategi pengelolaan yang disebut Management Procedure, yang dimana
resolusi tentang pelaksanaan strategi tersebut juga dikenal sebagai Bali Procedure
diterima pada pertemuan tahunan ke-18 tahun 2011. Dalam strategi Management
Procedure terdapat pedoman tentang batas tangkapan global dan menyediakan
industry perikanan agar menangkap ikan secara periode waktu yang telah tersedia.
Parameter Management Procedure adalah65
CCSBT melakukan tindakan penegakkan hukum untuk memberantas IUU
Fishing, dengan menetapkan Resolution on Establishing a Program for
Transshipment by Large Scale Fishing Vessels berisi tentang pengawasan
kegiatan transshipment yang dilakukan oleh large scale fishing vessels dengan
cara mengumpulkan data tangkapan ikan kapal-kapal tersebut untuk penilaian
imiah stok ikan tuna sirip biru selatan. Selain itu CCSBT juga bekerja sama
dengan FAO untuk mengembangkan system pemantau sumber daya perikanan
(Fishery Resources Monitoring System-FIGIS). Tidak hanya kerja sama dengan (1) untuk membangun
kembali status stok menuju target reference point sebesar 20% dari original
spawning biomass pada tahun 2035; (2) ditetapkan kemungkinan 70% untuk
mencapai sasaran pembangunan kembali sementara; (3) minimum kenaikan atau
penurunan TAC sebesar 100 ton; (4) maksimum kenaikan atau penurunan sebesar
3000 ton; (5) TAC ditetapkan untuk periode 3 tahun berdasarkan resolusi tentang
TAC global, tahun 2010-2011 sebesar 9.449 ton; tahun 2012 sebesar 10.449 ton;
tahun 2013 sebesar 10.949 ton dan tahun 2014 sebesar 12.449 ton.
65Ibid
organisasi lain, CCSBT juga mengajak Cooperating Non-Members untuk menjadi
anggota organisasi, melaui cara yang disebut allocation set asides.66
Dalam hal langkah-langkah terkait perdagangan atau Trade Related
Measures (TRM) terhadap ikan tuna sirip biru selatan CCSBT memberlakukan
Catch Documentation Scheme (CDS) list of approved vessels. Pelaksanaan TRM
oleh CCSBT tidak diskriminasi dikarenakan putusan didasarkan pertimbangan
bukti ilmiah terbaik yang tersedia pada saat pertemuan tahunan sesuai dengan
Pasal 6 ayat (3) CCSBT 1993. CDS67
CDS adalah menyediakan data penelusuran dan validasi perdagangan tuna
sirip biru selatan yang legal mulai dari penjualan pertama, baik di pasar domestic
maupun pasar ekspor. Tujuan CDS adalah
sendiri mulai diberlakukan sejak tanggal 1
Januari 2010 menggantikan Trade Information Scheme (TIS) yang sudah berlaku
sejak tahun 2000 dan digantikan karena tidak efektif.
68
66
Metode ini digunakan dengan cara memberi alokasi penangkapan kepada Cooperating Non-Members secara bertahap menaikkan besaran alokasi penangkapan dengan harapan adanya insentif negara Cooperating Non-Members untuk segera bergabung.
67
Diterima pada pertemuan tahunan ke-15, 14-17 Oktober 2008, di Auckland, New Zealand.
68
. Chomariyah, Op.Cit , hal.170
untuk mengawasi perdagangan
internasional tuna sirip biru selatan, untuk mengidentifikasi asal-usul tuna sirip
biru selatan, di impor atau di ekspor kea tau dari wilayah pengelolaan CCSBT,
untuk menentukan tangkapan yang dilakukan di wilayah pengelolaan CCSBT
dengan cara sesuai dengan tindakan konservasi yang ditetapkan oleh CCSBT,
mengumpulkan data penangkapan oleh masing-masing Negara anggota dan
Southern Bluefin Tuna (Thunnus maccoyii) atau dalam bahasa Indonesia
sering disebut ikan tuna sirip biru selatan merupakan jenis ikan pelagis besar dan
termasuk dalam kategori ikan bermigrasi jauh (Highly Migratory Species). Tuna
ini merupakan tuna besar, perenang cepat, ikan pelagis (hidup di laut lepas). Tuna
sirip biru selatan dapat ditemukan di seluruh belahan bumi bagian selatan
terutama di perairan antara 300 dan 500 selatan tapi jarang di Samudera Pasifik Timur. Daerah berkembang biak tuna ini berada di Samudera Hindia,
selatan-timur dari pulau Jawa, Indonesia.
Tuna sirip biru selatan69
(a) Mereka berenang dengan kecepatan rata-rata 2-3 km/jam;
dapat hidup sampai empat puluh tahu, mencapai
berat 200 kg dan berukuran panjang lebih dari dua meter.Namun ada
ketidakpastian dalam hal ukuran dan kapan rata-rata usia ikan tersebut menjadi
dewasa. Inilah subjek penelitian oleh anggota Komisi. Masa pembiakan
berlangsung dari bulan Sepetember sampai April di perairan hangat selatan pulau
Jawa. Hingga usia 5 tahun, ikan-ikan tuna remaja ini suka berkumpul bersama
dalam kawanan dan beraktifitas di dekat permukaan laut namun setelah berumur
lebih dari 5 tahun mereka tidak lagi berenang di dekat permukaan.
Beberapa fakta lain yang dikenal tentang tuna sirip biru selatan adalah :
(b) Pertumbuhan rata-rata untuk umur 3 tahun adalah 1,5 cm per bulan
(pertumbuhan ikan sudah lebih cepat sejak tahun 1980 dari sebelumnya);
(c) Mereka dapat menjaga suhu tubuhnya lebih hangat dari pada air disekitarnya;
69
(d) Mereka dapat menyelam sekurangnya 500 meter ke bawah laut.
Status konservasi ikan tuna sirip biru ini adalah kritis (Critically
Endangered)70 dikarenakan pada habitat liar sudah mencapai penangkapan overfishing dan overexploited.
Gambar ikan tuna sirip biru selatan (southern bluefin tuna)71
Commission for the Conservation and Management of Highly Migratory
Fish Stock in the Western and Central Pacific Ocean (WCPFC) atau yang disebut
dengan Konvensi tentang Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan Beruaya Jauh
di Samudera Pasifik Barat dan Tengah merupakan organisasi internasional antar
pemerintah Negara-negara yang memiliki pantai di Pasifik Barat dan Pasifik
Tengah dan negara-negara yang menangkap ikan di wilayah tersebut. Konvensi
ini ditandatangani pada tanggal 5 September 2000
C. Keanggotaan Indonesia dalam Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC 2013)
72
70
di Honolulu, Amerika Serikat
yang proses negoisasinya berlangsung selama empat tahun. Namun Konvensi ini
71
72
mulai berlaku efektif pada tanggal 19 Juni 2004 dengan negara-negara yang
meratifikasinya yaitu Australia, Cook Islands, Federated States of Micronesia, Fiji
Islands, Kiribati, Marshall Island, Tonga dan Tuvalu.
Masalah yang juga dihadapi oleh WCPFC sebelum terbentuknya
organisasi ini ialah menagatasi masalah dalam pengelolaan perikanan di laut lepas
akibat penangkapan ikan yang tidak diatur, kapasitas yang berlebih, terlalu banyak
isi kapasitas kapal, kapal yang berganti bendendera untuk melarikan diri dari
kontrol, tidak selektifnya pemakaian alat tangkap, tidak adanya data yang akurat
dan harus adanya kerjasma multilateral yang cukup dalam hal konservasi dan
pengelolaan sediaan ikan yang beruaya jauh.
Berbagai masalah tersebut akhirnya mendorong negara-negara kepulauan
yang langsung berdampingan dengan Samudera Pasifik khususnya Pasifik bagian
Barat dan Tengah untuk mengadakan Konvensi Tingkat Tinggi Multilateral agar
dapat menyelesaikan permasalahan perikanan regional.
Sejarah terbentuknya WCPFC berbeda dari CCSBT yang dimana WCPFC
berdiri setelah adanya UNFSA 1995. Dasar hukum berdirinya WCPFC ialah
UNCLOS 198273 dan prinsip pererapan pendekatan kehati-hatiannya berdasarkan UNFSA 1995. Konvensi WCPFC sendiri adalah salah satu perjanjian perikanan
regional pertama yang diadopsi setelah adanya kesimpulan dari UNFSA 1995
(United Nation Fish Stocks Agreement 1995).74
73
Pasal 4 WCPFC 2000
74
Prinsip-prinsip UNFSA 1995 yang diadopsi WCPFC antara lain:75
Wilayah kompetensi konservasi dan pengelolaan semua ikan beruaya jauh
WCPFC ialah
penerapan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach), keputusan Komisi
yang harus didasarkan pada bukti ilmiah yang terbaik, pertimbangan ekosistem
dan pengakuan dari negara-negara kepulauan kecil yang berkembang.
76
“Dari pantai Selatan Australia kea rah sepanjang 1410 Bujur Timur sampai perpotongannya dengan 550 Lintang Selatan, kemudian ke arah Timur sejajar dengan 550 Lintang Selatan sampai perpotongannya dengan 1500 Bujur Timur; kemudian sepanjang 1500 Bujur Timur sampai perpotongannya dengan 600 sejajar Lintang Selatan, kemudian ke arah Timur 600 sejajar dengan Lintang Selatan sampai perpotongannya dengan 1300 Bujur Barat; kemudian ke Utara sejajar 1300 Bujur Barat sampai perpotongannya dengan 40 sejajar Lintang Selatan; kemudian ke Barat 40 sejajar Lintang Selatan sampai perpotongannya dengan 1500 Bujur Barat; kemudian sepanjang Utara 1500 Bujur Barat”.
75
2015
76
Di didalam mukadimah WCPFC 2000 dijelaskan bahwa Konvensi ini
dibentuk karena adanya kesadaran perlunya menghindari dampak buruk terhadap
lingkungan laut, melesatarikan kenaekaragaman hayati, menjaga integritas
ekosistem laut, meminilakan resiko jangka panjang atau dampak yang tidak dapat
diperbaiki dari operasi penangkapan ikan dan kondisi kerentanan ekologis dan
geografis negara-negara pulau kecil yang sedang berkembang, wilayah dan
kawasan, ketergantungan ekonomi dan sosialnya terhadap sediaan ikan yang
beruaya jauh dan kebutuhan mereka akan bantuan khusus, termasuk bantuan
finansial, ilmu pengetahuan dan teknologi, agar negara-negara berkembang
tersebut dapat berperan-serta secara aktif di dalam konservasi, pengelolaan dan
pemanfaatan secara berkelanjutan sediaan ikan yang beruaya jauh.77
77
Mukadimah WCPFC 2000
Pada Pasal 2 WCPFC 2000 terdapat tujuan dari pada Konvensi ini yang
berisi :
“The objective of this Convention is to ensure, through effective
management, the long-term conservation and sustainable use of highly
migratory fish stocks in the western and central Pacific Ocean in
accordance with the 1982 Convention and the Agreement”.
Tujuannya ialah “untuk memastikan melalui pengelolaan secara efektif,
konservasi jangka panjang dan pemanfaatan secara berkelanjutan sediaan ikan
beruaya jauh di Samudera Pasifik Barat dan Tengah sesuai dengan Konvensi 1982
Daftar jenis ikan beruaya atau bermigrasi jauh (Highly Migratory Species)
berdasarkan Lampiran I UNCLOS 1982, yaitu:78
No. Nama Ikan Nama Latin dan Nama Indonesia 1 Albacore tuna Thunnus alalunga (Albakor)
2 Bluefin tuna Thunnus thynnus (Tuna sirip biru Atlantik) 3 Bigeye tuna Thunnus obesus (Tuna mata besar)
4 Skipjack tuna Katsuwonus pelamis (Cakalang) 5 Yellowfin tuna Thunnus albacores (Madidihang) 6 Blackfin tuna Thunnus atlanticus
7 Little tuna Euthynus alletteratus; Euthynus affinis (Tongkol)
8 Southen bluefin tuna Thunnus maccoyii (Tuna sirip biru selatan) 9 Frigate mackerel Auxis thazard, Auxis rochei (Makarel)
10 Pornfrets Family bramida
11 Marlins Tetrapturus angustirostris (Setuhuk) 12 Sail-fishes Istiophorus platypterus (Ikan layaran) 13 Swordfish Xiphias gladius (Ikan pedang)
14 Sauries Scomberesox saurus (Tenggiri)
15 Dolphin Coryphaena hippurus (Lumba-lumba)
16 Oceanic sharks Hexanchus griseus (Hiu)
17 Cetaceans Family Physeteridae
Konvensi WCPFC melakukan konservasi kepada jenis ikan-ikan tersebut kecuali
ikan Sauries (Tenggiri).
Indonesia masuk menjadi anggota WCPFC melalui Peraturan Presiden
No.61 Tahun 2013 tentang Pengesahan Convention on the Conservation and
Management of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific
Ocean (Konvensi tentang Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan Beruaya Jauh
di Sameudera Pasifik Barat dan Tegah). Pengesahan ini adalah yang terbaru untuk
keikutsertaan Indonesia dalam organisasi pengelolaan dan konservasi perikanan
regional.
78
Sebelumnya Indonesia sudah mengikuti dan menjadi anggota Indian
Ocean Tuna Commission (IOTC) melalui PerPres No. 9 Tahun 2007 tentang
Persetujuan Pembentukan Komisi Tuna Samudera Hindia dan Convention for the
Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) melalui Perpres No.109 Tahun
2007 tentang Pengesahan CCSBT.79
Dalam konsideran PerPres No.61 Tahun 2013 tentang Pengesahan
WCPFC dalam isi “menimbang” menyebutkan :
80
(a) Bahwa di Honolulu, Amerika Serikat, pada tanggal 5 September
2000, Konferensi Tingkat Tinggi Multilateral mengenai
Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan Beruaya Jauh di
Wilayah Pasifik Barat dan Tengah pada Sesi Ketujuh telah
menetapkan Convention on the Conservation and Management of
Highly Migratory Fish Stock on the Western and Central Pacific
Ocean (Konvensi tentang Konservasi dan Pengelolaan Sediaan
Ikan Beruaya Jauh di Samudera Pasifik Barat dan Tengah);
(b) Bahwa keikutsertaan Indonesia pada Konvensi tersebut dapat
meningkatkan dan memajukan industry perikanan nasional dengan
tetap menjaga dan melindungi kedaulatan wilayah laut terrtorial
Republik Indonesia;
(c) Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan huruf b, perlu mengesahkan Konvensi tersebut dengan
Peraturan Presiden;
79
Chomariyah, Op.Cit, hal.19
80
Dengan bergabungnya Indonesia pada tahun 2013 maka jumlah
keanggotan WCPFC adalah 24 negara yaitu81
Indonesia memiliki beberapa manfaat dari keanggotanya di WCPFC,
antara lain:
Australia, Kanada, Cina, Kepulauan
Cook, Federasi Mocronesia, Kepulauan Fiji, Prancis, Indonesia, Jepang, Republik
Kiribati, Republik Kepulauan Marshall, Republik Nauru, Selandia Baru, Niue,
Republik Palau, Papua New Guinea, Filipina, Korea Selatan, Samoa, Kepulauan
Salomon, Kerajaan Tonga, Tuvalu, Inggris Raya, Amerika Serikat dan Republik
Vanuatu.
82
(a) Aspek politik domestic, akan mendukung kebijakan nasional bagi
upaya konservasi dan pengelolaan perikanan yang bermigrasi jauh
di wilayah Samudera Pasifik Bagian Barat dan Tengah;
(b) Aspek politik luar negeri, akan memperkuat posisi dalam forum
organisasi perikanan regional dan internasional, serta menegaskan
komitmen Indonesia sebagai negara pihak pada UNCLOS 1982
bagi kerjasama internasional dalam kegiatan konservasi dan
pemanfaatan sumberdaya ikan;
(c) Aspek teknis ekonomi, akan memberikan peluang bagi Indonesia
dalam mengakses bantuan teknis dan financial dari WCPFC, serta
untuk menghindari adanya embargo ekspor produk perikanan
Indonesia oleh negara-negara anggota WCPFC;
81
82
(d) Dengan menjadi anggota WCPFC, akan memudahkan proses
pertukaran informasi dan data perikanan yang tepat dan akurat
diantara negara anggota dan adanya alih teknologi untuk Indonesia
sebagai negara berkembang dalam kegiatan konservasi sumberdaya