• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Frekuensi Pengadukan Pada Pembuatan Kompos Dari Tandan Kosong Kelapa Sawit Dan Pupuk Organik Aktif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Frekuensi Pengadukan Pada Pembuatan Kompos Dari Tandan Kosong Kelapa Sawit Dan Pupuk Organik Aktif"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 POTENSI DAN KESINAMBUNGAN DARI LIMBAH TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) MENJADI KOMPOS

Sejarah kelapa sawit di Indonesia berawal ketika Belanda mengimpor pohon sawit pada tahun 1848. Pohon ini kemudiannya ditanam sebagai tanaman hias di sepanjang jalan di Deli, Sumatera Utara dan sebagian benihnya ditanam di Kebun Raya, Bogor. Pada tahun 1911, penanaman kelapa sawit di Indonesia secara komersial dimulai ketika seorang warganegara Belgia, Adriaen Hallet, yang kemudiannya diikuti oleh K. Schadt mengembangkan perkebunan di pantai timur Sumatera. Pada masa itu, area perkebunan sawit adalah seluas 5,123 ha. Namun begitu, pada waktu penjajahan Jepang terjadi penurunan produksi minyak sawit yang sangat drastis terutama sekali pada masa Perang Dunia ke-2. Setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaannya, bisnis kelapa sawit ini mulai memulih dan masih bertahan sekarang [9].

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 2011 total areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah seluas 8.548.828 ha dengan total produksi minyak mentah sawit atau crude palm oil (CPO) sebesar 22.496.857 ton [1]. Sebanyak 16.291.856 ton dari produksi CPO ini diekspor ke beberapa negara Asia seperti Jepang, India, Vietnam, Malaysia, Pakistan, Arab Saudi dan beberapa negara

lainya [1]. 2006 6.284.960 16.569.927 3.428.700 2007 6.853.916 17.796.374 4.017.477 2008 7.333.707 19.400.794 4.379.963 2009 8.548.828 21.390.326 4.829.123 2010 8.774.694 22.496.857 5.077.818

(2)

diagram alir proses pengolahan kelapa sawit dari aktivitas produksi pabrik kelapa

sawit.

Gambar 2.1 Proses Pengolahan Kelapa Sawit [10]

Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Produktivitas TBS bila menggunakan bibit unggul akan menghasilkan TBS mencapai 20-25 ton TBS/ha/tahun [11] dan menurut Baharuddin et al. setiap satu ton total limbah TBS terdiri dari 23% TKKS, daging sabut buah 12%, cangkang 5% dan POME 60% [2]. Sehingga dari data luas areal perkebunan kelapa sawit BPS 2011 dapat

dikalkulasikan jumlah TBS dan TKKS pertahun [1].

Tabel 2.2 Data Jumlah Kalkulasi TBS dan TKKS di Indonesia dari 2006-2010 Tahun Luas Areal (ha) Produksi TBS (ton) Produksi TKKS

(3)

Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa industri kelapa sawit di

indonesia semakin meningkat, oleh karena itu dengan meningkatnya pertumbuhan produksi kelapa sawit maka jumlah limbah yang dihasilkan baik limbah padat dan cair juga semakin besar. Upaya untuk mengatasi limbah padat,dilakukan teknologi pengomposan dengan memanfaatkan hasil limbah pabrik menjadi kompos yang memiliki nilai ekologi dan ekonomi yang tinggi.

2.2 KARAKTERISTIK TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) DAN PUPUK ORGANIK AKTIF (POA)

2.2.1 Karakteristik Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)

TKKS terdiri dari 45 - 50 % selulosa dan memiliki kandungan senyawa organik yang tinggi. TKKS umumnya berbentuk serat, dan serat tersebut berbentuk seperti tongkat yang secara keseluruhan membentuk ikatan pembuluh [12]. TKKS merupakan sampah residu yang dihasilkan dari industri kelapa sawit. Tandan tersebut disterilkan dalam sterilisasi uap horizontal untuk menonaktifkan enzim yang ada. Tandan disterilkan dengan cara dimasukkan ke drum perontok rotary untuk melepaskan buah dari tandan. TKKS berwarna coklat kering dengan bentuk yang tidak seragam dan bobot rendah. Panjang dan lebar tergantung pada ukuran tandan buah segar dan dapat bervariasi dari panjang 17-30 cm dan lebar 25-35 cm [10].

(4)

Tabel 2.3 Komposisi TKKS [13]

Parameter

Basis Bahan Kering Basis Bahan Basah

2.2.2 Karakteristik Pupuk Organik Aktif (POA) Dari Effluent Pengolahan Lanjut Limbah Cair Kelapa Sawit (LCPKS)

Pupuk organik cair dapat dibuat dari bahan-bahan organik berbentuk cair dengan cara mengomposkan dan memberi aktivator pengomposan sehingga dapat dihasilkan pupuk organik cair yang stabil dan mengandung unsur hara lengkap. Pupuk cair dapat diproduksi dari limbah industri peternakan (limbah cair dan setengah padat atau slurry) yaitu melalui pengomposan dan aerasi. Pupuk organik cair dapat diklasifikasikan atas pupuk kandang cair, biogas, pupuk cair dari limbah organik, pupuk cair dari limbah kotoran manusia, dan mikroorganisme efektif [14].

(5)

POA yang digunakan sebagai sumber nutrisi, sumber mikroba dan sebagai

sumber Moisture Content (MC) pada pembuatan kompos bersumber dari pengolahan lanjutan konversi LCPKS menjadi biogas. Effluent yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik aktif sudah melewati proses degradasi anaerob di tangki fermentor pengolahan biogas. Effluent dari fermentor biogas masih mengandung bakteri pendegradasi metana dan pendegradasi karbondioksida, yang ternyata merupakan salah satu bakteri penambat nitrogen [15]. Effluent juga mengandung unsur makro yang penting untuk pertumbuhan tanaman seperti unsur N, P, K, danunsur mikro yaitu Cu, Fe, Mg, S, dan Zn [16].

Effluent dari biogas jika dimanfaatkan sebagai pupuk untuk tanaman dapat meningkatkan hasil pertanian dan dapat memperbaiki kesuburantanah. Menurut Junus, effluent biogas yang keluar dari tangki pencerna (digester) terdiri dari dua komponen yaitu bagian padat dan cair. Limbah cair lebih banyak mengandung unsur N dan K sedangkan padatannya lebih banyak mengandung unsur P [17].

Berikut ini data POA dari effluent dari pengolahan LCPKS LP3M-Biogas USU yang akan digunakan sebagai bahan tambahan proses pengomposan TKKS : Tabel 2.4 Data POA effluent dari pengolahan LCPKS LP3M-Biogas USU [15]

No Parameter Satuan Kandungan

1. Nitrogen % 0,14

Kompos adalah hasil penguraian bahan organik melalui proses biologis dengan bantuan organisme pengurai. Proses penguraian dapat berlangsung secara aerob (dengan udara) maupun anaerob (tanpa bantuan udara) [18]. Kompos dari

(6)

manajemen limbah padat dan khususnya pengalihan biodegradables dari

penimbunan [19].

Pengomposan merupakan sarana mengubah berbagai limbah organik menjadi produk yang dapat digunakan secara aman dan menguntungkan sebagai pupuk hayati [12]. Organisme yang bertanggung jawab untuk kompos memerlukan kondisi gizi dan lingkungan tertentu untuk bertahan hidup dan fungsi. Mereka membutuhkan jumlah yang cukup makro dan mikro-nutrisi, oksigen, dan air. Organisme ini mengalami tingkat pertumbuhan yang optimal hanya dalam suhu tertentu dan rentang pH [20].

Fungsi utama kompos adalah membantu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Secara fisik kompos dapat menggemburkan tanah, aplikasi kompos pada tanah akan meningkatkan jumlah rongga sehingga tanah menjadi gembur. Sementara sifat kimia yang mampu dibenahi dengan aplikasi kompos adalah meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK) pada tanah dan dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam menyimpan air (water holding capacity). Sedangkan untuk perbaikan sifat biologi, kompos dapat meningkatkan populasi mikroorganisme dalam tanah. Keunggulan kompos adalah kandungan unsur hara makro maupun mikronya yang lengkap. Unsur hara makro yang terkandung dalam kompos antara lain N, P, K,Ca, Mg,dan S, sedangkan kandungan unsur mikronya antara lain Fe, Mn, Zn, Cl, Cu, Mo, Na dan B.. Dalam proses pengomposan organisme pengurai mengambil sumber makanan dari sampah atau bahan organik yang diolah lalu mengeluarkan sisa metabolisme berupa karbon dioksida (CO),

serta panas yang menghasilkan uap air (H2O). Oleh karena itu, kinerja organisme pengurai dapat dipantau dengan pengamatan temperatur (suhu), tekstur, struktur dan perubahan warna serta bau. Peningkatan suhu, tekstur dan struktur tidak lengket dan remah serta warna manjadi gelap mengkilat menandakan adanya kegiatan organisme pengurai yang berjalan dengan baik dan bau menyengat kompos yang semakin hari semakin hilang [21].

2.3.2 Proses Pengomposan

(7)

kumpulan mikroorganisme yang berasal dari udara, tanah, air, dan sumber

lainnya, lalu di dalamnya terjadi proses dekomposisi dengan bantuan oksigen [22]. Proses pengomposan bahan organik dapat terlihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.3 Sekema Proses Pengomposan [12]

Proses dekomposisi akan berjalan dalam empat fase, yaitu mesofilik, termofilik, pendinginan, dan masak. Hubungan diantara keempat fase tersebut sebagai berikut:

a. Pada proses permulaan, media mempunyai nilai pH dan temperatur sesuai dengan kondisi lingkungan yang ada, yaitu pH + 6.0 dan temperatur antara 18-22°C.

b. Sejalan dengan adanya aktivitas mikroba di dalam bahan, maka temperatur mulai naik, dan akhirnya akan dihasilkan asam organik

c. Pada kenaikan temperatur diatas 40°C, aktivitas bakteri mesofilik akan terhenti,

kemudian diganti oleh kelompok termofilik. Bersamaan dengan pergantian ini, amoniak dan gas nitrogen akan dihasilkan, sehingga nilai pH akan berubah kembali menjadi basa

d. Kelompok jamur termofilik, yang terdapat selama proses, akan mati akibat

kenaikan temperatur diatas 60°C. Selanjutnya akan diganti oleh kelompok bakteri dan actinomycetes termofilik sampai batas temperatur ± 86°C.

(8)

Sedangkan menurut Sekarsari, proses pengomposan dibagi dalam tiga fase

yaitu lag phase, active phase dan curing phase atau maturation phase [22].

Gambar 2.4 Grafik Perbandingan Suhu Terhadap Tahapan Proses Pengomposan [22]

Berikut adalah penjelasan untuk masing- masing fase : a. Lag Phase

Fase ini dimulai saat pertama kali kompos dibuat. Dalam fase ini mikroba yang terdapat dalam limbah padat atau bahan baku kompos beradaptasi. Mikroba mulai berkembang biak, dengan menggunakan glukosa, pati, selulosa sederhana, dan asam amino yang terdapat dalam limbah padat.

b. Active Phase

Perpindahan dari lag phase menuju active phase ditandai dengan peningkatan

(9)

c. Curing Phase atau Maturation Phase

Pada fase ini pasokan bahan yang mudah terurai habis dan tahap pematangan dimulai. Pada tahap pematangan, bahan organik dan mikroba mengalami penurunan jumlah dan suhu akan turun mendekati suhu ruangan [22].

Metode pengomposan yang umum digunakan seperti : pengomposan pasif, windrows, penumpukan aerasi, dan sekelompok metode yang umum dikenal sebagai pengomposan di wadah tertutup. Pengomposan pasif hanya terdiri dari penumpukan bahan baku dan meninggalkan bahan kompos untuk proses pengomposan selama jangka waktu yang panjang. Pengomposan metode windrow adalah pembuatan kompos dengan menumpuk bahan organik atau limbah

biodegradable, seperti kotoran hewan dan sisa tanaman, dalam tumpukan berbaris yang panjang, metode windrow merupakan metode yang paling umum digunakan dalam pengomposan skala pertanian. Pengomposan metode penumpukan aerasi menggunakan blower untuk memasok udara ke bahan kompos, blower ini dilengkapi pengontrolan langsung dari proses dan memungkinkan untuk pengomposan tumpukan yang lebih besar. Pengomposan di wadah tertutup merupakan bentuk industri kompos limbah biodegradable yang terjadi dalam reaktor tertutup. Umumnya proses ini menggunakan tangki logam atau bunker beton di mana aliran udara dan suhu dapat dikontrol [23].

2.3.3 Faktor-fakror yang Mempengaruhi Proses Pengomposan

Proses pengomposan dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Faktor yang paling

penting termasuk suhu, kadar air, karbon nitrogen rasio, tingkat laju aerasi, pH, dan fisik struktur bahan baku [7].

(10)

pengomposan harus dikontrol. Berikut ini penjelasan dari beberapa faktor yang

mempengaruhi proses pengomposan [24].

2.3.3.1 Nutrisi

Carbon ( C ), nitrogen ( N ), fosfor ( P ) dan kalium ( K ) adalah nutrisi utama yang dibutuhkan oleh mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan, serta nutrisi utama untuk tanaman dan akan mempengaruhi kualitas kompos. Hampir semua bahan organik yang digunakan untuk kompos mengandung semua nutrisi ini di berbagai tingkatan yang menggunakan mikroorganisme untuk energi dan pertumbuhan. Sebuah pasokan nutrisi tidak mencukupi atau berlebihan dapat menyebabkan kompos berkualitas rendah. Tirado menjelaskan efek menguntungkan dari kompos terhadap pertumbuhan tanaman dikaitkan dengan peningkatan pasokan nutrisi bagi tanaman [23].

2.3.3.2 Rasio C/N

C/N adalah salah satu makronutrien dengan kebutuhan relatif dalam proses selulernya sebesar 25 : 1 [25]. Karbon dan nitrogen digunakan dalam metabolisme mikroorganisme dan sintesis membran sel. Pemakaian karbon di dalam pengomposan digunakan sebagai sumber energi. Karbon digunakan pada pembentukan membran, protoplasma dan dinding sel produk sintesis serta mengoksidanya menjadi karbon dioksida. Sedangkan nitrogen, menurut Baharuddin et al., digunakan dalam sintesa protein [5]. Nitrogen juga digunakan

sebagai nutrien atau senyawa esensial pada protoplasma. Selain itu, bakteri mengandung 7-11% nitrogen dalam berat kering, sedangkan fungi mengandung 4-6% nitrogen dalam berat kering. Oleh karenanya, pebandingan pemakaian karbon akan lebih tinggi dibanding nitrogen sehingga kebutuhannya pun akan lebih banyak [26].

(11)

2.3.3.3 Ukuran Bahan Kompos

Ukuran bahan kompos berkaitan dengan nutrien misalnya distribusi nutrien yang tergantung pada ukuran bahan sampah. Secara teoritis, laju dekomposisi akan meningkat dengan partikel organik yang semakin kecil [26]. Reduksi ukuran bahan dapat dilakukan dengan pencacahan. Ukuran bahan mempengaruhi drag force antara bahan sampah, internal friction, dan bulk density.

Sebagian besar dari dekomposisi aerobik pengomposan terjadi pada permukaan bahan, karena oksigen bergerak mudah sebagai gas melalui ruang pori tapi jauh lebih lambat melalui bagian cair dan padat dari bahan. Bahan yang lebih kecil mengurangi porositas efektif. Kualitas kompos ynang baik biasanya diperoleh ketika ukuran bahan berkisar dari rata-rata diameter 1/8 - 2 inci [23].

2.3.3.4 Temperatur

Suhu adalah salah satu parameter penting untuk mengamati efesiensi proses pengomposan, tidak hanya pengaruh laju reaksi biologi dan perubahan populasi mikroba, tetapi juga bentuk fisik dan kimia kompos [5,27]. Pengomposan pada dasarnya berlangsung dalam dua rentang, dikenal sebagai mesofilik (10 - 40 0

C) dan termofilik (di atas 40 0C) . Kebanyakan pengomposan berlangsung pada suhu antara 45 0C dan 65 0C. Suhu termofilik merupakan kondisi suhu yang menghasilkan dekomposisi yang lebih cepat [23].

Peningkatan temperatur disebabkan oleh reaksi eksoterm dan aktifitas

metabolisme mikroorganisme. Pada metode windrow, temperatur akan naik karena pengadukan dan hanya dapat dikontrol secara tidak langsung dengan pengukuran setelah pengadukan. Setelah pengadukan, biasanya temperatur akan turun 5 – 10°C , namun akan kembali naik setelah beberapa jam. Temperatur pada

(12)

2.3.3.5 pH

Pengontrolan pH sangat penting seperti temperatur dalam mengevaluasi aktifitas mikroorganisme dan kestabilan sampah. pH pengomposan awal sampah organik berkisar antara 5 -7. Pada awal pengomposan, pH akan turun sampai 5 atau kurang dari itu karena organik akan berada pada temperatur ambien dan aktifitas mikroorganisme mesofil akan meningkat dalam menduplikasi diri sehingga produksi asam organik akan meningkat dan pH akan turun. Pada saat termofilik, temperatur akan naik dan terjadi aerobik proses sehingga pH akan naik sampai 8 – 8,5. Setelah kompos matang, pH akan turun menjadi 7 – 8 [24]. Pada pengomposan bahan dengan kandungan lignin yang tinggi dengan lumpur biologis, pH cenderung rendah yakni sekitar 5,1-5,5 [18].

2.3.3.6 Kadar Air

Moisture diperlukan untuk mendukung proses metabolisme mikroba dan merupakan suatu paremeter penting untuk dikendalikan dalam pengomposan [23,5,2,4,27]. Kelembaban yang optimum berkisar antara 50 – 60%. Kadar air dapat juga ditambahkan dengan penambahan air. Apabila kelembaban kompos kurang dari 40% maka reaksi akan melambat [24].

Pada saat matang, kadar air yang disayaratan oleh SNI 19-7030-2004 adalah kurang dari 50% [28]. Kadar air dalam kompos matang tidak baik apabila terlalu tinggi. Hal ini dikarenakan karena kadar air secara langsung berhubungan dengan nilai water holding.

2.3.3.7 Penambahan Air, Mikroorganisme, dan Pencampuran Bahan Lain

(13)

2.3.3.8 Pengadukan

Pengadukan dilakukan untuk menambah atau mengurangi kelembaban pada kompos agar sampai pada kelembaban yang optimum. Pengadukan juga dapat dilakukan untuk meratakan distribusi nutrien untuk mikroorganisme. Pengadukan merupakan faktor yang penting dalam mengontrol kelembaban, kebutuhan udara atau oksigen untuk keadaan aerob. Untuk kompos dengan menggunakan sampah organik membutuhkan 15 hari periode pengomposan dengan kelembaban 50-60% dan pengadukan lebih baik dilakukan setelah hari ketiga dan dilakukan setelah hari itu sampai mendapatkan pengadukan 4–5 kali [24]. Menurut Amanah, pengadukan sangat berpengaruh pada pencapaian suhu yang maksimum dan memperpanjang periode pengambilan oksigen. Pengadukan yang dilakukan oleh Amanah adalah setiap hari, 4 hari sekali, dan 8 hari sekali dimana pengadukan yang dilakukan setiap hari akan lebih mengurangi panas dalam gundukan karena proses penguapan. Penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa pengadukan 4 hari sekali relatif efektif dalam pencapaian suhu maksimum dan pengurangan kadar air [29].

2.4 PENGGUNAAN TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS)

SEBAGAI KOMPOS DENGAN PENAMBAHAN BAHAN

ORGANIK

Industri kelapa sawit memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia apabila mampu mampu menciptakan produk dari olahan limbahnya, seperti pembuatan produk kompos. Peningkatan proses pengomposan dapat dicapai dengan menambahkan bahan amandemen organik seperti kotoran hewan dan limbah pabrik kelapa sawit yang lain [6]. Menerapkan POME sebagai bahan amandemen dapat dianggap menguntungkan karena dapat mengurangi total aliran POME kepengolahan air limbah.

Banyak penelitian terdahulu dilakukan untuk pengolahan kompos dari TKKS. Zahrim dan Asis melakukan penelitian mengenai produksi semi-kompos

(14)

open turned windrow dengan dimensi area panjang 4 m, tinggi 1,5 m dan lebar 40

m. Setiap windrow berisi sekitar 120 metrik ton TKKS dan 324 metrik ton POME. Setelah inokulasi dengan bakteri, TKKS disemprot dengan POME, proses pembalikan dilakukan dengan menggunakan traktor dilengkapi alat macerator untuk menghomogenkan kompos dan meningkatkan kemampuan aerasi. Proses pembalikan dilakukan pada hari ke- 10, 20, 30 dan 40 dan pengambilan sampel untuk analisa dilakukan di sembilan titik pada unit widrow. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa total waktu pengomposan termasuk persiapan adalah sekitar 40-45 hari, temperatur selama pengomposan mengalami fluktuasi dimana suhu awal pengomposan adalah 53 0C. Setelah dua hari, suhu turun di bawah 50 0C, setelah dilakukan pembalikan pertama, terjadi peningkatkan suhu lebih dari 50 0C. Pada hari 10 sampai hari 25, suhu dipertahankan pada sekitar 45 sampai 55 º C dengan bantuan putar yang kecil, namun pembalikan pada hari ke 40 tidak terjadi peningkatan suhu dan untuk kandungan oksigen dipertahankan di atas 10 % . Kompos yang dihasilkan memiliki kualitas pH 7,9 ; N 1,9%; P2O5 0,6 %; K2O 2,0%; MgO 0,8 % dan rasio C/N 20 [6].

Penelitian yang dilakukan Nutongkaew et al., pengomposan TKKS dengan campuran Palm Oil Mill Biogas Sludge (POMS) dan Decanter Cake (DC) menggunakan variasi perbandingan berat dan menggunakan penambahan 7 gram bakteri Super LD1 yang dinokulasikan. Dilakukan penambahan Biogas Effluent

(BE) setiap setelah pengadukan untuk menjaga kadar air 60-70%, serta penambahan Palm Oil Fuel Ash (POFA) untuk menjaga kondisi pH pada kisaran

(15)

Penelitian yang dilakukan oleh Kananam et al., adalah untuk mengetahui

perubahan biokimia pengomposan TKKS dengan lumpur decanter dan kotoran ayam sebagai sumber nitrogen. Pada penelitian ini juga dilakukan penambahan tanah merah yang mengandung Fe, berfungsi untuk acceptor elektron mikroorganisme dalam kondisi anaerobik, dan lumpur decanter yang digunakan berasal dari limbah pabrik kelapa sawit. Prosesnya divariasikan dalam kondisi aerobik dan anaerobik. Untuk kondisi aerobik pada penelitian ini ditambahkan benih mikroorganisme yang terdiri dari jamur (Corynascus sp., Scytalidium sp.,

Chaetomium sp., dan Scopulariopsis sp) dan bakteri (Bacillus sp), sedangkan untuk kondisi anaerobik benih mikroorganisme yang ditambahkan mengndung ragi (Saccharomyces sp), bakteri asam laktat (Lactobacillus sp), dan bakteri katabolisme protein (Bacillus sp). TKKS dipotong dengan ukuran 2-5 cm dengan mesin penggiling lalu dimasukkan ke dalam bak silender, dimana untuk kondisi aerobik diberi lubang pada dinding untuk mengalirkan oksigen, selanjutnya setiap bak silender yang mengandung TKKS divariasikan komposisi penambahan lumpur decanter, kotoran ayam dan tanah merah. Benih mikroorganisme yang telah ditentukan, selanjutnya ditambahkan ke masing–masing komposter baik kondisi aerobik maupun anaerobik. Untuk kondisi aerobik tumpukan dibasahi dengan air dan kelembaban dipertahankan 50-70%, sedangkan tumpukan anaerobik juga dibasi dengan air dengan kelembaban dijaga lebih dari 80%. Hasil yang diperoleh penggunaan lumpur decanter dan kotoran ayam dalam kondisi aerob dapat diselesaikan dalam waktu 30 hari sedangkan pada kondisi anaerob

(16)

Penelitian yang dilakukan oleh Baharuddin et al., mengenai pengaruh dari

POME anaerobic sludge yang berasal dari 500 m3 closed anaerobic methane ddigested tank dengan TKKS yang telah ditekan dan dirobek pada proses pengomposan. POME anaerobic sludge yang digunakan berasal dari pengolahan biogas, limbah ini memiliki nutrisi dan sumber mikroba yang tinggi dan cocok digunakan untuk bahan tambahan proses pengomposan. Proses dilakukan pada unit composter berbentuk blok yang disusun dari batu bata dengan dimensi panjang 2,1 m, lebar dan tinggi 1,5 m. Pada penelitian ini TKKS ditekan dan dirobek dengan ukuran panjang 15 sampai 20 cm, lalu dicampur di blok

composter dengan POME anaerobic sludge, rasio penambahan TKKS:POME sebanyak 1:1. Untuk mempertahankan kadar air tumpukan kompos, POME ditambahkan setiap tiga hari dengan menggunkan pompa dan penambahan POME dihentikan seminggu sebelum dilakukan panen, sedangkan pengadukan dilakukan tiga kali seminggu. Hasil yang diperoleh waktu pengomposan singkat, yaitu 40 hari dengan rasio C/N akhir 12,4. Suhu pengomposan selama pengolahan terjadi pada fase termofilik yaitu 60-67 0C, sedangkan pH tumpukan kompos hampir konstan selama proses berkisar 8,1-8,6. Kadar air kompos mengalami penurunan dari awal sampai akhir composting yaitu dari 64,5 % menjadi 52 % dan banyaknya jumlah nutrisi serta rendahnya tingkat logam berat yang terdapat pada kompos [2].

2.5 KOMPOSTER TAKAKURA

(17)

Takakura adalah sebuah komposter yang terbuat dari keranjang yang

dilapisi dengan karpet pada bagian dalamnya, yang bertujuan untuk mencegah masuknya serangga. Metode pengomposan dengan Takakura ini memungkinkan untuk pembuatan kompos yang mudah, higienis dan berkualitas baik dalam waktu yang singkat [31]. Adapun gambar takakura dapat dilihat pada gambar 2.5.

Gambar 2.5 Komposter Takakura [31]

2.6 PENGARUH PENCAMPURAN BAHAN KOMPOS DAN

PENGADUKAN

2.6.1 Pengaruh Pencampuran Bahan Kompos

Salah satu parameter kimia kompos yang harus diperhatikan dalam membuat kompos adalah kadar karbon dan nitrogen. Untuk mendapatkan kadar karbon dan nitrogen yang sesuai dengan standar kompos, maka diperlukan informasi mengenai kandungan karbon dan nitrogen awal.

Kadar karbon dan nitrogen dapat diatur dengan melakukan pencampuran bahan-bahan kompos. Sebelumnya, bahan-bahan kompos ini telah diketahui kadar karbon dan nitrogen. Kemudian dilakukan perhitungan sebagai berikut :

(18)

2.6.2 Pengaruh Pengadukan

Menurut Tirado sistem pengomposan yang efisien sangat berkorelasi dari pengaruh pengadukan [23]. Oksigen sangat dibutuhkan dalam proses pengomposan aerob. Oksigen dapat diberikan dari proses pengadukan atau suplai oksigen secara langsung melalui diffuser. Pemberian oksigen dilakukan untuk mencapai tiga tujuan yakni :

1. Penguraian bahan organik (stoichiometric demands)

Oksigen dibutuhkan oleh bahan organik dalam proses dekomposisi (stoichiometric demands). Penguraian bahan organik tersebut tergantung jenis bahan organik dalam bahan kompos. Kebutuhan oksigen tersebut dapat dihitung dengan menggunakan perhitungan stoikiometri.

2. Pengurangan kadar air dalam kompos (drying demands)

Pengurangan kadar air dalam kompos sangat penting terutama pada jenis pengomposan dengan bahan kompos basah seperti lumpur. Udara dapat dipanaskan oleh bahan kompos dan mengambil kandungan kadar air sehingga terjadi proses pengeringan.

3. Pengurangan panas yang dihasilkan oleh proses degradasi bahan organic (heat

demands)

Pengurangan panas pada proses pengomposan akibat proses degradasi sangat penting dalam mengatur temperatur kompos. Pada temperatur yang tinggi, mikroorganisme mesofilik akan mati sehingga dapat mempengaruhi proses pengomposan. Oleh karenanya, suplai oksigen sangat penting dalam

pengomposan [29].

2.7 STANDAR KUALITAS KOMPOS DI INDONESIA

(19)

Tabel 2.5 Standar Kualitas Kompos [28]

No Parameter Satuan Minimum Maksimum

(20)

Tabel 2.6 Parameter Kematangan Kompos [22]

2.9 PEMANFAATAN KOMPOS

Pemanfaatan kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek yaitu:

1. Aspek Bagi Tanah Dan Tanaman

a. Memperbaiki produktivitas dan kesuburan tanah

Pemakaian kompos dapat meningkatkan produktivitas tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi tanah. Secara fisik, kompos dapat menggemburkan tanah, meningkatkan pengikatan antar partikel dan kapasitas mengikat air sehingga dapat mencegah erosi dan longsor serta dapat mengurangi tercucinya nitrogen terlalut dan memperbaiki daya olah tanah. Sedangkan secara kimia, kompos dapat meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK), ketersediaan unsur hara dan ketersediaan asam humat. Asam humat akan membantu meningkatkan proses pelapukan bahan mineral. Secara biologi, kompos merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme tanah, sehingga mikroorganisem akan berkembang lebih cepat dan dapat

menambah kesuburan tanah.

b. Menyediakan hormon,vitamin dan nutrisi bagi tanaman

Tanaman membutuhkan nutrisi (makanan) untuk kelangsungan hidupnya. Tanah yang baik mempunyai unsur hara yang dapat mencukupi kebutuhan tanaman. Berdasarkan jumlah yang dibutuhkan tanaman, unsure hara yang diperlukan tanaman dibagi menjadi 2 golongan yaitu :

 Unsur hara primer, yaitu unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah

banyak seperti Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K), Sulfur (S), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg)

Parameter Indikator

Suhu Stabil

pH Alkalis

Perbandingan C/N <20

Laju Respirasi <10 mg g-1 kompos

Warna Coklat Tua

(21)

 Unsur hara mikro yaitu unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah

sedikit, seperti Tembaga (Cu), Seng (Zn), Klor (Cl), Boron (B), Mangan (Mn) dan Molibdenum (Mo)

c. Memperbaiki struktur tanah

Struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir-butir tanah. Gumpalan struktur terjadi karena butir-butir debu, pasir dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat seperti bahan organik dan oksida besi. Tanah tergolong jelek apabila butir-butir tanah tidak melekat satu sama lain atau saling merekat erat. Tanah yang baik adalah tanah yang remah dan granuler yang mempunyai tata udara yang baik sehingga aliran udara dan air dapat masuk dengan baik. Kompos merupakan perekat pada butir-butir tanah dan mampu menjadi penyeimbang tingkat kerekatan tanah. Selain itu, kehadiran kompos pada tanah menjadi daya tarik bagi mikroorganisme untuk melakukan aktivitas pada tanah. Dengan demikian, tanah yang semula keras dan sulit ditembus air maupun udara, kini dapat menjadi gembur akibat aktivitas

mikroorganisme. Struktur tanah yang gembur amat baik bagi tanaman. d. Menambah kemampuan tanah untuk menahan air

Tanah yang bercampur dengan bahan organik seperti kompos mempunyai pori-pori dengan daya rekat yang lebih baik sehingga mampu mengikat serta menahan ketersediaan air di dalam tanah. Kompos dapat menahan erosi secara langsung. Hujan yang turun deras mengenai permukaan tanah akan mengikis tanah sehingga unsur hara terangkut habis oleh air hujan. Dengan adanya kompos, tanah terlapisi secara fisik sehingga tidak mudah terkikis dan akar tanaman terlindungi. Kemampuan tanah untuk menahan air ini (water holding capacity) berhubungan erat dengan besarnya kadar air dalam gundukan kompos

2. Aspek Ekonomi

a. Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah b. Mengurangi volume/ukuran limbah

c. Memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari pada bahan asalnya

(22)

3. Aspek Lingkungan

a. Membantu meringankan beban pengelolaan sampah

b. Tidak menimbulkan masalah lingkungan. Penggunaan pupuk kimia ternyata berpengaruh buruk, tidak hanya meracuni tanah dan air saja, tetapi juga meracuni produk yang dihasilkan. Sebagai contoh, pupuk urea terbuat dari senyawa hidrokarbon yang juga digunakan untuk kendaraan bermotor. Senyawa ini akan berubah jadi Nitrit. Senyawa inilah yang kemudian menimbulkan efek jangka panjang berupa kanker atau keracunan langsung [22].

2.10 POTENSI EKONOMI

Penelitian kompos ini dapat diterapkan dalam skala home industry ataupun dalam skala pabrik. Namun pada potensi ekonomi ini akan dihitung pada skala

home industri dengan pengolahan TKKS sebanyak 1.500 kg/hari. Dimana bahan baku TKKS yang digunakan berasal dari PKS Rambutan PTPN III Tebing Tinggi dan POA yang berasal dari LP2M Biogas USU, serta lokasi pembuatan kompos dilakukan pada LP2M USU. Rincian biaya ditunjukkan dalam tabel 2.7 berikut. Tabel 2.7 Rincian Biaya Pembuatan Kompos

NO Jenis Biaya Jumlah Satuan @ Harga (Rp) Biaya (Rp)

1 TKKS 1500 kg 200 300.000

2 Transportasi 1500 kg 333 500.000 3 Pekerja 2 Orang harian 50.000 100.000

Total 900.000

Dari rincian biaya pembuatan kompos di atas, maka total biaya pembuatan kompos kg/hari adalah:

Rp 900.000,-/1500kg = Rp 600,-/kg

Dari pengolahan 1 kg TKKS menghasilkan ±0,8 kg kompos, sehingga dari pengolahan 1.500 kg TKKS akan menghasilkan kompos sebanyak:

1.500 kg x 0,8 = 1.200 kg/hari

(23)

1.200 kg x Rp 1.000,- = Rp 1.200.000

Sehingga keuntungan yang didapatkan perharinya adalah: Harga total penjualan Rp 1.200.000,-

Biaya Operasi Rp 900.000,- Rp 300.000,-

Gambar

Tabel 2.1 Data luas areal perkebunan kelapa sawit, produksi CPO dan kernel di Indonesia dari tahun 2006-2010 [1]
Gambar 2.1 Proses Pengolahan Kelapa Sawit [10]
Gambar 2.2 Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) [10]
Tabel 2.3 Komposisi TKKS [13]
+6

Referensi

Dokumen terkait

Kerjasama antara pemerintah desa dengan masyarakat dalam mengelola dana desa dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya atau potensi dari masyarakat itu sendiri,

belajar siswa. Kemudian secara khusus dapat disimpulkan sebagai bahwa, 1) aktivitas belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe snowball throwing di kelas

Metode yang digunakan untuk uji aktivitas antibakteri adalah metode difusi agar menggunakan paperdisk .Hasil isolasi diperoleh 16 isolat bakteri dari bagian rimpang, akar,

Pada tahap decline , perusahaan memiliki kesempatan tumbuh yang terbatas, menghadapi persaingan yang semakin tajam, pangsa pasar potensial yang semakin sempit, dan

Hal ini dapat juga dilihat dari lokasi tindak kekerasan paling banyak terjadi di rumah korban atau rumah pelaku.Setidaknya ini menunjukkan bahwa pelaku adalah

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai penambah referensi ilmu pengetahuan khususnya dalam di bidang keperawatan maternitas dan dapat menambah pengetahuan

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pembelajaran Baca Tulis Al-Qur’an adalah proses memperoleh ilmu bagi individu dengan cara melafazkan bacaan dan menulis

PIDATO GURU BESAR PERIZINAN SEBAGAI INSTRUMEN YURIDIS DALAM PELAYANAN PUBLIK TATIEK SRI DJATMIATI.. 37/1999 tentang kewajiban adanya Persetujuan Prinsip yang berlaku sebagai