• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembentukan Spora - Pengaruh pH dan Perubahan Temperatur Terhadap Pembentukan Spora Bacillus sp. BK17

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembentukan Spora - Pengaruh pH dan Perubahan Temperatur Terhadap Pembentukan Spora Bacillus sp. BK17"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembentukan Spora

Spora bakteri umumnya disebut endospora, karena spora dibentuk di dalam sel. Ada dua tipe sel spora yang terbentuk, yang pertama terbentuk di dalam sel, yang disebut dengan endospora dan spora yang terbentuk di luar sel yang disebut eksospora. Spora bakteri tidak berfungsi untuk perkembangbiakan. Bentuk spora bermacam-macam, bulat atau bulat memanjang, bergantung pada spesiesnya. Ukuran endospora lebih kecil atau lebih besar daripada diameter sel induknya. Kebanyakan bakteri pembentuk spora adalah penghuni tanah, tetapi spora bakteri dapat tersebar dimana saja (Waluyo, 2007).

Letak endospora di dalam sel serta ukurannya tidak sama bagi semua spesies. Beberapa spora letaknya sentral yaitu dibentuk di tengah-tengah sel, terminal, yaitu dibentuk di ujung, subterminal yaitu dibentuk di dekat ujung. Adanya letak serta ukuran endospora sangat bermanfaat di dalam pencirian dan identifikasi bakteri (Pelczar & Chan, 2008). Terdapat enam marga bakteri

penghasil endospora yaitu Bacillus, Sporolactobacillus, Clostridium, Desulfotomaculum, Sporosarcina, Thermoactinomycetes. Sebelum digolongkan

menjadi enam marga, bakteri penghasil endospora dibagi menjadi dua kelompok, yaitu termasuk Marga Bacillus jika merupakan gram positif, dan termasuk marga Clostridium jika merupakan gram negatif (Hatmanti, 2000).

(2)

menyediakan ketahanan untuk spora. Selama germinasi dan pertumbuhan, korteks dihidrolisis dan membran luar paraspora dan mantel spora dihilangkan diikuti dengan munculnya sel (Ray, 2004).

Dinding spora bersifat impermeabel, tetapi zat-zat warna dapat diserap kedalamnya dengan jalan memanaskan preparat. Sifat impermeabel ini mencegah dekolorisasi spora oleh alkohol bila diperlakukan dalam waktu yang sama seperti pada dekolorisasi sel-sel vegetatif (Irianto, 2006). Lapisan luar spora merupakan penahan yang baik terhadap bahan kimia, sehingga spora sukar untuk diwarnai. Spora bakteri dapat diwarnai dengan dipanaskan. Pemanasan menyebabkan lapisan luar spora mengembang, sehingga zat warna dapat masuk (Lay, 1994). Spora bakteri sangat sulit diwarnai dengan pewarna biasa, oleh karena itu harus diwarnai dengan pewarna spesifik (Fardiaz, 1992). Bahan yang digunakan untuk pewarnaan spora dapat memakai larutan malachite green dan larutan safranin

(Waluyo, 2010).

Setiap sel bakteri hanya dapat membentuk satu spora. Struktur endospora

bervariasi untuk setiap jenis maupun spesies, tetapi struktur umumnya hampir sama. Jika endospora ditempatkan di dalam suatu medium yang baik, akan terjadi germinasi, spora akan mengambil air dari sekelilingnya, membengkak dan berkecambah. Lapisan luar spora pecah dan spora akan tumbuh menjadi sel vegetatif (Fardiaz, 1992).

Menurut Ray (2004), proses sporulasi dapat dibagi ke dalam 7 tahap. Pertama tahap penghentian replikasi DNA, diikuti dengan penjajaran kromosom di dalam filamen aksial dan pembentukan mesosom. Invaginasi membran sel dan pembentukan septum. Pembentukan prespora atau paraspora pun terjadi. Pembentukan dinding sel germinal dan korteks, akumulasi ion Ca2+ dan sintesis DPN. Deposisi mantel spora, pematangan spora, dehidrasi protoplas dan resistensi untuk panas. Tahap akhir terjadi lisis enzimatis pada dinding sel dan pembebasan spora. Siklus sporulasi dapat dilihat pada Gambar 2.1.1.

(3)

dipikolinik disintesis di dalam sel vegetatif untuk diberikan kepada prespora bersama dengan kation divalen (Ca2+), hal ini menyebabkan dehidrasi dan mineralisasi spora (Todd et al., 2003).

Gambar 2.1.1 Siklus sporulasi. (1–4) Multiplikasi sel, (5) Pembentukan filamen aksial, (6) Pembentukan septat, (7) Pembentukan prespora, (8) Pembentukan korteks, (9) Pembentukan mantel, (10) Spora bebas, (11) Germinasi diikuti dengan aktivasi, (12) Pembengkakan spora, (13) Pertumbuhan sel (Ray, 2004)

Sel bakteri memiliki kemampuan dalam memonitor sejumlah sinyal internal dan eksternal. Informasi disalurkan melalui sistem pengaturan yang terpisah. Komponen regulator transkripsi ini disebut dengan Spo0A. Spo0A dibentuk untuk mengontrol proses transkripsi dan aktivitas protein melalui proses fosforilasi. Fosforilasi Spo0A merupakan regulator sporulasi yang sangat penting dan bekerja mengaktifkan transkripsi pada beberapa proses sporulasi. Gen spesifik yang digunakan dalam proses sporulasi antara lain spoIIA, spoIIE dan spoIIG (Errington, 2003). Spo0A merupakan faktor penting pada proses sporulasi selama perkembangan sel vegetatif (Fujita & Losick, 2003). Fawcett et al. (2000) telah meneliti ratusan gen pada Bacillus subtilis, lebih dari 10% gen Bacillus subtilis dikontrol oleh Spo0A.

(4)

berbeda dengan bakteri pembentuk spora lainnya karena menghasilkan beberapa spora (Angert & Losick, 1998). Bahkan ada organisme yang berbentuk bulat, misalnya Sporosarcina yang sulit untuk membentuk sel yang asimetri saat memulai sporulasi, tetapi masih dapat membentuk endospora dengan menggunakan regulator yang umum digunakan (Chary et al., 2000).

Sporulasi menghasilkan dua sekat pada sel dengan ukuran yang berbeda, bagian prespora berukuran lebih kecil dan sel vegetatif dengan ukuran yang lebih besar dengan pemisahan bahan kromosom di dalam setiap kompartemen. Pembentukan septum yang asimetris ini merupakan suatu tahap perkembangan yang diatur oleh beberapa ekspresi gen. Ekspresi gen ini mempunyai program yang berbeda di antara dua sel tersebut. Dua faktor sigma σFdan σE merupakan alat yang mengatur program sel spesifik untuk mengekspresikan gen. Dua faktor sigma tersebut dibentuk sebelum septum dibentuk (Errington, 2003). Selama sporulasi, pembelahan sel diarahkan pada masing-masing kutub sel kemudian terjadi modifikasi septum, sehingga septum mengandung material dinding sel

(Yehuda & Losick, 2002).

Setelah aktivasi σF pada sekat prespora, σE menjadi aktif di dalam sel vegetatif. Faktor σE disintesis sebagai preprotein inaktif yang diaktifkan oleh proses proteolitik oleh SpoIIGA yang memiliki aktivitas protein serin (Labell et al., 1987). SpoIIGA membutuhkan protein spesifik prespora yang disebut dengan SpoIIR. Pengontrolan SpoIIR diatur oleh aktivitas σF (Karow & Piggot, 1995; Vallejo & Stragier, 1995).

(5)

2.2 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pembentukan dan Ketahanan Spora

Menurut Sembiring & Fachmiasari (2004) selain media, kondisi fisik untuk pertumbuhan seperti temperatur, pH, dan ketersediaan oksigen memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan sporulasi. Temperatur pertumbuhan Bacillus thuringiensis berkisar antara 15° C-45°C dengan temperatur optimum antara 26°C-30°C, tidak terlalu sensitif terhadap pH dan dapat tumbuh pada pH 5,5-8,5 dengan pH optimum 6,5-7,5. Ketersediaan oksigen yang cukup selama proses pertumbuhan memegang peranan penting dalam pertumbuhan Bacillus thuringiensis dan dalam produksi spora hidup. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pembentukan dan ketahanan spora bakteri dijelaskan sebagai berikut.

2.2.1 Temperatur

Temperatur juga mempengaruhi laju pertumbuhan mikroba. Keragaman

temperatur dapat mengubah proses-proses metabolisme tertentu serta morfologi sel, karena semua proses pertumbuhan bergantung pada reaksi kimiawi dan karena laju reaksi-reaksi ini dipengaruhi oleh temperatur, maka pola pertumbuhan bakteri sangat dipengaruhi oleh temperatur (Noviana & Raharjo, 2009).

Beberapa bakteri termofilik pembentuk spora mampu tumbuh pada temperatur tinggi 55º C, antara lain bakteri anaerobik termofilik hidrogen yang menghasilkan sulfida (Desulfotomaculum), bakteri yang menghasilkan hidrogen dan karbon dioksida (Thermoanaerobacterium), Bacillus dan Geobacillus spp. (Doyle, 2007). Bacillus cereus dapat tumbuh pada temperatur optimum 30-40° C (ESR, 2010). Batas pertumbuhannya antara 4-55° C dan temperatur minimum pertumbuhannya pada temperatur 10° C (Schulz et al., 2004).

(6)

Bakteri pembentuk spora merupakan species yang dapat bertahan hidup setelah dipanaskan dengan uap 100° C bahkan lebih (Melliawati, 2009). Spora tahan terhadap temperatur yang mematikan sel vegetatif, spora Clostridium botulinum tahan terhadap temperatur mendidih selama beberapa jam (Waluyo, 2007). Spora dari famili Bacillaceae tahan terhadap panas. Resistensi spora terhadap panas sebagian disebabkan oleh kadar air yang dikandungnya (Irianto, 2006). Bakteri dalam bentuk spora lebih tahan terhadap panas, hal ini karena dinding spora lebih bersifat impermeabel dan spora mengandung sedikit air, sehingga keadaan ini menyebabkan spora tidak mudah mengalami perubahan temperatur. Kadar air yang rendah dan pembungkus spora yang tebal merupakan faktor pendukung ketahanan spora terhadap panas. Spora mungkin masih dapat bertahan pada temperatur air mendidih selama 20 jam (Waluyo, 2007).

Menurut Naufalin (1999) mekanisme ketahanan panas dari berbagai hasil

penelitian menyatakan bahwa senyawa peptidoglikan yang merupakan penyusun korteks dengan struktur ikatan silang dan bersifat elektronegatif, sangat berperan

dalam meningkatkan ketahanan spora terhadap panas dengan cara mengontrol kandungan air di dalam protoplas, yaitu mempertahankan kadar air yang rendah. Beberapa faktor yang ikut mempengaruhi sifat polimer peptidoglikan juga ikut berperan menurunkan ketahanan spora terhadap panas, misalnya adanya asam dan beberapa kation multivalen.

Spora Bacillus cereus tahan terhadap panas sampai temperatur 100° C yang menandakan ketahanan sporanya terhadap kondisi ekstrim. Sel vegetatif Bacillus cereus dapat diinaktivasi melalui pemanasan (ESR, 2010). Spora Bacillus

cereus dibentuk pada siklus pertumbuhan selama 8 jam setelah mengalami

perlakuan panas pada suhu 70-90° C selama 24 jam (Young & James, 1959). Bacillus stearothermophilus dapat membentuk spora dan tumbuh optimum pada

suhu 65° C (Zeigler, 2001).

2.2.2 Derajat Keasaman (pH)

(7)

terbentuk sebagai bahan aktif bioinsektisida. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi kristal protein pada Bacillus thuringiensis subsp. israelensis, salah satunya adalah pH. Pada interval nilai pH 5,5-8,0 menunjukkan bahwa semakin tinggi pH awal medium yang digunakan menyebabkan semakin tinggi potensi produk bioinsektisida yang dihasilkan. Hal ini diduga proses sintesa kristal protein dan sporulasi berjalan optimal. Keadaan ini disebabkan oleh lingkungan pH yang tidak terlalu rendah sehingga pembentukan kompleks spora dan kristal protein dapat berjalan dengan baik (Ahdianto, 2006).

Derajat keasaman (pH) optimum pertumbuhan bagi kebanyakan bakteri berlangsung antara pH 6,5 dan 7,5. Namun, beberapa spesies dapat tumbuh dalam keadaan sangat masam atau sangat alkalin. Bagi kebanyakan spesies, nilai pH minimal dan maksimal ialah antara 4 dan 9 (Noviana & Raharjo, 2009). Pada pH

< 5,0 dan > 8,0 bakteri tidak dapat tumbuh dengan baik, kecuali bakteri asam asetat yang mampu tumbuh pada pH rendah dan bakteri Vibrio sp. yang dapat

tumbuh pada pH tinggi (Zulaikhah, 2005).

Bacillus cereus memiliki pH optimum pertumbuhan yaitu pada pH 6-7 dan

mempunyai batas pertumbuhan antara pH 4,5-9,5. Dari segi ketersediaan oksigen Bacillus cereus termasuk organisme anaerob fakultatif. Spora Bacillus cereus juga tahan pada kondisi asam antara pH 1,0-5,2. Sel vegetatif Bacillus cereus dapat diinaktivasi pada pH 3,7 sampai 5,6 (ESR, 2010). Bacillus laevolacticus DSM 6475 dan strain Sporolactobacillus, kecuali Sporolactobacillus racemicus IAM 12395 tahan terhadap pH 3,0. Bacillus racemilacticus dan Bacillus coagulans toleran terhadap konsentrasi empedu lebih dari 0,3 % (Hyronimus et

al., 2000).

(8)

tumbuh pada pH 7,0 atau 11,0 (Wu et al., 2010). Bacillus thermantarcticus M1 mampu bertahan pada pH 5,5-9,0 (Zeigler, 2001).

2.2.3 Kekeringan

Kandungan air dalam lingkungan mikroorganisme juga mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Dalam lingkungan isotonik, konsentrasi cairan lingkungan setara dengan sel mikroorganisme. Dalam lingkungan ini, cairan dalam sel tidak mengalir keluar, demikian pula cairan dari lingkungan tidak masuk ke dalam sel. Dalam lingkungan hipotonik, konsentrasi cairan lebih rendah dibandingkan di dalam sel mikroorganisme yang menyebabkan cairan dari lingkungan mengalir masuk ke dalam sel mikoorganisme, sehingga sel membengkak dan dapat menjadi pecah. Bila kandungan air di sekitar lingkungannya tidak cukup, maka cairan dalam sel mikroorganisme mengalir

keluar sehingga sel akan menciut dan menyebabkan plasmolisis. Sewaktu plasmolisis, metabolisme terhenti karena bahan yang terdapat di dalam sel sangat

pekat dan menghambat aktivitas enzim. Kekeringan akan menginduksi pembentukan spora bakteri (Lay, 1994). Spora merupakan sel yang dorman yang sengaja dipersiapkan guna menahan pengeringan untuk waktu yang lama (Irianto, 2006).

Menurut Waluyo (2007) kekeringan tidak menyebabkan kematian pada spora. Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh Natalia et al. (2009) diketahui bahwa daya hidup bakteri dipengaruhi oleh kadar air dan nutrisi substrat. Kadar air spora mempengaruhi komponen-komponen yang ada di dalamnya, misalnya protein dan komponen genetik yang sensitif terhadap panas. Menurut Naufalin (1999), kadar air spora yang rendah bertujuan untuk membatasi mobilitas komponen-komponen tersebut. Sebaliknya bila kadar air spora tinggi, mengakibatkan peningkatan kapasitas mengikat air oleh protein dengan terbentuknya gugus sulfidril.

(9)

intraselular air menjadi sangat kecil pada bakteri pembentuk spora (Darwis, 2006). Pertumbuhan Bacillus cereus dapat dihambat dengan kandungan air dibawah 0,91% (ESR, 2010). Spora Bacillus cereus mampu bertahan lama pada kondisi kering selama 48 minggu (Jaquette & Beuchat, 1998).

Pengeringan sel mikroba serta lingkungannya akan mengurangi aktivitas metabolik. Pada umumnya, lamanya mikroorganisme bertahan hidup setelah pengeringan bervariasi tergantung dari jenis mikroorganisme, bahan pembawa yang dipakai untuk mengeringkan mikroorganisme, kondisi fisik (cahaya, suhu, kelembaban) pada organisme yang dikeringkan. Spesies kokus gram negatif seperti Neisseria gonorrhoeae dan Neisseria meningitis sangat peka terhadap kekeringan, sehingga akan mati dalam waktu beberapa jam. Streptococcus jauh lebih resisten, beberapa species dapat bertahan berminggu-minggu setelah dikeringkan. Bacillus tuberculosis dapat bertahan dalam kekeringan selama jangka waktu yang lebih lama. Pada proses liofilisasi, mikroorganisme diberi perlakuan dehidrasi yang ekstrim dalam keadaan beku dan kemudian ditutup rapat dalam vakum. Liofilisasi lebih merupakan proses pengawetan daripada pembasmian mikroorganisme. Biakan mikroorganisme yang diliofilisasi akan tetap hidup selama bertahun-tahun (Pelczar & Chan, 2005).

2.2.4 Radiasi

(10)

lainnya seperti Staphylococcus spp., Bacillus sp. dan koliform. Cobalt-60 digunakan sebagai sumber radiasi ionisasi (Natalia et al., 2009).

Secara umum sumber sinar ultraviolet dapat diperoleh secara alamiah dan buatan. Sinar matahari merupakan sumber utama ultraviolet di alam. Sumber ultraviolet buatan umumnya berasal dari lampu fluorescent khusus, seperti lampu merkuri tekanan rendah (low pressure) dan lampu merkuri tekanan sedang (medium pressure). Lampu merkuri medium pressure mampu menghasilkan radiasi ultraviolet yang lebih besar daripada lampu merkuri low pressure. Namun lampu merkuri low pressure lebih efisien dalam pemakaian listrik dibandingkan lampu merkuri medium pressure. Lampu merkuri low pressure menghasilkan radiasi maksimum pada panjang gelombang 253,7 nm yang letal bagi mikroorganisme, protozoa, virus dan alga, sedangkan radiasi lampu merkuri medium pressure diemisikan pada panjang gelombang 180-1370 nm. Radiasi

ultraviolet yang diabsorbsi oleh protein pada membran sel akan menyebabkan kerusakan membran sel dan kematian sel (Cahyonugroho, 2010).

Bakteri gram negatif adalah yang paling peka terhadap radiasi (Yulianita, 2007). Untuk bakteri pembentuk spora, adanya kandungan air yang rendah dari spora menyebabkan resistensi spora terhadap radiasi. Selama germinasi, kandungan air protoplas spora bertambah dan karena itu resistensi radiasinya sangat berkurang (Darwis, 2006). Sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 265 nm memiliki efisien bakterisidal tertinggi. Sinar X bersifat letal bagi mikroorganisme. Bakteri Escherichia coli dapat letal dengan penyinaran sinar X dengan dosis 5000 rad sedangkan Bacillus mesentericus dapat letal dengan dosis penyinaran sinar X sebesar 130.000 rad. Sinar X memiliki energi dan daya tembus yang tinggi (Pelczar & Chan, 2005).

2.3 Bakteri Pembentuk Spora dan Bacillus sp.

(11)

Bacillus merupakan bakteri pembentuk spora yang optimum tumbuh pada

suhu mesofilik (35º C-55º C). Kelompok penting bakteri pembentuk spora lainnya adalah spesies Clostridium. Clostridium merupakan bakteri anaerob yang dapat tumbuh pada suhu mesofilik dan termofilik (Cousin, 1989). Clostridium spp. mampu mereduksi sulfat, membentuk spora basil, spora lebih kecil dari kista protozoa dan ookista. Spora Clostridium perfringens sangat tahan terhadap kondisi yang tidak menguntungkan termasuk suhu dan pH ekstrim, juga tahan terhadap proses desinfeksi seperti klorinasi (NHMRC & NRMMC, 2011). Beberapa bakteri menunjukkan tingkat resistensi tinggi terhadap klorin. Bakteri pembentuk spora seperti Bacillus atau Clostridium, Mycobacterium dan Nocardia sangat tahan terhadap desinfeksi klorin. Klorin dioksida sebanding dengan klorin bebas untuk inaktivasi bakteri dan virus pada pH netral (WHO, 2004).

Desulfotomaculum menghasilkan spora berbentuk bulat atau oval pada

bagian terminal dan sunterminal yang menyebabkan pembengkakan pada sel. Sporohalobacter menghasilkan spora berbentuk bulat di bagian terminal. Sporolactobacillus menghasilkan spora berbentuk elips dan letaknya terminal, Sporosarcina menghasilkan spora berbentuk bulat diameternya 0,5-1,5 µm, Sulfidobacillus menghasilkan spora berbentuk bulat atau oval dan letaknya di bagian subterminal dan terminal. Syntrophospora menghasilkan spora berbentuk oval dan letaknya di bagian terminal serta membengkak pada sel (Holt et al., 1994).

(12)

Jenis Bacillus spp. menunjukkan bentuk koloni yang berbeda-beda pada medium agar cawan Nutrien Agar. Warna koloni pada umumnya putih sampai kekuningan atau putih keruh, tepi koloni bermacam-macam namun pada umumnya tidak rata, permukaannya kasar dan tidak berlendir, ada yang cenderung kering berbubuk, koloni besar dan tidak mengkilat. Bentuk koloni dan ukurannya sangat bervariasi tergantung dari jenisnya. Setiap jenis Bacillus spp. juga menunjukkan kemampuan dan ketahanan yang berbeda-beda dalam menghadapi kondisi lingkungannya, misalnya ketahanan terhadap panas, asam, kadar garam, dan sebagainya (Hatmanti, 2000).

Genus Bacillus memiliki 25 spesies dengan letak endospora di tengah atau di ujung sporangium (Irianto, 2006). Spora Bacillus mempunyai resistensi yang lebih dibandingkan sel vegetatifnya (Hatmanti, 2000). Spora Bacillus memiliki dinding yang tebal dan sangat resisten terhadap kondisi fisik yang kurang

menguntungkan seperti suhu tinggi, kekeringan, radiasi, asam dan terhadap bahan-bahan kimia seperti desinfektan (Sembiring & Fachmiasari, 2004). Bila

Bacillus subtilis berada dalam kondisi kekurangan nutrisi dalam media, Bacillus

subtilis memiliki strategi bertahan termasuk motilitas, kemotaksis, produksi enzim, transformasi, pembentukan antibiotik untuk menekan persaingan nutrisi (Errington, 2003).

Gambar

Gambar 2.1.1 Siklus sporulasi. (1–4) Multiplikasi sel, (5) Pembentukan filamen aksial, (6) Pembentukan septat, (7) Pembentukan prespora, (8) Pembentukan korteks, (9) Pembentukan mantel, (10) Spora bebas, (11) Germinasi diikuti dengan aktivasi, (12) Pembengkakan spora, (13) Pertumbuhan sel (Ray, 2004)

Referensi

Dokumen terkait

Mengacu pada hal tersebut, maka diharapkan Desa Tresnomaju menggunakan Sistem informasi berbasis Web dengan tujuan agar dapat mempublikasikan ke masyarakat luas serta

Saran yang dapat disampaikan untuk PT TASPEN Surakarta penerapan manajemen komplain harus dipertahankan karena perusahaan tersebut sudah memiliki layanan yang

Perbedaan kultural, setiap kelompok masyarakat akan menanggapi dan merespon isu yang sama secara berbeda, yang secara otomatis akan mempengaruhi efek agenda setting

+alam perencanaan pengadaan sarana dan prasarana kantor perlu melibatkan semua pihak  +alam perencanaan pengadaan sarana dan prasarana kantor perlu melibatkan semua pihak  yang

Dalam hal terdapat perbedaan data antara DIPA Petikan dengan database RKA-K/L-DIPA Kementerian Keuangan maka yang berlaku adalah data yang terdapat di dalam database

Komoditi bukan makanan yang memberi sumbangan besar untuk garis kemiskinan di perkotaan adalah biaya perumahan (30,24 persen), minyak tanah (7,86 persen), pendidikan (6,69

Sejalan dengan fakta di atas, maka diambil judul penelitian sebagai berikut : “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Matematika materi penjumlahan bilangan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Sistem Informasi Penerimaan Peserta Didik Baru Berbasis Web di SMP Negeri 1 Wanasari Brebes,