• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modul Monitoring Pesisir Ekologi dan Sos

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Modul Monitoring Pesisir Ekologi dan Sos"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

MONITORING

PESISIR

(2)

PESISIR

Ekologi dan Sosio-ekonomi

Team leader

Akbar Ario Digdo Agustinus Wijayanto

Team member

Ami Raini Putriraya Andronicus Laely Hidayati

Efra Wantah Topan Cahyono Henry Petra Jonanis

Layout

Langgeng Arief Utomo

Foto Dokumentasi

(3)

DAFTAR ISI

I.Pendahuluan A. Latar belakang B. Maksud dan Tujuan

C. Sumber Pengkajian dan Pemetaan

D. Status Sumberdaya dan Kecenderungan Jangka Panjang E. Status dan Tren Jangka Panjang dari Para Pengguna. F. Memahami Dampak Gangguan Skala Besar

II.Isi

A. Ekosistem Pesisir A.1. Terumbu Karang A.2. Ikan karang A.3. Lamun A.4. Mangrove

B. Konektivitas antar ekosistem C. Metode Pemantauan.

C.1. Aspek Ekologi.

C.1.a. Metode Pengamatan Terumbu Karang C.1.b. Metode Pengamatan Ikan Karang C.1.c. Metode Pengamatan Lamun C.1.d. Metode PengamatanMangrove C.2. Aspek Sosial-Ekonomi

C.2.a. Pemanfaatan sumber daya alam pesisir

C.2.b. Kehidupan keseharian dan kondisi demogra s

D. Prosedur Pelaporan Pelanggaran Akivitas Pesisir via Aplikasi SMS Gateway D.1. Latar Belakang

D.2. Maksud D.3. Tujuan

D.4 Sasaran D.5 SMS Gateway

D.5.a. Kelebihan SMS Gateway D.5.b. Manfaat dan kegunaan

D.5.c. Fungsi SMS Gateway dalam Pengawasan

D.5.d. HPSMS Gateway Yang Sudah Disebarkan kepada Pokmaswas oleh Ditjen PSDKP

D.5.e Pengiriman Laporan melalui SMS Gateway D.5.f. Format Pengiriman Informasi

D.5.g. Hal Yang harus diperhatikan dalam Pengiriman Informasi melalui SMS Gateway

III. Penutup

Daftar Pustaka

1

1

1

2

2

2

2

3

3

4

4

5

7

8

9

10

10

12

13

16

18

18

20

29

29

29

29

30

30

30

30

30

31

31

31

32

33

(4)

DAFTAR ISI

I.Pendahuluan A. Latar belakang B. Maksud dan Tujuan

C. Sumber Pengkajian dan Pemetaan

D. Status Sumberdaya dan Kecenderungan Jangka Panjang E. Status dan Tren Jangka Panjang dari Para Pengguna. F. Memahami Dampak Gangguan Skala Besar

II.Isi

A. Ekosistem Pesisir A.1. Terumbu Karang A.2. Ikan karang A.3. Lamun A.4. Mangrove

B. Konektivitas antar ekosistem C. Metode Pemantauan.

C.1. Aspek Ekologi.

C.1.a. Metode Pengamatan Terumbu Karang C.1.b. Metode Pengamatan Ikan Karang C.1.c. Metode Pengamatan Lamun C.1.d. Metode PengamatanMangrove C.2. Aspek Sosial-Ekonomi

C.2.a. Pemanfaatan sumber daya alam pesisir

C.2.b. Kehidupan keseharian dan kondisi demogra s

D. Prosedur Pelaporan Pelanggaran Akivitas Pesisir via Aplikasi SMS Gateway D.1. Latar Belakang

D.2. Maksud D.3. Tujuan

D.4 Sasaran D.5 SMS Gateway

D.5.a. Kelebihan SMS Gateway D.5.b. Manfaat dan kegunaan

D.5.c. Fungsi SMS Gateway dalam Pengawasan

D.5.d. HPSMS Gateway Yang Sudah Disebarkan kepada Pokmaswas oleh Ditjen PSDKP

D.5.e Pengiriman Laporan melalui SMS Gateway D.5.f. Format Pengiriman Informasi

D.5.g. Hal Yang harus diperhatikan dalam Pengiriman Informasi melalui SMS Gateway

III. Penutup

Daftar Pustaka

1

1

1

2

2

2

2

3

3

4

4

5

7

8

9

10

10

12

13

16

18

18

20

29

29

29

29

30

30

30

30

30

31

31

31

32

33

(5)

P

uji dan syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-Nya sehingga Modul Monitoring Pesisir ini dapat terselesaikan. Modul Monitoring Pesisir tersusun atas kerjasama antara YAPEKA dan GOODPLANET, diharapkan melalui Modul ini, dapat membantu pembaca dalam memahami cara

memonitoring kondisi pesisir khususnya ekosistem-ekosistem penyusunnya seperti mangrove, padang lamun dan terumbu karang dengan tidak melupakan sisi sosial, ekonomi, budaya dari masyarakat yang bergantung hidup di wilayah pesisir.

Konektivitas yang sinergis antara ekosistem penyusunnya akan

memunculkan pengelolaan sumber daya pesisir yang lestari. Khususnya pemanfaatan oleh masyarakat pesisir yang sesuai daya regenerasi ekosistem pesisir, akan mampu untuk menjaga kelestarian sumber daya pesisir di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu pengelolaan sumber daya pesisir yang lestari diharapkan mampu meningkatkan nilai ekonomi bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari birunya laut nusantara.

Semoga Modul Monitoring Pesisir ini dapat bermanfaat untuk pembaca, dalam kegiatan monitoring pesisir. Kami menyadari bahwa Modul Monitoring Pesisir ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan masukkan dari semua pihak, demi penyempurnaan Modul Monitoring ini pada penerbitan selanjutnya.

Bogor, Maret 2015

KATA PENGANTAR

kosistem di wilayah pesisir memiliki peranan yang sangat penting

E

dan nilai yang paling tinggi diantara ekosistem di bumi ini dalam memberikan “jasa lingkungan” berupa keseimbangan lingkungan (Constanza et. al., 1997). Pengelolaan pesisir masih merupakan hal yang baru di Indonesia, padahal negeri ini dikenal memiliki lebih dari 17.508 pulau dan 81.000 kilometer panjang garis pantai. Namun demikian, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan intensitas

pembangunan, daya dukung ekosistem pesisir dalam menyediakan

segenap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan akan terancam rusak atau menurun.

Penurunan kondisi lingkungan pada suatu kawasan pesisir akan berakibat pada terganggunya berbagai macam aspek baik ekologi, sosial, maupun ekonomi. Sehingga, perlu dilakukan langkah-langkah konservatif guna menjaga kondisi wilayah perairan. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah melalui monitoring.

Pada modul ini dikemukakan dua jenis utama monitoring yaitu

monitoring ekologi dan monitoring sosial-ekonomi. Mengapa demikian? Karena saat ini para penggiat konservasi pesisir masih sering memisahkan antar kedua komponen ini. Bahkan, pada sistem ekologi pun, kita masih sering memisahkan (kadang secara tidak sengaja) antar

sub-komponennya, misalnya: antara mangrove, lamun dan karang. Padahal, ketiga komponen pesisir ini saling terkait satu sama lain. Monitoring ekologi meliputi monitoring sik dan biologis yang bertujuan untuk menilai status dan kecenderungan ekosistem pesisir di ekosistem mangrove, lamun dan karang. Sedangkan monitoring kondisi sosial ekonomi bertujuan untuk memahami bagaimana pengelola dan pengguna sumberdaya menggunakan, memahami serta berinteraksi dengan

ekosistem. Kedua monitoring ini saling berkaitan satu sama lain, sehingga monitoring kedua aspek ini sebaiknya dilakukan pada tempat dan waktu yang sama.

odul monitoring ini dibuat untuk memberikan referensi cepat

M

bagi para penggiat konservasi pesisir yang ingin mengetahui

kondisi ekosistem dan masyarakat yang ada di pesisir.

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

B.

Maksud

(6)

P

uji dan syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-Nya sehingga Modul Monitoring Pesisir ini dapat terselesaikan. Modul Monitoring Pesisir tersusun atas kerjasama antara YAPEKA dan GOODPLANET, diharapkan melalui Modul ini, dapat membantu pembaca dalam memahami cara

memonitoring kondisi pesisir khususnya ekosistem-ekosistem penyusunnya seperti mangrove, padang lamun dan terumbu karang dengan tidak melupakan sisi sosial, ekonomi, budaya dari masyarakat yang bergantung hidup di wilayah pesisir.

Konektivitas yang sinergis antara ekosistem penyusunnya akan

memunculkan pengelolaan sumber daya pesisir yang lestari. Khususnya pemanfaatan oleh masyarakat pesisir yang sesuai daya regenerasi ekosistem pesisir, akan mampu untuk menjaga kelestarian sumber daya pesisir di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu pengelolaan sumber daya pesisir yang lestari diharapkan mampu meningkatkan nilai ekonomi bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari birunya laut nusantara.

Semoga Modul Monitoring Pesisir ini dapat bermanfaat untuk pembaca, dalam kegiatan monitoring pesisir. Kami menyadari bahwa Modul Monitoring Pesisir ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan masukkan dari semua pihak, demi penyempurnaan Modul Monitoring ini pada penerbitan selanjutnya.

Bogor, Maret 2015

KATA PENGANTAR

kosistem di wilayah pesisir memiliki peranan yang sangat penting

E

dan nilai yang paling tinggi diantara ekosistem di bumi ini dalam memberikan “jasa lingkungan” berupa keseimbangan lingkungan (Constanza et. al., 1997). Pengelolaan pesisir masih merupakan hal yang baru di Indonesia, padahal negeri ini dikenal memiliki lebih dari 17.508 pulau dan 81.000 kilometer panjang garis pantai. Namun demikian, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan intensitas

pembangunan, daya dukung ekosistem pesisir dalam menyediakan

segenap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan akan terancam rusak atau menurun.

Penurunan kondisi lingkungan pada suatu kawasan pesisir akan berakibat pada terganggunya berbagai macam aspek baik ekologi, sosial, maupun ekonomi. Sehingga, perlu dilakukan langkah-langkah konservatif guna menjaga kondisi wilayah perairan. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah melalui monitoring.

Pada modul ini dikemukakan dua jenis utama monitoring yaitu

monitoring ekologi dan monitoring sosial-ekonomi. Mengapa demikian? Karena saat ini para penggiat konservasi pesisir masih sering memisahkan antar kedua komponen ini. Bahkan, pada sistem ekologi pun, kita masih sering memisahkan (kadang secara tidak sengaja) antar

sub-komponennya, misalnya: antara mangrove, lamun dan karang. Padahal, ketiga komponen pesisir ini saling terkait satu sama lain. Monitoring ekologi meliputi monitoring sik dan biologis yang bertujuan untuk menilai status dan kecenderungan ekosistem pesisir di ekosistem mangrove, lamun dan karang. Sedangkan monitoring kondisi sosial ekonomi bertujuan untuk memahami bagaimana pengelola dan pengguna sumberdaya menggunakan, memahami serta berinteraksi dengan

ekosistem. Kedua monitoring ini saling berkaitan satu sama lain, sehingga monitoring kedua aspek ini sebaiknya dilakukan pada tempat dan waktu yang sama.

odul monitoring ini dibuat untuk memberikan referensi cepat

M

bagi para penggiat konservasi pesisir yang ingin mengetahui

kondisi ekosistem dan masyarakat yang ada di pesisir.

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

B.

Maksud

(7)

onitoring dapat memberikan informasi berharga mengenai

M

luasnya ekosistem penting pada suatu wilayah pesisir, seperti

berapa banyak terumbu karang dan habitat terkait lainnya misalnya mangrove, maupun lamun. Informasi ini akan berguna sebagai bahan untuk pengelolaan.

onitoring juga penting bagi para pengelola untuk memahami

M

keragaman alami dan kecenderungan jangka panjang dalam

ekosistem yang dilindungi. Informasi ini akan membantu pengelola dalam memahami status sumber daya yang ada, dan

menafsirkan dampak dari gangguan yang berskala besar ataupun juga dampak dari manusia. Informasi kecenderungan sumberdaya juga penting untuk menentukan apakah perubahan manajemen kawasan pesisir

bekerja secara efektif. Sehingga monitoring rutin ini dapat memberikan masukan untuk penentuan kebijakan manajemen adaptif.

onitoring sosial-ekonomi memberikan informasi tentang

orang-M

orang yang menggunakan sumberdaya dan stakeholder terkait

lainnya. Selain itu juga dapat memonitor status dan tren jangka panjang sosial, parameter ekonomi, budaya dan politik yang terkait

dengan sumberdaya. Hal ini dapat memberikan informasi berharga tentang sumberdaya dan bagaimana cara pemanfaatannya. Monitoring juga dapat memberitahu pengelola kawasan apa yang masyarakat mengerti tentang sumber daya dan apakah mereka menganggap bahwa ada kebutuhan untuk manajemen yang efektif.

emahami dampak gangguan terhadap ekosistem seperti akibat

M

badai, aktivitas geologi, aktivitas manusia ataupun karena ada

perubahan iklim. Perubahan akibat gangguan ini biasanya terjadi pada skala bentang alam, bahkan pada skala besar. Beberapa perubahan bersifat perlahan dan terkadang tak terasa, sehingga

diperlukan monitoring rutin untuk mengetahui ada tidaknya perubahan gradual pada lokasi-lokasi dimana kita berkegiatan. Selain itu, kita juga ingin memahami apa pola hubungan antara dua hal pada rangkaian waktu tertentu. Sehingga konsistensi pengamatan sangat perlu dilakukan. Namun demikian, perlu dipahami bersama bahwa pola relasi ini tidak semata berbasis observasi. Analisis perlu dilakukan untuk mendalami hubungan antar faktor yang datanya berasal dari monitoring lapangan.

ilayah Pesisir merupakan wilayah dengan karakteristik yang

W

unik, hingga saat ini pengertian pesisir masih menjadi

pembicaraa, terutama mengenai ruang lingkup wilayah pesisir yang sacara batasan wilayah masih belum jelas. Berikut ini beberapa de nisi mengenai kawasan pesisir.

Kay dan Alder (1999) “The band of dry land adjancent ocean space (water and sub merged land) in wich terrestrial processes and land uses directly affect oceanic processes and uses, and vice versa”. Menjelaskan bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah yang menjadi tanda atau batasan wilayah daratan dengan wilayah perairan dimana proses kegiatan dan akrivitas bumi serta penggunaan lahan masih mempengaruhi proses dan fungsi kelautan.

Menurut kesepakatan terakhir internasional wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara laut dan daratan, kea rah darat mencakup wilayah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi paparan benua/continental shelf (Dahuri, dkk, 2001). Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara daratan dan laut ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih

dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

Dari penjelasan yang diatas dapat disimpulkan bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah tempat bertemunya daratan dan lautan yang

mempengaruhi kondisi sik daerah di sekitar laut yang memiliki kontur lebih datar. Kondisi ini menguntungkan wilayah pesisir untuk menjadi wilayah yang potensial dalam pengembangan wilayaha secara

keseluruhan. Banyaknya pola interaksi yang terjadi di kawasan pesisir menimbulkan beberapa karakter-karakter unik terkait interaksi

(8)

onitoring dapat memberikan informasi berharga mengenai

M

luasnya ekosistem penting pada suatu wilayah pesisir, seperti

berapa banyak terumbu karang dan habitat terkait lainnya misalnya mangrove, maupun lamun. Informasi ini akan berguna sebagai bahan untuk pengelolaan.

onitoring juga penting bagi para pengelola untuk memahami

M

keragaman alami dan kecenderungan jangka panjang dalam

ekosistem yang dilindungi. Informasi ini akan membantu pengelola dalam memahami status sumber daya yang ada, dan

menafsirkan dampak dari gangguan yang berskala besar ataupun juga dampak dari manusia. Informasi kecenderungan sumberdaya juga penting untuk menentukan apakah perubahan manajemen kawasan pesisir

bekerja secara efektif. Sehingga monitoring rutin ini dapat memberikan masukan untuk penentuan kebijakan manajemen adaptif.

onitoring sosial-ekonomi memberikan informasi tentang

orang-M

orang yang menggunakan sumberdaya dan stakeholder terkait

lainnya. Selain itu juga dapat memonitor status dan tren jangka panjang sosial, parameter ekonomi, budaya dan politik yang terkait

dengan sumberdaya. Hal ini dapat memberikan informasi berharga tentang sumberdaya dan bagaimana cara pemanfaatannya. Monitoring juga dapat memberitahu pengelola kawasan apa yang masyarakat mengerti tentang sumber daya dan apakah mereka menganggap bahwa ada kebutuhan untuk manajemen yang efektif.

emahami dampak gangguan terhadap ekosistem seperti akibat

M

badai, aktivitas geologi, aktivitas manusia ataupun karena ada

perubahan iklim. Perubahan akibat gangguan ini biasanya terjadi pada skala bentang alam, bahkan pada skala besar. Beberapa perubahan bersifat perlahan dan terkadang tak terasa, sehingga

diperlukan monitoring rutin untuk mengetahui ada tidaknya perubahan gradual pada lokasi-lokasi dimana kita berkegiatan. Selain itu, kita juga ingin memahami apa pola hubungan antara dua hal pada rangkaian waktu tertentu. Sehingga konsistensi pengamatan sangat perlu dilakukan. Namun demikian, perlu dipahami bersama bahwa pola relasi ini tidak semata berbasis observasi. Analisis perlu dilakukan untuk mendalami hubungan antar faktor yang datanya berasal dari monitoring lapangan.

ilayah Pesisir merupakan wilayah dengan karakteristik yang

W

unik, hingga saat ini pengertian pesisir masih menjadi

pembicaraa, terutama mengenai ruang lingkup wilayah pesisir yang sacara batasan wilayah masih belum jelas. Berikut ini beberapa de nisi mengenai kawasan pesisir.

Kay dan Alder (1999) “The band of dry land adjancent ocean space (water and sub merged land) in wich terrestrial processes and land uses directly affect oceanic processes and uses, and vice versa”. Menjelaskan bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah yang menjadi tanda atau batasan wilayah daratan dengan wilayah perairan dimana proses kegiatan dan akrivitas bumi serta penggunaan lahan masih mempengaruhi proses dan fungsi kelautan.

Menurut kesepakatan terakhir internasional wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara laut dan daratan, kea rah darat mencakup wilayah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi paparan benua/continental shelf (Dahuri, dkk, 2001). Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara daratan dan laut ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih

dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

Dari penjelasan yang diatas dapat disimpulkan bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah tempat bertemunya daratan dan lautan yang

mempengaruhi kondisi sik daerah di sekitar laut yang memiliki kontur lebih datar. Kondisi ini menguntungkan wilayah pesisir untuk menjadi wilayah yang potensial dalam pengembangan wilayaha secara

keseluruhan. Banyaknya pola interaksi yang terjadi di kawasan pesisir menimbulkan beberapa karakter-karakter unik terkait interaksi

(9)

T

erumbu karang adalah struktur sik yang dibangun oleh hewan karang yang hidup dalam koloni besar, kurang lebih terdapat sekitar 800 spesies karang pembentuk terumbu (Burke et al. 2012). Terumbu karang merupakan ekosistem yang kompleks yang berada di perairan dangkal tropis, dimana didalamnya terdapat beragam spesies biota air dengan berbagai kepentingan seperti dari mencari makan, tempat berlindung dan bereproduksi serta merupakan ekosistem yang produktif. Buddemeier et al. 2004, juga menyatakan bahwa terumbu

karang merupakan ekosistem yang unik yang dide nisikan secara biologi (“Coral”

Komunitas) dan secara geologi (“reef” Struktur) dibangun berasal dari batu kapur yang kemudian disekresikan sebagai bahan skeletal oleh karang. Karang merupakan binatang yang sederhana berbentuk tabung dengan mulut berada diatas yang juga berfungsi sebagai anus (Suharsono, 2008). Komunitas terumbu karang sangat beragam dan bervariasi, sehingga dinamika hubungan antara organisme karang dan sistem karang sendiri sangat kompleks (Froelich, 2002). Karang terjadi secara individu maupun membentuk terumbu yang besar, yang

merupakan penghubung antara biota karang dengan produktivitas permukaan dimana perkembangannya dikendalikan oleh interaksi hidrogra lokal dan dinamika sedimen

(Roberts et al. 2006).

I

kan karang merupakan organisme yang sangat mencolok di ekosistem terumbu karang sehingga mudah dan sering ditemui. Keberadaannya menjadikan terumbu karang sebagai ekosistem yang kaya di planet ini. Dengan jumlahnya yang besar dan mengisi daerah terumbu, maka dapat dikatakan bahwa ikan karang merupakan penyokong hubungan yang ada di ekosistem ini (Nybakken, 1998). Ikan-ikan ini hidup berasosiasi dengan terumbu pada habitat yang disukainya, yaitu daerah yang tersedia banyak makanan dan aman. Mereka menggunakan bentuk-bentuk terumbu karang untuk pertahanan diri dari predator.150

Menurut tingkat taksonomi ikan karang, digolongkan dalam kelas Osteichtyes atau ikan bertulang sejati, sebagian besar masuk dalam ordo Perciformes dan diperkirakan terdapat 20.857 spesies yang termasuk didalamnya. Dari 50 famili Perciformes yang berasosiasi dengan terumbu

A.1.

Terumbu Karang

Gambar 1.Terumbu karang

karang, hanya delapan famili dalam tiga taxa yang berperan penting dalam ekosistem terumbu karang (Choat and Bellwood, 1991; Sale, 1991), yaitu Labridae (wrasse), Scaridae (parrot shses), Pomacentridae (damsel shes), Acanthuridae (surgeon shes), Siganidae (rabbit shes), Zanclidae (Moorish idol), Chaetodontidae (butter y shes),

Pomacanthidae (angel shes).

Ikan – ikan dari kelompok tersebut mempunyai pola penyebaran yang

berhubungan dengan penyebaran terumbu karang. Seluruh daur hidup selama masa post settlement (setelah masa larva menjadi

dewasa) juga berlangsung di wilayah terumbu karang.

A.2.

Ikan Karang

Gambar 2.Salah satu jenis ikan karang Myripristis hexagona, ikan karang yang aktif di malam hari

L

amun merupakan tumbuhan berbunga yang hidup dan berkembang biak di dalam air laut dan membentuk rumpun atau padang yang luas, sehingga sering dikatakan sebagai padang lamun, ditemukan sekitar 60 spesies lamun di lautan seluruh dunia (Government of Western Australia, 2011). Lamun tumbuh dan bereproduksi secara seksual dengan terus menerus terendam dalam air, mulai dari berbunga hingga

penyerbukan selesai terjadi di bawah air. Lamun memiliki kemampuan mengambil karbon anorganik dari air, sedangkan untuk nutrisi

pertumbuhan diambil melalui akarnya, sedangkan penyerbukan terjadi bantuan arus perairan yang ditimbulkan oleh angin (Greve & Borum, 2004). Lamun memiliki akar, batang dan daun, perbedaan lamun dan rumput laut adalah lamun memiliki pembuluh darah internal serta akar sejati serta menghasilkan bunga, daun lamun ada yang

berbentuk seperti pita pipih, pakis dan semanggi, kemudian lamun juga memiliki pembuluh dan saluran udara di daun dan batang sehingga mereka dapat membawa air, makanan serta menyerap gas, bentuk akar sederhana maupun yang bercabang memiliki

A.3.

(10)

T

erumbu karang adalah struktur sik yang dibangun oleh hewan karang yang hidup dalam koloni besar, kurang lebih terdapat sekitar 800 spesies karang pembentuk terumbu (Burke et al. 2012). Terumbu karang merupakan ekosistem yang kompleks yang berada di perairan dangkal tropis, dimana didalamnya terdapat beragam spesies biota air dengan berbagai kepentingan seperti dari mencari makan, tempat berlindung dan bereproduksi serta merupakan ekosistem yang produktif. Buddemeier et al. 2004, juga menyatakan bahwa terumbu

karang merupakan ekosistem yang unik yang dide nisikan secara biologi (“Coral”

Komunitas) dan secara geologi (“reef” Struktur) dibangun berasal dari batu kapur yang kemudian disekresikan sebagai bahan skeletal oleh karang. Karang merupakan binatang yang sederhana berbentuk tabung dengan mulut berada diatas yang juga berfungsi sebagai anus (Suharsono, 2008). Komunitas terumbu karang sangat beragam dan bervariasi, sehingga dinamika hubungan antara organisme karang dan sistem karang sendiri sangat kompleks (Froelich, 2002). Karang terjadi secara individu maupun membentuk terumbu yang besar, yang

merupakan penghubung antara biota karang dengan produktivitas permukaan dimana perkembangannya dikendalikan oleh interaksi hidrogra lokal dan dinamika sedimen

(Roberts et al. 2006).

I

kan karang merupakan organisme yang sangat mencolok di ekosistem terumbu karang sehingga mudah dan sering ditemui. Keberadaannya menjadikan terumbu karang sebagai ekosistem yang kaya di planet ini. Dengan jumlahnya yang besar dan mengisi daerah terumbu, maka dapat dikatakan bahwa ikan karang merupakan penyokong hubungan yang ada di ekosistem ini (Nybakken, 1998). Ikan-ikan ini hidup berasosiasi dengan terumbu pada habitat yang disukainya, yaitu daerah yang tersedia banyak makanan dan aman. Mereka menggunakan bentuk-bentuk terumbu karang untuk pertahanan diri dari predator.150

Menurut tingkat taksonomi ikan karang, digolongkan dalam kelas Osteichtyes atau ikan bertulang sejati, sebagian besar masuk dalam ordo Perciformes dan diperkirakan terdapat 20.857 spesies yang termasuk didalamnya. Dari 50 famili Perciformes yang berasosiasi dengan terumbu

A.1.

Terumbu Karang

Gambar 1.Terumbu karang

karang, hanya delapan famili dalam tiga taxa yang berperan penting dalam ekosistem terumbu karang (Choat and Bellwood, 1991; Sale, 1991), yaitu Labridae (wrasse), Scaridae (parrot shses), Pomacentridae (damsel shes), Acanthuridae (surgeon shes), Siganidae (rabbit shes), Zanclidae (Moorish idol), Chaetodontidae (butter y shes),

Pomacanthidae (angel shes).

Ikan – ikan dari kelompok tersebut mempunyai pola penyebaran yang

berhubungan dengan penyebaran terumbu karang. Seluruh daur hidup selama masa post settlement (setelah masa larva menjadi

dewasa) juga berlangsung di wilayah terumbu karang.

A.2.

Ikan Karang

Gambar 2.Salah satu jenis ikan karang Myripristis hexagona, ikan karang yang aktif di malam hari

L

amun merupakan tumbuhan berbunga yang hidup dan berkembang biak di dalam air laut dan membentuk rumpun atau padang yang luas, sehingga sering dikatakan sebagai padang lamun, ditemukan sekitar 60 spesies lamun di lautan seluruh dunia (Government of Western Australia, 2011). Lamun tumbuh dan bereproduksi secara seksual dengan terus menerus terendam dalam air, mulai dari berbunga hingga

penyerbukan selesai terjadi di bawah air. Lamun memiliki kemampuan mengambil karbon anorganik dari air, sedangkan untuk nutrisi

pertumbuhan diambil melalui akarnya, sedangkan penyerbukan terjadi bantuan arus perairan yang ditimbulkan oleh angin (Greve & Borum, 2004). Lamun memiliki akar, batang dan daun, perbedaan lamun dan rumput laut adalah lamun memiliki pembuluh darah internal serta akar sejati serta menghasilkan bunga, daun lamun ada yang

berbentuk seperti pita pipih, pakis dan semanggi, kemudian lamun juga memiliki pembuluh dan saluran udara di daun dan batang sehingga mereka dapat membawa air, makanan serta menyerap gas, bentuk akar sederhana maupun yang bercabang memiliki

A.3.

(11)

bulu-bulu halus untuk membantu menyerap nutrisi (McKenzie, 2008).

Menurut Makwin (2010), lamun memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

· Mampu hidup pada media air asin. · Tidak mempunyai stomata

· Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran terumbu karang.

· Mempunyai rhizome, daun dan akar sejati.

· Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter (di perairan tenang dan

terlindungi).

· Habitat di perairan dangkal, agak berpasir dan sering juga dijumpai di terumbu karang.

· Mempunyai system perakaran yang berkembang biak.

Lamun memiliki biomassa relatif rendah dibandingkan dengan ekosistem darat, namun memiliki biomassa yang sangat tinggi

dibandingkan dengan plankton (Short et al. 2007). Lamun dapat bereproduksi secara seksual maupun aseksual. Pada reproduksi seksual, tanaman menghasilkan bunga dan terjadi perpindahan serbuk sari dari bunga jantan ke ovarium bunga betina. Sebagian besar bunga spesies lamun menghasilkan bunga dari satu jenis kelamin yang berbeda dengan individu yang berbeda pula. Beberapa lamun memiliki siklus hidup satu tahun atau dikenal dengan “semusim”, namun lamun juga dapat tumbuh secara aseksual (vegetatif) yaitu dengan memperluas rimpangnya atau bercabang seperti yang terjadi pada rumput.

Keberadaan komunitas lamun di perairan mempunyai manfaat secara ekologis. Komunitas lamun merupakan tempat pemijahan (spawning ground), tempat pengasuhan (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground) berbagai jenis ikan dan organisme laut lainnya. Selain itu, menurut Nybakken (1992), padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting di daerah pesisir. Padang lamun merupakan sumber utama produkti tas primer di perairan dangkal di seluruh dunia, sumber

makanan bagi banyak organisme (dalam bentuk detritus). Gambar 4.Salah satu jenis Lamun

Cymodocea rotundata

H

utan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Pohon mangrove juga memiliki kemampuan adaptasi

siologis dan morfologis, sehingga mampu bertahan pada habitat intertidal yang memiliki salinitas tinggi, oksigen rendah, miskin unsur hara dan substrat yang dinamis. Sehingga menyebabkan adanya

perbedaan spesies mangrove di pasang tertinggi sampai terendah (gambar 5).

Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia sp, Sonneratia sp, Rhizophora sp, Bruguiera sp, Ceriops sp, Xylocarpus sp, Lumitzera sp, Laguncularia sp, Aegiceras sp, Aegiatilis sp, Snaeda sp, dan Conocarpus sp) yang termasuk ke dalam 8 famili.

Jenis mangrove tertentu, seperti Bakau (Rhizophora sp.) dan Tancang (Bruguiera sp.) memiliki daur hidup yang khusus, diawali dari benih yang ketika masih pada tumbuhan induk berkecambah dan mulai tumbuh di dalam semaian tanpa istirahat. Selama waktu ini, semaian memanjang dan distribusi beratnya berubah, sehingga menjadi lebih berat pada bagian terluar dan akhirnya lepas. Selanjutnya semaian ini jatuh dari pohon induk, masuk ke perairan dan mengapung di permukaan air. Semaian ini kemudian terbawa oleh aliran air ke perairan pantai yang cukup dangkal, dimana ujung akarnya dapat mencapai dasar perairan, untuk selanjutnya akarnya dipancangkan dan secara bertahap tumbuh menjadi pohon.

A.4.

Mangrove

Gambar 5.Zonasi jenis mangrove berdasarkan tinggi rendah

(12)

bulu-bulu halus untuk membantu menyerap nutrisi (McKenzie, 2008).

Menurut Makwin (2010), lamun memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

· Mampu hidup pada media air asin. · Tidak mempunyai stomata

· Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran terumbu karang.

· Mempunyai rhizome, daun dan akar sejati.

· Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter (di perairan tenang dan

terlindungi).

· Habitat di perairan dangkal, agak berpasir dan sering juga dijumpai di terumbu karang.

· Mempunyai system perakaran yang berkembang biak.

Lamun memiliki biomassa relatif rendah dibandingkan dengan ekosistem darat, namun memiliki biomassa yang sangat tinggi

dibandingkan dengan plankton (Short et al. 2007). Lamun dapat bereproduksi secara seksual maupun aseksual. Pada reproduksi seksual, tanaman menghasilkan bunga dan terjadi perpindahan serbuk sari dari bunga jantan ke ovarium bunga betina. Sebagian besar bunga spesies lamun menghasilkan bunga dari satu jenis kelamin yang berbeda dengan individu yang berbeda pula. Beberapa lamun memiliki siklus hidup satu tahun atau dikenal dengan “semusim”, namun lamun juga dapat tumbuh secara aseksual (vegetatif) yaitu dengan memperluas rimpangnya atau bercabang seperti yang terjadi pada rumput.

Keberadaan komunitas lamun di perairan mempunyai manfaat secara ekologis. Komunitas lamun merupakan tempat pemijahan (spawning ground), tempat pengasuhan (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground) berbagai jenis ikan dan organisme laut lainnya. Selain itu, menurut Nybakken (1992), padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting di daerah pesisir. Padang lamun merupakan sumber utama produkti tas primer di perairan dangkal di seluruh dunia, sumber

makanan bagi banyak organisme (dalam bentuk detritus). Gambar 4.Salah satu jenis Lamun

Cymodocea rotundata

H

utan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Pohon mangrove juga memiliki kemampuan adaptasi

siologis dan morfologis, sehingga mampu bertahan pada habitat intertidal yang memiliki salinitas tinggi, oksigen rendah, miskin unsur hara dan substrat yang dinamis. Sehingga menyebabkan adanya

perbedaan spesies mangrove di pasang tertinggi sampai terendah (gambar 5).

Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia sp, Sonneratia sp, Rhizophora sp, Bruguiera sp, Ceriops sp, Xylocarpus sp, Lumitzera sp, Laguncularia sp, Aegiceras sp, Aegiatilis sp, Snaeda sp, dan Conocarpus sp) yang termasuk ke dalam 8 famili.

Jenis mangrove tertentu, seperti Bakau (Rhizophora sp.) dan Tancang (Bruguiera sp.) memiliki daur hidup yang khusus, diawali dari benih yang ketika masih pada tumbuhan induk berkecambah dan mulai tumbuh di dalam semaian tanpa istirahat. Selama waktu ini, semaian memanjang dan distribusi beratnya berubah, sehingga menjadi lebih berat pada bagian terluar dan akhirnya lepas. Selanjutnya semaian ini jatuh dari pohon induk, masuk ke perairan dan mengapung di permukaan air. Semaian ini kemudian terbawa oleh aliran air ke perairan pantai yang cukup dangkal, dimana ujung akarnya dapat mencapai dasar perairan, untuk selanjutnya akarnya dipancangkan dan secara bertahap tumbuh menjadi pohon.

A.4.

Mangrove

Gambar 5.Zonasi jenis mangrove berdasarkan tinggi rendah

(13)

Ekosistem mangrove mempunyai fungsi yang sangat kompleks, antara lain sebagai peredam gelombang laut dan badai, pelindung pantai dari proses abrasi dan erosi, penahan lumpur dan penjerat sedimen, penghasil detritus, selain itu juga merupakan tempat bagi berbagai biota melakukan pemijahan (spawning ground), tempat pengasuhan (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground).

T

erminologi konektivitas ekologi (ecological connectivity) dapat dimaknai sebagai interaksi antar ekosistem yang ditunjukkan oleh pergerakan hewan (bisa larva ataupun dewasa), dan pertukaran materi-materi organik yang membentuk bagian dari proses ekologi dalam sistem. Konsep konektivitas menjelaskan keterkaitan antar habitat dalam berbagai skala ruang dan waktu. Aplikasi dari konsep ini dapat dilihat pada keterkaitan antar komponen-komponen ekosistem di pesisir, atau CEM (Coastal Ecosystem Mosaic) (Foley et. Al., 2010; Nagelkerken, 2009; Sheaves, 2009).

Contoh-contoh lain juga bisa dilihat pada kan-ikan karang yang diamati di Karimunjawa yang mengelompokkan ikan-ikan karang untuk

menunjukkan konektivitas antar ekosistem lamun dan karang. Studi ini menggolongkan ikan menjadi resident karang, resident lamun, nursery dan generalist berdasarkan perilaku pergerakannya di ekosistem lamun dan karang. Dari 66 jenis ikan yang didapati di ekosistem lamun, memperlihatkan bahwa hanya 17% yang murni resident di lamun, sedangkan 21% lainnya merupakan jenis yang berpijah di lamun. Di kepulauan Wakatobi, studi mendalam terhadap ekosistem lamun memperlihatkan bahwa kelimpahan dan keragaman ikan di ekosistem lamun yang berdekatan (terkoneksi) dengan mangrove adalah dua kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan ekosistem lamun yang jauh dari mangrove. Studi menyimpulkan bahwa mangrove dapat memberikan perlindungan dan suplai makanan bagi ikan-ikan yang berada didekatnya. Sehingga ekosistem lamun dapat befungsi menjadi sebuah nursery ground yang penting bagi ikan-ikan, dimana fungsinya sangat dipengaruhi oleh Gambar 6.Tegakan Mangrove

keberadaan mangrove dan karang di dekatnya (Campbell et. Al., 2011; Unsworth et. Al., 2008)

Selain konektivitas ekologi, kita juga harus mempertimbangkan ekosistem pesisir dan laut sebagai bagian dari sistem social ekologi (social ecological system). Sehingga konektivitas ekosistem dengan komponen sosialnya juga harus menjadi pertimbangan dalam melakukan alokasi ruang dalam perencanaan spasial. Di Indonesia, kerusakan ekosistem pesisir sering disebabkan oleh tidah harmonisnya pengelolaan sector sosial, ekonomi, pemerintahan, dan aplikasi pembangunan wilayah. Ini bertolak belang dengan kenyataan bahwa ekosistem pesisir memiliki peranan penting dalam menyediakan sumber protein murah bagi masyarakat. Untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai sistem ini, maka kita harus melihat ekosistem pesisir sebagai sebuah sistem sosial-ekologi. Konsekuensinya, proses perencanaan dan pengelolaan harus

memperhatikan keterkaitan antar elemen, baik elemen ekologi ataupun elemen sosial. Pengalokasian ruang dan pengelolaannya harus

mempertimbangkan pola akses sumberdaya alam oleh masyarakat setempat pada saat ini (existing condition), untuk memastikan pola tata ruang yang ditawarkan dapat diterima dan dilaksanakan di tingkat lokal. Konektivitas ekologis harus dipastikan melalui pengalokasian ruang dan waktu yang sesuai untuk mempertahankan kesehatan ekosistem, melalui kajian-kajian terhadap komponen ekosistem yang berlangsung di

dalamnya, baik secara ruang ataupun waktu (secara spasial dan secara temporal). Keseluruhan diharapkan mampu menghasilkan perencanaan kawasan pesisir dan laut yang berbasis ekosistem, mampu mendatangkan manfaat bagi ekosistem, bermanfaat bagi komponen sosial serta

komponen ekonomi.

emantauan berbasis keilmuan ini dimaksudkan untuk mengetahui

P

apakah ada perubahan selama pelaksanaan proyek, dan tidak tertutup kemungkinan jika perubahan ini terus berlangsung bahkan setelah proyek berakhir. Tidak hanya pemantauan secara ekologis,

pemantauan secara sosial pun ditaksir. Mengapa demikian, karena aspek sosial kemasyarakatan tidak dapat dipisahkan dari aspek ekologis. Kedua aspek tersebut saling mempengaruhi. Manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan, dan begitu pula sebaliknya. Untuk lebih jelasnya, silahkan lihat kembali bagian 2 dari modul ini.

B.

Konektivitas antar ekosistem

C.

(14)

Ekosistem mangrove mempunyai fungsi yang sangat kompleks, antara lain sebagai peredam gelombang laut dan badai, pelindung pantai dari proses abrasi dan erosi, penahan lumpur dan penjerat sedimen, penghasil detritus, selain itu juga merupakan tempat bagi berbagai biota melakukan pemijahan (spawning ground), tempat pengasuhan (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground).

T

erminologi konektivitas ekologi (ecological connectivity) dapat dimaknai sebagai interaksi antar ekosistem yang ditunjukkan oleh pergerakan hewan (bisa larva ataupun dewasa), dan pertukaran materi-materi organik yang membentuk bagian dari proses ekologi dalam sistem. Konsep konektivitas menjelaskan keterkaitan antar habitat dalam berbagai skala ruang dan waktu. Aplikasi dari konsep ini dapat dilihat pada keterkaitan antar komponen-komponen ekosistem di pesisir, atau CEM (Coastal Ecosystem Mosaic) (Foley et. Al., 2010; Nagelkerken, 2009; Sheaves, 2009).

Contoh-contoh lain juga bisa dilihat pada kan-ikan karang yang diamati di Karimunjawa yang mengelompokkan ikan-ikan karang untuk

menunjukkan konektivitas antar ekosistem lamun dan karang. Studi ini menggolongkan ikan menjadi resident karang, resident lamun, nursery dan generalist berdasarkan perilaku pergerakannya di ekosistem lamun dan karang. Dari 66 jenis ikan yang didapati di ekosistem lamun, memperlihatkan bahwa hanya 17% yang murni resident di lamun, sedangkan 21% lainnya merupakan jenis yang berpijah di lamun. Di kepulauan Wakatobi, studi mendalam terhadap ekosistem lamun memperlihatkan bahwa kelimpahan dan keragaman ikan di ekosistem lamun yang berdekatan (terkoneksi) dengan mangrove adalah dua kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan ekosistem lamun yang jauh dari mangrove. Studi menyimpulkan bahwa mangrove dapat memberikan perlindungan dan suplai makanan bagi ikan-ikan yang berada didekatnya. Sehingga ekosistem lamun dapat befungsi menjadi sebuah nursery ground yang penting bagi ikan-ikan, dimana fungsinya sangat dipengaruhi oleh Gambar 6.Tegakan Mangrove

keberadaan mangrove dan karang di dekatnya (Campbell et. Al., 2011; Unsworth et. Al., 2008)

Selain konektivitas ekologi, kita juga harus mempertimbangkan ekosistem pesisir dan laut sebagai bagian dari sistem social ekologi (social ecological system). Sehingga konektivitas ekosistem dengan komponen sosialnya juga harus menjadi pertimbangan dalam melakukan alokasi ruang dalam perencanaan spasial. Di Indonesia, kerusakan ekosistem pesisir sering disebabkan oleh tidah harmonisnya pengelolaan sector sosial, ekonomi, pemerintahan, dan aplikasi pembangunan wilayah. Ini bertolak belang dengan kenyataan bahwa ekosistem pesisir memiliki peranan penting dalam menyediakan sumber protein murah bagi masyarakat. Untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai sistem ini, maka kita harus melihat ekosistem pesisir sebagai sebuah sistem sosial-ekologi. Konsekuensinya, proses perencanaan dan pengelolaan harus

memperhatikan keterkaitan antar elemen, baik elemen ekologi ataupun elemen sosial. Pengalokasian ruang dan pengelolaannya harus

mempertimbangkan pola akses sumberdaya alam oleh masyarakat setempat pada saat ini (existing condition), untuk memastikan pola tata ruang yang ditawarkan dapat diterima dan dilaksanakan di tingkat lokal. Konektivitas ekologis harus dipastikan melalui pengalokasian ruang dan waktu yang sesuai untuk mempertahankan kesehatan ekosistem, melalui kajian-kajian terhadap komponen ekosistem yang berlangsung di

dalamnya, baik secara ruang ataupun waktu (secara spasial dan secara temporal). Keseluruhan diharapkan mampu menghasilkan perencanaan kawasan pesisir dan laut yang berbasis ekosistem, mampu mendatangkan manfaat bagi ekosistem, bermanfaat bagi komponen sosial serta

komponen ekonomi.

emantauan berbasis keilmuan ini dimaksudkan untuk mengetahui

P

apakah ada perubahan selama pelaksanaan proyek, dan tidak tertutup kemungkinan jika perubahan ini terus berlangsung bahkan setelah proyek berakhir. Tidak hanya pemantauan secara ekologis,

pemantauan secara sosial pun ditaksir. Mengapa demikian, karena aspek sosial kemasyarakatan tidak dapat dipisahkan dari aspek ekologis. Kedua aspek tersebut saling mempengaruhi. Manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan, dan begitu pula sebaliknya. Untuk lebih jelasnya, silahkan lihat kembali bagian 2 dari modul ini.

B.

Konektivitas antar ekosistem

C.

(15)

A

spek ekologi dalam ekosistem pesisir merupakan

komponen-komponen biotik yang hidup, berinteraksi dan beradaptasi dengan kondisi lingkungan pesisir (komponen abiotik). Pemantauan komponen biotik sangat penting guna mengetahui perubahan lingkungan yang terjadi setiap waktu. Beberapa komponen biotik dalam ekosistem pesisir yang akan dipantau adalah terumbu karang, ikan karang, lamun, dan mangrove dimana metode pemantauannya dapat dilihat pada penjelasan dibawah ini:

C.1.a. Metode Pengamatan Terumbu Karang

Metode pengumpulan data persen penutupan karang menggunakan metode transek titik atau point intercept trancet / PIT, yaitu metode survei substrat dasar terumbu karang dengan mencatat jenis substrat dasar yang menyinggung transek garis dengan interval jarak tertentu (titik). Prosedur

yang dilakukan yaitu: roll meter dibentangkan sepanjang 50 meter sebanyak 3 kali ulangan pada kedalaman dangkal (2 - 4 meter) dan dalam (8-10 meter). Komponen penyusun dasar terumbu karang yang diamati digolongkan berdasarkan bentuk

pertumbuhan (life form) dan genera (English et al. 1997; Hill & Wilkinson, 2004).

Dalam pencatatan data, seringkali dijumpai adanya koloni yang tumpang-tindih sehingga setiap

persinggungan (intercept) harus dicatat sebagai individu yang berbeda.

C.1.

Aspek Ekologi

Gambar 7.Model pencatatan data life form karang. Sumber: English et al. (1997)

Gambar 8. Model pencatatan data untuk life form karang yang saling tumpang tindih. Sumber: English et al. (1997)

Kode Keterangan

Paling tidak 2°percabangan. Memiliki axial dan radial coralite

Biasanya merupakan dasar dari bentuk acropora belum dewasa

Tegak dengan bentuk seperti baji

Bercabang tidak lebih dari 2°

Bentuk seperti meja datar

Non-Acropora Branching

Encrusting

Paling tidak 2°percabangan. Memiliki radial coralit

Sebagian besarterikat pada substrat (mengerak). Paling tidak 2°percabangan.

Karang terikat pada satu atau lebih titik, seperti daun, atau berupa piring.

Seperti batu besar atau gundukan

Berbentuk tiang kecil, knop atau baji

Soliter, karang hidup bebas dari genera

Karang biru

Karang api

Bentuk seperti pipa-pipa kecil

DC

DCA

Baru saja mati, warna putih atau putih kotor

Karang ini masih berdiri, struktur skeletal masih terlihat

Contoh Platyhoa, Protoplaythoa

Others OT Anemon, teripang, gorgonian, kima dan lain-lain

Algae Algae

assemblagae

Coralive algae

AA Terdiri lebih dari satu spesies Tabel 1.Daftar penggolongan komponen dasar komunitas karang berdasarkan bentuk pertumbuhan (life form karang dan kodenya).

Sumber:

(16)

A

spek ekologi dalam ekosistem pesisir merupakan

komponen-komponen biotik yang hidup, berinteraksi dan beradaptasi dengan kondisi lingkungan pesisir (komponen abiotik). Pemantauan komponen biotik sangat penting guna mengetahui perubahan lingkungan yang terjadi setiap waktu. Beberapa komponen biotik dalam ekosistem pesisir yang akan dipantau adalah terumbu karang, ikan karang, lamun, dan mangrove dimana metode pemantauannya dapat dilihat pada penjelasan dibawah ini:

C.1.a. Metode Pengamatan Terumbu Karang

Metode pengumpulan data persen penutupan karang menggunakan metode transek titik atau point intercept trancet / PIT, yaitu metode survei substrat dasar terumbu karang dengan mencatat jenis substrat dasar yang menyinggung transek garis dengan interval jarak tertentu (titik). Prosedur

yang dilakukan yaitu: roll meter dibentangkan sepanjang 50 meter sebanyak 3 kali ulangan pada kedalaman dangkal (2 - 4 meter) dan dalam (8-10 meter). Komponen penyusun dasar terumbu karang yang diamati digolongkan berdasarkan bentuk

pertumbuhan (life form) dan genera (English et al. 1997; Hill & Wilkinson, 2004).

Dalam pencatatan data, seringkali dijumpai adanya koloni yang tumpang-tindih sehingga setiap

persinggungan (intercept) harus dicatat sebagai individu yang berbeda.

C.1.

Aspek Ekologi

Gambar 7.Model pencatatan data life form karang. Sumber: English et al. (1997)

Gambar 8. Model pencatatan data untuk life form karang yang saling tumpang tindih. Sumber: English et al. (1997)

Kode Keterangan

Paling tidak 2°percabangan. Memiliki axial dan radial coralite

Biasanya merupakan dasar dari bentuk acropora belum dewasa

Tegak dengan bentuk seperti baji

Bercabang tidak lebih dari 2°

Bentuk seperti meja datar

Non-Acropora Branching

Encrusting

Paling tidak 2°percabangan. Memiliki radial coralit

Sebagian besarterikat pada substrat (mengerak). Paling tidak 2°percabangan.

Karang terikat pada satu atau lebih titik, seperti daun, atau berupa piring.

Seperti batu besar atau gundukan

Berbentuk tiang kecil, knop atau baji

Soliter, karang hidup bebas dari genera

Karang biru

Karang api

Bentuk seperti pipa-pipa kecil

DC

DCA

Baru saja mati, warna putih atau putih kotor

Karang ini masih berdiri, struktur skeletal masih terlihat

Contoh Platyhoa, Protoplaythoa

Others OT Anemon, teripang, gorgonian, kima dan lain-lain

Algae Algae

assemblagae

Coralive algae

AA Terdiri lebih dari satu spesies

Sumber:

(17)

C.1.b. Metode Pengamatan Ikan Karang

Pengamatan ikan karang menggunakan metode sensus visual yaitu pengenalan dan penghitungan jumlah dan jenis ikan yang diamati dalam

suatu wilayah tertentu pada jarak dan waktu yang telah ditentukan. Transek pengamatan menggunakan garis maya yang ditarik paralel dengan transek garis membentuk luasan persegi panjang. Transek jenis ini dikenal dengan transek sabuk (Hill & Wilkinson, 2004). Metode ini digunakan untuk menghitung populasi ikan karang dan panjang totalnya, panjang transek yang digunakan pada pengamatan ini adalah sama dengan panjang transek PIT. Sensus visual ikan dapat digunakan untuk menduga keragaman, jumlah bahkan ukuran ikan. Informasi ini dapat mencerminkan

kelimpahan, keragaman, dan biomasa ikan pada wilayah terumbu karang.

Pengamatan untuk biomasa ikan karang dilakukan dengan menggunakan data panjang ikan yang diambil dengan metode transek sabuk pada kedalaman dangkal (2 – 4 m) dan dalam (8-10 meter). Transek terdiri dari 3 kali ulangan untuk transek berukuran 2 x 50 m (untuk ikan < 10 cm) dan transek berukuran 5 x 50 m (untuk ikan > 10 cm) (Gambar 3). Data frekuensi dan panjang ikan diambil dari sepanjang transek dengan dua tahap, tahap pertama dilakukan untuk mendata ikan-ikan yang lebih besar dari 10 cm, sedangkan tahap kedua untuk ikan-ikan-ikan-ikan yang lebih kecil dari 10 cm.

Identi kasi ikan karang menggunakan buku Reef Fish Tropical Paci c Identi cation (Allen et al, 2003) dan Pictorial Guide to: Indonesian Reef Fishes (Kuiter dan Tonozuka, 2001) sedangkan konstanta a dan b didapat dari shbase (www. shbase.org) dan Kulbicki, 2005.

Gambar 10. Survei biomassa ikan karang menggunakan transek sabuk (belt transect). Gambar 9. Clown sh (Amphiprion ocellaris)

salah satu ikan penghuni terumbu karang.

50m 50m 50m

5m I. Ukuran >10 cm

2m

II. Ukuran < 10 cm

Gambaran visual metode pengamatan untuk pencatatan karang dan ikan karang dapat dilihat di bawah ini (Gambar 11).

C.1.c. Metode Pengamatan Lamun

Metode yang digunakan pada monitoring ekosistem lamun yaitu metode seagrass-watch, dengan menggunakan quadrat plot ukuran 50x50cm yang diletakkan pada transek. Dengan 50X50m “site” lokasi, letakan 3 transek (masing-masing 50 m) paralel satu dengan lainnya, 25m jauhnya dan tegak lurus dari pantai (lihat contoh gambar 13), dimana setiap kuadrat yang

ditempatkan sebagai sampling harus mengikuti langkah-langkah dibawah ini:

Langkah-langkah pengambilan data lapangan dengan metode seagrass-watch yaitu sebagai berikut: Gambar 11.Gambaran metode yang dipakai dalam pengamatan.

Sumber: English et al. (1997)

(18)

C.1.b. Metode Pengamatan Ikan Karang

Pengamatan ikan karang menggunakan metode sensus visual yaitu pengenalan dan penghitungan jumlah dan jenis ikan yang diamati dalam

suatu wilayah tertentu pada jarak dan waktu yang telah ditentukan. Transek pengamatan menggunakan garis maya yang ditarik paralel dengan transek garis membentuk luasan persegi panjang. Transek jenis ini dikenal dengan transek sabuk (Hill & Wilkinson, 2004). Metode ini digunakan untuk menghitung populasi ikan karang dan panjang totalnya, panjang transek yang digunakan pada pengamatan ini adalah sama dengan panjang transek PIT. Sensus visual ikan dapat digunakan untuk menduga keragaman, jumlah bahkan ukuran ikan. Informasi ini dapat mencerminkan

kelimpahan, keragaman, dan biomasa ikan pada wilayah terumbu karang.

Pengamatan untuk biomasa ikan karang dilakukan dengan menggunakan data panjang ikan yang diambil dengan metode transek sabuk pada kedalaman dangkal (2 – 4 m) dan dalam (8-10 meter). Transek terdiri dari 3 kali ulangan untuk transek berukuran 2 x 50 m (untuk ikan < 10 cm) dan transek berukuran 5 x 50 m (untuk ikan > 10 cm) (Gambar 3). Data frekuensi dan panjang ikan diambil dari sepanjang transek dengan dua tahap, tahap pertama dilakukan untuk mendata ikan-ikan yang lebih besar dari 10 cm, sedangkan tahap kedua untuk ikan-ikan-ikan-ikan yang lebih kecil dari 10 cm.

Identi kasi ikan karang menggunakan buku Reef Fish Tropical Paci c Identi cation (Allen et al, 2003) dan Pictorial Guide to: Indonesian Reef Fishes (Kuiter dan Tonozuka, 2001) sedangkan konstanta a dan b didapat dari shbase (www. shbase.org) dan Kulbicki, 2005.

Gambar 10. Survei biomassa ikan karang menggunakan transek sabuk (belt transect). Gambar 9. Clown sh (Amphiprion ocellaris)

salah satu ikan penghuni terumbu karang.

50m 50m 50m

5m I. Ukuran >10 cm

2m

II. Ukuran < 10 cm

Gambaran visual metode pengamatan untuk pencatatan karang dan ikan karang dapat dilihat di bawah ini (Gambar 11).

C.1.c. Metode Pengamatan Lamun

Metode yang digunakan pada monitoring ekosistem lamun yaitu metode seagrass-watch, dengan menggunakan quadrat plot ukuran 50x50cm yang diletakkan pada transek. Dengan 50X50m “site” lokasi, letakan 3 transek (masing-masing 50 m) paralel satu dengan lainnya, 25m jauhnya dan tegak lurus dari pantai (lihat contoh gambar 13), dimana setiap kuadrat yang

ditempatkan sebagai sampling harus mengikuti langkah-langkah dibawah ini:

Langkah-langkah pengambilan data lapangan dengan metode seagrass-watch yaitu sebagai berikut: Gambar 11.Gambaran metode yang dipakai dalam pengamatan.

Sumber: English et al. (1997)

(19)

1. Pemasangan transect belt, setelah lokasi disiapkan dan transek telah terpasang/ tersusum; segera ambil foto dokumentasi dengan prosedur ; Foto dokumentasi diambil pada 5m, 25m, 45m kuadrat pada tiap transek; atau pada kuadrat-kuadrat tertentu yang dipilih khusus. Siapkan juga pensil dan sabak untuk mencatatat pengamatan.

2. Deskripsi komposisi sediment

· Masukan jari sedalam 1cm kedalam

substrat dan rasakan teksturnya, kemudian jelaskan/deskripsikan

sedimen dan masukan kedalam urutan dominansi (misalnya pasir, pasir halus, pasir/lumpur halus).

3. Jelaskan keistimewaan lainnya dan hitung identitas makrofauna

· Catat dan hitung setiap

keistimewaan/ciri/ tur lain yang menarik (seperti jumlah kerang, teripang, bulu babi, makanan kura-kura) kemudian masukan dalam kolom komentar.

4. Perkirakan persen tutupan lamun · Perkirakan total persen (%) tutupan

seagrass dalam kuadrat menggunakan foto persen tutupan standar (lembar kalibrasi) sebagai panduan.

5. Perkirakan komposisi jenis lamun

· Identi kasi jenis lamun dalam kuadrat dan tentukan persen

kontribusi dari masing-masing jenis (dimulai dengan yang paling melimpah). Gunakan kunci identi kasi yang telah disediakan

6. Hitung tinggi kanopi

· Mengukur tinggi kanopi (cm) dari jenis lamum berdaun tali

(dominan), dengan mengabaikan tinggi daun, mengukur dari sedimen ke ujung daun minimal 3 tunas.

7. Perkirakan persen tutupan alga

· Perkirakan % tutupan alga dalam kuadrat tersebut. Alga adalah

rumput laut yang dapat menutupi diatas bilah lamun. Gunakan “panduan persentase foto tutupan alga” kemudian tambahkan komentar apakah gangguan tutupan alga tersebut berakar dalam

kuadrat tersebut.

8. Perkirakan persen tutupan epi t

· Epi t adalah ganggang melekat pada lamun sehingga lamun

tampak berbulu. Pertama perkirakan berapa banyak dari

permukaan bilah lamun yang tertutupi dalam kuadrat (misalnya jika 20% dari masing-masing bilah lamun tertutupi 50% oleh epi t, maka tutupan epi t 10% dalam kuadrat.

· Epifauna adalah binatang sessile yang melekat pada bilah lamun,

catat berapa % tutupannya dalam kolom kosong lain jangan digabungkan dengan kolom tutupan epi t.

9. Ambil spesimen penutup lamun jika diperlukan

· Sampel lamun harus ditempatkan dalam kantong plastik berlabel

anti air (air laut). Pilih spesimen yang mewakili semua bagian tanaman termasuk rimpang dan akar. Kumpulkan tanaman dengan buah-buahan dan bungan struktur jika memungkinkan.

Setelah pengambilan data lapangan, dilaksanakan mekanisme pasca monitoring lapangan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Cek data sheet, pastikan semua kolom terisi

· Pastikan tulis nama anda, tanggal dan lokasi kuadrat dengan rinci

dan jelas. Catat pula nama pengamat lain serta mulai dan berakhirnya pengamatan.

2. Bersihkan alat-alat dari kuadrat

· Singkirkan semua pasak dan gulung

meteran, jika meteran terkubur pasir atau lumpur, maka lakukan

penggulungan di dalam air.

3. Bersihkan dan kemas seluruh peralatan dengan baik

· Bilas semua pita/ meteran, pasak dan

kuadrat menggunakan air tawar dan biarkan kering

· Tinjau persediaan peralatan untuk

pengambilan sampel berikutnya (quartal) dan minta bahan-bahan baru

· Persiapkan perlengkapan untuk

pengambilan sampling berikutnya

Gambar 13. Transek kuadrat plot seagrass watch.

(20)

1. Pemasangan transect belt, setelah lokasi disiapkan dan transek telah terpasang/ tersusum; segera ambil foto dokumentasi dengan prosedur ; Foto dokumentasi diambil pada 5m, 25m, 45m kuadrat pada tiap transek; atau pada kuadrat-kuadrat tertentu yang dipilih khusus. Siapkan juga pensil dan sabak untuk mencatatat pengamatan.

2. Deskripsi komposisi sediment

· Masukan jari sedalam 1cm kedalam

substrat dan rasakan teksturnya, kemudian jelaskan/deskripsikan

sedimen dan masukan kedalam urutan dominansi (misalnya pasir, pasir halus, pasir/lumpur halus).

3. Jelaskan keistimewaan lainnya dan hitung identitas makrofauna

· Catat dan hitung setiap

keistimewaan/ciri/ tur lain yang menarik (seperti jumlah kerang, teripang, bulu babi, makanan kura-kura) kemudian masukan dalam kolom komentar.

4. Perkirakan persen tutupan lamun · Perkirakan total persen (%) tutupan

seagrass dalam kuadrat menggunakan foto persen tutupan standar (lembar kalibrasi) sebagai panduan.

5. Perkirakan komposisi jenis lamun

· Identi kasi jenis lamun dalam kuadrat dan tentukan persen

kontribusi dari masing-masing jenis (dimulai dengan yang paling melimpah). Gunakan kunci identi kasi yang telah disediakan

6. Hitung tinggi kanopi

· Mengukur tinggi kanopi (cm) dari jenis lamum berdaun tali

(dominan), dengan mengabaikan tinggi daun, mengukur dari sedimen ke ujung daun minimal 3 tunas.

7. Perkirakan persen tutupan alga

· Perkirakan % tutupan alga dalam kuadrat tersebut. Alga adalah

rumput laut yang dapat menutupi diatas bilah lamun. Gunakan “panduan persentase foto tutupan alga” kemudian tambahkan komentar apakah gangguan tutupan alga tersebut berakar dalam

kuadrat tersebut.

8. Perkirakan persen tutupan epi t

· Epi t adalah ganggang melekat pada lamun sehingga lamun

tampak berbulu. Pertama perkirakan berapa banyak dari

permukaan bilah lamun yang tertutupi dalam kuadrat (misalnya jika 20% dari masing-masing bilah lamun tertutupi 50% oleh epi t, maka tutupan epi t 10% dalam kuadrat.

· Epifauna adalah binatang sessile yang melekat pada bilah lamun,

catat berapa % tutupannya dalam kolom kosong lain jangan digabungkan dengan kolom tutupan epi t.

9. Ambil spesimen penutup lamun jika diperlukan

· Sampel lamun harus ditempatkan dalam kantong plastik berlabel

anti air (air laut). Pilih spesimen yang mewakili semua bagian tanaman termasuk rimpang dan akar. Kumpulkan tanaman dengan buah-buahan dan bungan struktur jika memungkinkan.

Setelah pengambilan data lapangan, dilaksanakan mekanisme pasca monitoring lapangan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Cek data sheet, pastikan semua kolom terisi

· Pastikan tulis nama anda, tanggal dan lokasi kuadrat dengan rinci

dan jelas. Catat pula nama pengamat lain serta mulai dan berakhirnya pengamatan.

2. Bersihkan alat-alat dari kuadrat

· Singkirkan semua pasak dan gulung

meteran, jika meteran terkubur pasir atau lumpur, maka lakukan

penggulungan di dalam air.

3. Bersihkan dan kemas seluruh peralatan dengan baik

· Bilas semua pita/ meteran, pasak dan

kuadrat menggunakan air tawar dan biarkan kering

· Tinjau persediaan peralatan untuk

pengambilan sampel berikutnya (quartal) dan minta bahan-bahan baru

· Persiapkan perlengkapan untuk

pengambilan sampling berikutnya

Gambar 13. Transek kuadrat plot seagrass watch.

(21)

4. Press salah satu spesimen lamun yang dikumpulkan

· Segera dilakukan press pada spesimen yang telah ditentukan

setelah pengumpulan. Tidak disarankan lebih dari 2 hari, press sampel sesegera mungkin

· Biarkan ditempat yang kering dan hangat atau tempat gelap selama

minimal 2 minggu. Untuk hasil terbaik, ganti koran setelah 2-3 hari.

5. Serahkan seluruh data

· Data dapat dimasukkan kedalam MS-Excel atau gunakan data

sheet yang telah ada

· Jadikan satu kesatuan data yaitu data sheet, foto dan herbarium

sheet

C.1.d. Metode Pengamatan Mangrove

Monitoring mangrove menggunakan metode transek garis kuadran (10 x 10) meter. Transek ini merupakan metode yang digunakan untuk

mengetahui keanekaragaman, kepadatan, dan obyek penting lain yang berhubungan dengan kondisi hutan mangrove pada suatu tempat dan waktu tertentu. Dengan metode ini akan diketahui kelimpahan, jenis mangrove, penutupan mangrove, tingkat degradasi. Tahapan pengambilan data mangrove dengan transek garis (transect belt) yaitu:

a. Penentuan Stasiun Pengamatan (Pengambilan Contoh)

Ÿ Lokasi yang ditentukan untuk

pengamatan vegetasi mangrove harus mewakili kajian, dan juga harus dapat mengindikasikan atau mewakili setiap zona hutan mangrove yang terdapat di wilayah kajian.

Ÿ Pada setiap lokasi ditentukan

statiun-stasiun pengamatan secara konseptual berdasarkan keterwakilan lokasi kajian.

b. Prosedur Pengamatan (Pengambilan Contoh)

Ÿ Pada setiap stasiun pengamatan,

tetapkan transek- transek garis dari arah laut ke arah darat (tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi hutan mangrove yang terjadi) di daerah intertidal.

Gambar 15.Transect belt di mangrove

Gambar 16.Contoh data sheet.

Ÿ Pada setiap zona hutan mangrove yang berada di sepanjang transek

garis, letakkan secara acak petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10m x 10m sebanyak paling kurang 3 (tiga) petak contoh (plot).

Ÿ Pada setiap petak contoh (plot) yang telah ditentukan, identi kasi

setiap jenis tumbuhan mangrove yang ada, hitung jumlah individu setiap jenis, dan ukur lingkaran batang setiap pohon mangrove pada setinggi dada (sekitar 1,3m).

Ÿ Apabila belum diketahui nama jenis tumbuhan mangrove yang

ditemukan, potonglah bagian ranting yang lengkap dengan daunnya, dan bila mungkin diambil pula bunga dan buahnya. Bagian tumbuhan tersebut selanjutnya dipisahkan berdasarkan jenisnya dan dimasukkan ke dalam kantong plastik atau dibuatkan koleksinya (herbarium) serta berikan label dengan keterangan yang sesuai dengan yang terantum pada Tabel Form Mangrove untuk masing- masing koleksi.

Ÿ Pada setiap zona sepanjang transek garis, ukur parameter

lingkungan yang ditentukan (suhu, salinitas, pH dan Eh tanah).

Ÿ Pada setiap petak contoh (plot), amati dan catat tipe substrat

(lumpur, lempung, pasir, dsb).

Ÿ Catat fauna terestrial (serangga,

burung, reptil, dsb) dan fauna akuatik (kepiting, kerang, ikan, dsb) yang ditemukan di setiap petak contoh (plot).

Ÿ Catat dampak kegiatan manusia yang

terjadi pada stasiun pengamatan,

dengan memberikan skor dari 0 sampai dengan 4 sesuai dengan besarnya

dampak (0=tidak ada dampak,

1=dampak ringan, 2=dampak sedang, 3=dampak berat, 4=dampak sangat berat).

(22)

4. Press salah satu spesimen lamun yang dikumpulkan

· Segera dilakukan press pada spesimen yang telah ditentukan

setelah pengumpulan. Tidak disarankan lebih dari 2 hari, press sampel sesegera mungkin

· Biarkan ditempat yang kering dan hangat atau tempat gelap selama

minimal 2 minggu. Untuk hasil terbaik, ganti koran setelah 2-3 hari.

5. Serahkan seluruh data

· Data dapat dimasukkan kedalam MS-Excel atau gunakan data

sheet yang telah ada

· Jadikan satu kesatuan data yaitu data sheet, foto dan herbarium

sheet

C.1.d. Metode Pengamatan Mangrove

Monitoring mangrove menggunakan metode transek garis kuadran (10 x 10) meter. Transek ini merupakan metode yang digunakan untuk

mengetahui keanekaragaman, kepadatan, dan obyek penting lain yang berhubungan dengan kondisi hutan mangrove pada suatu tempat dan waktu tertentu. Dengan metode ini akan diketahui kelimpahan, jenis mangrove, penutupan mangrove, tingkat degradasi. Tahapan pengambilan data mangrove dengan transek garis (transect belt) yaitu:

a. Penentuan Stasiun Pengamatan (Pengambilan Contoh)

Ÿ Lokasi yang ditentukan untuk

pengamatan vegetasi mangrove harus mewakili kajian, dan juga harus dapat mengindikasikan atau mewakili setiap zona hutan mangrove yang terdapat di wilayah kajian.

Ÿ Pada setiap lokasi ditentukan

statiun-stasiun pengamatan secara konseptual berdasarkan keterwakilan lokasi kajian.

b. Prosedur Pengamatan (Pengambilan Contoh)

Ÿ Pada setiap stasiun pengamatan,

tetapkan transek- transek garis dari arah laut ke arah darat (tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi hutan mangrove yang terjadi) di daerah intertidal.

Gambar 15.Transect belt di mangrove

Gambar 16.Contoh data sheet.

Ÿ Pada setiap zona hutan mangrove yang berada di sepanjang transek

garis, letakkan secara acak petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10m x 10m sebanyak paling kurang 3 (tiga) petak contoh (plot).

Ÿ Pada setiap petak contoh (plot) yang telah ditentukan, identi kasi

setiap jenis tumbuhan mangrove yang ada, hitung jumlah individu setiap jenis, dan ukur lingkaran batang setiap pohon mangrove pada setinggi dada (sekitar 1,3m).

Ÿ Apabila belum diketahui nama jenis tumbuhan mangrove yang

ditemukan, potonglah bagian ranting yang lengkap dengan daunnya, dan bila mungkin diambil pula bunga dan buahnya. Bagian tumbuhan tersebut selanjutnya dipisahkan berdasarkan jenisnya dan dimasukkan ke dalam kantong plastik atau dibuatkan koleksinya (herbarium) serta berikan label dengan keterangan yang sesuai dengan yang terantum pada Tabel Form Mangrove untuk masing- masing koleksi.

Ÿ Pada setiap zona sepanjang transek garis, ukur parameter

lingkungan yang ditentukan (suhu, salinitas, pH dan Eh tanah).

Ÿ Pada setiap petak contoh (plot), amati dan catat tipe substrat

(lumpur, lempung, pasir, dsb).

Ÿ Catat fauna terestrial (serangga,

burung, reptil, dsb) dan fauna akuatik (kepiting, kerang, ikan, dsb) yang ditemukan di setiap petak contoh (plot).

Ÿ Catat dampak kegiatan manusia yang

terjadi pada stasiun pengamatan,

dengan memberikan skor dari 0 sampai dengan 4 sesuai dengan besarnya

dampak (0=tidak ada dampak,

1=dampak ringan, 2=dampak sedang, 3=dampak berat, 4=dampak sangat berat).

(23)

C.2.

Aspek

Sosial-Ekonomi

emantauan sosial berbasis keilmuan meliputi data pemanfaatan

P

sumber daya alam pesisir, penghidupan, kehidupan keseharian, kondisi geogra s masyarakat pesisir, dan efektivitas daerah

perlindungan laut. Pemantauan berbasis keilmuan ini menjadi dasar untuk pemantauan berbasis masyarakat, diharapkan kedepannya dapat

dilakukan oleh masyarakat sendiri pada akhirnya nanti.

Metode yang digunakan untuk komponen sosial adalah metode

survey/angket dengan pemilihan target angket secara acak pada kelompok nelayan. Untuk mengetahui ada tidaknya perubahan data dan turun naiknya perubahan yang terjadi, angket ini digunakan untuk pengambilan data awal, dan pengambilan-pengambilan data selanjutnya selama kurun waktu tertentu. Setiap data menggunakan kurun waktu yang berbeda, yang akan dijelaskan di bagian berikut dalam modul ini. Data yang akan diambil dalam pemantuan sosial yaitu mengenai:

C.2.a. Pemanfaatan sumber daya alam pesisir

Sumber daya alam pesisir yang dimaksud di sini adalah sumber daya alam yang umumnya banyak ditemukan di pesisir. Untuk modul ini, sumber daya alam pesisir yang digunakan terdiri dari terumbu karang, ikan

karang, lamun, dan mangrove, untuk menghubungkan sisi ekologi dan sisi sosial dalam hal pemanfaatan sumber daya alam. Aspek yang diambil dari setiap sumber daya tersebut adalah jenis, jumlah, waktu, cara, dan lokasi. Di samping itu, jumlah dan jenis alat tangkap yang digunakan oleh masyarakat juga masuk ke dalam pendataan.

Alat yang diperlukan untuk pengambilan data adalah angket yang dapat diperbanyak sesuai dengan kebutuhan, panduan lapangan jenis terumbu karang/ikan karang/lamun/mangrove, alat ukur berat, dan alat penentu posisi global (GPS). Pengambilan data untuk aspek pemanfaatan sumber daya pesisir ini menggunakan kurun waktu bulanan dan responden per kepala keluarga (walaupun responden sendiri bukan kepala keluarga). Lembar pemantauan yang digunakan untuk pengambilan data

pemanfaatan sumber daya alam pesisir ini adalah sebagai berikut:

Data pemanfaatan sumber daya alam pesisir

Desa

Bulan/Tahun

Jenis Jumlah (kg) (koordinat GPS)Lokasi pengambilanCara Dipakai untuk

Terumbu karang

-Ikan karang

-Lamun

-Mangrove

-………

-………

Gambar

Gambar 1. Terumbu karang
Gambar 2. Salah satu jenis ikan karang Myripristis hexagona, ikan karang yang aktif di malam hari
Gambar 4. Salah satu jenis Lamun
Gambar 5. Zonasi jenis mangrove berdasarkan tinggi rendah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Nilai karakter memiliki kesamaan dengan penjabaran hakikat IPA sebagai sikap.Artinya nilai karakter yang dikembangkan terintegrasi dalam sikap ilmiah siswa.Adanya

Hasil penelitian yang diakukan berdasarkan wawancara kepada beberapa informan diperoleh bahwa peran Kepala Desa dalam pengelolaan tempat pelelangan ikan milik Desa

a) Posisi pengikatan dan klem baterai harus kuat agar baterai tidak goyang saat kendaraan berjalan atau bekerja, sehingga dapat retak, elektrolit tumpah.. d) Pasang terminal

Strategi guru dalam membelajarkan matematika pada materi lingkaran kepada anak tunagrahita di SLB Muhammadiyah Cepu adalah strategi guru dalam membelajarkan

Pembangunan yang kurang berorientasi pada lingkungan tersebut pada akhirnya memaksa pemerintah untuk menerapkan konsep pembangunan lain yang lebih memperhatikan

Sebagai proses terakhir di hari kedua pertemuan, peserta yang telah dibagi menjadi beberapa kelompok diminta untuk mempresentasikan hasil evaluasi kegiatan yang

Periode transisi menuju pada lingkungan laut terbuka dengan sedimentasi pada pasif margin terjadi pada pertengahan sampai akhir Jura hasil