• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reformasi Birokrasi dan Good governance (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Reformasi Birokrasi dan Good governance (2)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Reformasi Birokrasi dan Good Governance: Kasus Best Practices dari

Sejumlah Daerah di Indonesia

Eko Prasojo & Teguh Kurniawan

Departemen Ilmu Administrasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Email: prasojo1@ui.edu, teguh1@ui.edu

Abstract

One of the biggest difficulties to speed up the solution of the state and nation problem in Indonesia is caused by the insignificance of the political commitment and competence to carry out bureaucracy reform. Moreover the bureaucracy is still not regarded as the key factor to the development of the nation. Strong political leadership is the most important factor to the success of bureaucracy reform. The awareness towards the importance of bureaucracy reform must come from the president and politician, not from the bureaucrat itself. In practice of the local government in Indonesia, bureaucracy reform is really determined by the head of district/regency. Areas that succeeded with the bureaucracy reform have normally mayor/regent with the strong political commitment, adequate knowledge and competence towards bureaucracy reform, as well as the experience that were owned. Basically this kind of bureaucracy reform covered structural reform, procedural reform, human resources reform and relations reform between the government and the community.

Keywords: Bureaucracy reform, political commitment, head of district/regency (mayor/regent), structural

reform, procedural reform, human resources reform

1. Pendahuluan

Reformasi birokrasi (administrasi negara) dan good governance merupakan dua konsep utama bagi perbaikan kondisi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Kedua konsep ini merupakan konsep yang saling terkait satu sama lainnya dan bukanlah merupakan konsep yang relatif baru. Namun demikian, sampai saat ini dan bahkan sampai tahun-tahun mendatang kedua konsep tersebut akan sangat berperan dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.

Pengalaman sejumlah negara menunjukkan bahwa reformasi birokrasi merupakan langkah yang menentukan dalam pencapaian kemajuan negara tersebut. Melalui reformasi birokrasi, dilakukan penataan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan yang tidak hanya efektif dan efisien tetapi juga mampu menjadi tulang punggung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada akhirnya, keberhasilan pelaksanaan daripada reformasi birokrasi akan sangat mendukung dalam penciptaan good governance. Karena reformasi birokrasi merupakan inti dari upaya penciptaan good governance.

(2)

reformasi birokrasi di tingkat nasional, ternyata sejak digulirkannya era baru otonomi daerah di Indonesia telah muncul pemimpin di sejumlah daerah seperti Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Sragen yang memiliki komitmen dan leadership untuk melaksanakan reformasi birokrasi di daerahnya masing-masing. Reformasi birokrasi yang dilakukan oleh sejumlah daerah ini telah terbukti mampu memberi dampak yang sangat signifikan dalam pelaksanaan pembangunan di daerahnya.

Berangkat dari kondisi tersebut, tulisan ini berupaya untuk membahas masalah reformasi dan good governance di Indonesia yang ada di sejumlah daerah yang telah berhasil tersebut. Melalui tulisan ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan perspektif mengenai reformasi birokrasi dan good governance serta keberhasilan penerapan reformasi birokrasi dalam rangka mencapai good governance yang ada di sejumlah daerah di Indonesia.

2. Reformasi birokrasi dan good governance: perspektif teori

Reformasi birokrasi

Di kebanyakan negara-negara berkembang yang sudah mengalami transformasi ke negara maju, reformasi administrasi negara merupakan langkah awal dan prioritas dalam pembangunan. Administrasi negara menjadi sektor pembangunan (administrative development) sekaligus menjadi instrumen penting pembangunan (development administration). Reformasi administrasi negara di negara-negara tersebut pada umumnya dilakukan melalui dua strategi yaitu; (1) merevitalisasi kedudukan, peran dan fungsi kelembagaan yang menjadi motor penggerak reformasi administrasi, dan (2) menata kembali sistem administrasi negara baik dalam hal struktur, proses, sumber daya manusia (pegawai negeri) serta relasi antara negara dan masyarakat.

Reformasi administrasi ini sejalan dengan upaya untuk melakukan modernisasi administrasi pemerintahan. Belajar dari pengalaman beberapa negara, maka kunci dari keberhasilan pembangunan bangsa adalah bagaimana merevitalisasi administrasi negara. Sebagai contoh misalnya Korea Selatan yang telah melakukan reposisi dan revitalisasi peran administrasi negara sejak tahun 1980-an. Beberapa reformasi yang dilakukan pada saat itu adalah melalui civil servant ethics act pada tahun 1981, civil servant property registration, civil servant gifts control, civil servant consciuosness reform movement, dan social purification movement (Hwang, 2004). Pada masa pemerintahan Rho Tae Woo tahun 1988, reformasi administrasi negara diperkuat melalui deregulasi dan simplifikasi prosedur, restrukturisasi pemerintah pusat dan penguatan peran komisi reformasi administrasi. Semua usaha Korea Selatan untuk merevitalisasi administrasi negara tidaklah sia-sia, karena hasilnya adalah efisiensi dan terciptanya administrasi negara yang profesional, bersih dan berwibawa.

(3)

partisipatif, (4) serta hubungan-hubungan baru antara pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan dan pemerintahan.

Dalam konteks praktek pemerintahan di Indonesia, isu reformasi birokrasi ini menjadi sangat relevan utamanya dalam mempercepat krisis multidimensi yang belum selesai. Sistem birokrasi di Indonesia yang menjadi pilar pelayanan publik menghadapi masalah yang sangat fundamental. Pertama, sebagai fakta sejarah bangsa sistem administrasi yang sekarang diterapkan adalah peninggalan pemerintah kolonial yang juga memiliki dasar-dasar hukum dan kepentingan kolonial. Struktur, norma, nilai dan regulasi yang ada masih berorientasi pada pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara (lihat Thoha, 2003). Tidak mengherankan jika struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Misi utama administrasi negara dengan paham kolonial tersebut adalah untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu.

Ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan perubahan struktur, norma, nilai dan regulasi yang berorientasi kolonial tersebut telah menyebabkan gagalnya upaya untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Kualitas dan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik masih jauh dari harapan. Masih belum tercipta budaya pelayanan publik yang berorientasi kepada kebutuhan pelanggan (service delivery culture). Sebaliknya, yang terbentuk adalah obsesi para birokrat dan politisi untuk menjadikan birokrasi sebagai lahan pemenuhan hasrat dan kekuasaan (power culture). Dalam kultur yang demikian, korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi hal yang umum, sehingga kualitas pelayanan dan pemerintahan seringkali terabaikan.

Ketiadaan komitmen dan paradigma tentang peran, kedudukan dan fungsi administrasi negara dalam pembangunan negara telah menjadi penyebab reformasi birokrasi di Indonesia tidak memiliki visi, kehilangan ruh dan berjalan sangat sporadis. Sampai sekarang tidak terlihat bentuk atau grand design yang diinginkan dalam rangka reformasi birokrasi karena tidak adanya kemauan politik dari pemerintah. Semua bentuk reformasi yang dijalankan di negara lain diadopsi tanpa satu tujuan yang terkait dan terintegrasi. Ketidakpahaman ini telah menyebabkan tidak saja gagalnya program pembangunan, tetapi juga marjinalisasi peningkatan kapasitas administrasi negara sebagai agen pembangunan.

Modernisasi dan reformasi birokrasi dapat meliputi aspek eksternal dan internal. Dalam aspek eksternal, reformasi dan modernisasi birokrasi diletakkan pada penciptaan kontrak baru antara birokrasi dan masyarakat dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dan tanggung jawab pelayanan publik. Dalam aspek internal, reformasi dan modernisasi birokrasi di Indonesia dapat diletakkan pada tiga titik tekan yaitu: debirokratisasi struktur internal birokrasi, modernisasi proses internal birokrasi, dan peningkatan kemampuan aparat birokrasi.

(4)

menyeluruh, perubahan sikap mental dan budaya birokrat dan masyarakat, serta perubahan mindset dan komitmen pemerintah serta partai politik. Harus terdapat kejelasan batas antara pejabat karir dan pejabat politik baik birokrasi pusat maupun daerah. Hal ini juga dimaksudkan untuk membatasi pejabat politik dalam birokrasi. Sebagaimana diterapkan di negara-negara maju, maka pejabat politik hanya dimungkinkan jika dipilih secara langsung rakyat atau mendapatkan persetujuan dari pejabat yang dipilih oleh rakyat. Profesionalitas dan netralitas birokrasi karena itu harus merupakan sasaran utama reformasi birokrasi. Hal terpenting dalam reformasi birokrasi adalah komitmen dan national leadership. Tanpa komitmen baik dari eksekutif, legislatif dan yudikatif, reformasi birokrasi hanyalah blueprint yang berada dalam ruang vakuum.

Good governance

Konsep governance menurut Stoker (1998) merujuk kepada pengembangan dari gaya memerintah dimana batas-batas antara dan diantara sektor publik dan sektor privat menjadi kabur (Ewalt, 2001). Pengaburan batas-batas ini sejalan dengan kebutuhan dari negara modern untuk lebih melibatkan mekanisme politik dan pengakuan akan pentingnya isu-isu menyangkut empati dan perasaan dari publik untuk terlibat sehingga memberikan kesempatan bagi adanya mobilisasi baik secara sosial maupun politik (Stoker, 2004). Hal ini yang kemudian membuat partisipasi melalui pembangunan jejaring antara pemerintah dan masyarakat menjadi aspek yang sangat penting bagi keberlanjutan sebuah legitimasi kebijakan (Stoker, 2004).

Terminologi governance menjadi lebih mengemuka dengan adanya studi yang dilaksanakan oleh Bank Dunia pada tahun 1989. Dalam studi ini, terminologi governance didefinisikan sebagai "the exercise of political power to manage an nation's affair" (World Bank, 1989). Sejak publikasi Bank Dunia tersebut, terminologi governance menjadi populer dan dijadikan sebagai kriteria dalam bantuan pembangunan kepada negara-negara berkembang. Berbeda dengan terminologi government yang hanya meliputi bentuk instutitional-formal negara dan birokrasi, maka istilah governance juga meliputi proses dinamis manajemen pemerintahan, hubungan antar institusi dan organisasi di dalam pemerintah, serta hubungan antara pemerintah dengan sektor publik, masyarakat sipil dan inisiatif swasta. Terminologi governance dengan demikian merupakan tradisi, institusi dan proses determinasi penyelenggaraan kekuasaan negara yang melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan serta berdasarkan kepada kepentingan publik.

Beranjak dari terminologi dan definisi governance, Bank Dunia menuliskan good governance sebagai berikut:

(5)

Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa konsepsi good governance meliputi pemerintah (atau negara) yang berdasarkan kepada hukum (rules), transparansi, akuntabilitas, reliabilitas informasi, serta efisiensi dalam manajemen pemerintahan. Disamping itu, konsepsi good governance saat ini mengalami perluasan isi, sehingga meliputi juga aspek berfungsinya pasar dan sektor swasta serta partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan. Dalam kaitannya dengan bantuan pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), UNDP mengembangkan lebih lanjut kriteria good governance dan meliputi: "participation, rule of law, transparency, responsiveness, consensus orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability, strategic vision" (Hill, 2000). Dari berbagai literatur mengenai good governance yang dikembangkan oleh berbagai institusi intemasional, kriteria good governance saat ini dapat disimpulkan sebagai pemerintahan yang berbasis kepada:

"constitutional legitimacy, democratic elections, respect for human rights, rule of the law, political openness, predictability and stability of laws, tolerance, equity, public participation, public expenditures directed to public purposes, judicial independence, transparency, absence of corruption, active independent media, freedom of information, administrative competence, administrative neutrality and accountability to public interests on issues of public concern"

Pengertian good governance di atas sejalan dengan pendapat Bovaird and Loffler (2003) yang mengatakan bahwa good governance mengusung sejumlah isu seperti: keterlibatan stakeholder; transparansi; agenda kesetaraan (gender, etnik, usia, agama, dan lainnya); etika dan perilaku jujur; akuntabilitas; serta keberlanjutan.

Hubungan material reformasi birokrasi dan good governance

Upaya pencipataan good Governance sangatlah dipengaruhi oleh adanya komitmen dan national leadership. Komitmen dan national leadership ini merupakan faktor kunci keberhasilan good governance. Ambil saja misalnya reformasi birokrasi sebagai bagian dari upaya penciptaan good governance di Jerman pada tahun 1867 (Prasojo, 2003a). Adalah Otto von Bismarck yang memiliki peran sangat besar dalam proses pembaharuan birokrasi Jerman yang masih dirasakan sampai saat ini. Komitmen dan national leadership Bismarck ini bahkan melahirkan pemikir-pemikir Birokrasi dunia. Sebut saja misalnya Max Weber, Otto von Meyer, dan Freiherr-vom-Stein. Weber dengan karyanya yang monumental Birokrasi, Meyer dengan Akte Administrasi (Verwaltungsakt), dan vom Stein dengan otonomi komunal (kommunale Selbstverwaltung). Kelahiran dan reformasi birokrasi tidak mungkin berhasil tanpa komitmen dan national leadership.

(6)

Penciptaan good governance dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas, responsivitas dan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan negara (Prasojo, 2003a). Dan inti dari upaya penciptaan good governance terletak pada reformasi birokrasi. Tidak adanya akuntabilitas dalam birokrasi di Indonesia merupakan faktor pendorong untuk melakukan reformasi birokrasi di Indonesia. Ketiadaan akuntabilitas ini menyebabkan penggunaan birokrasi sebagai mesin kekuasaan pemerintah. Akuntabilitas dalam birokrasi dimaksudkan, bahwa setiap aktivitas dan penggunaan dana yang dilakukan oleh pemerintah untuk kegiatan pemerintahan dan pembangunan harus dapat dipertanggungjawabkan.

3. Otonomi daerah: pendorong good governance

Sentralisasi dan desentralisasi adalah dua konsepsi yang selalu eksis dalam sebuah organisasi modern, baik dalam organisasi publik maupun dalam organisasi non publik. Dalam sebuah sistem negara (baik dalam negara federal maupun negara kesatuan), kedua konsepsi ini bahkan menentukan derajat hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (atau negara bagian). Karena itu, tidak kita temukan sebuah negara yang hidup hanya dengan sentralisasi atau hanya dengan desentralisasi. Meningkatnya kompleksitas kehidupan masyarakat dalam ruang globalisasi tidak menyurutkan peran negara pusat sebagai motor dan moderator antara negara nasional dan negara internasional. Peran negara pusat tersebut, tercakup dalam konsepsi sentralisasi.

Sebaliknya, menguatnya identitas masyarakat lokal (lokalisasi) menuntut ruang gerak pemerintah daerah dan masyarakat setempat untuk mengatur dan mengurus kebutuhannya sendiri. Tuntutan inilah yang melahirkan program desentralisasi. Globalisasi dan lokalisasi (disebut juga dengan glokalisasi) adalah dua kekuatan dalam masyarakat yang bergerak dalam arah berlawanan tetapi saling mempengaruhi. Refleksi keduanya terkandung dalam sentralisasi dan desentralisasi. Meskipun sentralisasi dan desentralisasi adalah dua konsepsi yang selalu ada dalam sistem negara, terdapat beberapa kewenangan dan urusan yang tabu untuk didesentralisasikan. Kewenangan tersebut lazimnya berkaitan dengan keutuhan kedaulatan negara serta kesatuan hukum dan ekonomi nasional. Diantara kewenangan tersebut antara lain; kewenangan luar negeri, kewenangan pertahanan dan keamanan dan kewenangan peradilan. Sebaliknya, terdapat beberapa kewenangan, yang karena tuntutan efisiensi, efektivitas dan kedekatan partisipasi masyarakat, diselenggarakan oleh pemerintah daerah (atau negara bagian).

(7)

bagian tidak terpisahkan dari keseluruhan sistem suatu negara, sehingga secara fungsional dan struktural harus berinteraksi dan berkoordinasi dengan pemerintah pusat.

Berbeda dengan desentralisasi administrasi (dikenal sebagai dekonsentrasi), dimana unit desentralisasi hanya memiliki kewenangan untuk mengurus (authority to manage), dan secara struktural merupakan perpanjangan pemerintah pusat di daerah, maka dalam konsepsi desentralisasi politik unit-unit desentralisasi memiliki kewenangan mengatur dan mengurus (authority to regulate and to manage) sekaligus memanfaatkan sumber daya (manusia dan alam) untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan yang didelegasikan kepadanya.

Desentralisasi politik dengan demikian, merupakan proses politik dalam perubahan dan pembangunan suatu bangsa dan dijadikan sebagai instrumen politik untuk memperkuat participatory democracy (Pitschas, 2001). Tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam desentralisasi politik itu sendiri sangatlah luas. Hal ini meliputi antara lain konsolidasi dan dukungan proses demokratisasi, impuls dan motor kompetisi dan percepatan pembangunan ekonomi, pengurangan arus urbanisasi, pemenuhan kepuasaan sosial, kultural dan religius, efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta kedekatan antara birokrasi dan masyarakat. Struktur negara sentralistis-hierarkis, sebagaimana yang dapat dilihat di sebagian besar negara-negara berkembang dan negara-negara transformasi seringkali tidak sejalan dengan proses dinamis perubahan masyarakat, birokrasi dan negara. Struktur negara sentralistis hierarkis semacam ini tidak memiliki fleksibilitas dan kemampuan adaptasi situatif sebagai prasayarat perubahan masyarakat.

Perubahan dari negara berstruktur sentralistis-hierarkis menjadi negara terdesentralisasi secara politis, harus berbasis kepada asumsi, bahwa negara tidak hanya menjadi aktor dan subyek pembangunan, tetapi juga secara bersamaan menjadi obyek pembangunan dan reformasi. Atas landasan tersebut, desentralisasi politik dimaksudkan untuk mengurangi dan atau menghapus defisit struktur sentralistis-birokratis yang selama ini diterapkan oleh negara-negara berkembang. Desentralisasi politik dengan demikian, tidak hanya menjadi ”mode penyelenggaraan negara" dalam kaitannya dengan bantuan pembangunan intemasional, tetapi juga memberikan kerangka dasar dan arahan kepada pemerintah pusat untuk melakukan reformasi dan modernisasi.

Secara global, desentralisasi merupakan sebuah isu yang berkembang baik secara teoritik dan praktek dalam ranah administrasi publik. Perkembangan isu desentralisasi ini terkait dengan bantuan-bantuan negara asing dan lembaga-lembaga donor untuk memperkuat proses demokratisasi. Sejatinya isu ini berkembang sudah sejak lama bersamaan dengan mengalirnya dana bantuan donor ke negara-negara berkembangan. Meskipun demikian, pada saat ini isu tersebut semakin kuat dan dirasakan perlu dalam konteks Indonesia. Terlebih bahwa hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah sesuatu yang dinamis dan tidak berada dalam ruang yang vacuum.

(8)

terkait dengan aspek vertical distribution of power. Pergolakan tersebut merupakan reaksi terhadap kekuatan sentripetal yang berlebihan dalam penyelenggaraan negara (Hoessein, 1995). Pasca jatuhnya Soeharto tahun 1998, hubungan antara Pusat dan Daerah memiliki ancaman sekaligus harapan. Menjadi ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Gerakan sentrifugal masih sangat dirasakan, bahkan dalam MOU Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan Aceh (Prasojo, 2005). Efek domino gerakan sentrifugal ini tidak berhenti, melainkan akan terus berlanjut sampai ditemukannya titik keseimbangan baru antara pusat dan daerah. Pada sisi lainnya, pasca kejatuhan Soeharto juga memberikan harapan pada kemungkinan terjadinya perubahan hubungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua UU ini secara radikal telah merubah corak hubungan antara Pusat dan Daerah di Indonesia. Dalam perspektif politik, UU No. 22 tahun 1999 dapat dikatakan berhasil meredam gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah.

Desentralisasi yang merupakan refleksi hubungan antara pusat dan daerah terus akan bergulir dalam proses demokratisasi. Administrasi publik berperan penting untuk ikut menentukan konstruksi hubungan pusat dan daerah di Indonesia, juga ikut membangun kapasitas pemerintahan daerah. Karena isu ini bukan isu sesaat tetapi isu yang terus dan akan berlanjut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam isu ini terkandung substansi yang sangat luas terutama untuk mencipatkan pemerintahan yang efisien dan efektif, juga untuk meningkatkan proses demokrasi di tingkat lokal.

(9)

Perbaikan dan pembaruan birokrasi pemerintah daerah ini harus diarahkan pada tiga kepentingan: pertama untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat sebagai pembayar pajak. Kedua mempertanggungjawabkan penerimaan maupun penggunaan sumber-sumber keuangan publik, dan ketiga untuk meningkatkan efisiensi dan effektivitas internal instansi pemerintah dan terutama untuk menjadikan anggaran publik sebagai salah satu basis pengambilan keputusan (management control).

Efek positif dari desentralisasi politik dan reformasi birokrasi sebagai basis penciptaan local good governance sebagaimana disebutkan di atas bukan tanpa masalah. Ketidakmampuan Daerah secara personal dan finansial dapat menjadi hambatan keberhasilan proses tersebut. Hal ini dapat terjadi jika proses transformasi dari sistem yang sentralistis-hirarkhis menjadi desentralistis-partisipatif tidak memiliki kejelasan peraturan pelaksanaan di lapangan. Sehingga dalam hal ini, hukum harus menjadi dasar proses reformasi birokrasi untuk menuju good governance. (Prasojo, 2003)

Faktor lainnya yang akan mempengaruhi implementasi desentralisasi menurut Rondinelli (1983) adalah: (1) kuatnya dukungan politik dan administratif dari Pemerintah Pusat; (2) pengaruh perilaku, tingkah laku dan budaya; (3) faktor-faktor organisasi; (4) sumberdaya keuangan, manusia, dan fisik yang cukup dan memadai.

Meskipun demikian, dalam kebanyakan praktek di negara-negara berkembang, desentralisasi politik ditempatkan lebih sebagai instrumen efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan, katimbang sebagai instrumen peningkatan demokrasi lokal dan partisipasi masyarakat. Dengan kata lain, secara prinsipial desentralisasi politik dipahami sebagai instrumen maksimalisasi efisiensi pelayanan publik. Pemahaman dan praktek semacam ini tidaklah mengherankan, karena konsepsi good governance oleh Bank dunia memang bersifat teknis dan bukan politis. Atas dasar asumsi itu, tidak sukar untuk dipahami bahwa diskusi mengenai desentralisasi lebih erat berkaitan dengan modernisasi administrasi dan negara melalui paradigma baru New Public Management (Reinermann, 1993). Sejalan dengan perkembangan pemahaman demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, konsepsi awal good governance yang notebene berkiblat kepada sistem anglosaxon (rule of law) tidak lagi memenuhi tuntutan tersebut. Atas dasar itulah, negara-negara Eropa Kontinental mengembangkan perspektif baru good governance yang lebih menekankan pada aspek demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan (Prasojo, 2003a).

4. Kasus reformasi di sejumlah daerah (Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Sragen)

Kabupaten Jembrana

(10)

Dalam bidang pendidikan, terdapat lima program yaitu: pembebasan biaya sekolah SD – SMU Negeri dan program beasiswa untuk siswa SD – SMU Swasta; pembangunan/perbaikan gedung sekolah dengan pola block grant dan regrouping sekolah; pemberian beasiswa kepada guru untuk melanjutkan pendidikan; peningkatan kesejahteraan guru melalui penambahan insentif tambahan; serta penyelenggaraan sekolah kajian untuk mencetak anak didik yang memiliki disiplin tinggi, budi pekerti, keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta mempunyai wawasan global.

Dalam hal pembangunan/perbaikan gedung sekolah negeri baik berupa ruang kelas baru atau ruang penunjang lainnya, maka pola yang dipilih untuk dilaksanakan adalah melalui pola block grant bukan proyek seperti yang selama ini biasa dilakukan di daerah-daerah lainnya. Pola ini dilakukan dengan mengedepankan partisipasi masyarakat melalui komite sekolah yang ada, sehingga pembangunan sarana dan prasarana pendidikan tersebut diharapkan sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat. Melalui pola ini, Pemerintah Kabupaten hanya memfasilitasi dan memberikan bantuan berupa dana atau material untuk bangunan yang akan direhab/buat. Pemilihan pola block grant dilakukan selain untuk memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat juga bertujuan untuk melakukan efisiensi dan pemanfaatan dana yang lebih optimal dengan sasaran akhir yang lebih maksimal. Dengan pola ini diharapkan dapat dilaksanakan rehab/perbaikan gedung SD, SMP, maupun SMU dengan menggunakan biaya dari APBD dan DAK yang minimal namun dengan hasil yang lebih optimal.

Dalam bidang perekonomian, tenaga kerja dan kependudukan, terdapat sembilan program yaitu: dana bergulir; pemberian alat kerja kepada kelompok masyarakat; pelatihan dan penempatan kerja di kapal pesiar; pelatihan dan pemagangan kerja di Jepang; info bursa tenaga kerja di Dinas Kependudukan, pembebasan biaya pembuatan KTP dan Akte Kelahiran; undian berhadiah KTP; serta asuransi kematian bagi pemegang KTP.

Dalam bidang pertanian, terdapat tiga program yaitu: program inovasi dalam pemberian dana talangan kepada KUD untuk membeli gabah petani, pemberian dana talangan kepada petani cengkeh, dan pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan untuk areal pertanian.

(11)

Pemerintah Kabupaten berupa uang muka pembayaran beras bagi PNS, serta Pemerintah Kabupaten sendiri dapat memenuhi kebutuhan beras bagi PNS dilingkungannya dengan harga sesuai kesepakatan.

Dalam bidang perizinan dan struktur pemerintahan terdapat enam program, yaitu: pelayanan izin satu atap, perubahan struktur organisasi Pemerintah Kabupaten sesuai dengan PP 8/2003; absensi pegawai Pemerintah Kabupaten dengan menggunakan handkey; pembentukan tim owner estimate (OE) dalam pengadaan barang dan jasa; pemberian insentif tahunan bagi pegawai Pemerintah Kabupaten; dan pembatasan penggunaan kendaraan dinas di lingkungan Pemerintah Kabupaten Jembrana.

Tim Owner Estimate (OE) adalah sebuah tim yang dibentuk oleh Bupati untuk menilai nilai sebenarnya dari suatu proyek pengadaan barang dan jasa. Dengan adanya tim OE ini dapat dilakukan efisiensi penggunaan dana dalam pelaksanaan proyek pengadaan barang dan jasa tanpa mengurangi spesifikasi dan volume dari proyek pengadaan barang dan jasa tersebut. Penggunaan tim OE ini juga didukung oleh kebijakan Bupati untuk mensentralisasikan proyek pengadaan barang dan jasa melalui 1 (satu) pintu di tingkat Kabupaten, dan adanya nilai standar yang sama dalam belanja barang yang dilakukan oleh unit-unit di lingkungan Pemerintah Kabupaten Jembrana. Standar harga tersebut dibuat melalui sebuah survei harga pada sejumlah tempat/toko dan senantiasa diperbaharui setiap 3 (tiga) bulan sekali.

Kabupaten Sragen

Seperti halnya di Kabupaten Jembrana, di Kabupaten Sragen terdapat sejumlah program inovasi di Kabupaten Sragen yang layak dan patut dicontoh oleh Daerah lainnya di Indonesia. Sejumlah program tersebut dibagi dalam tiga kelompok besar program yakni program reformasi birokrasi sebagai wujud pembenahan aspek-aspek internal kelembagaan pemerintahan daerah, program re-engineering pelayanan publik dengan penataan pelayanan prima dalam fasilitasi dan pemberian dukungan terhadap upaya masyarakat membangun diri sendiri, serta program pemberdayaan masyarakat & PNS dengan paket-paket program yang mendorong masyarakat dan PNS menjadi maju dengan kapasitas yang mereka miliki.

(12)

Fungsi pemerintah sebagai pusat pendapatan dimanifestasikan dengan mengupayakan segala program yang dapat mendatangkan penghasilan tambahan yang sah bagi Pemerintah Kabupaten Sragen sebagai suatu lembaga pemerintahan sekaligus bagi pegawai yang beraktivitas di dalamnya. Dijalankannya fungsi pemda sebagai revenue center bukan hanya menutupi kekurangan pemasukan atau PAD melainkan juga membalik citra negatif pemda sebagai sumber pengeluaran (cost-center). Sementara itu, fungsi sebagai pusat produksi dan pusat pelatihan dilaksanakan melalui sinergi dengan agenda pemberdayaan masyarakat yang banyak diemban satuan kerja lain, misalnya Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badan Diklat) melalui pembentukan production & training center seperti Sragen Javaniture.

Pada aspek budaya SDM pemerintahan, Pemerintah Kabupaten Sragen melaksanakan berbagai program seperti: komunikasi intensif dalam rangka internalisasi nilai-nilai pelayanan publik dalam pengelolaan roda pemerintahan sehingga memiliki citra positif di masyarakat; pemberlakuan sistem handkey dalam absensi pegawai; pendirian klinik terapi holistik dalam mewujudkan kesejahteraan lahiriah-batiniah pegawai; pengembangan assessment center guna menciptakan mekanisme penilaian pegawai yang lebih akurat dan terukur; serta membuka peluang wirasusaha bagi PNS dalam rangka turut meningkatkan kesejahteraan pegawai.

Pada aspek e-government, Pemerintah Kabupaten Sragen melaksanakan berbagai program seperti: pembangunan jaringan pemerintahan secara online dengan perangkat wireless; pengoperasian teleconference sampai ke tingkat desa/kelurahan dalam rangka memperlancar hubungan komunikasi di lingkungan pemerintah kabupaten; pembangunan data kependudukan sipil secara elektronik dengan menggunakan single identity number; serta dengan mengembangkan mekanisme pemilihan kepala desa secara elektronik.

Pada aspek pengelolaan anggaran daerah, Pemerintah Kabupaten Sragen melaksanakan program efisiensi anggaran. Hal ini diterapkan dengan penekanan belanja dinas-dinas yang diarahkan pada sasaran yang jelas dan bisa dioptimalkan. Sejumlah kegiatan dan belanja lainnya yang sebelumnya membutuhkan anggaran dalam jumlah tertentu bisa diturunkan tanpa mengurangi kualitas pencapaian tujuan kegiatan tersebut.

Dalam bidang pelayanan prima, Pemerintah Kabupaten Sragen melaksanakan berbagai program seperti: pelayanan dengan konsep small management dengan melimpahkan sebagian kewenangan dan fungsi pemerintahan kabupaten ke kecamatan dan desa/kelurahan; mengembangkan wisata pelayanan publik; serta membebaskan biaya pembuatan akte kelahiran dan pengurusan Surat Ijin Usaha bagi pengusaha pemula.

(13)

ikan; persiapan alih profesi petani penggarap; serta pengembangan area wisata terpadu di kawasan waduk Kedung Ombo.

5. Penutup: faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan reformasi birokrasi di daerah dan upaya kedepannya

Belajar dari pengalaman yang ada di Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Sragen, terdapat sejumlah faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan reformasi birokrasi di daerah-daerah tersebut.

Pertama, political will dan komitmen dari Kepala Daerah sebagai pimpinan tertinggi birokrasi di daerah untuk melaksanakan program. Dimulai dengan membangun kesamaan visi, misi dan tujuan dengan aparat birokrasi, kepercayaan dan keterlibatan birokrasi dalam pelaksanaan program sangat menentukan. Artinya kemauan dan komitmen politik dari Bupati saja tidak cukup tanpa dukungan dan motivasi aparat birokrasi untuk melaksanakan program tersebut. Apalagi jika terdapat sejumlah orang dalam internal birokrasi yang kontraproduktif terhadap gagasan dan pelaksanaan program.

Kedua, kemampuan Kepala Daerah beserta aparat untuk melibatkan organisasi lokal seperti lembaga dan tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan pihak-pihak terkait lainnya dalam penyusunan prioritas juga dalam pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program. Dengan keterlibatan semua pihak dalam program, akan meningkatan dukungan politik, motivasi dan penerimaan masyarakat terhadap program. Struktur sosial dan budaya lokal yang akomodatif, merupakan faktor penguat keberhasilan program.

Ketiga, adanya program efisiensi pembangunan di semua sektor serta upaya mengubah paradigma dan budaya birokrasi. Pelaksanaan program pada awalnya akan merupakan cost center karena membutuhkan anggaran yang relatif besar. Untuk itu, diperlukan efisiensi terhadap semua sektor guna memenuhi kebutuhan pembiayaan ini. Disamping komitmen terhadap efisiensi, perlu dibuat grand strategy seperti mekanisme kontrol harga dalam pembelanjaan barang dan pembelanjaan yang seminimal mungkin (prinsip kewirausahaan dalam pemerintahan). Hal lainnya yang harus dilakukan adalah terkait dengan paradigma dan budaya aparat birokrasi yang harus diubah sehingga dapat mendukung secara optimal keberadaan inovasi program. Keberhasilan program salah satunya ditentukan oleh dukungan paradigma dan budaya aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat. Upaya mengubah paradigma dan budaya aparat birokrasi ini juga menjadi hal yang signifikan mengingat tantangan yang semakin besar yang dihadapi oleh pemerintah daerah di era era governance saat ini. Di era ini, aparat pemerintah daerah harus mampu berinteraksi secara memadai dengan berbagai stakeholder dan mengubah pola interaksinya sebagai mitra daripada sebagai penguasa.

(14)

sangat dekat dan dibutuhkan oleh masyarakat. Selain itu, perlu juga dipertimbangkan keterkaitan dan sinergitas antara satu program dengan program lainnya.

Dari sejumlah faktor tersebut, maka peranan kepemimpinan merupakan faktor yang sangat menentukan. Karenanya yang perlu dilakukan untuk dapat mendorong reformasi birokrasi dan good governance di daerah lainnya adalah bagaimana kita dapat turut memastikan terpilihnya figur-figur yang memiliki komitmen dan kepemimpinan terhadap reformasi birokrasi untuk dapat menjadi Kepala Daerah. Karenanya momentum pemilihan Kepala Daerah secara langsung dapat menjadi batu pijakan utama guna mewujudkan kondisi itu. Selain itu, partisipasi secara aktif dari masyarakat serta keberadaan aturan perundang-undangan yang memadai terkait reformasi birokrasi dan good governance yang akan menjadi payung dalam proses pelaksanaan reformasi birokrasi dan good governance tersebut..

Referensi

Bovaird, Tony and Elke Loffler (Eds.), 2003, Public Management and Governance, New York: Routledge

Ewalt, Jop Ann G, 2001, “Theories of Governance and New Public Management: Links to Understanding Welfare Policy Implementation”, paper prepared for presentation at the Annual Conference of the American Society for Public Administration

Hill, Herman, 2000, “Good Governance”, in Herman Hill and Helmut Klages, Good Governance und Qualitatsmanagement - Europaische und internationale Entwicklungen, Speyer

Hoessein, Bhenyamin, 1995, “Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akan Berputarkah Roda Desentralisasi dari Efisiensi ke Demokrasi”, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Depok: Universitas Indonesia

Hwang, Yunwon, 2004, “Reform: Concepts, Theories, and Issues in Korea”, paper presented in International Seminar: Indonesia: Challenges in the 21st Century Civil Society, Administrative Culture and Governance Issues, Jakarta

Kurniawan, Teguh, 2007a, “Pergeseran Paradigma Administrasi Publik: Dari Perilaku Model Klasik dan NPM ke Good Governance”, Jurnal Ilmu Administrasi Negara (JIANA), Volume 7, No. 1

Kurniawan, Teguh, 2007b, “Mewujudkan Good Governance di Era Otonomi Daerah: Perspektif UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004”, makalah, dipresentasikan dalam 1st Accounting Conference, FE UI Depok

Mackie, J.A.C. (editor), 1980, Integrating and Centrifugal Factors in Indonesian Politic since 1945: The Making of Nation, Canberra: ANU

Pitschas, Rainer, 2001, “Dezentralisierung und Good Governance - Zivilgesellschaftliche Entwicklung im Konflikt mit dem effizienten Staat“ in Walter Thomi, Markus Steinich and Winfried Polte (editor), Dezentralisierung in Entwicklungslandem: Jungere Ursachen, Ergebnisse und Perspektiven staatlicher Reformpolitik, Baden-Baden

(15)

Prasojo, Eko, 2003b, “Agenda Politik dan Pemerintahan Daerah di Indonesia: Desentralisasi Politik, Reformasi Birokrasi dan Good Governance”, Bisnis & Birokrasi, Volume XI, No. 1

Prasojo, Eko, Teguh Kurniawan dan Azwar Hasan, 2004, Reformasi Birokrasi dalam Praktek: Kasus di Kabupaten Jembrana, Depok: Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota DIA FISIP UI

Prasojo, Eko, 2005, Demokrasi di Negeri Mimpi: Catatan Kritis terhadap Pemilu 2004 dan Good Governance, Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI

Prasojo, Eko, Teguh Kurniawan dan Defny Holidin, 2007, Reformasi dan Inovasi Birokrasi: Studi di Kabupaten Sragen, Jakarta: Yappika dan Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI

Reinermann, Heinrich, 1993, “Ein Neues Paradigma fur die offentliche Verwaltung?“, Speyerer Hefte, Speyer

Rondinelli, Dennis A, John R Nellis and G Shabbir Cheema, 1983, “Decentralization in Developing Countries: A Review of Recent Experience”, World Bank Staff Working Papers Number 581, Washington

Stoker, Gerry, 2004, “New Localism, Participation and Networked Community Governance”

Thoha, Miftah, 2003, “Reformasi Birokrasi Pemerintah”, makalah, disampaikan dalam Seminar

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian, perjalanan dilanjutkan dengan berbalik ke arah timur untuk kembali menuju Desa Tokawi, lalu menuju ke Desa Pakis dan menetap di Dusun Sobo selama 98 hari

Peran Ilmu Forensik dalam penyelesaian kasus kejahatan kriminologi, psikologi forensik, dan psikiatri/neurologi forensik ilmu kriminalistik, kedokteran forensik, kimia forensik,

Anehnya, pemerintah tidak terlihat bekerja keras atau bahkan memaksa kontraktor-kontraktor tambang dan migas agar bagian pemerintah lebih besar lagi atau untuk menaikkan

Setelahdiperoleh rata-rata skor seluruh indikator pada pretest dan posttest maka didapatkan gain dengan kategori tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

Dari hasil analisa minat wirausaha terdapat empat variabel dengan nilai rata-rata tertinggi yang terkait dengan faktor pribadi, yaitu Ingin suatu hari nanti membuka usaha

Pemberian jus daun ubi jalar dengan dosis 0,006 ml/ gr BB tikus selama 14 hari kurang efektif dalam menurunkan kadar trigliserida pada tikus wistar jantan yang diberi

Lahan merupakan salah satu sumber daya alam penting yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup baik hewan, tumbuhan dan manusia untuk berpijak, sebagai tempat hidup

Hasil analisis tersebut akan menjadi dasar kajian dalam menentukan luas area yang dibutuhkan untuk penyediaan Ruang Terbuka Hijau pada lokasi penelitian dengan membandingkan