• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori kontarak dan tindakakan kolektif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Teori kontarak dan tindakakan kolektif"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelembagaan baru (new institutionalist) merupakan sekumpulan pemikiran yang mencoba menerangkan, politik, sejarah, ekonomi dan kelembagaan sosial seperti pemerintah, hukum, pasar, perusahaan (firm) konvensi sosial, keluarga dll dalam bingkai neoclassical economic theory. Teori ini merupakan buah perenungan Chicago School yang terus berupaya agar teori ekonomi klasik bisa menerangkan wilayah masyarakat manusia (area of human society) dengan segala karakteristiknya yang selama ini diabaikan dalam membangun ekonomi masyarakat atau negara.

Mereka yang bekerja di bidang ini, Ronald Coase, Armen Alchian, Harold Demsetz dan Oliver Williamson, menyebut pandangan ini sebagai “New Institutionalis” atau New Institutional Economics (NIE)” untuk membedakannya dengan American Institutionalist school sebagaimana dijelaskan di atas. NIE berkembang pesat dan mulai diperhitungkan sebagai teori ekonomi alternatif setelah Ronald Coase menemukan konsep biaya transaksi (transaction cost). Setelah itu muncul teori kontrak dan tindakan kolektif.

Problem serius dalam kegiatan ekonomi (transaksi) adalah ketiadaan kesetaraan antarpelaku ekonomi. Ketidaksetaraan tersebut bisa berwujud dalam posisi tawar menawar (bargaining position) maupun informasi asimetris (information asymmetric). Implikasinya, dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan akhirnya ada salah satu/beberapa pihak yang memperoleh keuntungan diatas beban (kerugian) pihak lain.

(2)

1.2 Rumusan Masalah

A. Apa yang dimaksud dengan teori kontrak?

B. Bagaimana mekanisme penegakan dan instrumen ekstralegal dalam teori kontrak? C. Apa yang dimaksud dengan pilihan rasional dan tindakan komunikatif?

1.3 Tujuan Masalah

A. Memberikan pengertian dan penjelasan dari teori kontrak.

B. Memberikan penjelasan bagaimana suatu mekanisme penegakan dan instrumen ekstralegal dilakukan.

(3)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Teori Kontrak dan Informasi Asimetris

Dalam pendekatan ekonomi biaya transaksi (transaction costs economics/TCE), basis dari unit analisis ‘kontrak’ (contract) atau transaksi tunggal antara dua pihak (parties) yang melakukan hubungan ekonomi. Kontrak secaraa umum menggambarkan kesepakatan satu pelaku untuk melakukan tindakan yang memiliki nilai ekonomi kepada pihak lain, tentunya dengan konsekuensi adanya tindakan balasan (reciprocal action) atau pembayaran. Tindakan untuk membuat kontrak tersebut secara umum dilakukan berdasarkan tingkat pengamatan yang berbeda, pada titik waktu yang tidak sama, dan juga berdasarkan derajat timbal balik yang berlainan. Bahkan hubungan kontrak itu sendiri mempunyai perbedaan terhadap kesinambungannya. Untuk alasan ini, pelaku-pelaku dalam kontrak tersebut memiliki derajat insentif kesukarelaan alami yang berbeda untuk menyetujui isi atas kontrak yang dibikin. Dalam TCE, badan penegakan kontrak dari luar (external contract-enforcement agency), yang biasa disebut lembaga hukum (legal institution) yang mengatur kontrak, diasumsikan eksis, meskipun kadangkala kinerjanya mengalami hambatan-hambatan akibat kesulitan memverifikasi, baik yang buruk maupun yang bagus, pelaku-pelaku yang terikat dalam sebuah kontrak. Dengan kata lain, TCE mengasumsikan bahwa kontrak dapat ditegakkan (dipaksakan) dalam koridor lembaga hukum yang eksis dan ketersediaan informasi yang cukup (Dixit, 1996:48).

(4)

membuat kontrak. Salah satu jalan yang mungkin hanyalah mencoba memodelkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan informasi yang terbatas, untuk kemudian menjadikan hal itu sebagai bahan untuk membuat kontrak yang menyeluruh (comprehensive contract). Mungkin saja suatu kontrak dibuat dengan syarat hanya mencakup hal-hal yang bisa diamati oleh masing-masing pelaku (parties), sehingga jika terjadi sesuatu (misalnya penyimpangan atau penipuan) bisa diselesaikan oelh pihak ketiga (seperti pengadilan) [Bickenbach, et al., 1993:3-4].

(5)

maka kian besar pula usaha yang mesti dikerjakan untuk mendesain kontrak kerja secara lebih komplet.

George A. Akerlof’s, yang dianggap sebagai pioner teori informasi asimetris, lewat karya menumentalnya, yakni The Market of “Lemons”: Quality Uncertainty and the Market Mechanism (1970), berpendapat bahwa informasi asimetris yang terjadi di antara pelaku transaksi dapat direduksi melalui kelembagaan pasar perantara (intermediary market institutions), yang sering disebut dengan kelembagaan penghalang (counteracting institution). Contoh yang bagus untuk menunjukkan kelembagaan yang dimaksud adalah jaminan/garansi (guarantee) atas barang. Garansi memberikan pembeli kecukupan waktu untuk memperoleh informasi yang sama tentang barang sebaik pengetahuan yang dimiliki oelh penjual. Diluar garansi, instrumen kelembagaan lain adalah merek (brand-names), kongsi (chains), dan waralaba (franchise) sebagai mekanisme jaminan bagi pembeli, setidaknya menyangkut kualitas produk (Auronen, 2003:9). Instrumen-instrumen tersebut secara lebih lanjut harus dimasukkan dalam kontrak sehingga memiliki kapastian, khususnya dari aspek legal.

(6)

biaya penandaan tersebut berkorelasi negatif dengan kapabilitas produktif seseorang (Auronen, 2003:11).

Kembali kepada soal kontrak, dalam kegiatan ekonomi moderen tipe kontrak setidaknya bipilah dalam tiga jenis, yakni teori kontrak agen, teori kesepakatan otomatis, dan teori kontrak relasional. [Furubotn dan Richter, 2000:147]. Pertama, dalam teori agency diandaikan setidaknya terdapat dua pelaku yang berhubungan, yakni prinsipal dan agen. Prinsipal adalah pihak yang mempekerjakan agen untuk melaksanakan pekerjaan atau layanan yang diinginkan oleh prinsipal. Di luar itu, prinsipal juga memfasilitasi bagi keberhasilan sebuah aktivitas yang telah didelegasikan kepada pihak agen, misalnya otoritas untuk mengambil keputusan. Dalam posisi ini, informasi (setelah kontrak dilakukan) diandaikan asimetris karena: (i) tindakan agen tidak dapat diamati secara langsung oleh prinsipal; (ii) pihak agen membuat beberapa pengamatan yang tidak dikerjakan oleh prinsipal (dalam kasus

share cropping, misalnya, agen tahu persis berapa output yang dihasilkan, tetapi prinsipal tidak mengetahuinya). Pada kasus ini sangat mahal bagi prinsipal untuk mengawasi tindakan agen secara langsung atau mendapatkan pengetahuan lengkap dari informasi yang diperoleh agen. Menurut Arrow (1985), kasus yang pertama biasa disebut dengan tindakan tersembunyi dan pada kasus kedua biasa disebut dengan informasi tersembunyi.

Kedua, jika dalam teori kontrak agensi diasumsikakn kesepakatan bisa ditegakkan secara hukum, maka dalm teori kesepakatan otomatis diandaikan tidak seluruh hubungan atau pertukaran bisa ditegakkan secara hukum (Furubotn dan Ritcher, 2000:156-157). Disini dinyatakan bahwa sistem hukum sangat mungkin tidak sempurna atau informasi yang relevan tidak bisa diverifikasi oleh pengadilan. Oleh karena itu, salah satu kemungkinan bagi relasi bisnis dalam jangka panjang adalah membuat atau menemukan sebuah kontrak yang berisi kesepakatan yang dapat ditegakkan secara otomatis. Kontrak semacam ini didesain untuk memastikan bahwa keuntungan dari berbuat curang selalu lebih rendah dari laba yang didapatkan dengan mematuhi kontrak yang telah disepakati. Jadi, disini tidak ada pihak ketiga yang melakukan intervensi. Model seperti ini juga disinonimkan dengan istilah kontrak implisit , meskipun yang terakhir ini sebetulnya didesain untuk membedakan dengan istilah ‘teori kontrak formal’. Kontrak implisit lebih banyak mencakup norma-norma perilaku ketimbang pembagian resiko.

(7)

saat ini, dan ekspektasi terhadap hubungan dimasa depan di antara pelaku-peelaku yang telibat dalam kontrak (Macneil, 1974; dalam Furubotn dan Ritcher, 2000:158). Oleh karena itu, kontrak dalam pengertian ini mengacu pada derajat yang bersifat implisit, informal dan tanpa ikatan. Disini, penegakan otomatis memegang peranan yang sangat penting. Secara aktual sebetulnya sebagian besar transaksi yang menggunakan kontrak relasional ini kurang melekat dalam sebuah struktur hubungan transaksi yang sangat longgar. Transaksi sendiri secara umum merupakan bagian dari asosiasi usaha yang sedang berjalan dan dalam jangka panjang. Model semacam ini memainkan peran yang penting dalam kehidupan ekonomi modern. Jika terjadi persoalan dalam hubungan kontrak tersebut, biasanya tidak diselesaikan lewat pengadilan tetapi dicapai melalui keseimbangan kerjasama dan pemaksaan (coercion), serta komunikasi dan strategi. Jadi, kontrak relasional biasa diaplikasikan dalam situasi dimana terdapat ketergantungan dua pihak (bilateral dependence) pelaku transaksi karena eksistensi dari transaksi investasi yang spesifik (transaction-specific investmenst).

Isu penting lain yang berkenaan dengan perbedaan kesepakatan-kesepakatan kontrak adalah bagaimana kontrak itu dibuat dalam situasi sektor yang sama dan lingkungan kelembagaan (institusional environment) yang sejenis. Dengan memakai studi ekstentif berdasarkan data primer (kuesioner) atas 21.000 responden yang dilakukan oleh para pewawancara yang mengunjungi industri unggas (poultry), Menard (2000:236) menunjukkan adanya tiga bentuk kesepakatan kontrak yang telah teruji lama, yakni kontrak harga tetap

(fixed price contracts), kontrak jual beli (buy-and-sell contracts), dan kontrak lepas (putting-out type); dengan tipe terakhir yang banyak dipilih. Sedangkan dalam sektor pertanian, setidaknya juga terdapat tiga bentuk kontrak: kontrak sewa tetap/ fixed-rent contract (sewa per hektar yang dinyatakan dalam uang maupun tanaman), kontrak bagi hasil (share contract), dan kontrak upah (wage contract) [Cheung, 1969: 66-67]. Salah satu penjelasan yang mungkin bisa menerangkan daya tahan tiga sistem kontrak di atas adalah karena dinamika alamiah (dynamic nature) untuk selalu menyesuaikan dengan perubahan zaman. Bahkan, jalur ketergantungan (path dependency), yang menciptakan pola sosial perilaku, bisa saja mempromosikan daya tahan (survival) sebuah kesepakatan kontrak yang kurang efisien (Menard, 2000:236).

2.2 Mekanisme Penegakan Dan Instrumen Ekstralegal

(8)

dilakukan menunjukkan bahwa jangka waktu kontrak sangat berhubungan dengan atribut dari transaksi. Oleh karena itu, jangka waktu sekaligus juga menggambarkan komitmen (signal commitment) dari para mitra. Kedua, derajat kelengkapan (degree of completeness), yang mencangkup variabel-variabel harga, kualitas, aturan keterlambatan (delay), dan penalty. Beberapa studi menunjukkan bahwa derajat kelengkapan kontrak meningkat seiring dengan spesifikasi asset dan menurun bersamaan dengan ketidakpastiaan. Ketiga,kontrak biasanya bersinggungan dengan insentif. Di sini hanya terdapat sedikit jenis mekanisme insentif. Mekanisme tersebut antara lain adalah sistem tingkat yang tetap (piece-rate systems), upah berdasarkan jam kerja, distribusi bagian kepada pekerja, pengembalian aset yang dibayarkan kepada pemilik, dan sewa yang dibagi antara mitra yang bergabung dalam proyek. Keempat,

prosedur penegakan (enforcement procedures) yang berlaku. Kontrak berhubungan dengan mitra untuk tujuan yang saling menguntungkan (mutual advantage), tetapi pada tempo yang bersamaan kontrak juga menyimpan risiko kerugian (disadvantage) melalui sikap oportunis

(opportunism); entah disebabkan oleh kontrak yang tidak lengkap maupun kondisi pelaksanaan yang berbeda dengan situasi pada saat negosiasi, atau bisa karena keduanya.

Berkaitan dengan aspek penegakan, dalam masyarakat yang kelembagaan penegakannya tidak berjalan dengan baik individu-individu dan perusahaan-perusahaan cenderung menghindari untuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang komplek, yakni transaksi yang penegakannya tidak secara otomatis (non-self-enforcing transactions)[Clague, et. al., 1997:69]. Setidaknya terdapat dua tipe penegakan yang eksis dalam masyarakat, yakni aturan formal dan informal. Aturan-aturan formal dibuat dan dipaksakan oleh organisasi resmi, seperti negara dan perusahaan untuk menyelesaikan masalah tindakan kolektif

(collective action) melalui pihak ketiga (third party sanction). Sementara itu, norma (aturan) informal muncul akibat adanya jaringan kerja dan dipaksakan melalui hubungan sosial (social relationship). Norma (norms) sendiri adalah aturan-aturan ekplisit atau implisit untuk mengatur perilaku yang melekat pada kepentingan dan keinginan masing-masing anggota kelompok (close-knit group) atau komunitas (Nee, 1998:86-87). Derajat aturan-aturan yang mencoba untuk mengelola perilaku sangat tergantung dari penegakan tersebut. Sedangkan penegakan sendiri dipengaruhi oleh daya tekan (coercion power) dari negara atau norma-norma dalam masyarakat. Penekanan (coercion) dan norma itu bisa saling menggantikan

(9)

penyitaan (threaten confiscation), dan kekerasan bertujuan untuk memperkuat pertukaran kontrak itu sendiri.

Dalam banyak kasus, individu-individu mungkin berinteraksi untuk satu kali kesempatan, tanpa pretensi untuk berlanjut lagi, atau berdasarkan hubungan jangka panjang

(long-term basis). Dalam keadaan ketiadaan pihak ketiga, hampir seluruh interaksi yang hanya untuk satu kali (one-time interaction) bermaksud untuk menangkap (capture) atau memindahkan (transfer). Apabila hak-hak ekonomi untuk memindahkan asset tidak terdefinisikan dengan baik, maka resolusi untuk menyelesaikan sengketa pasti akan banyak menghabiskan biaya (resource cost). Sebagai aturan, satu individu berharap mendapatkan keuntungan dan kerugian (lose), dank arena biaya terlihat di dalamnya, maka nilai material untuk bergabung dalam interaksi menjadi negatif. Oleh karena itu, kedua pelaku (both mendapatkan keuntungan dari bantuan pihak ketiga dalam hal memperkuat kesepakatan yang sudah dilakukan. Pihak ketiga memfungsikan prinsip-prinsip tersebut ketika nilai proyek menjadi negatif kepada pihak yang satu atau yang lain selama usia perjanjian tersebut (Barzel, 2000:212-213). Pernyataan ini juga berlaku untuk badan penanggung jawab pelaksanaan penegakan dan perlindungan dari seluruh hak kepemilikan formal (Khan, 1995:72).

(10)

tanda-tanda kegagalan kontrak bisa dari kebutuhannya untuk menggunakan kekuatan eksternal, dengan kata lain kontrak telah didesain dengan buruk (Menard, 2000:238).

Seperti yang telah Menard (2000:248) kemukakan, hal itu membawa kepada pengertian batas ‘penataan publik’ (public ordering). Penataan publik bisa didefinisikan melampaui aturan main untuk wilayah penataan privat. Penataan publik juga mengimplementasikan seperangkat mekanisme yang secara eksplisit didesain untuk menegakkan kontrak dan menopang transaksi. Sebagai hasilnya, diharapkan penataan publik tersebut bertemu dengan penataan sektor swasta (privat). Topik utama yang dapat diagendakan untuk penelitian adalah melakukan analisa dan pemahaman atas perubahan keseimbangan antara prosedur privat dan publik. Pengendalian (court) dan kelembagaan yang terkait (administrasi kehakiman, polisi, dan penjara) merupakan mekanisme yang melekat dalam penataan privat menuju kepada penegakan public. Peran dari pengadilan dalam penegakan publik atas kontrak adalah berhubungan dengan isu hak-hak kepemilikan, tepatnya sejak kesepakatan kontrak dimasukkan ke dalam pemindahan hak-hak pemanfaatan. Tetapi, menurut North (1990a:59), penegakan di negara dunia ketiga sering kali tidak pasti yang disebabkan bukan hanya karena ambiguitas doktrin legal (pengukuran biaya), namun juga ketidakpuasan dalam menghargai perilaku agen/pelaku.

Dalam realitasnya, tentu mekanisme penegakan tersebut tidak selalu mudah dilakukan, bahkan kerap kali sangat rumit. Lebih-lebih, dalam kasus di mana rasionalitas terikat/terbatas

(bounded rationality) eksis sehingga ketidaklengkapan kelembagaan terjadi, maka problemnya bukan sekedar mendesain sebuah aturan-aturan perilaku kelembagaan

(institution’s behavioral rules) tetapi juga bagaimana aturan-aturan itu ditegakkan. Masalahnya, dalam kasus aturan main yang tidak komplet, suatu penegakan legal sangat terbatas penggunaannya. Dalam kasus semacam ini dibutuhkan suatu instrument tambahan semacam jaminan ekstralegal (extralegal guarantee), seperti penyanderaan (hostages), agunan (collateral), strategi balas dendam (tit-for-tat-strategies), reputasi (reputation), dan lain sebagainya. Dengan kata lain, beberapa jaminan “privat” untuk menghadapi perilaku penyimpangan diperlukan untuk membangun suatu hubungan yang taat asas. Oleh karena itu, setiap desainer kelembagaan harus memperhatikan situasi aturan main yang tidak lengkap tersebut agar perilaku-perilaku menyimpang bisa dicegah (Furuboth dan Ricther, 2000:19).

(11)

kesepakatan jaminan sebelum kontrak dilakukan (ex-ante guarantee) untuk menghadapi perilaku oportunistik setelah kontrak disepakati (noncooperative behavior). Tentu saja dalam kasus semacam ini akan muncul biaya transaksi yang mungkin cukup besar. Dengan begitu, biaya transaksi yang muncul tersebut berperan besar dalam konteks seperti ini (Furuboth dan Richter, 2000;20). Kejadian semacam ini sebetulnya merupakan problem ekonomi yang biasa saja, khususnya dalam suatu lingkungan di mana otoritas hukum formal tidak bekerja dengan baik. Kegiatan-kegiatan ekonomi/bisnis sehari-hari selalu diselimuti dengan berbagai peristiwa seperti itu sehingga keperluan melakukan antisipasi terhadap persoalan ini menjadi keniscayaan. Secara kategoris, upaya semacam ini bisa disebut sebagai “kontrak dalam kontrak”, di mana kontrak yang pertama ditujukan untuk menyepakati kegiatan ekonomi yang ingin dilakukan dan kontrak yang kedua dimaksud untuk mengatasi problem penegakan akibat ketidaklengkapan informasi/kontrak.

2.3 Pilihan Rasional dan Tindakan Komunikatif

Setidaknya terdapat dua pendekatan dalam teori pilihan rasional, yakni pendekatan kuat (strong approach) dan pendekatan lemah (weak approach) [Miller, 1992:24; dalam Yustika, 2008:120]. Pendekatan kuat melihat rintangan sosial dan kelembagaan sebagai produk dari tindakan rasional dan tindakan rasional itu sendiri menjadi sebab munculnya analisis pilihan rasional. Sedangkan pendekatan lemah menempatkan halangan sosial dan kelembagaan sebagai suatu kerangka yang pasti ada (given framework) karena aktor-aktor rasional berupaya memaksimalisasikan keuntungan atau meminimalisasikan biaya. Dengan mencermati deskripsi tersebut, secara sederhana dapat dinyatakan bahwa rintangan sosial, dan kelembagaan sama-sama eksis dalam pendekatan kuat maupun lemah. Namun, dalam pendekatan kuat diandaikan hambatan sosial dan kelembagaan sebagai pemicu munculnya tindakan rasional. Sebaliknya, dalam pendekatan lemah hambatan sosial dan kelembagaan lahir akibat pertarungan rasional antara individu yang berupaya memaksimalisasikan laba dan meminimalisasikan ongkos. Tentunya, jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan tindakan kolektif dari dua versi teori pilihan rasional tersebut berbeda, tergantung pendekatan mana yang eksis.

(12)

(overestimate) terhadap pentingnya partisipasi mereka dalam tindakan kolektif, seperti ekspektasi bahwa tindakan mereka pasti akan berdampak positif (keuntungan); dan (ii) sensitivitas kepuasan dan kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang membuat kegunaan partisipasi berdampak positif terhadap pencapaian tindakan (outcome of the action).

Kedua, mengabaikan pentingnya isu-isu politik dalam memotivasi orang-orang untuk berpartisipasi. Sebagai ilustrasi, jika demonstrasi akan dilakukan, maka tidak perlu membahas masalah ideologi ataupun agenda politik yang muluk-muluk, cukup disediakan kopi ataupun makanan yang membuat para demonstran mau terlibat dalam aksi protes tersebut. Ketiga, Taylor (1987 dalam Yustika, 2008:121) dan Elster (1989 dalam Yustika, 2008:121) berpendapat tentang perlunya memunculkan "kerjasama kondisional yang saling menguntungkan" (mutual conditional cooperation). Postulat ini mengemuka berdasarkan teori "prisoner's dilemma" yang sudah cukup mapan.

(13)

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kontrak secara umum menggambarkan kesepakatan satu pelaku untuk melakukan tindakan yang memiliki nilai ekonomi kepada pihak lain, tentunya dengan konsekuensi adanya tindakan balasan (reciprocal action) atau pembayaran. Dalam kenyataannya, kontrak selalu tidak lengkap karena dua alasan (Klein, 1980:356-358; dalam yustika, 2008:105). ketidakpastian (uncertainty) dan kinerja kontrak khusus (particular contractual performance) Oleh karena itu, adanya pelanggaran kontrak sering kali menyulitkan pihak ketiga (pengadilan) untuk memberikan bukti sebagai dasar keputusan. Munculnya faktor ketidakpastian sebetulnya dapat ditelusuri dari realitas adanya informasi asimetris (asymmetric information) dalam kegiatan ekonomi.

Secara teknis, informasi asimetris tidak lain merupakan kondisi di mana ketidaksetaraan informasi atau pengetahuan (unequal knowledge) yang dialami oleh pelaku-pelaku (parties) untuk melakukan transaksi di pasar. Sebagai contoh, pembeli dan penjual memiliki informasi yang tidak sarna tentang harga, kualitas, atau aspek lainnya tentang barang atau jasa yang hendak diperjualbelikan (McConnel dan Brue, 2005:572; dalam yustika, 2008:105). Di sinilah dibutuhkan suatu kontrak yang lengkap sehingga eksistensi informasi asimetris tadi dapat dikurangi atau direduksi.

(14)

3.2 Saran

Terjadinya ketidakpastian (uncertainty) menyebabkan terbukanya peluang yang cukup besar bagi munculnya biaya untuk mengetahui dan mengidentifikasi dalam rangka merespons seluruh kemungkinan ketidakpastian tersebut. Kedua, kinerja kontrak khusus (particular contractual performance), misalnya menentukan jumlah energi yang dibutuhkan pekerja untuk melakukan pekerjaan yang rumit (complex task), mungkin membutuhkan biaya yang banyak untuk melakukan pengukuran. Oleh karena itu perlu pemahaman secara khusus mengenai teori kontrak dan informasi asimeteris.

Demikianlah makalah yang kami buat semoga bermanfaat bagi orang yang membacanya dan menambah wawasan bagi orang yang membaca makalah ini. Dan penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan kata dan kalimat yang tidak jelas, mengerti, dan lugas mohon jangan dimasukan ke dalam hati.

Dan kami juga sangat mengharapkan yang membaca makalah ini akan bertambah motivasinya dan mengapai cita-cita yang di inginkan, karena saya membuat makalah ini mempunyai arti penting yang sangat mendalam.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

 Yustika, Ahmad Erani. 2008. Ekonomi Kelembagaan; Definisi, Teori dan Strategi.

Malang: Bayumedia.

 North, D. C. 1990. Institutions, Institutional Change and Economics Performance.

Cambridge University Press

 Simarmata, DJ. A. 1994. Ekonomi Publik dan Eksternal: Ekonomi tanpa Pasar.

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan mendasar pembelajaran sosiologi di tingkat SMA saat ini adalah proses pembelajaran sosiologi cenderung mengajarkan doktrin norma, moral, etika yang

Berdasarkan Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pembelajaran penjas melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions)

fasilitas umum pada setiap kecamatan di Kab. Aceh Besar yang dimiliki, maka dapat disusun wilayah agropolitan setiap kecamatan pada Tabel 6. Dari Tabel analisis potensi lahan

Nilai α merupakan tinggi dari garis trend pada titik rata- rata waktu; dan β merupakan slope atau konstanta. perubahan vertikal

Iz enačbe pričakovanih povprečnih stroškov enote kapitala določenega podjetja in enačbe vrednotenja podjetja v razmerah negotovosti sledi, da če sta ke in ki konstantna ali če

ukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia, dengan perkataan lain mengatur peralihan

akan dianalisis dalam penelitian ini berupa kutipan-kutipan (kata, frasa, kalimat naratif, maupun dialog), yang berkaitan dengan tubuh dan penubuhan yang digambarkan

yang munasabah bagi satu peristiwa atau pemerhatian dengan menggunakan maklumat yang diperolehi dan boleh menerangkan kesimpulan awal yang dibuat3. Menyatakan satu kemungkinan