LAPORAN PENDAHULUAN
Risiko Bunuh Diri, Risiko Perilaku Kekerasan, Defisit Perawatan Diri, Harga Diri Rendah, Isolasi Sosial, Waham, Halusinasi
Disusun untuk memenuhi tugas blok Clinical Study 2
Disusun oleh :
Kelompok 7
Ayu meida Kartika Sari 135070201111025
Wahyu Nur Indahsah 135070201111027
Inten Tri Wahyuni 135070201111029
Hamdy Abdillah 135070201111031
2017
DEFISIT PERAWATAN DIRI
1. Definisi
a. suatu kondisi pada seseorang yang mengalami kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan diri secara mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian / berhias, makan dan BAB / BAK (toileting) (Fitria, 2009).
b. Menurut Orem 1971, deficit perawatan diri terjadi bila tindakan perawatan diri tidak adekuat dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri yang disadar (Kozier, 2010).
2. Komponen Defisit Perawatan Diri
a. Kebersihan Diri : Misalnya mandi adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas mandi / kebersihan diri.
b. Kebersihan Pakaian : Klien memiliki gangguan kemampuan memakai pakaian dan aktivitas berdandan
c. Kurang memperhatikan makan : Klien memiliki gangguan kemampuan untuk menunjukkan aktifitas makan
d. Kurang perawatan diri terhadap tolleting : Klien memiliki gangguan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktifitas toileting sendiri.
3. Penyebab
Menurut Depkes (2000), penyebab kurang perawatan diri adalah : 1) Faktor prediposisi
a. Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan inisiatif terganggu.
b. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri.
c. Kemampuan realitas turun
d. Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.
2) Faktor presipitasi
Faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan diri (NANDA, 2006)
Menurut Depkes (2000) faktor – faktor yang mempengaruhi personal hygiene adalah:
a. Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
b. Praktik Sosial
Pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
c. Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.
d. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya. e. Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan.
f. Kebiasaan seseorang
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.
Sedangkan menurut Tarwoto dan Wartonah (2000) penyebab kurang perawatan diri adalah sebagai berikut:
1. Kelelahan fisik
2. Penurunan kesadaran 4. Tanda dan gejala
Menurut Mukhripah (2008) kurang perawatan diri sering ditemukan adanya tanda dan gejala sebagai berikut :
a. gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki dan bau, kuku panjang dan kotor.
b. ketidakmampuan berhias atau berdandan, ditandai dengan rambut acakacakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien laki-laki tidak bercukur, pada pasien wanita tidak berdandan. c. ketidakmampuan makan secara mandiri, ditandai dengan
ketidakmampuan mengambil makan sendiri, makan berceceran, dan makan tidak pada tempatnya
d. ketidakmampuan BAB atau BAK secara mandiri, ditandai dengan BAB atau BAK tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan baik setelah BAB atau BAK
Adapun tanda dan gejala defisit perawatan diri menurut Fitria (2009) adalah sebagai berikut:
a. Mandi/hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan, memperoleh atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran air mandi, mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk dan keluar kamar mandi.
b. Berpakaian/berhias
c. Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan, mempersiapkan makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan, menggunakan alat tambahan, mendapatkan makanan, membuka container, memanipulasi makanan dalam mulut, mengambil makanan dari wadah lalu memasukkannya ke mulut, melengkapi makan, mencerna makanan menurut cara yang diterima masyarakat, mengambil cangkir atau gelas, serta mencerna cukup makanan dengan aman. d. BAB/BAK (toileting)
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan jamban atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi pakaian untuk toileting, membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan tepat, dan menyiram toilet atau kamar kecil.
DAFTAR PUSTAKA
Fitria, Nita. (2009). Prinsip Dasar Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta : Salemba Medika.
Kozier, Barbara. (2010). Fundamental Keperawatan. (7th ed.). Vol 1. (Penerjemah: Karyuni, Pamilih Eko.). Jakarta: EGC
Depkes. 2000. Standar Pedoman Perawatan jiwa.
Nanda (Budi Santosa: editor). 2006. Panduan Diagnosa NANDA 2005-2006: Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC
Tarwoto dan Wartonah. 2000. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta.EGC
Damaiyanti, Mukhripah. (2008). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama
Fitria Nita, (2009). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta : Salemba Medika.
Hawari, Dadang.2001. Manajemen Stress, cemas dan depresi. Jakarta : FKUI Yusuf AH dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba
RISIKO PERILAKU KEKERASAN
1. Definisi
a. Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut (Purba dkk, 2008).
b. Menurut Stuart dan Sundeen (1995), perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif.
2. Rentang respon
Perilaku kekerasan merupakan respon kemarahan. Respon kemrahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif sampai maladaptive (keliat & Sinaga, 1991). Rentang Respon Ekpresi marah menurut Stuart and Sundeen (1995)
Keterangan : a. Asertif
Perilaku asertif adalah menyampaikan suatu perasaan diri dengan pasti dan merupakan komunikasi untuk menghormati orang lain. Individu yang asertif berbicara dengan jujur dan jelas. Meraka dapat melihat norma individu lainnya dengan tepat sesuai dengan situasi. Pada saat berbicara kontak mata langsung tapi tidak mengganggu, intonasi suara dalam berbicara tidak mengancam. Individu yang asertif dapat menolak permintaan yang tidak beralasan dan meyampaikan rasionalnya kepada oang laindan sebaliknya individu juga dapat menerima dan tidak merasa bersalah bila permintaannya di tolak orag lain (Stuart & Lauria 2005)
b. Pasif
Individu yang pasif sering menyampaikan haknya dari persepsinya terhadap hak orang lain. Ketika seseorang yang pasif marah maka dia akan berusaha menutupi kemarahannya sehingga meningkatkan tekanan pada dirinya. Pola interaksi seperti ini dapat menyebabkan gangguan perkembangan (Stuart & Lauria 2005)
c. Frustasi
Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan (Stuart & Sundeen 2005). Frustasi adalah kegagalan individe dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Frustasi akan bertambah berat jika keinginan yang tidak tercapai memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan (Rawlin, William & Beck, 1993)
d. Agresif
Individu yang agresif tidak menghargai hak orang lain. Individu merasa harus bersing untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Seseorang yang agresif di dalam hidupnya selalu mengarah pada kekrasan fisik dan verbal. Perilaku agresif pada dasarnya disebabkan karena menutupi kurangnya rasa percaya diri (Bushman& BAumeister, 1998 da Stuart & Laraia, 2005). Agresif adalah perilaku mengancam dan memusuhi orag lain dan atau lingkungan (Rawlins et al.,1993)
e. Amuk (Perilaku Kekerasan)
Amuk atau perilaku kkerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan yang kuat yang disertai kehilangan control diri sehingga individu dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Keliat & Sinaga, 1991).
Melukai dalam tingkat serius dan bebahaya
Melukai dalam tingkat yang tidak berbahaya
Mengucapkan kata-kata ancaman dengan rencana melukai
Menyentuh orang lain dengan cara menakutkan
Mengucapkan kata-kata ancaman tanpa melukai
Mendekati orang lain dengan ancaman Bicara keras dan menuntut
Memperlihatkan permusuhan pada tingkat rendah
Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa perilaku kekerasan mempunyai tingkatan berdasarkan perilaku kekerasan mempunyai tingkatan berdasarkan perilakunya mulai dari yang terendah yaitu memperlihatkan permusuhan pada tingkatan trtinggi yaitu melukai dan tingkat serius dan membahayakan.
3. Penyebab
a. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah:
1) Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap perilaku:
a) Neurobiologik Tinggi
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
b) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine, asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY. d) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai/ padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan dengan (Yosep, 2009):
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
6) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
4. Tanda dan gejala
Menurut Keliat (1999), tanda dan gejala dari perilaku kekerasan, sebagai berikut:
a. Tanda dan Gejala Fisik 1) Muka merah 2) Pandangan tajam 3) Otot tegang 4) Nada suara tinggi
5) Berdebat dan sering pula tampak klien memaksakan kehendak 6) Memukul jika tidak senang
b. Tanda dan Gejala Emosional
1) Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap penyakit (misal, rambut botak karena terapi) 2) Rasa bersalah terhaap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri
sendiri)
3) Gangguan hubungan sosial (menarik diri)
5) Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram, mungkin klien akan mengakhiri kehidupannya)
c. Tanda dan Gejala Sosial 1) Mendominasi
2) Cerewet
3) Cenderung suka meremehkan 4) Berdebat
5) Kasar
d. Tanda dan Gejala Spiritual 1) Merasa diri kuasa 2) Merasa diri benar 3) Keragu-raguan 4) Tak bermoral
5) Kreativitas terhambat
Sedangkan menurut Yosep (2009), mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
a. Fisik
2) Suara tinggi, membentak, atau berteriak 3) Mengancam secara verbal atau fisik 4) Mengumpat dengan kata-kata kotor 5) Ketus
6) Suara keras c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda atau orang lain 2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri atau orang lain 4) Merusak lingkungan
d. Emosional
1) Tidak adekuat
2) Tidak aman dan nyaman 3) Rasa terganggu
4) Dendam dan jengkel 5) Tidak berdaya 6) Bermusuhan 7) Mengamuk 8) Ingin berkelahi
9) Menyalahkan dan menuntut 5. Pohon Masalah
Risiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan (RPK) ↑
Perubahan persepsi sensori: halusinasi ↑
Isolasi Sosial: menarik diri ↑
Harga Diri Rendah Kronis ↑
Inefektif koping keluarga/individu
Dalami, E., Suliswati., Rochimah., Suryati, K, R. & Lestari, W. 2009. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa. Penerbit: Trans Media,Jakarta.
Hamid, Achir Yani. 2000. Buku Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa 1. Keperawatan Jiwa Teori dan Tindakan Keperawatan. Jakarta. Depkes RI
Keliata.B.A. dkk. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC Keliat, Budi, et al. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN (basic
course). Jakarta : EGC
Kusumawati, F & Hartono, Y. 2012. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika
Rawlins & Beck, C.K. (1993). Mental Health Psychitric Nursing 3rd Ed. St. Louis : Mosby Year
Riadi, Muchlisin. 2013. Pengertian, jenis dan tahapan halusinasi. Online :
http://www.kajianpustaka.com/2013/08/pengertian-jenis-dan-tahapan-halusinasi.html. diakses pada 30 April 2017
Stuart, G.W &Laraia, M.T. (2005).Principles and Practice of psychiatric nursing. (7th edition). St Louis : Mosby
Stuart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan JIwa. Jakarta. EGC