• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggapan Remaja terhadap Label anak nak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tanggapan Remaja terhadap Label anak nak"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

Makalah Penelitian Matakuliah Kenakalan Anak

“Tanggapan Remaja terhadap Label anak “nakal” terkait dengan Kebudayaan madol, merokok dan Mengkonsumsi Minuman Keras, Sebuah Studi: di Stasiun Depok Baru,

Jalan Baru, Depok”

Oleh:

Nurlaili Oktaviani Faozan (1206216531) Rina Amelia (1206216664)

Departemen Kriminologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

(2)

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

Masa kanak-kanak merupakan masa pencarian jati diri. Pada masa ini, anak-anak banyak belajar mengenai lingkungannya dan individu-individu yang berada disekitarnya melalui agen-agen sosialisasi (keluarga, sekolah, gereja dan peers). Lingkungan yang umumnya terdiri dari teman sepermainan memiliki faktor dominan terhadap perkembangan tingkah laku masing-masing anak.Terutama dengan teman sepermainanyang umumnya berada pada usia yang relatif sama. Anak-anak ini belajar banyak hal, salah satu diantaranya adalah kebudayaan remaja. kebudayaan remajamerupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari anak-anak tersebut.

Mereka cenderung dianggap “nakal” oleh orang dewasa yang berada di dalam kebudayaan dominan, karena mereka berbeda. Mereka memiliki kebudayaan sendiri, mereka memiliki cara berpakaian sendiri dan cara bicara sendiri. Kemudian, anak-anak ini seringkali di “label” sebagai anak-anak yang menyimpang oleh agen sosialisasi dikarenakan mereka memiliki kebudayaan sendiri. Umumnya mereka di berikan “label nakal” sebagai bentuk reaksi terhadap apa yang mereka lakukan dalam kebudayaan mereka. Namun, tidak jarang pula agen sosialisasi menganggap bentuk kebudayaan mereka adalah hal yang biasa dan merupakan salah satu bentuk “kewajaran” bagi orang-orang dewasa tersebut.

Salah satunya adalah yang terjadi pada beberapa anak jalanan yang tinggal di daerah stasiun Depok Baru. Mereka yang umumnya merupakan anak jalanan ini memiliki satu kebudayaan sendiri. Kebudayaan disebut sebagai madol, merokok dan meminum-minuman keras. Mereka diberikan label sebagai anak “nakal” dan menyimpang oleh orang tua mereka sebagai reaksi terhadap kebudayaan yang mereka terapkan dalam teman sepermainan mereka. Dalam tulisan ini, para penulis menjelaskan apa yang disebut sebagai kebudayaan remaja di daerah Stasiun Depok Baru, Jalan Baru, Depok tersebut, serta bagaiamana tanggapan anak-anak ini terhadap “label” yang diberikan orang tua mereka terhadap kebudayaan yang mereka terapkan.

Makalah ini bertujuan untuk melihat tanggapan remaja di sekitar Stasiun Depok Baru terhadap pendefinisian label “nakal” yang diberikan kepada mereka atas kebudayaan yang mereka terapkan.

(3)

Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat dikatakan bahwa kebudayaan remaja yang diterapkan di Stasiun Depok Baru dalam cara berpakaian, cara berbicara dan perilaku ditanggapi sebagai salah satu bentuk “kenakalan”. Kebudayaan yang bagi kelompok dominan (orang dewasa) sebagai penyimpangan, dimana fokus penulis pada permasalahan ini adalah tanggapan remaja di sekitar Stasiun Depok Baru terhadap pendefinisian label “nakal” yang diberikan kepada mereka atas kebudayaan yang mereka terapkan.

I.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka terdapat satu pertanyaan mendasar yaitu:

Bagaimana remaja di sekitar Stasiun Depok Baru, Jalan Baru, Depok dalam menanggapi label “nakal” yang diberikan kepada mereka atas kebudayaan madol, merokok dan meminum-minuman keras yang mereka terapkan dalam kelompok sepermainan mereka ?

I.4 Tujuan Penelitan

Tujuan dari penelitin ini adalah untuk melihat tanggapan remaja di sekitar Stasiun Depok Baru, Jalan Baru, Depok terhadap pendefinisian label “nakal” yang diberikan kepada mereka atas kebudayaan madol, merokok dan meminum-minuman keras yang mereka terapkan dalam kelompok teman sepermainan mereka.

(4)

TINJAUAN PUSTAKA II.1 Definisi Konsep

Terdapat beberapa definisi konsep yang penulis gunakan untuk menunjang penelitian kami dan memperkaya pengetahuan kami dalam penelitian, diantaranya:

II.1.1 Anak

Definisi konsep yang penulis gunakan untuk mendukung penelitian ini adalah 1. Menurut Undang-Undang No.25 tahun 1997 Tentang ketenagakerjaan

Pasal 1 ayat 20

Anak adalah orang laki-laki atau perempuan yang berumur kurang dari 15 tahun 2. Menurut Undang-Undang No. 3 TAHUN 1997 Tentang Pengadilan Anak

Pasal 1 ayat 1

Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

3. Konvensi Hak-Hak Anak

Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.

4. Pasal 45 KUHP

Anak yang belum dewasa apabila seseorang tersebut belum berumur 16 tahun.

Dari sekian banyaknya Undang-Undang yang mendefinisikan anak, yang paling sering digunakan adalah Undang-Undang Republik Indonesia no. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Sehingga kepentingan dan pengupayaan perlindungan terhadap anak sudah dimulai sejak anak tersebut berada di dalam kandungan hingga berusian 18 tahun.

II.1.2 Kenakalan Anak

(5)

Pada dasarnya setiap kenakalan anak dapat diukur menggunakan berbagai skala kenakalan itu sendiri dan divalidasi menggunakan berbagai penelitian sebelumnya. Skala ini disebut sebagai variabel dependen. Sedangkan variabel independennya merupakan agen-agen sosialisasi1

II.1.3 Status offenses

Kejahatan remaja adalah masalah besar, dan pada bahasan ini fokus pada tipikal kejahatan jalanan khas kenakalan. Namun, sebagian besar pelanggaran remaja bukan merupakan kejahatan kekerasan serius. Sebaliknya, proporsi yang jauh lebih besar bagi remaja yang mendapatkan masalah dengan hukum biasanya melakukan apa yang dianggap pelanggaran ringan jika yang melakukan orang dewasa atau bukan kejahatan sama sekali (statusoffenses)2.

Kenakalan sebagai status offences

1. Segala perbuatan dianggap menyimpang bila dilakukan anak tetapi apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan; segala perilaku anak yang dianggap menyimpang tetapi apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak diangggap sebagai tindak pidana.

2. Misalnya : merokok, membolos, membantah, kabur dari rumah, dll  Kategori status offences

1. Community control categories, berkeliaran di tempat hiburan malam

2. Chemical categories, ngelem

3. Educational categories, membolos, menyontek

4. Family categories, lari dari rumah, membantah

Status offences pada dasarnya merupakan bentuk pelanggaran yang dilakukan anak terhadap aturan-aturan atau norma sosial yang biasanya diberlakukan oleh anak.

II.I.4. Anak Jalanan

Menurut Departemen Sosial RI: Anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya. Sedangkan Menurut UNICEF, anak jalanan merupakan anak-anak berumur di

1 Schroeder, Ryan D. (2010). Family Transition and Juvenile Delinquency. Sociological Inquiry.579-604 (hlm: 587)

(6)

bawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat terdekatnya, larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah di jalan raya

Remaja tunawisma dan remaja yang menghabiskan sebagian waktunya di jalanan, di dunia ketiga merupakan gambaran kekerasan dari kemiskinan. Beberapa penelitian dan laporan human rights, anak-anak tersebut fokus pada fakta-fakta kekerasan karena mereka menggambarkan kebrutalan (kebrutalan mulut maupun tangan) yang hidup dijalan dalam tampilan penuh gaya hidup utama dan harapan3.

Remaja yang hidup di jalanan atau menghabiskan sebagian waktu hidupnya di jalan merupakan suatu hal yang dianggap luas "masalah kependudukan" beresiko untuk narkoba dan alkohol. mayoritas penduduk ini berada di bawah, tidak ada pendapatan yang jelas atau menganggur, Hidup mereka ditandai dengan kemiskinan, kelaparan, dan kondisi lain dari perampasan ekstrim karena mereka "nongkrong" di jalan secara teratur dan permanen4.

II.1.5 Youth Culture

Remaja merupakan sosok yang seolah dipisahkan dari orang dewasa, mereka dianggap berbeda dari orang dewasa dan mereka bukan lagi diaggap sebagai anak-anak. Hal ini menyebabkan timbulnya istilah “budaya remaja” adalah frase yang menggambakan hedonistik seks, narkoba dan rock ‘n’ roll. Budaya ini muncul pasca-perang idealisme. Fifth mendefinisikan budaya remaja sebagai “pola tertentu dari keyakinan terhadap nilai-nilai, simbol-simbol dan kegiatan oleh sekelompok remaja yang tidak dibagikan kepada orang-orang lain.” Bourdieu mengungkapkan bahwa “remaja” tidak lebih dari sebuah kata yang lahir dikarenakan adanya perpecahan antara remaja dan orang dewasa secara sewenang-wenang dan diberikannya batas diantara mereka. Sejauh ini konsep yang dibangun terkait remaja terletak pada usia, larangan hukum terhadap hak (ketika ada orang yang diperbolehkan menikah dan dapat minum-minuman keras)5.

3 Berman, Laine. (2007). Surviving on the Streets of Java: Homeless Children's Narratives of Violence. Sage Publications. Hal 149

4 Baron, Stephen. (1999). Street Youths and Substance Use: The Role of Background, Street

Lifestyle, and Economic Factors. Sage Publications. Hlm 3- 4

5 Huq, Rupa. (2006).Beyond Subculture: Pop, Youth and Identity in A Postcolonial World.

(7)

Dalam beberapa wilayah yang spesifik, emudian banyak kaum remaha yang menggunakan istilah “budaya.” Hal ini menimbulkan banyak keberagaman. Kemudian konsep yang paling signifikan yaitu “subkultur”, implikasinya yaitu sebagai bentuk perlawanan dan tidak resmi6.

II.1.6 Youth subculture

Dalam beberapa kultur yang dominan terdapat variasi dari subkultur, berbagi sebagian besar sikap, nilai, dan keyakinan dari budaya keseluruhan, namun juga mereka mematuhi nilai, keyakinan dan norma yang unik bagi mereka7. Subkultur remaja selalu menarik perhatian banyak

akademisi, media massa dan politisi. Mereka diidentifikasikan sebagai 'rakyat setan', 'musuh masyarakat' dan produk dari perubahan sosial. Subkultur dianggap sebagai situs perlawanan terhadap otoritas orang dewasa dan oposisi untuk kata 'umum'. Subkultur sebagai ekspresi otentik subversi muda, khususnya kemampuan menimbulkan ‘moralpanic’ dan ketakutan orang dewasa8. Pada dasarnya rekreasi dan delinkuensi merupakan kombinasi yang menghadirkan

aspek dari perilaku subkultur yang menjadi kriminal9.

Gaya subkultur kaum muda tercermin dalam tindakan kontradiksi antara puritanisme kelas pekerja tradisonal dan hedonisme konsumsi baru. remaja tersebut banyak menghadapi transisi dari sekolah untuk bekerja menemukan diri mereka dalam situasi dimana mereka didorong, melalui media, iklan dan industri konsumen untuk mencari kepuasan sesaat, dimana mereka dibatasi oleh upah yang rendah dan kesempatan yang terbatas. Gaya ini dipandang oleh Cohen sebagai ‘solusi generasi’ untuk menghadapi kontradiksi kelas pekerja secara keseluruhan10.

Pada dasarnya beberapa peneliti secara khusus meneliti bagaimana subkultur menggunakan benda sebagai simbol sesuatu dan memberikan makna terhadapnya. Clarke (1976) misalnya menggunakan konsep antropolg budaya Levi-Strauss (1966) menjelaskan konsep bricolage

untuk menjelaskan bagaimana suatu benda dapat digunakan oleh subkultur untuk mengubah atau mengacaukan makna aslinya. Banyaknya obyek yang dipinjam dari dunia komoditas konsumen dan adanya fokus keprihatinan subkultur. Memungkinkan perampasan gaya ini sebagai bentuk oposisi mereka. Hebdige memberikan analisis, seperti mengapad mods menaiki skuter, mengapa

skinhead mengenakan sepatu bot dan mengapa anak punk menggunakan peniti di hidung mereka.

6Ibid (Rupa: 2)

7Ibid (Bynum)

8 Muncie, John. (2004). Youth and Crime. Sage Publication. Chapter 5 (hlm: 163) 9Ibid(Muncie: 163)

(8)

Bagi Hebdige, gaya subkultur merupakan pelanggaran simbolis terhadap tatanan sosial. Gaya remaja ini tidak acak dan merupakan ‘perang gerilya semiotik.’ Untuk menjelaskan hal tersebut kemudian Hebdige menggunakan istilah homologi dari Levi-Strauss, yaitu penggambaran populer subkultur tanpa hukum, Hebdige menggambarkan bagaiman struktur internal remaja tersebut ditandai dengan keteraturan, bagaimana elemen dan gaya mereka menjadi satu kesatuan yang bermakna11.

Konsep ‘bricolage’ dan ‘homology’ dapat digunakan untuk mengeksplorasi bagaimana subkultur dapat menumbangkan harapan normal dalam kerangka makna yang bersifat koheren. Melalui teknik analisis semiotik Hebdige kemudian melihat gaya sebagai penanda dari sebuah praktek subkultur bukan sebagai serangkaian ekspresi budaya yang berbeda. Sedangkan menurut Clarke kelas merupakan kunci untuk menemukan resistensi subkultur. Hebdige memilih gaya sebagai variabel utama dalam memahami esistensi sebagai satu set fenomena budaya yang mempertanyakan mengenai formasi kelas dan pembentukan hegemoni. Farell (1966;1997) mencontohkan bahwa hiphop, menulisgraffiti pada dasarnya merupakan ‘kejahatan gaya’ untuk itu pihak berwenang berusaha menghentikannya. Cara berpakaian, berbicara, berjalan dan sebagainya merupakan benang penghubung antara praktik budaya dan identtas menyimpang/kriminal yang dianggap sebagai smbol perlawanan, indikator perbedaan dan sebagai target untuk di kriminalisasi pada dasarnya analisis subkultur remaja dan gaya ini pada tahun 1980-an, didirikan sebagai parameter dimana adanya visi budaya radikal yang terkandung didalamnya12.

II.I.7 Madol

Dalam definisi konsep ini, penulis memasukkan madol sebagai suatu konsep yang penting untuk dibahas. Konsep madol sebenarnya sama halnya dengan drugs, hanya obat yang digunakan bukanlah obat yang dikriteriakan sebagai narkotika dan kawan-kawannya melainkan sebagai obat generik pada umumnya.

Jenis obat yang umumnya digunakan adalah tramadol, panadol paramex, dan obat lainnya yang dapat digunakan. Sebagian ada yang mengkonsumsi obat tersebut seperti halnya mengkonsumsi obat-obat pada umumnya, sebagian lagi mencampurnya dengan minuman soda (Big Cola, Coca-cola, dll).

(9)

II.2 Kerangka Teoritis II.2.1 Labeling Theory

Teori labeling menurut buku Theories of Delinquency yang ditulis oleh Donald J. Shoemaker13, memiliki beberapa asumsi dasar, asumsi utamanya adalah teori labeling pada

daarnya merupakan perilaku delinkuensi yang disebabkan oleh berbagai faktor yang luas. Asumsi kedua adalah adanya faktor utama dalam pengulangan delinkuensi yang mengakibatkan fakta bahwa individu tersebut di label sebagai “nakal.” Asumsi ketiga yaitu, individu yang dilabel delinkuen ini kemudian melakukan delinkuensi lagi sesuai dengan label yang diberikan oleh orang-orang terhadap individu tersebut. asumsi keempat adalah aplikasi resmi labeling terhadap delinkuensi sangatlah tergantung pada sejumlah asumsi diatas, selain itu juga sangat dipengaruhi oleh usia pelaku, jenis kelamin, ras dan kelas sosial, serta noma-norma organisasi atau lembaga resmi14.

Dalam journal yang berjudul Sex Offender Registries: Fear Without Function?

Menjelaskan bahwa label yang diberikan akan memberikan disintegrasi pada rasa malu, yang mengakibatkan individu tersebut berperilaku menyimpang dan kembali mengulangi perilaku menyimpang tersebut15.

Menggunakan definisi dari Lemert terkait labeling, pada dasarnya labeling merupakan “respon masyarakat” dimana individu tersebut melakukan sesuatu yang tidak disetujui. Perilaku ini pada dasarnya terkait baik atau buruk. Pemaparan seperti ini hanya berasal dari respon masyarakat terhadap perilaku individu16.

II.2.2 Containment Theory

Basisinya teori ini merupakan pemikiran yang termasuk dalam chicago school. Teori ini pada dasanya menyatakan bahwa setiap individu pasti memiliki kontrol sosial (containment)

yang membantu mereka dalam menolak tekanan yang menarik mereka kearah kriminalitas17.

Jadi pada dasarnya ada atau tidaknya tekanan sosial dalam berinteraksi dengan ada atau

13 Shoemaker, Donald J. 2010. Theories of Delinquency:Sixth Edition.Oxford University Press.

(hlm:260)

14Ibid ( Soemaker: 261-262)

15 Agan Y. Amanda. (2011). Sex Ofender Registries: Fear Without Function. Chicago Journals. Hal 213

16Ibid (Soemaker;262)

(10)

tidaknnya containment pada dasarnya akan menghasilkan atau tidak menghasilkan kriminalitas. Lapisan dari tekanan sosial, terdiri atas18:

 Tekanan eksternal yang kemudian mendorong seseorang kearah kriminalitas. Variabel ini umumnya terdiri atas kondisi hidup yang miskin, kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan, keanggotaan dalam kelompok minoritas dan kurangnya kesempatan yang sah.

 Adanya faktor penarik eksternal yang jauh dari norma-norma sosial dan diberikan dari luar seperti, subkebudayaan menyimpang dan pengaruh media.

 Adanya tekanan internal yang mendorong individu kearah kriminalitas, termasuk pada kepribadian kontingensi, seperti ketegangan batin, perasaan rendah diri atau selalu merasa tidak mampu, konflik mental atau cacat dan sejenisnya.

Containment theory, terbagi atas19:

Inner-containment mengacu pada internalisasi nilai-nilai, perilaku konvensional dan perkembangan karakteristik kepribadian yang memungkinkan seseorang untuk menolak tekanan. Self concept yang kuat, identitas dan adanya frustasi yang kuat merupakan contoh dari lemahnya inner containment.

Outer-containment lebih diwakili oleh keluarga dan agen-agen sosialisasi yang lainnya dengan dukungan terhadap sistem yang efektif dan membantu serta memperkuat konvensionalitas serta isolasi individu dari serangan atau tekanan dari luar.

II.2.3 Adolescences Frustation

Asumsi yang digunakan dalam menjelaskan teori radikal20:

1. Kenakalan, sebagian besar perilaku adalah produk dari perjuangan di antara kelas-kelas dalam masyarakat, terutama antara mereka yang memiliki alat-alat produksi (borjuis) dan mereka yang tidak (proletariat).

2. Sistem ekonomi kapitalisme paling utama bertanggung jawab untuk perbedaan kelas dalam masyarakat.

3. Kaum borjuis, baik secara langsung atau melalui agen, seperti Negara, mengontrol kaum proletar, ekonomi, kelembagaan dengan secara hukum

18Ibid

19 Ibid

(11)

4. Kejahatan dan kenakalan yang dilakukan oleh kelas bawah dan pekerja sebagai bentuk akomodasi terhadap pembatasan yang ditempatkan pada mereka oleh kaum borjuis. David Greenberg mencoba untuk menghubungkan ide-ide neo-Marxis dengan kenakalan. Greenberg (1977) berpendapat bahwa remaja secara ekonomi dirugikan oleh sistem ekonomi kapitalis. Namun, untuk remaja, uang dan kekuasaan ekonomi suatu hal yang didambakan dan penting bagi kehidupan sosial mereka. Rasa hormat dan persahabatan kadang-kadang bisa "dibeli" sehingga kekurangan uang menghalangi sumber-sumber kepuasan bagi banyak remaja. Keberhasilan di sekolah terbatas untuk beberapa remaja, terutama mereka dari latar belakang kelas bawah dan pekerja, dan ini menjadi insentif lain untuk beralih ke kejahatan. Skenario ini tampaknya untuk meregangkan hubungan antara kapitalisme dan motivasi untuk perilaku di kalangan kaum muda21. Penjelasan Greenberg ini sering disebut dengan adolescence’s frustration.

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1 Pendekatan Penelitian

Metode penelitian menurut Sarantakos (1993) Sebagaimana dikutip Poerwandari adalah metodologi secara literal berarti ilmu tentang metode-metode, berisi standar dan prinsip yang digunakan sebagai pedoman penelitian, dan metode tersebut dalam menjelaskan sesuatu tentang cara yang dipergunakan peniliti untuk mengumpulkan bukti-bukti empiris.22 Artinya sebuah

21 Shoemaker, Donald, J. (2009). Juvenile Delinquency. UK:Rowman & Littlefeld Publishers,

Inc.hal: 299

22 Poerwandar, E. Kristi. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia.

(12)

penelitian akademik memerlukan cara tertantu yang mampu menggali data dan informasi yang objektif.

Pendekatan penelitian yang digunakan merupakan pendekatan kualitatif, dikarenakan kami melihat adanya suatu gejala atau peristiwa merupakan suatu gejala sosial, peristiwa atau fakta sosial dalam kehidupan masyarakat. Tujuannya adalah untuk memahami fakta, realita, serta pendekatan yang menggunakan proses interaktif, dimana peneliti mempelajari hal-hal yang ingin diteliti dari subjek penelitiannya.25

III.2.Teknik Pengumpulan Data

Untuk pencarian data pada penelitian ini kami menggunakan tehnik wawancara. Wawancara sendiri merupakan teknik yang biasa digunakan dalam penelitian kualitatif. Dalam wawancara yang digunakan, peneliti menggunakan jenis wawancara tidak berstruktur, tidak berstandar, informal, atau berfokus. Dalam wawancara peneliti mengajukan pertanyaan umum dalam area yang luas pada penelitian. Jenis wawancara ini bersifat fleksibel dan memungkinkan peneliti mengikuti minat dan pemikiran partisipan. Peneliti juga bebas menanyakan berbagai pertanyaan kepada partisipan dalam urutan manapun bergantung pada jawaban, tetapi peneliti mempunyai agenda sendiri yaitu tujuan penelitian yang yang dimiliki dalam pemikiran dan isu tertentu yang akan digali. Umumnya, ada perbedaan hasil wawancara pada tiap partisipan. Partisipan bebas menjawab, baik isi, maupun panjang pendeknya paparan, sehingga dapat diperoleh informasi yang sangat dalam dan rinci.

23 Raco, JR. (2001). Metode Penelitian kualitatif, Jenis Karakteristik dan Keunggulannya.

Jakarta: Grasindo. Hal: 81

24 Strauss, Anslem & Juliet Corbin. (2007). Dasar-dasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Teknik-teknik Teorisasi Data. Diterjemahkan oleh M. Shodiq & Imam Muttaqien. Yogyakarta: pustaka Pelajar. Hal 5

25http://www2.warwick.ac.uk/fac/soc/sociology/staf/academicstaf/chughes/hughesc_index/

(13)

Wawancara jenis ini menghasilkan data yang paling kaya, tetapi juga memiliki dross rate

paling tinggi, terutama apabila pewawancaranya tidak berpengalaman. Dross rate adalah jumlah materi yang atau informasi yang tidak berguna dalam penelitian.

III.3 Alasan Pemilihan Subjek Penelitian

Peneliti memilih subjek penelitian di daerah Stasiun Depok Baru, Depok dikarenakan: 1. Lingkungan serta kehidupan remaja disana sangat sesuai dengan tema penelitian

peneliti yaitu: Youth Culture.

2. Selain itu, peneliti juga memiliki akses (guide keeper) untuk masuk ke dalam daerah penelitian tersebut.

3. Serta peneliti merasa topik ini adalah sebuah topik yang jarang di bahas dalam penelitian, sehingga peneliti berusaha mengungkap kebudayaan remaja disana dan mengetahui bagaimana labeling theory dan containment theory diterapkan dan dirasakan oleh remaja di daerah tersebut.

III.4 Lokasi Penelitian

Penelitian ini kami lakukan di wilayah sekitar Stasiun Depok Baru, Jalan Baru, Depok Baru terhadap remaja perempuan dan laki-laki.

III.6 Hambatan Penelitian

Pada dasarnya pada setiap penelitian akan selalu ada hambatan. Salah satu hambatan yang dialami oleh penulis terkait dengan mobilisasi yang sulit serta subjek penelitian yang seringkali kehilangan fokus karena sedang berkomunikasi dengan orang lain.

BAB IV

TEMUAN DATA LAPANGAN

(14)

menuju Jalan Baru. Selama di perjalanan kami mencoba bertanya-tanya singkat terkait subjek penelitian yang kemudian ditanggapi dengan terbuka oleh subjek tersebut.

Sesampainya di Jalan Baru, peneliti memulai proses wawancara kepada subjek penelitian yang berjumlah 2 orang remaja perempuan. Proses wawancara berlangsung dengan cukup baik meski sedikit terganggu oleh salah satu subjek penelitian yang sedang berkomunikasi dengan orang lain. Pertanyaan dijawab dengan cukup terbuka oleh subjek penelitian, dalam wawancara peneliti mengajukan pertanyaan umum dalam area yang luas pada penelitian. Peneliti juga bebas menanyakan berbagai pertanyaan kepada partisipan dalam urutan manapun bergantung pada jawaban, tetapi peneliti mempunyai agenda sendiri yaitu tujuan penelitian. Subjek penelitian bebas menjawab, baik isi, maupun panjang pendeknya paparan, sehingga dapat diperoleh informasi yang sangat dalam dan rinci. Selesai wawancara di Jalan Baru, peneliti pamitan untuk pulang dan sepakat untuk bertemu kembali pada hari berikutnya ketika subjek penelitian pulang sekolah.

Pada hari berikutnya tanggal 4 Desember 2013, peneliti bertemu kembali dengan partisiapan di sekolahnya pada pukul 13.00 WIB. Dari sekolah subjek peneliti kemudian kembali ke Jalan Baru. Di sana, peneliti dikenalkan dengan beberapa teman-teman subjek penelitian yang lainnya. Dari situ peneliti kemudian menemukan subjek penelitian lainnya. Disana peneliti melakukan wawancara dengan salah satu anak laki-laki. Ketika peneliti akan melakukan penelitian dengan subjek lainnya, cuaca sedang tidak memungkinkan. Hujan turun cukup deras sehingga penelitian di hari kedua ini hanya memperoleh satu subjek penelitian saja.

III.1 Identitas Subjek Penelitian Identitas Subjek Ke-1

Nama : Mika (Nama disamarkan)

Usia : 11 Tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Identitas Subjek Ke-2

Nama : Mira (Nama disamarkan)

(15)

Jenis kelamin : Perempuan

Identitas Subjek Ke-3

Nama : Romi (Nama disamarkan)

Usia : 12 Tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Nama subjek sengaja kami samarkan demi menjaga nama baik mereka.

III.2 Review Singkat Hasil Wawancara

Dalam wawancara tahap pertama yang dilakukan pada Selasa, tanggal 3-Desember-2013, peneliti melakukan wawancara terhadap Mika dan Mira yang peneliti kenal melalui Mila (guide keeper) dalam penelitian kami. Mereka bertiga adalah orang yang tergabung dalam sebuh geng bernama KANSAS. Penulis melakukan wawancara pada pukul 18:50 WIB. Setelah sebelumnya berkeliling di daerah Jalan Baru, Depok. Awalnya pertanyaan-pertanyaan penelitian dijawab dengan singkat oleh subjek penelitian. Mereka meski terbuka menjawab pertanyaan dengan malu-malu.

Mira dan Mika mengaku pada dasarnya mereka tidak mengerti mengapa mereka tergabing di dalam geng Kansas tersebut, namun saat ditanya akronim dari KANSAS mereka menjawab bahwa KANSAS merupakan kepanjangan dari Anak Nakal Suatu Hari akan Sadar. Saat ditanya mengapa mereka memberikan nama itu, mereka menjawab bahwa mereka diberikan label nakal oleh masyarakat.

(16)

Proses wawancara yang juga dilakukan kepada Mika, kemudian menghasilkan temuan-temuan yang baru terkait apa itu madol dan obat-obat apa saja yang biasanya digunakan untuk

madol. Dimana Mika mengungkapkan bahwa biasanya mereka cenderung menggunakan obat tremadol, panadol dan beberapa obat lainnya. Cara menggunakan obat tersebut adalah dengan mencampur obat-obat tersebut dengan air mineral. Tujuan penggunaan obat tersebut menurut Mika adalah bermacam-macam salah satunya menurut Robi yaitu pacar dari Mika. Dia mengungkapkan bahwa tujuan penggunaan obat tersebut adalah agar tidak malu saat sedang

ngamen. Fakta yang selanjutnya yang di dapatkan dari Mika adalah bahwa Robi menggunakan

madol tersebut secara legal. Dia diperbolehkan oleh orang tuanya untuk mengkonsumsi obat-obatan tersebut dikarenakan Robi bekerja sebagai pengamen, sehingga mereka bebas melakukan apapun, asalkan menghasilkan uang, karena peran Robi dirumah adalah sebagai tulang punggung keluarga. Mika juga mengungkapkan bahwa madol pada dasarnya sudah diterapkan oleh banyak remaja laki-laki disana. Bahkan Mika juga mengetahui bagaimana bentuk obat yang biasa digunakan untuk madol itu melalui saudara-saudara dari Robi. Namun dia mengaku tidak pernah diminta untuk mencoba obat tersebut. Kemudian saat peneliti menanyakan apakah Mika sudah pernah madol atau merokok, dia menjawab belum pernah, dikarenakan takut kepada ibunya.

Di dalam wawancara tersebut juga ditemukan fakta bahwa pada dasarnya anak-anak yang ada di lingkungan ini merupakan anak-anak yang di label “nakal” oleh masyarakat. Namun secara khusus Mika mengungkapkan bahwa yang seringkali memberikan label “nakal” kepada mereka adalah orang tua mereka. Selain dengan mencontohkan kepada dirinya sendiri yang seringkali diberikan label “nakal” dikarenakan pulang telat saat bermain. Mika juga mencontohkan kepada teman lainnya yang bernama Rani yang diberikan label “nakal” karena saat orang tuanya sedang marah, Rani seringkali menghidupkan lagu dengan volume yang cukup besar, sehinga kemudian orang tuanya memberikan label “nakal” kepada mereka.

Dari wawancara itu juga diketahui bahwa Mika adalah anak yang broken home, dia seringkali menerima perlakuan buruk dari ayah tirinya. Dia seringkali dipukuli saat pulang telat dari bermain dengan teman-temannya. Selain Mika yang merupakan anak yang broken home

(17)

Pada penelitian tahap dua yang dibantu juga oleh Mila (guide keeper) peneliti memperoleh subjek penelitian bernama Romi. Romi merupakan remaja laki-laki berusia 12 tahun yang bersekolah di Sekolah Master. Selain bersekolah Romi juga bekerja sebagai penggamenDia mengungkapkan bahwa dia merokok, madol dan juga minum-minuman keras. Saat ditanya dia merokok saat bersama-sama dengan temannya. Saat ditanya apakah dia pernah madol, dengan santai Romi menjawab bahwa dia pernah madol. Pada saat wawancara berlangsung juga Romi bersama dengan teman-temannya menggunakan beberapa istilah-istilah yang tidak diketahui oleh orang lain.

Penggunaan madol menurut mereka selain agar tidak malu saat mengamen penggunaannya juga sebelum mereka tawuran dengan musuh agar mereka cepat marah. Namun efek samping dari penggunaan madol ini menurut Romi adalah saat mereka sedang mengamen dan ada orang-orang yang menghinan mereka, mereka akan cepat sekali marah. Romi juga mengunmgkapkan mengenai minuman yang sering mereka konsumsi dan minuman yang seringkali mereka konsumsi adalah ciu. Dengan harga Rp. 8.000/liter.

BAB V ANALISIS DATA

V.1 Pengaruh Label “Nakal” terhadap Kebudayaan Madol, Merokok dan Minum-Minuman Keras bagi Remaja di Sekitar Jalan Baru, Depok

(18)

pasal 1 ayat 20 Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Konvensi Hak-Hak Anak dan Pasal 45 KUHP. Serta demikian pula, Undang-Undang Republik Indonesia no. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Sehingga kepentingan dan pengupayaan perlindungan terhadap anak sudah dimulai sejak anak tersebut berada di dalam kandungan hingga berusian 18 tahun. Mereka pada dasarnya merupakan kelompok yang rentan dan harus dilindungi. Dilindungi dan diberikan kesejahteraan oleh orang tua mereka. Namun apa yang kemudian terjadi jika hal yang sebaliknya terjadi? Atau bagaimana jika orang tua yang seharusnya memberikan kesejahteraan dan rasa aman justru seringkali memberikan label terhadap anak-anak ini sebagai “anak nakal”?

Berdasarkan temuan data lapangan yang peneliti peroleh melalui proses wawancara yang dilakukan kepada tiga subjek penelitian tersebut, ditemukan bahwa pada pada dasarnya, mereka merupakan anak yang diberikan label “nakal” oleh orang tuanya. Seperti dalam beberapa pernyataan yang diungkapkan oleh Mika, bahwa kerapkali orang tuanya memberikan label bahwa dia merupakan anak “nakal”, kemudian, Mika yang juga mencontohkan bahwa Rani juga kerapkali diberikan label “nakal” oleh orang tuanya. Kemudian Laras yang orang tuanya telah meninggal dan ayahnya yang seringkali memberikan perlakuan kasar kepadanya. Bahkan saat wawancara telah usai peneliti sempat memperoleh pernyataan dari Mirna bahwa ayahnya pernah mengatakan bahwa “Lebih baik saya dipenjara, ketimbang saya punya anak yang membuat malu seperti kamu, dasar anak “nakal”.” Kemudian banyak sekali ungkapan-ungkapan yang mereka terima terkait dengan bermacam-macam kenakalan yang mereka lakukan.

Umumnya label “nakal” ini diberikan kepada anak-anak ini dikarenakan kebudayaan yang mereka terapkan. Mereka yang umumnya madol, merokok dan mengkonsumsi minum-minuman keras dan apa yang mereka lakukan ini dianggap sebagai kenakalan. Pendefinisian ini pada dasarnya lahir dari bentuk kebudayaan mereka yang dianggap berbeda oleh masyarakat. Kemudian bagaimana mereka menanggapi label “nakal” yang diberikan kepada mereka?

(19)

Berdasarkan temuan data lapangan pada dasarnya saat peneliti bertanya kepada Mika dan Mirna, mereka menjawab bahwa mereka menanggapi label yang diberikan kepada mereka dengan kemudian tergabung dalam sebuah geng bernama KANSAS (Kami Anak Nakal Suatu Hari akan Sadar). Selain itu saat peneliti bertanya terkait bagaimana jika orang tua mereka sedang marah, jawaban pada umumnya menuju kepada mereka akan mengabaikan kemarahan orang tuanya dan tetap melanjutkan kenakalan mereka sebagai bentuk perlawanan mereka. Mereka pada dasarnya tidak mempedulikan apa yang orang tua mereka labelkan kepada mereka.

Pada label itu sendiri ditanggapi oleh remaja ini adalah bentuk pengakuan terhadap jati diri mereka sebagai seorang remaja yang memiliki kebudayaan sendiri. Mika terutama mengungkapkan bahwa jika orang tuanya sedang marah karena dia pulang telat saat dia bermain, maka dia akan kembali melanjutkan bermainnya dengan teman-temannya. Meskipun, kemudian jika nantinya dia pulang kerumahnya dia tetap akan dimarahi oleh orang tuanya. Dengan demikian, orang tuanya kemudian akan melabelnya sebagai anak “nakal”

Padahal jika berdasarkan tulisan yang terdapat dalam kerangka konsep kami, definisi dari kenakalan anak merupakan tindakan yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap sebagai kejahatan atau perilaku menyimpang26. Sedangkan pendefinisian kenakalan yang dilakukan oleh

orang tua anak-anak ini adalah perilaku apapun yang kemudian dianggap tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh orang tua kemudian disebutkan sebagai kenakalan. Padahal jika kita menggunakan definisi yang sebenarnya, umumnya apa yang dilakukan anak-anak ini adalah

status offences, padahal jika menggunakan kategori dari status offences, apa yang dilakukan anak-anak ini termasuk kedalam kategori chemical categories dalam statusoffences yaitu dengan

madol, merokok dan meminum-minuman keras.

Mereka dianggap “nakal”, selain karena label yang diberikan kepada mereka, juga dikarenakan mereka menerapkan suatu kebudayaan mereka sendiri, seperti madol, merokok dan mengkonsumsi minum-minuman keras. Sebagaimana yang terdapat dalam kerangka konsep yang disebutkan, menurut Fifth mendefinisikan budaya remaja sebagai “pola tertentu dari keyakinan terhadap nilai-nilai, simbol-simbol dan kegiatan oleh sekelompok remaja yang tidak dibagikan

(20)

kepada orang lain27. Seperti yang terdapat dalam hasil penelitian yang peneliti dapatkan adalah

pada kelompok remaja di Jalan Baru, Depok Baru, Depok tersebut umumnya menggunakan suatu bahasa-bahasa tertentu, seperti madol, atok dan beberapa kata lain yang diungkapkan saat wawancara berlangsung dan sulit dipahami oleh peneliti, sehingga peneliti harus mengkonfirmasi kembali pernyataan tersebut untuk mengerti apa yang sebenarnya makna dari kata-kata tersebut. Selain itu, hal lain yang juga membuktikan bahwa apa yang mereka lakukan pada dasarnya merupakan kebudayaan adalah dengan adanya kebudayaan madol itu sendiri, merokok dan menngkonsumsi minum-minuman keras yang biasanya mereka lakukan secara bersama-sama. Mereka yang umumnya masih berusia antara 11-14 tahun ini dianggap memiliki kebudayaan yang berbeda dari masyarakat pada umumnya.

Masyarakat yang umumnya kemudian memberikan label “nakal” kepada mereka adalah karena masyarakat yang umumnya menganggap bahwa mereka berada pada suatu kebudayaan yang dianggap berbeda dari masyarakat pada umumnya. Mereka seringkali disebut sebagai youth subculture. Konsep ini mendefinikasn bahwa anak-anak ini berada pada suatu kebudayaan dominan yang kemudian membentuk kebudayaan sendiri dengan membagikan nilai-nilai, keyakinan dan norma yang unik bagi mereka. Mereka cenderung diidentifikasikan sebagai “rakyat setan,” “musuh rakyat,” dan merupakan produk perubahan sosial28. Subkultur

kebudayaan remaja ini pada dasarnya merupakan ekspresi otentik subversi muda, khususnya kemampuan dalam menimbulkan “moral panic” dan ketakutan orang dewasa29.

Menggunakan adolescence’s frustration yang diungkapkan oleh David Greenberg peneliti melihat mengapa remaja ini kemudian menerapkan kebudayaan remaja seperti madol, merokok, dan mengkonsumsi minum-minuman keras, salah satunya dikarenakan remaja ini dirugikan secara ekonomi, mereka mengalami kekeurangan sumber-sumber kepuasan bagi remaja tersebut30. Dapat kami analisis bahwa kebudayaan remaja di Daerah Jalan Baru, Depok Baru,

Depok ini terjadi dikarenakan mereka merasa frustasi terhadap kehidupan mereka, dikarenakan mereka tidak memiliki akses ekonomi untuk memenuhi kepuasan mereka. Mereka tidak

27 Huq, Rupa. (2006).Beyond Subculture: Pop, Youth and Identity in A Postcolonial World.

Routledge.

28 Bynum, Jack E., & William E. Thomson (2007). Juvenile Delinquency : A Sociological Approach Sevent Edition -Pearson Education Inc, USA. Chapter 12

(21)

memiliki kepuasan untuk menyalurkan keinginan mereka. Mereka yang masih berusia remaja ini juga umumnya sudah bekerja dan hal tersebut menjadikan mereka tidak memiliki waktu yang cukup banyak untuk bermain. Frustasi yang mereka alami ini kemudian mereka salurkan kedalam kebudayaan mereka dengan mengkonsumsi madol, merokok dan mengkonsumsi minum-minuman keras. Madol sendiri yang hampir serupa dengan pengkonsumsian obat-obatan terlarang, namun dengan menggunakan obat-obatan generik dan dicampur dengan minuman big cola lebih memperlihatkan bentuk kekurangan akses ekonomi mereka untuk mengkonsumsi narkoba sehingga kemudian mereka menggantinya dengan madol.

V.2. Pengaruh Containment Theory terhadap Pelanggaran Status Offences

Dari penelitian yang dilakukan terhdapa Mika, peneliti melihat adanya pengaplikasian dari

containment theory. Dimana dalam fakta di lapangan diperoleh fakta bahwa pada dasarnya Mika tidak melakukan pelanggaran status offences seperti yang dilakukan oleh teman-teman sepermainan lainnya adalah dikarenakan oleh ibunya. Ibunya yang melarangnya melakukan ini dan itu, membuatnya memiliki benteng yang cukup kuat untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap status offences-nya. Pada dasasnya containment theory yang diungkapkan Walter C. Reckless ini sendiri tergoong dalam kelompok pemikiran Chicago. Teori ini sendiri tergolong dalam teori control sosial. Containment theory ini terbagi atas31:

Inner-containment, hal ini mengacu pada internalisasi nilai-nilai, perilaku konvensional dan perkembangan karakteristik kepribadian yang memungkinkan seseorang untuk menolak tekanan. Umumnya Inner-containment lebih efektif diterapkan di daerah perkotaan, dikarenakan integrasi masyarakat perkotaan yang lemah.

Outer-containment lebih diwakili oleh keluarga dan agen-agen sosialisasi lainnya dengan dukungan terhadap sistem yang efektif dan membantu serta memperkuat konvensionalitas serta isolasi individu dari serangan atau tekanan dari luar. Outer-containment ini lebih mudah diterapkan pada masyarakat pedesaan karena masyarakatnya masih memiliki kekerabatan yang kuat.

(22)

Mika berdasarkan data yang kami peroleh adalah seorang anak yang memiliki outer-containment yang kuat. Mengapa peneliti menggolongkannya kedalam outer-containment? Hal ini dikarenakan kelompok yang termasuk dalam outer-containment adalah agen-agen sosialisasi yaitu keluarga, sekolah, tempat peribadatan dan teman sepermainan. Dalam data yang kami peroleh dari Mika peran outer-containment yang cukup kuat dipegang oleh Mika adalah peran dari keluarga. Peran outer-containment dalam kehidupan Mika adalah berasal dari ibunya. Ibunya yang memberikan peraturan ketat baginya. Memberikan ekspektasi dan kewajiban-kewajiban tertentu untuknya, menjadikannya terikat dan dengan demikian menjadikan peran

outer-containment semakin kuat. Meskipun pada dasarnya dia berada di lingkungan teman sepermainan lainnya yang melakukan pelanggaran terhadap status offences-nya. Namun dikarenakan adanya outer-containment yang kuat, maka dia tidak terdorong untuk melakukan pelanggaran yang sama.

BAB VI PENUTUP

VI. 1 KESIMPULAN

Dalam analisis yang peneliti gunakan, yaitu dengan menggunakan asumsi dasar teori labeling, teori adolescence’s frustation serta dengan menggunakan containment theory, pada dasarnya sesuai dengan temuan lapangan yang diperoleh oleh peneliti. Pada penelitian ini, peneliti berusaha mencari tahu tanggapan remaja di sekitar Stasiun Depok Baru, Jalan Baru, Depok terhadap pendefinisian label “nakal” yang diberikan kepada mereka atas kebudayaan

madol, merokok dan meminum-minuman keras yang mereka terapkan dalam kelompok teman sepermainan mereka.

(23)

Dengan demikian dapat kami simpulkan bahwa pengaruh label “nakal” oleh orang tua pada dasarnya menjadikan remaja ini melampiaskannya kedalam kebudayaan remaja mereka, seperti, madol, merokok dan mengkonsumsi minum-minuman keras. Kebudayaan ini kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan mereka berbeda dari masyarakat yang memiliki kebudayaan dominan.

VI. 2 SARAN

Beberapa saran yang dapat direkomendasikan terhadap permasalahan ini, yaitu: 1). Harus adanya pendefinisian yang lebih sempit terhadap kenakalan itu sendiri.

2). Melakukan sosialisasi bahwa kebudayaan yang telah mereka lakukan seperti madol, merokok dan mengkonsumsi minuman keras sebenarnya merupakan tindakan yang akan membahayakan kesehatan mereka sendiri.

3). Harus adanya ruang publik yang menfasilitasi mereka sebagai remaja, seperti ruang yang menampung minat dan bakat mereka, sehingga mereka tidak menerapkan kebudayaan yang diterapkan sebelumnya.

(24)

Daftar Pustaka Buku:

Bynum, Jack E., & William E. Thomson (2007). Juvenile Delinquency : A Sociological Approach Sevent Edition ----Pearson Education Inc, USA. Chapter 12

Hagan, E. Frank. (2011). Introduction to Criminology: Theories, Method and Criminal Behavior 7th Edition.Sage Publication.

Huq, Rupa. (2006).Beyond Subculture: Pop, Youth and Identity in A Postcolonial World.

Routledge.

Muncie, John. (2004). Youth and Crime. Sage Publication. Chapter 5

Raco, JR. (2001). Metode Penelitian kualitatif, Jenis Karakteristik dan Keunggulannya. Jakarta: Grasindo.

(25)

Shoemaker, Donald, J. (2009). Juvenile Delinquency. UK: Rowman & Littlefield Publishers, Inc.hal: 299

Poerwandari, E. Kristi. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: LPSP3 Fakultas Psikologi UI. Hal 17

Raco, JR. (2001). Metode Penelitian kualitatif, Jenis Karakteristik dan Keunggulannya. Jakarta: Grasindo. Hal: 81

Strauss, Anslem & Juliet Corbin. (2007). Dasar-dasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Teknik-teknik Teorisasi Data. Diterjemahkan oleh M. Shodiq & Imam Muttaqien. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 5

Journal:

Agan Y. Amanda. (2011). Sex Offender Registries: Fear Without Function. Chicago Journals. Hal 213

Baron, Stephen. (1999). Street Youths and Substance Use: The Role of Background, Street Lifestyle, and Economic Factors. Sage Publications. Hlm 3- 4

Berman, Laine. (2007). Surviving on the Streets of Java: Homeless Children's Narratives of Violence. Sage Publications. Hal 149

Schroeder, Ryan D. (2010). Family Transition and Juvenile Delinquency. Sociological Inquiry.579-604

Web:

(26)

LAMPIRAN

Catatan Perjalanan

Pencarian data pertama kali kami lakukan pada Selasa, tanggal 3 Desember 2013. Kami turun lapangan setelah kelas Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Kriminologi sekitar pukul 17.00 WIB. Kami menggunakan transportasi kereta dari Stasiun UI menuju Stasiun Depok Baru. Bersama dengan teman yang melakukan penelitian untuk matakuliah yang sama. Kami diperkenalkan dengan Mila, seorang remaja perempuan yang menjadi guide keeper dalam penelitian kami. Dari dialah kami mengenal Mira dan Mika pada hari pertama penelitian.

(27)

Hari akan Sadar. Saat ditanya mengapa mereka memberikan nama itu, mereka menjawab bahwa mereka diberikan label nakal oleh masyarakat.

Mika sendiri merupakan seorang remaja perempuan berusia 11 tahun yang sedang duduk di kelas VII Sekolah Menengah Pertama. Mira merupakan remaja permpuan yang berusia 13 tahun yang sedang duduk di kelas 6 Sekolah Dasar. Pertanyaan yang kami ajukan pada Mira umumnya dijawab dengan sangat singkat dan Mira sangat mudah tersdistraksi oleh pesan singkat dan aktivitas komunikasi yang dilakukannya dengan Mila. Saat peneliti mencoba bertanya mengenai fenomena madol, Mira cukup aktif dan menyarankan untuk menanyakan secara langsung kepada salah seorang temannya bernama Laras.

Dari wawancara yang juga dilakukan kepada Mika, menurut Mika mengungkapkan bahwa biasanya mereka cenderung menggunakan obat tremadol, panadol dan beberapa obat lainnya. Cara mengkonsumsinya sama seperti mengkosumsi obat biasa, tetapi tidak dipungkiri juga bisa dikonsumsi dengan minuman soda.Mika kami menemukan bahwa ternyata konsumsi madol

tidak hanya sebatas penghilang stress, atau untuk gaya-gaya-an, tetapi juga agar tidak malu saat sedang ngamen

Fakta yang selanjutnya yang kami peroleh dari Mika adalah bahwa Robi mengkonsumsi

madol diperbolehkan oleh orang tuanya dikarenakan Robi bekerja sebagai pengamen, sehingga mereka bebas melakukan apapun, asalkan menghasilkan uang, karena peran Robi dirumah adalah sebagai tulang punggung keluarga. Mika juga mengungkapkan bahwa madol pada dasarnya sudah diterapkan oleh banyak remaja laki-laki disana. Bahkan Mika juga mengetahui bagaimana bentuk obat yang biasa digunakan untuk madol itu melalui saudara-saudara dari Robi. Namun dia mengaku tidak pernah diminta untuk mencoba obat tersebut. Kemudian saat peneliti menanyakan apakah Mika sudah pernah madol atau merokok, dia menjawab belum pernah, dikarenakan takut kepada ibunya. Sekitar pukul 20.00 WIB, kami menyelesaikan wawancara yang kami lakukan. Namun, sebelum pulang kami sepakat untuk bertemu kembali dengan Mila esok hari di Mesji Terminal.

Hari kedua, Rabu, tanggal 4 Desember 2013, kami berangkat dari kampus menuju master pada pukul 12.00 WIB. Ternyata sesampainya di sana, Mila sudah pulang dan sayangnya, dia tidak dapat dihubungi. Dalam perjalanan pulang Mila menghubungi kami, hingga akhirnya kami harus kembali lagi ke Master. Pada penelitian tahap dua yang dibantu juga oleh Mila

(28)

laki-laki berusia 12 tahun yang bersekolah di Sekolah Master. Selain bersekolah Romi juga bekerja sebagai penggamen sama seperti Mila. Dia mengungkapkan bahwa dia merokok, madol

dan juga minum-minuman keras. Pada saat wawancara berlangsung juga Romi bersama dengan teman-temannya menggunakan beberapa istilah-istilah yang tidak diketahui oleh orang lain.

Penggunaan madol menurut mereka selain agar tidak malu saat mengamen penggunaannya juga sebelum mereka tawuran dengan musuh agar mereka cepat marah dan membuat ia tidak merasa sakit ketika mendapat serangan. Namun efek samping dari penggunaan madol ini menurut Romi adalah saat mereka sedang mengamen dan ada orang-orang yang menghinan mereka, mereka akan cepat sekali marah. Romi juga mengunmgkapkan mengenai minuman yang sering mereka konsumsi dan minuman yang seringkali mereka konsumsi adalah ciu. Dengan harga Rp. 8.000/liter.

Transkrip Wawancara terhadap Subjek Mika dan Mira

L: namanya siapa aja tadi? Mika yang mana tadi, kalo Mira mana? Mika, Mira, Mika, Mira, maaf ya aku suka lupa.

L: Tadi sekolahmya dimana aja?

Mika: di Arrahman

L: Arrahman itu di?

Mika: di Citayem

L: Aku gak tau itu dimana?

Amel: Citayem, itu dua stasiun setelah ini.

L: Kalo kamu di? Master?

Mira: Bukan. Beda disono. Di Jalan Baru

Amel: Dimana?

Laili: Jalan baru.

(29)

Mira: (tertawa) iya tapi bukan disini disono

L: kalian satu geng ya?

Mika: iya, bisa jadi

Mira: Ama ini kan Mila kan?

L: Lah kok bisa jadi? (tertawa)

A: itu kenapa bisa bikin geng gituan? (tersenyum)

Mika: Gatau Mila,

A: temen-temen ngumpul itu.

L: Kepanjangannya apa itu?

Mika: Kami Anak Nakal Suatu Hari Akan Sadar.

L dan A: (tertawa) wah bisa jadi, bisa jadi. Keren banget!

A: emang yang bilang kalian nakal siapa?

L: emm jahat banget orang-orang

Mika: (tersenyum) ya gatau kata orang-orang (tertawa). Iya, kadang mamah suka aku bilang anak nakal karena kalo dibilangin gak boleh main masih aja aku main.

L: iya sama tau enakkan kalo main, aku dulu pas SD juga ga boleh main, dikurung aja dipager, mana aku ga punya adik, jadi ngapain gitu kan ya dirumah.

Mika: (emm) iya.

A: Sok Asik

L: Iya, gue emang sok asik.

(30)

Mika: Ada nama lainnya, apaan yak? (tersenyum), malu, (tersenyum)

L: kenapa malu?

Mika: ada gitu gabocei

L: apatu?

Mika: (tersenyum) Gabungan Bocah Cantik dan Imut.

L: waaah bisa jadi. Mendingan itu kan daripada kansas namanya.

Mika: gatau kan Mila yang nyebutin.

L: Apa ya? Kalian tiap malem nongkrong disini?

Mira: ya, kadang-kadang sih

Mika: kadang-kadang sih, pindah-pindah deh. yah semaunya Mila aja.

Amel: ohh Jadi Mila ketua gengnya?

Mika: ya engga juga, semaunya ni bocah-bocah ini, kalo dia maunya kesana ya kita-kita ikutin kesana juga. Kadang-kadang mau kesono yaudah kita pada kesono semua.

L: oh, jadi kalian selalu bareng-bareng ya?

Mika: iya.

L: keren banget. Enak ya, kalian kelas berapa sih?

Mika: aku kelas 2 SMP

A: Mira kelas berapa?

Mira: kelas 6 SD

L: kalian umurnya berapa aja?

(31)

L: kamu?

Mira: 13 kurang sih

A: Kalian sehari-hari ngapain aja?

Mika: kalo aku beresin rumah kalo pagi, nyapu, ngepel, nyuci, ngegosok. Pokoknya beresin rumah gitu.

Mira: kadang-kadang

L: (tertawa) iya kalo dirumah sih mending nonton tv yak? Abis itu ngapain lagi

Mika: selesai itu mah Sekolah pulangnya baru main

A: Emang Sekolahnya jam berapa?

Mika: jam 12

A: kalo Mira?

Mira: pagi

A: biasa mainnya ngapain aja?

Mira: ke rawa kadang-kadang mainnya.

Mila: kadang jalan-jalan ke rawa gitu,

A: ngapain?

Mika: ya main-main aja.

A: terus kalian ngapain aja disitu? Berenang?

Mika: ya enggaklah emangnya mau kelelep gitu

Mira: mancing, buat mancing

(32)

Mira: adalah orang-orang disitu.

L: kalian?

Mira: enggaklah, bapak-bapak gitu, iya bapak-bapak.

A: kan kalo main itu, duduk-duduk aja, nongkrong gitu?

Mika: iya.

A: ngga ngapa-ngapain?

Mika: yah, mau ngapain? Yang tadi doang, yang namanya Laras, itu ngobat, kaya madol.

L: hah? Madol apaan?

Mika: gatau juga. Tapi pernah dikasihtau sih, bentuknya bulat, warna putih kaya jadi, kaya jadi paramex.

A: panadol?

Mika: bukan panadol, namanya tu tramadol.

Mira: tanya Laras noh. (diam) Eh Laras tadi kemana sih?

A: Laras tadi sama (berfikir) sama Kak, kak Dina.

L: Oh, Laras masih suka gitu?

Mika: iya.

A: kalian pernah nyoba?

Mika: engga. (berfikir) emm aku takut diomelin mamah.

A: oooh... Kalo Mira?

L: Kamu pernah?

(33)

A: Emang Laras gak dimarahin mamahnya?

Mika: Kan mamahnya udah meninggal.

A: Ayahnya?

Mika: Ayahnya ada, dia kan udah diapain gitu, tapi tu orang gak pernah kapok.

A: Dia sekolah di Master ya?

(bunyi knalpot motor cukup keras)

L: Wah, Ayu

(Mira berbicara dengan Mila, dikarenakan adanya pesan singkat dari pacar Mila).

A: Kalian tinggalnya deketan?

Mika: Engga, aku sana (menunjuk kearah belakang) di sana ( menunjuk kearah depan)

A: Jauh juga dong mainnya.

Mika: engga disono no, yang kalo ada gang langsung belok.

L: Berani malem-malem? (berpikir) sendirian gitu?

Mika: Dirumah?

L: Engga kalo pulang dari main gitu?

Mika: Engga, suka ada adek, adek suka ngintilin.

L: ooh...

(bunyi knalpot motor)

L: serem yaa sepi. Sepi disini, di situnya (menunjuk kearah stasiun) rame loh.

A: itu dia cuma ini doang, apa, apa tadi namanya madol doang?

(34)

Mika: taunya madol doang, soalnya pernah ditunjukkin.

L: madol, namanya lucu. (melihat) itu siapa ya?

Mika: Siapa?

L: gatau tadi ada yang lewat, terus dia liatnya gitu banget loh.

A: engga itu yang dangdutan apaan?

L: apa? Itu biasanya orang yang keliling kan?

Mika: iya yang kelilingan.

L: yang keliling ngamen itu.

(Mira kembali terdistraksi oleh Mila, terkait dengan pesan singkat).

(bunyi knalpot motor)

A: Eh tadi yang sama Mila satu lagi siapa?

Mira: Ayu.

A: engga itu? (menunjuk kearah depan)

Mira: Mirsya.

L: Kalian kalo malem ngapain sih?

Mika: nongkrong aja gitu, duduk-duduk, cari angin. Kadang main, main kaya anak kecil gitu, bocah. Kaya main PM gitu, polisi Maling.

L: oh.. iya, iya aku tahu.

(suara dangdutan semakin mendekat).

L: Kansas, kansas. Lucu sih namanya. Tapi kenapa anak nakal sih? Sedih dengernya.

(35)

L: itu bentar lagi kesini, iya kan biasanya gitu kan ya? (berpikir). Anak nakal, emang kalian suka ngapain aja?

Mika: Engga, engga ngapa-ngapain. Ya gitu, di kadang mamanya Rani itu kalo orang tuanya ngoceh dia dengerin lagu kadang nyampe kenceng gitu. Jadi gak didengerin itu orang tuanya ngomong apa aja. Kalo ga boleh main kadang suka kabur main. Itu ya nakalnya disitu.

L: itu sebenernya ga nakal tau. (melihat kebelakang) eh dia disini (mengarah kepada para pemusik dangdut). Serem deh.

(musik semakin keras. Sehingga wawancara dihentikan beberapa detik).

L: Kalian gak serem tuh tiap malem ada orang kaya gitu?

Mika: tiap hari.

Mira: tiap malem.

L: Tiap malem dia?

(Suara knalpot motor yang cukup keras)

L: Kalian geng tu, masuknya biasa aja,

Mira: biasa aja, emang mau gimana?

L: Engga ada apa-apanya gitu atau Mila doang yang tau kalo kalian itu geng?

Mika: (tersenyum) kayanya Mila doang dah. Kalo aku gengnya banyak ada disana, sini.

L: (bercerita) Dulu aku waktu SD juga punya geng, namanya apa ya (berpikir) emm... Pelangi deh kalo engga salah. SMP juga ada, sering, sering buat geng. Apa A mau tanya apa?

A: emm (berpikir) itu tadi apa, emm nggak jadi deh.

L: Apa A?

A: Itu tadi yang dibilang cowok banyak itu apaan?

(36)

A: itu tadi yang dibilang, oh itu paling cowok kak.

Mira: oh itu merokok doang,

Mika: itu kalo merokok suka madol juga.

Mira: Kalo cowok emang kebiasaan madol gitu.

A: itu kalo anak-anak cowok yang di daerah ini, itu pada kerja gitu.

Mika: engga masih ada pada sekolah. Ada juga yang kerja.

A: Ohh... Kaya sekolah habis itu ngamen gitu?

L: Rata-rata seumuran kalian ya?

A: tu mereka suka madol gitu,

Mira: Suka, di sekolahan tu. Temennya Mila tu.

A: Apaan? Di sekolahan gitu madolnya?

Mika: yah gatau.

Mira: Mila tu yak, temen lu yakan (berbicara ke arah Mila) di sekolahan minum-minum yak?

A: di Master?

L: Di Master waaw.

Mira: Di Master mah emang pada begitu.

L: Oh iya, tadi aku ke Master loh, terus anaknya gitu, sombong, yaah. (melihat kearah jembatan). Eh disini keren ya kalo malem-malem. Berpikir) A mau tanya apa lagi? Aku bingung mau tanya apa?

(Mira terdistraksi kembali dengan pesan singkat)

L: ciiee (menyindir Mira) emm... yang baru jadian.

(37)

Mira: Temen. Temen. Orang ga kenal. (melanjutkan) Mila katanya udah putus tadi malem, balikan lagi. Dasar!

L: Katanya belum jadian tadi.

Mira: udah. Orang udah ada sebulan.

L: Waah... Katanya baru.

Mira: udah. Putusnya bareng lagi. Eh dia balikan lagi

L: ciiee...

Mira: Balikan lagi, masa putus balikan lagi. Mau aja dia mah yak.

A: Emang kenapa?

L: Iya gak enak kan? Aku juga sih prinsipnya kalo udah putus gakmau balikan lagi.

Mira: Katanya males ngeliat muka dia, tapi diterima lagi.

L: Kalo lagi marahan gitu tu.

Mira: Emang kalo ketemuan dia kabur. Eh cowoknya minta balikan diterima lagi. Dasar!

A: Kalo si Ika itu sekolahnya dimana? Master juga?

Mika: Udah engga sekolah.

L: Ohh...

(Mira terdisktraksi kembali oleh Mila dan pesa singkat di handphonennya)

L: yaah... kikuk gak sih kita ngomongnya? (berpikir) Aku bingung mau tanya apa?

Mika: (tersenyum)

A: Eh, itu yang suka balap-balapan disana?

(38)

L: iya, disini kan sepu juga kan?

A: Di jalanan ini. (berpikir) itu jam? Malem banget?

Mika: Malem banget.

Mira: Kan suka sepi yak?

Mika: noh sampe jam 12 malem masih ada noh.

A: itu cowok-cowok tapi?

Mika: iya.

L: Kalian pernah nonton gak?

Mika: Nonton? Kaga pernah, nontonin apa?

L: Nontonin itu, nontonin balapan gitu.

Mika: enggak.

A: Jam 12 udah pulang ya?

Mika: Engga, aku pulangnya jam sembilan.

L: gak boleh yak.

Mika: iya. Kalo lewat dikit dikunciin.

A: Terus nanti gimana?

Mika: Kalo dikunciin yah pergi main lagi (tersenyum)

L: (tertawa) yaaah... Jadi gimana itu?

Mika: Ya diomelin lagi, terus pergi main lagi.

(39)

A: Itu di ujung jalan itu buntu atau ada jalan lagi.

Mira: Ada jalan lagi.

A: Tapi, itu udah beda, udah bukan jalan JB lagi? Jalanan ini emang sepi ya?

Mika: Ya tergantung. Misalnya lagi rame ya rame, kalo lagi sepi ya sepi.

L: Modo, modol, madol, apa sih

A: Madol.

Mira: Emang enak apa ya? Coba tanya sih Ayu no, kan dia suka noh.

Mika: katanya sih pernah nanya sama orang-orang yang pernah katanya rasanya ya gitu kaya obat, pahit. Terus katanya buat ngilangin stress katanya, karena banyak pikiran.

L: Kenapa gk ngerokok aja gitu?

Mika: enggak tahu. (tersenyum).

Mira: pernah aku yak, cuma megang doang gitu aja diomelin apalagi ampe ngerokok beneran.

L: Iya sih, kan kasihan nanti gedenya. Ngga nyampe gede dong, paru-parunya rusak duluan nanti.

Mira: iya noh yang ono no Mirsya paru-parunya pan bocor noh.

Mika: Aku aja yang engga ngerokok udah kena.

A: Kena apaan?

Mika: Paru-paru.

A: maksudnya?

Mika: Iya, kena paru-paru basah.

L: Paru-paru basah? Kok bisa?

(40)

L: Ya Allah kasian.

A: itu udah berobat?

Mika: Udah. Aturan kan 9 bulan, ini 4 bulan langsung kurus.

L: itu gejalanya apa tu?

Mika: emmm suka batuk, meriang, terus batuk langsung keluar darah.

L: Hah? Darah? Serem banget.

Mika: Darahnya engga kaya TBC, kan kalo TBC kecil tu yak. Nah kalo aku banyak, kaya muntah.

L: Ya Allah, ih gak sakit?

Mika: Sakit banget dadanya, langsung dilariin

L: (bercerita) Kalo aku dulu paru-paru kotor. Itu beda kan yak? Paru-paru basah serem yak, kamu suka tidur dilantai?

Mika: iya, udah tidur di lantai, kipas nyala.

L: hemm pantesan.

Mika: emm tapi kata mamah sih emang keturunan. Kakek sama mamah emang sakit paru-paru juga.

L: ohhh... Sampe sekarang masih sering sakit gak?

Mika: Engga. Kadang cuma batuk-batuk biasa, kalo batuk-batuk itu mamah suka khawatir

L: Mamahnya sayang banget berarti yak?

Mika: Iya, tapi sayang, bapak tirinya galak banget.

L: Oh kenapa dia?

(41)

L: Oh iya, jahat banget? Gampar balik (tertawa)

Mika: yaaah gak berani. Kalo berani juga udah aku gampar balik.

L: Ih kok jahat banget dia? Itu kalo kamu pulang malem?

Mika: Iya kadang lewat dikit doang, kan batesnya 9 baru lewat 15 menit doang

L: Di gampar?

Mika: Jadi harus duluan dia gitu?

L: Emmm dia kerja?

Mika: enggak... enggak. Dia jadi bos di ituan, di Stasiun.

L: oooooohhhh... Kamu sering digampar?

Mika: engga juga, tapi kadang kalo ama teteh pulang malem gitu suka digampar.

A: Sama teteh, kakaknya?

Mika: iya

L: Kasian banget. Tetehnya umurnya berapa?

Mika: 20. Udah nikah.

L: Wah, udah gede loh. Masih digampar loh, gak ngerti lagi udah segede itu juga.

A: Bos stasiun maksudnya?

Mika: Jadi bos gitu. (berpikir) kerja duduk doang, terus pada nyetor gitu orang-orang.

L: Oh iya, aku tahu. (Mengingat) yangtadi di depan bukan?

Mika: Bukan, dia kerjanya duduk doang, deket warung.

L: Oooh... (melihat Mila dan Mira) mereka berdua kompromi sendiri.

(42)

L: Aku juga mau deh punya cowok. Iyaaah..

A: Kamu juga udah punya cowok?

Mika: (tersenyum dan menunduk) yang ngamen itu, yang katanya Mila, yang lagi ngamen sekarang.

A: Itu dia madol juga?

Mika: Iya. Udah dilarang susah banget, katanya buat ga malu.

L: Oh iyaa... temen-temennnya gitu semua ya?

Mika: Iya.

A: Pacar kamu di Master?

Mika: Iya

A: Kelas?

Mika: Ya sama kaya dia (menunjuk kearah Mila).

A: Temennya Mila. Kenalnya dari Mila jangan-jangan?

Mika: Enggak.

L: Namanya siapa?

Mika : Namanya Robi

A: Banyak ya yang madol gitu?

Mika: Kalo anak Master? Kayanya banyak.

L: Terus gak ketahuan gitu mereka ya? Aneh.

Mika: ya gatau. Tapi kalo Robi gapapa ama mamahnya, karena buat ngamen.

(43)

Mika: jadi seolah-olah Robi yang tulang punggung keluarganya.

L: oh jadi dia kerja, makanya dia engga papa gitu.

Mika: Tapi kalo ketahuan aku, aku buang

L: Iya, engga papa gitu

Mika: Kadang dia marah, apa-apaan gitu. Orang buat kerja eh malah dibuang. Yeh aku bilang, ngapain. Kalo mau ngamen ya ngamen aja.

L: Sayang uangnya ya, dipake buat beli itu kan? (berpikir) Biasanya pake obat apa sih mereka

Mika: heeh... tramadol, kalo gak tramadol kaya eksimel gitu. Warnanya kuning. Aku tahu suka dikasih unjuk sama saudara-saudaranya. Disuruh minum sih engga.

L: terus diminum pake air?

Mika: iya.

L: Kaya minum obat biasa gitu?

Mika: Iya.

L: Tapi kan gak sakit ya? Tapi kan gak sakit loh?

Mika: Kadang buat ngilangin stress, buat ngamen

L: Ngamen minum obat dulu?

Mika: iya, biar gak malu, kan ada tu yang malu-malu gitu, nah biar gak malu ya madol gitu.

L: Oh gitu, aku baru tahu masa. Oya aku ngerti.ngerti. (menutup percakapan) Nih kan udah malem, nanti kamu kenamarah lagi kalo pulangnya telat. Kita cari Laras sama Kak Dina aja yuk.

Mika dan teman-teman: Yaudah ayuk deh kak.

L: oh iya terimakasih ya, udah bantuin kakak.

(44)

Transkrip Penelitian terhadap Subjek Romi A: Tadi siapa namanya?

R: Romi

L: Romi, kamu umurnya berapa?

M: tua saya kaklah

L: umurnya berapa?

R: umurnya 20,

L : tua romget lo

A: tua an dari saya

M: nggak kak, bohong-bohong

R: 12

L: oh 12.

M: tuh kan tua an saya

L: emang kamu berapa?

K: 21

Ketawa2

A: terus yang kata Mila yang madol-madol itu jga?

K: Mila? Mila mana? Saya belum pernah kenal dia.

L: kamu pernah madol

R: pernah

(45)

M: pake big cola

L: pake ini, oh beda ya sama big cola? Bedanya apa?

A: oh ya? Terserah nanti ketemuan di stasiun UI aja.

M: yah aku nggak tahu.

A: mau nanya apa li?

L: nanya apa dulu ya? Aku lupa.

A: oh ya kamu sehari-hari ngapain aja?

K: tidur, makan, sekolah, ngamen

A: di master ya?

L: ngamen? Dimana?

R: di situ

L: coba, coba nyanyi coba

K: jangan kak, jangan, pales kak, nanti sakit perut,

M: pernah ngamen, pernah ngamen

L: coba-coba yang ngamen nyanyi dong, penasaran aku. Nyanyinya bareng-bareng tapi.

Anak-anak: ayo-ayo

M: kita rekam kak?

R: mau jadi artis males.

A: entar kaya, ya Tegar

L: mau jadi artis, tegar yang mana lagunya?

(46)

M: yah nggak tahu kakak

A: itu yang pengamen jalanan juga sih

M: ada lagi nggak temen lu yang

K: yang apa? Yang apa?

M: ada nggak rom?

L: coba dong nyanyi dong

K: nyanyi apaan?

L: nyanyi apa ya? Lagu apa dong?

R: punk rock jalanan

L: apa?

A: punk rock jalanan

L: punk rock jalanan yang mana?

K: hahaha, tu pacarnya tuh.

M: pacarnya, pacarnya Mila tuh

Semuanya: cieeeee

B: cie Megi-nya malu-malu tuh Mil

A: panggil aja ke sini

L: panggil aja ke sini

B: sayang ke sini gitu dong

L: panggil sayang sayang

(47)

L: emang dia manggil sayang

B: ia kak

M: nggak kak, bohong kak bohong.Nggak (sambil merajuk)

A: itu kalo madol ah ya madol ya pusing g?

M: g tahu kak

A: g ini dia, si Romi

M: noh dia tahu tuh, kalo kebanyakan sineman ya.

A: apaan?

M: kebanyakan

L: kebanyakan apa?

M: kebanyakan ngerokok di sini mah

L: hmmm

A: terus tadi kata mabuk, hehe, mabok beneran?

R: beneran kak

A: seriusan

R: serius

A: pake apaan?

R: pake ciu

A: pake ciu, beli dimana?

R: beli di situ

(48)

R: ada

A: bebas gitu belinya?

L: eh ciu itu

A: terus kamu minumnya bareng2

R: ia, rasanya juga kaya pedes2 gitu

L dan A: pedes-pedes gitu

A: air cabe ibuk

M: bohong-bohong, manis-manis, unyu

B: manis, emang lu udah pernah nyoba?

M: nggak lah nggak pernah gue mah

L: pake big cola

M: big cola di pake in susu tuh enak

L: ah itu mah enak banget

M: tambah make mie, noh megi pernah noh ngerokok

L: eh itu ntar ini lo

Suara bising singkat

M: ini di tekan malah cepat diam

L: hmm, iya nggak apa-apa

M: matiin ya, matiinnya mana?

A: itu dia

(49)

M: ih dih apaan sih kak, kak amel mah, kakak gitu mah ih. Nanti bilang sama kak Dina lagi

A: ngapain?

L: Apa?nggak?

M: ah bohong ah

L: ngapain kan pacar kamu bukan pacar kak Dina

M: ntar di bilangin lagi ngadu

K tiba2 buang makanan

L: kok dibuang?

K : nggak enak kak.

M: mending lo kasih ke orang sih. Tolol. Bilang apa begok ke kakak-kakaknya

K: thank you

L dan A: you’re welcome

M: iya hahah

K : my name is you name, stand (g ngerti yang dimaksud bocah apa?)

M: wah ngajakin bahasa inggris kak

A: yah panggil lah ke sini mil

A: beib gitu

M: yeh kakak mah

L: bebek kali beib gitukan

M: nyanyi singkat potong bebek angsa

(50)

M: tuh nih kak orangnya. Ni nomor siapa?

L: nomor aku, yg satunya tadi

A: yg axis aku

L: axis kak amel

M: bikin nih namanya

A: namanya amel, terus apa lagi

M: jangan amel

A: Amelia

M: yang ini siapa?

L: bukan aku itu, g tahu siapa

A: cerita deh kamunya,

R: cerita apa?

A: tentang madol, tentang rokok yang gitu-gitu

L: tentang ngamen

A: ya tentang ngamen, ngapain kek, cerita aja

M: nih siapa

A: bukan aku deh

M: terus siapa?

A: nggak tahu,

M: nih 17

(51)

M: ya allah

A: kakak cuma punya 2 nomor, panggil dong meginya. Sini dong deketan

L: duduknya sini, jauh romget lho ngomong nya

M: malu manggilnya

A: pindah yuk nggak enak sama ibunya

M: monyet, nyet

B: panggil

A: ini cerita, eh siapa ? eh Romi ya

R: cerita apaan kak?

A: ya apa aj

L: kalian kalo ngamen siang apa malem?

R: malem

L: sama siapa aja tuh biasanya?

A: dimana?

L: sendiri ato rame-rame?

R: sendiri

L: sendiri, kenapa sendiri?

R: ya biar dapet dutinya romyak

L: oh iya? Emang lebih banyak ya dapetnya kalo sendiri?

R: ya kami berdua kan bagi dua kak

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Proposal Tugas Akhir ini. Penulisan Proposal

Sehingga hasil analisis data tersebut dapat disimpulkan bahwa antara Kualitas Pelayanan (X1) dan Kemampuan Pegawai (X2) dengan Kepuasan Pelanggan (Y) ada korelasi

Beberapa sarana kesehatan yang ada di Kota Prabumulih yang terletak di daerah perbatasan wilayah Kabupaten lain dan terbuka untuk memberikan pelayanan kesehatan dari

Dalam rangka mendukung pencapaian prioritas nasional sebagaimana telah ditetapkan dalam visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang dijabarkan dalam RPJMN periode

Berdasarkan uraian di atas maka, belajar bermakna menurut Ausubel adalah suatu proses belajar di mana peserta didik dapat menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang

Berdasarkan dari hasil penelitian bulan Oktober 2019, maka disimpulkan efisiensi kerja alat optimum untuk alat gali muat adalah 73,0 %, alat angkut 68 % dan produktivitas

Dengan menggunakan kuesioner (yang telah dipersiapkan) dilakukan wawancara kepada responden yang meliputi: Kepemilikan ternak sapi, pengetahuan tentang reproduksi, masalah

- Membuka penutup kotak APP, tanpa merusak segel, hal ini dimungkinkan karena ada kotak APP type lama yang engselnya mudah dilepas bila cara penyegelannya kurang baik. -