• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reformasi Hukum dan Sinergitas Antarlemb

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Reformasi Hukum dan Sinergitas Antarlemb"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Reformasi Hukum dan Sinergitas Antarlembaga Negara:

Mencegah Ketidakpercayaan Rakyat terhadap

Simbol-Simbol Negara

1

Pan Mohamad Faiz, S.H., M.C.L.2

”Masyarakat menghendaki substansi yang lain dengan teriakan supremasi hukum. Rasanya bukan hukum (dalam makna sempit) yang diburu masyarakat,

tetapi hal yang lebih substansial, yaitu keadilan”

(Satjipto Rahardjo, 1930 - 2010)

Pendahuluan

Bangsa Indonesia baru saja melewati perhelatan akbar di tingkat nasional,

yaitu Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, DPRD, dan Presiden serta Wakil

Presiden pada 2009. Sebagai ujung tombak demokrasi, proses dan hasil Pemilu

tentunya membawa konsekuensi penting bagi kelanjutan kehidupan bernegara

dari suatu bangsa. Dalam konteks ini, tahun 2009 seharusnya dinisbatkan

menjadi tahun pendidikan berpolitik bagi rakyat Indonesia, namun yang terjadi

justru berbeda, sebab yang lebih terekam adalah tahun dimana terjadi

carut-marut dalam dunia penegakan hukum.

Alasannya sederhana, sederet peristiwa hukum secara berturut-turut

menjadi potret buram di tengah-tengah pandangan masyarakat Indonesia. Mulai

dari kisruh terjadinya ribuan sengketa pemilihan umum, penjatuhan bermacam

1

Disampaikan dalam Focus Group Discussion Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) dengan tema “Memantapkan Sinergitas antar Lembaga Negara untuk Mengimplementasikan Reformasi Hukum guna Mencegah Distrust terhadap Simbol-Simbol Negara dalam rangka Memantapkan Stabilitas Nasional” pada hari Rabu, 24 Februari 2010 di Ruang Rapat Deputi Pengkajian Strategik, Lemhanas RI, Jakarta. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

2

(2)

vonis pengadilan yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat kecil, hingga

episode silang sengkarut kasus hukum “Bibit-Chandra”.

Tidak berhenti sampai di situ saja, terbukanya fakta-fakta tentang praktik

terselubung mafia peradilan serta terungkapnya fenomena istana mewah dalam

penjara, semakin mendedahkan ketidakberesan kondisi negara hukum Indonesia

selama ini. Terhadap peristiwa-peristiwa tersebut, sebagian besar rakyat nampak

dipenuhi peluh rasa kecewa, pasalnya tuntutan atas pelaksanaan reformasi

hukum yang telah digulirkan sejak 12 (dua belas) tahun silam belum

memberikan perubahan yang signifikan bagi kelangsungan hidup mereka secara

riil.

Akibatnya, ketidakpercayaan masyarakat (people distrust) terhadap

lembaga negara yang ada sekarang ini, khususnya kepada institusi dan aparat

penegak hukum, semakin menjadi-jadi. Demonstrasi demi demonstrasi terjadi

hampir di seluruh penjuru tanah air sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat

sipil (civil society) atas kinerja pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Situasi pun tidak mereda dengan sendirinya, karena langsung disusul dengan

menghangatnya suasana politik nasional pasca digelarnya sidang Pansus DPR RI

atas kasus Bailout Century. Sebagian publik yang sudah terlanjur kecewa

menunggu-nunggu dengan penuh pesimistis, peristiwa dan alasan apa lagi yang

dapat membuat mereka semakin berani untuk mendelegitimasi simbol-simbol

negara yang berpuncak pada lembaga kepresidenan.

Bak efek bola salju, apabila tidak ada penanganan dan penyelesaian

secara cepat, tepat, dan terarah, tentu ketidakpercayaan publik tersebut akan

semakin membesar hingga pada saatnya nanti akan “meledak” tak tentu arah

yang berakibat pada tindakan-tindakan yang sama sekali tidak kita harapkan,

sebagaimana misalnya terjadi pada awal masa reformasi 1998 dahulu.

Berdasar uraian tersebut di atas, tulisan singkat ini hendak

menggambarkan situasi dan kondisi terkini atas capaian ataupun kegagalan

(3)

kepercayaan masyarakat terhadap simbol-simbol negara yang direpresentasikan

oleh lembaga negara, khususnya institusi hukum, dalam menjalankan roda

pemerintahan secara luas.

Konsepsi Negara Hukum

Beranjak dari sejarah pembentukan negara Indonesia, para founding

parents kita menanamkan cita-cita bernegara berupa negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Berulang kali pula kita diwarisi pemikiran

untuk dapat menjadikan Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat) dan

bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Hal ini kemudian dipertegas oleh para

the 2nd founding parents dengan mengangkat derajat konsepsi negara hukum pada saat melakukan perubahan keempat UUD 1945 yang sebelumnya hanya

diletakkan pada Penjelasan UUD 1945 menjadi tegas tertulis dalam Pasal 1 ayat

(3) yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.

Pencantuman ini membawa konsekuensi lanjutan bahwa hukum haruslah

menjadi panglima dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya,

negara hukum itu harus dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu

sendiri sebagai satu sistem yang fungsional dan berkeadilan. Sistem tersebut

kemudian dikembangkan dengan menata suprastruktur dan infrastruktur

kelembagaan politik, ekonomi, dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina

dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.3

Dengan mengelaborasi konsep negara hukum yang diperkenalkan oleh

Julius Stahl, A.V. Dicey, The International Commission of Jurist, Utrecht,

Scheltema, Tahir Azhary, dan Brian Tamanaha; Jimly Asshiddiqie merumuskan

3

(4)

kembali ide-ide pokok tentang konsepsi negara hukum Indonesia yang terdiri

dari 13 (tiga belas) prinsip, yaitu:4

1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)

2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law)

3. Asas Legalitas (Due Process of Law)

4. Pembatasan Kekausaan (Limitation of Power)

5. Organ-Organ Campuran yang Bersifat Independen (Independent

Mixed-Organs)

6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak (Independent and Impartial Judiciary)

7. Peradilan Tata Usaha Negara (Administrative Court)

8. Peradilan Tata Negara (Constitucional Court)

9. Perlindungan Hak Asasi Manusia (Protection of Human Rights)

10.Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat)

11.Negara Kesejahteraan (Welfare Rechtstaat)

12.Transparansi dan Kontrol Sosial (Transparency and Social Control)

13.Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa (The one and the only God)

Pertanyaannya kini, sudah sejauhmanakah Indonesia melaksanakan cita

negara hukum tersebut? Sudahkah arah reformasi hukum kita berjalan pada

track yang benar? Atau jangan-jangan, euforia kebebasan yang dibuka lebar-lebar melalui pintu reformasi justru menjadi beban tersendiri yang menyebabkan

Indonesia tidak memiliki arah yang jelas dalam pembangunan hukum. Untuk

itulah perlu kiranya kita menelaah terlebih dahulu capaian reformasi dalam tata

realitas sekarang ini guna menjawab segala pertanyaan tersebut.

4

(5)

Realitas Reformasi Hukum

Dalam perspektif politik Indonesia, permulaan era reformasi merujuk pada

saat pengundurkan diri Soeharto dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998. Hal

tersebut disebabkan adanya demonstrasi besar-besaran dari elemen rakyat dan

mahasiswa di tengah-tengah anjloknya nilai-nilai perekonomian bangsa dan tidak

terkendalinya kondisi sosial, hukum, dan keamanan negara.5

Pada saat itu, tuntutan reformasi di bidang hukum bergema

sekurang-kurangnya pada ranah pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Korupsi (KKN);

amandemen UUD 1945, reformasi peradilan yang mandiri dan tidak memihak,

jaminan atas HAM dan tuntutan atas pelaku kejahatan HAM, serta dibukanya

ruang partisipasi aktif masyarakat serta keterbukaan dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan. Dari sederet tuntutan reformasi tersebut,

beberapa hal yang setidaknya tampak terlihat jelas hasilnya walaupun belum

sempurna, seperti misalnya amandemen UUD 1945 dan terbukanya ruang

pastisipasi warga dalam pembentukan undang-undang. Sedangkan pencaian

terhadap agenda lainnya masih terlihat samara-samar.

Tak dapat dipungkiri, arah reformasi di bidang hukum tercerai-berai,

bahkan berjalan tersendar-sendat. Hal tersebut dapat ditangkap dengan mudah

apabila kita berkaca pada masih lemahnya penegakan hukum (“low”

enforcement) yang kadangkala juga masih bersikap diskriminatif. Belum lagi ditambah dengan rusaknya mental dan moralitas aparat penegak hukum yang

seringkali memperjual-belikan kasus hukum hampir di setiap lini, mulai dari

penyidikan, penyelidikan, penuntutan, penjatuhan vonis, hingga eksekusi

putusan.

Sementara itu, dibukanya pintu partisipasi dalam legislasi ternyata tidak

juga membuat produk-produk hukum benar secara kualitas, salah satunya

5

(6)

penyebabnya adalah sebagian legislator yang baru terpilih dinilai kurang memiliki

kapasitas yang memadai. Hal ini setidaknya terbukti dari masih banyaknya

undang-undang yang dibatalkan di hadapan Mahkamah Konstitusi karena

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Berbagai problem tersebut secara teoritis memang telah diproyeksikan

terjadi, sebab Indonesia sedang mengalami masa transisi dari suatu

pemerintahan yang otoriter ke suatu pemerintahan yang lebih demokratik.

Mengambil istilah Samuel P. Huntington, kondisi demikian dinamakan sebagai

“transplacement”, yaitu kondisi di mana pemerintahan Indonesia baru yang

transisional pasca reformasi masih merupakan kombinasi antara para aktor baru

dan sisa-sisa aktor pada rezim sebelumnya, sehingga yang terbit bukanlah suatu

pemerintahan yang sama sekali baru. Kondisi inilah yang kemudian dianggap

menjadi kendala utama bagi upaya pelaksaan reformasi hukum.6

Hal lain yang dianggap menjadi permasalahan mendasar dan telah

seringkali diwacanakan adalah aspek hukum yang oleh Lawrence M. Friedman

dibagi menjadi 3 (tiga) unsur dalam sistem hukum, yaitu struktur hukum (legal

structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture). Dengan demikian, ketika berbicara tentang reformasi sistem hukum, maka ketiga unsur tersebut harus dibenahi secara bersama-sama.

Struktur hukum yang dimaksud di sini merupakan keseluruhan institusi

penegakan hukum berikut aparatnya, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan,

dan kantor pengacara. Sementara itu, substansi hukum meliputi kesleuruhan

asas hukum, norma hukum, dan aturan hukum, termasuk pada putusan

pengadilan. Sedangkan budaya hukum adalah perilaku kebiasaan umum, cara

pandang dan sikap dari para penegak hukum ataupun warga negara.7

6

Sebaliknya dengan transplacement, kondisi replacement mensyaratkan adanya pergantian rezim secara total sehingga benar-benar terdiri dari aktor-aktor negara yang sama sekali baru. Lihat Neil J. Kritz, Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Regimes, United States Institute of Peace, 1995.

7

(7)

Apabila merujuk dari ketiga hal tersebut, maka secara sepintas dapat kita

katakan bahwa unsur hukum yang tereformasi dengan baik barulah struktur

hukum, sedangkan substansi hukum belum sepenuhnya, apalagi dengan budaya

hukum yang masih teramat rendah. Untuk itu diperlukan politik pembangunan

hukum yang lebih terarah, sehingga tidak lagi menjadi pembaharuan hukum

yang bersifat parsial dengan indikator yang lebih jelas dan terukur, khususnya

terhadap aspek ketiga budaya hukum (legal culture).

Melihat kondisi dan realitas hukum di atas, maka kita tidak perlu terkejut

apabila timbul banyak kekecewaan di sana-sini. Lebih dalam lagi, melalui

kacamata segitiga Gramsci, maka negara akan menjadi objek tuntutan dari

masyarakat sipil (civil society) dan pasar (market). Bisa jadi karena reformasi yang digulirkan selama ini terlalu fokus pada reformasi di bidang demokrasi

politik, sehingga sedikit mengabaikan pentingnya reformasi hukum. Padahal,

tanpa dukungan kepastian hukum, baik pembangunan demokrasi politik maupun

pembangunan ekonomi tidak dapat berjalan dengan teratur dan terkendali,

apalagi terkait dengan bidang investasi.

Penyebab Ketidakpercayaan Rakyat

Setumpuk permasalahan hukum yang melanda negeri ini bukanlah tanpa

sebab. Apabila kita dapat menemukan akar permasalahan tersebut maka

membangkitkan cita negara hukum bukanlah hal yang mustahil. Begitupula

dengan tumbuh menjamurnya ketidakpercayaan rakyat terhadap simbol-simbol

negara, khususnya di dunia hukum. Secara sederhana, masyarakat bagaikan flat

fotogenik yang menangkap dan memendarkan apa saja yang terlihat dan terbaca

dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai jawaban sederhana, marilah kita bandingkan perlakuan hukum

antara masyarakat kelas menengah ke bawah dengan mereka yang memilki

(8)

dengan para terdakwa koruptor kelas berat, secara kontras terlihat

perbedaannya mulai dari penanganan hingga panjatuhan putusannya. Maka

cukup beralasan ketika sebagian masyarakat Indonesia mengutip ungkapan yang

disampaikan oleh seorang novelis Perancis, Honore de Balzac, dengan

menyatakan, “Laws are spider webs through which the big flies pass and the

little ones get caught”.

Penyebab utama lainnya yang semakin membuat runtuh simbol institusi

hukum adalah maraknya praktik mafia peradilan yang telah berlangsung selama

empat dekade terakhir. Berlangsungnya praktik-praktik penyalahgunaan

kewenangan (abuse of power) di dunia hukum terjadi mulai dari tahapan

penyelidikan, penyidikan, penyusunan dakwaan, pengajuan tuntutan, hingga

jatuhnya putusan hakim. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap tahapan

tersebut dapat diatur sesuai dengan keinginan para oknum-oknum pengacara

dan oknum aparat di institusi Kepolisian Kejaksaan, dan Pengadilan. Lebih

parahnya lagi, para saksi atau ahli mulai dapat “dipesan” sesuai dengan

kemauan para terdakwa melalui prakarsa pengacaranya.

Praktik kotor para mafia peradilan inilah yang kemudian menjadikan

lembaga-lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan

ditempatkan menjadi lembaga terkorup di Indonesia bersama dengan lembaga

perwakilan dan partai politik lainnya. Bahkan menurut survei terakhir yang

dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada 2009,

Indonesia menempati peringkat pertama dari negara terkorup dari 14 negara di

Asia. Artinya, penegakan hukum di Indonesia hingga kini selalu dirundung

dengan masalah yang sama, padahal telah menjadi agenda utama dan pertama

dalam reformasi di bidang hukum, yaitu masalah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

(KKN). 8

8

(9)

Tidak jauh berbeda, pelayanan publik yang ditampilkan dan diberikan

kepada masyarakat masih bersifat lamban dan cenderung koruptif, termasuk

tidak jelasnya kelanjutan dari penyampaian aspirasi kepada lembaga perwakilan

resmi. Akibatnya, timbul sikap apatisme tinggi terhadap apapun hasil kinerja

yang dikeluarkan oleh lembaga negara dan pemerintahan.

Lebih dalam lagi Achmad Ali mengatkan bahwa secara sosiologis tingkat

kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pranata-pranata hukum sudah

berada dalam taraf “bad trust society” (kepercayaan yang buruk dari

masyarakat). Hal tersebut menurutnya disebabkan dari ketidakseriusan

pemerintah dalam penegakan hukum.9 Apabila terpuruknya kercayaan

masyarakat terus dibiarkan, maka akan sangat berpotensi menimbulkan tindakan

main hakim sendiri (eigenrichting), sebagaimana misalnya terjadi belum lama ini

dalam banyak peristiwa penyerbuan kantor-kantor polisi di Lombok, Makasar,

dan wilayah lainnya. Dalam perspektif psikologi sosial, perilaku demikian

merupakan salah satu bentuk dari ledakan kemarahan (the hostile outburst)

yang berwujud pada kerusuhan sosial.

Perlunya Sinergitas Antarlembaga Negara

Tatakala terjadi berbagai kesulitan dan ketidakstabilan akibat terjadinya

berbagai perubahan sosial dan ekonomi, maka banyak negara akan melakukan

eksperimentasi dalam pembentukan lembaga-lembaga baru. Hal ini bertujuan

agar terciptanya prinsip pelayanan umum yang efektif dan efisien serta

terjadinya birokrasi yang lebih mudah. Begitupula dengan di Indonesia, pasca

bergulirnya reformasi mengakibatkan banyaknya lembaga negara baru yang

bermunculan di tengah-tengah belantara lembaga negara yang lama.

Berdasarkan UUD 1945, setidaknya terdapat kurang lebih 34 (tiga puluh

empat) lembaga negara. Dari segi fungsi dan hierarki, lembaga negara tersebut

dapat diberdakan menjadi tiga jenis, yaitu: Pertama, organ konstitusi lapis

9

(10)

pertama yang disebut sebagai lembaga (tinggi) negara yang mendapatkan

kewenangan langsung dari UUD 1945, seperti Presiden dan Wakil Presiden, DPR,

DPD, MPR, MK, MA, dan BPK; Kedua, organ lapis kedua yang disebut sebagai

lembaga negara yang memperoleh kewenangan dari UUD 1945 ataupun UU,

seperti Menteri Negara, TNI, Kepolisian Negara, Komisi Yudisial, KPU, dan Bank

Sentral; Ketiga, lembaga negara yang sumber kewenangannya berasal dari

regulator atau pembentuk peraturan di bawah undang-undnag, seperti Komisi

Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional.10

Dengan begitu banyaknya lembaga negara yang ada sekarang, maka

seringkali antara fungsi dan tugas pelaksana antara lembaga satu dengan

lembaga lainnya saling tumpang tindih. Untuk memantapkan sinergitas

antarlembaga negara, maka di sektor pemerintahan harus ada upaya penataan

secara menyeluruh. Lembaga-lembaga independen seperti Komnas HAM, KPK,

KPPU, KPI, Komisi Ombudsman perlu dikonsolidasikan kembali untuk menyusuan

road map bersama pembenahan reformasi hukum, bukan berjalan secara sendiri-sendiri.

Khusus untuk lembaga-lembaga negara penegak hukum, seyogianya

dilakukan pertemuan berkala semacam rapat kerja nasional untuk menentukan

arah pembangunan penegakan hukum Indonesia. Hubungan kerja harus

dibangun setidak-tidaknya antara lembaga pengadilan di bawah MA dan MK,

Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Yudisial, KPK, Lembaga Pemasyarakatan,

Departemen Hukum dan HAM, serta organisasi Advokat. Adalah sebuah

kenicayaan apabila kita bermaksud untuk memperbaiki hukum secara nasional

tanpa adanya sistem yang bekerja baik di antara skrup-skrup sistem tersebut

yang dalam hal ini diwakili oleh institusi dan lembaga negara di bidang hukum

tersebut.

10

(11)

Kegiatan semacam ini pernah dilakukan oleh lembaga negara di bidang

hukum menjelang pelaksaaan Pemilu 2009 yang melibatkan pimpinan tertinggi

antara MK, MA, Kepolisian, Kejaksaan, KPU, dan Bawaslu. Apabila hal demikian

dapat dilanjutkan secara berkala dan dalam lingkup yang lebih luas, maka

masyarakat akan memperoleh pesan bahwasanya lembaga penegak hukum tidak

berdiam diri menghadapi situasi dan kondisi yang terjadi sekarang ini.

Akan tetapi, pertemuan saja tidaklah cukup. Masing-masing institusi harus

dipastikan mengambil kebijakan tegas untuk mengeliminir para oknum yang

telah mengakibatkan citra lembaga negara menjadi runtuh di mata masyarakat.

Permasalahannya terjadi ketika para aparat penegak hukum telah tersandera

oleh praktik kelam masa lalunya, sehingga beresiko bagi dirinya untuk

mengambil tindakan tegas terhadap orang lain, sebab dirinya akan turut menjadi

korban.

Untuk itu diperlukan pemimpin yang jujur, bersih, dan berani untuk

menempati pucuk-pucuk pimpinan di setiap lembaga negara. Kata “berani”

sengaja penulis tebalkan di sini, sebab bermodal jujur dan bersih saja tidak akan

cukup apabila tidak ada keberanian untuk menindak tegas oknum yang terlibat

dengan praktik KKN sebagaimana telah menjadi amanat reformasi hukum.

Sementara itu, untuk strategi pembenahan birokrasi dan penerapan zona

anti-korupsi setidaknya kita dapat merujuk pada pepatah kuno, “To catch a snake,

one must always go for its head, if you catch the body, the snake with surely bite you”.

Penutup

Pembenahan hukum tidaklah semudah membalikan telapak tangan,

bahkan jika ingin jujur sudah terlalu banyak beragam penelitian dan rekomendasi

yang dihasilkan. Tulisan ini tidak berpretensi untuk memberikan solusi yang

(12)

semakin terarah, khususnya dalam menghadapi tingkat kepercayaan masyarakat

yang kian hari kian menurun.

Kita pun tidak perlu larut dalam pesimisme atas masa depan reformasi

hukum Indonesia, sebab negara sekaliber Amerika Serikat pun pernah

mengalami hal yang serupa dengan apa yang tengah kita hadapi sekarang ini. Di

saat itu, para penggiat hukum Amerika Serikat menyerukan agar hukum

dikembalikan ke akar moralitas, kultural, dan religiusitasnya, begitu juga

seharusnya kita. Selama masyarakat menaati hukum sekedar karena alasan

ketakutan terhadap sanksi, maka selama itu pula kepercayaan masyarakat

terhadap lembaga negara masih bersifat semu.

Mengakhiri tulisan ini, izinkan penulis mengutip pernyataan filosof Tavarne

sebagai tawaran solutif terakhir terhadap benteng hukum di Indonesia dengan

menyatakan, “Berikanlah saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikanlah

saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang yang paling burukpun saya akan menghasilkan putusan yang baik”. Semoga di masa mendatang hukum benar-benar menjadi Panglima dalam mengangkat negeri ini

Referensi

Dokumen terkait

Menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “HUBUNGAN ANTARA KONSENTRASI BELAJAR DENGAN KEMAMPUAN MENGHAFAL AL- QUR’AN PADA ANAK KELOMPOK B DI PAUD PALMA, BANJARSARI,

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis Kinerja Layanan Penumpang Angkutan Bus Trans Lampung Jurusan Bandar Lampung – Bandara Raden Inten II yang

1) Pengeluaran biaya OP&M terbesar berturut-turut adalah untuk kegiatan pemeliharaan saluran dan bangunan yaitu 40,5% dan untuk kegiatan operasi 25,06%, sehingga

Analisis (antai Marko) yaitu alat analisis yang dapat digunakan, misalnya untuk meramalkan pangsa pasar saat ini dan masa datang. !eknik  yang digunakan dalam analisis

Reformasi perpajakan tersebut dapat berupa penyempurnaan terhadap kebijakan perpajakan dan sistem administrasi perpajakan sehingga bisa meningkatkan kepatuhan wajib pajak

Ayat-ayat yang telah disebutkan menerangkan bahwa perbuatan kaum Nabi Luth yang hanya melakukan hubungan seksual kepada sesama laki-laki melepaskan syahwatnya hanya

Berfungsi sebagai penerima hasil transmisi hydraulic fluid bertekanan tinggi dari power pack menjadi gerakan naik turun untuk mengangkat rangkaian sucker rod pump dibawah

Untuk itu peneliti ingin mengembangkan penelitian dengan judul: Pengaruh Kepemimpinan dan Kompetensi Terhadap Kinerja Karyawan Pada Maintenance Planning and Support Pertamina