PERANAN AKTIVIS ORGANISASI MASYARAKAT BERBASIS KEAGAMAAN
DALAM PEMILIHAN BUPATI LAMONGAN 2015
(Studi Kasus Aktivis Pimpinan Cabang Aisyiyah dan Aktivis
Pimpinan Anak Cabang Muslimat di Kecamatan Paciran
Kabupaten Lamongan)
SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Oleh:
ILMA AFIANTI CAHYANINGTYAS
NIM: E34213119
JURUSAN FILSAFAT POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
ABSTRACTION
Tittle : Activist Role of Civil Society Organizations Religious based in the Election of Regent Lamongan 2015 (Case Study of the Branch Aisyiyah activists and activists Branch Children's Women Leaders in District Paciran Lamongan).
Writer : Ilma Afianti Cahyaningtyas Advisor : Dr. Biyanto, M.Ag
Keyword : Role, Aisyiyah, Muslimat, Regent Election.
Issues examined in this paper are (1) What is the role of activists Aisyiyah branch leaders in 2015 in the District Election Paciran Regent Lamongan. (2) How is the role of activist leadership of Branch Children's Women in the Election of 2015 in District Paciran Regent Lamongan. (3) How would you compare the leading role Aisyiyah branches and subsidiaries Moslem leaders in the election of 2015 in Sub Paciran Regent Lamongan.
The objective of this study was to determine the role of activist branch leaders Aisyiyah, knowing the role of activist leadership of Children Branch's Women in the Election of Regent, 2015 in the District Paciran Lamongan, as well as to understand comparison of the leading role of the branch Aisyiyah and led tributary's Women in head election 2015 in the District Paciran Lamongan. In this study, while the method used is qualitative method, in which a qualitative approach that can simply be explained that this method uses information from the informant as the subject of a study. This thesis uses qualitative research methods. Where the data presentation is not done with the express it numeric as well as the presentation of quantitative data. From the metodeologis, ordinances expressing one's thoughts or views of a group of people is to use qualitative research.
DAFTAR ISI
Cover Luar……….. i
Cover Dalam………. ii
Persetujuan Pembimbing……….. iii
Pengesahan Skripsi………... iv
Pernyataan Keaslian………... v
Motto…………..……….. vi
Kata Pengantar………. vii
Persembahan……….... ix
Daftar Isi……….. xi
Abstraksi……….……… xiv
Bab I : Pendahuluan A. Latar Belakang………. 1
B. Rumusan Masalah……… 5
C. Tujuan Penelitian………. 6
D. Manfaat Penelitian………... 6
E. Penelitian Terdahulu………….……….. 7
F. Definisi Konseptual….……… 8
G. Metode Penelitian……… 10
Bab II : Kajian Teori
A. Kerangka Konsep………... 16
1. Organisasi Kemasyarakatan……….... 16
2. Aisyiyah………... 18
3. Muslimat………... 21
B. Teori………. 25
1. Teori Peran……….. 25
2. Komunikasi Politik………. 34
Bab III : Setting Penelitian 1. Pendekatan Penelitian………..……….. 40
2. Jenis Penelitian……… 41
3. Lokasi Penelitian………….……… 42
4. Waktu Penelitian………. 43
5. Sumber Data………... 44
6. Pemilihan Subjek Penelitian………. 47
7. Teknik Pengumpulan Data………... 47
8. Instrumen Penelitian………. 50
9. Teknik Analisis Data……… 50
10. Teknik Keabsahan Data……….. 53
Bab IV : Penyajian Dan Analisis Data A. Deskripsi Umum Obyek Penelitian…... 57
1. Kondisi Geografis………...…... 58
3. Kondisi Pemerintahan………... 60 4. Kondisi Infrastruktur………... 61 B. Hasil Penelitian dan Analisis……….………... 63
1. Peranan aktivis cabang Aisyiyah dalam pemilihan Bupati 2015 di
kecamatan Paciran……… 65
2. Peranan Aktivis Pimpinan Anak Cabang Muslimat dalam Pemilihan
Bupati 2015 di Kecamatan Paciran……….... 68 3. Perbandingan Peranan Pimpinan Cabang Aisyiyah dan Pimpinan
Anak Cabang Muslimat dalam pemilihan Bupati 2015 di Kecamatan
Paciran Kabupaten Lamongan………72
Bab V : Penutup
A. Kesimpulan………. 82
B. Saran-Saran………. 83
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Pedoman Wawancara
2. Surat keterangan (bukti melakukan penelitian)
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Di Indonesia terdapat dua organisasi yang cukup banyak mayoritas pengikutnya.
Organisasi tersebut adalah Muhammadiyah dengan Nahdhatul Ulama (NU). Secara bahasa
sering diibaratkan oleh kalangan pengamat Islam Indonesia, Muhammadiyah disebut kaum
"modernis", sedangkan NU disebut sebagai kaum "tradionalis". Julukan ini tentu tidak
berlaku dalam standar yang ketat. Sebab, perbedaan keduanya tidak selalu hitam putih.
Seringkali, pebedaannya hanya bisa dilihat dengan cara membaca persinggungan sejarah
antara kedua organisasi itu.
Perbedaan ideologi kedua organisasi tersebut memunculkan rivalitas. Pada kali ini,
perbedaan keduanya sangat terlihat pada organisasi otonom masing-masing.
Muhammadiyah memiliki Aisyiyah yang anggotanya terdiri dari kumpulan wanita
Muhammadiyah. Sedangkan Muslimat adalah kumpulan wanita dari organisasi Nahdhatul
Ulama.
Aisyiyah adalah sebuah gerakan perempuan Muhammadiyah yang lahir hampir
bersamaan dengan lahirnya organisasi Islam terbesar di Indonesia. Dalam kiprahnya hampir
satu abad di Indonesia, saat ini ‘Aisyiyah telah memiliki 34 Pimpinan Wilayah (setingkat
Propinsi), 370 Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah (setingkat kabupaten), 2332 Pimpinan Cabang
‘Aisyiyah (setingkat Kecamatan) dan 6924 Pimpinan Ranting ‘Aisyiyah (setingkat
Kelurahan). Nama Aisyiyah diambil dari salah satu istri Nabi besar Muhammad SAW,
memilki wawasan mengenai Muhammadiyah. Dengan ini kelebihan-kelebihan Aisyah akan
disertakan dalam penjalanan proses Organisasi Otonom Aisyiyah.1
Sedangkan NU memiliki kumpulan wanita yang disebut Muslimat. Muslimat berdiri
pada 29 Maret 1946. Pada awalnya, NU hanya untuk kaum laki-laki, tetapi seiring dengan
tumbuhnya pergerakan Indonesia, yang juga melibatkan kaum perempuan. Muslimah di
lingkungan NU juga berkeinginan aktif berorganisasi untuk memperjuangkan berbagai
persoalan yang menghinggapi perempuan. Aspirasi ini diterima oleh ulama NU dan untuk
pertama kalinya, keterlibatan perempuan dalam Muktamar NU ke-13 di Menes, wilayah
terpencil yang berada di ujung kulon Banten (1938). Muslimat mulai diterima sebagai
anggota, tetapi belum diizinkan menjadi pengurus. Pada saat itu sudah terdapat perwakilan
perempuan yang menyampaikan pandangannya, yaitu Ny. R. Djuaesih dan Ny Siti Sarah.
Kemajuan mulai mulai terjadi dalam Muktamar ke-14 di Magelang (1939).
Muslimat NU mendengar dari balik tabir, dan terdapat beberapa orang yang berbicara,
malahan pimpinan sidang dipegang oleh Perempuan. Persidangan untuk Muslimat ini untuk
pertama kali dipimpin oleh Siti Juaesih dari Bandung. Beberapa perwakilan yang
mengirimkan utusannya adalah NU Muslimat Muntilan, NU Muslimat Sukaraja, NU
Muslimat Kroya, NU Muslimat Wonosobo, NU Muslimat Surakarta (Solo), NU Muslimat
Magelang, Banatul Arabiyah Magelang, Zahratul Imam Magelang, Islamiyah Purworejo
dan Aisiyah Purworejo. Mereka mendiskusikan tentang pentingnya peranan perempuan
dalam organisasi NU, masyarakat, pendidikan dan dakwah. Pada Muktamar NU selanjutnya
di Surabaya (1940) yang ke-15, telah diusahakan pembentukan badan tersendiri bagi para
perempuan NU, yang telah lengkap aturan organisasi dan para pengurusnya, tetapi belum
terdapat pengakuan resmi.2
1 http://www.muhammadiyah.or.id/content-199-det-aisyiyah.html diakses pada 12 Oktober 2016 pukul 19.21
WIB
2http://muslimatnu.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=67&Itemid=56 diakses pada 12
Pada awalnya Aisyiyah memiliki asas organisasi perempuan Persyarikatan
Muhammadiyah, dengan gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi mungkar, yang
berazaskan Islam serta bersumber pada Al-Quran dan Assunnah. Meskipun ‘Aisyiyah tidak
berafiliasi pada partai politik manapun menjelang pemilihan presiden, ‘Aisyiyah tetap
mendukung politik kebangsaan yang mengutamakan pendidikan politik berbasis moral.
Selaku Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Siti Noordjannah Djohantini menegaskan
bahwa kadernya harus pandai menempatkan diri sebagai organisasi dakwah kemasyarakatan
yang tidak terlibat dalam politik praktis.3
Sebagai persyarikatan, Muhammadiyah-‘Aisyiyah tidak condong pada partai apapun
maupun salah satu calon presiden dalam pemilu presiden yang akan dihelat Juli mendatang.
Sebagai organisasi yang telah berusia 100 tahun, ‘Aisyiyah kini tetap fokus pada usaha
pembangunan masyarakat melalui pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan pelayanan sosial
melalui gerakan pemberdayaan.4 Dalam bidang politik Muhammadiyah berusaha sesuai
dengan khittahnya. Begitu pula dengan Aisyiyah, yang memang Aisyiyah adalah organisasi
otonom dari Muhammadiyah. Khittah secara bahasa berarti langkah atau jalan. Dalam dunia
gerakan Muhammadiyah, Khittah dipakai untuk menyebut panduan langkah-langkah dalam
berjuang. Khittah adalah pedoman yang dipegang oleh Muhammadiyah yang sangat
berguna ketika menghadapi kenyataan yang sebenarnya di masyarakat. Singkatnya khittah
adalah garis-garis garis haluan perjuangan Muhammadiyah. Salah satu Khittah Perjuangan
Muhammadiyah berisi pernyataan tentang Muhammadiyah dan Politik.
Sedangkan Muslimat adalah Otonom dari Nahdhatul Ulama. Pada panggung politik
NU-Muslimat berperan aktif dimulai dari berbagai macam kegiatan politik pada masa Orde
baru, NU-Muslimat sangat berperan pada ranah politik. baru pada pertengahan Orde baru,
3 Siti Noordjannah dalam sambutannya pada pembukaan Sidang Tanwir ‘Aisyiyah II di Gedung Batari, Solo
(06/06).
NU-Muslimat posisinya sudah tidak relevan lagi pada partai politik. Sehingga munculnya
muktamar diadakan 1979 di Semarang yang menegaskan bahwa khittah (kembalinya kepada
visi mula) pada tujuan ideologi.5
Pada penelitian ini, penulis tertarik dan memandang perlu untuk menelaah lebih
lanjut mengenai peranan aktivis organisasi masyarakat keagamaan dalam pemilihan bupati
lamongan 2015. Penelitian ini juga ingin lebih mengetahui peranan Aktivis Pimpinan
Cabang Aisyiyah dan Pimpinan Anak Cabang Muslimat di Kecamatan Paciran Kabupaten
Lamongan pada pemilihan Bupati 2015 lalu.
Pada penelitian ini, Aisyiyah dan Muslimat di kecamatan Paciran memiliki peranan
yang teramat penting untuk semua anggota maupun masyarakat di sekitar daerah Paciran.
Pengaruh organisasi Aisyiyah dan Muslimat di Paciran terlihat pada berbagai bidang,
seperti amal usaha yang telah didirikan kedua organisasi. Begitu pula pengaruh pimpinan
Aisyiyah dan Muslimat salah satunya menjadi faktor yang mempengaruhi anggota serta
masyarakat di Paciran. Pengaruh pada pemilihan bupati merupakan salah satu contoh,
melalui kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan pihak Aisyiyah dan Muslimat maka akan
sedikit banyak mempengaruhi pola pikir anggota serta kader masing-masing organisasi.
Peranan yang terlihat dari pimpinan Muslimat NU di Paciran yang sangat antusias
berperan aktif dalam pemilihan bupati Lamongan 2015. Sehingga kader maupun anggota
ikut berperan aktif pula pada pemilihan bupati 2015 dengan banyaknya anggota yang
mendominasi di wilayah Paciran.
B.Rumusan Masalah
Dari pembahasan diatas, dapat ditarik suatu rumusan masalah sebagai fokus
pembahasan dalam penelitian, diantaranya sebagai berikut:
1. Bagaimana peran aktivis pimpinan cabang Aisyiyah dalam Pemilihan Bupati 2015 di
Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan?
2. Bagaimana peran aktivis Pimpinan Anak Cabang Muslimat dalam Pemilihan Bupati
2015 di Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan?
3. Bagaimana perbandingan peranan pimpinan cabang Aisyiyah dan pimpinan anak cabang
Muslimat dalam pemilihan Bupati 2015 di Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan?
C.Tujuan Penelitian
Selain dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan diadakannya penelitian ini
adalah:
1. Untuk mendeskripsikan peran aktivis pimpinan cabang Aisyiyah dalam Pemilihan Bupati
2015 di Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan
2. Untuk mendeskripsikan peran aktivis Pimpinan Anak Cabang Muslimat dalam Pemilihan
Bupati 2015 di Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan?
3. Untuk memahami perbandingan peranan pimpinan cabang Aisyiyah dan pimpinan anak
cabang Muslimat dalam pemilihan Bupati 2015 di Kecamatan Paciran Kabupaten
Lamongan?
D.Manfaat Penelitian
Dari hasil tulisan ini diharapkan akan memperoleh manfaat:
1. Teoritis
Secara teoritis yaitu Untuk memperkaya pengetahuan keilmuan mengenai Peranan
aktivis dari Organisasi Masyarakat yaitu Aisyiyah dan Muslimat dalam kaitannya
terhadap pengaruh peranannya pada anggota serta kader dalam Pemilihan Bupati 2015
2. Praktis
Secara Praktis adalah untuk dijadikan bacaan, refrensi, dan acuan bagi penelitian
selanjutnya, terutama yang berkaitan tentang Organisasi Masyarakat yaitu Aisyiyah dan
Muslimat dalam kaitannya terhadap mobilisasi anggotanya.
E.Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian terdahulu dari berbagai penelusuran yang telah penulis lakukan
terhadap literatur, dan juga karya ilmiah skripsi yang membahas yakni:
1. Skripsi berjudul: “Peran Pimpinan Pusat Aisyiyah dalam Pemberdayaan Politik
Perempuan.” Ditulis oleh Jajang Kurnia dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2011. Membahas mengenai
peranan Elit Aisyiyah mengenai pemberdayaan politik perempuan.6
2. Skripsi berjudul: “Nahdhatul Ulama (NU) di Era Reformasi: Studi tentang Muslimat NU
periode 2011-2014 dan Khittah NU 1926.” Ditulis oleh Anisa Hidayati dari Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2015.
Membahas mengenai peranan Muslimat NU pada kancah politik serta NU pada khittah
yang perah dilakukan pada 1926.7
3. Jurnal berjudul: “Partisipasi Politik Nu dan Kader Muslimat dalam Lintas Sejarah” ditulis
oleh Munawir Haris dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Sorong, Papua Barat.
Membahas kontribusi politik NU dan Muslimat NU dalam lintasan sejarah bangsa.
Beragam data menunjukkan bahwa NU dan muslimat NU berpartisipasi pasif dan aktif
dalam politik nasional. Pada masa kolonial NU masuk dalam tipologi partisipan pasif,
namun dalam masa berikutnya mengambil bentuk partisipan aktif yang non-konvesional.
6repository.uinjkt.ac.id
F. Definisi Konseptual
1. Organisasi Kemasyarakatan
Organisasi Kemasyarakatan merupakan suatu organisasi yang dibentuk oleh
anggota yang terdiri dari sekumpulan masyarakat warga Negara Republik Indonesia
secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, kepercayaan,
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, guna berperan serta dalam pembangunan dalam rangka
mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan republic Indonesia yang
berdasarkan Pancasila.8
Terdapat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 Tentang
Organisasi Kemasyarakatan. Adapun pasal-pasal yang mencantumkan adanya
Organisasi Kemsyarakatan yaitu pada Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28, Pasal 28C ayat (2),
Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
2. Aisyiyah
Aisyiyah sebagai salah satu organisasi ortonom bagi Wanita Muhammadiyah yang
didirikan di Yogyakarta pada 27 Rajab 1335 H bertepatan dengan 19 Mei 1917 oleh Nyai
Ahmad Dahlan. Menjelang usia seabad, 'Aisyiyah yang merupakan komponen
perempuan Persyarikatan Muhammadiyah telah memberikan corak tersendiri dalam
ranah sosial, pendidikan, kesehatan, dan keagamaan yang selama ini menjadi titik tolak
gerakannya. Gerakan 'Aisyiyah dari waktu ke waktu terus berkembang dan memberikan
manfaat bagi peningkatan dan kemajuan harkat dan martabat perempuan Indonesia. Hasil
yang sangat nyata adalah wujud amal usaha yang terdiri atas ribuan taman kanak-kanak,
sekolah dasar, hingga perguruan tinggi.9
3. Muslimat
Sejarah pergerakan wanita NU memiliki akar kesejarahan panjang dengan
pergunulan yang amat sengit yang akhirnya memunculkan berbagai gerakan wanita baik
Muslimat, fatayat hingga Ikatan pelajar putri NU. Sejarah mencatat bahwa kongres NU
di Menes tahun 1938 itu merupakan forum yang memiliki arti tersendiri bagi proses
katalisis terbentuknya organisasi Muslimat NU. Sejak kelahirannya pada tahun 1926, NU
adalah organisasi yang anggotanya hanyalah kaum laki-laki belaka. Para ulama NU saat
itu masih berpendapat bahwa wanita belum masanya aktif di organisasi. Anggapan
bahwa ruang gerak wanita cukuplah di rumah saja masih kuat melekat pada umumnya
warga NU saat itu. Hal itu terus berlangsung hingga terjadi polarisasi pendapat yang
cukup hangat tentang perlu tidaknya wanita berkecimpung dalam organisasi.
G.Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini adapun metode yang digunakan adalah metode kualitatif,
dimana metode pendekatan kualitatif bahwa metode ini menggunakan keterangan dari
informan sebagai subjek dari sebuah penelitian. Skripsi ini menggunakan metode
penelitian kualitatif. Dimana penyajian data tidak dilakukan dengan mengungkapkannya
secara numeric sebagaimana penyajian data secara kuantitatif. Dari sisi metodologis, tata
cara mengungkapkan pemikiran seseorang atau pandangan kelompok orang adalah
dengan menggunakan penelitian secara kualitatif. Metodelogi kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Individu dipandang sebagai bagian dari
suatu keutuhan, bukan sebagai variabel atau hipotesis.
Pada penelitian itu bermacam-macam jenisnya, dan dapat dikelompokkan
penelitian yang dilaksanakan adalah berupa penelitian yang bersifat deskriptif. Metode
deskriptif analisis yaitu metode dimana penulis mengumpulkan data-data penelitian yang
diperoleh dari objek penelitian dan literature-literatur lainnya. Kemudian menguraikan
secara rinci untuk mengetahui permasalahan penelitian dan mencari penyelesaiannya.10
Sedangkan, metode deskriptif kualitatif yang berbasis studi kasus yaitu penelitian
yang dimaksud untuk memahami tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian
misalnya perilaku, presepsi, motivasi dan tindakan dan dengan cara deskripsi melalui
kata-kata dan bahasa pada konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai macam metode alamiah.11
2. Penentuan Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini bertempat di Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan.
3. Informan Penelitian
Dalam penelitian ini merujuk pada aktivis Aisyiyah yaitu dengan Ketua Pimpinan
cabang Aisyiyah, Bendahara Cabang Aisyiyah Paciran Lamongan, kader Aisyiyah di
kecamatan Paciran, Ketua Pimpinan Anak Cabang Muslimat daerah Paciran Lamongan,
wakil ketua Pimpinan Anak Cabang Muslimat daerah Paciran Lamongan, dan Bendahara
Pimpinan Anak Cabang Muslimat daerah Paciran Lamongan. Dengan informasi yang
didapat akan mempermudah untuk menyelesaikan dan dapat menganalisis data tersebut
untuk membuat hasil penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
Hal yang perlu diperhatikan dalam menyelesaikan tugas adalah perlu mendapatkan
data-data yang akan dianalisis. Beberapa teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
adalah:
a. Metode Wawancara
Metode wawancara berikut menggunakan Purposive Sampling. Teknik
sampling ini sangat tepat untuk penelitian yang bersifat kualitatif atau penelitian
yang tidak melakukan generalisasi. Purposive sampling merupakan teknik
penarikan sampel yang dilakukan secara sengaja serta memiliki narasumber
atau informan yang sudah terdeteksi sebelumnya. Wawancara juga merupakan
teknik pengumpulan data melalui komunikasi langsung antara peneliti dengan
narasumber.
Pada penelitian ini wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman
wawancara. Dalam proses wawancara dengan menggunakan pedoman umum
wawancara ini, serta mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan
urutan pertanyaan, bahkan mungkin tidak terbentuk pertanyaan yang eksplisit.
b. Metode Wawancara
Metode ini adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian
dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara si penanya dengan si penjawab
dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara).
Wawancara merupakan pertemuan antara dua orang untuk bertukar informasi
dan ide melalui tanya jawab sehingga dapat dikontruksikan makna dalam suatu topik
tertentu.12 Wawancara merupakan alat mengecek ulang atau pembuktian terhadap
informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya dan juga merupakan teknik
komunikasi langsung antara peneliti dan objek yang diteliti.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah mengumpulkan data dengan cara mengalir atau
mengambil data-data dari catatan, dokumentasi, administrasi yang sesuai dengan
masalah yang diteliti. Dalam hal ini dokumentasi diperoleh melalui
dokumen-dokumen atau arsip-arsip dari lembaga yang di teliti.13
Menurut Suharsimi, dokumentasi ialah mencari data mengenai suatu hal yang
berasal dari pihak lain yang berupa catatan, buku, surat kabar. Yaitu mencari data
mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat, majalah dan
sebagainya.14
5. Analisa
Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil
observasi, wawancara dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang
kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Analisis data
merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan
satuan dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja
sebagaimana yang disarankan oleh data.15
Penelitian ini menggunakan model analisis data yang dikembangkan oleh Miles
dan Huberman yang terdiri dari tiga hal utama/alur kegiatan yang akan dilaksanakan dari
awal hingga selesai, yaitu: reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
13 Nasution, Metodologi Research Penelitian Ilmiah, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2003 ), 143 14 Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), 120
H.Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh dan jelas terhadap suatu penelitian,
maka hasil penelitian disusun sistematika tiap bab sebagai berikut:
Bab satu, Pendahuluan. Pada bab ini di dalamnya memuat sub bahasan, meliputi:
Latar Belakang masalah untuk menjelaskan apa yang melatar-belakanginya dan mengapa
penelitian ini perlu dilakukan. Kemudian rumusan masalah yang dimaksudkan untuk
mempertegas pokok-pokok masalah yang akan diteliti agar lebih terfokus dilanjutkan
dengan tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, yang dilanjutkan dengan
metode penelitian, dan terakhir sitematika penulisan.
Bab dua, Kajian Teori. Bab ini akan membahas tentang sejarah lahirnya serta
perkembangan organisasi kemasyarakatan berbasis keagamaan, yang disini akan
mengangkat tentang organisasi wanita yaitu Aisyiyah dan Muslimat yang ada di kecamatan
Paciran kabupaten Lamongan.
Bab tiga, Setting Penelitian. Bab ini membahas bagaimana pendekatan dan jenis
penelitian ini dilakukan,penentuan lokasi, cara memperoleh sumber data, pemilihan subyek
penelitian, teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, teknik analisis data mengenai
panan Aktivis Cabang Aisyiyah dengan Aktivis Anak Cabang Muslimat di kecamatan
Paciran kabupaten Lamongan pada Pemilihan Bupati 2015 lalu.
Bab empat yaitu penyajian dan analisis data yaitu mendeskripsikan dengan
manyajikan data serta memaknai hasil penelitian tentang peranan aktivis organisasi
masyarakat berbasis keagamaan dalam pemilihan bupati Lamongan 2015, mengetahui
peranan aktivis Pimpinan Cabang Aisyiyah dan Aktivis Pimpinan Anak Cabang Muslimat
di Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan.
Bab lima yaitu Penutup. Bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan,
BAB II
KAJIAN TEORI
A.Kerangka Konsep
1. Organisasi Kemasyarakatan
Organisasi kemasyarakatan adalah perkumpulan sosial dibentuk
masyarakat atau berkumpulnya banyak orang dengan melakukan sesuatu hal
tertentu dan memiliki tujuan yang sama. Sebuah organisasi dapat dibentuk
karena dipengaruhi beberapa aspek, adapun aspek yang dimaksud
diantaranya penyatuan visi, misi, serta tujuan yang sama dengan perwujudan
eksistensi sekelompok orang.
Adanya organisasi masyarakat telah diatur oleh pemerintah dengan
adanya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1985 mengenai
Organisasi Kemasyarakatan. Menurut UU RI Nomor 8 tahun 1985 pasal 1
Organisasi Masyarakat dibentuk oleh anggota masyarakat warga Negara
Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi,
fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk
berperanserta dalam pembangunan mencapai tujuan nasional dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Organisasi Kemasyarakatan telah ditetapkan Pasal 2 UU Nomor 8 tahun
1985 bahwa Organisasi Kemasyarakatan berasaskan Pancasila sebagai
satu-satunya asas (asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
Organisasi Kemasyarakatan yaitu Kekhususan Ormas seperti yang ada saat
ini, contohnya dalam bidang lingkungan hidup (Walhi, Kalhi, dll), hukum,
Agama, Budaya, Kesehatan. Organisasi Kemasyarakatan memiliki satu sifat
kekhususan dengan memiliki kesamaan, misalnya kesamaan profesi,
kegiatan, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan.
Pada Pasal 5d UU Nomor 8 tahun 1985 bahwa Organisasi
Kemasyarakatan memiliki sarana aspirasi anggota, dan sebagai sarana
komunikasi sosial timbal balik antar anggota dan/atau antar Organisasi
Kemasyarakatan, dan antara Organisasi Kemasyarakatan dengan organisasi
kekuatan sosial politik, Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, dan
Pemerintah.
Menurut pakar bernama Herbert G. Hicks mengemukakan beberapa
alasan bagaimana organisasi kemasyarakatan bisa terbentuk. Manusia
sebagai zoon politicon atau makhluk hidup yang secara berkelompok, maka
manusia mersa memerlukan adanya perkumpulan atau berorganisasi demi
pergaulan maupun memenuhi kebutuhan dan tujuannya. Selanjutnya dapat
saling tolong menolong, karena seringkali bantuan organisasi manusia dapat
dilakukan sehingga akan meringankan beban seseorang jika terdapat
kesulitan yang dihadapi anggota organisasi. Pengetahuan merupakan alasan
berikutnya karena pengetahuan yang diperoleh generasi-generasi sebelumnya
yang telah dihimpun.
Organisasi Kemasyarakatn juga memiliki beberapa fungsi menurut
Kemasyarakatan sebagai wadah penyalur kegiatan karena organisasi
kemasyarakatan dibentuk atas dasar sifat kekhususannya masing-masing.
Maka sudah semestinya apabila organisasi kemasyarakatan berusaha
melakukan kegiatan sesuai dengan kepentingan para anggotanya. Bukan
hanya itu, organisasi mempunyai kegunaan yaitu sebagai pembinaan dan
pengembangan anggotanya dalam usaha mewujudkan tujuan organisasi. Hal
ini berarti bahwa organisasi kemasyarakatan sebagai wadah pembinaan dan
pengembangan anggotanya merupakan tempat penempaan kepemimpinan
dan peningkatan ketrampilan yang dapat disumbangkan dalam pembangunan
di segala bidang. Peran serta pembangunan nasional akan tercapai karena
adanya organisasi kemasyarakatan yang berasaskan Pancasila.
2. Aisyiyah
Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam yang besar di
Indonesia, lahir pada tanggal 8 Zulhijah 1330 H bertepatan dengan tanggal
18 November 1912 tepat di Kampung Kauman memiliki tujuan menjunjung
dan menegakkan syariat agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya, adil, makmur dan diridhoi oleh Allah SWT.
Muhammadiyah lahir karena keprihatinan dari seorang tokoh atau ulama
yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KH. Ahmad
Dahlan pada saat itu melihat adanya kondisi masyarakat Islam dalam
kehidupan yang masih banyak hal-hal yang menyimpang, seperti kelemahan
pendidikan Islam, dan masuknya budaya lain yang dianut kebanyakan
Gerakan Muhammadiyah atau lebih dikenal dengan gerakan
pembaharu muncul akibat pada saat itu keadaan ummat Islam pada waktu itu
dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat
mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran
Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau
memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya
sebagai Khatib dan para pedagang. Sedangkan ketika itu beliau merupakan
pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang khatib dan seorang
pedagang.
Muhammadiyah menginginkan umat Islam kembali pada ajaran Islam
yang sebenar-benarnya dengan dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar yaitu
menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari hal yang munkar sesuai dengan
surat Ali Imran ayat 104. Sehingga dakwah yang dijalankan Muhammadiyah
merupakan refleksi pada perintah Al-Qurán.
Organisasi ini dari waktu ke waktu terus berkembang serta memberikan
manfaat pada masyarakat luas. Misalnya dengan mendirikan banyak amal
usaha yang berkembang dengan baik. Pembinaan terhadap kaum wanita juga
merupakan suatu kekhususan yang diamalkan oleh Muhammadiyah. Sejak
didirikannya Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan sangat memperhatikan
pembinaan kaum wanita. Pada saat itu beliau bersama istrinya Siti Walidah
melihat potensi yang dimiliki kaum wanita untuk dijadikan pemimpin serta
pengurus dalam organisasi wanita.dengan membina mereka seta mendidik
Kelompok pengajian pertama didirikan dengan nama “Sopo
Tresno”degan beranggotakan kaum wanita saja dengan anggota dari berbagai
usia. Pemberian nama tersebut merupakan hal yang kongkrit dan jelas,
sehingga KH. Ahmad Dahlan mengadakan pertemuan dengan para tokoh
Muhammadiyah lainnya, diantaranya KH. Mokhtar, Ki Bagus Hadikusumo,
KH. Fakhruddin, serta Pimpinan Muhammadiyah lainnya. Pemberian nama
muncul pertama kali dalam rapat adalah “Fatimah”, tetapi kurang disetujui
anggota rapat, sehingga KH. Fakhruddin memberikan usulan agar diberi
nama Äisyiyah” dan disetujui oleh para anggota forum rapat. Peresmian
berdirinya Aisyiyah yaitu pada tanggal 27 Rajab 1433 H yang bertepatan
dengan 19 Mei 1917 bersamaan dengan peringatan Isra’ Mi’raj. ‘Aisyiyah
pertama kali dipimpin oleh Siti Bariyah berdasarkan hasil konggres
Muhammadiyah. Yang memimpin pada periode 1917-1920.
Selaku organisasi komponen perempuan gerakan Islam
Muhammadiyah, Aisyiyah mempunyai peran dan melakukan usaha untuk
memperbaharui/memperbaiki pemahaman terhadap agama Islam untuk
dikembalikan pada ajaran Islam yang murni yang bersumber pada al-Qur’an
dan as-Sunnah. Selain itu ‘Aisyiyah sudah mulai merintis Pendidikan Usia
Dini (PAUD) yang kemudian berkembang menjadi Taman Kanak-kanak
bernama TK Bustanul Athfal, yang kemudian dilanjutkan merintis
sekolah-sekolah tingkat yang lebih atas. Selain itu Aisyyah juga berperan untuk
gerakan, dinamisasi pemikiran, orientasi aksi gerakan, dan pelangsung
gerakan Muhammadiyah sesuai bidang gerakannya.
Seperti halnya Muhammadiyah, berdirinya Aisyiyah dilatarbelakangi
oleh adanya keprihatinan mendalam akan kondisi bangsa Indonesia,
khususnya kaum perempuan. Pada awal abad ke 20, paham budaya yang
mensubordinasi derajat dan kedudukan kaum perempuan telah menjadi
sumber kebodohan dan ketertinggalan.1
Semuanya bentuk penyimpangan-penyimpangan dalam melaksanakan
ajaran Nabi, memang pada waktu itu masyarakat mengalami krisis, umat
Islam sudah melupakan tuntunan ajaran Islam yang murni, mereka membuat
bid'ah, khurafat, dan syirik, ini yang membuat mereka jauh dari tuntunan
agama yang sebenarnya.
3. Muslimat
Muslimat Nahdhatul Ulama merupakan organisasi wanita di Indonesia
dan sebagai salah satu badan otonom Nahdhatul Ulama. Sejarah pergerakan
wanita Nahdhatul Ulama memiliki sejarah panjang dengan memunculkan
berbagai gerakan wanita baik Muslimat, Fatayat, hingga Ikatan Pelajar Putri
Nahdhatul Ulama.
Sejarah Muslimat NU berawal dari Muktamar XV NU, 9-15 Desember
1940 di Surabaya yang dalam salah satu poinnya menjadikan Muslimat NU
bagian dari NU dengan nama NOM (Nahdlatul Oelama Moeslimat).
Muktamar NU XVI yang berlangsung dari tanggal 26-29 Maret 1946 di
Purwokerto Jawa Tengah mengesahkan dan meresmikan berdirinya
"Nahdlatul Oelama Moeslimat" dengan singkatan NOM, 29 Maret 1946
bertepatan dengan 26 Rabi'ul Akhir 1365 H.Tanggal tersebut kemudian
ditetapkan sebagai hari lahir Muslimat NU sebagai wadah perjuangan wanita
Islam Ahlus Sunnah Wal Jama`ah dalam mengabdi kepada agama, bangsa
dan negara.Pada Muktamar NU XIX, 28 Mei 1952 di Palembang, NOM
menjadi badan otonom dari NU dengan nama baru Muslimat NU.
Sejarah mencatat bahwa kongres Nahdhatul Ulama pada tahun 1938
merupakan forum yang memiliki arti tersendiri bagi terbentuknya organisasi
Muslimat Nahdhatul Ulama. Sejak kelahirannya Nahdhatul Ulama pada
tahun 1926, Nahdhatul Ulama adalah organisasi yang anggotanya hanyalah
kaum laki-laki. Para ulama nahdhatul Ulama saat itu masih berpendapat
bahwa wanita belum masanya aktif di organisasi. Anggapan bahwa ruang
gerak wanita cukup di rumah saja masih kat melekat pada umumnya warga
Nahdhatul Ulama pada saat itu. Hal itu terus berlangsung hingga terjadi
polarisasi pendapat yang cukup hangat tentang perlu tidaknya wanita
berkecimpung di organisasi.2
Dalam kongres Nahdhatul Ulama, untuk pertama kalinya tampil
seorang Muslimat Nahdhatul Ulama di atas podium dengan berbicara tentang
perlunya wanita Nahdhatul Ulama mendapatkan hak yang sama dngan kaum
lelaki dalam menerima didikan agama melalui organisasi Nahdhtul Ulama.
Dalam kongres Nahdhatul Ulama ke XII yakni pada tanggal 15 Juni 1938
wanita telah resmi diterima menjadi anggota Nahdhatul Ulama meskipun sifat
keanggotaannya hanya sebagai pendengar dan pengikut saja, tanpa
diperbolehkan menduduki kursi kepengurusan. Hal seperti itu berlangsung
hingga kongres Nahdhatul Ulama ke XV di Surabaya tahun 1940.
Dalam kongres tersebut terjadi pembahasan yang cukup sengit tentang
usulan Muslimat yang hendak menjadi bagian tersendiri, mempunyai
kepengurusan tersendiri dalam Nahdhatul Ulama. Banyak terjadi pro kontra
menyangkut penerimaan usulan tersebut, sehingga kongres sepakat
menyerahkan perkara itu kepada PB Syuriah untuk diputuskan.
Bersamaan dengan kongres Nahdhatul Ulama yakni kongres Nahdhatul
Ulama ke XVI organisasi Muslimat Nahdhatul Ulama secara resmi dibentuk,
tepatnya pada tanggal 29 Maret 1946. Tanggal tersebut ditetapkan sebagai
hari lahir Muslimat Nahdhatul Ulama sebagai wadah perjuangan wanita Islam
Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam mengabdi kepada agama, bangsa dan
Negara. Pada saat itu ketua Muslimat Nahdhatul Ulama diketuai oleh
Khadijah Dahlan asal Pasuruan, yakni merupakan istri dari pencetus lahirnya
Muslimat Nahdhatul Ulama yang bernama Dahlan.3
Muslimat NU berakidah atau berasas Islam, menurut faham Ahlus
Sunnah Waljama`ah dan menganut salah satu dari madzhab empat: Hanafi,
Syafi`i, Hambali dan Maliki. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Muslimat NU berpedoman kepada Tuhan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan, serta,
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Tujuan Muslimat NU adalah terwujudnya perempuan Indonesia yang
sadar beragama berbangsa dan bernegara, berkualitas, mandiri dan bertakwa
kepada Allah SWT, sadar akan kewajiban dan haknya menurut ajaran Islam
sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat, terlaksananya tujuan
Jam`iyah NU yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang merata
dan diridhoi Allah SWT. (Kongres 15 MNU.Materi Kongres XV
MNU.2005-2010: 23-27).
Pada perkembangan selanjutnya, Muslimat NU bergabung dengan
Kongres Wanita Indonesia (Kowani), disini Kowani merupakan kelanjutan
dari Kongres Perempuan Indonesia yang diselenggarakan pada tahun 1928
sejak tahun 1956. Peran Muslimat NU di Kowani mulai terlihat dalam dekade
1960-an. Peran Muslimat NU pada tahun 1967 terlihat nyata, ketika Ketua
Umum Muslimat saat itu, Ny. Machmudah Mawardi mendirikan Badan
Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia Badan Musyawarah
Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) merupakan wadah untuk
mempersatukan gerak langkah organisasi-organisasi perempuan Islam dalam
hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama. Pada dasarnya, Muslimat
NU merupakan wadah perempuan yang secara otonom56 membidangi bidang
keagamaan, pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan masalah sosial
kemasyarakatan. Muslimat NU mengangkat isu strategis meliputi: penataan
optimalisasi fungsi institusi keagamaan, penanaman dan pelaksanaan
nilai-nilai Aswaja, membangun jaringan kerja dan meningkatkan kualitas SDM,
yang tercantum dalam program kerja dalam 10 (sepuluh) bidang yang
meliputi: bidang organisasi, da`wah, sosial dan lingkungan hidup, kesehatan
dan kependudukan, Pendidikan dan pengkaderan, ekonomi-koperasi, tenaga
kerja, hubungan luar negeri, penelitian dan pengembangan, Hukum dan
advokasi.4
B.Teori
1. Teori Peran
Sejak awal kelahirannya, konsepsi peran telah menampakkan aspek
kekhasan dari teori ini, sehingga analis peran tertarik akan kompleksitas
aspek perilaku manusia. Hal-hal yang menarik lainnya bukan saja yang
dikaitkan dengan perilaku individu. Perilaku sekelompok individu ataupun
kumpulan individu. Aspek perilaku yang juga menarik perhatian adalah
berbagai adegan dalam kehidupan sosial yang nyata. Bentuk perilaku yang
nyata yang begitu kompleks, yang berupa kumpulan orang yang bercorak
ragam posisi sosialnya, pengkhususan dan pembagian kerjanya, komunikasi,
perilaku belajar dan motivasinya, cara pemberian sanksinya, konformitas
serta independensi antar pelaku dalam suatu kancah sosial, semua itu menjadi
ranah dalam studi peran.
4 7Himpunan Keputusan Kongres XV Muslimat NU, Batam, 29 Maret - 1 April 2006 (Jakarta: PP
Kehidupan sosial nyata, membawakan peran berarti menduduki suatu
posisi dalam masyarakat. Seperti halnya peristiwa peran ini mengedepankan
dengan pembawaan “lakon” oleh seorang pelaku dalam panggung sandiwara.
Sebagaimana patuhnya seorang pelaku dalam Script (semacam skenario),
instruksi dari sutradara, peran dari sesama pelaku, seorang pelaku peran
dalam kehidupan sosial pun mengalami hal hampir sama. Pengaruh yang
memberikan sumbangan bagi terbangunnya perspektif teori peran ini
merumuskan tiga pokok yang menjadi prioritas dalam studi. Pertama, ranah
yang luas dan pelik dari fenomena peran tersebut harus dianalisis bagian demi
bagian, serta harus didefinisikan secara jelas. Kedua, pengartikulasian kata
dalam teori peran tersebut diupayakan setepat-tepatnya dan tak ambigu yang
lebih bersifat komperhensif untuk mengungkap fenomena yang relevan yang
membutuhkan penyebutan, dan lebih kuat menetapkannya sebagai bahasa
tunggal, yang dispakati sebagai bahasa teknis. Ketiga,pengetahuan teoritis
dan empiris yang diperoleh di lapangan, harus ditinjau kembali, dinilai
kembali serta diorganisasikan ke dalam pernyataan yang bersifat umum.
Peranan sosial bermula dari kata yang dipinjam dari dunia sandiwara
(drama). Sebuah drama terdiri dari suatu “lakon” dan sejumlah pelaku. Lakon
dipecah dalam peranan-peranan yang jumlahnya sama dengan jumlah tokoh
yang hendak ditampilkan dalam pementasan itu. Pada umumnya setiap
peranan (role) diserahkan kepada seorang pemain yang dianggap memiliki
sifat-sifat dari tokoh yang dipentaskan. Seorang pelaku (pemain) harus
hadapan para penonton. Sifatnya sementara, hanya selama drama itu
brlangsung. Sebelum dan sesudahnya pelaku tresebut bertingkah laku biasa.
Istilah peranan (dalam sandiwara) oleh para ahli sosiologi dialihkan
ke “panggung masyarakat”, diberi isi dan fungsi baru yangdisebut “peranan
sosial”. Terdapat perbedaan antara pengertian “peranan sandiwara” dan
“peranan sosial”. Perbedaan yang terpenting ialah bahwa pelaku-pelaku
peranan sosial tidak mementaskan tokoh-tokoh yang khayal, tetapi tokoh
yang nyata dan masih ada, yang tak lain “pemain itu sendiri”. Pementasan
juga tidak untuk sementara, tetapi selama pelaku itu hidup.
Istilah “peranan” menunjukkan bahwa masyarakat “memiliki lakon”,
bahkan masyarakat adalah lakon itu sendiri. Masyarakat adalah suatu lakon
yang masih aktual, lakon yang besar, yang terdiri dari bagian-bagian dan
pementasannya diserahkan kepada anggota-anggota masyarakat. Lakon
masyarakat itu disebut fungsi atau tugas masyarakat. Jadi peranan sosial
adalah bagian dari fungsi sosial masyarakat yang dilaksanakan oleh orang
atau kelompok tertentu, menurut pola kelakuan lahiriah dan batiniah yang
telah ditentukan.
Peranan sosial yang ada di dalam masyarakat dapat diklasifikasi
menurut bermacam-macam cara sesuai dengan banyaknya sudut pandang
yang diambil. Berikut jenis-jenis peranan sosial5:
1. Peranan yang Diharapkan (Expected Roles) dan Peranan yang Disesuaikan
(Actual Roles)
Masyarakat menghendaki peranan yang diharapkan dilaksanakan
secermat-cermatnya, lengkap, sesuai dengan peraturan. Peranan jenis ini
antara lain peranan hakim, peranan protokoler diplomatic dan sebagainya.
Peranan-peranan ini merupakan peranan yang “tidak dapat ditawar”, harus
dilaksanakan seperti yang ditentukan. Disamping peranan tersebut, terdapat
peranan lain yang pelaksanaannya lebih luwes, dapat disesuaikan dengan
situasi dan kondisi tertentu, bahkan kadang-kadang harus disesuaikan.
Peranan ini disebut peranan yang disesuaikan. Peranan yang disesuaikan
mungkin tidak cocok dengan situai setempat, tetapi kekurangan yang
muncul dianggap wajar oleh masyarakat.
Peranan yang diharapkan tidak selalu dapat dilakukan secara murni
dan lengkap. Hal ini dapat dilihat dari manusia yang melaksanakan peranan
itu. Setiap manusia memiliki watak yang khas pribadi, memiliki rasa
tersendiri terhadap tugasnya. Pengalaman, usia, jenis kelamin, dan tempat
pendidikan akan membentuk seseorang sebagai pribadi yang khas. Walau
seseorang memenuhi syarat-syarat yang formal untuk memangku dan
memainkan peranan tertentu, sama seperti rekan-rekan sejabatan, dia akan
“mementaskan” peranannya dengan warna dan rasa yang berbeda.
2. Peranan Bawaan (Ascribed Roles) dan Peranan Pilihan (Achieved Roles)
Dua jenis peranan tersebut muncul sejajar dengan dua jenis status
yang senama, yaitu ascribed status dan achieved status, atau status yang
diperoleh tanpa usaha sendiri dan status yang diperoleh atas usaha sendiri.
peranan. Peranan bawaan muncul dari status bawaan, peranan pilihan
muncul dari status pilihan.
Peranan bawaan adalah peranan yang diperoleh secara otomatis
bukan karena usaha. Kadang-kadang secara tidak langsung terdapat unsur
pilihn untuk memperoleh peranan bawaan, misalnya peranan ibu dan bapak.
Sebagian besar peranan (pekerjaan) hanya dpat diperoleh melalui usaha
orang yang berkepetingan. Jenis peranan inilah yang disebut dengan
peranan pilihan. Orang yang bersangkutan harus menentukan sendiri
peranan (pekerjaan) yang ia inginkan. Jika pilihan jatuh pada satu peranan
yang susuai degan bakatnya, ia masih harus berusaha dan belajar
memahirkan diri dalam peranan itu melalui jalur pendidikan serta latihan.
3. Peranan Kunci (Key Roles) dan Peranan Tambahan (Supplementary Roles)
a. Peranan kunci muncul dari kedudukan (status) kunci. Peranan utama
timbul dari kedudukan utama. Seseorang yang menempati kedudukan
utama akan memainkan peranan utama. Dalam bahasa populis status
kunci sering dikatakan kedudukan “penting” dan peran kunci dikatakan
peranan “penting” atau “tugas penting”. Tetapi kedudukan penting tidak
selalu status kunci, demikian pula tugas penting tidak selalu sama
dengan peranan kunci. Yang dimaksud dengan kedudukan kunci ialah
kedudukan yang dominan sedemikian rupa, sehingga kedudukan lain
harus mengalah terhadapnya. Jika ditainjau dari orangnya, kedudukan
kunci merupakan kedudukan yang memainkan pengaruh besar atas
menyita sebagian besar perhatian pemegangnya. Kegiatan-kegiatan lain
yang bukan peranan utama harus dikalahkan apabila peranan utama itu
memanggilnya. Peranan kunci seseorang menjadi sumber utama dari
penghidupan orang itu. Seseorang mungkin ikut aktif dalam aneka
kegiatan, dan mendapat penghasilan tambahan dari kegiatan-kegiatan
itu, tetapi itu semua adalah penghasilan sekunder. Peranan kunci
menuntut pendidikan dan latihan tersendiri melalui jalur pendidikan
atau latihan formal maupun informal. Peranan kunci menuntut
pertanggungjawaban terbesar dari pemegangnya terhadap masyarakat
umumnya dan terhadap instansi pemegang status khususnya, di mana
yang bersangkutan menjadi anggota.
b. Peranan tambahan tidak dijadikan faktor terpenting untuk
mengembangkan kepribadian pemegang peranan itu, melainkan hanya
untuk menambah pengalamannya. Orang yang melakukan peranan
tambahan tidak mencurahkan perhatiannya sebesar yang dia curahkan
kepada peranan kunci. Tugas-tugas sampingan dapat mendatangkan
penghasilan relatif besar, tetapi tidak dipandang sebagi sumber utama
penghidupan orang yang bersangkutan. Peranan tambahan itu mungkin
dilakukan berdasarkan ijazah keahlian tertentu, tetapi baik pemegang
ijazah itu maupun masyarakat sekitarnya tidak memandangnya setinggi
dia dan masyarakat tetap memandang ijazah peranan utamanya. Peranan
tambahan tidak menuntutpertanggungjawaban seberat peranan utama.
Secara empiris dapat diketahui, bahwa setiap orang melakukan
peranan sebanyak kumpulan yang dimasukinya. Peranan golongan
mengandung arti sama dengan peranan kelompok, karena orang-orang yang
memiliki ciri yang sama. Dalam hal ini ialah peranan yang sama dan
mewujudkan ketegori sosial. Sedangkan peranan bagian ini diperankan oleh
orang tertentu yang memiliki jabatan atau kedudukan tertentu pada instansi.
5. Peranan Tinggi, Peranan Menengah, Peranan Rendah
Setiap peranan sosial berasal langsung dari status sosial, maka
peranan tinggi, menengah, dan rendah tergantung pada tinggi rendahnya
status sosial ditempati seseorang atau golongan.
Konsep untuk menggolongkan fenomena peran meliputi beberapa
konsep. Pertama, konsep-konsep yang menggambarkan aspek yang
signifikan dari perilaku dalam kehidupan nyata yang kompleks. Kedua,
konsep-konsep ini dimaksudkan sebagai konsep yang umum, mandiri, tajam,
dan komperhensif, meskipun bukan merupakan konsep yang tuntas dan
lengkap. Ketiga, dengan penggolongan, baik pada konsep, ubahan, maupun
ciri-ciri fenomenanya pembaca akan dipermudah dalam mendefinisikan mana
yang termasuk hal yang deskriptif, teoritis ataupun keduanya. Terdapat
penggolongan dalam teori ini, Pertama, penggolongan yang mengacu pada
apa yang disebut “acuan fenomenal” misalkan, istilah individual memiliki
acuan fenomenal berupa seseorang, norma memiliki acuan fenomenal berupa
suatu perilaku, sedangkan posisi memiliki acuan fenomenal berupa orang dan
Kedua, penggolongan yang merujuk pada operasi konseptual yang
disertakan dalam pembentukan suatu sub kelas dari acuan fenomenal.
“individual” dalam hal ini merupakan suatu konsep yang didasarkan pada
suatu pembagian analitis dari acuan fenomenal berupa orang. Ketiga,
formulasi kriteria yang beraneka ragam, yang digunakan untuk
mengelompokkan sub-kelas dari acuan fenomenal. Keempat, konsep
golongan, yang memiliki elemen kategoris, misalnya pembagian menurut
jenis pekerjaan. Dari uraian diatas bisa disimpulkan bahwa peran merupakan
seperangkat patokan yang membatasi apa perilaku yang mesti dilakukan oleh
seseorang yang menduduki suatu posisi. Dengan demikian, suatu posisi dapat
saja dibedakan menurut perilaku maupun bukan perilaku.6
Adapun makna dari kata “peran” dapat dijelaskan secara historis, yang
menyebutkan konsep peran semula dipinjam dari kalangan drama atau teater
yang hidup subur pada zaman Yunani kuno atau Romawi. Dalam arti ini,
peran menunjuk pada karakterisasi yang dimainkan oleh seorang aktor dalam
sebuah pentas drama.
Suatu penjelasan tentang “peran” juga merujuk pada konotasi ilmu
sosial, yang mengartikan peran sebagai suatu fungsi yang dibawakan
seseorang ketika menduduki suatu karakterisasi (posisi) dalam struktur sosial.
Peran secara operasional memiliki makna bahwa peran seorang aktor adalah
suatu batasan yang dirancang oleh aktor lain, yang kebetulan sama-sama
66 Edy Suhardono, Teori Peran: Konsep, Dervasi dan Implikasinya, (Jakarta,: Gramedia Pustaka
berada dalam suatu “penampilan/unjuk peran”. Hubungan antara pelaku
perannya yang bersifat saling terkait dan saling mengisi karena dalam konteks
sosial, tak satu peran pun dapat berdiri sendiri tanpa yang lain. Dengan
ungkapan lain bahwa suatu peran akan memenuhi keberadaannya, jika berada
dalam kaitan posisi yang menyertakan dua pelaku peran yang saling mengisi
atau saling melengkapi.
Paham yang digunakan dalam mengkaji teori peran ini adalah paham
strukturalis dan paham interaksionis. Paham strukturalis lebih mengaitkan
antara peran-peran sebagai unit kultural serta mengacu ke perangkat hak dan
kewajiban yang secara normatif telah dicanangkan oleh sistem budaya.
Sistem budaya tersebut menyediakan suatu sistem posisional, yang menunjuk
pada suatu unit dari struktur sosial yang pada intinya konsep struktur
menonjolkan suatu konotasi pasif-statis antara posisi satu dengan lainnya.
Paham kedua, paham intaraksionis lebih memperlihatkan konotasi
aktif-dinamis dari fenomena peran terutama setelah peran tersebut merupakan
suatu perwujudan peran yang bersifat lebih hidup. Dalam hal ini, pelaku peran
menjadi sadar akan struktur sosial yang didudukinya.
2. Teori Komunikasi Politik
Definisi Komunikasi Politik Secara definitif, ada beberapa pendapat
sarjana politik, diantaranya Nimmo, mengartikan politik sebagai kegiatan
orang secara kolektif yang mengatur perbuatan mereka di dalam kondisi
konflik sosial. Dalam berbagai hal orang berbeda satu sama lain jasmani,
lanjut Nimmo menjelaskan, kadang -kadang perbedaan ini merangsang
argumen, perselisihan, dan percekcokan. Jika mereka menganggap
perselisihan itu serius, perhatian mereka dengan memperkenalkan masalah
yang bertentangan itu, dan selesaikan; inilah kegiatan politik.7
Menurut Maswadi Rauf, Pengertian Komunikasi Politik adalah sebagai
objek kajian ilmu politik, karena pesan-pesan yang diungkapkan dalam proses
komunikasi bercirikan politik yaitu berkaitan dengan kekuasaan politik
negara, pemerintahan dan juga aktivitas komunikator dalam kedudukan
sebagai pelaku kegiatan politik. Maswadi Rauf melihat komunikasi politik
dari dua dimensi, yaitu komunikasi politik sebagai kegiatan pollitik dan
sebagai kegiatan ilmiah.8
Komunikasi sebagai kegiatan politik merupakan penyampaian
pesan-pesan yang bercirikan politik oleh aktor-aktor politik kepada pihak lain.
Kegiatan tersebut bersifat empirik karena dilakukan secara nyata dalam
kehidupan sosial, sedangkan komunikasi politik sebagai kegiatan ilmiah
maka komunikasi politik adalah salah satu kegiatan politik dalam sistem
politik.
Menurut Rusadi Kantaprawira seorang pakar hukum, Pengertian
Komunikasi Politik adalah penghubungan pikiran politik yang hidup di dalam
masyarakat, baik itu pikiran intern golongan, asosiasi, instansi ataupun sektor
7 Ali, novel.Peradaban komunikasi politik, (Bandung: remaja rosdakarya 1999), 120.
8 Rochhajat Harun dan Sumarno AP. Komunikasi Politik sebagai Suatu Pengantar. (Bandung: CV
kehidupan politik pemerintan. Rusadi melihat komunikasi politik dari sisi
kegunaannya.9
Astrid S. Soesanto mengemukakan pengertian komunikasi politik yang
hampir diwarnai kajian ilmu hukum. Pengertian Komunikasi Politik ialah
komunikasi yang diarahkan pada pencapaian suatu pengaruh sedemikian
rupa, sehingga pada masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini
dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan
bersama oleh lembaga-lembaga politik.
Dari kata “Mengikat” dan “sanksi” memberi isyarat bahwa disiplin ilmu
hukum telah memperkaya formulasi pengertian komunikasi politik yang
diungkapkan oleh Astrid, karena kedua kata tersebut adalah terminologi yang
biasa digunakan dalam kajian ilmu hukum.
Menurut Roelofs dan Barn Lund, Pengertian Komunikasi Politik adalah
politik yang berbicara atau untuk menempatkan masalah ini, lebih tepatnya
aktivitas politik (politisasi) berbicara. Dari pengertian komunikasi politik
yang diungkapkan Roelofs dan Barn, walaupun sangat sederhana, namun
cukup memberi isyarat bahwa komunikasi politik lebih memusatkan
kajiannya pada bobot materi muatan yang berisi pesan-pesan politik (isu
politik, peristiwa dan perilaku politik individu-individu baik sebagai
penguasa maupun yang berada dalam asosiasi-asosiasi kemasyarakatan atau
asosiasi politik.
Dari pengertian komunikasi politik yang diungkapkan para pakar di
atas, dapat disimpulkan bahwa Pengertian Komunikasi Politik adalah suatu
proses dan kegiatan-kegiatan membentuk sikap dan perilaku politik yang
terintegrasi ke dalam suatu sistem politik dengan menggunakan
simbol-simbol yang berarti. Komunikasi politik bukan membahas suatu proses yang
bersifat temporer atau situasional tertentu, akan tetapi pembahasan
komunikasi politik akan menampakkan karakter sebagai identitas keilmuanm
baik sebagai ilmu murni yang bersifat ideal dan berada dalam lingkup “Das
Sollen“, maupun berupa ilmu terapan yang berada dalam dunia empiris dalam
lingkup wilayah “Das Sein“.10
Komunikasi Politik menggunakan dua pendekatan untuk memahami
komunikasi politik itu sendiri, adapun pedekatan yang terdapat pada
komunikasi politik diantaranya yaitu: (1) Pendekatan Proses dan (2)
Pendekatan Agenda Setting. Pendekatan Proses merupakan salah satu
pendekatan yang seringkali digunakan dalam memahami fenomena
komunikasi politik. Karena keseluruhan yang ada di dunia merupakan hasil
suatu proses. Politik pada dasarnya juga merupakan hasil suatu proses yang
panjang. Menurut Hegel dan Marx perkembangan tahapan sejarah merupakan
hasil proses konflik yang meningkat melampaui waktu. Sedangkan menurut
George Herbert Mead mengungkapkan bahwa kehidupan sosial dapat
dipahami sebagai suatu proses, dan setiap kejadian selalu mengandung waktu.
Maka bisa dikatakan bahwa pendekatan proses merupakan sumber yang
potensial untuk membangun teori komunikasi politik. Menurut Mead,
negosiasi merupakan unsur mutlak dari kehidupan sosial, dan manusia harus
bekerja bersama di segala bidang kehidupan.11
Pendekatan selanjutnya yaitu pendekatan agenda setting. Pendekatan
Agenda Setting disini dikembangkan oleh Maxwell C. McCombs,
pendekatan ini dimulai dari asumsi bahwa adanya hubungan positif antara
penilaian yang diberikan oleh media pada suatu persoalan dengan perhatian
yang diberikan oleh kahayalak. Sehingga media massa digunakan dalam
komunkasi politik untuk mempengaruhi publik.
Politik pada dasarnya juga seperti komunikasi merupakan suatu
tindakan yang melibatkan pembicaraan. Dalam hal ini tidak sekedar
melakukan pembicaraan dalam arti sempit, tetapi juga dalam arti yang luas
baik bersifat verbal (lisan atau tulisan) maupun yang bersifat nonverbal
(gerak, isyarat dan tindakan). Nimno membedakan politik dapat terjadi dalam
setiap setting politik, tidak saja dalam tingkat Negara bagian, provinsi,
kabupaten maupun desa.12
Mark Roelofs mengemukakan bahwa kegiatan politik adalah berbicara,
tetapi bukan berarti hanya sebatas pembicaraan saja, namun hakikat
pengalaman politik dan kondisi dasarnya adalah aktivitas komunikasi antar
manusia. Roelofs berpendapat bahwa komunikasi meliputi politik jika orang
11 Henry Subiakto, Rachmah Ida. Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi Edisi Kedua. (Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2012), 11.
dihadapkan pada konflik, sehingga mereka akan menurunkan makna
perselisihan melalui komunkasi.
Sebagai ilmu terapan, maka bahasan komunikasi akan terus
berkembang mengikuti perubahan-perubahan dan peristiwa-peristiwa politik
yang terjadi atau mengikuti temuan-temuan teoritis, produk berpikir dan hasil
penelitian dari para ilmuwan. Sekian pembahasan mengenai pengertian
komunikasi politik, semoga tulisan saya mengenai pengertian komunikasi
politik dapat bermanfaat.
Maka Kesimpulan utama yang perlu diambil dari uraian tentang
subtansi Teori Komunikasi Politik ini adalah sebagai berikut. Komunikasi
politik merupakan salah satu fungsi partai politik, yakni menyalurkan aneka
ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa.
Jack Plano dkk, kamus analisa politik: komunikasi politik adalah penyebaran
aksi, makna, atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem
politik, melibatkan unsur - unsur komunikasi seperti komunikator, pesan dan
lainnya.
Kebanyakan komunikasi politik merupakan lapangan wewenang
lembaga-lembaga khusus, seperti media massa, badan informasi pemerintah
atau parpol. Namun demikian komunikasi politik dapat ditemukan dalam
setiap lingkungan sosial, mulai dari lingkup dua orang hingga ruang kantor
parlemen. Salah satu ciri komunikasi ialah bahwa harus adanya Komunikator
politik. Komunikator politik ini memainkan peran utama pada proses opini
jaringan sosial. Serta menanggapi berbagai tekanan dengan menolak dan
memilih informasi yang semuanya terjadi di dalam sistem sosial.13
Fungsi komunikasi politik: Komunikasi politik pada hakikatnya
berfungsi sebagai jembatan penghubung antara suprastruktur dan infrastuktur
yang bersifat interdepedensi dalam ruang lingkup negara. Komunikasi ini
bersifat timbal balik atau dalam pengertian lain saling merespon, sehingga
mencapai saling pengertian dan diprioritaskan sebesar - besarnya untuk
kepentingan rakyat.
Dalam penelitian ini menggunakan teori Komunkasi Politik dengan
memahami bahwa berkomunikasi pada dasarnya, untuk mengutarakan
maksud seseorang kepada orang lain. Penting sekali kemudian menerapkan
komunikasi yang baik dalam kehidupan politik. Salah satunya memahami
konteks berpolitik itu sendiri, dimana akan ada sesuatu yang perlu dijelaskan
kepada konstituen dan itu memerlukan strategi komunikasi politik yang baik.
13 Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media. (Bandung: Remadja Karya
BAB III
SETTING PENELITIAN
Metode penelitian (research) merupakan suatu kegiatan ilmiah dalam rangka
pemecahan suatu permasalahan.1 Fungsi penelitian adalah mencarikan penjelasan
dan jawaban terhadap permasalahan serta memberikan alternatif bagi kemungkinan
yang dapat digunakan untuk pemecahan masalah.
A.Pendekatan dan Jenis Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pada penelitian kali ini, penelitian menggunakan pendekatan kualitatif
yang mana peneliti terjun langsung ke Kecamatan Paciran yang merupakan
lokasi penelitian tersebut. Penelitian ini mencari data langsung berupa
melakukan wawancara atau percakapan terhadap orang-orang yang
bersangkutan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena pada
permasalahan mengenai peranan aktivis organisasi masyarakat keagamaan
dalam pemilihan bupati lamongan 2015, ingin lebih tau peranan Aktivis
Pimpinan Cabang Aisyiyah dan Pimpinan Anak Cabang Muslimat di
Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan pada pemilihan Bupati 2015 lalu.
Sehingga tidak memungkinkan penelitian ini menggunakan metode
penelitian kuantitatif dengan instrument berupa angkat. Karena pada
permasalahan kali ini sangat tepat kiranya jika menggunakan metode
penelitian kualitatif untuk memahami masalah fenomena-fenomena sosial
yang terjadi.
Adapun ciri yang dimiliki pada penelitian kualitatif yaitu sebagai
berikut:
a. Data yang diperoleh berupa data secara langsung dari lapangan, bukan dari
laboratorium atau penelitian yang terkontrol.
b. Penggalian data dilakukan secara alamiah, melakukan kunjungan pada
situasi-situasi alamiah subyek.
c. Memperoleh makna baru dalam bentuk kategori-kategori jawaban.2
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian
deskriptif yang ecara umum penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami
(understanding) dunia makna yang disimbolkan dalam perilaku masyarakat
menurut perspektif masyarakat itu sendiri.3 Dan penelitian kualitatif adalah
salah satu metode untuk mendapatkan kebenaran dan tergolong sebagai
penelitian ilmiah yang dibangun atas dasar teori-teori yang berkembang dari
penelitian dan terkontrol atas dasar empirik.
Bahwasanya penelitian deskriptif kualitatif dirancang untuk
mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan nyata sekarang yang
sementara berlangsung.4 Jadi dalam penelitian kualitatif ini bukan hanya
menyajikan data apa adanya melainkan juga berusaha menginterpretasikan
2 Agus Salim, Teori & Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006), 4
3 Imam Suprayogo, Tobroni, Metode Penelitian Sosial Agama cet. 1, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2001), 81
korelasi sebagai faktor yang ada yang berlaku meliputi sudut pandang atau
proses yang sedang berlangsung. Sedangkan metode penelitian kualitatif
menurut Lexy J. Moleong berdasarkan pada pondasi penelitian, paradigma
penelitian, perumusan masalah, tahap-tahap penelitian, teknik penelitian,
kriteria dan teknik pemeriksaan data dan analisis dan penafsiran data.
Pada penelitian ini, peneliti mendeskripsikan melalui nalar dan analisis.
Bertujuan agar pnenelitian deskriptif ini untuk mengetahui bagaimana
gambaran mengenai fakta-fakta yang terjadi. Sehingga dengan menggunakan
pendekatan kualitatif deskriptif ini, maka akan terlihat mengenai peranan
Aktivis Pimpinan Cabang Aisyiyah dan Pimpinan Anak Cabang Muslimat di
Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan pada pemilihan Bupati 2015.
B.Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi penelitian
Penelitian kualitatif membutuhkan lokasi sosial tertentu sebagai latar
alamiah permasalahan guna pijakan dalam memberikan suatu pemahaman
atau penggambaran secara menyeluruh. Maka dari itu penelitian ini dilakukan
di Pimpinan Cabang Aisyiyah dan Pimpinan Anak Cabang Muslimat di
Kecamatan Paciran kabupaten Lamongan. Kecamatan Paciran merupakan
salah satu kecamatan yang terletak di wilayah bagian utara Kabupaten
Lamongan Provinsi Jawa Timur. Wilayah Kecamatan Paciran ini termasuk
dalam kawasan daerah pesisir atau Pantura (pantai utara). Jarak kecamatan
Paciran ke kota Lamongan adalah kurang lebih 64 kilometer dengan waktu