KONSEP RAD}A’AH MENURUT HANAFIYAH DAN YUSUF
QARAD{AWI
SKRIPSI
OLEH:
CHOIRUL ANAM
NIM: C01211014
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’
ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Ahwal Al Syakhsiyyah
Surabaya
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul Konsep
rad}a’ah
menurut Hanafiyah dan Yusuf
Qarad}awi ini adalah hasil penelitian studi pustaka (library research). Yang
bertujuan untuk menjawab: Bagaimana pandangan Hanafiyah dan Yusuf
Qarad}awi tentang konsep
rad}a’ah
? Bagaimana persamaan dan perbedaan
pandangan Hanafiyah dan Yusuf Qarad}awi tentang konsep
rad}a’ah
?
Data penelitian ini diperoleh melalui studi pustaka. Selanjutnya data
tersebut dianalisis menggunakan metode deskriptif komparatif.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa: konsep
rad}a’ah
yang disampaikan
oleh Hanafiyah dan Yusuf Qarad}awi berbeda. Dalam permasalahan
rad}a’ah
keduanya memiliki pemikiran yang tidak sama, bahwa
rad{
a’ah
adalah
meneteknya seorang bayi yang berusia di bawah dua tahun kepada seorang
wanita yang bukan ibu kandungnya dan ASI tersebut sampai pada perut si bayi.
Untuk dikatakan sebagai
rad{
a’ah
Hanafiyah tidak mengharuskan seorang bayi
menetek langsung pada puting wanita yang menyusui bisa menggunakan media
gelas atau sejenisnya asalkan air susu itu sampai pada perut si bayi. Namun
berbeda dengan Yusuf Qarad}awi yang mengharuskan proses rad{
a’ah
dengan cara
menetek langsung jika dengan cara selain itu maka tidak menyebabkan hukum
mah{ram dengan alasan jika tidak dengan cara menetek langsung maka tidak ada
bedanya dengan makanan lain yang tidak menyebabkan hukum mah{ram. Ada hal
lain yang juga menjadi perbedaan antara Hanafiyah Yusuf Qarad}awi yaitu dalam
hal alasan hukum rad{
a’ah
menyebabkan hukum
mah{ram, Hanafiyah mengatakan
bahwa alasan hukum rad{
a’ah
adalah adanya ASI yang diberikan diserap oleh si
bayi dan menjadi daging dan menguatkan tulang si bayi, sedangkan Yusuf
Qarad}awi mengatakan bahwa alasan hukum
rad{
a’ah
adalah sifat
umumah yang
muncul dari seorang ibu susuan tatkala wanita itu meneteki bayi yang berusia di
bawah dua tahun tersebut sebagaimana sifat
umumah yang biasa diberikan oleh
ibu kandung kepada anaknya sendiri.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ...
i
PERNYATAAN KEASLIAN ...
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...
iii
PENGESAHAN ...
iv
ABSTRAK ...
v
KATA PENGANTAR ...
vi
DAFTAR ISI ...
viii
DAFTAR TRANSLITERASI ...
x
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah ...
1
B.
Identifikasi dan Batasan Masalah ...
6
C.
Rumusan Masalah ...
8
D.
Kajian Pustaka ...
8
E.
Tujuan Penelitian ...
10
F.
Kegunaan Penelitian ...
10
G.
Definisi Operasional ...
11
H.
Metode Penelitian ...
12
BAB II
RAD{A’AH
MENURUT HUKUM ISLAM
A.
Pengertian
rad}a’ah
...
16
B.
Syarat dan Rukun rad
}a’ah
...
17
C.
Orang-Orang yang haram dinikahi ...
24
D.
‘Illatul hukmi
rad}a’ah
...
26
BAB III
RAD{A’AH
MENURUT HANAFIYAH DAN YUSUF QARAD{AWI
1.
Biografi Hanafiyah...
33
2.
Metode Istinbath Hukum Hanafiyah ...
34
3.
Pemikiran Hanafiyah Tentang
rad}a’ah
...
41
4.
Biografi Yusuf Qarad{awi ...
48
5.
Pemikiran Yusuf Qarad{awi tentang
rad}a’ah
...
51
BAB IV
ANALISIS KOMPARATIF ANTARA PEMIKIRAN HANAFIYAH
DAN YUSUF QARAD{AWI TENTANG KONSEP
RAD{A’AH.
A.
Analisis Terhadap pandangan Hanafiyah dan Yusuf
Qarad{awi tentang Konsep
rad}a’ah
...
62
B.
Analisis Terhadap Persamaan dan Perbedaan Pandangan
Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi Tentang Konsep
rad}a’ah
...
64
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan ...
69
B.
Saran-Saran ...
70
DAFTAR PUSTAKA ...
71
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan orang
lain, tidak mungkin dia hidup sendirian karena manusia dalam memenuhi
kebutuhanya selalu membutuhkan orang lain. Di samping itu masing-masing
memilki hak dan kewajiban sehingga untuk menjaga keseimbangan itu
dibutuhkan sebuah hukum untuk mengaturnya., agar tidak ada yang berbuat
semena mena antara satu dengan yang lain.
Islam adalah agama yang memiliki ajaran universal yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi terakhir yang menyempurnakan Nabi
sebelumnya, ajaran Islam sangatlah terperinci sekali dalam mengatur
kehidupan manusia. Salah satunya adalah rad{a’ah sebuah syariat yang
mengatur tentang hubungan mah{ram yang disebabkan karena susuan yang
memiliki konsekuensi hukum keharaman nikah, hal ini berdasarkan firman
Allah SWT dalam surat An Nisa ayat 23:
2
Artinya: diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281]; saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara-saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Rad}a’ah menurut bahasa adalah istilah yang menunjuk pada kegiatan
menghisap puting payudara dan meminumnya. Pengertian rad}a’ah secara
bahasa tersebut menegaskan bahwa persusuan terjadi secara langsung oleh
bayi pada puting. Namun pengertian rad}a’ah secara teknis menjadi
berkembang lebih luas, al-Suyuthi mendefinisikan rad}a’ah dengan:
sampainya air susu dari seorang perempuan atau dari benda yang dihasilkan
dari susu tersebut kedalam perut atau otak/sumsum anak-anak.
Definisi senada disampaikan oleh Abdurrahman al-Jaziri yang
menegaskan bahwa rad}a’ah adalah sampainya susu manusia kerongga anak
yang usianya tidak melewati dua tahun. Asal hukum menyusui anak adalah
sunah, namun hal ini terjadi bila seorang ayah merupakan orang yang mampu
dan ada orang lain yang mau menyusui anaknya. Jika semua hal itu tidak ada,
maka maka menyusui anak menjadi wajib.1
3
Hukum ini senada dengan ketentuan Al-Qur’an yang menganjurkan
seorang ibu untuk menyusui anaknya, sebagaimana dicantumkan
dalamAl-Qur’an surat al-baqarah ayat 233 yang berbunyi :
Artinya : dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna…….2
Kata al-wa>lida>t dalam penggunaan al-Qur’an berbeda dengan
ummahat yang merupakan bentuk jamak dari ummun. Kata ummaha>t
biasanya digunakan untuk mengungkapkan makna ibu kandung, sedangkan
al-wa>lida>t artinya adalah para ibu, bisa diartikan sebagai ibu kandung atau
bukan, oleh karena itu sejak dini al-Qur’an sudah menggariskan bahwa ASI
baik susu ibu kandung maupun bukan adalah konsumsi terbaik bagi bayi
sampai usia dua tahun. Karena anak merasa tenang dan tentram, sebab
menurut ilmuwan bayi ketika itu mendengar detak jantung ibunya dan sudah
mengenal sejak dalam kandungan.
Penyusuan dua tahun bukan merupakan hal yang wajib, karena bisa
dipahami dari potongan ayat Liman ara>da an yutimma ar-rad}a’ah (bagi
yang menginginkan kesempurnaan penyusuan). Akan tetapi anjuran ini sangat
ditekankan sekali, seolah olah merupakan perintah wajib. Apabila orang
tuanya menginginkan pengurangan masa tersebut tidak masalah. Tetapi
4
hendaknya jangan sampai lebih dari dua tahun, karena dua tahun sudah
dikatakan sempurna oleh Allah SWT.3
Terkait hal ini menurut jumhur ulama fiqh seorang ibu dianjurkan
menyusui anaknya, karena susu ibu lebih baik bagi anaknya dan kasih sayang
ibu dalam menyusukan anak lebih dalam. Selain itu menyusui anak
merupakan hak bagi ibu sebagaimana juga menjadi hak seorang anak. Oleh
karena itu sang ibu tidak boleh dipaksa untuk melakukan haknya, kecuali ada
alasan yang kuat yang dapat memakasa para ibu untuk untuk menyusui
anaknya.4
Batasan seseorang telah melakukan penyusuan adalah dengan menyedot
langsung dari puting susu kemudian bayi tersebut melepasnya tanpa larangan,
dengan demikian dia telah melakukan penyusuan satu kali, atau dengan cara
berpindah sendiri dari satu susu menuju susu lain, itupun dikatakan sebagai
satu kali susuan, jika dia kembali lagi brarti dia malakukan penyusuan yang
kedua kali. Meskipun tidak ada aturan khusus yang mengatur tentang wanita
yang pantas untuk dijadikan ibu susuan, namun sebaiknya untuk mencari ibu
susuan yang berakhlakul karimah karena air susu itu juga akan memberikan
dampak dari sisi emosional, sehingga nantinya akan mempengaruhi
kepribadianya.
ASI merupakan makanan yang diberikan oleh Allah SWT kepada
seorang bayi melalui payudara ibunya selama dua tahun pada awal
kehidupanya. Menyusui sebaiknya dilakukan setelah kelahiran bayi dan setiap
5
kali bayi menetek. Yang terpenting dan sering dilupakan dan bahkan dibuang
adalah air susu pertama kali yang keluar, di dalamnya terdapat kolostrum yang
memilki fungsi membentuk antibody dan juga mengandung zat-zat yang
bermanfaat untuk pertumbuhan sang bayi yang dalam bahasa arab disebut
liba’.5
Pembahasan yang akan disampiakan oleh penulis adalah tentang konsep
rad{a’ah menurut Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi, Hanafiyah dan Yusuf
Qarad{awi memiliki beberapa pandangan yang berbeda dalam masalah
rad{a’ah, misalnya terkait syarat dan rukun susuan, dan perbedaan dalam
permasalahan alasan hukum adanya rad{a’ah bisa menjadikan mah}ram. Dua
pemikiran tokoh inilah yang menjadi daya tarik penulis untuk membahasnya
lebih lanjut.
Menurut Hanafiyah Alasan rad{a’ah bisa menjadi mah{ram adalah
karena air susu itu akan mempengaruhi pertumbuhan bayi terutama dalam hal
pembentukan tulang daging, umur dua tahun kebawah merupakan usia yang
sangat menentukan bagi seorang bayi, karena bayi sangat membutuhkan
nutrisi lebih untuk pertumbuhan tubuhnya, sehingga dari hal itu muncul
hubungan antara ibu susuan dan bayi yang menyusu yang diistilahkan dengan
mah}ram yang memiliki konsekuensi hukum si bayi diharamkan menikahi Ibu
yang menyusuinya maupun orang-orang yang ada kaitanya dengan ibu susuan.
Sedangkan pandangan Yusuf Qarad{awi tidak begitu, melainkan alasan
susuan bisa menjadikan nasab adalah karena disaat seorang ibu susuan
6
menyusui seorang anak maka disaat itu muncul sebuah sifat umu<<>mah
(keibuan) yang diberikan seorang ibu susuan kepada anak yang disusui seperti
halnya kasih sayang dan sifat umumah yang diberikan oleh ibu kandungnya,
oleh karena hal itu antara ibu susuan menjadi nasab dan haram untuk
menikahinya, serta anak-anak ibu susuan itu.
Selain itu yang menjadi daya tarik penulis untuk membahasnya lebih
lanjut adalah karena adanya perbedaan pandangan antara Yusuf Qarad{awi
dengan Hanafiyah tentang konsep rad{a’ah, Hanafiyah memiliki pandangan
yang menarik, dengan berpendapat bahwa konsep mah}ram bi nasab tidak
mutlak bisa diterapkan pada rad{a’ah, karena beliau berpendapat bahwa tidak
semua wanita yang haram dinikahi karena nasab juga haram dinikahi karena
adanya hubungan karena susuan. Akan tetapi Hanafiyah mengecualikan
beberapa wanita yang haram dinikahi karena mah{ram bi nasab namun boleh
dinikahi meskipun ada jalur mah}ram karena rad{a’ah karena menurut beliau
penghalang yang mengharamkan untuk menikahi dalam nasab keturunan tidak
dijumpai dalam mah}ram disebabkan karena susuan. Sedangkan Yusuf
Qarad{awi berpendapat bahwasanya wanita yang haram karena nasab juga
haram dinikahi karena adanya hubungan nasab karena susuan.
B. Identifikassi dan Batasan Masalah 1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, maka
7
a. Adanya fakta perbedaan pandangan antara Hanafiyah dan Yusuf
Qarad{awi tentang konsep rad{a’ah.
b. Adanya indikasi bahwa terdapat perbedaan hasil ijtihad antara
Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi tentang konsep rad{a’ah.
c. Adanya perbedaan alasan hukum rad{a’ah bisa menjadikan mah}ram
antara Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi.
d. Adanya perbedaan syarat dan rukun rad{a’ah antara Hanafiyah dan
Yusuf Qarad{awi.
e. Adanya perbedaan dalam memahami dan menerapkan hukum dari ayat
rad}a’ah.
f. Adanya perbedaan dasar hukum yang dijadikan landasan yang melatar
belakangi perbedaan pendapat.
2. BatasanMasalah
Dari beberapa masalah yang dapat diidentifikasi penulis diatas dan
banyaknya perkara yang ditemukan, maka agar tidak terjadi kerancauan
dalam pembahasan skripsi yang akan ditulis penulis, maka penulis
membatasi terhadap permasalahan dari:
a. Adanya perbedaan alasan hukum rad{a’ah antara Hanafiyah dan
Yusuf Qarad{awi.
b. Adanya indikasi bahwa terdapat perbedaan hasil ijtihad antara
Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi terhadap konsep rad{a’ah.
c. Adanya perbedaan syarat dan rukun rad{a’ah antara Hanafiyah dan
8
C. RumusanMasalah
Berdasarkan uraian masalah di atas, penulis merumuskan permasalahan
sebagaimana berikut:
1. Bagaimana pandangan Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi tentang konsep
rad{a’ah ?
2. Bagaimana persamaan dan perbedaan pandangan Hanafiyah dan Yusuf
Qarad{awi tentang konsep rad{a’ah ?
D. KajianPustaka
Kajian pustaka dalam penelitian ini, pada dasarnya untuk mendapatkan
gambaran permasalahan yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang
mungkin pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya sehingga diharapkan
tidak ada pengulangan materi penelitian.
Ada beberapa karya tulis yang berhubungan dengan penelitian yang
dilakukan oleh penulis, di antaranya adalah:
1. Amin Yati, dalam skripsinya yang berjudul Bank ASI Dalam Prespektif Hukum Islam, Studi Komparasi Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i. IAIN Sunan Ampel Surabaya – Syari’ah/AS tahun 2004, dalam skripsinya menyimpulkan bahwa menurut Mazhab Hanafi bahwa air susu
yang telah terpisah dari seorang ibu dianggap telah menjadi bangkai dan
haram menjual air susu ibu, sehingga pendirian Bank ASI tidak
diperbolehkan, sedangkan menurut Mazhab Syafi’i bahwa pemisahan air
susu dari seorang ibu, maka ASI tersebut tetap suci dan boleh dikonsumsi
9
ASI karena dianggap seperti makanan sebagaimana susu yang lain pada
umumnya, sehingga bila ditinjau dari pendapat ini, maka BANK ASI
boleh didirikan.6
2. Subandi, dalam skripsinya yang berjudul Analisis Pemikiran Yusuf Qarad{awi Tentang Bank ASI (Air Susu Ibu) dan Implikasinya Terhadap Hukum Rada’ah. IAIN Sunan Ampel Surabaya– Syari’ah/AS tahun 2009. Dalam skripsinya menyimpulkan bahwa
menurut Yusuf Qarad{awi bahwa Bank ASI sangatlah membantu orang
yang lemah terlebih pada bayi yang prematur, bahkan bila perlu susu
dibeli jika sang donatur tidak berkenan memberikan susunya. Memberikan
pertolongan tersebut menurut Yusuf Qarad{awi sesuai dengan nilai-nilai
Islam. Karena sangat membantu para bayi yang terlahir dan kurang
beruntung dengan tidak mendapatkan ASI.7
Dari kajian pustaka yang penulis ambil jelas sekali perbedaanya, jika
skirpsi-skripsi sebelumnya membahas tentang bank ASI disini penulis
lebih fokus membahas tentang rad}a’ah dan hal-hal yang berkaitan
denganya terutama dalam permasalahan ‘illatul hukmi (alasan hukum)
rad}a’ah bisa menyebabkan hubungan mah}ram. sehingga bisa
disimpulkan skrispsi ini merupakan karya dari penulis murni.
10
E. TujuanPeneitian
Agar langkah yang ditempuh lebih mengarah serta diketahui tujuannya,
maka penulis menyebutkan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pandangan Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi tentang
konsep rad{a’ah.
2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pandangan Hanafiyah dan
Yusuf Qarad{awi tentang konsep rad{a’ah.
F. KegunaanPenelitian
Dari hasil penelitian diharapkan bisa bermanfaat minimal untuk hal-hal
sebagai berikut:
1. Aspek Teoritis
Dalam aspek teoritis, diharapkan dapat menambah ragam keilmuan
ke Islaman tentang konsep rad{a’ah disampaikan oleh Hanafiyah dan
Yusuf Qarad{awi.
2. Aspek Praktis
Secara prakis, penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk
bahan pertimbangan atau bahan acuan bagi pihak-pihak yang
membutuhkan, baik untuk penelitian lebih lanjut maupun sebagai bahan
pengetahuan dalam hal konsep rad{a’ah menurut pandangan Hanafiyah
dan Yusuf Qarad{awi.
11
Untuk memperjelas pemahaman tentang penelitian yang berjudul
Konsep rad{a’ah Menurut Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi. Perlu dijelaskan
tentang definisi operasional sebagai berikut:
1. Rad{a’ah : menurut bahasa adalah menghisap puting sedangkan
menurut istilah adalah menunjukkan pada proses
menyusui yang dilakukan oleh seorang wanita yang
bukan ibu kandungnya kepada anak susuan yang
menyebabkan hubungan mah{ram.
2. Hanafiyah : merupakan maz{hab yang didirikan oleh Imam Abu
Hanifah yang dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80
Hijriah (699 Masehi). Nama kecilnya ialah Nu’man bin
Sabit bin Zautha bin Mah. Ayah beliau keturunan dari
bangsa Persi (Kabul-Afganistan) tetapi sebelum beliau
dilahirkan ayah beliau sudah pindah ke Kufah. Beliau
dipanggil Abu Hanifah karena sesudah berputra, ada di
antaranya yang dinamakan Hanifah, maka dari itu
beliau mendapat gelar dari orang banyak dengan
sebutan Abu Hanifah.
3. Yusuf Qarad{awi : Yusuf Al-Qarad{awi dilahirkan di Desa
Shafth Turaab, Mesir bagian Barat, pada 9 September
1926/1344 H. Desa tersebut adalah tempat
dimakamkannya seorang sahabat Nabi Saw., yaitu
12
Sebuah konsep atau gagasan abstrak yang dimiliki oleh Yusuf
Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi untuk mengklasifikasi tentang konsep
rad{a’ah.
H. Metode Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian
kepustakaan (Library Reseach). Adapun yang dimaksud dengan penelitian
kepustakan adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode
pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan
penelitian.8 Bahan-bahan penelitian kepustakaan bisa berupa manuskrip, buku,
majalah, surat kabar dan dokumen lainnya yang dianggap perlu.9
1. Data Yang diKumpulkan
Penelitian ini berupa penelitian kepustakaan (Library Reseach), maka
data-data yang dikumpulkan adalah data-data yang berasal dari
kepustakaan yang melingkupi:
Data tentang pemikiran Yusuf Qarad{awi dan Hanafiyah tentang
konsep rad{a’ah.
a. Data mengenai biografi intelektual Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi.
b. Data mengenai metode ijtihad Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi.
c. Data mengenai pandangan Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi tentang
konsep rad{a’ah.
13
2. Sumber Data
a. Sumber Data Primer (Utama)
Sumber data ini diperoleh dari sumber asli baik berbentuk
dokumen maupun peninggalan lainnya.10 Sumber data primer yang
akan digunakan sebagai bahan dalam penelitian ini adalah penelitian
pustaka. Antara lain:
1) Sarakhsy, Al-Mabsut}, Dar al-‘Alamiyah, Beirut, 1993.
2) Abu Al-Hasan bin Husain,Al-Nataf fi al-Fatawa, Dar al-Furqan,
1984.
3) Yusuf Qarad}awi, Halal dan Haram Dalam Islam, alih bahasa:
Muammal Hamdy, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 2003.
4) Yusuf Qarad{awi, Fatwa-fatwa Islam Kontemporer, Jilid II, Terj.
Abdul Hayi Al-Kattani Dkk, Jakarta : Gema Insani Press;
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer.11 Antara lain:
1) Sayid Sabiq, fiqh As-Sunnah, Beirut: Darul fikr, 1996.
2) Abdullah Muhammad, Mawahibul Jalil, Beirut: Darul Kutb
al-ilmiyah, 1995.
3) Ali bin Abu Bakar, Al-Hidayah fi sharh{i bidayatul mubtadi’, Dar
Al-Ihya, Beirut, tt.t.
4) Abdullah bin Mahmud, al-Ikhtiyar, Beirut, Dar al-Kutub, 1937.
10 Winarno Surakhmad, Pengantar Ilmiah: Dasar, Metode dan Teknik, (Bandung: Tarsito, 1994), 134.
14
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka (Literatur), yaitu
menghimpun data yang berasal dari buku-buku dan naskah-naskah yang
berkaitan dengan permasalahan tersebut. dalam penelitian ini data yang
akan dihimpun merupakan data yang berkaitan dengan Konsep rad{a’ah.
4. Metode Analisis Data
Data penelitian yang sudah diolah akan dianalisis dengan :
a. Deskriptif: menggambar permasalahan-permasalahan yang dibahas
dengan mensistematikan data, sehingga membantu sebuah pendapat
ulama agar mudah dipahami oleh penyusun dan pembaca.12
b. Komparatif: membandingkan antara pendangan Hanafiyah dan Yusuf
Qarad{awi untuk menemukan titik persamaan dan perbedaannya.
I. SistematikaPembahasan
Sistematika dalam penelitian ini terbagai dalam lima bab pokok kajian
sebagai berikut:
Bab Pertama: Pendahuluan, memuat uraian latar belakang masalah,
identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, sistematika
pembahasan.
Bab Kedua : Bab ini mengenai tentang konsep rad{a’ah menurut
hukum islam.
15
Bab Ketiga: Bab ini mengenai dasar pemikiran Hanafiyah dan Yusuf
Qarad{awi tentang konsep rad{a’ah.
Bab Keempat: Bab ini membahas mengenai analisis komparatif antara
pemikiran Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi tentang konsep rad{a’ah.
Perbandingan tersebut bertujuan untuk mencari sisi persamaan dan perbedaan
diantara pimikiran Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi.
16 BAB II
KONSEP RAD{A’AH MENURUT HUKUM ISLAM A. PENGERTIAN RAD}A’AH
Rad{a’ah menurut bahasa adalah menetek puting, sedangkan rad{a’ahmenurut istilah adalah proses menetek seorang anak yang berusia dibawah 2 (dua) tahun kepada wanita yang bukan ibu kandungnya sendiri.
Munculnya hukum rad}a’ahini didasarkan pada sebuah firman allah SWT surat an-Nisa ayat 23:
17
Dari uraian ayat diatas dapat dipahami bahwa rad{a’ahmemiliki hukum
yang sama dengan hubungan karena nasab yaitu dalam hal keharaman nikah.
B. SYARAT RAD}A’AH
Bila seorang anak menyusu kepada seorang wanita yang bukan ibu
kandungnya, maka air susuwanita itu menjadi darah serta asupan bagi
pertumbuhan bagi si anak sehingga perempuan yang menyusukan itu menjadi
seperti ibu kandungnya sendiri. Wanita itu menghasilkan susu karena
kehamilan yang disebabkan hubunganya dengan suaminya; sehingga suami
wanita itu sudah seperti ayahnya. Sebaliknya anak yang disusui juga sudah
menjadi seperti anak bagi ibu yang menyusukan dan suaminya.Demikian pula
anak yang dilahirkan ibu yang menyusui juga menjadi seperti saudara dari
anak yang menyusu kepada perempuan itu.
Adanya hubungan susuan ini muncul setelah terpenuhi beberapa syarat,
yang setiap syarat itu menjadi perbincangan para ulama.
1. Usia anak yang menyusu.
Jumhur ulama berpendapat anak yang menyusu harus berusia
dibawah 2 (dua) tahun, karena dalam usia tersebut ASI akan menjadi
asupan untuk menopang pertumbuhanya. Batas masa dua tahun ini
berdasarkan pada sebuah hadith yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas
Nabi bersabda :
ْا ﻰِﻓ ﱠﻻِا َعﺎَﺿَر َﻻ َﺤﻟ
18
Artinya : tidak ada hubungan susuan keuali dalam masa dua tahun.
Beda pendapat muncul dari ulama z{ahiry yang mengatakan bahwa
susuan yang berlaku terhadap anak yang berumur lebih dari 2 (dua)
tahun, bahkan dewasa juga menimbulkan hubungan mah{ram
golongan ini berlandaskan dengan z{ahir dan keumuman ayat
al-Qur’an; sedangkan hadith diatas tidak cukup kuat untuk membatasi
keumuman ayat tersebut.1
Bila si anak berhenti menyusu sebelum waktu dua tahun dan tidak
lagi memerlukan ASI, kemudian anak tersebut disusukan kepada
seorang perempuan akan muncul sebuah pertanyaan apakah
menyebabkan hubungan mah{ram ataukah tidak. Imam Malik
berpendapat bahwa hal tersebut tidak lagi menyebabkan hubungan
mah{ram dengan dasar sebuah hadis yang menjelaskan bahwa “tidak ada susuan kecuali bila susuan itu memenuhi kebutuhan laparnya”.
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i menyatakan bahwa susuan
dalam bentuk itu tetap menyebabkan hubungan mah{ram karena si anak masih berusia dibawah dua tahun.
2. Kadar Susuan.
Menurut maz{hab Syafi’i dan Hanbali penyusuan harus dilakukan
dengan lima kali isapan yang terpisah, karena yang dianggap kuat
dalam hal persususuan adalah persusuan menurut adat istiadatnya
(‘urf) ketika sibayi memisahkan diri dari penyusuan karena sudah
19
enggan menyusu, maka dihitung menjadi rad{a’ah hal itu berdasarkan
pada ‘urf, adapun ketika bayi memutuskan berpisah dari menyusu walau hanya sekedar istirahat, bernafas, bermain-main atau berpindah
pada puting satunya dari wanita satu menuju wanita yang lain maka
tidak dihitung dalam rad{a’ah, melainkan seluruhnya hanya dihitung satu kali isapan saja. Apabila penyusuan tersebut kurang dari lima kali
isapan maka tidak ada hukum mah{ram, apabila ada keraguan dalam hitunganya maka harus dibangun sebuah keyakinan dalam penyusuan
tersebut, karena dalam hal itu pada asalnya adalah tidak adanya
persusuan yang menimbulkan mah{ram, namun meninggalkan
keraguan yang lebih diutamakan, karena keraguan adalah hal yang
samar. Hal ini didasarkan pada beberapa hal diantaranya adalah:
a. Hadith yang diriwayatkan dari Aisyah yang artinya: “Ayat
al-Qur’an pernah turun dalam mengharamkan wanita tempat menyusu
jika susuan (mencapai) sepuluh kali susuan, kemudian dinasakh
menjadi lima kali susuan. Lalu Rasulullah wafat dan hukum lima
kali susuan masih dibaca dalam al-Qur’an.
b. ‘Illat yang terkandung dalam rad{a’ah adalah syubhat juzi’yyat, yaitu yang terjadi dengan sebab susu yang menumbuhkan daging dan
tulang, dan hal ini tidak terjadi dalam susuan yang sedikit. Oleh
karena itu persusuan yang sedikit tidak menyebabkan mah{ram yang
20
Sedangkan menurut Imam Malik dan Hanafi ASI yang
banyak maupun sedikit tetap dihukumi mah}ram meskipun satu kali
sedot. Berdasarkan pada dalil-dalil diantaranya:
a. Keumuman firman Allah SWT : an-nisa ayat 23
b. Hadith yang menyatakan bahwa “sesuatu yang diharamkan sebab
persusuan sama dengan yang diharamkan sebab nasab” hadith tersebut mengandung hukum mah{ram tanpa menentukan persusuan dan didukung
pula dengan hadithlain dari para sahabat, yaitu riwayat dari ‘Ali, Ibnu
Mas’ud, dan Ibnu Abbas, bahwa mereka berkata: “sedikit atau banyaknya
susuan tetap mengharamkan.
c. Bahwa persusuan merupakan perbuatan yang mengandung hukum
mah}ram, maka baik sedikit maupun banyak sama saja, karena maksud dari asy-Syari’ mengggantungkan hukum dan hakikat serta terlepas dari
syarat berulang-ulang dan banyaknya, apabila hakikat itu terwujud, maka
hukum itu pun datang.
Pendapat ini banyak dipakai di negara mesir dan libya, sedangan
pendapat pertama banyak dipakai di negara suriah karena merupakan
pendapat yang kuat dan mengandun unsur kemudahan dan keluwesan bagi
manusia.2
Sedangkan menurut Daud az-Z{ahiry kadar susuan yang
mengharamkan nikah itu minimal tiga kali isapan, dan jika kurang dari itu
maka tidak haram bagi lelaki tempat ia menyusu.
21
3. Cara Menyusu.
Cara menyusu yang biasa dipahami umum adalah si anak menyusu
langsung dari puting susu, sehingga sianak merasakan kehangatan susu
ibu itu. Namun bila si anak menyusu tidak langsung pada puting susu
ibu, tetapi air susu ibu yang diperah dan dimasukkan kedalam mulut si
bayi dengan menggunakan alat tertentu, terdapat beda pendapat antara
ulama dalam menjadikan sebagai hubungan susuan yang menyebabkan
keharaman nikah. Jumhur ulama termasuk Malikiyah berpendapat
bahwa penyusuan yang tidak dengan cara menetek langsung pada
puting tetap menyebab hubungan mah{ram karena yang menjadi dasar
adalah sampainya air susu ibu kedalam kerongkongan si bayi.
Sedangkan menurut ulama z{ahiri mengatakan bahwa susuan yang
menyebabkan hubungan mah{ram adalah proses menyusu yang
dilakukan seorang anak dengan cara menetek lagsung pada putting ibu
tidak dengan cara yang lain meskipun air susu sampai pada
kerongkongan si bayi, karena yang dinamakan menyusu adalah dengan
cara menetek secara langsung.
4. Kemurnian air susu.
Dalam arti tidak bercampur dengan air susu lain, atau dengan zat
lain diluar selain susu ibu. Sebagian ulama termasuk Abu Hanifah dan
sahabatnya mengharuskan air susu itu. Sebagian ulama termasuk Imam
Syafi’I dan pengikut Imam Malik berpendapat bahwa air susu yang
22
5. Suami penyebab adanya susu.
Jumhur ulama mengatakan bahwa penyusuan yang menyebabkan
adanya hubungan mah{ram ialah bila susu tersebut berasal dari seorang perempuan yang bersuami bukan dari air susu perempuan
yang disebabkan hubungan zina. Dalam hal ini apakah suami yang
menyebabkan adanya air susu itu dapat menempati kedudukan ayah
sehingga menimbulkan pula hubungan dengan orang-orang yang ada
hubunganya dengan suami, dalam hal ini para ulama bebeda pendapat,
ada ulama yang berpendapat bahwa suami yang menghasilkan susu ibu
yang disebut al-fahl menyebabkan hubungan mah{ram. Golongan kedua berpendapat bahwa al-fahl itu tidak menyebabkan hubungan mah{ram sehingga tidak menyebabkan larangan perkawinan. Dengan ditetapkanya suami ibu yang menyusukan sebagai ayah bagi anak yang
menyusu, maka orang-orang yang berhubungan nasab dengan ayah itu
menjadi hubungan mus{a>harah dengan si anak.
6. Kesaksian.
Adanya peristiwa penyusuan menyebabkan hubungan susuan dan
dengan adanya hubungan susuan itu, maka timbullah larangan
perkawinan antara orang-orang yang berhubungan susuan itu.Untuk
memastikan telah terjadinya peristiwa penyusuan diperlukan adanya
kesaksian. Tentang berapa orang yang harus menyaksikan tedapat beda
23
kesaksian ini dapat dilakukan oleh empat orang perempuan karena tiap
dua orang perempuan menempati posisi satu laki-laki, inilah pendapat
yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i. Bila telah terpenuhi ketentuan
sebagaimana yang telah ditetapkan menurut perbedaan ulama diatas,
berlakulah hubungan mah{ram yang selanjutnya menyebabkan
keharaman nikah antara orang-orang yang memiliki hubungan
tersebut. Adapun perempuan yang haram dikawini untuk selama
lamanya karena hubungan susuan adalah ibu yang menyusukan dan
perempuan-perempuan yang menyusu kepada ibu itu, dan
wanita-wanita yang masuk dalam mah{ram karena nasab.
7. Ikrar
Menurut Madhab Hanafiyah ikrar dalam persusuan adalah
pengakuan persusuan dari pihak laki-laki dan wanita secara bersamaan
atau salah satu dari mereka.Apabila ikrar itu dilakukan sebelum
menikah, maka keduanya tidak boleh menikah dan apabila mereka
menikah maka pernikahanya batal.Apabila ikrar itu dilakukan setelah
perkawinan maka mereka harus berpisah, ketika mereka memilih
enggan berpisah, maka hakim berhak memaksa mereka untuk berpisah.
Menurut Malikiyah rad{a’ah dapat terjadinya dengan adanya ikrar kedua pasangan suami istri secara bersama, atau pemberitahuan
salah satu dari orang tua mereka berdua, atau hanya dengan
24
akad nikah, atau pemberitahuan dari seorang istri yang sudah baligh
dan dilakukan sebelum akad.
Madhab Syafi’I menetapkan bahwa ikrar harus dilakukan oleh
dua orang laki-laki karena dianggap lebih ungul dalam ikrar.3
C. ORANG-ORANG YANG HARAM DINIKAHI
1. Ibu susuan. Termasuk dalam ibu susuan adalah ibu yang menyusukan,
yang menyusukan ibu susuan, yang melahirkan ibu susuan, dan seterusnya
garis lurus keatas.
2. Anak susuan. Termasuk didalamnya adalah anak yang disusukan istri;
anak yang disusukan anak perempuan; anak yang disusukan istri anak
laki-laki, dan seterusnya dalam garis lurus kebawah.
3. Saudara sesusuan. Termasuk didalamnya adalah: anak ibu susuan, anak
yang disusukan ibu susuan, yang dilahirkan istri ayah susuan, anak yang
disusukan istri ayah susuan, yang disusuan ibu; yang disusukan istri dari
ayah.
4. Bibi susuan. Yang dimaksud disini adalah saudara dari ibu susuan, saudara
dari ibu dari ibu susuan.
5. Anak saudara laki-laki atau perempuan sesusuan. Meliputi anak dari
saudara sesusuan, dan seterusnya kebawah. Orang-orang yang disusukan
oleh saudara sesusuan, yang disusukan anak saudara
25
sesusuan,yangdisusukan istri saudara laki-laki, dan seterusnya garis lurus
kebawah dalam hubungan nasab dan susuan.
Hubungan susuan ini disamping berkembang pada hubungan nasab, juga berkembang pada hubungan musa>{harah. Bila seorang ayah tidak boleh menikahi istri dari ayah, maka keharaman ini juga menluas pada perempuan
yang disusukan oleh istri-istri dari ayah susuan.Bila seorang laki-laki tidak
boleh megawini anak dari istri, keharamann ini meluas pada perempuan yang
disusukan oleh istri.
Menurutmaz{hab empat terjadinya rad{a’ah tidak harus melalui penyedotan pada puting susu, namun pada sampainya air susu menuju
lambung bayi yang dapat menumbuhkan tulang dan daging. Namun mereka
berbeda pendapat mengenai jalan lewatnya ASI, menurut Imam Malik dan
Hanafi harus melalui rongga mulut, sedangkan menurut Hanbali adalah
sampai pada lambung dan pada perut atau otak besar.4
Menurut mayoritas ulama penyusuan yang dilakukan melalui mulut
karena bersifat mengenyangkan sebagaimana persusuan atau melalui hidung
karena adanya sifat memberi makan, karena otak memilki perut seperti
lambung, namun sifat memberi makan tidak disyaratkan harus melalui lubang
atas, akan tetapi sampainya susu pada lambung dianggap cukup untuk
menimbulkan hukum mah{ram.
26
Dalam permasalahanrad{a’ahperbedaan yang paling mencolok antara
Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi adalah ‘illatul hukmi sehingga dianggap penting untuk memahami tentang ‘illat dan hal-hal yang berkaitan denganya.
‘Illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal (al-ashl) yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal (al-ashl) serta untuk mengetahui hukum pada fara’ (al-far’) yang belum hamba-hamba-Nya. Kemaslahatan itu
adakalanya dalam bentuk mengambil manfaat (jalbul manâfi’) dan
adakalanya dalam bentuk menolak kerusakan dan bahaya (dar-ul mafâsid).
Kedua macam bentuk hukum itu merupakan tujuan terakhir dari
pembentukan hukum yang disebut hikmah hukum.
Hikmah hukum berbeda dengan ‘illat hukum. Hikmah hukum merupakan
pendorong pembentukan hukum dan sebagai tujuannya yang terakhir ialah
untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat dengan memperoleh
manfaat dan keuntungan serta terhindar dari segala macam kerusakan.
Sedang ‘Illat hukum merupakan suatu sifat yang nyata dan pasti ada pada
suatu peristiwa yang dijadikan dasar hukum.‘IlIat merupakan: “sifat dan
keadaan yang melekat pada dan mendahului peristiwa/perbuatan hukum yang
terjadi dan menjadi sebab hukum”, sedangkan hikmah adalah: “sebab positif
dan hasil yang dirasakan kemudian setelah adanya peristiwa hukum”. Sebagai
contoh ialah: seorang musafir boleh mengqashar shalatnya, seperti
mengerjakan shalat z{uhur yang empat raka’at menjadi dua raka’at
27
Hikmahnya ialah untuk menghilangkan masyaqqah (kesulitan) atau
kemadharatan. Hikmah ini hanya merupakan dugaan saja dan tidak dapat
dijadikan dasar ada atau tidaknya hukum, sedang ‘illat adalah suatu yang
nyata dan pasti, seperti safar (dalam perjalanan) menyebabkan seseorang
boleh mengqashar shalat.Mengenai ‘illat hukum dan sebab hukum, ada yang
tidak membedakannya, mereka menyamakan arti kedua istilah tersebut.
Sebagian ulama lagi membedakannya, sekalipun perbedaan itu sangat sedikit.
Menurut mereka ‘illat hukum dapat dicapai oleh akal, sedang sebab hukum
ada yang dapat dicapai akal dan ada yang sukar dicapai oleh akal.
Sebenarnya untuk membedakan pengertian kedua istilah itu sukar
dilakukan, karena ada suatu peristiwa yang dalam peristiwa itu ‘illat dan
sebabnya sama. Seperti tergelincir matahari pada siang hari merupakan sebab
seorang muslim wajib mengerjakan shalat Zhuhur, demikian pula
terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Sya’ban merupakan sebab
kaum muslimin besoknya mengerjakan puasa bulan Ramadhan. Tetapi
terbenam dan tergelincirnya matahari itu bukanlah ‘illat hukum karena kedua
sebab itu tidak terjangkau oleh akal. Lain halnya dengan safar (dalam
perjalanan) disamping ia merupakan ‘illat hukum, juga merupakan sebab
hukum yang membolehkannya untuk mengqashar shalat.
Dengan demikian dapat ditetapkan bahwa sebab itu lebih umum
dari ‘illat, dengan perkataan lain bahwa semua ‘illat dapat dikatakan sebab,
tetapi belum tentu semua sebab dapat dikatakan ‘illat.
28
1. Sifat ‘illat itu hendaknya nyata, masih terjangkau oleh akal dan pancaindera.
Hal ini diperlukan karena‘illat itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan
hukum pada fara’ (al-far’). Seperti sifat menghabiskan harta anak yatim,
terjangkau oleh pancaindera dan akal, bahwa ‘illat itu ada pada memakan
harta anak yatim (ashal (al-ashl)) dan terjangkau pula oleh pancaindera dan
akal bahwa ‘illat itu ada pada menjual harta anak yatim (fara’ (al-far’)). Jika
sifat ‘illat itu samar-samar, kurang jelas dan masih ragu-ragu, tentulah tidak
dapat digunakan untuk menetapkan ada dan tidaknya hukum pada ashal
(al-ashl).
2. Sifat ‘illat itu hendaklah pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan
bahwa ‘illat itu ada pada fara’ (al-far’), karena asas qiyas itu adalah adanya
persamaan illat antara ashal (al-ashl) dan fara’ (al-far’). Seperti pembunuhan
sengaja dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya
hakikatnya adalah pasti, karena itu dapat dijadikan dasar qiyas atas peristiwa
pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh penerima wasiat terhadap
orang yang telah memberi wasiat kepadanya.
3. ‘Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa keras dugaan bahwa ‘illat itu sesuai dengan hikmah
hukumnya. Seperti memabukkan adalah hal yang sesuai dengan hukum
haram minum khamar, karena dalam hukum itu terkandung suatu hikmah
hukum, yaitu memelihara akal dengan menghindarkan diri dari mabuk.
29
karena dalam qishash itu terkandung suatu hikmah hukum yaitu untuk
memelihara kehidupan manusia.
4. ‘Illat itu tidak hanya terdapat pada ashal (al-ashl) saja, tetapi haruslah berupa sifat yang dapat pula diterapkan pada masalah-masalah lain selain dari ashal
(al-ashl) itu. Seperti hukum-hukum yang khusus berlaku bagi Nabi Muhammad SAW tidak dijadikan dasar qiyas. Misalnya mengawini wanita
lebih dari empat orang, berupa ketentuan khusus berlaku bagi beliau, tidak
berlaku bagi orang lain. Larangan istri-istri Rasulullah SAW kawin dengan
laki-Iaki lain setelah beliau meninggal dunia, sedang wanita-wanita lain
dibolehkan.
Ditinjau dari segi ketentuan pencipta hukum (syari’) tentang sifat
apakah sesuai atau tidak dengan hukum, maka ulama ushul membaginya
kepada empat bagian, yaitu:
a. Munâsib Mu’athir
Yaitu persesuaian yang diungkapkan oleh syara’ dengan sempurna,
atau dengan perkataan lain bahwa pencipta hukum (syari’) telah
menciptakan hukum sesuai dengan sifat itu, seperti firman Allah SWT
yang artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri
dari wanita di waktu haid.” (QS al-Baqarah [2]: 222)
Pada ayat di atas Allah SWT (sebagai Syâri‘) telah menetapkan hukum,
yaitu haram mencampuri istri yang sedang haid. Sebagai dasar penetapan
30
Allah SWT di atas sebagai ‘illatnya. Kotoran sebagai sifat yang menjadi
sebab haram mencampuri istri yang sedang haid adalah sifat yang sesuai
dan menentukan penetapan hukum.
b. Munâsib Mulâim
Yaitu persesuaian yang diungkapkan syara’ pada salah satu jalan
saja. Maksudnya ialah persesuaian itu tidak diungkapkan syara’
sebagai ‘illat hukum pada masalah yang sedang dihadapi, tetapi
diungkapkan sebagai ‘illat hukum dan disebut dalam nas} pada masalah
yang lain yang sejenis dengan hukum yang sedang dihadapi. Contohnya,
ialah kekuasaan wali untuk mengawinkan anak kecil yang di bawah
perwaliannya tidak ada nas} yang menerangkan ‘illatnya. Pada masalah
lain yaitu pengurusan harta anak yatim yang masih kecil, syara’
mengungkapkan keadaan kecil sebagai ‘illat hukum yang menyebabkan
wali berkuasa atas harta anak yatim yang berada di bawah perwaliannya
itu. Berdasarkan pengungkapan syara’ itu maka keadaan kecil dapat pula
dijadikan ‘illat untuk menciptakan hukum pada masalah lain, seperti
penetapan kekuasaan wali dalam mengawinkan anak yatim yang berada di
bawah perwaliannya.
c. Munâsib Mursal
Ialah munasib yang tidak dinyatakan dan tidak pula diungkapkan oleh syara’. Munasib Mursal berupa sesuatu yang nampak oleh mujtahid
31
tetapi tiada dalil yang menyatakan bahwa syara’ membolehkan atau tidak
membolehkannya, seperti membukukan al-Quran atau mushhaf, tidak ada
dalil yang membolehkan atau melarangnya. Tetapi Khalifah Utsman bin
‘Affan melihat kemaslahatannya bagi seluruh kaum muslimin, yaitu
al-Quran tidak lagi berserakan karena telah tertulis dalam satu buku serta
dapat menghindarkan kaum muslimin dari kemungkinan terjadinya
perselisihan tentang dialek al-Quran.
d. Munâsib Mulghâh
Yaitu munasib yang tidak diungkapkan oleh syara’ sedikitpun, tetapi ada petunjuk yang menyatakan bahwa menetapkan atas dasarnya
diduga dapat mewujudkan kemaslahatan. Dalam pada itu syara’ tidak
menyusun hukum sesuai dengan sifat atau ‘illat tersebut, bahkan syara’
memberi petunjuk atas pembatalan atas sifat tersebut. Sebagai contohnya,
ialah kedudukan laki-Iaki dan perempuan dalam kerabat. Kemudian atas
dasar persamaan itu mungkin dapat ditetapkan pula persamaan dalam
warisan. Tetapi syara’ mengisyaratkan pembatalannya dengan menyatakan
bahwa bagian laki-Iaki adalah dua kali bagian perempuan.
Masâlik al-‘illat, ialah cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau ‘illat dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat
dijadikan dasar untuk menetapkan hukum.Di antara cara tersebut, ialah:
32
Dalam hal ini nas} sendirilah yang menerangkan bahwa suatu sifat
merupakan ‘illat hukum dari suatu peristiwa atau kejadian. ‘Illat yang
demikian disebut ‘illat manshûsh ‘alaih. Melakukan qiyas
berdasarkan‘illat yang disebutkan oleh nas} pada hakikatnya adalah
menetapkan hukum suatu dasar nas}.
b. Ijma’ yang menunjukkannya
Maksudnya, ialah ‘illat itu ditetapkan dengan ijma’, belum baligh
(masih kecil) menjadikan ‘illat dikuasai oleh wali harta anak yatim
BAB III
KONSEP RAD{A’AHMENURUTHANAFIYAHDAN YUSUF QARAD{AWI
A. KONSEP RAD{A’AH MENURUT HANAFIYAH
1. Biografi Hanafiyah
Hanafiyah merupakan aliran madhab yang didirkan oleh Abu Hanifah
dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 Hijriyah (699 Masehi). Nama kecilnya
ialah Nu’man bin Sabit bin Zautha bin Mah. Ayah beliau keturunan dari
bangsa Persi (Kabul-Afganistan) tetapi sebelum beliau dilahirkan ayah beliau
sudah pindah ke Kufah. Beliau dipanggil Abu Hanifah karena sesudah
berputra, ada di antaranya yang dinamakan Hanifah, maka dari itu beliau
mendapat gelar dari orang banyak dengan sebutan Abu Hanifah. Tetapi ada
riwayat lain, bahwa yang menyebabkan beliau dipanggil Abu Hanifah, karena
beliau seorang yang rajin melakukan ibadah kepada Allah SWTdan sungguh
sungguh mengerjakan kewajibannya dalam agama. Karena perkataan
“H{anif” dalam bahasa Arab artinya “cenderung” atau “condong” kepada
agama yang benar. Beliau wafat pada bulan Rajab tahun 150 H (767 M) di
Bagdad.Beberapa Tokoh Hanafiyah yang terkenal adalah :
a. Imam Abu Yusuf, Yaqub bin Ibrahim al-Ansary lahir pada tahun 113
Hijriyah. Beliau setelah dewasa belajar menghimpun atau
mengumpulkan hadith-hadith dari Nabi SAW., yang diriwayatkan dari
34
Imam Abu Yusuf termasuk golongan ulama ahli hadith yang
terkemuka, beliau wafat tahun 183 Hijriyah.
b. Imam Muhammad bin Hasan bin Farqad asy-Syaibani, lahir di Irak
tahun 132 Hijriyah. Beliau seorang alin ahli fikih dan furu’ bin Hasan
wafat pada tahun 189 Hijriyah di kota Rayi.
c. Imam Zafar bin Huzail bin Qais al-Kufi lahir pada tahun 110 Hijriyah.
Beliau amat menyenangi untuk mempelajari ilmu akal atau ra’yi,
beliau juga menjadi seorang ahli qiyas dan ra’yi yang meninggal tahun
158 Hijriyah.
d. Imam Hasan bin Ziyad al-Luluy, beliau belajar pada Imam Abu
Hanifah, Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan, serta
wafat pada tahun 204 Hijriyah. Empat orang ulama itulah sahabat dan
murid Imam Abu Hanifah, yang akhirnya menyiarkan dan
mengambangkan aliran dan hasil ijtihad beliau yang utama, serta
mereka mempunyai kelebihan untuk memecahkan soal-soal ilmu fiqh
atau soal-soal hukum yang bertalian dengan agama. Bahkan Imam Abu
Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan sejak dahulu mendapat gelar
“As-Sahabain” yakni kedua sahabat Imam Abu Hanifah yang paling
rapat.
2. Metode Istinbath Hukum Hanafiyah
Madhab Hanafi adalah aliran fiqh yang merupakan hasil ijtihad
35
pembentukannya,madhab ini banyak menggunakan ra’yu (rasio).Karena
itu, madhab ini terkenal sebagai madhab aliran ra’yu.Tetapi dalam kasus
tertentu, mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadith mereka
nilai sebagai hadith ahad.
Sedangkan dasar-dasar Hanafiyahadalah :
a. Kitab Allah SWT(al-Qur'anul Karim)
b. Sunnah Rasulullah SAW. dan athar-athar yang s{ahih serta telah
masyhur (tersiar) di antara para ulama yang ahli.
c. Fatwa-fatwa dari para sahabat.
d. Qiyas.
e. istih}san.
f. Adat yang telah berlaku di dalam masyarakat umat Islam.
Dalam membentuk hukum, Hanafiyah menempatkan al- Qur'an
sebagai landasan pokok, kemudian sunnah sebagai sumber kedua. Beliau
juga berpegang pada fatwa sahabat yang disepakati, tetapi jika suatu
hukum tidak ditemukan dalam sumber-sumber tersebut, ia melakukan
ijtihad. ‘Illat ayat-ayat hukum dan hadith, terutama dalam bidang
mu’amalah, menurut pandangannya perlu sejauh mungkin ditelusuri
sehingga berbagai metode ijtihad dapat difungsikan antara lain qiyas dan
istih}san. Metode istih}san telah banyak berperan dalam membentuk
pendapat-pendapat Hanafiyah menjadi sebuah hukum yang realistis dan
rasional. madhab Hanafi memiliki beberapa ciri sebagai berikut:
36
b. Fiqh Hanafiyah memberikan penghargaan khusus kepada
hakseseorang baik pria maupun wanita.
Dalam memecahkan suatu masalah, Hanafiyah menggunakan beberapa
metode dalam beristinbat}, yaitu mengambil Kitabullah sebagai sumber
pokok, sunnah Rasulullah SAW. danathar-athar yang s{ahih dan tersiar di
kalangan orang-orang yang terpercaya, pendapat para sahabat yang
dikehendaki atau meninggalkan pendapat mereka yang dikehendaki (apabila
urusan itu sampai kepada Ibrahim, asy-Sya’bi, Hasan, Ibnu sirin dan Sa’id bin
Musayyab, maka beliau berijtihad sebagaimana mereka berijtihad), juga
menggunakan ijma’, qiyas, istih}sa>n dan ‘urf. Untuk lebih jelasnya akan
dibahas berikut ini :
a) Al-Kitab (al-Qur'an)
Al-Qur'an adalah kitab Allah SWTyang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW.Yang merupakan sumber dari segala sumber hukum
dan sumber hukum tidak kembali kecuali kepada keaslian penetapan
al-Qur'an. Menurut al-Badawi, Hanafiyah menetapkan al-Qur'an adalah
lafaz{ dan maknanya. Sedang menurut as-Sarakhsi, al-Qur'an dalam
pandangan Hanafiyahhanyalah makna, bukan lafaz{ dan makna.
b) As-Sunnah
As-sunnah adalah penjelas bagi kitab Allah SWTyang masih
mujmal dan merupakan risalah yang diterima oleh Nabi dari Allah
SWT.Yang disampaikan oleh kaumnya yang yakin dan barang siapa yang
37
risalah Nabi dari Tuhannya. Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa sesuatu
yang ditetapkan dengan al-Qur'an yang qat}’idalalahnya dinamakan
fard}u, sesuatu yang ditetapkan oleh as-Sunnah yang z{annydalalahnya,
dinamakan wajib. Demikian pula yang dilarang, tiap-tiap yang dilarang
oleh al-Qur'an dinamakan haram dan tiap-tiap yang dilarang oleh Sunnah
dinamakan makruh tah}rim.
c) Aqwalus-sahabah(fatwa sahabat)
Hanafiyah menerima pendapat sahabat dan mengharuskan umat
Islam mengikutinya.Jika ada suatu masalah ada beberapa pendapat
sahabat, maka beliau mengumpulkan salah satunya.Jika tidak ada pendapat
sahabat pada suatu masalah, beliau berijtihad, tidak mengikuti pendapat
para tabi’in.tetapi pada dasarnya hanafiyah mendahulukan fatwa sahabat
daripada qiyas.
d) Al-Ijma’
Ijma’ adalah sesuatu yang dapat dijadikan hujjah.Ijma’ merupakan
kesepakatan para mujtahidin dari masa ke masa untuk menentukan suatu
hukum dan telah disepakati para ulama untuk dijadikan hujjah, tetapi ada
perselisihan dalam wujudnya setelah masa sahabat dan Imam Ahmad telah
mengingkarinya setelah masa sahabat untuk tidak menyepakatinya dan
tidak mungkin ada kesepakatan fuqaha’ setelah masa sahabat.
Ulama’ Hanafiyah menetapkan bahwa ijma’ menjadi hujjah.Ulama
Hanafiyah menerima ijma’ qauli dan sukuti.Juga menetapkan bahwa tidak
38
diperselisihkan dari masa ke masa atas dua pendapat saja.Mengadakan
fatwa baru dipandang menyalahi ijma’.Dalam kitab al-Manakib
diterangkan bahwa Hanafiyah mengambil hukum yang diijma’i oleh
mujtahidin, tidak mau menyalahi yang telah disepakati oleh ulama ulama
Kufah.
e) Qiyas
Apabila tidak menemukan nas} dalam kitabullah dan sunnatur
Rasul dan tidak menemukan pada fatwa sahabat, maka beliau berijtihad
untuk mengetahui hukum. Beliau menggunakan qiyas, kecuali apabila
tidak baik memakainya dan tidak sesuai dengan apa yang dibiasakan
masyarakat. Jika tidak baik dipakai qiyas, beliau menggunakan
istih}san.Qiyas yang dipakai Hanafiyah ialah yang dita’rifkan dengan:
“Menerangkan hukum sesuatu urusan yang dinaskan hukumnya dengan
suatu urusan lain yang diketahui hukumnya dengan al-Qur'an atau
as-Sunnah atau al-Ijma’ karena bersekutunya dengan hukum itu tentang ‘illat
hukum.
Pada dasarnya Hanafiyah banyak memakai qiyas, karena ia
memperhatikan hukum-hukum bagi masalah-masalah yang belum terjadi
dan hukum-hukum yang akan terjadi, lantaran itu ia mengitinbat{kan ‘illat
yang menimbulkan hukum tersebut dan memperhatikan maksud-maksud
yang menyebabkan Nabi menyebutkan suatu hadith. Hanafiyah tidak
mencukupkannya dengan tafsir z{ahiry, namun melihat lebih jauh kepada
39
macam ‘illat hukum lalu menta’rifkan cabang-cabang hukum bagi
perbuatan-perbuatan yang tidak diperoleh nas}, ‘illat itulah yang
dipandang dasar untuk menetapkan hukum bagi hal-hal yang tidak
diperoleh nas}. Jika hadith sesuai dengan hukum yang telah ditarik dengan
jalan mempelajari ‘illat, bertambah kukuhlah kepercayaannya, dan jika
hadith itu diriwayatkan oleh orang kepercayaan, Hanafiyah mengambil
hadith meninggalkan qiyas.Kadang-kadang hukum yang diistinbathkan
dengan ‘illat sesuai dengan hadith.Hal ini bukanlah berarti mendahulukan
qiyas atas hadith. Apabila qiyas tidak dapat dilakukan karena berlawanan
dengan hadith, maka Hanafiyah pun meninggalkan qiyas, mengambil
istih}san. Pokok pegangan dalam menggunakan qiyas ialah bahwa hukum
syara’ ditetapkan untuk kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di
akhirat.Namun demikian, hukum-hukum syara’ yang berpautan dengan
ibadah tidak dapat akal menyelami ‘illatnya. Maka dari itu Hanafiyah
membagi nas} dalam dua bagian, yaitu :
a. Nusus Ta’abudiyah, yang tidak dibahas ‘illatnya. Pada nas}ini tidak
dilakukan qiyas, karena tidak dibahas ‘illatnya walaupun diyakini
ibadah ibadah itu disyari’atkan AllahSWT untuk kemaslahatan
manusia.
b. Nas}-nas} yang dibahas ‘illatnya dan ditetapkan hukum berdasarkan
‘illat itu. Nas}-nas} ini adalah nas}-nas} yang mu’allal, dipelajari
‘illatnya dan maksudnya, sebabnya dan ghayahnya dan padanya
40
hukum asal, bukan hukum yang dikhususkan untuk suatu hukum saja,
dan nas} bukanlah yang dipalingkan dari qiyas, yakni qiyas yang
menyalahi ‘illat yang umum yang ditetapkan syara’ sendiri. Hanafiyah
berpegang pada umum ‘illat kecuali apabila berlawanan dengan ‘urf
masyarakat, maka Hanafiyah meninggalkan qiyas dan mengambil
istih}san. Lantaran Hanafiyah menggunakan ‘illat, maka ia terkenal
sebagai imam yang memegang ra’yu, bukan imam yang memegang
athar dan terkenal keahliannya dalam bidang qiyas, walaupun ia juga
seorang imam sunni.
f) Istih}sa>n
Istih}sa>n secara bahasa adalah memandang dan meyakini baiknya
sesuatu. istih}san adalah salah satu metode ijtihad yang dikembangkan
ulama madhab Hanafi ketika hukum yang dikandung metode qiyas
(analogi) atau kaidah umum tidak diterapkan pada suatu kasus.
Macam-macam istih}sanmenurut ulama mazhab Hanafi, yaitu:
a. Al-istih}san bi an-nas (istih}san berdasarkan ayat atau hadith)
b. Al-istih}san bi al-ijma’ (istih}san yang didasarkan pada ijma’)
c. Al-istih}san bi al-qiyas al-khafi (istih}san berdasarkan qiyas yang
tersembunyi)
d. Al-istih}san bi al-maslah}ah (istih}san berdasarkan kemaslahatan)
e. Al-istih}san bil al-‘urf (istih}san berdasar adat kebiasaan yang berlaku
umum).
41
g) ‘Urf
‘Urf adalah pendapat muslimin atas suatu masalah yang tidak
terdapat di dalamnya nas} dari al-Qur'an atau Sunnah atau pendapat
sahabat, maka dari itu ‘urf dapat dijadikan hujjah.‘Urf dibagi dua :
a. ‘Urf sahih, yaitu ‘urf yang tidak menyalahi nas}.
b. ‘Urf fasid, yaitu ‘urf yang menyalahi nas}.Dari dua ‘urf yang dapat
dijadikan hujjah adalah ‘urf s{ahih.
Hanafiyah mengamalkan ‘urf bila tidak dapat menggunakan qiyas
atau istih}san. Ulama Hanafiyah mengemukakan ‘urf terhadap masalah
masalah yang tidak ada nas}nya, mereka mentakhs}iskannas}yang umum
jika menyalahi ‘urf umum. Jika qiyas meyalahi ‘urf, mereka mengambil
’urf.Begitu pula mereka mengambil ‘urfkha>s dikala tidak ada dalil yang
menyalahinya.
3. Pemikiran Hanafiyah tentang konsep rad{a’ah
Secara etimologis, rad{a’ah adalah sebuah istilah bagi isapan susu.
Dalam pengertian etimologis tidak dipersyaratkan bahwa yang disusui itu
[ar-rad}î’] berupa anak kecil [bayi] atau bukan.1 Adapun dalam pengertian
terminologis, sebagian ulama fiqh mendefinisikan ar-rad}â’ahsebagai
berikut: “Sampainya [masuknya] air susu manusia [perempuan] ke dalam
perut seorang anak [bayi] yang belum berusia dua tahun, 24 bulan.”
Mencermati pengertian ini, ada tiga unsur batasan untuk bisa disebut
42
rad{a’ah asy-syar’iyyah (persusuan yang berlandaskan etika Islam). Yaitu,
pertama, adanya air susu manusia (labanu adamiyyatin), Ulama Hanafiyah
mengajukan syarat bagi air susu ini. Bagi mereka, air susu harus berbentuk
benda cair. Kalau yang disusukan itu sudah berbentuk benda padat, seperti
keju dan sebagainya, tidak menyebabkan adanya hubungan
kemah{raman.2Kedua, air susu itu masuk ke dalam perut seorang bayi
[wushûluhu ilâ jawfi t}iflin]. Dan ketiga, bayi tersebut belum berusia dua
tahun [dûna al-hawlayni]. Dengan demikian, rukun rad{â’ah
asy-syar’iyyah ada tiga unsur: pertama, anak yang menyusu (rad}î’); kedua,
perempuan yang menyusui (al-murd}i’ah); dan ketiga, kadar air susu
(miqdâr al-laban) yang memenuhi batas minimal. Suatu kasus bisa
disebut ar-rad{â’ah asy-syar’iyyah, dan karenanya mengandung
konsekuensi-konsekuensi hukum yang harus berlaku, apabila tiga unsur ini
bisa ditemukan padanya. Apabila salah satu unsur saja tidak ditemukan,
maka rad}â’ah dalam kasus itu tidak bisa disebut ar-rad{a’ah
asy-syar’iyyah, yang karenanya konsekuensi-konsekuensi hukum syara’ tidak
berlaku padanya.
Adapun perempuan yang menyusui itu disepakati oleh para ulama
[mujma’ ‘alayh] bisa perempuan yang sudah baligh atau juga belum,
sudah menopause atau jugabelum, gadis atau sudah nikah, hamil atau tidak
hamil. Semua air susu mereka bisamenyebabkan ar-rad{â’ah
43
syar’iyyah, yang berimplikasi pada kemah{raman bagianak yang
disusuinya.3
Setidak-tidaknya ada enam buah ayat dalam al-Qur’ân yang
membicarakan perihal penyusuan anak [rad{a’ah]. Enam ayat ini terpisah ke
dalam lima surat, dengan topik pembicaraan yang berbeda-beda. Namun,
enam ayat ini mempunyai keterkaitan [munâsabah] hukum yang saling
melengkapi dalam pembentukan hukum. Selain enam ayat ini, rad{a’ah juga
mendapatkan perhatian dari Nabi Muhammad SAW dalam menjelaskan
ayat-ayat tersebut. Baik al-Qur’ân maupun al-Hadith, kedua-duanya sangat berarti
bagi kekokohan landasan hukum dan etika “menyusui”. Enam ayat al-Qur’ân
yang dimaksud adalah sebagai berikut: pertama, ayat 233
Surat al-Baqarah[2]: “Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama
dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
yang ma’rûf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban
demikian. Apabila keduanya ingin menyapih [sebelum dua tahun] dengan
kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.
Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
44
Bertakwalah kepada Allah SWT dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat
apa yang kamu kerjakan.”
Secara umum, ayat ini berisi tentang empat hal: pertama, petunjuk
Allah SWT kepada para ibu [wâlidât] agar senantiasa menyusui anak-anaknya
secara sempurna,yakni selama dua tahun sejak kelahiran sang anak. Kedua,
kewajiban suami memberi makan dan pakaian kepada istrinya yang sedang
menyusui dengan cara yang ma’rûf. Ketiga, diperbolehkannya menyapih anak
[sebelum dua tahun] asalkan dengan kerelaan dan permusyawaratan suami dan
istri.Keempat, adanya kebolehan menyusukan anak kepada perempuan lain
[al-murd}i’ah].
Kedua, ayat 23 surat An-Nisâ’ [4]: “Diharamkan atas kamu
[mengawini] ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara
ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu
yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan ....”
Ayat ini menjelaskan satu hal bahwa penyusuan anak [rad{a’ah] dapat
menyebabkan ikatan kemah{raman, yakni perempuan yang menyusui [
al-murd{i’ah] dan garis keturunannya haram dinikahi oleh anak yang disusuinya
[ar-rad{î’].
Ketiga, ayat 2 al-Hajj [22]: “[Ingatlah] pada hari [ketika] kamu melihat
kegoncangan itu, lalailah semua perempuan yang menyusui anaknya dari anak
45
kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak
mabuk, akan tetapi adhab Allah SWT itu sangat keras.”
Keempat, ayat 7 surat al-Qas{as} [28]: “Dan kami ilhamkan kepada ibu
Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka
jatuhkanlah dia ke sungai [Nil]. Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah
[pula] bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya
kepadamu, dan menjadikannya [salah seorang] dari para rasul.”
Kelima, ayat 12 surat al-Qas}as} [28]: “Dan Kami cegah Musa dari
menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui[nya] sebelum
itu; maka berkatalah saudara Musa: “Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu
ahlul bayt yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik
kepadanya?”
Tiga ayat terakhir ini menjelaskan kisah para perempuan yang
menyusui anaknyadalam sejarah, terutama berkaitan dengan masa kecil Nabi
Musa. Dijelaskan betapapentingnya air susu ibu [kandung] untuk anaknya,
hingga Nabi Musa kecil dicegaholeh Allah SWT untuk menyusu kepada
perempuan lain. Dan dijelaskan pula kedahsyatangoncangan hari kiamat,
bahwa semua perempuan yang tengah menyusui anaknyaakan lalai tatkala
terjadi kegoncangan hari kiamat tersebut.
Keenam, ayat 6 surat ath-T{alaq [65]: “Tempatkanlah mereka [para
istri] di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah
kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan [hati] mereka. Dan jika
46
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka
menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka
upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu [segala sesuatu] dengan baik;
dan jika kamu menemuikesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan
[anak itu] untuknya.”
Sementara ayat ini menjelaskan dua hal penting berkaitan dengan
penyusuan anak