• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP RADA’AH MENURUT HANAFIYAH DAN YUSUF QARADAWI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KONSEP RADA’AH MENURUT HANAFIYAH DAN YUSUF QARADAWI."

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP RAD}A’AH MENURUT HANAFIYAH DAN YUSUF

QARAD{AWI

SKRIPSI

OLEH:

CHOIRUL ANAM

NIM: C01211014

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syari’

ah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Ahwal Al Syakhsiyyah

Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul Konsep

rad}a’ah

menurut Hanafiyah dan Yusuf

Qarad}awi ini adalah hasil penelitian studi pustaka (library research). Yang

bertujuan untuk menjawab: Bagaimana pandangan Hanafiyah dan Yusuf

Qarad}awi tentang konsep

rad}a’ah

? Bagaimana persamaan dan perbedaan

pandangan Hanafiyah dan Yusuf Qarad}awi tentang konsep

rad}a’ah

?

Data penelitian ini diperoleh melalui studi pustaka. Selanjutnya data

tersebut dianalisis menggunakan metode deskriptif komparatif.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa: konsep

rad}a’ah

yang disampaikan

oleh Hanafiyah dan Yusuf Qarad}awi berbeda. Dalam permasalahan

rad}a’ah

keduanya memiliki pemikiran yang tidak sama, bahwa

rad{

a’ah

adalah

meneteknya seorang bayi yang berusia di bawah dua tahun kepada seorang

wanita yang bukan ibu kandungnya dan ASI tersebut sampai pada perut si bayi.

Untuk dikatakan sebagai

rad{

a’ah

Hanafiyah tidak mengharuskan seorang bayi

menetek langsung pada puting wanita yang menyusui bisa menggunakan media

gelas atau sejenisnya asalkan air susu itu sampai pada perut si bayi. Namun

berbeda dengan Yusuf Qarad}awi yang mengharuskan proses rad{

a’ah

dengan cara

menetek langsung jika dengan cara selain itu maka tidak menyebabkan hukum

mah{ram dengan alasan jika tidak dengan cara menetek langsung maka tidak ada

bedanya dengan makanan lain yang tidak menyebabkan hukum mah{ram. Ada hal

lain yang juga menjadi perbedaan antara Hanafiyah Yusuf Qarad}awi yaitu dalam

hal alasan hukum rad{

a’ah

menyebabkan hukum

mah{ram, Hanafiyah mengatakan

bahwa alasan hukum rad{

a’ah

adalah adanya ASI yang diberikan diserap oleh si

bayi dan menjadi daging dan menguatkan tulang si bayi, sedangkan Yusuf

Qarad}awi mengatakan bahwa alasan hukum

rad{

a’ah

adalah sifat

umumah yang

muncul dari seorang ibu susuan tatkala wanita itu meneteki bayi yang berusia di

bawah dua tahun tersebut sebagaimana sifat

umumah yang biasa diberikan oleh

ibu kandung kepada anaknya sendiri.

(6)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ...

i

PERNYATAAN KEASLIAN ...

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...

iii

PENGESAHAN ...

iv

ABSTRAK ...

v

KATA PENGANTAR ...

vi

DAFTAR ISI ...

viii

DAFTAR TRANSLITERASI ...

x

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah ...

1

B.

Identifikasi dan Batasan Masalah ...

6

C.

Rumusan Masalah ...

8

D.

Kajian Pustaka ...

8

E.

Tujuan Penelitian ...

10

F.

Kegunaan Penelitian ...

10

G.

Definisi Operasional ...

11

H.

Metode Penelitian ...

12

(7)

BAB II

RAD{A’AH

MENURUT HUKUM ISLAM

A.

Pengertian

rad}a’ah

...

16

B.

Syarat dan Rukun rad

}a’ah

...

17

C.

Orang-Orang yang haram dinikahi ...

24

D.

‘Illatul hukmi

rad}a’ah

...

26

BAB III

RAD{A’AH

MENURUT HANAFIYAH DAN YUSUF QARAD{AWI

1.

Biografi Hanafiyah...

33

2.

Metode Istinbath Hukum Hanafiyah ...

34

3.

Pemikiran Hanafiyah Tentang

rad}a’ah

...

41

4.

Biografi Yusuf Qarad{awi ...

48

5.

Pemikiran Yusuf Qarad{awi tentang

rad}a’ah

...

51

BAB IV

ANALISIS KOMPARATIF ANTARA PEMIKIRAN HANAFIYAH

DAN YUSUF QARAD{AWI TENTANG KONSEP

RAD{A’AH.

A.

Analisis Terhadap pandangan Hanafiyah dan Yusuf

Qarad{awi tentang Konsep

rad}a’ah

...

62

B.

Analisis Terhadap Persamaan dan Perbedaan Pandangan

Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi Tentang Konsep

rad}a’ah

...

64

BAB V

PENUTUP

A.

Kesimpulan ...

69

B.

Saran-Saran ...

70

DAFTAR PUSTAKA ...

71

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan orang

lain, tidak mungkin dia hidup sendirian karena manusia dalam memenuhi

kebutuhanya selalu membutuhkan orang lain. Di samping itu masing-masing

memilki hak dan kewajiban sehingga untuk menjaga keseimbangan itu

dibutuhkan sebuah hukum untuk mengaturnya., agar tidak ada yang berbuat

semena mena antara satu dengan yang lain.

Islam adalah agama yang memiliki ajaran universal yang dibawa oleh

Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi terakhir yang menyempurnakan Nabi

sebelumnya, ajaran Islam sangatlah terperinci sekali dalam mengatur

kehidupan manusia. Salah satunya adalah rad{a’ah sebuah syariat yang

mengatur tentang hubungan mah{ram yang disebabkan karena susuan yang

memiliki konsekuensi hukum keharaman nikah, hal ini berdasarkan firman

Allah SWT dalam surat An Nisa ayat 23:

(9)

2

Artinya: diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281]; saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara-saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Rad}a’ah menurut bahasa adalah istilah yang menunjuk pada kegiatan

menghisap puting payudara dan meminumnya. Pengertian rad}a’ah secara

bahasa tersebut menegaskan bahwa persusuan terjadi secara langsung oleh

bayi pada puting. Namun pengertian rad}a’ah secara teknis menjadi

berkembang lebih luas, al-Suyuthi mendefinisikan rad}a’ah dengan:

sampainya air susu dari seorang perempuan atau dari benda yang dihasilkan

dari susu tersebut kedalam perut atau otak/sumsum anak-anak.

Definisi senada disampaikan oleh Abdurrahman al-Jaziri yang

menegaskan bahwa rad}a’ah adalah sampainya susu manusia kerongga anak

yang usianya tidak melewati dua tahun. Asal hukum menyusui anak adalah

sunah, namun hal ini terjadi bila seorang ayah merupakan orang yang mampu

dan ada orang lain yang mau menyusui anaknya. Jika semua hal itu tidak ada,

maka maka menyusui anak menjadi wajib.1

(10)

3

Hukum ini senada dengan ketentuan Al-Qur’an yang menganjurkan

seorang ibu untuk menyusui anaknya, sebagaimana dicantumkan

dalamAl-Qur’an surat al-baqarah ayat 233 yang berbunyi :

                     

Artinya : dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna…….2

Kata al-wa>lida>t dalam penggunaan al-Qur’an berbeda dengan

ummahat yang merupakan bentuk jamak dari ummun. Kata ummaha>t

biasanya digunakan untuk mengungkapkan makna ibu kandung, sedangkan

al-wa>lida>t artinya adalah para ibu, bisa diartikan sebagai ibu kandung atau

bukan, oleh karena itu sejak dini al-Qur’an sudah menggariskan bahwa ASI

baik susu ibu kandung maupun bukan adalah konsumsi terbaik bagi bayi

sampai usia dua tahun. Karena anak merasa tenang dan tentram, sebab

menurut ilmuwan bayi ketika itu mendengar detak jantung ibunya dan sudah

mengenal sejak dalam kandungan.

Penyusuan dua tahun bukan merupakan hal yang wajib, karena bisa

dipahami dari potongan ayat Liman ara>da an yutimma ar-rad}a’ah (bagi

yang menginginkan kesempurnaan penyusuan). Akan tetapi anjuran ini sangat

ditekankan sekali, seolah olah merupakan perintah wajib. Apabila orang

tuanya menginginkan pengurangan masa tersebut tidak masalah. Tetapi

(11)

4

hendaknya jangan sampai lebih dari dua tahun, karena dua tahun sudah

dikatakan sempurna oleh Allah SWT.3

Terkait hal ini menurut jumhur ulama fiqh seorang ibu dianjurkan

menyusui anaknya, karena susu ibu lebih baik bagi anaknya dan kasih sayang

ibu dalam menyusukan anak lebih dalam. Selain itu menyusui anak

merupakan hak bagi ibu sebagaimana juga menjadi hak seorang anak. Oleh

karena itu sang ibu tidak boleh dipaksa untuk melakukan haknya, kecuali ada

alasan yang kuat yang dapat memakasa para ibu untuk untuk menyusui

anaknya.4

Batasan seseorang telah melakukan penyusuan adalah dengan menyedot

langsung dari puting susu kemudian bayi tersebut melepasnya tanpa larangan,

dengan demikian dia telah melakukan penyusuan satu kali, atau dengan cara

berpindah sendiri dari satu susu menuju susu lain, itupun dikatakan sebagai

satu kali susuan, jika dia kembali lagi brarti dia malakukan penyusuan yang

kedua kali. Meskipun tidak ada aturan khusus yang mengatur tentang wanita

yang pantas untuk dijadikan ibu susuan, namun sebaiknya untuk mencari ibu

susuan yang berakhlakul karimah karena air susu itu juga akan memberikan

dampak dari sisi emosional, sehingga nantinya akan mempengaruhi

kepribadianya.

ASI merupakan makanan yang diberikan oleh Allah SWT kepada

seorang bayi melalui payudara ibunya selama dua tahun pada awal

kehidupanya. Menyusui sebaiknya dilakukan setelah kelahiran bayi dan setiap

(12)

5

kali bayi menetek. Yang terpenting dan sering dilupakan dan bahkan dibuang

adalah air susu pertama kali yang keluar, di dalamnya terdapat kolostrum yang

memilki fungsi membentuk antibody dan juga mengandung zat-zat yang

bermanfaat untuk pertumbuhan sang bayi yang dalam bahasa arab disebut

liba’.5

Pembahasan yang akan disampiakan oleh penulis adalah tentang konsep

rad{a’ah menurut Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi, Hanafiyah dan Yusuf

Qarad{awi memiliki beberapa pandangan yang berbeda dalam masalah

rad{a’ah, misalnya terkait syarat dan rukun susuan, dan perbedaan dalam

permasalahan alasan hukum adanya rad{a’ah bisa menjadikan mah}ram. Dua

pemikiran tokoh inilah yang menjadi daya tarik penulis untuk membahasnya

lebih lanjut.

Menurut Hanafiyah Alasan rad{a’ah bisa menjadi mah{ram adalah

karena air susu itu akan mempengaruhi pertumbuhan bayi terutama dalam hal

pembentukan tulang daging, umur dua tahun kebawah merupakan usia yang

sangat menentukan bagi seorang bayi, karena bayi sangat membutuhkan

nutrisi lebih untuk pertumbuhan tubuhnya, sehingga dari hal itu muncul

hubungan antara ibu susuan dan bayi yang menyusu yang diistilahkan dengan

mah}ram yang memiliki konsekuensi hukum si bayi diharamkan menikahi Ibu

yang menyusuinya maupun orang-orang yang ada kaitanya dengan ibu susuan.

Sedangkan pandangan Yusuf Qarad{awi tidak begitu, melainkan alasan

susuan bisa menjadikan nasab adalah karena disaat seorang ibu susuan

(13)

6

menyusui seorang anak maka disaat itu muncul sebuah sifat umu<<>mah

(keibuan) yang diberikan seorang ibu susuan kepada anak yang disusui seperti

halnya kasih sayang dan sifat umumah yang diberikan oleh ibu kandungnya,

oleh karena hal itu antara ibu susuan menjadi nasab dan haram untuk

menikahinya, serta anak-anak ibu susuan itu.

Selain itu yang menjadi daya tarik penulis untuk membahasnya lebih

lanjut adalah karena adanya perbedaan pandangan antara Yusuf Qarad{awi

dengan Hanafiyah tentang konsep rad{a’ah, Hanafiyah memiliki pandangan

yang menarik, dengan berpendapat bahwa konsep mah}ram bi nasab tidak

mutlak bisa diterapkan pada rad{a’ah, karena beliau berpendapat bahwa tidak

semua wanita yang haram dinikahi karena nasab juga haram dinikahi karena

adanya hubungan karena susuan. Akan tetapi Hanafiyah mengecualikan

beberapa wanita yang haram dinikahi karena mah{ram bi nasab namun boleh

dinikahi meskipun ada jalur mah}ram karena rad{a’ah karena menurut beliau

penghalang yang mengharamkan untuk menikahi dalam nasab keturunan tidak

dijumpai dalam mah}ram disebabkan karena susuan. Sedangkan Yusuf

Qarad{awi berpendapat bahwasanya wanita yang haram karena nasab juga

haram dinikahi karena adanya hubungan nasab karena susuan.

B. Identifikassi dan Batasan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, maka

(14)

7

a. Adanya fakta perbedaan pandangan antara Hanafiyah dan Yusuf

Qarad{awi tentang konsep rad{a’ah.

b. Adanya indikasi bahwa terdapat perbedaan hasil ijtihad antara

Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi tentang konsep rad{a’ah.

c. Adanya perbedaan alasan hukum rad{a’ah bisa menjadikan mah}ram

antara Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi.

d. Adanya perbedaan syarat dan rukun rad{a’ah antara Hanafiyah dan

Yusuf Qarad{awi.

e. Adanya perbedaan dalam memahami dan menerapkan hukum dari ayat

rad}a’ah.

f. Adanya perbedaan dasar hukum yang dijadikan landasan yang melatar

belakangi perbedaan pendapat.

2. BatasanMasalah

Dari beberapa masalah yang dapat diidentifikasi penulis diatas dan

banyaknya perkara yang ditemukan, maka agar tidak terjadi kerancauan

dalam pembahasan skripsi yang akan ditulis penulis, maka penulis

membatasi terhadap permasalahan dari:

a. Adanya perbedaan alasan hukum rad{a’ah antara Hanafiyah dan

Yusuf Qarad{awi.

b. Adanya indikasi bahwa terdapat perbedaan hasil ijtihad antara

Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi terhadap konsep rad{a’ah.

c. Adanya perbedaan syarat dan rukun rad{a’ah antara Hanafiyah dan

(15)

8

C. RumusanMasalah

Berdasarkan uraian masalah di atas, penulis merumuskan permasalahan

sebagaimana berikut:

1. Bagaimana pandangan Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi tentang konsep

rad{a’ah ?

2. Bagaimana persamaan dan perbedaan pandangan Hanafiyah dan Yusuf

Qarad{awi tentang konsep rad{a’ah ?

D. KajianPustaka

Kajian pustaka dalam penelitian ini, pada dasarnya untuk mendapatkan

gambaran permasalahan yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang

mungkin pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya sehingga diharapkan

tidak ada pengulangan materi penelitian.

Ada beberapa karya tulis yang berhubungan dengan penelitian yang

dilakukan oleh penulis, di antaranya adalah:

1. Amin Yati, dalam skripsinya yang berjudul Bank ASI Dalam Prespektif Hukum Islam, Studi Komparasi Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i. IAIN Sunan Ampel Surabaya – Syari’ah/AS tahun 2004, dalam skripsinya menyimpulkan bahwa menurut Mazhab Hanafi bahwa air susu

yang telah terpisah dari seorang ibu dianggap telah menjadi bangkai dan

haram menjual air susu ibu, sehingga pendirian Bank ASI tidak

diperbolehkan, sedangkan menurut Mazhab Syafi’i bahwa pemisahan air

susu dari seorang ibu, maka ASI tersebut tetap suci dan boleh dikonsumsi

(16)

9

ASI karena dianggap seperti makanan sebagaimana susu yang lain pada

umumnya, sehingga bila ditinjau dari pendapat ini, maka BANK ASI

boleh didirikan.6

2. Subandi, dalam skripsinya yang berjudul Analisis Pemikiran Yusuf Qarad{awi Tentang Bank ASI (Air Susu Ibu) dan Implikasinya Terhadap Hukum Rada’ah. IAIN Sunan Ampel Surabaya– Syari’ah/AS tahun 2009. Dalam skripsinya menyimpulkan bahwa

menurut Yusuf Qarad{awi bahwa Bank ASI sangatlah membantu orang

yang lemah terlebih pada bayi yang prematur, bahkan bila perlu susu

dibeli jika sang donatur tidak berkenan memberikan susunya. Memberikan

pertolongan tersebut menurut Yusuf Qarad{awi sesuai dengan nilai-nilai

Islam. Karena sangat membantu para bayi yang terlahir dan kurang

beruntung dengan tidak mendapatkan ASI.7

Dari kajian pustaka yang penulis ambil jelas sekali perbedaanya, jika

skirpsi-skripsi sebelumnya membahas tentang bank ASI disini penulis

lebih fokus membahas tentang rad}a’ah dan hal-hal yang berkaitan

denganya terutama dalam permasalahan ‘illatul hukmi (alasan hukum)

rad}a’ah bisa menyebabkan hubungan mah}ram. sehingga bisa

disimpulkan skrispsi ini merupakan karya dari penulis murni.

(17)

10

E. TujuanPeneitian

Agar langkah yang ditempuh lebih mengarah serta diketahui tujuannya,

maka penulis menyebutkan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pandangan Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi tentang

konsep rad{a’ah.

2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pandangan Hanafiyah dan

Yusuf Qarad{awi tentang konsep rad{a’ah.

F. KegunaanPenelitian

Dari hasil penelitian diharapkan bisa bermanfaat minimal untuk hal-hal

sebagai berikut:

1. Aspek Teoritis

Dalam aspek teoritis, diharapkan dapat menambah ragam keilmuan

ke Islaman tentang konsep rad{a’ah disampaikan oleh Hanafiyah dan

Yusuf Qarad{awi.

2. Aspek Praktis

Secara prakis, penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk

bahan pertimbangan atau bahan acuan bagi pihak-pihak yang

membutuhkan, baik untuk penelitian lebih lanjut maupun sebagai bahan

pengetahuan dalam hal konsep rad{a’ah menurut pandangan Hanafiyah

dan Yusuf Qarad{awi.

(18)

11

Untuk memperjelas pemahaman tentang penelitian yang berjudul

Konsep rad{a’ah Menurut Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi. Perlu dijelaskan

tentang definisi operasional sebagai berikut:

1. Rad{a’ah : menurut bahasa adalah menghisap puting sedangkan

menurut istilah adalah menunjukkan pada proses

menyusui yang dilakukan oleh seorang wanita yang

bukan ibu kandungnya kepada anak susuan yang

menyebabkan hubungan mah{ram.

2. Hanafiyah : merupakan maz{hab yang didirikan oleh Imam Abu

Hanifah yang dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80

Hijriah (699 Masehi). Nama kecilnya ialah Nu’man bin

Sabit bin Zautha bin Mah. Ayah beliau keturunan dari

bangsa Persi (Kabul-Afganistan) tetapi sebelum beliau

dilahirkan ayah beliau sudah pindah ke Kufah. Beliau

dipanggil Abu Hanifah karena sesudah berputra, ada di

antaranya yang dinamakan Hanifah, maka dari itu

beliau mendapat gelar dari orang banyak dengan

sebutan Abu Hanifah.

3. Yusuf Qarad{awi : Yusuf Al-Qarad{awi dilahirkan di Desa

Shafth Turaab, Mesir bagian Barat, pada 9 September

1926/1344 H. Desa tersebut adalah tempat

dimakamkannya seorang sahabat Nabi Saw., yaitu

(19)

12

Sebuah konsep atau gagasan abstrak yang dimiliki oleh Yusuf

Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi untuk mengklasifikasi tentang konsep

rad{a’ah.

H. Metode Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian

kepustakaan (Library Reseach). Adapun yang dimaksud dengan penelitian

kepustakan adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode

pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan

penelitian.8 Bahan-bahan penelitian kepustakaan bisa berupa manuskrip, buku,

majalah, surat kabar dan dokumen lainnya yang dianggap perlu.9

1. Data Yang diKumpulkan

Penelitian ini berupa penelitian kepustakaan (Library Reseach), maka

data-data yang dikumpulkan adalah data-data yang berasal dari

kepustakaan yang melingkupi:

Data tentang pemikiran Yusuf Qarad{awi dan Hanafiyah tentang

konsep rad{a’ah.

a. Data mengenai biografi intelektual Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi.

b. Data mengenai metode ijtihad Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi.

c. Data mengenai pandangan Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi tentang

konsep rad{a’ah.

(20)

13

2. Sumber Data

a. Sumber Data Primer (Utama)

Sumber data ini diperoleh dari sumber asli baik berbentuk

dokumen maupun peninggalan lainnya.10 Sumber data primer yang

akan digunakan sebagai bahan dalam penelitian ini adalah penelitian

pustaka. Antara lain:

1) Sarakhsy, Al-Mabsut}, Dar al-‘Alamiyah, Beirut, 1993.

2) Abu Al-Hasan bin Husain,Al-Nataf fi al-Fatawa, Dar al-Furqan,

1984.

3) Yusuf Qarad}awi, Halal dan Haram Dalam Islam, alih bahasa:

Muammal Hamdy, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 2003.

4) Yusuf Qarad{awi, Fatwa-fatwa Islam Kontemporer, Jilid II, Terj.

Abdul Hayi Al-Kattani Dkk, Jakarta : Gema Insani Press;

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah data yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer.11 Antara lain:

1) Sayid Sabiq, fiqh As-Sunnah, Beirut: Darul fikr, 1996.

2) Abdullah Muhammad, Mawahibul Jalil, Beirut: Darul Kutb

al-ilmiyah, 1995.

3) Ali bin Abu Bakar, Al-Hidayah fi sharh{i bidayatul mubtadi’, Dar

Al-Ihya, Beirut, tt.t.

4) Abdullah bin Mahmud, al-Ikhtiyar, Beirut, Dar al-Kutub, 1937.

10 Winarno Surakhmad, Pengantar Ilmiah: Dasar, Metode dan Teknik, (Bandung: Tarsito, 1994), 134.

(21)

14

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka (Literatur), yaitu

menghimpun data yang berasal dari buku-buku dan naskah-naskah yang

berkaitan dengan permasalahan tersebut. dalam penelitian ini data yang

akan dihimpun merupakan data yang berkaitan dengan Konsep rad{a’ah.

4. Metode Analisis Data

Data penelitian yang sudah diolah akan dianalisis dengan :

a. Deskriptif: menggambar permasalahan-permasalahan yang dibahas

dengan mensistematikan data, sehingga membantu sebuah pendapat

ulama agar mudah dipahami oleh penyusun dan pembaca.12

b. Komparatif: membandingkan antara pendangan Hanafiyah dan Yusuf

Qarad{awi untuk menemukan titik persamaan dan perbedaannya.

I. SistematikaPembahasan

Sistematika dalam penelitian ini terbagai dalam lima bab pokok kajian

sebagai berikut:

Bab Pertama: Pendahuluan, memuat uraian latar belakang masalah,

identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, sistematika

pembahasan.

Bab Kedua : Bab ini mengenai tentang konsep rad{a’ah menurut

hukum islam.

(22)

15

Bab Ketiga: Bab ini mengenai dasar pemikiran Hanafiyah dan Yusuf

Qarad{awi tentang konsep rad{a’ah.

Bab Keempat: Bab ini membahas mengenai analisis komparatif antara

pemikiran Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi tentang konsep rad{a’ah.

Perbandingan tersebut bertujuan untuk mencari sisi persamaan dan perbedaan

diantara pimikiran Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi.

(23)

16 BAB II

KONSEP RAD{A’AH MENURUT HUKUM ISLAM A. PENGERTIAN RAD}A’AH

Rad{a’ah menurut bahasa adalah menetek puting, sedangkan rad{a’ahmenurut istilah adalah proses menetek seorang anak yang berusia dibawah 2 (dua) tahun kepada wanita yang bukan ibu kandungnya sendiri.

Munculnya hukum rad}a’ahini didasarkan pada sebuah firman allah SWT surat an-Nisa ayat 23:

 





  

(24)

17

Dari uraian ayat diatas dapat dipahami bahwa rad{a’ahmemiliki hukum

yang sama dengan hubungan karena nasab yaitu dalam hal keharaman nikah.

B. SYARAT RAD}A’AH

Bila seorang anak menyusu kepada seorang wanita yang bukan ibu

kandungnya, maka air susuwanita itu menjadi darah serta asupan bagi

pertumbuhan bagi si anak sehingga perempuan yang menyusukan itu menjadi

seperti ibu kandungnya sendiri. Wanita itu menghasilkan susu karena

kehamilan yang disebabkan hubunganya dengan suaminya; sehingga suami

wanita itu sudah seperti ayahnya. Sebaliknya anak yang disusui juga sudah

menjadi seperti anak bagi ibu yang menyusukan dan suaminya.Demikian pula

anak yang dilahirkan ibu yang menyusui juga menjadi seperti saudara dari

anak yang menyusu kepada perempuan itu.

Adanya hubungan susuan ini muncul setelah terpenuhi beberapa syarat,

yang setiap syarat itu menjadi perbincangan para ulama.

1. Usia anak yang menyusu.

Jumhur ulama berpendapat anak yang menyusu harus berusia

dibawah 2 (dua) tahun, karena dalam usia tersebut ASI akan menjadi

asupan untuk menopang pertumbuhanya. Batas masa dua tahun ini

berdasarkan pada sebuah hadith yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas

Nabi bersabda :

ْا ﻰِﻓ ﱠﻻِا َعﺎَﺿَر َﻻ َﺤﻟ

(25)

18

Artinya : tidak ada hubungan susuan keuali dalam masa dua tahun.

Beda pendapat muncul dari ulama z{ahiry yang mengatakan bahwa

susuan yang berlaku terhadap anak yang berumur lebih dari 2 (dua)

tahun, bahkan dewasa juga menimbulkan hubungan mah{ram

golongan ini berlandaskan dengan z{ahir dan keumuman ayat

al-Qur’an; sedangkan hadith diatas tidak cukup kuat untuk membatasi

keumuman ayat tersebut.1

Bila si anak berhenti menyusu sebelum waktu dua tahun dan tidak

lagi memerlukan ASI, kemudian anak tersebut disusukan kepada

seorang perempuan akan muncul sebuah pertanyaan apakah

menyebabkan hubungan mah{ram ataukah tidak. Imam Malik

berpendapat bahwa hal tersebut tidak lagi menyebabkan hubungan

mah{ram dengan dasar sebuah hadis yang menjelaskan bahwa “tidak ada susuan kecuali bila susuan itu memenuhi kebutuhan laparnya”.

Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i menyatakan bahwa susuan

dalam bentuk itu tetap menyebabkan hubungan mah{ram karena si anak masih berusia dibawah dua tahun.

2. Kadar Susuan.

Menurut maz{hab Syafi’i dan Hanbali penyusuan harus dilakukan

dengan lima kali isapan yang terpisah, karena yang dianggap kuat

dalam hal persususuan adalah persusuan menurut adat istiadatnya

(‘urf) ketika sibayi memisahkan diri dari penyusuan karena sudah

(26)

19

enggan menyusu, maka dihitung menjadi rad{a’ah hal itu berdasarkan

pada ‘urf, adapun ketika bayi memutuskan berpisah dari menyusu walau hanya sekedar istirahat, bernafas, bermain-main atau berpindah

pada puting satunya dari wanita satu menuju wanita yang lain maka

tidak dihitung dalam rad{a’ah, melainkan seluruhnya hanya dihitung satu kali isapan saja. Apabila penyusuan tersebut kurang dari lima kali

isapan maka tidak ada hukum mah{ram, apabila ada keraguan dalam hitunganya maka harus dibangun sebuah keyakinan dalam penyusuan

tersebut, karena dalam hal itu pada asalnya adalah tidak adanya

persusuan yang menimbulkan mah{ram, namun meninggalkan

keraguan yang lebih diutamakan, karena keraguan adalah hal yang

samar. Hal ini didasarkan pada beberapa hal diantaranya adalah:

a. Hadith yang diriwayatkan dari Aisyah yang artinya: “Ayat

al-Qur’an pernah turun dalam mengharamkan wanita tempat menyusu

jika susuan (mencapai) sepuluh kali susuan, kemudian dinasakh

menjadi lima kali susuan. Lalu Rasulullah wafat dan hukum lima

kali susuan masih dibaca dalam al-Qur’an.

b. ‘Illat yang terkandung dalam rad{a’ah adalah syubhat juzi’yyat, yaitu yang terjadi dengan sebab susu yang menumbuhkan daging dan

tulang, dan hal ini tidak terjadi dalam susuan yang sedikit. Oleh

karena itu persusuan yang sedikit tidak menyebabkan mah{ram yang

(27)

20

Sedangkan menurut Imam Malik dan Hanafi ASI yang

banyak maupun sedikit tetap dihukumi mah}ram meskipun satu kali

sedot. Berdasarkan pada dalil-dalil diantaranya:

a. Keumuman firman Allah SWT : an-nisa ayat 23

b. Hadith yang menyatakan bahwa “sesuatu yang diharamkan sebab

persusuan sama dengan yang diharamkan sebab nasab” hadith tersebut mengandung hukum mah{ram tanpa menentukan persusuan dan didukung

pula dengan hadithlain dari para sahabat, yaitu riwayat dari ‘Ali, Ibnu

Mas’ud, dan Ibnu Abbas, bahwa mereka berkata: “sedikit atau banyaknya

susuan tetap mengharamkan.

c. Bahwa persusuan merupakan perbuatan yang mengandung hukum

mah}ram, maka baik sedikit maupun banyak sama saja, karena maksud dari asy-Syari’ mengggantungkan hukum dan hakikat serta terlepas dari

syarat berulang-ulang dan banyaknya, apabila hakikat itu terwujud, maka

hukum itu pun datang.

Pendapat ini banyak dipakai di negara mesir dan libya, sedangan

pendapat pertama banyak dipakai di negara suriah karena merupakan

pendapat yang kuat dan mengandun unsur kemudahan dan keluwesan bagi

manusia.2

Sedangkan menurut Daud az-Z{ahiry kadar susuan yang

mengharamkan nikah itu minimal tiga kali isapan, dan jika kurang dari itu

maka tidak haram bagi lelaki tempat ia menyusu.

(28)

21

3. Cara Menyusu.

Cara menyusu yang biasa dipahami umum adalah si anak menyusu

langsung dari puting susu, sehingga sianak merasakan kehangatan susu

ibu itu. Namun bila si anak menyusu tidak langsung pada puting susu

ibu, tetapi air susu ibu yang diperah dan dimasukkan kedalam mulut si

bayi dengan menggunakan alat tertentu, terdapat beda pendapat antara

ulama dalam menjadikan sebagai hubungan susuan yang menyebabkan

keharaman nikah. Jumhur ulama termasuk Malikiyah berpendapat

bahwa penyusuan yang tidak dengan cara menetek langsung pada

puting tetap menyebab hubungan mah{ram karena yang menjadi dasar

adalah sampainya air susu ibu kedalam kerongkongan si bayi.

Sedangkan menurut ulama z{ahiri mengatakan bahwa susuan yang

menyebabkan hubungan mah{ram adalah proses menyusu yang

dilakukan seorang anak dengan cara menetek lagsung pada putting ibu

tidak dengan cara yang lain meskipun air susu sampai pada

kerongkongan si bayi, karena yang dinamakan menyusu adalah dengan

cara menetek secara langsung.

4. Kemurnian air susu.

Dalam arti tidak bercampur dengan air susu lain, atau dengan zat

lain diluar selain susu ibu. Sebagian ulama termasuk Abu Hanifah dan

sahabatnya mengharuskan air susu itu. Sebagian ulama termasuk Imam

Syafi’I dan pengikut Imam Malik berpendapat bahwa air susu yang

(29)

22

5. Suami penyebab adanya susu.

Jumhur ulama mengatakan bahwa penyusuan yang menyebabkan

adanya hubungan mah{ram ialah bila susu tersebut berasal dari seorang perempuan yang bersuami bukan dari air susu perempuan

yang disebabkan hubungan zina. Dalam hal ini apakah suami yang

menyebabkan adanya air susu itu dapat menempati kedudukan ayah

sehingga menimbulkan pula hubungan dengan orang-orang yang ada

hubunganya dengan suami, dalam hal ini para ulama bebeda pendapat,

ada ulama yang berpendapat bahwa suami yang menghasilkan susu ibu

yang disebut al-fahl menyebabkan hubungan mah{ram. Golongan kedua berpendapat bahwa al-fahl itu tidak menyebabkan hubungan mah{ram sehingga tidak menyebabkan larangan perkawinan. Dengan ditetapkanya suami ibu yang menyusukan sebagai ayah bagi anak yang

menyusu, maka orang-orang yang berhubungan nasab dengan ayah itu

menjadi hubungan mus{a>harah dengan si anak.

6. Kesaksian.

Adanya peristiwa penyusuan menyebabkan hubungan susuan dan

dengan adanya hubungan susuan itu, maka timbullah larangan

perkawinan antara orang-orang yang berhubungan susuan itu.Untuk

memastikan telah terjadinya peristiwa penyusuan diperlukan adanya

kesaksian. Tentang berapa orang yang harus menyaksikan tedapat beda

(30)

23

kesaksian ini dapat dilakukan oleh empat orang perempuan karena tiap

dua orang perempuan menempati posisi satu laki-laki, inilah pendapat

yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i. Bila telah terpenuhi ketentuan

sebagaimana yang telah ditetapkan menurut perbedaan ulama diatas,

berlakulah hubungan mah{ram yang selanjutnya menyebabkan

keharaman nikah antara orang-orang yang memiliki hubungan

tersebut. Adapun perempuan yang haram dikawini untuk selama

lamanya karena hubungan susuan adalah ibu yang menyusukan dan

perempuan-perempuan yang menyusu kepada ibu itu, dan

wanita-wanita yang masuk dalam mah{ram karena nasab.

7. Ikrar

Menurut Madhab Hanafiyah ikrar dalam persusuan adalah

pengakuan persusuan dari pihak laki-laki dan wanita secara bersamaan

atau salah satu dari mereka.Apabila ikrar itu dilakukan sebelum

menikah, maka keduanya tidak boleh menikah dan apabila mereka

menikah maka pernikahanya batal.Apabila ikrar itu dilakukan setelah

perkawinan maka mereka harus berpisah, ketika mereka memilih

enggan berpisah, maka hakim berhak memaksa mereka untuk berpisah.

Menurut Malikiyah rad{a’ah dapat terjadinya dengan adanya ikrar kedua pasangan suami istri secara bersama, atau pemberitahuan

salah satu dari orang tua mereka berdua, atau hanya dengan

(31)

24

akad nikah, atau pemberitahuan dari seorang istri yang sudah baligh

dan dilakukan sebelum akad.

Madhab Syafi’I menetapkan bahwa ikrar harus dilakukan oleh

dua orang laki-laki karena dianggap lebih ungul dalam ikrar.3

C. ORANG-ORANG YANG HARAM DINIKAHI

1. Ibu susuan. Termasuk dalam ibu susuan adalah ibu yang menyusukan,

yang menyusukan ibu susuan, yang melahirkan ibu susuan, dan seterusnya

garis lurus keatas.

2. Anak susuan. Termasuk didalamnya adalah anak yang disusukan istri;

anak yang disusukan anak perempuan; anak yang disusukan istri anak

laki-laki, dan seterusnya dalam garis lurus kebawah.

3. Saudara sesusuan. Termasuk didalamnya adalah: anak ibu susuan, anak

yang disusukan ibu susuan, yang dilahirkan istri ayah susuan, anak yang

disusukan istri ayah susuan, yang disusuan ibu; yang disusukan istri dari

ayah.

4. Bibi susuan. Yang dimaksud disini adalah saudara dari ibu susuan, saudara

dari ibu dari ibu susuan.

5. Anak saudara laki-laki atau perempuan sesusuan. Meliputi anak dari

saudara sesusuan, dan seterusnya kebawah. Orang-orang yang disusukan

oleh saudara sesusuan, yang disusukan anak saudara

(32)

25

sesusuan,yangdisusukan istri saudara laki-laki, dan seterusnya garis lurus

kebawah dalam hubungan nasab dan susuan.

Hubungan susuan ini disamping berkembang pada hubungan nasab, juga berkembang pada hubungan musa>{harah. Bila seorang ayah tidak boleh menikahi istri dari ayah, maka keharaman ini juga menluas pada perempuan

yang disusukan oleh istri-istri dari ayah susuan.Bila seorang laki-laki tidak

boleh megawini anak dari istri, keharamann ini meluas pada perempuan yang

disusukan oleh istri.

Menurutmaz{hab empat terjadinya rad{a’ah tidak harus melalui penyedotan pada puting susu, namun pada sampainya air susu menuju

lambung bayi yang dapat menumbuhkan tulang dan daging. Namun mereka

berbeda pendapat mengenai jalan lewatnya ASI, menurut Imam Malik dan

Hanafi harus melalui rongga mulut, sedangkan menurut Hanbali adalah

sampai pada lambung dan pada perut atau otak besar.4

Menurut mayoritas ulama penyusuan yang dilakukan melalui mulut

karena bersifat mengenyangkan sebagaimana persusuan atau melalui hidung

karena adanya sifat memberi makan, karena otak memilki perut seperti

lambung, namun sifat memberi makan tidak disyaratkan harus melalui lubang

atas, akan tetapi sampainya susu pada lambung dianggap cukup untuk

menimbulkan hukum mah{ram.

(33)

26

Dalam permasalahanrad{a’ahperbedaan yang paling mencolok antara

Hanafiyah dan Yusuf Qarad{awi adalah ‘illatul hukmi sehingga dianggap penting untuk memahami tentang ‘illat dan hal-hal yang berkaitan denganya.

‘Illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal (al-ashl) yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal (al-ashl) serta untuk mengetahui hukum pada fara’ (al-far’) yang belum hamba-hamba-Nya. Kemaslahatan itu

adakalanya dalam bentuk mengambil manfaat (jalbul manâfi’) dan

adakalanya dalam bentuk menolak kerusakan dan bahaya (dar-ul mafâsid).

Kedua macam bentuk hukum itu merupakan tujuan terakhir dari

pembentukan hukum yang disebut hikmah hukum.

Hikmah hukum berbeda dengan ‘illat hukum. Hikmah hukum merupakan

pendorong pembentukan hukum dan sebagai tujuannya yang terakhir ialah

untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat dengan memperoleh

manfaat dan keuntungan serta terhindar dari segala macam kerusakan.

Sedang ‘Illat hukum merupakan suatu sifat yang nyata dan pasti ada pada

suatu peristiwa yang dijadikan dasar hukum.‘IlIat merupakan: “sifat dan

keadaan yang melekat pada dan mendahului peristiwa/perbuatan hukum yang

terjadi dan menjadi sebab hukum”, sedangkan hikmah adalah: “sebab positif

dan hasil yang dirasakan kemudian setelah adanya peristiwa hukum”. Sebagai

contoh ialah: seorang musafir boleh mengqashar shalatnya, seperti

mengerjakan shalat z{uhur yang empat raka’at menjadi dua raka’at

(34)

27

Hikmahnya ialah untuk menghilangkan masyaqqah (kesulitan) atau

kemadharatan. Hikmah ini hanya merupakan dugaan saja dan tidak dapat

dijadikan dasar ada atau tidaknya hukum, sedang ‘illat adalah suatu yang

nyata dan pasti, seperti safar (dalam perjalanan) menyebabkan seseorang

boleh mengqashar shalat.Mengenai ‘illat hukum dan sebab hukum, ada yang

tidak membedakannya, mereka menyamakan arti kedua istilah tersebut.

Sebagian ulama lagi membedakannya, sekalipun perbedaan itu sangat sedikit.

Menurut mereka ‘illat hukum dapat dicapai oleh akal, sedang sebab hukum

ada yang dapat dicapai akal dan ada yang sukar dicapai oleh akal.

Sebenarnya untuk membedakan pengertian kedua istilah itu sukar

dilakukan, karena ada suatu peristiwa yang dalam peristiwa itu ‘illat dan

sebabnya sama. Seperti tergelincir matahari pada siang hari merupakan sebab

seorang muslim wajib mengerjakan shalat Zhuhur, demikian pula

terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Sya’ban merupakan sebab

kaum muslimin besoknya mengerjakan puasa bulan Ramadhan. Tetapi

terbenam dan tergelincirnya matahari itu bukanlah ‘illat hukum karena kedua

sebab itu tidak terjangkau oleh akal. Lain halnya dengan safar (dalam

perjalanan) disamping ia merupakan ‘illat hukum, juga merupakan sebab

hukum yang membolehkannya untuk mengqashar shalat.

Dengan demikian dapat ditetapkan bahwa sebab itu lebih umum

dari ‘illat, dengan perkataan lain bahwa semua ‘illat dapat dikatakan sebab,

tetapi belum tentu semua sebab dapat dikatakan ‘illat.

(35)

28

1. Sifat ‘illat itu hendaknya nyata, masih terjangkau oleh akal dan pancaindera.

Hal ini diperlukan karena‘illat itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan

hukum pada fara’ (al-far’). Seperti sifat menghabiskan harta anak yatim,

terjangkau oleh pancaindera dan akal, bahwa ‘illat itu ada pada memakan

harta anak yatim (ashal (al-ashl)) dan terjangkau pula oleh pancaindera dan

akal bahwa ‘illat itu ada pada menjual harta anak yatim (fara’ (al-far’)). Jika

sifat ‘illat itu samar-samar, kurang jelas dan masih ragu-ragu, tentulah tidak

dapat digunakan untuk menetapkan ada dan tidaknya hukum pada ashal

(al-ashl).

2. Sifat ‘illat itu hendaklah pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan

bahwa ‘illat itu ada pada fara’ (al-far’), karena asas qiyas itu adalah adanya

persamaan illat antara ashal (al-ashl) dan fara’ (al-far’). Seperti pembunuhan

sengaja dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya

hakikatnya adalah pasti, karena itu dapat dijadikan dasar qiyas atas peristiwa

pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh penerima wasiat terhadap

orang yang telah memberi wasiat kepadanya.

3. ‘Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa keras dugaan bahwa ‘illat itu sesuai dengan hikmah

hukumnya. Seperti memabukkan adalah hal yang sesuai dengan hukum

haram minum khamar, karena dalam hukum itu terkandung suatu hikmah

hukum, yaitu memelihara akal dengan menghindarkan diri dari mabuk.

(36)

29

karena dalam qishash itu terkandung suatu hikmah hukum yaitu untuk

memelihara kehidupan manusia.

4. ‘Illat itu tidak hanya terdapat pada ashal (al-ashl) saja, tetapi haruslah berupa sifat yang dapat pula diterapkan pada masalah-masalah lain selain dari ashal

(al-ashl) itu. Seperti hukum-hukum yang khusus berlaku bagi Nabi Muhammad SAW tidak dijadikan dasar qiyas. Misalnya mengawini wanita

lebih dari empat orang, berupa ketentuan khusus berlaku bagi beliau, tidak

berlaku bagi orang lain. Larangan istri-istri Rasulullah SAW kawin dengan

laki-Iaki lain setelah beliau meninggal dunia, sedang wanita-wanita lain

dibolehkan.

Ditinjau dari segi ketentuan pencipta hukum (syari’) tentang sifat

apakah sesuai atau tidak dengan hukum, maka ulama ushul membaginya

kepada empat bagian, yaitu:

a. Munâsib Mu’athir

Yaitu persesuaian yang diungkapkan oleh syara’ dengan sempurna,

atau dengan perkataan lain bahwa pencipta hukum (syari’) telah

menciptakan hukum sesuai dengan sifat itu, seperti firman Allah SWT

yang artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri

dari wanita di waktu haid.” (QS al-Baqarah [2]: 222)

Pada ayat di atas Allah SWT (sebagai Syâri‘) telah menetapkan hukum,

yaitu haram mencampuri istri yang sedang haid. Sebagai dasar penetapan

(37)

30

Allah SWT di atas sebagai ‘illatnya. Kotoran sebagai sifat yang menjadi

sebab haram mencampuri istri yang sedang haid adalah sifat yang sesuai

dan menentukan penetapan hukum.

b. Munâsib Mulâim

Yaitu persesuaian yang diungkapkan syara’ pada salah satu jalan

saja. Maksudnya ialah persesuaian itu tidak diungkapkan syara’

sebagai ‘illat hukum pada masalah yang sedang dihadapi, tetapi

diungkapkan sebagai ‘illat hukum dan disebut dalam nas} pada masalah

yang lain yang sejenis dengan hukum yang sedang dihadapi. Contohnya,

ialah kekuasaan wali untuk mengawinkan anak kecil yang di bawah

perwaliannya tidak ada nas} yang menerangkan ‘illatnya. Pada masalah

lain yaitu pengurusan harta anak yatim yang masih kecil, syara’

mengungkapkan keadaan kecil sebagai ‘illat hukum yang menyebabkan

wali berkuasa atas harta anak yatim yang berada di bawah perwaliannya

itu. Berdasarkan pengungkapan syara’ itu maka keadaan kecil dapat pula

dijadikan ‘illat untuk menciptakan hukum pada masalah lain, seperti

penetapan kekuasaan wali dalam mengawinkan anak yatim yang berada di

bawah perwaliannya.

c. Munâsib Mursal

Ialah munasib yang tidak dinyatakan dan tidak pula diungkapkan oleh syara’. Munasib Mursal berupa sesuatu yang nampak oleh mujtahid

(38)

31

tetapi tiada dalil yang menyatakan bahwa syara’ membolehkan atau tidak

membolehkannya, seperti membukukan al-Quran atau mushhaf, tidak ada

dalil yang membolehkan atau melarangnya. Tetapi Khalifah Utsman bin

‘Affan melihat kemaslahatannya bagi seluruh kaum muslimin, yaitu

al-Quran tidak lagi berserakan karena telah tertulis dalam satu buku serta

dapat menghindarkan kaum muslimin dari kemungkinan terjadinya

perselisihan tentang dialek al-Quran.

d. Munâsib Mulghâh

Yaitu munasib yang tidak diungkapkan oleh syara’ sedikitpun, tetapi ada petunjuk yang menyatakan bahwa menetapkan atas dasarnya

diduga dapat mewujudkan kemaslahatan. Dalam pada itu syara’ tidak

menyusun hukum sesuai dengan sifat atau ‘illat tersebut, bahkan syara’

memberi petunjuk atas pembatalan atas sifat tersebut. Sebagai contohnya,

ialah kedudukan laki-Iaki dan perempuan dalam kerabat. Kemudian atas

dasar persamaan itu mungkin dapat ditetapkan pula persamaan dalam

warisan. Tetapi syara’ mengisyaratkan pembatalannya dengan menyatakan

bahwa bagian laki-Iaki adalah dua kali bagian perempuan.

Masâlik al-‘illat, ialah cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau ‘illat dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat

dijadikan dasar untuk menetapkan hukum.Di antara cara tersebut, ialah:

(39)

32

Dalam hal ini nas} sendirilah yang menerangkan bahwa suatu sifat

merupakan ‘illat hukum dari suatu peristiwa atau kejadian. ‘Illat yang

demikian disebut ‘illat manshûsh ‘alaih. Melakukan qiyas

berdasarkan‘illat yang disebutkan oleh nas} pada hakikatnya adalah

menetapkan hukum suatu dasar nas}.

b. Ijma’ yang menunjukkannya

Maksudnya, ialah ‘illat itu ditetapkan dengan ijma’, belum baligh

(masih kecil) menjadikan ‘illat dikuasai oleh wali harta anak yatim

(40)

BAB III

KONSEP RAD{A’AHMENURUTHANAFIYAHDAN YUSUF QARAD{AWI

A. KONSEP RAD{A’AH MENURUT HANAFIYAH

1. Biografi Hanafiyah

Hanafiyah merupakan aliran madhab yang didirkan oleh Abu Hanifah

dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 Hijriyah (699 Masehi). Nama kecilnya

ialah Nu’man bin Sabit bin Zautha bin Mah. Ayah beliau keturunan dari

bangsa Persi (Kabul-Afganistan) tetapi sebelum beliau dilahirkan ayah beliau

sudah pindah ke Kufah. Beliau dipanggil Abu Hanifah karena sesudah

berputra, ada di antaranya yang dinamakan Hanifah, maka dari itu beliau

mendapat gelar dari orang banyak dengan sebutan Abu Hanifah. Tetapi ada

riwayat lain, bahwa yang menyebabkan beliau dipanggil Abu Hanifah, karena

beliau seorang yang rajin melakukan ibadah kepada Allah SWTdan sungguh

sungguh mengerjakan kewajibannya dalam agama. Karena perkataan

“H{anif” dalam bahasa Arab artinya “cenderung” atau “condong” kepada

agama yang benar. Beliau wafat pada bulan Rajab tahun 150 H (767 M) di

Bagdad.Beberapa Tokoh Hanafiyah yang terkenal adalah :

a. Imam Abu Yusuf, Yaqub bin Ibrahim al-Ansary lahir pada tahun 113

Hijriyah. Beliau setelah dewasa belajar menghimpun atau

mengumpulkan hadith-hadith dari Nabi SAW., yang diriwayatkan dari

(41)

34

Imam Abu Yusuf termasuk golongan ulama ahli hadith yang

terkemuka, beliau wafat tahun 183 Hijriyah.

b. Imam Muhammad bin Hasan bin Farqad asy-Syaibani, lahir di Irak

tahun 132 Hijriyah. Beliau seorang alin ahli fikih dan furu’ bin Hasan

wafat pada tahun 189 Hijriyah di kota Rayi.

c. Imam Zafar bin Huzail bin Qais al-Kufi lahir pada tahun 110 Hijriyah.

Beliau amat menyenangi untuk mempelajari ilmu akal atau ra’yi,

beliau juga menjadi seorang ahli qiyas dan ra’yi yang meninggal tahun

158 Hijriyah.

d. Imam Hasan bin Ziyad al-Luluy, beliau belajar pada Imam Abu

Hanifah, Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan, serta

wafat pada tahun 204 Hijriyah. Empat orang ulama itulah sahabat dan

murid Imam Abu Hanifah, yang akhirnya menyiarkan dan

mengambangkan aliran dan hasil ijtihad beliau yang utama, serta

mereka mempunyai kelebihan untuk memecahkan soal-soal ilmu fiqh

atau soal-soal hukum yang bertalian dengan agama. Bahkan Imam Abu

Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan sejak dahulu mendapat gelar

“As-Sahabain” yakni kedua sahabat Imam Abu Hanifah yang paling

rapat.

2. Metode Istinbath Hukum Hanafiyah

Madhab Hanafi adalah aliran fiqh yang merupakan hasil ijtihad

(42)

35

pembentukannya,madhab ini banyak menggunakan ra’yu (rasio).Karena

itu, madhab ini terkenal sebagai madhab aliran ra’yu.Tetapi dalam kasus

tertentu, mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadith mereka

nilai sebagai hadith ahad.

Sedangkan dasar-dasar Hanafiyahadalah :

a. Kitab Allah SWT(al-Qur'anul Karim)

b. Sunnah Rasulullah SAW. dan athar-athar yang s{ahih serta telah

masyhur (tersiar) di antara para ulama yang ahli.

c. Fatwa-fatwa dari para sahabat.

d. Qiyas.

e. istih}san.

f. Adat yang telah berlaku di dalam masyarakat umat Islam.

Dalam membentuk hukum, Hanafiyah menempatkan al- Qur'an

sebagai landasan pokok, kemudian sunnah sebagai sumber kedua. Beliau

juga berpegang pada fatwa sahabat yang disepakati, tetapi jika suatu

hukum tidak ditemukan dalam sumber-sumber tersebut, ia melakukan

ijtihad. ‘Illat ayat-ayat hukum dan hadith, terutama dalam bidang

mu’amalah, menurut pandangannya perlu sejauh mungkin ditelusuri

sehingga berbagai metode ijtihad dapat difungsikan antara lain qiyas dan

istih}san. Metode istih}san telah banyak berperan dalam membentuk

pendapat-pendapat Hanafiyah menjadi sebuah hukum yang realistis dan

rasional. madhab Hanafi memiliki beberapa ciri sebagai berikut:

(43)

36

b. Fiqh Hanafiyah memberikan penghargaan khusus kepada

hakseseorang baik pria maupun wanita.

Dalam memecahkan suatu masalah, Hanafiyah menggunakan beberapa

metode dalam beristinbat}, yaitu mengambil Kitabullah sebagai sumber

pokok, sunnah Rasulullah SAW. danathar-athar yang s{ahih dan tersiar di

kalangan orang-orang yang terpercaya, pendapat para sahabat yang

dikehendaki atau meninggalkan pendapat mereka yang dikehendaki (apabila

urusan itu sampai kepada Ibrahim, asy-Sya’bi, Hasan, Ibnu sirin dan Sa’id bin

Musayyab, maka beliau berijtihad sebagaimana mereka berijtihad), juga

menggunakan ijma’, qiyas, istih}sa>n dan ‘urf. Untuk lebih jelasnya akan

dibahas berikut ini :

a) Al-Kitab (al-Qur'an)

Al-Qur'an adalah kitab Allah SWTyang diwahyukan kepada Nabi

Muhammad SAW.Yang merupakan sumber dari segala sumber hukum

dan sumber hukum tidak kembali kecuali kepada keaslian penetapan

al-Qur'an. Menurut al-Badawi, Hanafiyah menetapkan al-Qur'an adalah

lafaz{ dan maknanya. Sedang menurut as-Sarakhsi, al-Qur'an dalam

pandangan Hanafiyahhanyalah makna, bukan lafaz{ dan makna.

b) As-Sunnah

As-sunnah adalah penjelas bagi kitab Allah SWTyang masih

mujmal dan merupakan risalah yang diterima oleh Nabi dari Allah

SWT.Yang disampaikan oleh kaumnya yang yakin dan barang siapa yang

(44)

37

risalah Nabi dari Tuhannya. Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa sesuatu

yang ditetapkan dengan al-Qur'an yang qat}’idalalahnya dinamakan

fard}u, sesuatu yang ditetapkan oleh as-Sunnah yang z{annydalalahnya,

dinamakan wajib. Demikian pula yang dilarang, tiap-tiap yang dilarang

oleh al-Qur'an dinamakan haram dan tiap-tiap yang dilarang oleh Sunnah

dinamakan makruh tah}rim.

c) Aqwalus-sahabah(fatwa sahabat)

Hanafiyah menerima pendapat sahabat dan mengharuskan umat

Islam mengikutinya.Jika ada suatu masalah ada beberapa pendapat

sahabat, maka beliau mengumpulkan salah satunya.Jika tidak ada pendapat

sahabat pada suatu masalah, beliau berijtihad, tidak mengikuti pendapat

para tabi’in.tetapi pada dasarnya hanafiyah mendahulukan fatwa sahabat

daripada qiyas.

d) Al-Ijma’

Ijma’ adalah sesuatu yang dapat dijadikan hujjah.Ijma’ merupakan

kesepakatan para mujtahidin dari masa ke masa untuk menentukan suatu

hukum dan telah disepakati para ulama untuk dijadikan hujjah, tetapi ada

perselisihan dalam wujudnya setelah masa sahabat dan Imam Ahmad telah

mengingkarinya setelah masa sahabat untuk tidak menyepakatinya dan

tidak mungkin ada kesepakatan fuqaha’ setelah masa sahabat.

Ulama’ Hanafiyah menetapkan bahwa ijma’ menjadi hujjah.Ulama

Hanafiyah menerima ijma’ qauli dan sukuti.Juga menetapkan bahwa tidak

(45)

38

diperselisihkan dari masa ke masa atas dua pendapat saja.Mengadakan

fatwa baru dipandang menyalahi ijma’.Dalam kitab al-Manakib

diterangkan bahwa Hanafiyah mengambil hukum yang diijma’i oleh

mujtahidin, tidak mau menyalahi yang telah disepakati oleh ulama ulama

Kufah.

e) Qiyas

Apabila tidak menemukan nas} dalam kitabullah dan sunnatur

Rasul dan tidak menemukan pada fatwa sahabat, maka beliau berijtihad

untuk mengetahui hukum. Beliau menggunakan qiyas, kecuali apabila

tidak baik memakainya dan tidak sesuai dengan apa yang dibiasakan

masyarakat. Jika tidak baik dipakai qiyas, beliau menggunakan

istih}san.Qiyas yang dipakai Hanafiyah ialah yang dita’rifkan dengan:

“Menerangkan hukum sesuatu urusan yang dinaskan hukumnya dengan

suatu urusan lain yang diketahui hukumnya dengan al-Qur'an atau

as-Sunnah atau al-Ijma’ karena bersekutunya dengan hukum itu tentang ‘illat

hukum.

Pada dasarnya Hanafiyah banyak memakai qiyas, karena ia

memperhatikan hukum-hukum bagi masalah-masalah yang belum terjadi

dan hukum-hukum yang akan terjadi, lantaran itu ia mengitinbat{kan ‘illat

yang menimbulkan hukum tersebut dan memperhatikan maksud-maksud

yang menyebabkan Nabi menyebutkan suatu hadith. Hanafiyah tidak

mencukupkannya dengan tafsir z{ahiry, namun melihat lebih jauh kepada

(46)

39

macam ‘illat hukum lalu menta’rifkan cabang-cabang hukum bagi

perbuatan-perbuatan yang tidak diperoleh nas}, ‘illat itulah yang

dipandang dasar untuk menetapkan hukum bagi hal-hal yang tidak

diperoleh nas}. Jika hadith sesuai dengan hukum yang telah ditarik dengan

jalan mempelajari ‘illat, bertambah kukuhlah kepercayaannya, dan jika

hadith itu diriwayatkan oleh orang kepercayaan, Hanafiyah mengambil

hadith meninggalkan qiyas.Kadang-kadang hukum yang diistinbathkan

dengan ‘illat sesuai dengan hadith.Hal ini bukanlah berarti mendahulukan

qiyas atas hadith. Apabila qiyas tidak dapat dilakukan karena berlawanan

dengan hadith, maka Hanafiyah pun meninggalkan qiyas, mengambil

istih}san. Pokok pegangan dalam menggunakan qiyas ialah bahwa hukum

syara’ ditetapkan untuk kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di

akhirat.Namun demikian, hukum-hukum syara’ yang berpautan dengan

ibadah tidak dapat akal menyelami ‘illatnya. Maka dari itu Hanafiyah

membagi nas} dalam dua bagian, yaitu :

a. Nusus Ta’abudiyah, yang tidak dibahas ‘illatnya. Pada nas}ini tidak

dilakukan qiyas, karena tidak dibahas ‘illatnya walaupun diyakini

ibadah ibadah itu disyari’atkan AllahSWT untuk kemaslahatan

manusia.

b. Nas}-nas} yang dibahas ‘illatnya dan ditetapkan hukum berdasarkan

‘illat itu. Nas}-nas} ini adalah nas}-nas} yang mu’allal, dipelajari

‘illatnya dan maksudnya, sebabnya dan ghayahnya dan padanya

(47)

40

hukum asal, bukan hukum yang dikhususkan untuk suatu hukum saja,

dan nas} bukanlah yang dipalingkan dari qiyas, yakni qiyas yang

menyalahi ‘illat yang umum yang ditetapkan syara’ sendiri. Hanafiyah

berpegang pada umum ‘illat kecuali apabila berlawanan dengan ‘urf

masyarakat, maka Hanafiyah meninggalkan qiyas dan mengambil

istih}san. Lantaran Hanafiyah menggunakan ‘illat, maka ia terkenal

sebagai imam yang memegang ra’yu, bukan imam yang memegang

athar dan terkenal keahliannya dalam bidang qiyas, walaupun ia juga

seorang imam sunni.

f) Istih}sa>n

Istih}sa>n secara bahasa adalah memandang dan meyakini baiknya

sesuatu. istih}san adalah salah satu metode ijtihad yang dikembangkan

ulama madhab Hanafi ketika hukum yang dikandung metode qiyas

(analogi) atau kaidah umum tidak diterapkan pada suatu kasus.

Macam-macam istih}sanmenurut ulama mazhab Hanafi, yaitu:

a. Al-istih}san bi an-nas (istih}san berdasarkan ayat atau hadith)

b. Al-istih}san bi al-ijma’ (istih}san yang didasarkan pada ijma’)

c. Al-istih}san bi al-qiyas al-khafi (istih}san berdasarkan qiyas yang

tersembunyi)

d. Al-istih}san bi al-maslah}ah (istih}san berdasarkan kemaslahatan)

e. Al-istih}san bil al-‘urf (istih}san berdasar adat kebiasaan yang berlaku

umum).

(48)

41

g) ‘Urf

‘Urf adalah pendapat muslimin atas suatu masalah yang tidak

terdapat di dalamnya nas} dari al-Qur'an atau Sunnah atau pendapat

sahabat, maka dari itu ‘urf dapat dijadikan hujjah.‘Urf dibagi dua :

a. ‘Urf sahih, yaitu ‘urf yang tidak menyalahi nas}.

b. ‘Urf fasid, yaitu ‘urf yang menyalahi nas}.Dari dua ‘urf yang dapat

dijadikan hujjah adalah ‘urf s{ahih.

Hanafiyah mengamalkan ‘urf bila tidak dapat menggunakan qiyas

atau istih}san. Ulama Hanafiyah mengemukakan ‘urf terhadap masalah

masalah yang tidak ada nas}nya, mereka mentakhs}iskannas}yang umum

jika menyalahi ‘urf umum. Jika qiyas meyalahi ‘urf, mereka mengambil

’urf.Begitu pula mereka mengambil ‘urfkha>s dikala tidak ada dalil yang

menyalahinya.

3. Pemikiran Hanafiyah tentang konsep rad{a’ah

Secara etimologis, rad{a’ah adalah sebuah istilah bagi isapan susu.

Dalam pengertian etimologis tidak dipersyaratkan bahwa yang disusui itu

[ar-rad}î’] berupa anak kecil [bayi] atau bukan.1 Adapun dalam pengertian

terminologis, sebagian ulama fiqh mendefinisikan ar-rad}â’ahsebagai

berikut: “Sampainya [masuknya] air susu manusia [perempuan] ke dalam

perut seorang anak [bayi] yang belum berusia dua tahun, 24 bulan.”

Mencermati pengertian ini, ada tiga unsur batasan untuk bisa disebut

(49)

42

rad{a’ah asy-syar’iyyah (persusuan yang berlandaskan etika Islam). Yaitu,

pertama, adanya air susu manusia (labanu adamiyyatin), Ulama Hanafiyah

mengajukan syarat bagi air susu ini. Bagi mereka, air susu harus berbentuk

benda cair. Kalau yang disusukan itu sudah berbentuk benda padat, seperti

keju dan sebagainya, tidak menyebabkan adanya hubungan

kemah{raman.2Kedua, air susu itu masuk ke dalam perut seorang bayi

[wushûluhu ilâ jawfi t}iflin]. Dan ketiga, bayi tersebut belum berusia dua

tahun [dûna al-hawlayni]. Dengan demikian, rukun rad{â’ah

asy-syar’iyyah ada tiga unsur: pertama, anak yang menyusu (rad}î’); kedua,

perempuan yang menyusui (al-murd}i’ah); dan ketiga, kadar air susu

(miqdâr al-laban) yang memenuhi batas minimal. Suatu kasus bisa

disebut ar-rad{â’ah asy-syar’iyyah, dan karenanya mengandung

konsekuensi-konsekuensi hukum yang harus berlaku, apabila tiga unsur ini

bisa ditemukan padanya. Apabila salah satu unsur saja tidak ditemukan,

maka rad}â’ah dalam kasus itu tidak bisa disebut ar-rad{a’ah

asy-syar’iyyah, yang karenanya konsekuensi-konsekuensi hukum syara’ tidak

berlaku padanya.

Adapun perempuan yang menyusui itu disepakati oleh para ulama

[mujma’ ‘alayh] bisa perempuan yang sudah baligh atau juga belum,

sudah menopause atau jugabelum, gadis atau sudah nikah, hamil atau tidak

hamil. Semua air susu mereka bisamenyebabkan ar-rad{â’ah

(50)

43

syar’iyyah, yang berimplikasi pada kemah{raman bagianak yang

disusuinya.3

Setidak-tidaknya ada enam buah ayat dalam al-Qur’ân yang

membicarakan perihal penyusuan anak [rad{a’ah]. Enam ayat ini terpisah ke

dalam lima surat, dengan topik pembicaraan yang berbeda-beda. Namun,

enam ayat ini mempunyai keterkaitan [munâsabah] hukum yang saling

melengkapi dalam pembentukan hukum. Selain enam ayat ini, rad{a’ah juga

mendapatkan perhatian dari Nabi Muhammad SAW dalam menjelaskan

ayat-ayat tersebut. Baik al-Qur’ân maupun al-Hadith, kedua-duanya sangat berarti

bagi kekokohan landasan hukum dan etika “menyusui”. Enam ayat al-Qur’ân

yang dimaksud adalah sebagai berikut: pertama, ayat 233

Surat al-Baqarah[2]: “Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama

dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan

kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara

yang ma’rûf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar

kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena

anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban

demikian. Apabila keduanya ingin menyapih [sebelum dua tahun] dengan

kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.

Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa

bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.

(51)

44

Bertakwalah kepada Allah SWT dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat

apa yang kamu kerjakan.”

Secara umum, ayat ini berisi tentang empat hal: pertama, petunjuk

Allah SWT kepada para ibu [wâlidât] agar senantiasa menyusui anak-anaknya

secara sempurna,yakni selama dua tahun sejak kelahiran sang anak. Kedua,

kewajiban suami memberi makan dan pakaian kepada istrinya yang sedang

menyusui dengan cara yang ma’rûf. Ketiga, diperbolehkannya menyapih anak

[sebelum dua tahun] asalkan dengan kerelaan dan permusyawaratan suami dan

istri.Keempat, adanya kebolehan menyusukan anak kepada perempuan lain

[al-murd}i’ah].

Kedua, ayat 23 surat An-Nisâ’ [4]: “Diharamkan atas kamu

[mengawini] ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu

yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara

ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki,

anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu

yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan ....”

Ayat ini menjelaskan satu hal bahwa penyusuan anak [rad{a’ah] dapat

menyebabkan ikatan kemah{raman, yakni perempuan yang menyusui [

al-murd{i’ah] dan garis keturunannya haram dinikahi oleh anak yang disusuinya

[ar-rad{î’].

Ketiga, ayat 2 al-Hajj [22]: “[Ingatlah] pada hari [ketika] kamu melihat

kegoncangan itu, lalailah semua perempuan yang menyusui anaknya dari anak

(52)

45

kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak

mabuk, akan tetapi adhab Allah SWT itu sangat keras.”

Keempat, ayat 7 surat al-Qas{as} [28]: “Dan kami ilhamkan kepada ibu

Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka

jatuhkanlah dia ke sungai [Nil]. Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah

[pula] bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya

kepadamu, dan menjadikannya [salah seorang] dari para rasul.”

Kelima, ayat 12 surat al-Qas}as} [28]: “Dan Kami cegah Musa dari

menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui[nya] sebelum

itu; maka berkatalah saudara Musa: “Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu

ahlul bayt yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik

kepadanya?”

Tiga ayat terakhir ini menjelaskan kisah para perempuan yang

menyusui anaknyadalam sejarah, terutama berkaitan dengan masa kecil Nabi

Musa. Dijelaskan betapapentingnya air susu ibu [kandung] untuk anaknya,

hingga Nabi Musa kecil dicegaholeh Allah SWT untuk menyusu kepada

perempuan lain. Dan dijelaskan pula kedahsyatangoncangan hari kiamat,

bahwa semua perempuan yang tengah menyusui anaknyaakan lalai tatkala

terjadi kegoncangan hari kiamat tersebut.

Keenam, ayat 6 surat ath-T{alaq [65]: “Tempatkanlah mereka [para

istri] di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah

kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan [hati] mereka. Dan jika

(53)

46

kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka

menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka

upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu [segala sesuatu] dengan baik;

dan jika kamu menemuikesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan

[anak itu] untuknya.”

Sementara ayat ini menjelaskan dua hal penting berkaitan dengan

penyusuan anak

Referensi

Dokumen terkait

Ketauladanan beliau memberikan motivasi bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengaruh Penyuluhan Terhadap Tingkat Pengetahuan Tentang

Sampel dalam penelitian dibagi menjadi dua yaitu untuk mengevaluasi program VCT (penelitian kualitatif), sampel dalam penelitian ini adalah petugas rutan 1 orang, petugas

Kesan ketidakseragaman sedimen jelas memberikan kesan kepada kelakuan kerokan setempat di mana kedalaman dan panjang kerokan bagi sedimen dengan nilai parameter gradasi lebih

Hasil dari proses pengujian ini akan digunakan dalam proses penyesuaian untuk mencapai kualitas sistem yang dikehendaki.Setelah pengembangan dilakukan, maka program di

OLE adalah kontrol yang digunakan untuk memungkinkan pemakai untuk menempelkan suatu objek dari aplikasi visual basic ke aplikasi yang mendukung OLE. Data List dan

Tingkat pertumbuhan ekonomi nasional masih relatif rendah, yaitu antara 4,9 persen (2000), sampai dengan 4 persen (2003), ternyata belum mampu memenuhi tuntutan terhadap

Guna alat penulen udara atau alat pernafasan bekal udara yang muat dengan baik yang mendapat kelulusan piawai jika risiko penilaian menunjukkan ianya perlu.. Perlindungan

Landasan teori berisi: (1) teori yang berisi deskripsi, analisis dan sintesis, pemikiran mutakhir tentang berbagai isu yang relevan dengan masalah yang diteliti, (2)