• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sektor Pasokan Energi. Pembangkit dari Energi Baru dan Terbarukan. Indonesia 2050 Pathway Calculator

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sektor Pasokan Energi. Pembangkit dari Energi Baru dan Terbarukan. Indonesia 2050 Pathway Calculator"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

Sektor Pasokan Energi

Pembangkit dari Energi Baru dan

Terbarukan

Indonesia 2050 Pathway

Calculator

(2)

Daftar Isi

I. Tinjauan Umum Pembangkit Listrik dari Energi Baru dan Terbarukan ... 3

II. Data dan Metodologi ... 5

2.1 Kapasitas Terpasang ... 5

2.2 Available Supply ... 7

2.3 Available Generation ... 7

2.4 Own-Use Requirements ... 7

III. Asumsi Tetap/Fixed Assumption ... 7

3.1 Faktor Kapasitas ... 7

3.2 Penggunaan sendiri/own-use ... 7

IV. Asumsi Level/Trajectory Assumption ... 8

4.1 Panas bumi ... 8 4.2 Bioenergi ... 11 4.3. Air ... 14 4.4. Laut ... 17 4.5. Angin ... 22 4.6. Surya ... 27 4.7. Nuklir ... 29 V. Referensi ... 32

(3)

Daftar Tabel

Tabel 1. Kapasitas terpasang pembangkit dari energi baru dan terbarukan ... 5

Tabel 2. Potensi Pembangkit Energi Baru dan Terbarukan ... 6

Tabel 3. Persentase Hasil Expert Judgement untuk penentuan ... 6

Tabel 4. Asumsi Pola Proyeksi Kapasitas Terpasang Pembangkit dari tahun dasar hingga 2050 ... 6

Tabel 5. Faktor Kapasitas Pembangkit dari Energi Terbarukan ... 7

Tabel 6. Contoh Implementasi Energi Laut yang telah dilaksanakan di Indonesia ... 20

Daftar Gambar

Gambar 1. Kapasitas Pembangkit Listrik Terbarukan dan Non-Terbarukan Tahun 2011 ... 3

Gambar 2. Kapasitas Terpasang Pembangkit dari Energi Terbarukan periode 2001-2011 ... 4

Gambar 3. Jumlah Wilayah Kerja Geothermal hingga Tahun 2012 (Sumber: ESDM, 2013)... 8

Gambar 4. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Panas Bumi hingga Tahun 2050 ... 11

Gambar 5. Potensi Bangkitan Listrik dari Biomassa (Sumber: ZREU, 2000) ... 12

Gambar 6. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Bioenergi hingga Tahun 2050 ... 14

Gambar 7. Potensi Hydropower di Indonesia ... 15

Gambar 8. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Air hingga Tahun 2050 ... 17

Gambar 9. Potensi Energi Gelombang (P3GL ESDM, 2011) ... 18

Gambar 10. Potensi Energi Pasang Surut di Perairan Indonesia (P3GL ESDM, 2011) ... 18

Gambar 11. Potensi Energi Arus di Perairan Indonesia (P3GL ESDM, 2011) ... 19

Gambar 12. Peta Potensi OTEC di Perairan Indonesia (Univ Darma Persada) ... 19

Gambar 13. Dampak Inovasi Teknologi Terhadap Biaya Energi Gelombang ... 21

Gambar 14. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Laut hingga Tahun 2050 ... 22

Gambar 15. Kapasitas Pembangkit tenaga Angin dan Pertumbuhan Kumulatif di Dunia ... 23

Gambar 16. Proyeksi Kapasitas Pembangkit tenaga Angin di Dunia ... 24

Gambar 17. Harga Dari Energi Angin di Amerika Serikat pada Periode 1980-2012 ... 24

Gambar 18. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Angin hingga Tahun 2050 ... 26

Gambar 19. Proyeksi Kapasitas Solar PV Periode Hingga Tahun 2035 (Sumber: EIA, 2013) ... 27

Gambar 20. Perkembangan Harga Solar PV pada Periode 1977-2013 ... 28

Gambar 21. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Surya hingga Tahun 2050 ... 29

(4)

I. Tinjauan Umum Pembangkit Listrik dari Energi Baru dan

Terbarukan

Sejak tahun 2001, total kapasitas terpasang pembangkit listrik di Indonesia terus mengalami peningkatan. Dari 23,7 GW di tahun 2001 hingga mencapai 39,9 GW pada tahun 2011. Hal ini tidak terlepas dari meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang mendorong permintaan akan listrik. Saat ini, pembangkit listrik masih didominasi oleh penggunaan bahan bakar fosil. Tahun 2011, kapasitas pembangkit listrik dari energi baru dan terbarukan hanya 5,2 GW atau hanya 13% saja dari total kapasitas sebesar 39,9 GW (Gambar 1) (Handbook of Energy & Economics, 2013).

Gambar 1. Kapasitas Pembangkit Listrik Terbarukan dan Non-Terbarukan Tahun 2011

Dari 5,2 GW pembangkit dari sumber energi terbarukan, sebagian besar dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga air dengan kapasitas 3,9 GW, disusul oleh panas bumi yang mencapai 1,2 GW. Sementara pembangkit dari angin masih dalam kapasitas yang sangat kecil yakni 0,0009 GW.

Kapasitas Pembangkit Tahun 2011

PLTA (3,9 GW) PLTP (1,2 GW) PLTB (0,0009 GW) PLT Mkro Hidro (0,006 GW) PLT Mini Hidro (0,058 GW) PLTS (0,0012 GW) PLT Limbah (0,026 GW) 34,7 GW Terbarukan 5,2 GW Non-Terbarukan

(5)

Gambar 2. Kapasitas Terpasang Pembangkit dari Energi Terbarukan periode 2001-2011 (Handbook of Energy & Economics Indonesia, 2013)

Bila melihat data historis kapasitas pembangkit dari energi terbarukan periode 2001-2011, maka pembangkit listrik tenaga air memiliki share yang paling tinggi dari tahun ke tahun, kemudian diikuti oleh pembangkit dari panas bumi (Gambar 2). Sumber energy terbarukan lainnya mulai berkembang setelah tahun 2005, seperti mini dan micro hydro yang mulai tercatat kapasitasnya pada tahun 2006, bahkan untuk surya mulai tercatat pada tahun 2010.

Didalam Calculator 2050 versi Indonesia, tahun dasar yang digunakan adalah tahun 2011. Berdasarkan sumber energinya, pembangkit dari energi baru dan terbarukan dalam calculator 2050 versi Indonesia dibagi kedalam 7 (tujuh) pembangkit yakni:

a. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) b. Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLT Biomassa) c. Pembangkit LIstrik Tenaga Air (PLTA)

d. Pembangkit LIstrik Tenaga Laut

e. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) f. Pembangkit Listrik Tenaga Angin (PLTB) g. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN)

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 PLT Limbah 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.026 PLTS 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.0002 0.0012 Mini Hydro 0 0 0 0 0 0.0033 0.0060 0.0060 0.0060 0.0135 0.0577 Micro Hydro 0 0 0 0 0 0.0006 0.0006 0.0007 0.0007 0.0007 0.0059 PLTB 0 0 0 0 0 0 0.0001 0.000260.001060.000340.00093 PLTP 0.785 0.785 0.805 0.820 0.820 0.850 0.980 1.052 1.189 1.193 1.209 PLTA 3.113 3.155 3.168 3.200 3.224 3.716 3.688 3.691 3.695 3.720 3.881 0 1 2 3 4 5 6 G W

(6)

II. Data dan Metodologi

2.1 Kapasitas Terpasang

Data kapasitas terpasang pembangkit dari energi baru dan terbarukan pada tahun dasar (2011) diperoleh dari Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia tahun 2013 dan sumber lainnya. Data kapasitas terpasang pada tahun 2011 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kapasitas terpasang pembangkit dari energi baru dan terbarukan pada tahun dasar (2011)

Pembangkit Kapasitas

Terpasang (GW) Sumber data Panas Bumi 1,21 Handbook of Energy & Economic

Statistics of Indonesia (2013) Bioenergi 1,71 Roadmap EBTKE

Air 3,94 Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia (2013) OTEC 0,001 Prototype BPPT

Surya 0,00116 Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia (2013) Angin 0,00093 Handbook of Energy & Economic

Statistics of Indonesia (2013)

Nuklir 0

Adapun penentuan kapasitas terpasang pada tahun 2050 berpatokan pada potensi dari masing-masing energi baru dan terbarukan. Angka kapasitas diperoleh dari perkalian potensi dengan persentase masing-masing energi pada masing-masing level.

= %

Data potensi masing-masing pembangkit energi baru dan terbarukan diperoleh dari beberapa sumber seperti yang tertera pada Tabel 2.

(7)

Tabel 2. Potensi Pembangkit Energi Baru dan Terbarukan Pembangkit Potensi (GW) Sumber data Panas Bumi 28,91 Badan Geologi

Bioenergi 32,00

Air 75,00 Hydro Power Potential Study (1983)

OTEC 60,98 Yosi (2014)

Surya -

Angin 61,97 Wargadalam (2014)

Nuklir -

Sementara angka persentase untuk penentuan kapasitas terpasang pembangkit pada tahun 2050 merupakan hasil dari expert judgement, terutama dari serangkaian diskusi yang dilakukan oleh core team dan stakeholder consultation. Persentase hasil expert judgement disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Persentase Hasil Expert Judgement untuk penentuan Kapasitas Terpasang Tahun 2050

Pembangkit Level 1 Level 2 Level 3 Level 4

Panas Bumi 20% 30% 50% 70% Bioenergi 20% 40% 60% 90% Air 15% 25% 40% 55% OTEC 5% 15% 25% 35% Surya tbp tbp tbp tbp Angin 3,23% 5% 10% 20% Nuklir tbp tbp tbp tbp

Tbp = tidak berdasarkan persentasi

Untuk asumsi pola proyeksi kapasitas terpasang pembangkit antara tahun dasar hingga 2050 menggunakan beberapa pola asumsi. Asumsi pola ini merupakan hasil expert judgement.

Tabel 4. Asumsi Pola Proyeksi Kapasitas Terpasang Pembangkit dari tahun dasar hingga 2050 Pembangkit Pola Proyeksi

Panas Bumi Penambahan setiap 5 dan 10 tahun Bioenergi Linier

Air Kurva S

OTEC Penambahan setiap 10 tahun Surya Kurva S

Angin Kurva S

(8)

2.2 Available Supply

Available supply menggambarkan kapasitas pembangkit yang tersedia, angka ini diperoleh setelah mengalikan kapasitas terpasang dengan faktor kapasitas.

=

2.3 Available Generation

Available generation menggambarkan energi yang diproduksi dalam durasi waktu tertentu. Available generation diperoleh dari perkalian antara available supply dengan jumlah jam operasi per tahun.

= !

2.4 Own-Use Requirements

Own use menggambarkan persentase penggunaan listrik untuk kepentingan pembangkit yang bersangkutan. Didalam calculator 2050 versi Indonesia, rata-rata persentase untuk penggunaan sendiri adalah sebesar 10% dari total energi yang diproduksi.

III. Asumsi Tetap/Fixed Assumption

3.1 Faktor Kapasitas

Didalam Indonesian Pathway calculator 2050, faktor kapasitas bervariasi tergantung dari jenis pembangkitnya. Asumsi dari factor kapasitas pembangkit yang digunakan didalam calculator 2050 Indonesia pathway disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Faktor Kapasitas Pembangkit dari Energi Terbarukan No Jenis Pembangkit Faktor Kapasitas Sumber Data

1 PLT Panas Bumi 95 % Kagel, dkk (2007) 2 PLT Biomassa 85 % 3 PLT Air 60 % 4 PLT Laut 20 % 5 PLT Angin 20 % 6 PLT Surya 17 % 7 PLT Nuklir 90 % 3.2 Penggunaan sendiri/own-use

Kapasitas pembangkit yang digunakan untuk keperluan pembangkitnya sendiri diasumsikan sebesar 12% dari total kapasitas. Angka tersebut merupakan angka perkiraan dimana selama ini besarnya kapasitas yang digunakan untuk keperluan sendiri berkisar antara 5-12%.

(9)

IV. Asumsi Level/Trajectory Assumption

One pager untuk proyeksi kapasitas terpasang dari sumber energy terbarukan terdiri dari 7 (tujuh) one pager, yakni mencakup kapasitas pembangkit dari panas bumi, bioenergi, air, laut, angin, surya , dan nuklir.

4.1 Panas bumi

Potensi panas bumi Indonesia sebesar 28,91 GW yang mencakup 40% potensi panas bumi dunia. Lokasi potensi panas bumi menyebar di kurang lebih 285 lokasi. Saat ini potensi panas bumi yang telah dimanfaatkan baru berada di 9 wilayah kerja dengan 5 lokasi diantaranya berada di Pulau Jawa. Kapasitas PLTP terbesar hingga saat ini berada di wilayah Cibeureum, Jawa Barat dengan kapasitas 0,377 GW. Total kapasitas terpasang di tahun 2011 hanya mencapai 1,21 GW atau hanya 4,2% dari total potensi. Dalam rangka mendorong pemanfaatan panas bumi sebagai pemasok kelistrikan nasional, Pemerintah Indonesia telah membuat beberapa upaya untuk meningkatkan investasi melalui penciptaan iklim bisnis yang menarik dan kompetitif, termasuk diantaranya menyederhanakan proses tender dan menaikan struktur harga dari panas bumi melalui feed in tariff. Hingga tahun 2012, terdapat 38 wilayah kerja yang telah memperoleh izin (Gambar 1).

(10)

Faktor yang berpengaruh

Perbedaan capaian kapasitas PLTP pada level 1 hingga level 4, diasumsikan dipengaruhi oleh kendala-kendala kunci yang menahan laju perkembangan panas bumi. Pada level 4, kendala-kendala tersebut sudah dapat diatasi sehingga kapasitas PLTP bisa mencapai 70% dari potensi, juga didorong oleh keinginan yang kuat untuk memaksimalkan potensi panas bumi yang dimiliki.

Adapun berbagai kendala kunci dalam pengembangan panas bumi, diantaranya: - Iklim investasi yang kurang menarik;

Bisnis panas bumi adalah bisnis yang memiliki risiko tinggi terutama untuk biaya investasi. Sementara keberhasilan dari pengembangan PLTP sangat ditentukan oleh besarnya kapasitas produksi dari sumur. Semakin tinggi kapasitas sumur maka harga jual tenaga listrik semakin rendah (Maksum, dkk 2014), sehingga harga tersebut masih masuk dalam kisaran harga yang ditentukan Pemerintah. Padahal tingkat keberhasilan untuk mendapatkan sumur dengan kapasitas besar (diatas 20 MW) adalah kurang dari 10%.

Bila ada terobosan dari pemerintah misalnya melalui turut serta pemerintah dalam biaya investasi ataupun meningkatkan harga jual listrik dari panas bumi, maka akan mendorong investasi pengembangan panas bumi.

- Masih terbatasnya sumber daya manusia yang memahami panas bumi;

Masih terbatasnya sumber daya manusia menjadi salah satu kendala dalam pengembangan panas bumi di Indonesia termasuk juga masih terbatasnya pemahaman pemerintah di banyak provinsi dan kota/kab.

- Tumpang tindih area panas bumi dengan kawasan hutan

Banyaknya wilayah kerja panas bumi yang berada di kawasan hutan jelas menjadi kendala berikutnya dalam pengembangan panas bumi. Aktivitas yang boleh dilakukan di hutan konservasi maupun hutan lindung sangat terbatas.

- Tumpang tindih birokrasi

- Data ekplorasi yang belum lengkap

Asumsi Level/Trajectory Assumption Level 1

Level 1 mengasumsikan kapasitas pembangkit geothermal di tahun 2050 sebesar 5,78 GW atau 20% dari potensi (Expert Judgement), hanya naik 4,57 GW dari tahun dasar (2011). Peningkatan kapasitas panas bumi yang tidak signifikan menggambarkan kondisi pengembangan panas bumi seperti saat ini, dimana dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2001-2011) penambahan kapasitas panas bumi kurang lebih hanya 0,44 GW. Hal ini menunjukkan kendala-kendala pengembangan panas bumi

(11)

masih belum teratasi. Proyeksi pola penambahan kapasitas diasumsikan sebesar 1,14 GW setiap 10 tahun sekali.

Level 2

Level 2 mengasumsikan peningkatan kapasitas masih belum signifikan, namun lebih tinggi daripada level 1. Dari 1,21 GW di tahun dasar menjadi 8,67 GW (Expert Judgement) di tahun 2050. Pada dasarnya masih terdapat kendala-kendala pengembangan panas bumi, namun diasumsikan telah ada perbaikan iklim investasi oleh pemerintah yang turut serta dalam penyertaan modal investasi. Hal ini telah mendorong berbagai pihak untuk berinvestasi dalam pengembangan panas bumi. Sama halnya dengan level 1, proyeksi pola penambahan kapasitas dari tahun dasar hingga 2050 diasumsikan setiap 10 tahun sekali dengan penambahan 1,86 GW.

Level 3

Level 3 mengasumsikan kapasitas terpasang PLTP pada tahun 2050 adalah 14,46 GW atau 50% dari potensi (Expert judgement). Capaian ini draih karena adanya perbaikan iklim investasi, kemudahan izin yang diterbitkan oleh Pemerintah, dan semakin banyaknya ahli-ahli panas bumi didalam negeri. Namun demikian belum adanya kesepahaman antar lembaga menyebabkan eksplorasi panas bumi yang berada di kawasan hutan lindung masih sulit diimplementasikan. Selain menyisakan wilayah panas bumi yang berada di hutan lindung juga wilayah panas bumi yang sulit dijangkau masih belum dioptimalkan. Pada 10 tahun pertama dan kedua, pola penambahan kapasitas terjadi setiap 10 tahun, namun setelahnya (mulai tahun 2030) penambahan kapasitas terjadi setiap 5 tahun hingga tahun 2050.

Level 4

Level 4 mengasumsikan 70% dari potensi panas bumi telah dimanfaatkan atau sekitar 20,24 GW. Pada stakeholder consultation sektor penyediaan energi calculator 2050, memang sempat disepakati bahwa kapasitas maksimum dari panas bumi yang dapat dimanfaatkan adalah 50% (± 14,4 GW). Namun melalui serangkaian diskusi core team, kapasitas 14,4 GW masuk di level 3 dan selanjutnya level 4 menggunakan persentase yang lebih optimis yakni 70%. Tingginya kapasitas diperoleh dari asumsi bahwa seluruh kendala ekonomi, birokrasi, sumber daya manusia maupun permasalahan tumpang tindih lahan telah diatasi dengan baik, bahkan lokasi panas bumi yang sulit dijangkau tetap layak untuk diusahakan. Melalui level ini Indonesia berkeinginan untuk memaksimalkan potensi panas bumi yang dimilikinya.

(12)

Gambar 4. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Panas Bumi hingga Tahun 2050

4.2 Bioenergi

Indonesia memiliki kekayaan dan potensi bioenergi yang sangat melimpah. Potensi produksi biomassa bisa mencapai 146,7 juta ton per tahun setara dengan 470 GJ/tahun. Sumber utama energi biomassa di Indonesia dapat diperoleh dari sekam padi yang dapat memberikan energi potensial sebesar 150 GJ/tahun, kayu karet 120 GJ/tahun, residu gula 78 GJ/tahun, residu kelapa sawit 67 GJ/tahun, dan sisanya kurang lebih 20 GJ/tahun berasal dari kayu lapis, residu penebangan, residu kayu gergajian, residu kelapa, dan limbah pertanian (ZREU, 2000).

Sementara dari kotoran hewan yang dapat dimanfaatkan untuk biogas, Indonesia dapat memproduksi kurang lebih 160 juta kg/hari. Belum lagi tambahan dari sampah yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai pembangkit. Berdasarkan ZREU (2000), potensi bangkitan listrik khususnya dari biomassa bisa mencapai 1.160 MWe (Gambar 2).

Level 1 (2050): 5.78 GW Level 2 (2050): 8.67 GW Level 3(2050): 14.46 GW Level 1 4 (2050): 20.24 GW 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 2010 2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050 K a p a si ta s (G ig a W a tt ) Kapasitas PLTP

(13)

Gambar 5. Potensi Bangkitan Listrik dari Biomassa (Sumber: ZREU, 2000)

Pembangkit listrik Bioenergi didalam calculator 2050 Indonesian pathway merupakan pembangkit yang diperoleh dari sumber berupa biomassa, biogas dan sampah kota. Adapun potensi kapasitas listrik yang dapat dihasilkan dapat mencapai 24,64 GW.

Faktor yang berpengaruh

Dalam calculator 2050 Indonesian Pathway, asumsi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap capaian kapasitas pembangkit bioenergi adalah:

1. Penguasaan teknologi dan Infrastruktur pendukung

Teknologi dalam pembangkit listrik bioenergi hingga saat ini sebagian besar masih impor. Hal ini berdampak pada tingginya nilai investasi pada pengembangan pembangkit listrik yang berbasis bioenergi.

2. Kontinuitas bahan baku/feedstock

Meskipun kita memiliki bahan baku bioenergi yang melimpah, namun bahan baku tersebut tersebar sehingga perlu dikumpulkan dan diangkut menuju pembangkit listrik bioenergi. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana proses pengumpulan dan pengangkutan ini masih layak secara ekonomis guna mendukung pengembangan listrik komersial berbasis bioenergi. 3. Ketersediaan lahan

Lahan merupakan hal yang penting dalam pengembangan bioenergi karena semakin tinggi kapasitas pembangkit bioenergi otomatis semakin tinggi pula permintaan akan bahan baku/feedstock, sehingga pada akhirnya berpengaruh terhadap ketersediaan lahan yang semakin tinggi pula. Selain itu dalam pengelolaannya, beberapa tanaman yang potensial

9% 54% 37% Sumatera 590 MWe Kalimantan 230 MWe Java 280 MWe

Bali and Nusa Tenggara Sulawesi 60 MWe Irian Jaya Maluku 11% 13% 40% 29% 7% Plymills Sawmills Sugar mills Palm oil mills Rice mills 56% 33% 6% 5% 5% 16% 48% 31%

(14)

sebagai penghasil bioenergy seperti kelapa sawit, jagung, dll harus ditanam sesuai dengan lahan atau tempat yang tepat dan tidak mengganggu lahan pertanian.

4. Dukungan kebijakan (insentif dan subsidi); seperti regulasi untuk jaminan penyediaan bahan baku seperti Domestic Market Obligation (DMO) dan Kebun Energi , pengaturan harga baik untuk BBN maupun listrik berbasis bioenergi.

5. Kesiapan Masyarakat (dampak sosial)

Adanya kesalahan pengelolaan dalam pengelolaan kelapa sawit di masa lalu, misalnya dimana jutaan hektar hutan dikonversikan menjadi perkebunan sawit sehingga berdampak negatif pada lingkungan menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat. Selain itu timbul pula kekhawatiran bahwa pengembangan bioenergi akan membawa kerugian yang besar bagi kaum petani dan ekonomi pedesaan pada satu sisi. Sementara pada sisi yang lain, keuntungan melimpah akan diperoleh perusahaan-perusahaan atau investor yang menanamkan modal dan mengembangkan usahanya (Maududi).

Asumsi Level/Trajectory Assumption Level 1

Level 1 mengasumsikan kapasitas terpasang PLT Bioenergi pada tahun 2050 sebesar 4,92 GW atau 20% dari potensi. Pengembangan bioenergi pada level ini diasumsikan masih menemui berbagai kendala diantaranya ketersediaan bahan baku/feedstock yang tidak dapat dipenuhi secara continue dengan harga yang masih belum ekonomis, nilai investasi masih mahal, terkendala dengan penggunaan lahan.

Level 2

Level 2 mengasumsikan kapasitas pembangkit bioenergi pada tahun 2050 sebesar 9,86 GW atau 40% dari potensi. Peningkatan kapasitas pada level ini dibandingkan level 1, diasumsikan pengembangan teknologi pembangkit bioenergi di dalam negeri sudah mulai berkembang, sehingga pemenuhan kebutuhan teknologi pembangkit sebagian sudah dapat dipenuhi oleh produsen dalam negeri. Namun kontinyuitas bahan baku bioenergi dan harga dari bahan baku itu sendiri masih jadi permasalahan utama dalam pengembangan pembangkit berbasis bioenergi.

Level 3

Level 3 mengasumsikan kapasitas pembangkit bioenergi pada tahun 2050 mencapai 14,78 GW atau 60% dari potensi. Kapasitas ini lebih besar daripada level 2, karena diasumsikan didorong oleh teknologi pembangkit bioenergi yang sudah dikuasai didalam negeri sehingga biaya investasi dapat

(15)

lebih terjangkau, bahan baku/feedstock sudah memiliki nilai ekonomis namun tetap dapat mendukung pembangkit bioenergi dengan harga ekonomis pula. Keterbatasan infrastruktur jaringan listrik di wilayah timur Indonesia menjadi penghambat berkembangnya pemabangkit bioenergi sehingga cakupan wilayah pengembangan belum merata.

Level 4

Level 4 mengasumsikan kapasitas pembangkit bioenergi pada tahun 2050 sebesar 22,18 GW atau 90% dari potensi. Pemanfaatan bioenergi untuk pembangkit pada level ini hampir maksimal, hal ini didorong oleh adanya perbaikan dalam hal penguasaan teknologi dimana nilai investasi untuk pengembangan bioenergi bisa ditekan sehingga mendorong minat berbagai pihak untuk berinvestasi, ketersediaan bahan baku/feedstock yang dapat terus menerus dipenuhi dengan harga yang ekonomis, adanya dukungan dari pemerintah melalui feed in tariff yang semakin menarik, serta telah dimanfaatkannya lahan-lahan yang tidak produktif dan Hutan tanaman industri guna mendukung penyediaan bahan baku bioenergi.

Gambar 6. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Bioenergi hingga Tahun 2050

4.3. Air

PLTA adalah salah satu pembangkit listrik yang diprioritaskan pengembangannya untuk pemenuhan kebutuhan ketenagalistrikan. Potensi tenaga air di Indonesia menurut Hydro Power Potential Study (HPPS) (1983) adalah 75 GW (Gambar 3) yang tersebar dari barat hingga timur Indonesia. Namun berdasarkan laporan Master Plan Study for Hydro Power Development in Indonesia oleh Nippon Koei pada tahun 2011, potensi tenaga air setelah menjalani screening lebih lanjut adalah 12,9 GW.

Level 1 (2050): 6.40 GW Level 2 (2050): 12.80 GW Level 3 (2050): 19.20 GW Level 4 (2050): 28.80 GW 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 2010 2020 2030 2040 2050 K a p a si ta s (G ig a W a tt ) Kapasitas PLT Bioenergi

(16)

Gambar 7. Potensi Hydropower di Indonesia

Dalam calculator 2050 Indonesian pathway, berdasarkan kesepakatan internal team, diasumsikan bahwa potensi sebesar 75 GW adalah layak untuk dikembangkan sehingga angka potensi tersebut yang digunakan sebagai patokan potensi air di Indonesia. Skala pembangkit yang dibangun diasumsikan berskala terkecil hingga terbesar. Dari angka potensi, jumlah maksimum listrik yang berhasil dibangkitkan adalah 55% dari potensi atau 41,25 GW seperti yang tertera pada level 4.

Faktor yang berpengaruh

Dalam calculator 2050 Indonesian Pathway, asumsi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap capaian kapasitas pembangkit bertenaga air adalah:

1. Proyeksi Kebutuhan Tenaga Listrik; Proyeksi kebutuhan tenaga listrik yang sangat besar, memerlukan kebijakan strategis dari sisi supply side maupun demand side management. Dari sisi pasokan selain panas bumi, pembangkit listrik tenaga air adalah salah satu opsi yang diprioritaskan pembangunannya guna pemenuhan kebutuhan ketenagalistrikan.

2. Konservasi daerah tangkapan air; Keberlangsungan pembangkit listrik tenaga air baik yang berskala kecil maupun besar salah satunya ditentukan oleh kondisi daerah tangkapan air. Semakin terjaga daerah tangkapan air, maka keberlangsungan pembangkit semakin terjaga

Aceh 5.062 MW

Sumatera Utara 3.808 MW

Sumatera Barat & Riau 3.607 MW

Sumatera selatan, Jambi, Bengkulu & Lampung

3.102 MW Jawa Barat 2.861 MW Jawa Timur 525 MW Jawa Tengah 813 MW Kalimantan Selatan, Tengah, dan Timur

16.844 MW Kalimantan Barat

4.737 MW

Sulawesi Utara & Tengah 3.967 MW Sulawesi Selatan & Tenggara 6.340 MW Maluku 430 MW

Ali & Nusa Tenggara 624 MW

Papua 22.371 MW

(17)

pula. Dengan demikian konservasi menjadi hal yang penting guna menjaga keberlangsungan pembangkit listrik dari air.

3. Status kehutanan (nature forest reserve); Lokasi pembangunan listrik tenaga air seringkali bersinggungan dengan kawasan hutan lindung atau hutan konservasi, sehingga dalam pembangunannya diperlukan proses perizinan lintas sektor.

4. Sosial (resettlement); Dalam pembangunannya, plta memerlukan daerah/wilayah yang luas untuk digenangi. Isu yang muncul pada proses tersebut adalah isu sosial terutama bagaimana memindahkan/menata ulang kehidupan masyarakat yang akan tergenangi. Adakalanya masyarakat tersebut menolak untuk dipindahkan. Dengan demikian isu sosial ini akan mempengaruhi capaian kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga air.

Asumsi Level/Trajectory Assumption Level 1

Level 1 mengasumsikan kapasitas terpasang pembangkit listrik dari air pada tahun 2050 sebesar 11,25 GW. Pada level ini diasumsikan pembangunan pembangkit tenaga air masih sulit berkembang dikarenakan menghadapi berbagai kendala, diantaranya pemenuhan kebutuhan listrik masih berpihak pada penggunaan energi fosil, tidak terjaganya daerah tangkapan air, rencana pembangunan pembangkit skala besar masih terkendala dengan perizinan lintas sektor yang sulit diperoleh serta sulitnya memperoleh dukungan masyarakat yang wilayahnya masuk kedalam rencana pembangunan pembangkit.

Level 2

Level 2 mengasumsikan kapasitas terpasang pembangkit tenaga air pada tahun 2050 sebesar 18.75 GW. Pada level ini diasumsikan pembangunan pembangkit tenaga air masih menemui beberapa kendala teknis diantaranya semakin sulit untuk memperoleh daerah tangkapan air yang terjaga, serta Pemerintah baru memaksimalkan potensi air sesuai dengan daerah yang membutuhkan pasokan listrik berlebih sehingga pengembangan pembangkit tenaga air masih berfokus di wilayah Jawa, Sumatera dan Kalimantan.

Level 3

Level 3 mengasumsikan kapasitas terpasang pembangkit listrik dari air pada tahun 2050 sebesar 30 GW (40% dari potensi). Pada level ini diasumsikan pembangunan pembangkit listrik tenaga air memaksimalkan potensi-potensi yang ada di wilayah Indonesia timur seperti Maluku dan Papua. Secara teknis pengembangan ini didukung oleh kondisi wilayah tangkapan air yang masih terjaga dan

(18)

adanya dukungan dari masyarakat local mengingat wilayah-wilayah tersebut telah mengalami krisis ketenagalistrikan.

Level 4

Level 4 mengasumsikan kapasitas PLTA pada tahun 2050 mencapai 41,25 GW atau 55% dari potensi. Level ini mengasumsikan penggunaan pembangkit berbahan bakar fosil sudah tidak ekonomis lagi, sehingga memerlukan sumber lain untuk mengisi kekurangan. Pemerintah mengeluarkan kebijakan untk mempercepat pembangunan pembangkit berbasis air baik skala kecil maupun besar. Berkat adanya kebijakan tersebut telah mendorong perbaikan dalam hal koordinasi lintas sektor sehingga proses perizinan lintas sektor dapat dipenuhi dengan baik. Berkat kebijakan itu pula telah mendorong upaya-upaya perbaikan daerah tangkapan air.

Gambar 8. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Air hingga Tahun 2050

4.4. Laut

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki luas laut 5,8 juta km² atau tiga per empat dari total keseluruhan wilayah. Indonesia mempunyai cadangan energi laut yang tersimpan dalam arus laut, gelombang laut, panas laut, dan pasang surut. Berdasarkan hasil pengukuran kecepatan arus laut maksimum berkisar 1,3 – 3 m/detik dan menghasilkan rapat daya 1,38 – 13,84 kW/m². Sementara potensi praktis untuk gelombang laut, panas laut dan pasang surut berturut-turut adalah 17,98 GW, 1,99 GW, dan 41 GW, sehingga total potensi praktis energi laut dari keempat sumber tersebut mencapai 60,98 GW (Yosi, 2014). Sementara Asosiasi Energi Laut Indonesia/ASELI (2011), menyatakan bahwa potensi praktis energy laut Indonesia adalah 49 GW, dengan rincian potensi pasang surut, gelombang laut dan panas laut berturut turut sebesar 4,8 GW, 1,2 GW dan 43 GW.

Level 1 (2050): 11.25 GW Level 2 (2050): 18.75 GW Level 3 (2050): 30 GW Level 4 (2050): 41.25 GW 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 2010 2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050 K a p a si ta s (G ig a W a tt ) Kapasitas PLTA

(19)

Potensi gelombang laut Indonesia tersebar terutama di laut sekitar Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara. Potensi tertinggi terdapat di laut sebelah barat Sumatera dengan potensi sebesar 20 kW per meter panjang gelombang, sementara di laur selatan Jawa, barat Kalimantan dan utara Sulawesi diperkirakan meiliki potensi 15 kW per meter panjang gelombang (Gambar 9). Untuk potensi energy pasang surut tersebar di selatan Jawa, sekitar Nusa Tenggara, Sulawesi dan selatan Papua, rata-rata perbedaan ketinggian permukaan laut antara saat pasang dan surut sekitar 3-5 meter (Gambar 10).

Gambar 9. Potensi Energi Gelombang (P3GL ESDM, 2011)

(20)

Pada energi arus, kecepatan arus minimum yang dapat membangkitkan listrik adalah 2 m/detik namun yang ideal adalah 2,5 m/detik. Sebagian besar wilayah yang memiliki arus laut yang memadai untuk pembangkit listrik adalah antara Pulau Sumatera dan Jawa, timur Sumatera, dan wilayah disekitar Bali dan Nusa Tenggara (Gambar 11). Sementara untuk Ocean thermal Energy Conversion (OTEC), yang memanfaatkan perbedaan temperatur air laut di permukaan dan air laut dalam, dengan selisih temperatur minimal 20⁰C wilayah yang berpotensi adalah di laut utara Pulau Jawa, Laut bagian timur Sumatera, sekitar Sulawesi Selatan dan Papua Barat (Gambar 12).

Gambar 11. Potensi Energi Arus di Perairan Indonesia (P3GL ESDM, 2011)

(21)

Potensi sumber daya tersebut adalah sumber daya teknis yang sudah dapat dimanfaatkan setelah mempertimbangkan kendala eksternal seperti jalur pelayaran, faktor lingkungan, dan aksesibilitas. Faktor yang berpengaruh

Dalam calculator 2050 Indonesian Pathway, asumsi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap capaian kapasitas pembangkit laut adalah:

1. Proyek percontohan; hal prioritas terkait pengembangan energi laut adalah membangun kepercayaan kepada masyarakat bahwa pemanfaatan potensi energi laut bisa diimplementasikan di perairan yang berpotensi melalui proyek percontohan (Mukhtasor dan Harkins, 2014).

2. Teknologi; untuk menyokong proyek percontohan, diperlukan penguasaan teknologi pembangkit laut. Saat ini khususnya di Indonesia teknologi pembangkit tenaga laut dianggap masih belum terbukti dan dianggap masih sulit untuk diterapkan. Terdapat beberapa contoh proyek-proyek uji coba pembangkit energi laut yang telah diimplementasikan di Indonesia (Tabel 6).

Tabel 6. Contoh Implementasi Energi Laut yang telah dilaksanakan di Indonesia

No Tipe Lokasi Kapasitas

1 Pasang surut (BPPT) Flores, NTT 2 kW

2 Pasang surut (KOBOLD, PdA Italia dan PT. Walinusa Energy)

Lombok Timur, NTB 175 kW

3 OTECS (Kerjasama dengan Belanda)

Bali bagian utara, Bali

100 kW

4 OWC (BPPT, BPDP) Yogyakarta 5 Wave coverter –

Tipe Pendulum

Madura-Jawa Timur 3,5 k W yang akan diperbesar menjadi

100 kW

3. Biaya Investasi dan Nilai Keekonomian; International Energy Agency tahun 2010 telah melaporkan tentang asumsi biaya untuk produksi listrik dari energi terbarukan. Berdasarkan laporan tersebut, biaya investasi untuk pembangkit dari laut di tahun 2010 mencapai 3000-5000 USD/kW, dan pada tahun 2050, biaya investasi diproyeksikan akan menurun menjadi 2000-2450 USD/kW. Berdasarkan laporan ini ternyata biaya investasi untuk energi laut relatif sebanding dengan energi panas bumi. Hal ini dapat diartikan, jika industri energi panas bumi menjanjikan, maka begitu juga dengan industri energi laut. Menurut Ocean

(22)

Thermal System (2014), biaya bangkitan listrik dari teknologi laut diproyeksikan akan menurun seiring dengan teknologi pembangkit yang semakin terbukti keandalannya.

Gambar 13. Dampak Inovasi Teknologi Terhadap Biaya Energi Gelombang (Ocean Energy System, 2014)

Berdasarkan roadmap energi laut Indonesia, bahwa kapasitas terpasang yang direncanakan untuk tahun 2025 adalah sebesar 1.650 MW dengan rincian berasal dari energi gelombang 50 MW, energi pasang surut 1000 MW, energy arus laut 500 MW, dan OTEC 100 MW. Berdasarkan roadmap tersebut terlihat bahwa keempat jenis energi ini dikembangkan, namun dengan melihat kapasitas yang terpasang maka sebagian besar diarahkan pada pengembangan energi pasang surut.

Asumsi Level/Trajectory Assumption Level 1

Level 1 mengasumsikan pada tahun 2050 total kapasitas terpasang dari pembangkit laut sebesar 3,05 GW atau 5% dari potensi. Lambatnya penambahan kapasitas ini terutama disebabkan oleh teknologi pembangkit yang masih dalam tahap pengembangan dan percontohan. Selain itu biaya investasi yang diperlukan masih cukup mahal.

Level 2

Level 2 mengasumsikan total kapasitas pembangkit dari laut pada tahun 2050 mencapai 9,15 GW (15% dari potensi). Penambahan kapasitas diasumsikan setiap 10 tahun sekali dengan tambahan konstan sebesar 2,29 GW. Pada level ini diasumsikan teknologi pembangkit laut sudah mulai terbukti

(23)

keandalannya dan dapat diaplikasikan untuk kondisi kelautan Indonesia, namun pembangkit ini masih belum ekonomis untuk dikembangkan.

Level 3

Level 3 mengasumsikan pada tahun 2050 total kapasitas pembangkit dari laut sebesar 15,25 GW (25% dari potensi). Penambahan kapasitas diasumsikan setiap 10 tahun sekali dengan tambahan konstan sebesar 3,81 GW. Pada level ini diasumsikan teknologi sudah terbukti keandalannya dapat diaplikasikan. Namun demikian mayoritas pengembangan pembangkit laut dibangun oleh Pemerintah, sementara sektor swasta yang berinvestasi pada sektor ini masih belum banyak diakibatkan belum menariknya insentif yang digulirkan oleh Pemerintah.

Level 4

Level 4 mengasumsikan pada tahun 2050 total kapasitas terpasang dari pembangkit laut sebesar 21,34 GW atau 35% dari potensi. Pada level ini diasumsikan teknologi pembangkit sudah terbukti keandalannya dapat diaplikasikan. Selain itu biaya investasi dapat terjangkau oleh para investor sehingga dengan adanya stimulus dari Pemerintah berupa insentif dan feed in tariff yang menarik mendorong pihak swasta untuk turut serta membangun pembangkit jenis ini.

Gambar 14. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Laut hingga Tahun 2050

4.5. Angin

Saat ini energi angin merupakan salah satu energi terbarukan yang belum mendapat perhatian cukup. Hal ini kemungkinan disebabkan pemahaman dari kebanyakan masyarakat bahwa Indonesia tidak memiliki kecepatan angin yang memadai. Wilayah-wilayah yang ditengarai memiliki kecepatan

Level 1 (2050): 3.05 GW Level 2 (2050): 9.15 GW Level 3 (2050): 15.25 GW Level 4 (2050): 21.34 GW 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 2010 2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050 K a p a si ta s (G ig a W a tt )

(24)

angin > 6 m/detik diantaranya ujung P. Sumatera, sebagian selatan P. Jawa, sebagian selatan dan utara P. Sulawesi, sebagian besar daerah NTT, sebagian Kep. Maluku, dan Papua.

Kapasitas terpasang energi angin di dunia sampai dengan akhir 2010 adalah sebesar 196,63 GW (IEA, 2013). Kapasitas tersebut naik hingga mencapai kurang lebih 280 GW pada tahun 2012 (Gambar 15). Urutan Negara yang memiliki kapasitas terbesar adalah China disusul dengan Amerika serikat. Greenpeace memproyeksikan pada tahun 2050 kapasitas terpasang energ angin akan mencapai setidaknya 1.684.074 MW (Gambar 16).

Di Amerika serikat kapasitas pembangkit dari angin pada tahun 2007 mencapai 16.596 MW. Teknologi turbin angin sangat cepat berkembang dalam 20 tahun terakhir dari mulai ukuran 100 kW di awal tahun 1980an hingga 2,5 MW pada tahun 2008 (Robinson & Thresher, 2008). Saat ini teknologi turbin angin terbesar dinamakan dengan Enercon E-126 yang kapasitasnya bisa mencapai 7 MW.

Evolusi teknologi angin diperkirakan akan terus berlanjut dalam dua dekade ke depan dan akan menghasilkan perbaikan berupa keandalan sistem dalam menangkap energi dengan biaya yang lebih rendah. Perkembangan rotor baru yang inovatif, sistem penggerak, menara, dan kontrol diharapkan dapat terus diperbaiki guna efektivitas biaya teknologi angin.

(25)

Gambar 16. Proyeksi Kapasitas Pembangkit tenaga Angin di Dunia (Global Wind Energy Outlook, 2014)

Perbaikan dalam berbagai hal yang berkaitan dengan teknologi pembangkit angin telah mendorong penurunan harga energy angina di Amerika Serikat. Dari sekitar 55 cents/kWh pada tahun 1980an menjadi hanya 6 cents/kWh pada tahun 2012 (Gambar 17).

Gambar 17. Harga Dari Energi Angin di Amerika Serikat pada Periode 1980-2012

(26)

• Off grid / stand-alone total terpasang ~ 65 kW di Jabar, Jateng, DIY, NTB, NTT, Maluku. • Off grid / Hybrid (angin-surya-diesel) total terpasang ~100 kW di Kep. Seribu, Madura, Rote

Ndao,TTU, TTS, Sulsel, DIY.

• On grid ( mikro grid) total terpasang 1.275 kW di Nusa Penida, Sangihe dan Selayar Sulsel

Secara akumulatif, berdasarkan dataset reanalysis yang tersedia dan hasil validasi on site, diperkirakan potensi energi angin di Indonesia mencapai 61.97 GW (Wargadalam, 2014) . Kecepatan angina di Indonesia cenderung rendah berkisar antara 2 – 6 m/detik sehingga diperlukan penyesuain teknologi untuk kecepatan angin yang lebih rendah. Bila teknologi ini sudah dapat dikembangkan dan teruji keandalannya maka akan mendorong pemanfaatan energi angin di dalam negeri. Pengembangan teknologi angin didalam negeri sampai tahun2010 telah dihasilkan beberapa prototype, diantaranya:

• Turbin angin dengan daya output 80W, 250W, 1000W, 2500W, 3500W, 5kW dan10kW oleh Lapan,BPPT,ITB,dll.

• Prototipe 20kW oleh LAGG BPPT , 50 kW dan 100kW oleh P3TKEBT ESDM dan Telimek LIPI dalam proses manufacturing dan pengujian.

• Pengembangan 300kW yang baru tahap pradesain • KincirAngin EGRA dari berbagai kapasitas untuk listrik • Sistem Hybrid dengan Photovoltaik/Diesel.

Feed in tariff; Dengan harga pembelian listrik dari angin saat ini yang hanya Rp. 656,-/kWh x F (interkoneksi pada tegangan menengah), dan Rp. 1004/kWh x F (interkoneksi pada tegangan rendah), harga tersebut dirasa belum menarik untuk investasi di pembangkit angin.

One pager dari energi angin menggambarkan kapasitas terpasang yang dihasilkan dari pembangkit energi angin. Faktor utama yang membedakan kapasitas masing-masing level adalah factor teknologi. Pada level 1 diasumsikan teknologi angina masih belum terlalu terbukti untuk kecepatan angin erndah seperti di Indonesia, sehingga mendorong biaya investasi yang tinggi dan harga jual yang mahal. Pada akhirnya tidak kompetitif dengan sumber energi lain. Sementara pada level 4, diasumsikan teknologi pembangkit angin untuk kecepatan angin rendah sudah sangat terbukti dan sudah ekonomis utuk dikembangkan.

Asumsi Level/Trajectory Assumption Level 1

(27)

Level 1 mengasumsikan pada tahun 2050 kapasitas terpasang PLTB mencapai 2 GW. Ini berarti hanya terdapat peningkatan sebesar 1,07 GW dari tahun dasar. Kondisi ini diasumsikan disebabkan oleh teknologi pembangkitan yang belum terbukti untuk kecepatan angina rendah seperti di Indonesia.

Level 2

Level 2 mengasumsikan pada tahun 2050 kapasitas PLTB mencapai 3.1 GW atau 5% dari potensi. Kondisi pada level 2 diasumsikan sama seperti level 1, namun teknologi pembangkit yang sudah mulai berkembang telah mendorong capaian kapasitas pembangkit yang lebih tinggi daripada level 1.

Level 3

Level 3 mengasumsikan pada tahun 2050 kapasitas PLTB mencapai 6.2 GW atau 10% dari potensi. Kondisi ini didorong oleh penemuan teknologi pembangkit yang lebih maju dan telah teruji keandalannya untuk kecepatan angin rendah. Namun pada level ini diasumsikan pihak swasta belum banyak berinvestasi karena insentif yang belum terlalu menarik dari Pemerintah.

Level 4

Level 4 mengasumsikan pada tahun 2050 kapasitas PLTB mencapai 12.39 GW atau 20% dari potensi. Level ini mengasumsikan teknologi pembangkit yang sudah sangat terbukti untuk kecepatan angin rendah, selain itu biaya pembangkit sudah sangat ekonomis sehingga banyak pihak swasta yang berinvestasi pada jenis pembangkit ini. Selain itu didorong pula oleh adanya insentif yang diberlakukan oleh Pemerintah.

Gambar 18. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Angin hingga Tahun 2050

Level 1 (2050): 2 GW Level 2 (2050): 3.1 GW Level 3 (2050): 6.2 GW Level 4 (2050): 12.3 GW 0.0 5.0 10.0 15.0 2010 2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050 K a p a si ta s (G ig a W a tt ) Kapasitas PLTB

(28)

4.6. Surya

Kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan dari solar diproyeksikan akan meningkat sangat signifikan hingga tahun 2035. Untuk solar dari kapasitas sekitar kurang lebih 50 GW pada tahun 2012 diproyeksikan akan meningkat hingga kurang lebih 680 GW pada tahun 2050 (Annual Energy Outlook, 2013) (Gambar 19). China diproyeksikan akan memiliki kapasitas terbesar untuk solar pada tahun 2035. Peningkatan kapasitas solar ini diperkirakan akibat menurunnya harga dari solar tersebut.

Gambar 19. Proyeksi Kapasitas Solar PV Periode Hingga Tahun 2035 (Sumber: EIA, 2013)

Pada periode 1977 hingga 2013, biaya yang berkaitan dengan pembangkit surya telah mengalami penurunan yang signifikan hingga mencapai 99%. Pada tahun 1977 harga solar PV mencapai US$ 76,6/watt, harga tersebut terus mengalami penurunan hingga mencapai US$ 0,74/watt (Gambar 20).

Di Indonesia pada tahun 2011, kapasitas terpasang PLTS adalah 0,00116 GW, padahal Indonesia memiliki durasi lama penyinaran matahari yang cukup lama antara 4-5 jam. One pager dari solar menggambarkan tentang proyeksi kapasitas terpasang dari pembangkit tenaga surya. Saat ini teknologi solar sudah teruji keandalannya, namun masih terdapat sedikit kendala pada baterai yang mudah rusak. Kendala lainnya terkait dengan solar adalah lebih ke arah behaviour masyarakat Indonesia yang belum terbiasa dengan teknologi baru sehingga menganggap teknologi tersebut tidak praktis.

(29)

Gambar 20. Perkembangan Harga Solar PV pada Periode 1977-2013

Asumsi Level/Trajectory Assumption Level 1

Level 1 mengasumsikan kapasitas PLTS pada tahun 2050 sebesar 5 GW. Pada level ini diasumsikan masyarakat belum terdorong untuk beralih ke pembangkit surya, selain itu teknologi pendukung berupa baterai masih sama seperti sekarang sehingga diperlukan penggantian secara berkala.

(30)

Level 2 mengasumsikan kapasitas terpasang PLTS pada tahun 2050 sebesar 10 GW. Pada level ini diasumsikan keandalan PLTS sudah sangat teruji, namun pemahaman masyarakat untuk beralih ke pembangkit surya masih kurang. Selain itu program instalasi PLTS skala besar terkendala dengan ketersediaan lahan.

Level 3

Level 3 mengasumsikan kapasitas terpasang PLTS pada tahun 2050 mencapai 20 GW. Tingginya kapasitas terpasang didorong oleh pemahaman masyarakat yang meningkat seiring dengan peningkatan harga jual listrik dari PLN.

Level 4

Level 4 mengasumsikan kapasitas PLTS pada tahun 2050 sebesar 25 GW. Pada level ini diasumsikan harga PLTS yang terjangkau dengan keandalan yang sangat teruji dan didukung oleh telah ditemukannya teknologi pengganti baterai. Selain juga didorong oleh semakin banyaknya masyarakat yang beralih ke PLTS dibandingkan level 3.

Gambar 21. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Surya hingga Tahun 2050 4.7. Nuklir

PLTN merupakan energi baru yang sangat potensial digunakan dalam pembangkitan tenaga listrik. Namun demikian, PLTN saat ini masih merupakan sumber energi alternatif terakhir dalam komponen sumber energi yang dapat digunakan di Indonesia. Hasil studi PLN, menunjukkan untuk PLTN berdaya 1.000 MW ongkos pembangkitan listrik per kWh di kisaran 6 sen USD sudah termasuk biaya jaringan listrik. Bila mempertimbangkan faktor risiko kecelakaan, maka akan ada kenaikan biaya

Level 1 (2050): 5 GW Level 2 (2050): 10 GW Level 3 (2050): 20 GW Level 4 (2050): 25 GW 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 2010 2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050 K a p a si ta s (G ig a W a tt ) Kapasitas PLTS

(31)

sekitar 0,16 sen USD/kWh. Sementara itu jika mempertimbangkan adanya inflasi untuk biaya O&M dan bahan bakar, maka kemungkinan ada kenaikan biaya pembangkitan sekitar 0,43 senUSD/kWh. Faktor yang berpengaruh

Dalam calculator 2050 Indonesian Pathway, asumsi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap capaian kapasitas pembangkit nuklir adalah:

1. Faktor keselamatan;

Ketakutan masyarakat awam terhadap pemanfaatan energi nuklir memang cukup beralasan, sehingga berbagai usaha pengamanan dilakukan untuk melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat, para pekerja reaktor dan lingkungan PLTN untuk menjamin agar radioaktif yang dihasilkan reaktor nuklir tidak terlepas ke lingkungan baik selama operasi maupun jika terjadi kecelakaan. Oleh karena itu, tujuan Keselamatan Umum PLTN adalah melindungi pekerja, masyarakat dan lingkungan hidup yang dilakukan melalui upaya pertahanan yang efektif terhadap bahaya radiasi di fasilitas nuklir.

Memberikan keyakinan terhadap masyarakat luas bahwa nuklir aman untuk dikembangkan adalah kunci keberhasilan pembangunan nuklir di Indonesia.

2. Kondisi tapak (faktor kegempaan, kondisi geologi, dll): daerah/wilayah yang aktif secara seismik akan lebih mahal;

Saat ini Indonesia setidaknya telah memiliki 3 (tiga) tapak yakni tapak Muria, Banten dan Bangka. Namun demikian ketiga tapak tersebut masih dalam tahap studi kelayakan.

3. Nilai investasi

Struktur 'front -loaded' biaya pembangkit listrik tenaga nuklir (yaitu fakta bahwa relatif mahal untuk membangun tapi murah untuk beroperasi) selalu menjadi faktor risiko investasi dan tantangan keuangan, terutama di pasar listrik bebas (liberal). Periode amortisasi antara 15 dan 25 tahun, besarnya investasi untuk PLTN berdaya 1000 MW(e), dan ketidakpastian regulasi merupakan potensi permasalahan yang harus bisa diatasi dengan harapan ongkos pembangkitan listrik yang murah dan periode produksi listrik yang lama.

Asumsi Level/Trajectory Assumption Level 1

Level 1 mengasumsikan hingga tahun 2050 Indonesia tidak memiliki pembangkit nuklir atau kapasitas nuklir tetap 0 GW (Expert judgement). Pada level ini diasumsikan bahwa nuklir belum mendapatkan dukungan dari masyarakat luas dan pemerintah. Masyarakat terutama sangat menyoroti masalah keamanan dari nuklir tersebut. Level ini mengasumsikan bahwa masyarakat

(32)

masih memiliki anggapan bahwa nuklir tidak aman untuk kesehatan dan keselamatan sehingga masih menentang pembangunan PLTN.

Level 2

Level 2 mengasumsikan kapasitas PLTN pada tahun 2050 sebesar 5 GW (Expert judgement). Pada level ini kapasitas nuklir diasumsikan naik setiap 10 tahun dengan kenaikan 1,25 GW. Asumsi lain dari level ini adalah studi kelayakan tapak, dimana salah satu atau seluruh tapak telah dinyatakan layak untuk pembangunan PLTN, sehingga ada tambahan kapasitas dari salah satu/seluruh tapak tersebut.

Level 3

Level 3 mengasumsikan kapasitas PLTN pada tahun 2050 mencapai 21 GW (Expert judgement). Dalam dokumen draf Indonesian Nuclear Energy Outlook, 2014 menyatakan bahwa proyeksi kapasitas nuklir mencapai 21 GW. Berpatokan pada angka ini sehingga capaian kapsitas untuk level 3 disamakan. Pada level ini kapasitas nuklir diasumsikan naik setiap 10 tahun dengan kenaikan 5,25 GW.

Level 4

Level 4 mengasumsikan kapasitas PLTN pada tahun 2050 sebesar 30 GW (Expert judgement). Pada level ini diasumsikan selain mendapatkan dukungan penuh dari Masyarakat dan Pemerintah, juga didorong oleh upaya pengurangan impor bahan bakar minyak yang harganya sudah sangat tidak feasible. Pada level ini kapasitas nuklir diasumsikan naik setiap 10 tahun dengan kenaikan 7,5 GW.

Gambar 22. Proyeksi Kapasitas Pembangkit Nuklir hingga Tahun 2050 Level 1 (2050): 0 GW Level 2 (2050): 5 GW Level 3 (2050): 21 GW Level 4 (2050): 30 GW 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 2010 2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050 K a p a si ta s (G ig a W a tt )

Kapasitas PLTN

(33)

V. Referensi

Draft Report of Master Plan Study for Hydro Power Development in Indonesia, Nippon Koei, 2011 Greenpeace. 2014. Global Wind Energy Outlook 2014.

Handbook of Energy & Economics of Indonesia. 2013. Pusdatin, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Internatioanal Energy Agency (IEA), 2010. Energy Technologies Perspective 2010, Scenario & Strategies to 2050. http://www.iea.org/publications/freepublications/publication/etp2010.pdf. IEA (2013a), Technology Roadmap: Wind Energy, OECD/IEA, Paris,

www.iea.org/publications/freepublications/publication/Wind_2013_Roadmap.pdf. IEA. 2013. Annual Energy Outlook 2013.

Kagel, dkk. 2007. A Guide to Geothermal Energy and The Environment. Geothermal Energy Association. Washington DC.

Maksum, Hasan dkk. 2014. Harga Listrik Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Skala Kecil. Buletin Mineral & Energi Vol.12/No.1. Litbang Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Robinson and Thresher. 2008. Wind Energy Technology: Current Status and R&D Future R. Thresher. National Renewable Energy Laboratory. Presented at the Physics of Sustainable Energy Conference University of California at Berkeley.

Wargadalam, Verina J. 2014 Potensi Energi Angin dan Kelayakan Harga Listrik yang Dihasilkan. Buletin Mineral & Energi Vol.12/No.1. Litbang Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Yosi, Mira. 2014. Potensi Energi Laut Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

ZREU (Zentrum fur rationell Energieanwendung und Umwelt GmbH), 2000. Biomass in Indonesia-Business Guide.

Referensi

Dokumen terkait

Karyawan yang mengetahui semua detail tugas dari pekerjaan yang dijalani, merasa dirinya mampu melaksanakan setiap pekerjaan maupun tanggungjawab yang diberikan, serta

73 dari jumlah input produksi yang digunakan jauh lebih sedikit daripada petani dengan luas lahan < 0,5 Ha sehingga biaya yang dikeluarkan pun menjadi jauh

Berdаsаrkаn hаsil ROА bаnk umum yаng terdаftаr di Bursа Efek Indonesiа tаhun 2011 hinggа 2016, bаnk yаng memiliki predikаt tertinggi аtаu kondisinyа

Hasil belajar yang diperoleh dari kelas eksperimen dipengaruhi oleh penggunaan model pembelajaran SAVI yang membantu siswa melibatkan semua indra dalam belajar

Uji lanjutan Duncan diantaranya menunjukkan nilai warna gel cincau hitam instan (3.5) pada interaksi tepung sagu dan proporsi tepung serta ekstrak kering tanaman cincau

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan bahwa Mahasiswa program studi PGSD semester III sangat mampu untuk keterampilan mengamati,

Valbury Asia Securities hanya sebagai informasi dan bukan ditujukan untuk memberikan rekomendasi kepada siapa pun untuk membeli atau.. menjual suatu

It is concluded that fraction of hexane extract of carica papaya seeds can decrease the mean number of cells spermatogonia A, spermatocyte of primary pakhiten, spermatid,