• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 LANDASAN TEORI"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

11

LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Perpajakan

2.1.1 Pengertian Pajak

Ada banyak definisi atau pendapat yang dikemukan oleh para pakar mengenai pengertian pajak, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani

Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. b. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH

Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur: 1. Iuran yang dapat dipaksakan.

2. Berdasarkan pada undang-undang.

3. Tidak ada kontraprestasi langsung yang dapat dirasakan oleh si pembayar pajak.

4. Digunakan untuk membiayai pengeluaran umum negara.

2.1.2 Fungsi Pajak

Pajak bagi negara mempunyai fungsi yang sangat penting, karena pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan bagi negara dalam menjalankan roda pemerintahan. Suatu pemahaman inilah yang dapat diharapkan dan menimbulkan kesadaran akan kewajiban warga negara untuk membayar pajak.

(2)

Menurut Mardiasmo (2009) ada dua fungsi pajak, yaitu: 1. Fungsi Penerimaan (Budgetair)

Merupakan fungsi utama pajak dan fungsi fiskal yaitu suatu fungsi dimana pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas negara, berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku. Jadi pajak dalam hal ini berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, seperti belanja barang, pemeliharaan, dan pembangunan fasilitas umum. 2. Fungsi Mengatur (Regulerend)

Fungsi mengatur dipergunakan pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan dan sebagai fungsi tambahan karena fungsi ini hanya sebagai pelengkap dari fungsi utama pajak. Untuk mencapai tujuan tersebut, pajak dipakai sebagai alat kebijakan.

Pajak sebagai alat mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Contohnya:

a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras.

b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif.

c. Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0% untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia.

2.1.3Tata Cara Pemungutan Pajak 2.1.3.1Stelsel Pajak

1. Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan tiga stelsel: a. Stelsel Nyata (Riel Stelsel)

Ini mendasarkan pengenaan pajak pada penghasilan yang benar – benar diperoleh dalam setiap tahun pajak. Kelebihan system ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru akan dikenakan pada akhir periode, yaitu setelah riil diketahui.

b. Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel)

Stelsel ini bekerja dengan suatu anggapan yang bermacam – macam tergantung dari undang – undang yang mengaturnya. Kelebihannya

(3)

adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan tanpa harus menunggu pada akhir tahun, sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sebenarnya.

c. Stelsel Campuran

Stelsel ini merupakan kombinasi kedua stelsel diatas. Pada awal tahun besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan,kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya.

2.1.3.2Asas Pemungutan Pajak

Terdapat tiga asas pemungutan pajak menurut Mardiasmo (2009), yaitu: a. Asas Domisili (asas tempat tinggal)

Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri.

b. Asas Sumber

Pengenaan pajak tergantung adanya sumber di suatu Negara. Siapapun yang menerima penghasilan di Indonesia, akan dikenakan pajak oleh Negara Indonesia, baik bagi Wajib Pajak bertempat tinggal di Indonesia, maupun diluar negeri.

c. Asas Kebangsaan

Asas ini menghubungkan pengenaan pajak dengan kebangsaan suatu Negara, dimana setiap orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia diperlukan untuk membayar pajak.

2.1.3.3Sistem Pemungutan Pajak

Sistem pemungutan pajak di Indonesia sudah mengalami reformasi sejak 1 Januari 1984, berbagai perubahan dan pembaharuan atau yang biasa disebut tax reform menuju kearah yang lebih modern dan dinamis. Dalam hal perpajakan ini sistem pemungutan pajak yang digunakan dari semula official assessment diubah menjadi self assessment.

(4)

Adapun sistem yang digunakan menurut Mardiasmo (2009), sebagai berikut:

1. Self Assessment System

Sistem ini diberlakukan di Indonesia. Wajib Pajak menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Intinya, pajak yang dipungut melalui usaha atau kerja dari Wajib Pajak itu sendiri atau dengan kata lain Wajib Pajak sendirilah yang melakukan pembayaran pajaknya.

Di Indonesia, caranya seperti berikut: Wajib Pajak menghitung berapa besarnya Pajak Penghasilan yang dia miliki, kemudian memungut besar pajak miliknya, kemudian membayarkan ke Bank yang berpartisipasi dalam penerimaan pembayaran pajak. Lalu hal yang sangat penting adalah melaporkan pajaknya dengan SPT (Surat Pemberitahuan) ke Kantor Pajak.

2. Official Assessment System

Sistem ini memberlakukan pemungutan pajak yang dilakukan oleh fiskus (petugas pemungut pajak). Dalam sistem ini, pemungutan pajak dilakukan oleh pemerintah, jadi yang menghitung dan memungut besarnya pajak masyarakat adalah petugas negara atau dilakukan oleh pihak negara.

3. Withholding Tax System

Pemungutan dan pemotongan pajak dalam sistem ini dilakukan oleh pihak ketiga selain negara dan Wajib Pajak itu sendiri. Contohnya, dapat kita lihat pada pemungutan Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang bekerja sebagai karyawan di suatu perusahaan. Biasanya perusahaan atau BUMN akan memotong dan memungut pajak dari penghasilan bulanan yang dimiliki karyawannya. Dalam hal ini, perusahaan adalah sebagai pihak ketiga. Sistem ini juga berlaku di Indonesia terutama pada kantor-kantor BUMN.

(5)

2.2 Pajak Penghasilan

2.2.1 Pengertian Pajak Penghasilan

Menurut Prof. Dr. Gunadi, Penghasilan didefinisikan sebagai peningkatan manfaat ekonomi selama satu periode akuntansi tertentu dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal.

Sementara menurut pengertian penghasilan yang dikutip dari Undang-undang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (1) adalah :

Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk unsur-unsur sebagai berikut :

a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.

b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.

2.2.2 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 24

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dengan perubahan terakhir Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 24 ayat (1), PPh Pasal 24 adalah pajak yang dibayarkan atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-Undang ini dalam tahun pajak yang sama

Pajak penghasilan pasal 24 atau kredit pajak luar negeri, merupakan perhitungan berapa besar jumlah pajak yang sudah dibayar atas penghasilan di luar negeri dan pajak tersebut dapat dikreditkan atau dikurangkan dari penghasilan yang

(6)

ada di dalam negeri, sehingga menghindari pengenaan pajak berganda (double taxation).

2.2.2.1 Subjek dan Objek Pajak Penghasilan Pasal 24

Yang menjadi subjek PPh Pasal adalah wajib pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Objek PPh Pasal 24 adalah penghasilan yang berasal dari luar negeri.

2.2.2.2 Penentuan Sumber Penghasilan PPh Pasal 24

Dalam menghitung batas jumlah pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan, perlu diperhatikan penentuan sumber penghasilan sebagai berikut: (Mardiasmo, 2009:239)

1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan.

2. Penghasilan berupa bunga, royalty dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta bergerak adalah negara tempat pihak yang membayaratau dibebani bunga, royalty atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada.

3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak bergerak adalah negara tempat harta tersebut terletak.

4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada.

5. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.

6. Penghasilan dan pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada.

7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap itu berada.

8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap itu berada.

(7)

Dalam perhitungan kredit pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negerti yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang menurut undang-undang, penentuan sumber penghasilan jadi sangat penting. Selanjutnya, ketentuan ini mengatur tentang penentuan sumber penghasilan untuk menperhitungkan kredit pajak luar negeri tersebut. Mengingat undang-undang ini menganut pengertian yang sangat luas, maka sesuai ketentuan penentuan sumber dari penghasilan. Misalnya, si X sebagai wajib pajak dalam negeri memiliki rumah di Singapura dan dalam tahun 2009 rumah tersebut dijual. Keuntungan dari penjualan rumah tersebut merupakan penghasilan yang bersumber di Singapura, karena rumah tersebut terletak di Singapura.

2.2.2.3 Pengabungan Penghasilan

Berdasarkan SE-22/PJ.4/1995 adalah untuk menghitung pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari dalam negeri maupun dari luar negeri, maka seluruh penghasilan Wajib Pajak tersebut dihitung dan digabungkan. Hasil penggabungan tersebut dijadikan dasar untuk menghitung PPh Pasal 24.

1. Penggabungan penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut (accrual basis).

2. Penggabungan penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut (cash basis).

3. Penggabungan penghasilan yang berupa dividen (pasal 18 ayat 2 UU PPh) dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Sehingga, kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak dan pajak penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia.

2.2.2.4 Mekanisme Pengkreditan PPh Pasal 24

Menurut Keputusan Menteri Keuangan (164/KMK.03/2002) dijelaskan bagaimana mekanisme pengkreditan PPh yang dibayar di luar negeri adalah sebagai berikut:

(8)

a. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia.

b. Pengkreditan PPh yang dibayar di luar negeri (PPh Pasal 24) dilakukan dalam tahun pajak digabukannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan penghasilan di Indonesia.

c. Jumlah PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan maksimum sebesar jumlah yang lebih rendah di antara PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri dan jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri dan seluruh Penghasilan Kena Pajak, atau maksimum sebesar PPh yang terutang atas seluruh Penghasilan Kena Pajak dalam hal di dalam negeri mengalami kerugian (penghasilan dari luar negeri lebih besar dari jumlah penghasilan kena pajak).

d. Apabila penghasilan dari luar negeri berasal dari beberapa negara, maka perhitungan PPh Pasal 24 dilakukan untuk masing-masing negara.

e. Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000) dan/atau penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri (Pasal 8 ayat (1 dan 4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000) tidak dapat digabungkan dengan penghasilan lainnya, baik yang diperoleh dari dalam negeri maupun luar negeri.

f. Dalam hal jumlah PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan, kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan di tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya dan tidak dapat direstitusi.

g. Untuk melaksanakan pengkreditan PPh luar negeri, Wajib Pajak wajib menyampaikan permohonan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh, dilampiri dengan:

1) Laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri.

2) Fotocopy Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri.

3) Dokumen pembayaran PPh di luar negeri.

h. Atas permohonan Wajib Pajak, Kepala KPP dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian lampiran-lampiran diatas karena alasan-alasan di luar kekuasaan Wajib Pajak.

i. Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang beradal dari luar negeri, Wajib Pajak harus melakukan pembetulan SPT Tahunan yang

(9)

bersangkutan dengan melampirkan dokumen-dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.

j. Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan PPh kurang dibayar, maka atas kekurangan bayar tersebut tidak dikenakan sanksi bunga.

k. Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan lebih bayar, maka atas kelebihan tersebut dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.

Dalam hal terjadinya pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar di luar negeri, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi lebih kecil daripada kredit pajak luar negeri semula, maka selisihnya ditambahkan pada pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri pada tahun terjadinya pengurangan atau pengembalian tersebut.

Indonesia merupakan metode kredit dengan pembatasan yang diatur di dalam Pasal 24 UU PPh. Ketentuan Pasal 24 UU PPh mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan wajib pajak dalam negeri. Pengkreditan pajak luar negeri dilakukan dalam tahun yang digabungkan penghasilan dari luar negeri dengan penghasilan di Indonesia. Indonesia menganut tax credit yang ordinary credit method dengan menerapkan per country limitation. Batas maksimum kredit pajak diambil yang terendah dari tiga unsure/perhitungan berikut ini: (Mardiasmo, 2009:240)

1. Jumlah pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri.

2. ( Penghasilan luar negeri : Seluruh penghasilan kena pajak ) x PPh atas seluruh penghasilan yang dikenakan tarif Pasal 17.

3. Jumlah pajak yang terutang untuk seluruh penghasilan kena pajak (dalam hal penghasilan kena pajak adalah lebih kecil daripada penghasilan luar negeri).

Contoh 1:

PT. Anggrek memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2012 sebagai berikut:

1) Penghasilan dari luar negeri Rp 3.000.000.000, dengan tarif sebesar 40%. 2) Penghasilan usaha di Indonesia Rp 2.000.000.000

(10)

Maka jumlah penghasilan netto adalah:

Rp 3.000.000.000 + Rp 2.000.000.000 = Rp 5.000.000.000 Batas maksimum kredit pajak yang diambil:

a) PPh terutang atau dibayar di luar negeri 40% x Rp 3.000.000.000 = Rp 1.200.000.000 b) PPh terutang (menurut tarif pasal 17)

= Rp 5.000.000.000 x 25% = Rp 1.250.000.000

c) (Rp 3.000.000.000 : Rp 5.000.000.000) x Rp 1.250.000.000 = Rp 750.000.000

Dengan demikian kredit pajak yang diperkenakan sebesar Rp 750.000.000

Contoh 2:

Batas maksimum kredit pajak untuk setiap negara (per country limitation). Apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan batas maksimum kredit pajak dilakukan di masing-masing negara.

PT. Melati memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2012 sebagai berikut:

1) Di negara X, memperoleh penghasilan (laba) Rp 1.000.000.000 dengan tarif pajak sebesar 35% (Rp 350.000.000)

2) Di negara Y, memperoleh penghasilan (laba) Rp 2.000.000.000 dengan tarif pajak sebesar 20% (Rp 400.000.000)

3) Penghasilan usaha di Indonesia Rp 2.000.000.000

Penghitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut:

a) Penghasilan luar negeri:

Laba di negara X Rp 1.000.000.000

Laba di negara Y Rp 2.000.000.000 Rp 3.000.000.000 b) Penghasilan domestik sebesar Rp 2.000.000.000

(11)

c) Jumlah penghasilan kena pajak adalah:

Rp 3.000.000.000 + Rp 2.000.000.0000 = Rp 5.000.000.000

d) PPh terutang (menurut tarif pasal 17)

= Rp 5.000.000.000 x 25% = Rp 1.250.000.000

e) Batas maksimum kredit untuk masing-masing negara:

Negara X

(Rp 1.000.000.000 : Rp 5.000.000.000) x Rp 1.250.000.000 = Rp 250.000.000

Pajak terutang di negara X sebesar Rp 350.000.000, maka maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah sebesar Rp 250.000.000 Negara Y

(Rp 2.000.000.000 : Rp 5.000.000.000) x Rp 1.250.000.000 = Rp 500.000.000

Pajak terutang di negara X sebesar Rp 400.000.000, maka maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah sebesar Rp 400.000.000

f) Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah sebesar

= Rp 250.000.000 + Rp 400.000.000 = Rp 650.000.000

Contoh 3

Rugi usaha di luar negeri yaitu dalam menghitung penghasilan kena pajak, tidak dihitung kerugian yang diderita di luar negeri.

PT. Mawar memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2012 sebagai berikut:

1) Di negara X, memperoleh penghasilan (laba) Rp 1.000.000.000 dengan tarif pajak sebesar 35% (Rp 350.000.000)

2) Di negara Y, memperoleh penghasilan (laba) Rp 3.000.000.000 dengan tarif pajak sebesar 20% (Rp 600.000.000)

(12)

4) Penghasilan usaha di Indonesia Rp 1.000.000.000

Penghitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut:

a) Penghasilan luar negeri:

Laba di negara X Rp 1.000.000.000 Laba di negara Y Rp 3.000.000.000 Rugi di negara Z Rp -

Rp 4.000.000.000

b) Penghasilan domestik sebesar Rp 1.000.000.000

c) Jumlah penghasilan kena pajak adalah:

Rp 4.000.000.000 + Rp 1.000.000.0000 = Rp 5.000.000.000

d) PPh terutang (menurut tarif pasal 17)

= Rp 5.000.000.000 x 25% = Rp 1.250.000.000

e) Batas maksimum kredit untuk masing-masing negara:

Negara X

(Rp 1.000.000.000 : Rp 5.000.000.000) x Rp 1.250.000.000 = Rp 250.000.000

Pajak terutang di negara X sebesar Rp 350.000.000, maka maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah sebesar Rp 250.000.000

Negara Y

(Rp 3.000.000.000 : Rp 5.000.000.000) x Rp 1.250.000.000 = Rp 750.000.000

Pajak terutang di negara X sebesar Rp 600.000.000, maka maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah sebesar Rp 600.000.000

Di negara Z PT. Mawar menderita kerugian sebesar Rp 1.000.000.000, maka dari itu kerugian ini tidak dapat dimasukkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak dan juga tidak dapat dikompensasikan sebagai kredit pajak luar negeri.

(13)

f) Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah sebesar

= Rp 250.000.000 + Rp 600.000.000 = Rp 850.000.000

2.2.3 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 26

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.

Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.

Negara domisili dari Wajib Pajak Luar Negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah Negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak Luar Negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).

Pemotong PPh Pasal 26:

a) Badan Pemerintah;

b) Subjek Pajak Dalam Negeri; c) Penyelenggara Kegiatan; d) BUT;

e) Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT di Indonesia.

2.2.3.1 Subjek Pajak Penghasilan Pasal 26

Penerima penghasilan sebagai subjek pajak yang dipotong PPh pasal 26 yaitu oramg pribadi dengan status sebagai subjek pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dalam bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam peraturan Direktur Jendral Pajak, dari Pemotong PPh Pasal 26 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk penerima pensiun.

(14)

Berdasarkan kewenangan untuk memungut pajak, menurut Pasal 2 ayat (2) UU PPh, subjek pajak menjadi dua yaitu: (Wirawan B. Ilyas, 2007:11)

1. Subjek Pajak Dalam Negeri

Menurut Pasal 2 ayat (3) UU PPh yang termasuk pajak dalam negeri adalah: a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia;

b. Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;

c. Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

d. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;

e. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. 2. Subjek Pajak Luar Negeri

Menurut Pasal 2 ayat (3) UU PPh yang termasuk dalam subjek pajak luar negeri adalah:

a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;

b. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dengan cara menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, atau menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Kriteria BUT sesuai dengan UU PPh yang berlaku apabila antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah dari subjek pajak luar negeri tidak mengadakan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty). Apabila antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah dari subjek pajak luar negeri tesebut telah mengadakan Tax Treaty, maka kriteria BUT harus mengacu kepada isi Tax Treaty yang telah disepakati oleh kedua negara.

(15)

Menurut Pasal 3 UU PPh, orang yang tidak termasuk subjek pajak adalah:

1. Badan perwakilan asing;

2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan mereka yang bekerja dan bertempat tinggal bersama-sama, dengan syarat bukan warga negara Indoneia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan yang timbale balik.

3. Organisasi-organisasi internasional dengan syarat:

a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan

b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggotanya.

4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Disamping itu menurut penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PPh terdapat unit Pemerintah Indonesia yang tidak termasuk sebagai subjek pajak adalah:

1) Dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2) Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD;

3) Penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat atau daerah;

4) Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

2.2.3.2 Tarif dan Objek Pajak Penghasilan Pasal 26

Berdasarkan UU PPh tarif dan objek PPh Pasal 26 adalah sebagai berikut:

1. 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri berupa :

a. dividen;

b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;

(16)

c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;

e. hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun; f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;

g. Premi swap dan transaksi lindung lainnya; dan/atau h. Keuntungan karena pembebasan utang.

2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa : a. penghasilan dari penjualan harta di Indonesia;

b. premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.

3. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara conduit company atau spesial purpose company yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia; 4. 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu

BUT di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia. (KMK No.602/KMK/04/1994 jo. KMK No.113/KMK.02/2002 antara lain diinvestasikan dalam waktu minimal dua tahun di Indonesia) Contoh:

PT. Z membayar royalti kepada A Ltd di luar negeri sebesar Rp 150.000.000 dan tidak ada P3B dengan Indonesia, maka PT. Z wajib memotong PPh Pasal 26 sebesar 20%.

Rp 150.000.000 x 20% = Rp 30.000.000

5. Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara pihak pada persetujuan.

2.3 Bentuk Usaha Tetap

2.3.1 Pengertian BUT

Berdasarkan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan, Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih

(17)

dari 183 hari (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Pengertian bentuk usaha tetap (BUT) menurut P3B dalam OECD Model, UN Model, dan Model Indonesia (article 5) adalah suatu tempat usaha tetap dimana melalui tempat usaha tetap tersebut usaha dari suatu perusahaan seluruhnya atau sebagian dijalankan. Salah satau kriteria utama adanya BUT adalah adanya suatu tempat tetap (fixed place) yang digunakan untuk melakukan usaha. BUT semacam ini sering disebut dengan istilah BUT aktiva (asset type permanent establishment).

Berdasarkan Pasal 2 ayat (5), BUT dapat berupa:

1. Tempat kedudukan manajemen; 2. Cabang perusahaan;

3. Suatu kantor perwakilan; 4. Gedung kantor;

5. Suatu pabrik; 6. Suatu bengkel;

7. Suatu gudang atau tempat yang digunakan sebagai tempat penjualan; 8. Ruang untuk promosi dan penjualan;

9. Suatu tambang, suatu sumur minyak atau gas, suatu penggalian atau tempat pengambilan atau eksplorasi atau eksploitasi sumber daya alam, rig pengeboran atau kapal yang digunakan untuk eksplorasi atau eksploitasi sumber daya alam

10. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;

11. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; 12. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan

13. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;

14. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;

(18)

15. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan

16. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

Selain dari adanya tempat tetap (fixed place), ada atau tidaknya BUT juga bisa ditentukan dari adanya aktivitas. Jadi meskipun tidak ada aktiva tapi, ada aktivitas tertentu maka akan menimbulkan BUT . BUT semacam ini disebut dengan aktivitas (activity type permanent establishment).

2.3.2 Objek Pajak BUT

Ada tiga kelompok jenis penghasilan yang merupakan objek pajak BUT, yaitu (Jaja Zakaria, 2005):

1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;

2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijakankan atau di lakukan di Indonesia;

3. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam PPh Pasal 26 yang berupa dividen, bunga, royalty, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan atau kegiatan, yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.

2.3.3 Jenis Bentuk Usaha Tetap

Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan WPLN yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) UU PPh sudah memberikan pengertian dan contoh ilustrasi.

(19)

Jadi dapat dilihat dari bentuknya, BUT dapat dikelompokkan dalam empat tipe: (Gunadi, 2007:88)

1. Bentuk Usaha Tetap Tipe Aset

BUT kelompok ini ditenggarai dengan adanya fasilitas fisik (aset) yang merupakan tempat untuk menjalankan sebagian atau seluruh usaha atau melakukan kegiatan perusahaan WPLN di Indonesia. Tempat usaha demikian dapat merupakan kepunyaan sendiri, disewa dari pihak lain atau difasilitasi pihak lain yang memungkinkan pemanfaatan tempat usaha tersebut. Sesuai dengan kelaziman internasional (Model Konvensi OECD) dan UN), untuk mempunyai kualifikasi sebagai BUT, tempat usaha tersebut haru mempunyai derajata kepermanenan baik secara geografis maupun berkelanjutan. Dalam tipe ini, BUT dapat berupa gedung, kantor, bengkel, pabrik, tanah pertanian, peternakan, pertambangan, dan penggalian sumber alam.

2. Bentuk Usaha Tetap Tipe Aktivitas

Bentuk usaha ini dapat berupa bentuk proyeksi konstruksi, proyek instalasi, dan pemberian jasa (furnishing of services) selama lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan. Berbeda dengan aktivitas pemberian jasa, kelompok BUT proyeksi konstruksi (membangun jalan, jembatan, bangunan, dan sebagainya) tidak mengenal time test. Setiap proyek konstruksi, instalasi, dan perakitan tanpa memperhatikan lamanya pelaksanaan akan selalu menjadi BUT. Sehubungan dengan BUT aktivitas ini, bisa jadi bahwa perusahaan yang mempunyai fasilitas fisik (misalnya kantor cabang untuk proyek konstruksi) sudah cukup memenuhi persyaratan BUT dengan adanya fasilitas fisik itu. Pencantuman batas minimum waktu (minimum time test) dalam penentuan menyelaraskan dengan praktik internasional. Dengan demikian, hanya aktivitas pemberian jasa di Indonesia yang melebihi 60 hari saja yang dapat menjadi BUT.

3. Bentuk Usaha Tetap Tipe Agen

Selain ditenggarai dengan fasilitas fisik dan aktivitas, BUT dapat eksis karena relasi bisnis yang berupa keagenan. Dengan hubungan keagenan, pengusaha WPLN dapat memperoleh penghasilan usaha dari Indonesia tanpa harus memanfaatkan tempat usaha tetap atau punya aktivitas sendiri. Dalam tipe

(20)

ini, BUT berupa orang pribadi atau badan yang bertindak sebagai agen dari perusahaan luar negeri yang kedudukannya tidak bebas (dependent agent). 4. Bentuk Usaha Tetap Tipe Asuransi

Dalam tipe ini, BUT dapat berupa agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di suatu Negara yang menerima premi asuransi atau menaggung risiko di Negara itu. Usaha asuransi pada umumnya dianggap mempunyai BUT menurut P3B apabila ada tempat tetap (fixed place of business) dan menerima premi dari wilayah Negara melalui seseorang atau agen yang tidak mempunyai status bebas (dependent agent). Sehingga pemajakan surasnsi menurut P3B hanya mengacu pada ada atau tidaknya BUT. Apabula ada BUT menurut P3B, maka Indonesia berhak untuk memungut pajaknya, namun apabila tidak ada maka Indonesia tidak berhak memungut. Hal tersebut berbeda menurut UU PPh yang mengenakan pajak atas BUT apabila memenuhi kriteria BUT, namun apabila tidak memenuhi kriteria BUT akan terutang PPh Pasal 26.

2.3.4 Konsep Dasar Permanent Establishment

Konsep dasar Permanent Establishment diatur dalam Pasal 5 OECD Model dan UN Model yang menjelaskan kepada kita kegiatan usaha yang seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai Permanent Establishment dan kegiatan seperti apa yang tidak dapat dikategorikan sebagai Permanent Establishment. Dengan demikian, konsep Permanent Establishment merupakan konsep yang sangat penting dalam penentuan hak pemajakan negara sumber terhadap penghasilan dari kegiatan usaha yang dijalankan oleh subjek pajak luar negeri. Tanpa adanya Permanent Establishment, negara sumber tidak dapat mengenakan pajak atas laba usaha yang diperoleh oleh perusahaan yang menjadi subjek pajak luar negeri di negara sumber.

Bentuk – bentuk Permanent Establishment (PE) seperti yang diatur dalam OECD Model adalah sebagai berikut ini:

a. Bentuk Dasar atau “Basic Rule PE” ( Pasal 5 ayat (1), (2), dan (3)); b. Kontruksi atau “Construction PE” ( Pasal 5 ayat (3);

(21)

Sedangkan berdasarkan UN model, bentuk-bentuk PE adalah sebagai berikut:

a. Bentuk Dasar atau “Basic Rule PE” ( Pasal 5 ayat (1), (2), dan (3)); b. Kontruksi atau “Construction PE” ( Pasal 5 ayat (3) huruf a); c. Pemberian Jasa atau “Service PE” ( Pasal 5 ayat (3) huruf b); d. Keagenan atau “Agency PE”( Pasal 5 ayat (5)).

e. Asuransi atau “Insurance PE” ( Pasal 5 ayat (6)).

Berikut adalah bagaimana proses pemberlakuan P3B yang dilakukan masing-masing Negara agar mencapai persetujuan yang ingin dicapai.

Gambar 2.1 Proses Pemberlakuan P3B

Dan sesuai penjelasan pengertian tentang BUT diatas, dengan demikian kondisi-kondisi yang harus dipenuhi agar dapat terbentuk suatu Permanent Establishment adalah sebagai berikut: (Jaja Zakaria, 2005)

a. Adanya tempat usaha.

b. Tempat usaha tersebut didirikan di suatu lokasi tertentu.

c. Subjek pajak harus mempunyai hak untuk memanfaatkan tempat usaha tersebut.

d. Penggunaan tempat usaha tersebut harus bersifat permanen atau dalam waktu yang melebihi periode waktu tertentu.

(22)

e. Kegiatan yang dilakukan melalui tempat usaha tersebut harus merupakan kegiatan usaha sebagaimana pengertian kegiatan usaha yang diatur dalam undang-undang domestik maupun perjanjian penghindaran pajak berganda.

Apabila salah satu kondisi di atas tidak terpenuhi maka Permanent Establishment tidak akan terbentuk seperti berikut ini:

a. Place of Business Test

Definisi tentang Place of Business Test tidak diberikan dalam pasal-pasal yang terdapat pada model perjanjian penghindaran pajak berganda. Akan tetapi, dalam paragraf (4) OECD Commentary atas pasal 5, tempat usaha ini diartikan sebagai bentuk bangunan, fasilitas atau instalasi yang dipergunakan untuk menjalankan kegiatan usaha, tanpa memperhatikan apakah dipergunakan semata-mata untuk tujuan tersebut. Tempat usaha tersebut, misalnya dapat berupa kantor, gudang, bengkel, pabrik, tempat kegiatan usaha lainnya atau dapat juga mencakup mesin dan peralatan. Secara prinsip, hanya aktiva tetap tidak berwujud tidak dapat menimbulkan Permanent Establishment.

b. Location Test

Berdasarkan pendekatan location test, tempat usaha harus didirikan di suatu tempat atau lokasi tertentu di wilayah negara sumber, yaitu berada di suatu titik geografi tertentu. Dengan demikian, makna kata “Place” apabila dikaitkan dengan kata “Fixed” yang membentuk suku kata “Fixed place” mencerminkan suatu persyaratan bahwa “Place” atau “tempat” tersebut mempunyai hubungan erat antara tanah dengan hak pemajakan dari suatu negara. Dengan demikian, pengoperasian alat transportasi berupa bus atau truk dari suatu negara ke negara lain tidak dapa dianggap sebagai permanent establishment. Akan tetapi, suatu kantor yang dipergunakan untuk penjualan tiket, pengadministrasian, atau pengawasan terhadap bus atau truk tersebut dapat saja dikategorikan sebagai permanent establishment. Terkait dengan lalu lintas internasional dalam penerbangan dan perkapalan, prinsip permanent establishment tidak diterapkan.

(23)

c. The Right Use Test

Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa suatu tempat usaha tidak dipermasalahkan apakah tempat usaha tersebut diperoleh melalui pembelian atau disewa dari pihak lain. Yang terpenting disini adalah perusahaan tersebut harus mempunyai hak untuk dapat memanfaatkan tempat usaha tersebut untuk menjalankan kegiatan usahanya.

d. Permanent Test

Terkait dengan tempat usaha, istilah “permanent” dapat diartikan dengan pengertian-pengertian sebagai berikut:

1. Tempat usaha dipergunakan untuk menjalankan kegiatan yang sifatnya teratur dan bukan untuk kegiatan usaha yang sifatnya situasional.

2. Istilah “permanent” tidak harus diartikan sebagai kegiatan yang berlangsung terus menerus tanpa tidak akan pernah berhenti, tetapi harus diartikan sebagai kegiatan yang dimaksudkan untuk berlangsung secara terus menerus tanpa pernah diketahui kapan akan berhenti.

3. Dikaitkan periode waktu dipergunakannya tempat usaha, istilah “permanent” dapat diartikan sebagai penggunaan tempat usaha dalam waktu yang lama. Jadi, tidak sekedar dipergunakan dalam jangka pendek. Untuk menguji apakah suatu tempat usaha dipergunakan sebagai tempat yang permanen, biasanya dilakukan dengan pendekatan “duration test” yaitu dengan cara melakukan penghitungan berapa lama keberadaan tempat usaha tersebut.

e. Business Test

Suatu tempat dikatakan menjalankan kegiatan “business” apabila kegiatan yang dilakukan melalui tempat tersebut sesuai dengan pengertian “business” yang dimaksudkan oleh undang-undang domestik maupun perjanjian penghindaran pajak berganda yang disepakati. OECD Model 2008, dalam Pasal 3 ayat (1) huruf h menjelaskan tentang istilah “business” sebagai berikut :

(24)

“The term “business” includes the perfomance of professional services and of other activities of an independent character.”

Jadi, pengertian “business” atau kegiatan usaha berdasarkan OECD Model adalah meliputi kegiatan dari pemberian jasa yang bersifat profesional dan kegiatan usaha lainnya yang mempunyai karakter yang sama.

2.3.5 Kegiatan – Kegiatan yang Tidak Termasuk dalam BUT

BUT dalam P3B dikenal dengan istilah Permanent Establishment yang menyatakan bahwa “Laba perusahaan dari Negara Pihak pada Persetujuan hanya akan dikenakan pajak di Negara itu kecuali jika perusahaan itu menjalankan usaha di Negara Pihak lainnya pada Persetujuan, melalui suatu Bentuk Usaha tetap yang berkedudukan disitu”. Apabila perusahaan tersebut menjalankan usahanya sebagaimana dimaksud diatas, maka laba perusahaan itu dapat dikenakan pajak di Negara lainnya tetapi hanya atas bagian laba yang berasal dari bentuk usaha tetap tersebut.

Oleh karena itu, jika suatu perusahaan dari suatu Negara Pihak pada persetujuan menjalankan usaha di setiap Negara melalui suatu bentuk usaha tetap yang berkedudukan disitu, maka yang akan diperhitungkan sebagai laba bentuk usaha tetap itu oleh masing-masing Negara ialah laba yang diperolehnya di Negara BUT berkedudukan.

Kegiatan yang tidak dianggap Bentuk Usaha Tetap: (Jaja Zakaria, 2005)

a) Pengunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dengan maksud untuk menyimpan atau memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan; b) Pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan milik

perusahaan semata-mata dengan maksud untuk disimpan atau dipamerkan; c) Pengurusan suatu persediaan barang- barang atau barang dagangan milik

perusahaan semata-mata dengan maksud untuk diolah oleh perusahaan lain; d) Pengurusan suatu tempat tertentu semata-mata dengan maksud untuk

pembelian barang-barang atau barang dagangan atau untuk mengumpulkan keterangan bagi keperluan perusahaan;

(25)

e) Pengurusan suatu tempat tertentu semata-mata dengan maksud untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat persiapan atau penunjang bagi perusahaan. f) Pengurusan suatu tempat usaha tertentu semata-mata dengan maksud untuk

setiap kegiatan-kegiatan gabungan dari yang disebut dalam sub-ayat (a) sampai (e), asal saja keseluruhan kegiatan di tempat usaha tertentu itu bersifat persiapan atau penunjang.

g) Sebuah perusahaan dari satu Negara pihak pada persetujuan tidk akan dianggap mempunyai suatu BUT di Negara pihak pada persetujuan lainnya semata-mata karena perusahaan itu menjalankan usaha di Negara lain tersebut melalui makelar, komisioner umum atau agen lainnya yang berdiri sendiri, sepanjang mereka bertindak dalam rangka usahanya yang lazim. Walaupun demikian, bilamana kegiatan agen seluruhnya atau hampir seluruhnya dilakukan atas nama perusahaan itu, ia tidak akan dianggap sebagai agen yang berdiri sendiri dalam pengertian ayat ini.

Pada dasarnya disamping BUT terdapat istilah, Tempat Usaha Tetap (TUT) digunakan untuk orang pribadi penduduk asing yang menjalankan kegiatan pekerjaan bebas atau jasa professional dalam tempat tertentu.

2.4 Hukum Pajak Internasional

2.4.1 Pengertian Hukum Pajak Internasional

Hukum pajak internasional pada dasarnya adalah hukum perselisihan yang didasarkan pada hukum antar bangsa, karena adanya unsur asing baik mengenai subyek atau objek, sebagaimana dikemukakan oleh Ottmar Buhfer. Hukum perselisihan adalah keseluruhan kaedah yang mengatur bentrokan dua sistem hukum negara atau lebih (Soemitro, 1987). Unsur asing mengenai subyek, menunjukkan adanya orang asing sebagai subyek pajak berdasarkan undang-undang perpajakan nasional, dan unsur asing mengenai obyek berarti adanya obyek yang dimiliki Wajib Pajak Dalam Negeri yang berada diluar wilayah suatu negara.

Pengertian Hukum Pajak Internasional, menurut pendapat Prof, Dr. Rochmat Soemitro, SH (1987) adalah:

(26)

“Hukum pajak internasional adalah hukum pajak nasional yang terdiri dari kaedah, baik kaedah-kaedah nasional maupun kaedah yang berasal dari traktat antar negara dan terdiri dari prinsip/kebiasaan yang telah diterima baik oleh negara-negara di dunia, untuk mengatur soal-soal perpajakan dan dalam mana dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing, baik mengenai subyeknya maupun mengenai obyeknya”.

Sebagaimana uraian diatas, keterbatasan wewenang suatu negara untuk memungut pajak memungkinkan terjadinya penghindaran pengenaan pajak, serta memungkinkan timbulnya beban pajak ganda, telah mendorong negara-negara di dunia untuk melakukan kerja sama dibidang perpajakan, sebagaimana dikemukakan pula oleh beliau, bahwa Hukum Pajak Internasional selain untuk mengatasi kemungkinan terjadinya bentrokan hukum, juga mengatur kerja sama di bidang perpajakan, seperti saling memberi informasi yang berguna bagi pengenaan pajak dan turut membantu dalam hal penagihan pajak. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa fungsi paling utama Hukum Perpajakan Internasional adalah untuk menghindarkan pengenaan pajak berganda (double taxation), dan untuk menghindarkan penyeludupan pajak (tax evasion dan tax avoidance), melalui kerjasama saling tukar menukar informasi serta bantuan pelaksanaan penagihan pajak.

2.4.2 Kedaulatan Hukum Pajak Internasional

UU no.7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah dengan UU no.17 Tahun 2000 (UU PPh) khususnya dalam pasal 26 diatur bahwa terhadap WP luar negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia antara lain berupa bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, akan dikenakan PPh sebesar 20% dari jumlah bruto. Pasal ini menunjukkan bahwa contoh adanya hubungan ekonomis antara orang asing dengan penghasilan yang diperoleh di Indonesia.

Dalam hukum antar negara terdapat suatu asas mengenai kedaulatan negara yang dinyatakan sebagai kedaulatan setiap negara untuk dengan bebas mengatur kepentingan-kepentingan rumah tangganya sendiri, dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum antar negara dan bebas dari pengaruh kekuasaan negara lain.

(27)

Sesuai dengan asas yang dimaksud, maka kedaulatan pemajakan sebagai spesial dari gengsi kedaulatan negara dapat dinyatakan sebagai kedaulatan suatu negara untuk bertindak merdeka dalam lapangan pajak.

2.4.3 Sumber Hukum Pajak Internasional

Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro (1986), menyebutkan ada beberapa sumber hukum pajak internasional antara lain :

a. Kaedah hukum nasional, adanya kaedah-kaedah hukum nasional untuk menghindarkan pengenaan pajak ganda, ketentuan tersebut dimuat dalam undang-undang perpajakan nasional secara unilateral.

b. Kaedah yang berasal dari traktat (perjanjian antar negara) baik yang dilakukan secara bilateral maupun secara multilateral. Misalnya, dalam perjanjian tersebut dikemukakan pengertian domisili, pengertian persekutuan yang mungkin berbeda dengan rumusan domisili atau persekutuan dalam hukum pajak nasional masing-masing negara yang mengadakan perjanjian. c. Perjanjian perdagangan, perjanjian persahabatan, perjanjian diplomatic sering

pula mengatur masalah perpajakan. Misalnya, perjanjian antar negara seperti GAAT (General Agreementon Tariff and Trade) yang pada dasarnya wewenang negara untuk menetapkan tarif bea masuk atas impor barang-barang tertentu telah berkurang, negara tersebut harus mengikuti ketentuan yang sudah diperjanjikan bersama. Demikian pula dalam perjanjian diplomatik seperti Konvensi Wina (1961) yang mengatur tentang kekebalan diplomatik, mengatur pula ketentuan tentang perpajakan.

d. Hukum antar bangsa, yaitu berkenaan dengan prinsip-prinsip yang diakui secara internasional sehingga merupakan hukum internasional. Misalnya, asas atau prinsip eksteritorial yang menetapkan bahwa daerah eksteritorial itu merupakan suatu daerah negara asing di suatu negara, dan hukum negara yang bersangkutan (host country) tidak berlaku di daerah eksteritorial. Oleh karenanya hukum pajak juga tidak berlaku di daerah tersebut. Dengan demikian, para wakil diplomatik negara asing memperoleh kekebalan hukum terhadap ketentuan pajak dari negara tuan rumah (host country).

(28)

e. Hukum masyarakat antar negara, seperti Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) telah membatasi wewenang suatu negara untuk memungut pajak.

2.4.4 Terjadinya Pajak Berganda Internasional

Pemajakan atas suatu penghasilan secara bersamaan oleh negara yang menerapkan domisili dan negara yang menerapkan azas sumber menimbulkan pajak ganda internasional (international double taxation). Oleh para investor dan pengusaha, pajak ganda tersebut dianggap kurang memperlancar mobilitas arus investasi, bisnis, dan perdagangan internasional. Oleh karena itu, perlu dihilangkan atau diberikan keringanan. Selain diatur dalam ketentuan pajak domestik, keringanan pajak ganda dimaksud pada umumnya juga diatur dalam P3B. Pajak Berganda Internasional muncul apabila terdapat benturan yurisdiksi pemajakan, baik yang melekat pada pemerintah pusat (negara) maupun pemerintah daerah (provinsi, kota, dan kabupaten), dan yang melekat pada masing-masing negara (overlapping of tax jurisdiction in the international sphere).

Sementara orang akan mempertanyakan kenapa benturan tersebut sampai terjadi? Dalam hak pemajakan, kita menyadari bahwa setiap negara berdaulat akan melaksanakan pemajakan terhadap subjek dan/atau objek yang mempunyai pertalian fiskal (fiscal allegiance) dengan negara pemungut pajak dan berada dalam wilayah kedaulatannya berdasarkan ketentuan domestik. Seandainya dalam ketentuan domestik dari negara-negara pemungut pajak tersebut terdapat pengecualian atau pembebasan dari pajak terhadap subjek atau objek yang bertempat kedudukan atau berada di luar wilayah kedaulatannya maka tidak akan terjadi pajak berganda internasional karena mungkin tidak ada benturan hak pemajakan dengan negara lain. Atau apabila tarif pajak di negara tempat sumber penghasilan dikenakan pajak dan domisili cukup rendah, beban pajak berganda yang dikenakan di negara sumber sebagai pemegang hak pemajakan utama (primary taxing rights) dan yang dikenakan di negara domisili sebagai pemegang hak pemajakan sekunder (secondary taxing rights) secara wajar masih dalam jumlah yang terjangkau oleh pembayar pajak.

Dalam Pajak Penjualan, misalnya pajak berganda internasional dapat terjadi apabila negara pengekspor menganut prinsip negara asal (origin principle;

(29)

pemajakan oleh negara asal barang dan jasa), dipihak lain juga negara pengimpor menganut prinsip negara tujuan (destination principle; pemajakan oleh negara tujuan atau negara konsumen).

Pajak berganda internasional berkenaan dengan pajak penghasilan, sebagaimana telah dikemukakan di awal bagian ini, apabila terjadi benturan hak pemajakan antara negara-negara mempunyai pertalian ekonomis, menerapkan azas pembagian hak pemajakan secara tidak bersamaan. (Gunadi, 2007:114)

2.5 Penghindaran Pajak Berganda

2.5.1 Pengertian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)

Persetujuan penghindaran pajak berganda adalah persetujuan antara dua negara yang berisi kesepakatan membagi hak untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang berasal dari suatu negara yang diperoleh penduduk negara lain. Istilah lain yang biasa digunakan dalam menyebut P3B adalah Tax Treaty, Double Tax Agreement (DTA), Double Tax Convention (DTC), Double Tax Treaty, atau Tax Conventions. Dasar

Pembagian hak pemajakan tersebut dituangkan dalam suatu persetujuan berisi ketentuan – ketentuan yang akan mengikat kedua negara. Suatu P3B yang lengkap umumnya memuat ketentuan mengenai:

1. Ketentuan tentang hal – hal yang menjadi ruang lingkup (scope provisions) dari P3B, yang terdiri atas:

a) Jenis – jenis pajak yang diatur dalam P3B. b) Subjek pajak yang dapat memanfaatkan P3B.

2. Ketentuan yang mengatur tentang definisi dari istilah yang ada dalam P3B (definition provisions).

3. Ketentuan yang mengatur tentang hak pemajakan suatu negara atas suatu jenis penghasilan (substanstive provisions)

4. Ketentuan yang mengatur tentang pemberian fasilitas eliminasi atau keringanan pajak berganda (provisions for the elimination of double taxation)

(30)

5. Ketentuan yang mengatur upaya penghindaran pajak (anti avoidance provisions), yang terdiri atas:

Ketentuan tentang hubungan istimewa :

a) Ketentuan tentang kerjasama antar otoritas perpajakan (mutual agreement procedure).

b) Ketentuan tentang pertukaran informasi

6. Ketentuan lainnya (special provisions) seperti ketentuan tentang non diskriminasi, diplomat, teritorial ekstensi, dan bantuan untuk melakukan pemungutan pajak.

7. Ketentuan tentang saat dimulai dan berakhirnya suatu P3B (final provisons).

2.5.2 Tujuan P3B

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, P3B mempunyai dua tujuan utama, yaitu:

1. Untuk menghindari pengenaan pajak berganda (double taxation);

2. Untuk mencegah penghindaran dan pengelakan pajak (fiscal evasion and avoidance).

Adapun tujuan P3B adalah sebagai berikut:

1. Untuk menghindari penggenaan pajak berganda tercemin dalam ketentuan-ketentuan dalam P3B yang mengatur tentang hak pemajakan suatu negara atas suatu jenis penghasilan (substanstive provisions) dan ketentuan yang mengatur tentang pemberian fasilitas eliminasi atau keringanan pajak berganda (provisions for the elimination of double taxation).

2. Untuk mencegah penghindaran dan pengelakan pajak (fiscal evasion and avoidance) tercemin dengan adanya ketentuan yang mengatur tentang pencegahan upaya penghindaran pajak (anti avoidance provisions), yang terdiri atas ketentuam tentang hubungan istimewa, ketentuan tentang kerjasama antar otoritas perpajakan (mutual agrremeent procedure) dan ketentuan tentang pertukaran informasi.

(31)

Selain itu P3B dapat juga mempunyai tujuan lain yang lebih luas, diantaranya:

a. Untuk mendorong investasi;

b. Untuk harmonisasi kriteria pemajakan; c. Untuk melindungi wajib pajak;

d. Untuk mencegah diskriminasi.

2.5.3 Kedudukan P3B

Kedudukan hukum P3B di hadapan hukum domestik sangat bervariasi di berbagai negara. Di Indonesia, menurut penjelasan Pasal 32A UU PPh. Di dalam pasal tersebut P3B adalah lex specialis dari UU PPh. Apabila ada konflik antara P3B dengan hukum domestik, maka P3B yang akan berlaku (tax treaty superceeding domestic tax laws).

Hak pemajakan dalam P3B yaitu :

1. Hak pemajakan penuh (exclusively taxing rights)

Dengan hak pemajakaan penuh (exclusively taxing rights) suatu negara diberikan hak untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan penduduk negara lainnya yang bersumber dari negaranya, sepenuhnya sesuai dengan UU domestik negara tersebut tanpa adanya pembatasan. Dengan demikian tarif pajak dan tata cara pemajakan sepenuhnya tunduk pada UU domestik negara tersebut.

2. Pemberian hak pemajakan terbatas (limited taxing rights)

Dengan hak pemajakan terbatas (limited taxing rights) negara sumber diberikan hak untuk menggenakan pajak atas suatu penghasilan penduduk negara lainnya yang bersumber dari negara tersebut, namun dengan pembatasan tarif. Dengan demikian apabila tarif pajak menurut UU domesik lebih tinggi dari tarif pajak yang ditentukan dalam P3B maka tarif pajak yang diterapkan adalah tarif pajak menurut ketentuan P3B.

(32)

2.5.4 Model P3B

Model P3B dibuat untuk mempermudah negara-negara dalam mebuat P3B. Dalam mengadakan persetujuan dengan negara lain, biasanya negara-negara di dunia menggunakan Model P3B sebagai acuan. Model P3B yang paling umum dikenal, yaitu:

1. OECD Model

OECD Model merupakan model P3B yang digunakan sebagai acuan negara-negara yang tergabung dalam organisasi OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). OECD Model menganut azas domisili, model ini lebih banyak digunakan oleh negara-negara maju sebagai negara yang mempunyai subjek dari yang mempunyai penghasilan.

2. UN Model

UN Model merupakan model P3B yang dikembangkan oleh organisasi perserikatan Bangsa – Bangsa (United Nation). UN Model menganut azas sumber, model ini lebih banyak digunakan oleh negara-negara yang sedang berkembang sebagai negara yang mempunyai sumber penghasilan.

2.5.5 Metode Penghindaran Pajak Berganda dalam P3B

Metode penghindaran pajak berganda dalam model P3B Indonesia diatur di pasal 23. Ketentuan ini pada dasarnya mengatur perlakuan perpajakan terhadap penduduk di masing – masing negara atas penghasilan yang dikenakan pajak negara sumber ( di luar negeri). Karena pada kenyataannya beberapa pasal – pasal yang membagi hak pemajakan atas penghasilan dalam P3B memungkinkan negara sumber mengenakan pajak. Metode penghindaran pajak berganda dalam Model P3b Indonesia sejalan dengan perlakuan kredit pajak luar negeri yang diatur dalam pasal 24 UU PPh.

OECD Model dan UN Model memberikan dua pilihan, yaitu:

1. Metode Pembebasan/Pengecualian (exemption method)

Dalam UN Model, apabila penduduk dari suatu negara pihak pada persetujuan (negara domisili) memperoleh penghasilan atau memiliki

(33)

kekayaan yang berdasarkan P3B dapat dikenakan pajak di negara pihak lainnya pada persetujuan (negara sumber) maka negara yang disebut pertama (negara domisili) akan memebebaskan penghasilan atau kekayaan tersebut dari pengenaan pajak.

Apabila sesuai dengan ketentuan P3B penghasilan yang diperoleh, atau kekayaan yang dimiliki oleh penduduk suatu negara pihak pada persetujuan (negara domisili) dibebaskan dari pengenaan pajak di negara pihak pada persetujuan (negara domisili), maka negara pihak pada persetujuan (negara domisili) dalam menggenakan pajak atas penghasilan lainnya atau kekayaan dari penduduk tersebut memperhitungkan penghasilan yang dibebaskan itu.

Ketentuan metode pembebasan/pengecualian dalam OECD Model relatif sama dengan UN Model, perbedaannya dalam OECD Model pengecualian tidak mencakup royalti, karena dalam OECD Model hak pemajakan royalti berada di negara domisili.

2. Metode Kredit (credit method)

Metode Kredit dalam OECD Model dan UN Model pada prinsipnya sama, menurut UN Model, apabila penduduk dari suatu negara pihak pada persetujuan (negara domisili) memperoleh penghasilan atau memiliki kekayaan yang berdasarkan P3B dapat dikenakan pajak di negara pihak lainnya pada persetujuan (negara sumber), maka negara domisili wajib memberikan pengurangan pajak (kredit pajak) atas penghasilan pendudukan tersebut sebesar pajak yang dibayar di negara lainnya (negara sumber).

(34)

Gambar

Gambar 2.1 Proses Pemberlakuan P3B

Referensi

Dokumen terkait

 Teknik Penyelenggaraa n Rapat 30  Mengamati untuk mengidentifikasi dan merumuskan masalah tentang pembuatan susunan acara  Mengumpulkan data tentang pembuatan susunan acara

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara jelas alasan dan pertimbangan hukum Indonesia yang belum mengaksesi Konvensi Jenewa tahun 1951 dan Protokol New

saham, mendampingi dan bekerjasama dengan Lembaga/Profesi Penunjang lainnya yang turut serta dalam proses IPO serta berkoordinasi dengan Tim IPO WIKA REALTY. e)

Penelitian ini dilakukan untuk untukmengetahui dan mengukur efektivitas model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match terhadap hasil belajar subtema Keragaman Budaya

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan "Disparitas Pidana dalam Kasus Psikotropika" adalah beberapa putusan mengenai kasus psikotropika yang terdapat

Pengaruh waktu reaksi diikuti dengan GC berdasarkan penurunan kadar risinoleat dan kenaikan kadar DCO yaitu campuran linoleat (LA) yang masih bergabung dengan CLA (Linoleat/CLA)

Temuan penelitian ini yaitu meliputi: 1) Kompetensi pedagogik guru merupakan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman

Tundaan lalu lintas bundaran (DTR) tudaan rata-rata per kendaraan yang masuk ke dalam bundaran dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :..