• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Pendidikan Tinggi Hukum dan Kekuasaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kebijakan Pendidikan Tinggi Hukum dan Kekuasaan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

99

Kebijakan Pendidikan Tinggi Hukum dan Kekuasaan

Awaludin Marwan, SH, MH, MA, Email: luluk_hukum@yahoo.co.id)

Dosen Filsafat Hukum Universitas Ekasakti Padang Abstrak

Fakultas hukum merupakan sebuah ruang sosial tempat berkumpulkan cendekiawan muda yang kelak akan mengisi pos-pos penting dalam sistem kekuasaan institusi negara. Dari satuan almamater inilah mereka juga membangun sebuah jaringan dan komunitas, mempengaruhi tindakan mereka laksana agen yang memiliki idealisme dan pandangan tersendiri. Konsep homoacademicus Bourdieu mengkonstatasikan bahwa hubungan antara intelektual dan kekuasaan sangat berhimpitan bahkan menyatu. Seorang penguasa, kebanyakan dilahirkan dalam sebuah tradisi lingkungan kampus, ia dididik dengan lingkungan habitus tertentu, dengan materi-materi tertentu, mengikuti sistem regular dengan mengikuti perkuliahan menulis tugas akhir, dst sebuah pola yang dikembangkan merekonstruksi ideologi dan persepsi tersendiri dalam diri sang penguasa. Maka meneliti bagaimana alumni-almuni, akademisi, dan agen dari fakultas hukum di Indonesia mewarnai debat-debat di percaturan dunia pemikiran hukum di Indonesia. Dari pengematan sederhana ini, dapat diketahui bagaimana ulasan ideologis masing-masing jejaring sosial diantara para agen tersebut, apakah mereka membawa nafas pro-status quo pada pemerintahan, apakah mereka berhaluan neo-liberalisme, ataukah mungkin sangat komunitarian. Bahkan tak jarang diantara alumni ini saling membantu satu sama lain dalam melakukan kaderisasi regenerasi mereka yang masih muda. Dalam isu-isu tertentu mereka akan tergabung dalam sebuah misi khusus dengan target-target tertentu. Dengan mengamati posisi yang bersedia di kekuasaan formal negara, sebenarnya kita juga menyaksikan bagaimana relasinya dengan berbagai pihak swasta dalam hal ini perusahaan-perusahaan yang menjadi petarung di dunia bisnis. Serta mereka yang aktif di dunia gerakan sosial kemasyarakatan, mereka saling mempengaruhi, saling memberikan keluaran, dan berinterkoneksi satu sama lain. Mengamati sistem kuasa pendidikan tinggi hukum adalah sebuah refleksi seberapa jauhkah sumbangan kinerja fakultas hukum untuk pembangunan bangsa Indonesia.

Kata kunci: Pendidikan Tinggi Hukum, Kekuasaan, Agen.

Pendahuluan

Pada abad pertentangahan, kedudukan Glossator sungguh sangat penting dalam sistem pemerintahan Eropa. Mereka yang telah menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Bologna, merampungkan kursus-kursus dengan metode skolastik, mendapatkan sertifikat yang cukup prestisius sebagai sarjana hukum. Setalah kaisar Justisian pada tahun 1077 membuat kerangka sistem hukum, maka hukum romawi dibelajari, hingga lahirlah yuris-yuris terkenal yang berkuasa pada saat itu seperti

(2)

100

Irnerius, Azo, dan Accursius.1 Fakultas hukum pada akhirnya menjadi pintu masuk

menuju ke lapangan kekuasaan, menjadi birokrat, hakim, dan penasehat hukum. Mereka menduduki posisi sosial yang strategis dalam kehidupan masyarakat, keagamaan, dan negara.

Di Indonesia, sekolah hukum baru didirikan pada tahun 1920-an, setelah pemerintah kolonial, melalui kebijakan Ratu Wilhelmina menerapkan politik etis, politik balas budi, salah satunya mendirikan Recht hooge School. Beberapa sarjana hukum juga tidak hanya dididik di sekolah tinggi itu, melainkan juga disekolahkan langsung di belanda. Mereka para sarjana hukum Indonesia pada akhirnya banyak berperan dalam sejarah bangsa Indonesia. Mereka seperti Soepomo, Alexander Andries Maramis, Muhammad Yamin, dst menjadi salah satu tokoh paling sentral di masa kemerdekaan. Sumbangan mereka cukup besar dalam pergerakan politik kemerdekaan dan meletakan dasar organisasi negara hukum di Indonesia. Maka sarjana hukum, merupakan modal kapital sebagai pintu masuk ke dunia kekuasaan di mana seseorang atau kelompok dapat melakukan eksperimen mereka terhadap ide dan keyakinan mereka yang diperjuankan.

Makalah ini akan melihat, bagaimana kedudukan Fakultas Hukum dan panggung politik kebudayaan serta lingkaran kekuasaan. Ternyata hubungan erat terjalin antara institiusi Fakultas Hukum dan Kekuasaan. Fakultas Hukum dalam tubuhnya secara internal terjalin pertarungan diantara para guru besar, baik secara politis, ideologis, maupun teoritis. Rata-rata yang banyak dijumpai adalah pertarungan memperebutkan kekuasaan sebagai dekan dan pimpinan Fakultas. Sebuah tugas yang cukup seksi menulis pertarungan di antara komponen lingkungan akademik itu, namun yang paling penting adalah mengamati pertarunga eksernal yang berada di luar kampus. Dengan demikian, akan terlihat benang hitam yang cukup jelas relasi antara Fakultas Hukum dengan kekuasaan, baik yang diperankan oleh alumni-alumninya maupun dosen dan profesor hukum di balik tirai kekuasaan negara.

Dari sinilah, tulisan ini mempercayai apa yang diungkapkan oleh Bourdieu, bahwa ilmu pengetahuan dan politik itu manunggal. Sudah tidak bisa dibedakan lagi antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan. Ilmu pengetahuan adalah arena pertarungan kekuasaan diantara para ilmuwan. Sementara politik juga adalah ilmu pengetahuan yang sifatnya alamiah dalam diri manusia, mengkokohkan kedudukan manusia sebagai zoon politicon. Sehingga, sains merupakan pintu masuk melewati jenjang

kekuasaan yang lebih memiliki legitimasi ilmiah.2 Begitu juga dengan sains hukum,

1

Olga Tellegen-Courperus. A Short History of Roman Law. 1990. Routledge. London&New York. p. 149. Konon fakultas hukum di bangun juga atas prakarsa legislasi Justinian saat manuskrip salinan Digest dibentuk di Pisa pada tahun 1077 membuat hukum Romawi harus dipelajari, berupa Corpus Iuris Civilis, Corpus Iuris Conanici.

2 Bagi Bourdieu, sains adalah sebuah arena pertarungan politik, sudah waktunya untuk melakukan

penelitian dengan metode yang detail dan akurat, melalui refleksi kritis terhadap fenomena saintis, bukan hanya sekadar penelitian yang empiris dan positivistik. Maka disamping, ia berteori, Bourdieu juga membangun pusat penelitian, (Centre de sociologie de L’ education et de la culture). Ia juga mendirikan jurnal sosiologi (Actes de la recherché en sciences socials). David L. Swartz. From Critical

Sociology to Public Intellectual: Pierre Bourdieu & Politics. On., David L Swatrz and Vera L. Zolberg. After Bourdieu: Influence, Critique, Elaboration. 2005. Spinger Inc. p. 337.

(3)

101 yang juga adalah nyata-nyata sebuah pertarungan politik kekuasaan. Dengan bahasa singkatnya, hukum adalah politik.

Agen Sosial, Fakultas Hukum dan Kekuasaan

Kekuasaan di berbagai institusi negara merupakan kue yang dibagi-bagikan kepada alumni-alumni Fakultas Hukum. Alumni-alumni inilah yang menjadi agen sosial bagi posisi pencintraan dalam percaturan kekuasaan Fakultas Hukum di negeri ini. Fenomena ini bisa dimaknai sebagai panorama sosial yang kebetulan saja, atau memang karena sebuah solidaritas dan militansi diantara jejaring alumni yang memiliki emosional bermain di wilayah politik. Paling tidak, iklim kompetisi yang besar dan menjadi budaya alumni mempengaruhi kualitas dan kapasitas para agen sosial dalam bertarung di arena kekuasaan.

Sebagai lulusan Fakultas Hukum, ide-ide dan nilai-nilai yang dikandung pada saat belajar dan tradisi ideologis Fakultas menuai „sisa-sisa simbolik‟ dalam perilaku politik para agen sosialnya. Dari konteks inilah, bahwa sebuah lingkungan sosial menentukan watak ideologis seseorang agen, dari lingkungan ini akan dapat dilacak, kira-kira apa warna ideologis dari seseorang agen sosial. Warna ideologis inilah kadang menjadi —apa yang disebut oleh Andrew Sayer—basis moralitas yang

dibawa dalam pikiran, benak dan tingkah laku sang agen sosial.3 Misalnya saja

adalah alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), sebagai kampus yang memakai nama agama Islam, lulusan-lulusannya juga banyak yang berkarakter Islami. Mereka seperti Mahfud MD yang sekarang menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi, Busro Muqqodas sebagai anggota Komisi Pemberantasan Korupsi,

Artidjo Alkostar yang waktu ini menjabat Hakim Agung Mahkamah Agung, dst.4

Jelas mereka bukan kelompok yang memperjuangkan nilai-nilai Islam, seperti memaksakan mengganti negara Republik Indonesia dengan Negara Islam, tetapi mereka lebih memahami Islam sebagai sebuah nilai yang universal. Perilaku keseharian mereka yang bernuansa Islami cukup memperlihatkan identitas tersendiri sebagai lulusan UII.

Analisis sosiologis semacam ini memang terasa agak dangkal dan menjelaskan sebuah fenomena sosial dalam lembaga hukum negara dengan relasi Fakultas Hukum dan kekuasaan dengan model pengamatan kritis dan empiris saja. Namun setidaknya lingkungan sosial, sesama almamater itu memicu ikatan emosional yang cukup sebagai sosial kapital, berupa jejaring sosial. Dari almamater yang memiliki kaitan dengan tempat tertentu, juga mempengaruhi „rasa‟ atau „selera‟ komunitas tersebut. Hal yang diungkapkan oleh Bourdieu, bahwa komunitas intelektual Amerika dan Jepang pasti akan memilih restoran dengan masakannya masing-masing. Makanan

3

Andrew Sayer. Class, Moral Wroth, and Recognition. On., Terry Lovell. (Mis)recognition, Social Inequality and Social Justice. Nancy Fraser and Pierre Bourdieu. 2007. Routledge. London&New York. p. 91

4 Alumni lain Fakultas Hukum UII yang mengisi pos-pos penting dalam ruang publik seperti:

Darmono, Budi Santoso, Ari Yusuf Amir, Hamid Basyaib, Maqdir Ismail, Masduki Ahmad, Henry Yosodiningrat, Suparman Marzuki, Ifdhal Kasim, Erwin Muslim, Abdul Haris Semendawai, Ifdhal Kasim, dst.

(4)

102

dan minum adalah sebuah simbol identitas kebudayaan, yang berkaitan tidak hanya

dilidah, tapi juga di hati.5

Gudeg sebagai masakan khas Yogjakarta, atau masakan-masakan khas daerah istimewa Kraton tersebut jelas menjadi identitas kultural yang menyatukan beberapa elemen aktor yang bertarung dalam dunia diskursus hukum Indonesia dari mereka yang berasal dari alumni Universitas Gajah Mada. Mereka yang sukses menduduki tempat strategis di Jakarta, seperti: Denny Indrayana yang menjabat Wakil Menteri Hukum dan HAM, Wicipto Setiadi sebagai Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Gandjar Pranowo yakni politisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

dari Partai Perjuangan Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, dst.6 Alumni Fakultas

Hukum dengan identitas kebudayaan yang melekat dalam tindakan sosialnya juga memudahkan untuk berkomunikasi satu dengan yang lain.

Namun jelas, tidak semuanya memiliki kesamaan pandangan dalam memilih karir dan orientasi. Beberapa diantara mereka memilih untuk mengabdi pada lembaga negara sebagai orientasi struktural yang lebih sifatnya formal, sementara yang lain memilih jalur sebagai aktivis masyarakat sipil, seperti tokoh muda Febri Diansyah aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), sebuah lembaga yang paling aktif memonitoring isu pemberantasan korupsi di Indonesia. Diantara alumni terkadang terdapat pertarungan internal yang tak kunjung usai, berdasarkan posisi karirnya, pandangan politiknya, dst. Namun, dialektika yang terjadi diantara para alumni ini menyebabkan semakin populernya citra Fakultas Hukum yang bersangkutan bisa memproduksi aktor-aktor yang sukses di bidangnya masing-masing, mereka memiliki pengaruh besar pada dunia politik dan kekuasaan negara. Semakin banyak alumni yang menduduki pos penting, semakin Berjaya Fakultas tersebut. Maka diantara Fakultas Hukum juga saling berlomba-lomba menempatkan aktornya di posisi penting lingkaran kekuasaan.

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro yang dikenal sebagai salah satu institusi yang kajian hukum pidananya begitu kuat, maka para aktornya seringkali mengisi pos-pos penting dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Misalnya Prof Muladi dan Prof Barda Nawawi Arief yang beberapa kali menjadi salah satu tim penyusun rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Salah satu alumni UNDIP juga pernah menjabat sebagai Jaksa Agung, Hendarman Supandji, sebuah jabatan yang identik dengan lapangan praktis implementasi hukum pidana di Indonesia. Betapa sarat keilmuan menjadi sebuah modal kapital yang berharga dalam menentukan posisi sosialnya di roda-roda pemerintahan.

5

Selera memiliki dimensi lain untuk menyatukan masyarakat dari sebuah solidaritas kebudayaan, begitulah yang dipercaya oleh Bourdieu, saat ia mengungkapkan bahwa makanan di restoran Cina banyak digemari oleh masyarakat multicultural, namun tetap saja, orang-orang Jepang dan Amerika, para intelektualnya akan memilih masakannya sendiri. Sama halnya selera atau rasa dalam hal lain, misalnya olah raga, permainan golf akan banyak diminati oleh orang-orang elite bourjuis yang kaya raya. Pierre Bourdieu. Practical Reason On the Theory of Action. 1998. Stanford University Press. California. p. 3-9

6

Alumni-alumni yang lain mengisi posisi-posisi penting dalam struktur negara atau ruang publik, seperti Halim Alamsyah, Febri Diansyah, Otto Hasibuan, Abdul Muktie Fajar, Refly Harun, James Purba, Sri Sultan Hamengkubowono X, dst.

(5)

103 Dari pengamatan sederhana sebuah fenomena sosial ini, maka persebaran alumni lebih banyak menjadi sorotan ketika mereka duduk sebagai pejabat publik dan aktivis pergerakan. Mereka seakan-akan menjadi juru bicara alumni Fakultas Hukum masing-masing. Mereka membawa panji-panji almamater untuk diangkat nama baiknya semakin tinggi, mempersembahkan karya terbaik tidak hanya berimplikasi pada peningkatan kapasitas karirnya, melainkan citra positif kampus tempat dulu ia belajar. Beberapa alumni memilih jalur sebagai pengacara yang sukses, seperti, alumni Universitas Parahyangan Bandung, mereka dibesarkan dalam situasi yang ramai dengan perkara-perkara yang berhasil mereka tanggulangi. Mereka seperti: Hotman Paris Hutapea, Junimart Girsang, dan yang paling kondang di dunia pengacara dari lulusan ini adalah OC Kaligis. Pilihan karir ini memang sulit untuk dijelaskan, kecuali digunakan wawancara mendalam terhadap nara sumber yang bersangkutan. Barangkali hal ini menyangkut persoalan kenyamanan. Manusia merasa memiliki kenyamanan dengan karirnya yang dipilih berdasarkan pertimbangan rasional dan intusi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Bourdieu

sebagai ‘feel for the game’.7 Seseorang yang sudah mengalami kenyamanan dalam

sebuah pekerjaan, maka ia akan mempersembahkan totalitas dalam bekerja, mereka yang sukses adalah sebentuk radikalisme pemenangan di dunia kerja yang penuh dengan persaingan.

Yang paling penting dalam melihat fenomena sosial alumni Fakultas Hukum dan hubungannya dengan kekuasaan adalah pertarungan mazhab keilmuan. Mereka berlomba-lomba mendirikan pusat kajian, misalnya yang dulu dilakukan oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo dengan Pusat Studi Hukum dan Masyarakat pada tahun 1978 di Universitas Diponegoro. Sementara di Universitas Airlangga kala itu dibentuk Pusat Studi Hukum dan Pembangunan yang digawangi oleh Prof Soetandyo Winjosoebroto. Begitu juga hari ini, ditandai dengan melembaganya mazhab pleburan yang dirintis dulu oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo yang memiliki landasan filsafat hukum progresif. Sementara di satu sisi lain, sebuah buku yang membandingkan pemikirannya Prof. Dr. Satjipto Rahardjo dengan Prof. Dr Mochtar Kusumaatmadja adalah Prof Romli Atmasasmita, sebuah mazhab UNPAD juga menjadi tradisi dalam sebuah kajian hukum dan pembangunan dari peninggalan teoritis Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja. Banyaknya mazhab ini justru malah mewarnai perkambangan dunia diskursus ilmu hukum di Indonesia, seperti yang nampak pada penyelenggaraan Kongres Ilmu Hukum pada tanggal 19-20 Oktober 2012 di Semarang tempo lalu, berbagai aliran pemikiran, filsafat, metodologi, dan paradigm penelitian hukum diperdebatkan seru disana.

Media, Fakultas Hukum dan Kekuasaan

Jika dilihat kuantitas alumni Fakultas Hukum yang memiliki tingkat popularitas dan kapasitas di bidangnya paling banyak diperhitungkan, maka kita akan banyak menyaksikan Universitas Indonesia. Mereka yang telah memiliki nama besar itu, seperti: Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, Abdul Hakim Garuda Nusantara, Luhut M. Pangaribuan, Chandra Motik, Najwa Shihab, Harkristuti

7

Pierre Bourdieu. In Other Words Essays Towards a Reflexive Sociology. 1990. Stanford University Press. Stanford&California. p. 11

(6)

104

Harkrisnowo, Maria Farida Indrati, Nono Anwar Makarim, Hikmahanto Juwana, Jimly Asshiddiqie, Maruarar Siahaan, Chandra Hamzah, Hassan Wirajuda, Yusril Ihza Mahendra, Erman Rajagukguk, Marjono Reksodiputro, dst. Banyak sekali tokoh-tokoh besar nasional yang berkumandang dari almamater itu, disamping karena perguruan tinggi negeri itu berada dalam pusat kota, arena seluruh aktor nasional bertemu dan bertarung, perguruan tinggi ini merupakan yang paling tua. Yang paling nyata, bisa diamati sebagai hipotesis bahwa besarnya nama Universitas Indonesia dikarenakan besarnya porsi penayangan kampus tersebut di media. Media adalah sarana kekuasaan yang paling potensial dalam mempertahankan status quo, memperebutkan tambuk kekuasaan, menggandakan propaganda paling halus, menyebarkan kampanye hitam, dst. Intinya media adalah institusi kekuasaan yang pengaruhnya cukup besar dalam dunia kehidupan sosio-politik-ekonomi.

Salah satu media itu adalah televisi.8 Beberapa alumni UI adalah penyiar berita dan

presenter terkemuka di media televisi. Mereka seperti: Najwa Shihab seorang presenter di Metro TV, Meidiana Hutomo juga presenter di stasiun televisi RCTI, dst. Beberapa diantara alumni UI juga aktif dalam dunia jusnalistik dan perfilman, bahkan mereka tergolong aktor sosial yang cukup senior. Seperti, Satrio Arismunandar pendiri Aliansi Jurnalis Independen, Titie Said Ketua Badan Sensor Perfilman Indonesia, dst. Dengan porsi besar di media, maka kekuatan mereka terus membesar dalam percaturan dunia simulacra, televisi.

Bagi Bourdieu, televisi itu memiliki pengaruh pada habitus. Televisi membuat monopoli kesenangan pada realitas yang sedang berjalan, yang bergulat di dalam benak, yang berpengaruh pada sebagian besar populasi masyarakat tentang apa yang mereka pikirkan. Televisi itulah yang memberikan sentuhan kepercayaan pada penonton tentang realitas yang ada. Tentang kejahatan yang dilakukan oleh mertua, ayah tiri, sampai pada tante yang dirumah. Saya merasa kengerian saat membayangkan seharusnya rumah yang menjadi tempat bersandar, sebuah ruang yang paling aman, suatu ruang tempat kita berlindung. Namun ternyata rumah dalam perspektif sinetron menjadi sarang konflik bersemayam. Disamping itu, imajinasi tentang sang baik hati selalu didzolimi, aktor utama seakan-akan menjadi manusia yang sempurna tanpa setitik-pun kelemahan dalam figurnya. Hal yang paling tidak sesuai dengan filosofi yin dan yang, saat manusia yang paling baik sekalipun pasti memiliki setitik sifat jahatnya, sebitu sebalinya seorang perampok sekalipun, ia pasti memiliki sisi sifat baiknya. Televisi menampilkan fitur yang paling tak masuk akal. Namun, ialah yang memegang kendali wacana, seperti yang Bourdieu yakini.

The political dangers inherent in the ordinary use of television have to do with the fact that images have the peculiar capacity to produce what literary critics call a reality effect. They show things and make people believe in what they show. This power to show is also a power to mobilize. It can give a life

to ideas or images, but also to groups.9

8 Pierre Bourdieu. On Television. 1998. The New Press. New York. p. 66. The goal of teaching is not

only the reading, writing, and arithmetic needed to make a good worker; the goal of education is to offer the means of becoming a good citizen, of putting individuals in a position to understand the law, to understand and to defend their rights, to set up unions ... We must work to universalize the

conditions of access to the universal.

9

Pierre Bourdieu. On Television. 1998. The New Press. New York. p. 21. Pandangan Bourdieu ini hampir sama dengan Baudrillard yang memandang bahwa dunia itu dilipat dalam layar kaca. Kita bisa menyaksikan berita dari belahan dunia yang nun jauh disana sekalipun misalnya dalam acara on

(7)

105 Berita dan tayangan yang kita tonton saban hari melukiskan peristiwa-peristiwa yang memiliki konsekuensi politik dan etnik. Ia menampilkan video yang rasis, penebar ketakutan dan xenophobia. Televisi itu berkuasa menggerakan seseorang dan sebaliknya, menghentikan aktivitas seseorang. Ia menggambarkan konstruksi sosial yang merayu sensor inderawi kita mengikuti arus perkembangan tayangannya. Kekuatan televisi memang spektakuler, kegalauan bukannya terusir, malah menjadi-jadi. Makanya Bourdieu sepakat dengan Patrick Champagne yang mengungkap La Misére de monde yang mengupas televisi sebagai “kota terdalam (inner city)”. Ada sebuah kota di dalam kota. Kota itulah hasil reproduksi televisi tanpa disadari oleh banyak orang. Kota itu dikendalikan mulai dari bentuk rumah yang meniru arsitek yang ditayangkan di televisi, gaya hidup hingga posisi politik (Bourdieu: 1998: 19). Televisilah yang membingkai struktur tersembunyi (invisible structure) yang mengorganisasi massa berdasarkan pendidikan, sejarah, dst. Televisi berpengaruh besar pada habitus.

Habitus itu sendiri sebuah konsep yang Bourdieu pakai mulai dari tahun 1967, hasil dari interpretasi dari salah satu senyawa konsep Panofsky dalam karyanya berjudul Achitecture gothique et pensée scholastique. Habitus adalah sebuah terminologi latin yang digunakan oleh Bourdieu sama halnya dengan Hexis. Bentuk Hexis adalah sebuah mitologi politik yang terealisasi, yang terbangun ke dalam disposisi permanen, sebuah problem yang berupa perasaan (feeling) dan pikiran (thinking). Prinsip yang membangun karakter seseorang yang melampaui alam sadarnya. Meski hexis ini terkadang agak dibedakan, karena ia lebih pada perhelatan pikiran individual yang subjektif, seperti aktor-aktor “menjaga dirinya sendiri (carry themselves)”, misalnya sikap mental (stance), tingkah laku (gesture), dan gaya berjalan (gait) (Jenkins: 2006: 46-7). Sementara habitus itu lebih menyambungkan antara dunia subjektif dan dunia kebudayaan. Meski pada titik ini Bourdieu bisa saja kita kritik, karena ia tidak menyediakan ruang ekologis, terlalu antroposentis, menitik beratkan pada manusia, sehingga posisi pemikiran lingkungan cenderung dicampakan. Kehidupan seolah-olah, bagi Bourdieu, hanyalah eksistensi antara individu dan kelompoknya.

Pada perjalanan epistemologi inilah, kita bisa berpandangan sinis pada Bourdieu, karena ia tidak menempatkan kebenaran dalam kerangkan pemikirannya. Nihilnya diskursus tentang metafisika, ideologi, dan keyakinan menempatkan Bourdieu hanyalah seorang tukang cerita dari realitas saja. Paling banter, ia hanya tukang stempel yang menandai realitas sosial dengan simbolisasi yang banyak ia kemukakan pada opus-opusnya. Hari ini, orang-orang merayakan pesimisme kebudayaan, bahkan nyaris sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk merubah keadaan. Perlawanan terhadap ketidak-mungkinan (against to the impossible) akan mendorong terwujudnya proses perubahan sebagaimana yang kita impikan sebelumnya. Geoffrey Galt Harpham, yakin bahwa perubahan itu bisa direalisasikan meski sang aktor

menjadi manusia aneh (stragerness) sekalipun.10

the spot yang menayangkan keaneragaman keajaiban dunia. Baudrillard menyatakan bahwa media adalah sebuah hiperrealitas, fenomena yang terdistorsi sehingga efek psikologisnya lebih terasa ketimbang realitas sesungguhnya. Lihat, Jean Baudrillard. Simulacra and Simulation. Translated by Sheila Faria Glaser. Michigan. Tanpa Penerbit dan Tahun.

10

Geoffrey Galt Harphan. Doing The Impossible Slavoj Žižek and The End of Knowledge. Critical Inquiry, Vol. 29, No. 3 (spring 2003), pp. 453-485. Kemapanan sistem besar, kapitalisme dan negara

(8)

106

Kebudayaan masyarakat sudah diujung tanduk inklinasi peradaban. Otoritas televisi, pasar, dan negara telah mengkooptasi otonomi individu. Orang dilarang untuk berpikir secara orisinal, ia hanya boleh diijinkan untuk mengimitasi kehendak mayoritas. Maka kebudayaan sesungguhnya adalah sebuah ruang pertaruhan habitus. Ruang kebudayaan menjadi lahan sengketa antara individu dan masyarakat, antara aksi dan struktur, sampai antara kebebasan dan aturan. Bagi Bourdieu, ruang kebudayaan, masih berada dalam jejaring, konfigurasi, relasi objektif yang

membentuk struktur distribusi kuasa dalam dominasi subordinasi, dan homologi.11

Ya, kebudayaan hanya sebuah narasi simbolik.

Jika kebudayaan hanyalah sebuah ruang, tempat semua aktor berkontestasi, maka kebudayaan itu sendiri tidak memiliki telos. Kebudayaan itu tak memiliki tujuan,

tugas sejarah, dan amanah peradaban. Namun, setidaknya, habitus12 Bourdieu bisa

dipergunakan dalam menceritakan fenomena kontemporer yang penuh dengan kompleksitas dan kesemrawutan. Sebab Bourdieu tidak sepakat kebudayaan sebagai sebuah ruang antagonis, sebagaimana yang dikemukakan oleh Marx. Kebudayaan hanya menyediakan ruang sosial (social space), bukan kelas sosial (social class). Sehingga kebudayaan sebagai sarana ruang yang bisa ditandai narasinya lebih alamiah dan real, ketimbang provokatif.

Maka dengan demikian, kekuatan agen sosial, dari alumni-alumni Fakultas Hukum itu juga dipicu pada besar-kecilnya proporsi media menampilkan profil positifnya. Semakin banyak para agen sosial yang bekerja di media, bersama dengan mereka yang sering muncul di media, maka semakin besar juga kekuasaan sosial yang terus menerus menguatkan posisinya dalam ruang publik. Singkatnya, peran media mereproduksi kekuasaan jejaring agen sosial ini yang cukup menentukan. Tanpa bantuan media, maka kekuasaan sosial sulit sekali terakumulasi dalam ruang publik terbuka.

telah memporak-porandakan kedaulatan sipil, yang berarti bahwa individu secara otonom sudah tiada lagi dianggap eksis. Ia hanya menjadi bagian dari mesin produksi yang lain dalam kehidupan, tak lebih.

11 Bourdieu mengkontemplasikan konsep Subtanzbegriff und Funktionsbegriff dalam kaitannya

dengan sistem penandaan ilmu pengetahuan modern, cara yang digunakan dengan menggunakan model semiologi relativisme pada berbagai objek pengetahuan. Konsep logika ruang, dapat dibaca banyak dalam wawancara yang dilakukan oleh LoΪc J. D. Wacquant, dalam Pierre Bourdieu& LoΪc J. D. Wacquant. An Invitation to Reflexive Sociology. Polity Press. 1992. The University of Chicago. p. 95-97

12

Habitus berbasis pengalaman, sehingga pada mempelajari sebuah habitus masyarakat, ia tampil dalam lukisan yang paling realistik. Sebab, bagi Bourdieu pengalaman itulah yang memberikan pelajaran bagi kehidupan. Ialah yang mengkonstruksikan pengetahuan, dengan semboyan “pengetahuan apa yang mereka lakukan (knowing what they are doing)”. Dengan demikian, ia memiliki formula cukup untuk menjelaskan sebenarnya apa yang ia lakukan. Penjelasan ini jarang sekali terpenuhi, kadang seseorang mengalami kegelisahan (anxiety) sebuah aktivitas yang membingungkan untuk dieksplanasikan. Habitus adalah sebuah hasil dari organisasi tindakan (the

result of an organizing action), sebuah cara dan kebiasaan, sebuah kecenderungan dan

tendensi.Untuk mengidentifikasi sebuah habitus ini perlu dilacak sebuah perilaku yang simultan, sebuah pilihan yang tidak otonom, bertalian dengan objektiitas, dan masih memiliki ilusi subjektif dalam sebuah keputusan tindakan seseorang.

(9)

107

Simpulan

Pertarungan di parlemen, eksekutif, pengadilan, dan lembaga-lembaga negara berawal dari pertarungan modal almamater, ideologi, posisi politis Fakultas Hukum di Indonesia. Alumni dan para akademisi pada akhirnya menjadi agen sosial yang identitasnya melekat pada tubuhnya di mana saja ia berada. Semakin baik kinerja sang agen sosial, semakin baik pula nama baik perguruan tinggi tempat ia berasal. Sarjana hukum sudah begitu dibutuhkan di dunia kerja untuk melegitimasi kekuasaan agar memiliki legalitas dan kepercayaan yuridis. Maka tak hanya lembaga negara saja yang dibanjiri pertarungan para alumni ini, melainkan juga institusi seperti perusahaan, organisasi masyarakat sipil, kantor pengacara, dst. Alamamater adalah sebuah sosial kapital yang bisa dipergunakan untuk memudahkan dalam berkomunikasi antara sesame agen sosial, mereka memiliki etika solidaritas tersendiri satu sama lain, dan mereka memiliki ikatan emosional yang sulit dijelaskan dengan akal sehat. Mereka akan terus bertarung tanpa kenal lelah, meregenerasi kader-kadernya yang akan dididik menggantikan posisinya kelak, untuk mempertahankan status quo ikatan alumni dalam sebuah institusi publik. Perhatian besar ada media cukup penting untuk melacak seberapa kuatnya pengaruh efektivitas gerakan alumni ini dalam ruang publik.

Daftar Pustaka

Andrew Sayer. Class, Moral Wroth, and Recognition. On., Terry Lovell. (Mis)recognition, Social Inequality and Social Justice. Nancy Fraser and Pierre Bourdieu. 2007. Routledge. London&New York

David L. Swartz. From Critical Sociology to Public Intellectual: Pierre Bourdieu & Politics. On., David L Swatrz and Vera L. Zolberg. After Bourdieu: Influence, Critique, Elaboration. 2005. Spinger Inc

Jean Baudrillard. Simulacra and Simulation. Translated by Sheila Faria Glaser. Michigan. Tanpa Penerbit dan Tahun. Geoffrey Galt Harphan. Doing The Impossible Slavoj Žižek and The End of Knowledge. Critical Inquiry, Vol. 29, No. 3 (spring 2003), pp. 453-485.

Olga Tellegen-Courperus. A Short History of Roman Law. 1990. Routledge. London&New York

LoΪc J. D. Wacquant, dalam Pierre Bourdieu& LoΪc J. D. Wacquant. An Invitation to Reflexive Sociology. Polity Press. 1992. The University of Chicago.

Pierre Bourdieu. Practical Reason On the Theory of Action. 1998. Stanford University Press. California

Pierre Bourdieu. In Other Words Essays Towards a Reflexive Sociology. 1990. Stanford University Press. Stanford&California.

Referensi

Dokumen terkait

9.1 Ringkasan Sebut Harga hendaklah menjadi sebahagian daripada Borang Sebut Harga ini dan hendaklah menjadi asas Jumlah Harga Sebut Harga. 9.2 Harga-harga dalam Ringkasan Sebut

Suatu keyakinan yang berbasis pada ajaran tentang kemahakuasaan Tuhan sebagai Creator, pemberi mandat dan sekaligus mitra kerja yang melalui Roh Kudus memampukan

Proses pembelajaran dengan romobongan belajar maksimum 36 siswa Proses pembelajaran dengan romobongan belajar maksimum 32 siswa Proses pembelajaran dengan romobongan

Model sebelumnya tentang model konseptual menghasilkan pendugaan bahwa faktor Customer Relationship Marketing yaitu variabel dari Ikatan, Empati, Timbal Balik, Kepercayaan,

teori yang dikemukakan oleh Gagne dan Briggs (dalam Arsyad, 2006) mengatakan bahwa media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi

Itulah sebabnya mengapa jika Anda didiagnosis terjangkit penyakit ini Anda harus mengajak pasangan Anda ke klinik untuk mendapatkan pengobatan juga, atau paling tidak untuk

Yang dimaksud Keterampilan fungsional adalah keterampilan yang secara fungsional dapat diterapkan dalam kehidupan untuk bekerja mencari nafkah maupun dalam rangka