• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2. Landasan Teori. Menurut Theories of Fashion Costume and Fashion History dalam Fashion

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 2. Landasan Teori. Menurut Theories of Fashion Costume and Fashion History dalam Fashion"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 2 Landasan Teori

2.1 Konsep Trend Pada Umumnya 2.1.1 Konsep Trend Mode

Menurut Theories of Fashion Costume and Fashion History dalam Fashion Era (2007), selama berabad – abad setiap individu atau masyarakat telah mengenakan pakaian maupun penghias tubuh lainnya sebagai salah satu sarana komunikasi non – verbal yang menunjukkan profesi, jenis kelamin, status rumah tangga, kelas sosial, maupun tingkat kekayaan.

Mode itu adalah suatu bentuk kebebasan untuk mengungkapkan pikiran, isi hati dan juga merupakan bahasa isyarat dan simbol yang secara non – verbal mengkomunikasikan tentang suatu individu maupun kelompok. Lalu, mode itu adalah salah satu hal yang membedakan satu individu dengan individu lainnya, karena pakaian, aksesoris dan penghias tubuh lainnya sangatlah mudah untuk diketahui oleh orang lain dalam seketika. Pada mulanya, suatu trend mode harus mendapat respon positif dari masyarakat, kemudian trend mode tersebut dapat mewabah dan ditiru semua orang karena kompetisi yang secara tidak langsung telah dimunculkan oleh mode tersebut. Kemudian, pada akhirnya suatu trend mode akan tergantikan oleh trend yang lebih baru karena trend mode tersebut telah menjadi suatu hal yang terlalu biasa di kalangan masyarakat dan sudah tidak dapat lagi memenuhi posisinya sebagai sesuatu yang unik.

(2)

2.1.2 Proses Perubahan Trend Mode

Sesuai dengan artinya, mode itu akan terus berubah. Mode merupakan hal yang paling cepat berubah dibandingkan unsur kegiatan lainnya yang dilakukan manusia seperti bahasa, budaya,dan sebagainya. Karena perubahan yang cepat itulah dapat memicu unsur negatif bagi manusia, yakni salah satunya dengan mengeluarkan uang secara berlebihan hanya untuk mengikuti trend yang terus berubah, padahal barang – barang yang dibeli belum tentu sama sekali berguna. Oleh karena itu, perubahan trend sangatlah memicu semakin tingginya budaya konsumtif di kalangan masyarakat. Khususnya bagi generasi muda, mereka sangat senang mengikuti perkembangan trend sebagai salah satu cara untuk mengalami hal baru dan menarik. Oleh karena itu generasi mudalah yang seringkali menjadi korban dari trend mode yang sedang berlangsung, dikarenakan kegemaran mereka dalam mencoba hal – hal baru dan tidak ingin tertinggal oleh teman – teman sebayanya (Sprigman, 2006:18).

Mode berpakaian telah memberi kesempatan kepada setiap individu untuk mengekspresikan karakter maupun solidaritas terhadap orang lain selama lebih dari seribu tahun. Umumnya, orang – orang yang berada di posisi khusus yang dipuja atau kerap kali dijadikan inspirasi oleh masyarakat sekitarnya seringkali memulai suatu trend baru bilamana orang – orang tersebut memakai pakaian atau berpenampilan yang baru. Maka dari itu, gaya berpenampilan tersebut akan segera diikuti oleh masyarakat yang menjadikan mereka sebagai panutan.

Trend mode tentunya berbeda – beda untuk masing – masing lapisan masyarakat terutama jika dilihat dari segi usia, jenis kelamin, status sosial, profesi, dan letak geografis, serta seiring dengan berjalannya waktu. Tentu saja jika seseorang yang berusia lanjut mengikuti trend remaja, maka ia akan terlihat aneh dan bahkan menjadi

(3)

bahan tertawaan bagi banyak orang. Akan tetapi, tentu saja bukan tidak mungkin jika di dunia ini tidak diketemukan orang – orang semacam itu yang akhirnya dijuluki ‘korban mode’.

2.2 Konsep Trend Ganguro 2.2.1 Definisi Ganguro

Secara harafiah ganguro memiliki arti muka hitam, dan memang gadis remaja Jepang yang mengikuti trend ini sengaja menghitamkan kulitnya dengan berjemur di matahari atau ke salon khusus tanning, dan bisa juga dengan mengenakan make-up khusus. Para pengikut trend ini rata – rata adalah gadis remaja Jepang yang duduk di bangku SMU dan kebanyakan dari mereka bukan merupakan pelajar yang teladan karena para pengikut ganguro menganut gaya hidup yang bebas tanpa terikat apapun. Meskipun kata ganguro berarti muka hitam, ada juga pengikut ganguro yang menyatakan bahwa kata ganguro merupakan kependekan dari kata ganganguro yang artinya amat sangat hitam. Pusat dari trend ganguro adalah daerah Shibuya dan Ikebukuro di Tokyo (Klippensteen, 2000:5).

Menurut Klippensteen (2000:6) pengikut trend ganguro terbagi atas beberapa golongan yakni sebagai berikut:

a. Ganguro, yakni mereka yang memperoleh tanning dari salon b. Gonguro, yakni mereka yang memiliki kulit gelap dengan make-up.

c. Gal Onesan atau kakak gal yang merupakan pengikut ganguro berusia awal 20 tahunan.

d. Otona Gal atau gal dewasa yang penampilan ganguro-nya terlihat lebih matang. e. Gal Mama, yakni remaja pengikut ganguro yang sudah mempunyai anak.

(4)

f. Yamanba, yakni ganguro yang berpenampilan sangat ekstrim lebih – lebih daripada pengikut ganguro pada umumnya, namun saat ini yamanba yang terinspirasi dari cerita legenda seorang penyihir yang tinggal di gunung sudah jarang ditemui. Saat ini penampilan yamanba hanya sering dikenakan untuk pertunjukkan banci.

Gambar 2.1 Yamanba

Sumber: http://j-walkblog.com (2005).

Definisi yamanba menurut Copeland (2005:21):

Yamanba artinya adalah seorang penyihir yang bermukim di gunung dalam cerita legenda rakyat Jepang. Yamamba memiliki kekuatan gaib yang luar biasa serta seringkali memangsa manusia untuk disantapnya hidup – hidup dan mayoritas dari korbannya adalah laki – laki.

2.2.2 Konsep Gadis Ganguro

Pada awal kemunculan trend ganguro, para gadis remaja Jepang sedikit menggelapkan kulitnya dan memakai make-up dengan warna – warna terang serta mengenakan sepatu bersol tebal, namun lama kelamaan penampilan gadis ganguro semakin berlebihan, yakni sejak musim panas tahun 1998 hingga 1999 warna kulit mereka semakin gelap dan dandanan yang mereka kenakan semakin menor sehingga

(5)

bukan lagi tampak modis di mata orang awam melainkan tampak menggelikan seperti seorang banci.

Gambar 2.2 Ganguro

Sumber: http://www.ruxp.net (2000).

Rata – rata ciri khas penampilan gadis ganguro adalah kulit digelapkan dan kalau perlu sampai benar – benar berwarna coklat, tingkat ketebalan make-up mereka dapat mencapai tingkat nega – make atau make-up bak warna negatif film dan juga disebut panda – make, saking gelapnya kulit mereka. Untuk memperoleh kulit gelap, mereka mengunjungi salon khusus tanning atau mengenakan tanning lotion yang dapat bertahan sampai tiga hari. Bagi mereka yang tidak sanggup membiayai fasilitas tanning, mereka bahkan sampai memaksakan diri untuk menghitamkan kulitnya dengan spidol coklat (Kinsella, 2005:143).

Selain kulit hitam, ciri khas penampilan mereka adalah rambut yang diwarnai coklat, pirang bahkan oranye dan perak, serta dandanan yang sangat menor yakni dengan mengenakan pemulas mata warna putih di sekeliling mata ditambah dengan warna pemulas mata warna warni, lalu lipstick putih pun tak luput sebagai pelengkap dandanan

(6)

para gadis ganguro supaya kontras dengan warna kulit mereka. Pelengkap dandanan yang seringkali mereka kenakan yakni bulu mata palsu berwarna – warni, eyeliner tebal, dan terkadang memasang glitter maupun stiker di bawah mata mereka. Para gadis ganguro pada umumnya juga tidak bisa hidup tanpa lensa kotak warna – warni yang semakin menyemarakkan dandanan mereka.

Gaya berpakaian gadis ganguro tentunya tidak kalah provokatif dengan dandanannya, dan mereka senang memakai warna – warna yang mencolok dan cenderung memiliki corak yang bertabrakan. Ciri khas ganguro adalah sepatu bersol sangat tebal hingga ada yang ketebalannya mencapai dua belas inci dan juga memakai aksesoris seperti gelang, anting dan kalung yang beraneka ragam dan menumpuk. Mereka juga sangat menyenangi hiasan bunga sepatu dan di kepala mereka dan juga motif bunga sepatu pada pakaian sehingga tampak seperti gadis – gadis musim panas di California. Pakaian yang dikenakannya juga selalu ketat dan minim, seperti rok yang sangat mini dan hotpants. Mereka juga memiliki istilah – istilah sendiri untuk mengekspresikan sesuatu dan kebanyakan dari istilah tersebut tidak memiliki arti dan hanya dipakai di kalangan ganguro, misalnya あがったとめってっご, おっはー (kependekan dari kata おはよー yang artinya ‘selamat pagi’), ごっつんこっ (ekspresi penekanan ketika menabrak atau membentur sesuatu), うんばボー, うんこさみいよ (Suzuki, 2000:166).

(7)

Gambar 2.3 Para Para

Sumber: Japanese Schoolgirl Inferno (2007).

Salah satu hal yang tidak mungkin luput dari daftar kegemaran para gadis ganguro adalah menari para para. Pada dasarnya arti kata para para adalah berserakan yang hubungannya dengan tarian tersebut adalah serangkaian gerakan tangan yang mengikuti irama musik electro. Sedangkan kakinya hanya digerakkan ke samping, depan dan belakang sembari mengiringi irama musik. Gerakan tangan tersebut sangatlah bervariasi dan terkadang cukup rumit, sehingga bagi para gadis ganguro tidak ada hal yang lebih memalukan daripada gerakan tangan yang salah atau tidak sesuai irama musik (Klippensteen, 2000:40). Oleh karena itu tidak sedikit gadis ganguro yang menghabiskan kurang lebih 3800 yen untuk membeli seperangkat video para para agar sewaktu mereka menari di klub malam, mereka akan merasa lebih percaya diri. Sedangkan gadis ganguro yang tidak mengikuti maupun menekuni trend para para, pada umumnya akan merasa rendah diri dan cenderung direndahkan oleh teman – teman ganguro – nya.

Berfoto juga merupakan salah satu aktivitas sehari – hari yang sangat digemari oleh para gadis ganguro dan juga remaja putri Jepang pada umumnya, karena teknologi

(8)

dalam mengambil foto semakin lama semakin maju seiring dengan munculnya kamera digital, handphone berkamera, kamera polaroid dan juga kamera sekali pakai. Satu hal dalam berfoto yang sangat mendarah daging di kalangan remaja putri Jepang, khususnya para kogyaru dan ganguro yakni budaya purikura yang artinya foto berupa stiker yang dapat dibuat di mesin purikura dan awalnya mesin tersebut dinamakan Print Club.

Hampir di setiap pusat perbelanjaan, stasiun, dan game center pun terdapat mesin purikura dan banyak remaja putri yang berbondong – bondong berfoto di sana. Remaja putri sangat menyukai purikura karena setelah berfoto, mereka dapat menambahkan berbagai macam gambar dan hiasan serta tulisan sesuka hati sehingga foto mereka tampak lebih lucu dan menarik. Kemudian, mereka akan mengumpulkan foto – foto purikura dan memasukkannya ke dalam album khusus. Tak lama setelah demam purikura melanda, banyak di antara mereka yang memiliki pasangan juga sering berfoto berdua dan foto bersama pasangan tersebut dijuluki rabupuri atau love print club.

Selain berfoto dan menari di klub malam, satu hal yang tidak hanya gadis ganguro yang menggemari namun hampir seluruh kaum wanita di dunia ini menggemarinya yaitu berbelanja, dan satu tempat di mana para gadis ganguro atau kogyaru selalu menemukan barang yang dibutuhkannya yaitu di Shibuya 109 yang tentunya terletak di Shibuya, daerah berkumpulnya gadis ganguro.

Pendapat Klippensteen (2000:132) mengenai kebiasaan belanja gadis ganguro: Shibuya 109 merupakan suatu gedung pusat perbelanjaan yang sangat digemari oleh para remaja putri Jepang karena di dalamnya banyak terdapat merek – merek pakaian yang sesuai dengan selera mereka. Bagi pengikut trend ganguro, merek Egoist, Alba Rosa, Cecil Mcbee, Pinky Girls, Sneep Deep, maupun Love Pets merupakan beberapa di antara sekian banyak merek – merek kenamaan yang sangat diminati oleh para gadis ganguro karena menjual berbagai macam pakaian, sepatu dan aksesoris mencolok yang mendukung penampilan gadis ganguro.

(9)

2.3 Konsep Psikologis Remaja Putri Terhadap Trend

2.3.2 Tanggapan Remaja Putri Terhadap Trend Menurut Teori Psikologis

Penampilan merupakan hal yang sangat penting di kalangan remaja putri dan semua pertanyaan tentang bagaimana caranya berpenampilan maksimal, telah muncul sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan terkadang mereka memiliki pandangan bahwa penampilan luar seseorang mendominasi kualitas keseluruhan orang tersebut. Penampilan seorang remaja putri juga dianggap lebih penting jika mereka berada di dalam lingkungan sosial maupun sekolah dibandingkan jika mereka berada di dalam suasana liburan dan istilah liburan tersebut memiliki maksud secara psikologis (Daters,1990).

Kaum remaja putri juga memiliki kecenderungan untuk tidak bergantung pada orang tuanya dan merasa bahwa mereka telah menjadi manusia yang lebih mandiri, oleh karena itu mereka sendirilah yang memilih pakaian apa yang akan mereka kenakan dan pakaian apa saja yang akhirnya akan bermukin di dalam lemari baju mereka. Mereka tidak perlu lagi meminta bantuan orang tua dalam memilihkan pakaian, namun terkadang mereka masih bergantung pada orang tua dalam hal keuangan untuk membeli pakaian tersebut. Kaum remaja putri khususnya, juga beranggapan bahwa pakaian yang modis atau mengikuti trend dapat membantu mereka menghadapi lingkungan sosial dan segala perubahannya (Holdorf, 2005).

Pendapat Holdorf (2005) mengenai pengikut trend mode:

Biasanya kaum wanita berusia kurang dari 25 tahun cenderung untuk lebih mengikuti trend mode terkini. Oleh karena itu,kebanyakan dari merek – merek busana memproduksi koleksi pakaian yang dititikberatkan bagi kaum wanita berusia di bawah 25 tahun.

(10)

2.3.3 Latar Belakang Psikologis Remaja Putri Mengikuti Trend

Menurut artikel Clothes Power dalam Psychology Today (1997) pakaian itu adalah sesuatu yang membuat kita merasa aman, nyaman, dan penting. Kemudian, bukan hanya itu tetapi juga dapat membantu kita untuk lebih terlihat unik dan tak terlupakan. Kaum remaja putri yang tumbuh menjadi lebih dewasa, mereka mencoba untuk memperoleh identitas diri mereka masing – masing dan pengaruh orang tua pun semakin berkurang terhadap kehidupan mereka, dan teman – teman sebaya serta media massa akan memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap mereka.

Menurut Holdorf (2005:3) pakaian merupakan suatu elemen yang mengandung makna sosial dan dapat menjadi salah satu cara menunjukkan bahwa seorang remaja memiliki kekompakan dengan teman – temannya. Seiring dengan masuknya seseorang ke dalam usia remaja, maka dia akan merasa ingin memberontak dan melawan orang tuanya untuk membuktikan bahwa dia bukan anak kecil lagi. Dan pakaian yang dikenakan merupakan salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut.

Pendapat Daters (1990) mengenai pentingnya trend mode bagi kaum remaja:

Suatu pakaian atau trend mode juga dapat menjadi sarana bagi seorang remaja untuk dapat lebih diterima oleh teman – teman sebayanya dan seseorang yang pakaiannya tidak sesuai dengan trend atau tidak sejalan dengan pakaian yang sedang trend dikenakan oleh teman – temannya, maka tidak akan dianggap mampu untuk bersosialisasi. Seorang remaja juga memiliki suatu kebutuhan untuk memiliki suatu kelompok teman dekat tersendiri dan mengenakan pakaian yang sesuai sebagai salah satu bentuk mengekspresikan dirinya.

Manusia semasa tenggang usia remaja, khususnya remaja putri memiliki kecenderungan untuk berusaha mencari tahu siapakah diri mereka yang sesungguhnya, lalu di waktu yang sama mereka itu sangatlah kritis dan memiliki kepastian mengenai siapa saja yang akan mereka pilih untuk dijadikan teman. Oleh karena itu, sangatlah

(11)

penting bagi mereka untuk berpenampilan sedemikian rupa agar dapat berteman dengan orang – orang tertentu yang mereka senangi. Suatu jenis pakaian atau trend mode seringkali dianggap sebagai salah satu sarana komunikasi diri sendiri dan juga salah satu ekspresi diri dan pembuktian diri terhadap orang lain (Holdorf, 2005:12).

Menurut Teen Market Profile dalam Magazine Publishers of America (2003) kaum remaja itu lebih cenderung untuk mengikuti trend mode yang sedang berlangsung karena sebab – sebab berikut ini:

a. Kaum remaja itu merupakan kaum yang realistik dan optimis dengan rasa individual yang tinggi, namun tidak senang didominasi oleh generasi sebelumnya.

b. Suka memegang kendali atas hidupnya dan sangat menggemari hal – hal yang dianggap menarik bagi mereka.

c. Selalu berharap bahwa mereka dapat menjadi pusat perhatian.

Kemudian, semenjak semakin maraknya budaya Barat yang masuk ke Jepang, para remaja putri di Jepang juga semakin menjauh dari penampilan yang konservatif dan tradisional karena budaya Barat menunjukkan keterbukaan dan kebebasan dalam menunjukkan jati diri masing – masing individu, oleh karena itu remaja putri Jepang yang tentunya sedang mengalami pencarian jati diri akan dengan mudah terpengaruh oleh apa saja yang bagi mereka menarik atau populer (Macias, 2007:15).

2.3.4 Dampak Psikologis Munculnya Trend Terhadap Remaja Putri

Timbul tenggelamnya suatu trend tentunya membawa dampak – dampak psikologis terhadap kaum remaja, khususnya remaja putri yang memiliki kecenderungan untuk mengikuti trend mode. Kebanyakan dari dampak – dampak tersebut cenderung bersifat negatif dan dapat merusak mental kaum remaja yang sedang dalam masa pertumbuhan

(12)

baik fisik maupun pertumbuhan psikologis. Menurut Shields (2001) salah satu dampak buruk yang dapat menimpa kaum remaja putri jika mereka terlalu terpaku pada perputaran trend adalah mereka akan menjadi manusia yang konsumtif dan materialistis, karena banyak trend masa kini yang mengacu pada hal – hal yang berbau kepopuleran dan berharga mahal.

Oleh karena itu, kaum remaja menjadi lebih fanatik akan semua trend yang populer, apalagi yang harganya cenderung di atas rata – rata. Hal demikianlah yang menjadikan mereka manusia yang materialistis. Mereka menganggap bahwa memiliki barang yang sedang populer atau mengikuti trend mode terkini dapat meningkatkan kualitas hidup dan lebih membahagiakan mereka. Banyak kaum remaja putri yang berpandangan bahwa benda – benda atau pakaian terkini merupakan sarana untuk dapat mengakrabkan diri dengan teman – temannya yang populer di sekolah dan agar mereka dapat diterima oleh teman – teman sebayanya (Shields, 2001).

Perilaku materialistis dapat menjadi suatu masalah besar di kalangan remaja masa kini, namun itu semua tergantung bagaimana seseorang memandang perilaku demikian. Banyak juga kaum remaja yang tidak peduli meskipun mereka tidak memiliki pakaian atau benda – benda mahal, namun mereka lebih mementingkan apakah benda atau pakaian tersebut sesuai dengan trend yang sedang berlangsung.

Menurut Kessel (2001), seseorang yang memiliki benda atau pakaian mahal hanya karena mereka memang menyenanginya dan tidak mempergunakannya demi mencapai kebahagian hidup, maka perilaku tersebut masih dapat diterima, namun apabila mereka sengaja membeli benda atau pakaian tertentu hanya karena ingin dianggap terpandang atau diterima oleh kaum sebayanya, maka perilaku tersebut tidak dapat diterima. Salah satu aspek yang menimbulkan sifat materialistis adalah bahwa kaum remaja masa kini

(13)

tumbuh di dalam lingkungan yang serba mengidolakan hal – hal berbau materi, dan juga keinginan untuk diterima di kalangan teman – teman sebayanya.

Jika seorang remaja putri selalu mengenakan pakaian yang sedang trend, maka remaja putri tersebut cenderung akan memiliki lebih banyak teman dan lebih populer di kalangan teman sebayanya. Perempuan yang sedang memasuki usia remaja juga seringkali merasa bahwa dengan memiliki materi tertentu maka mereka akan memperoleh kepuasan tersendiri dan juga meningkatkan rasa percaya diri dan penghargaan terhadap diri sendiri, akan tetapi kaum remaja yang tidak mengikuti trend atau tidak memiliki cukup uang untuk membeli benda – benda yang mahal, umumnya akan merasa terkucilkan (Melo, 2001).

Menurut Bernstein (2001), kaum remaja putri yang terlalu mengandalkan hidup pada trend juga akan berakibat buruk pada perkembangan mental mereka, yakni akan mengakibatkan keinginan yang berlebihan untuk selalu meniru orang lain dan ketidakmampuan untuk menunjukkan selera maupun jalan pikiran diri sendiri. Bahkan dengan terlalu mengikuti suatu trend, maka seseorang akan cenderung untuk tidak mempedulikan kepentingan diri sendiri dan akan menimbulkan perilaku yang menentang.

Menurut Bernstein (2001), trend itu selalu ada selama kaum remaja ada di dunia ini, dan karena usia remaja merupakan usia dimana seseorang selalu ingin memberontak dan tidak pernah puas dengan keadaan dirinya maka kaum remaja selalu mencari kepuasan batin dengan cara membantah orang tuanya dan menikmati reaksi kemarahan orang tuanya. Apalagi jika sikap memberontak itu diketahui oleh teman – teman kelompoknya, maka remaja tersebut akan merasa lebih bangga. Akan tetapi, setiap trend itu tidak akan bertahan selamanya dan tentu saja tidak semua kaum remaja mau terperangkap dalam

(14)

pengaruh trend. Pada kenyataannya, semakin mereka memiliki sikap mandiri dan percaya diri, maka mereka akan semakin sulit untuk dipengaruhi oleh pergerakan trend.

2.4 Teori Kelompok 2.4.1 Konsep Groupisme

Groupisme merupakan suatu hal yang sering ditemukan pada remaja Jepang dan remaja Jepang seringkali memang terlihat berkelompok dan jarang terlihat sendirian. Individualisme yang sering nampak pada remaja di Amerika jarang terlihat di kalangan remaja Jepang (Ortiz, 1997:2).

Kemudian menurut Tobin, Wu dan Davidson (1989) groupisme itu mendukung masa transisi seorang anak mulai dari kehidupannya di lingkungan keluarga sampai kepada lingkungan yang lebih rumit seperti sekolah dan masyarakat dengan cara menawarkan suatu interaksi emosional antar murid dan juga interaksi murid terhadap gurunya, serta untuk meresmikan suatu hubungan orientasi berkelompok, bukan orientasi invididual.

Dalam masyarakat Jepang kontemporer, kaum muda Jepang mempelajarai hubungan keluarga di rumah dan hubungan berkelompok di sekolah, lalu peran sekolah adalah untuk mengubah seorang anak yang tadinya belum mandiri dan juga egois menjadi kaum muda yang lebih suka berkelompok dan siap untuk berfungsi di dalam kehidupan berkelompok dan masyarakat (Tobin,1989:70).

Bagi remaja Jepang, kelompoknya tersebut seringkali dijadikan wadah untuk mencurahkan seluruh isi hati dan tempat untuk memperoleh identitas. Oleh karena itu remaja Jepang mendambakan teman kelompok yang periang, humoris, setia, ramah, pintar, adil, dan bertanggung jawab (Kumagai, 1996:78). Kaum remaja Jepang selalu menemukan kepuasan batin bila sedang bersama dengan teman – temannya, oleh karena

(15)

itu remaja Jepang rata – rata memiliki kelompok sahabat dekat yang cukup besar sehingga kehidupan sehari – harinya jadi lebih menyenangkan. Seorang remaja tentunya sangat takut bila dikucilkan oleh teman – teman kelompoknya, oleh karena itu dia menjadi sangat intim dan terikat dengan teman – teman kelompoknya.

Menurut Mighwar (2006:42) mengenai kelompok remaja adalah sebagai berikut: Sahabat karib merupakan kelompok masa remaja yang memiliki ikatan persahabatan yang sangat kuat dan biasanya beranggotakan 2 – 3 remaja dengan jenis kelamin dan minat yang sama. Sedangkan komplotan sahabat biasanya terdiri dari 4 – 5 remaja yang timbul dari penyatuan dua pasang sahabat karib saat tahun – tahun pertama masa remaja awal. Komplotan sahabat ini seringkali melakukan berbagai aktivitas bersama – sama yang cenderung menghabiskan waktu, sehingga sering terjadi konflik dengan orang tua masing – masing. Kemudian, kelompok banyak remaja merupakan sekumpulan banyak remaja dari berbagai jenis kelamin, kemampuan dan minat. Karena besarnya kelompok ini, jarak emosi antar anggota agak renggang, namun mereka tetap memiliki kesamaan yaitu rasa takut diabaikan oleh anggota kelompoknya. Kelompok yang lebih besar lagi yaitu kelompok yang terorganisasi dan geng. Kelompok yang terorganisasi, terdiri dari para remaja, baik yang telah memiliki sahabat dalam kelompok terdahulu maupun belum mempunyai kelompok. Kelompok ini sengaja dibentuk oleh orang dewasa melalui lembaga – lembaga khusus, seperti sekolah dan lembaga keagamaan karena kesadaran orang dewasa akan perlunya para remaja untuk membentuk penyesuaian pribadi dan sosial, penerimaan dan berperan serta dalam suatu kelompok. Sedangkan geng, biasanya terdiri dari remaja dengan berbagai jenis kelamin atau berjenis kelamin sama. Kelompok ini terbentuk dengan sendirinya dan seringkali merupakan akibat pelarian dari empat jenis kelompok sebelumnya. Remaja yang tergabung dalam kelompok ini biasanya adalah remaja yang telah diusir dari kelompok terdahulunya dan bertemu dengan remaja lain yang memiliki nasib serupa, kemudian membentuk suatu kelompok baru yang seringkali berperilaku negatif, seperti mengganggu kelompok lain untuk balas dendam.

2.4.2 Pengaruh Kelompok Terhadap Kehidupan Remaja

Pada dasarnya, sikap remaja yang terlihat menonjol pada awalnya adalah sikap sosialnya, terutama terhadap teman – teman sebayanya yang memiliki minat dan perilaku yang serupa sehingga mereka membentuk suatu kelompok sahabat. Bagi remaja, sikap setia kawan terhadap sesama teman di kelompoknya merupakan suatu hal

(16)

yang sangat penting dan tidak boleh dilanggar kecuali jika terpaksa. Seorang remaja selalu berusaha bersikap sesuai dengan norma – norma kelompoknya (Mighwar, 2006:111). Sikap setia kawan itu selalu berusaha dipertahankan meskipun seorang remaja dapat menghadapi konflik dengan orang tua maupun dengan guru.

Kelompok teman sebaya merupakan lingkungan sosial pertama tempat remaja belajar untuk hidup bersama orang lain yang bukan keluarganya. Lingkungan teman sebaya merupakan suatu kelompok yang memiliki ciri, norma maupun kebiasaan yang berbeda jauh dengan apa yang biasa dilakukan di dalam lingkungan keluarganya. Di tengah teman sebaya, remaja dituntut untuk memiliki kemampuan pertama dan baru dalam menyesuaikan diri dan bisa menjadi landasan untuk menjalin interaksi sosial yang lebih luas pada masa selanjutnya.

Luasnya pergaulan antar teman sebaya menjadi suatu wadah penyesuaian diri dan kemudian berkembang menjadi kelompok yang lebih besar yang biasanya memiliki seorang pemimpin dan unsur kepemimpinan merupakan proses pembentukan, pemilihan, dan penyesuaian pribadi dan sosial. Pengaruh teman – teman sebaya terhadap sikap, perilaku, penampilan, gaya bicara dan kebiasaan seorang remaja lebih besar daripada pengaruh keluarganya. Karena remaja lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman – teman kelompoknya dibandingkan keluarganya, oleh karena itu agar tidak dijauhi teman – temannya maka mau tidak mau seorang remaja akan mengikuti gaya penampilan, tingkah laku maupun minat teman – teman kelompoknya.

Dalam kelompok teman sebaya, seorang remaja merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya , karena dia dinilai oleh orang yang sejajar dengan dirinya dan yang tidak dapat memaksakan sanksi – sanksi dunia dewasa yang justru ingin dihindarinya. Dengan demikian, dalam masyarakat sebaya, remaja memperoleh dukungan untuk

(17)

memperjuangkan emansipasi dan menemukan dunia yang memungkinkannya bertindak sebagai pemimpin bila mampu melakukannya. Di kalangan teman – teman sekelompoknya, terbentuklah jalinan norma, nilai dan simbol tersendiri yang kuat yang berbeda dengan apa yang dihadapinya di rumah mereka. Tak jarang suatu kelompok sahabat menyepakati serangkaian peraturan, dan norma – norma kelompoknya serta menciptakan kode bahasa rahasia yang tidak dimengerti oleh siapapun selain anggota kelompok tersebut. Karena pengaruh suatu kelompok terhadap segala tindak tanduk seorang remaja sangatlah besar, oleh karena itu beruntunglah jika dia masuk ke dalam kelompok yang positif dan berbudi pekerti baik, dan tentunya akan membuat orang tua lebih tenang.

Menurut Mighwar (2006:108) mengenai pandangan kaum remaja terhadap tinggi rendahnya status mereka yakni sebagai berikut:

Tinggi rendahnya status seseorang, yang menjadi ukuran prestisenya, biasanya digambarkan dengan hal – hal yang bersifat simbolik dan bagi remaja, hal – hal yang bersifat simbolik itu menunjukkan status sosial ekonomi yang lebih tinggi daripada teman – teman lain dalam kelompok, dan bahwa dia bergabung dengan kelompok dan merupakan anggota yang diterima kelompok karena penampilan atau perbuatan yang sama dengan anggota kelompok lainnya. Remaja merasa dirinya harus lebih banyak menyesuaikan diri dengan norma – norma kelompok sebaya ketimbang norma – norma orang dewasa atau lembaga, karena mereka ingin dianggap dewasa, bukan anak – anak lagi.

2.5 Konsep Remaja Jepang Masa Kini

2.5.1 Psikologi Perilaku Remaja Pada Umumnya

Menurut Setiono (2002) masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasannya usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi resmi

(18)

sebagai patokan atau batasan untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15-18) kini terjadi pada awal belasan bahkan sebelum usia 11 tahun namun tidak berarti ia sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia orang dewasa. Dalam perkembangannya seringkali mereka menjadi bingung karena kadang-kadang diperlakukan sebagai anak-anak tetapi di lain waktu mereka dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa.

Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Turiel (1978) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.

Kemampuan berpikir dalam dimensi moral pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap "pemberontakan" remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak

(19)

menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai tersebut.

Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Pernyataan Csikszentmihalyi dan Larson (1984) mengenai perubahan mood (suasana hati) remaja adalah:

Remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan mood swing yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis.

Dalam hal kesadaran diri, pada masa remaja para remaja mengalami perubahan yang dramatis dalam kesadaran diri mereka . Mereka sangat rentan terhadap pendapat orang lain karena mereka menganggap bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu membuat remaja sangat memperhatikan diri mereka dan citra yang ditampilkan. Remaja cenderung untuk menganggap diri mereka sangat unik dan bahkan percaya keunikan mereka akan berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran. Pada saat itu, Remaja akan mulai sadar bahwa orang lain tenyata memiliki dunia tersendiri dan tidak selalu sama dengan yang dihadapi atau pun dipikirkannya. Anggapan remaja bahwa mereka selalu diperhatikan oleh orang lain kemudian menjadi tidak berdasar. Pada saat inilah, remaja mulai dihadapkan dengan realita dan tantangan untuk menyesuaikan impian dan angan-angan mereka dengan kenyataan.

(20)

Para remaja juga sering menganggap diri mereka serba mampu, sehingga seringkali mereka terlihat “tidak memikirkan akibat” dari perbuatan mereka. Remaja yang diberi kesempatan untuk mempertangung-jawabkan perbuatan mereka, akan tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih berhati-hati, lebih percaya-diri, dan mampu bertanggung-jawab. Rasa percaya diri dan rasa tanggung-jawab inilah yang sangat dibutuhkan sebagai dasar pembentukan jati-diri positif pada remaja. Bimbingan orang yang lebih tua sangat dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan bagaimana menghadapi masalah itu sebagai “seseorang yang baru”. Remaja akan membayangkan apa yang akan dilakukan oleh para “idola”nya untuk menyelesaikan masalah seperti itu. Pemilihan idola ini juga akan menjadi sangat penting bagi remaja.

Pendapat Setiono (2002) mengenai pembentukan jati diri pada kaum remaja adalah sebagai berikut:

Salah satu topik yang paling sering dipertanyakan oleh individu pada masa remaja adalah masalah "Siapakah Saya?" Pertanyaan itu sah dan normal adanya karena pada masa ini kesadaran diri mereka sudah mulai berkembang dan mengalami banyak sekali perubahan. Remaja mulai merasakan bahwa mereka bisa berbeda dengan orangtuanya dan memang ada remaja yang ingin mencoba berbeda. Inipun hal yang normal karena remaja dihadapkan pada banyak pilihan. Karenanya, tidaklah mengherankan bila remaja selalu berubah dan ingin selalu mencoba – baik dalam peran sosial maupun dalam perbuatan. Tujuannya hanyalah ingin menemukan jati-diri atau identitasnya sendiri. Banyak orangtua khawatir jika “percobaan peran” ini menjadi berbahaya. Dalam proses “percobaan peran” biasanya orangtua tidak dilibatkan, kebanyakan karena remaja takut jika orangtua mereka tidak menyetujui, tidak menyenangi, atau malah menjadi sangat kuatir. Sebaliknya, orangtua menjadi kehilangan pegangan karena mereka tiba-tiba tidak lagi memiliki kontrol terhadap anak remaja mereka. Pada saat inilah, kehilangan komunikasi antara remaja dan orangtuanya mulai terlihat. Orangtua dan remaja mulai berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda sehingga salah paham sangat mungkin terjadi.

(21)

2.5.2 Konsep Psikologis dan Budaya Masyarakat Jepang Masa Kini

Semenjak mulainya Restorasi Meiji, dimulailah perdagangan bebas di Jepang, dan kehidupan yang lebih moderen pun mulai bermunculan sehingga budaya Jepang menjadi lebih berkembang dan semakin unik. Budaya Barat lambat laun merasuki budaya Jepang dan hal itu mungkin saja dikarenakan rasa ingin tahu dan ketertarikan orang Barat yang sangat tinggi terhadap budaya Jepang (Matsumoto, 2002:3).

Pendapat Hearn (1894) mengenai masyarakat Jepang yakni:

Masyarakat Jepang itu sederhana, tertutup, dan pada saat mereka menghadapi bahaya, ancaman, kesedihan, maupun masalah lain yang mengecewakan, tetap saja mampu mempertahankan harga diri mereka dan tersenyum.

Menurut Nitobe (1969), unsur bushido juga amat sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter masyarakat Jepang yang dimana bushido ini memiliki beberapa aspek yaitu keadilan, keberanian, kebajikan, kesopanan, kejujuran, ketulusan, harga diri, kesetiaan, dan juga pengendalian diri.

Benedict (1946) juga berpendapat bahwa masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang sarat akan “budaya malu”, karena kebanyakan dari mereka sering termotivasi oleh rasa takut dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya. Kecenderungan sikap ini mengacu pada nampak jelasnya bahwa masyarakat Jepang hidup dengan rutinitas yang berorientasi pada kehidupan berkelompok.

Pendapat Nakane (1970) mengenai kehidupan berkelompok masyarakat Jepang: Kekuatan dan pengaruh kelompok tidak hanya mempengaruhi maupun merasuki perilaku suatu individu; hal itu bahkan mengubah kreativitas dan juga cara berpikirnya. Ada yang merasa bahwa hal ini berbahaya dan pelanggaran terhadap harga diri. Sebaliknya, ada juga yang merasa lebih aman dalam kehidupan berkelompok.

(22)

2.5.2 Tabiat Remaja Jepang yang Kekanak – kanakan

Kumagai (1996:73) menyatakan bahwa pada umumnya generasi Jepang yang lahir sesudah tahun 1960 – an memiliki karakteristik dan tabiat yang kurang lebih mirip, karena sesudah tahun tersebut penduduk Jepang sudah tidak lagi merasakan bencana kemiskinan maupun kelaparan dikarenakan perekonomiannya yang sudah jauh lebih baik, maka banyak generasi muda Jepang yang memiliki sifat emosional, banyak tingkah dan kurang menanggapi segala sesuatu secara serius serta kurang mempedulikan hal – hal yang tidak menarik atau menyenangkan bagi mereka.

Kaum remaja Jepang juga merupakan kaum yang amat sangat tergantung pada kehidupan berkelompok dan sangat mudah terpengaruh oleh teman – temannya, oleh karena itu seringkali mereka terjerat oleh hal – hal yang kurang terpuji karena mereka sudah terlanjur masuk dalam kelompok yang kurang baik. Kaum remaja di Jepang juga tidak berbeda jauh dengan kaum remaja di negara lainnya dalam hal sifat kekanak – kanakan, kurang berkomitmen atau termotivasi dalam melakukan hal – hal tertentu, terutama dalam hal pelajaran.

Seperti kaum remaja pada umumnya, tentunya remaja Jepang juga terkadang merasakan ketidak inginan untuk beranjak dewasa. Hal itu seringkali disebabkan oleh terlalu banyaknya tuntutan dan tekanan yang dirasakan yang berasal dari segala penjuru, termasuk orang tua, guru dan anggota keluarga lainnya yang sudah lebih dewasa dan tentunya tuntutan tersebut bisa berupa semakin besarnya tanggung jawab yang harus dihadapi seiring dengan bertambahnya usia dan kelak cepat atau lambat, mereka tidak akan bisa merasakan kebebasan sebesar waktu mereka masih remaja.

(23)

2.5.3 Sifat Remaja Jepang yang Kurang Bermoral

Kaum remaja Jepang masa kini cenderung kurang memperhatikan tata krama dan norma moral di kalangan masyarakat. Hal tersebut terjadi seiring dengan semakin moderennya gaya hidup yang sarat akan kebebasan dalam bertingkah laku sehingga membuat kaum remaja Jepang seringkali lupa akan posisi mereka sebagai orang yang belum dewasa dan harus menyadari bahwa di atas mereka ada lapisan masyarakat yang lebih senior dan harus dihormati serta disegani.

Sifat – sifat kaum remaja Jepang masa kini yang sangat kurang adalah tata krama yang baik, rasa tanggung jawab, toleransi, kesadaran akan masyarakat umum serta ekonomi, dan juga ketekunan (Matsumoto, 2002:110).

2.5.4 Misi Remaja Jepang Dalam Menunjukkan Jati Diri

Menurut Kumagai (1996:74) kepribadian remaja Jepang masa kini yang ekspresif dapat dilihat dengan kegemaran mereka tampil menari – nari mengikuti lagu yang diputar di radio di depan umum, di jalan raya dan tampil sebagai sebuah band musik, terutama di daerah yang ramai dengan kaum remaja misalnya Shibuya dan Harajuku di Tokyo. Kegiatan tersebut adalah salah satu cara bagi kaum remaja Jepang untuk mengekspresikan emosi dan kepribadian mereka masing – masing. Remaja Jepang yang hidupnya tak menentu dan hanya memikirkan dirinya sendiri ini pada dasarnya sibuk bergulat dengan kemelut kehidupan di Jepang yang tersohor sebagai negara yang kaya akan budaya, adat istiadat, dan norma kesopanan. Generasi muda Jepang yang berbeda cukup jauh dengan generasi sebelumnya dalam segi pandangan hidup tentunya akan mengalami kesulitan untuk menuai sanjungan dan kesan baik dari generasi yang lebih tua, khususnya yang sangat memandang adat istiadat asli Jepang sebagai panutan hidup.

(24)

Seperti contohnya, para kelompok remaja yang berkumpul di Shibuya dan Harajuku mayoritas memiliki penampilan yang unik dan sangat menarik perhatian. Setiap kelompok memiliki minat dan cita rasa masing – masing yang menjadikan remaja Jepang sebagai remaja yang unik dan sering berlebihan dalam mengekspresikan dirinya. 2.5.5 Masalah Remaja di Lingkungan Sekolah

Menurut Kumagai (1996:78) meskipun kaum remaja Jepang menyita sebagian besar hidupnya untuk bersekolah dan menuntut ilmu, namun banyak di antara mereka yang sesungguhnya tidak menyukai kehidupan di sekolah yang penuh dengan peraturan dan mengharuskan mereka untuk belajar serta membatasi ruang gerak mereka. Mereka juga merasakan kesulitan untuk memiliki hubungan yang akrab selayaknya sahabat dengan guru – guru di sekolah apalagi menceritakan masalah – masalah pribadinya. Sebagian besar dari mereka lebih cenderung untuk sekedar berbasa basi dan bersikap formal terhadap guru – guru mereka. Sedangkan menurut Yoneyama (1999:67) bukan berarti mereka tidak ingin memiliki hubungan yang akrab dengan guru – guru mereka. Namun, pada kenyataanya kebanyakan guru – guru sekolah di Jepang jarang mau mendengarkan masukan maupun pendapat dari muridnya. Padahal, mereka merasa bahwa dengan dihargainya pendapat mereka, maka hubungan mereka dengan guru – guru pun akan semakin hangat. Banyak juga murid – murid yang menganggap bahwa guru mereka tidak peduli apabila muridnya tidak mengerti pelajaran yang diterangkannya, padahal tidak semua guru berperilaku demikian.

Pada umumnya, satu dari sepuluh pelajar selalu menikmati pelajaran yang sedang berlangsung, sementara sepertiga di antaranya sama sekali tidak tertarik dengan apa yang sedang dipelajari dan terkadang menganggap pelajaran tersebut tidak berguna dan hanya membuang waktu saja.

Gambar

Gambar 2.1 Yamanba
Gambar 2.2 Ganguro
Gambar 2.3 Para Para

Referensi

Dokumen terkait

kredibilitas (credibility) yaitu uji kepercayaan terhadap data hasil penelitian kualitatif, keteralihan (transferability) yaitu jika orang lain dapat memahami

Hasil wawancara yang dilakukan pada ibu pengguna alat kontrasepsi hormonal di Kelurahan Lapulu wilayah kerja Puskesmas Perawatan Abeli bahwa mereka tidak

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada peubah daya dukung pakan dari lima model trend tidak ada model trend yang sesuai untuk alat pendugaan dan peramalan.. Hal ini

Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kelas yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament ( TGT )

[r]

Implementasi Pendekatan Taktis Dalam Upayameningkatkan Kemampuan Gerak Chest Pass Dan Catching Dalam Permainan Bolabasket.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.. PENGARUH MEDIA BOLA TERHADAP GERAK DASAR

Dapat disimpulkan bahwa, dalam tampilan antarmuka permainan responden menilai bahwa di dalam permainan, tampilan menu pada permainan mudah dimengerti, tata letak