• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. kepada pandangan terhadap konsep sehat dengan perspektif yang lebih luas. Luasnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. kepada pandangan terhadap konsep sehat dengan perspektif yang lebih luas. Luasnya"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pendekatan pelayanan kesehatan yang digunakan pada abad ke-21, mengacu kepada pandangan terhadap konsep sehat dengan perspektif yang lebih luas. Luasnya aspek itu seperti definisi sehat menurut WHO (World Health Organization), bahwa sehat merupakan suatu keadaan yang tidak hanya terbebas dari penyakit akan tetapi juga meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yang meliputi aspek fisik, emosi, sosial dan spiritual. Sehat itu sendiri dapat diartikan kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental,spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (UU No 36 Tahun 2009).

Upaya mencapai kondisi sehat tersebut dilakukan upaya kesehatan yaitu setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat (UU No 36 Tahun 2009).

Pelayanan kesehatan sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang (UU) Nomor: 44 Tahun 2009, dinyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab melaksanakan pelayanan kesehatan, sehingga setiap penduduk memiliki kesempatan

(2)

yang sama dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan tanpa memandang latar belakang agama, suku, jenis kelamin, dan tingkat sosial ekonomi harus memperhatikan hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Implementasi UU Nomor: 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor: 34 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, memungkinkan daerah untuk mengatur keuangannya sendiri. Bila dulu kesehatan dibiayai dari pusat, sekarang alokasi anggaran untuk kesehatan tergantung kepada Pemerintah Daerah (Pemda).

Berbagai upaya telah dilakukan Departemen Kesehatan untuk memperbaiki dan meningkatkan alokasi dana kesehatan. Salah satu upaya adalah mengadakan pertemuan Bupati dan Walikota se-Indonesia Tahun 2000 dengan hasil kesepakatan bahwa porsi anggaran kesehatan akan ditingkatkan sehingga sesuai dengan kebutuhan berdasarkan standar WHO, yaitu minimal 5% dari Product Domestic Regional Bruto (PDRB) atau setara dengan minimal 15% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun dalam realisasinya kesepakatan tersebut masih merupakan wacana karena persentase anggaran kesehatan di banyak daerah di Indonesia tidak banyak bergeser dari kondisi sebelum desentralisasi yaitu berkisar antara 2,5%-4,0% dan maksimal 7% (Hendrartini dan Ali Mukti Gufron, 2004). Padahal alokasi anggaran kesehatan sesuai kesepakatan bupati-walikota se Indonesia pada tahun 2000 sebesar 15 % dari APBD. Selain itu upaya peningkatan alokasi anggaran untuk kesehatan diharapkan juga didukung oleh pemerintah daerah (Shihab, 2005).

(3)

Perhatian pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan saat ini masih sangat kurang. Hal ini dapat dilihat dari alokasi anggaran untuk Departemen Kesehatan dari tahun ke tahun sangat rendah, kurang dari 5% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada tahun 1997/1998, alokasi anggaran untuk Departemen Kesehatan adalah 4,7% dari APBN dan hal ini mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 3,6%. Sementara itu di negara-negara yang sudah maju, alokasi anggaran untuk kesehatan mencapai 6%-15%. WHO menyatakan alokasi anggaran untuk kesehatan yang ideal adalah sekurang-kurangnya 5% dari anggaran belanja negara (APBN). Dari anggaran yang kecil ini, pengalokasiannya untuk pelayanan kesehatan masyarakat (promotif, kuratif, preventif dan rehabilitatif) sangat timpang atau tidak seimbang. Hal ini dapat dilihat dari alokasi anggaran rutin Departemen Kesehatan (Juanita, 2002).

Menurut Aryastami dkk. (2006), anggaran kesehatan sangat tergantung kepada pendapatan daerah dan anggaran daerah sepanjang adanya komitmen politik dari para penguasa daerah (pengambil keputusan). Komitmen para pengambil keputusan sangat mempengaruhi penganggaran atau alokasi biaya untuk sektor kesehatan.

Indonesia memiliki derajat kesehatan yang jauh tertinggal dibandingkan dengan derajat kesehatan penduduk negara-negara tetangga di ASEAN. Dalam suatu sistem input-process-output-outcome, derajat kesehatan yang biasa diukur dengan angka kematian ibu, angka kematian bayi dan usia harapan hidup merupakan suatu

(4)

outcome atau hasil akhir dari suatu sistem kesehatan. Laporan WHO tahun 2000

menunjukkan bahwa peranan dana sebagai salah satu input sangat menentukan derajat kesehatan suatu negara (Thabrany, 2005).

Menurut hasil penelitian Laode dkk. (2006) di Dinas Kesehatan Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara, alokasi anggaran yang diperoleh Dinas Kesehatan pada era desentralisasi tidak sesuai dengan usulan anggaran, sehingga belum dapat mencukupi kebutuhan program dan ada beberapa kegiatan maupun program puskesmas yang tidak dapat dilaksanakan karena keterbatasan anggaran. Diskusi Kelompok Terarah (DKT) terhadap para Kasubdin Dinas Kesehatan Kabupaten Muna menunjukkan bahwa masih banyak program dan kegiatan-kegiatan di Dinas Kesehatan yang tidak terbiayai karena rendahnya alokasi anggaran. Hasil cross-check terhadap dokumen usulan anggaran dalam Dokumen Usulan Proyek (DUP) dan Rincian Anggaran Satuan Kerja (RASK) dan dokumen yang telah disahkan dalam Daftar Isian Proyek (DIP) dan Daftar Anggaran Satuan Kerja (DASK) menunjukkan bahwa masih banyak usulan anggaran Dinas Kesehatan Kabupaten Muna yang tidak diakomodasi, sehingga realisasi anggaran hanya berkisar antara 47%-55% dari usulan anggaran. Hal ini menunjukkan bahwa alokasi anggaran yang diperoleh belum dapat mencukupi kebutuhan Dinas Kesehatan Kabupaten Muna.

Penelitian lain juga menunjukkan bahwa komitmen daerah menjadi salah satu faktor penentu dalam pembiayaan kesehatan. Hal ini dikemukakan oleh beberapa peneliti, di mana salah satu faktor yang menentukan kecukupan alokasi anggaran

(5)

kesehatan di daerah adalah skala prioritas bidang kesehatan di mata para pimpinan daerah dalam hal ini komitmen daerah (Harmana dan Wiku, 2006). Mutu pelayanan kesehatan pemerintah yang rendah diakibatkan oleh subsidi pemerintah yang terbatas. Kegagalan pemerintah dalam memberikan subsidi yang mencukupi bagi operasionalisasi maupun program/kegiatan, menyebabkan mutu pelayanan semakin rendah (Trisnantoro, 2006).

Indonesia Sehat 2010 yang dirinci ke dalam indikator-indikator Standar Pelayanan Minimal (SPM) khususnya di Kota Pematangsiantar belumlah tercapai sedemikian rupa karena sangat erat kaitannya dengan pendanaan di daerah itu sendiri. Misalnya pencapaian cakupan pelayanan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dan pelayanan dan perawatan balita gizi buruk pencapaiannya sekitar 80% di mana target SPM adalah 100%. Beberapa kegiatan yang semestinya dilakukan oleh pemerintah daerah khususnya Dinas Kesehatan selaku pelaksana kegiatan untuk sektor kesehatan, tidak terlaksana karena tidak didukung oleh dana yang semestinya tertampung dalam anggaran pemerintah daerah untuk sektor kesehatan. Kondisi di Kota Pematangsiantar Tahun 2008, anggaran yang dialokasikan kepada Dinas Kesehatan selaku pelaksana kesehatan di Kota Pematangsiantar hanya 8,16% dari APBN. Anggaran sektor kesehatan di Kota Pematangsiantar tahun 2003-2008 selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.1 berikut.

(6)

467,506.63 76,315.32 38,157.66 396,752.57 46,914.55 23,457.28 314,236.48 35,869.66 17,934.83 219,287.90 33,986.11 16,993.06 214,843.26 28,464.11 14,232.05 165,944.00 20,735.86 10,367.93 2003 2004 2005 2006 2007 2008 APBD Usulan Alokasi

Gambar 1.1. Trend APBD dan Usulan serta Alokasi Dana untuk Sektor Kesehatan di Kota Pematangsiantar tahun 2003-2008 (dalam jutaan rupiah)

Sumber: Data diolah dari APBD Kota Pematangsiantar Tahun 2003 s/d 2008.

Gambar 1.1 menunjukkan bahwa persentase alokasi biaya kesehatan di Kota Pematangsiantar mengalami peningkatan selama enam tahun terakhir yaitu dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2008. Hal ini tentu saja masih jauh dari harapan atau hasil komitmen Bupati dan Walikota se-Indonesia tahun 2000, di mana alokasi anggaran untuk sektor kesehatan adalah sebesar 15%. Dari Gambar 1 tersebut, bila dibandingkan dengan hasil kesepakatan tersebut maka Sektor Kesehatan di Kota Pematangsiantar masih kurang 6,84% atau dengan kata lain alokasi anggaran

(7)

pembangunan kesehatan masih sangat kurang yang tentu saja berdampak tidak terlaksananya beberapa program pembangunan kesehatan yang diusulkan.

Pengalokasian anggaran kesehatan sangat erat kaitannya dengan persepsi maupun cara pandang ataupun pemahaman para pengambil kebijakan di Kota Pematangsiantar tentang kesehatan. Bila saja para pengambil kebijakan memberi perhatian terhadap pembangunan sektor kesehatan maka porsi anggaran kemungkinan akan mendapat porsi yang sesuai dengan hasil komitmen tersebut. Akan tetapi, sering terjadi di berbagai daerah dan Kota Pematangsiantar khususnya, para pengambil kebijakan lebih beriorientasi terhadap pembangunan fisik sehingga usulan anggaran dari sektor kesehatan yang lebih berfokus kepada pembangunan non fisik menjadi terabaikan atau tidak mendapat persetujuan sehingga usulan anggaran tersebut tidak tertampung dalam APBD.

Kebijakan sistem pembiayaan kesehatan sangatlah tergantung dari cara pandang dan persepsi pemerintah daerah tentang kesehatan yang dalam hal ini para pengambil keputusan khususnya di Kota Pematangsiantar yang tentu saja berdampak terhadap dana yang akan dialokasikan. Persepsi maupun cara pandang para pengambil keputusan tentu saja dipengaruhi oleh berbagai kemungkinan faktor penyebab seperti pengetahuan para pengambil keputusan tentang kesehatan maupun kurangnya sosialisasi Dinas Kesehatan tentang program yang akan diusulkan serta

setting prioritas yang tidak jelas.

Berbagai program-program pembangunan kesehatan yang telah direncanakan di Kota Pematangsiantar tidak terlaksana, diakibatkan oleh alokasi dana yang

(8)

bersumber dari pemerintah daerah tidak sesuai dengan usulan maupun rencana yang diusulkan sebelumnya. Usulan anggaran untuk pembangunan kesehatan di Kota Pematangsiantar sering tidak ditampung di dalam APBD, seperti tahun 2008 usulan anggaran kesehatan sebesar Rp.76.315.320.000, namun yang disetujui hanya Rp. 38.157.600.000, sehingga banyak program maupun kegiatan yang tidak dapat dilaksanakan disebabkan keterbatasan maupun tidak adanya anggaran untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Hal ini menyebabkan pembangunan kesehatan di Kota Pematangsiantar kurang berhasil dan bahkan sangat jauh dari target-target yang telah disusun sebelumnya.

Menurut Hasbullah (2005), ada dua masalah pembiayaan kesehatan di Indonesia yang merupakan isu penting pada saat ini dan sangat dirasakan akibatnya oleh masyarakat yaitu di satu pihak biaya kesehatan semakin mahal, dipihak lain adanya keterbatasan anggaran pemerintah untuk kesehatan. Dengan demikian sebagian besar biaya kesehatan (70 %) ditanggung oleh masyarakat dan dari biaya tersebut 85 % dibayar secara langsung oleh masyarakat dari kantong sendiri dan hanya sebagian kecil (sekitar 15 %) saja dibayar melalui asuransi. Akibatnya masyarakat harus menyediakan dana tunai apabila mereka memerlukan pemeliharaan kesehatan dan bagi yang tidak mampu menyediakan dana tunai, mereka tidak akan akses atau mendapatkan pelayanan kesehatan. Dampaknya adalah meningkatnya kejadian sakit yang diikuti kematian. Hal ini berpengaruh terhadap derajat kesehatan masyarakat yaitu menjadi semakin buruk.

(9)

Pembiayaan kesehatan bagi keluarga miskin diupayakan pemerintah melalui program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Program Jamkesmas mulai digulirkan awal tahun 2008, tujuannya untuk meningkatkan akses keluarga miskin dan kurang mampu dengan menyediakan jaminan pelayanan kesehatan gratis pada rumah sakit, puskesmas atau penyedia layanan kesehatan lainnya. Melalui Jamkesmas diharapkan kualitas layanan kesehatan bagi masyarakat miskin makin meningkat dan pengelolaan keuangan lebih transparansi dan akuntabel (Depkes RI, 2008).

Pelayanan kesehatan di puskesmas dengan paradigma pembangunan kesehatan menjadi ‘paradigma sehat’, maka pembangunan kesehatan menjadi lebih fokus pada upaya preventif dan kuratif tanpa mengabaikan kuratif-rehabilitatif. Upaya pelayanan kuratif di puskesmas dilakukan melalui program kesehatan dasar sebagai program minimal yang harus dilaksanakan oleh tiap puskesmas, yang dikemas dalam “basic six” (Depkes RI, 2004)

Mengacu kepada kondisi pembiayaan sektor kesehatan yang telah diuraikan di atas, maka fokus penelitian yang terkait dengan anggaran sektor kesehatan di Kota Pematangsiatar adalah persepsi pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif) tentang kesehatan, meliputi aspek pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Selanjutnya bagaimana pemerintah daerah mempersepsikan anggaran kesehatan dan bagaimana proses penganggaran sektor kesehatan yang akan digunakan dalam pelaksanaan program pelayanan kesehatan, termasuk peningkatan sarana kesehatan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang kesehatan. Serta untuk menelah hambatan-hambatan yang ditemukan dalam proses penganggaran sektor kesehatan.

(10)

Berdasarkan paparan di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang cara pandang atau persepsi pemerintah daerah tentang kesehatan dan pengaruhnya terhadap alokasi penganggaran biaya kesehatan di Kota Pemantang Siantar untuk menjamin pemeliharaan pelayanan kesehatan masyarakat serta tercapainya Indonesia Sehat 2010.

1.2. Permasalahan

Bagaimana persepsi Pemerintah Daerah tentang kesehatan dan pengaruhnya terhadap penganggaran biaya kesehatan dalam upaya pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat di Kota Pematangsiantar ?

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis persepsi Pemerintah Daerah tentang kesehatan dan pengaruhnya terhadap penganggaran biaya untuk sektor kesehatan dan pencapaian program kesehatan di Kota Pematangsiantar.

1.4. Manfaat Penelitian

1 Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi para pemerintah daerah Kota Pematangsiantar sebagai pengambil kebijakan anggaran sektor kesehatan.

2. Sebagai bahan masukan untuk Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar dalam upaya pengusulan anggaran kesehatan dimasa yang akan datang.

(11)

3. Sebagai bahan referensi dalam pengembangan keilmuan khususnya di Program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan (AKK) Universitas Sumatera Utara.

Gambar

Gambar 1.1. Trend APBD dan Usulan serta Alokasi Dana untuk Sektor  Kesehatan di Kota Pematangsiantar tahun 2003-2008 (dalam  jutaan rupiah)

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Murdock keluarga merupakan suatu grup sosial (kelompok sosial) yang dapat dikatakan tempat tinggal bersama, bekerja sama dari dua jenis kelamin dan satu atau lebih

Penggunaan teknik sosiodrama melalui layanan bimbingan kelompok untuk mengurangi prasangka sosial terhadap teman - teman disekolah digunakan karena masalah yang

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bandung tentang Pemberian

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi keragaman genetik RTBV dari tiga daerah endemis virus tungro di Indonesia berdasarkan sekuen basa nukleotida dan

Kelemahan Bubble Sort adalah pada saat mengurutkan data yang sangat besar akan mengalami kelambatan luar biasa, atau dengan kata lain kinerja memburuk cukup signifikan... ketika

perilaku serta wujud fisik lingkungan yang diskriminasi, maka bentuk bangunan yang mengungkapkan pengakuan umum secara fisik tersebut dihilangkan, hal ini berkaitan dengan

Perkiraan nilai (tidak pasti) dari setiap lembar saham biasa yang didasarkan atas asumsi bahwa semua aktiva perusahaan dapat dilikuidasi menurut nilai

Pada puisi ini tema tentang kesenangan siswa terhadap hewan langsung tampak ketika membaca judulnya, yaitu “Hamsterku”, puisi ini juga mendapatkan hasil analisis