• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELASI GENDER DAN KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI DALAM KELUARGA BURUH TANI PEREMPUAN DI KECAMATAN PANTI KABUPATEN JEMBER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RELASI GENDER DAN KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI DALAM KELUARGA BURUH TANI PEREMPUAN DI KECAMATAN PANTI KABUPATEN JEMBER"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

RELASI GENDER DAN KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI DALAM KELUARGA BURUH TANI PEREMPUAN

DI KECAMATAN PANTI KABUPATEN JEMBER Dwi Puspitarini, Praptika Septi Femilia

Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Jember dwipuspitarini8@gmail.com, praptikaseptifemilia@gmail.com

ABSTRAK

Salah satu bukti tingginya partisipasi perempuan dalam bidang ekonomi adalah semakin banyaknya jumlah buruh perempuan. Tuntutan ekonomi dan perubahan anggapan masyarakat bahwa perempuan tidak harus di dapur, telah mendorong perempuan untuk berada pada ranah kerja, baik di pabrik maupun sawah atau ladang. Namun, perkembangan ini rupanya masih menyimpan banyak masalah bagi perempuan, mulai dari masih lekatnya stereotype hingga ketimpangan relasi gender yang membuat buruh tani perempuan mengalami ketidakadilan. Dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif perspektif feminis, penelitian ini akan menjelajahi realitas isu-isu penting relasi gender dan kehidupan sosial ekonomi dalam keluarga buruh tani perempuan di Jember. Dengan teknik analisis interaktif dan teknik analisis gender Harvard, serta Teori Struktural Fungsional dari Talcott Parsons, penelitian ini menunjukkan hasil bahwa perempuan telah menjadi faktor yang amat penting dalam ekonomi rumah tangga, terutama pada saat laki-laki „kehilangan‟ kesempatan terlibat didalamnya akibat segmentasi pasar tenaga kerja. Buruh tani perempuan mengalami status subordinasi berganda. Di satu pihak, dalam lingkup masyarakat kerjanya, buruh tani perempuan bersama buruh laki-laki adalah alat produksi untuk menghasilkan produk. Di pihak lain, dalam keluarganya buruh tani perempuan mengalami diskriminasi berganda akibat status gender perempuannya. Sistem struktur yang hierarkis seringkali menciptakan situasi yang tidak demokratis dimana pembagian sumberdaya yang terbatas (kekuasaan, kesempatan, keputusan-keputusan keluarga) berlaku mutlak tanpa proses negosiasi antar anggota keluarga. Terdapat pergeseran nilai-nilai budaya, bahwa peran ekonomi adalah seharusnya di pundak laki-laki, namun kenyataannya, dalam ketidakberdayaannya, laki-laki mengizinkan dan mendukung perempuan/istrinya untuk bekerja di luar rumah. Buruh tani perempuan tersubordinasi di dalam keluarga. Namun, mereka tetap mencari pendapatan di luar rumah untuk mempertahankan hidup keluarganya.

(2)

PENDAHULUAN

Mengikuti perkembangan zaman dan keadaan ekonomi yang tidak menentu sekarang ini, memaksa para perempuan ikut berpartisipasi meningkatkan kesejahteraan keluarga dengan cara bekerja. Saat ini telah banyak perempuan yang masuk ke dalam pasar kerja, walaupun masih sedikit perempuan yang menduduki jabatan yang tinggi/menentukan di tempat kerjanya. Sebagian besar perempuan hanya bekerja sebagai tenaga kasar/buruh/ pekerja keluarga saja. Untuk dapat bekerja pada sektor publik diperlukan keterampilan tertentu yang memungkinkan penggunaan tenaga kerja perempuan secara produktif dan efisien. Pada kenyataanya, banyak perempuan Indonesia yang tidak memiliki keterampilan khusus sebagaimana yang disyaratkan.

Peran laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah serta perempuan sebagai ibu rumah tangga, ternyata menempatkan perempuan pada posisi yang kurang menguntungkan, karena ketika orang tua akan memutuskan untuk membiayai pendidikan anaknya, umumnya kaum lelaki yang mendapat prioritas utama untuk memperoleh pendidikan yang tinggi untuk bekal menjadi kepala keluarga dan pencari nafkah yang baik. Sedangkan perempuan kurang perlu mendapat pendidikan tinggi karena nantinya juga harus bertugas di rumah, kembali ke rumah mengurus keluarga. Persepsi ini yang merugikan kaum perempuan karena dianggap kurang penting memperoleh pendidikan yang tinggi. Posisi perempuan akan kurang menguntungkan dan semakin tidak menguntungkan jika ia berperan ganda, dimana ia harus bersaing dengan kaum laki-laki yang dari segi pendidikan dan pencurahan waktu ke sektor publik.

Fenomena perempuan dalam bidang pekerjaan juga dikenal sebagai "industrial redeployment", terutama terjadi melalui pengalihan proses produksi di dalam industri manufaktur dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang. Pengalihan proses produksi yang meliputi transfer kapital, teknologi, mesin-mesin, dan lingkungan kerja industrial barat ke negara-negara sedang berkembang tersebut sebagaimana diketahui terutama terjadi di dalam industri-industri tekstil, pakaian, dan elektronik. Akan tetapi, dikarenakan komoditi industri-industri tersebut telah mencapai tingkat perkembangan lanjut di dalam siklus produksi, hanya tenaga kasar dan tenaga setengah kasar yang diperlukan di dalam pengalihan proses produksi dari negara-negara maju ke negara-negara sedang berkembang. Di dalam konteks itulah, problematika peran

(3)

perempuan di negara-negara sedang berkembang saat ini hendaknya dipahami.1 Selanjutnya, perempuan dalam keputusannya untuk turut berpartisipasi dalam dunia kerja selain dipengaruhi oleh status perkawinan juga dipengaruhi oleh faktor usia, daerah tempat tinggalnya (kota/desa), pendapatan, agama, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan suami (bagi yang sudah kawin), pendidikan perempuan itu sendiri serta tingkat pengangguran regional. Masalah utama dari pekerja perempuan adalah latar belakang sosial yang rendah, sehingga mengharuskan perempuan tersebut bekerja.2

Fenomena perempuan bekerja juga sangat dominan seperti yang terjadi di Kecamatan Panti Kabupaten Jember. Mayoritas keluarga di kecamatan ini perempuannya bekerja, baik di pabrik maupun di sawah serta ladang. Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada perempuan buruh tani yang secara kuantitatif lebih banyak. Mereka berkelompok menunggu jemputan mobil untuk diantar ke area sawah atau ladang/perkebunan tertentu. Hasil observasi awal peneliti, diperoleh gambaran bahwa keterlibatan buruh tani perempuan dalam mencari nafkah keluarga dipicu oleh tuntutan ekonomi, harga bahan pokok yang terus naik, sementara suami tidak memiliki pendapatan yang pasti atau bahkan tidak bekerja.3 Ia mengatakan bahwa tidak ada jalan lain, supaya tetap bisa masak ia harus bekerja. Bekerja sebagai buruh tani dengan sekelompok perempuan sejak pagi berkumpul setelah Subuh, diangkut dengan mobil pick up atau truck menuju sawah dan bekerja sampai siang atau sore hari.

Mengamati hal-hal di atas, sangat memungkinkan adanya dampak pada relasi gender dalam keluarga buruh tani perempuan tersebut, karena berhubungan dengan peran perempuan dalam menyokong ekonomi keluarga. Tidak dapat dihindari pula bahwa ada faktor sosial budaya yang turut mewarnai dinamika dalam setiap komunitas. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam artikel penelitian ini adalah mengenai kehidupan sosial buruh tani perempuan yang sudah berkeluarga, kontribusi dalam ekonomi keluarganya, relasi gender, dan pengaruh/pergeseran budaya dalam dinamika kehidupan sosial ekonomi buruh tani perempuan di

1

Fauzi Ridzal, et. al., Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), 78.

2

Sri Wahyulina, Kehidupan Buruh Perempuan dan Strategi Pertahanan Hidup dalam

Krisis Ekonomi: Studi Kasus pada PT. Tesa di Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat,

diakses melalui http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=73408& lokasi=local

3

(4)

Kecamatan Panti Kabupaten Jember. Perempuan Buruh Tani

Indonesia merupakan negara agraris, pada dekade 1960-an sektor pertanian pernah menempati posisi teratas dalam penyerapan tenaga kerja perempuan, bahkan sebagian besar pekerjaan di sektor pertanian ini dikuasai oleh pekerja perempuan. Pekerjaan laki-laki di sektor ini umumnya terbatas pada masa pengolahan lahan, sedangkan pada tahap merawat sampai memetik hasil pertanian sebagian besar dikerjakan kaum perempuan. Pada era ini kedudukan perempuan pekerja tidak terlalu dipersoalkan, karena pekerjaan di sektor pertanian kurang menuntut pencurahan waktu yang terus menerus serta dapat dilakukan di lingkungan domestik, sehingga tidak mengganggu tugas kerumahtanggaan, tidak menuntut adanya pendidikan dan keterampilan khusus, berarti diferensiasi pekerjaan kurang mempengaruhi upah yang diterima. Fenomena perempuan bekerja di Indonesia cenderung terlihat di kalangan ekonomi rendah terutama di pedesaan. Adapun yang mendorong mereka bekerja terutama disebabkan oleh kondisi ekonomi keluarga.

Fenomena munculnya buruh perempuan yang berasal dari pedesaan belum lama berlangsung. Hal ini sejalan dengan akselerasi pembangunan nasional semenjak Orde Baru. Warto dalam Abdullah menyatakan bahwa, di satu pihak pembangunan itu ingin mengejar ketertinggalan ekonomi secara makro, di pihak lain untuk mengantisipasi meningkatnya jumlah pengangguran akibat ledakan penduduk yang cukup besar yang tidak diimbangi dengan meningkatnya lapangan pekerjaan.

Gejala di atas tampak cukup mencolok di pedesaan, terutama setelah diperkenalkannya teknologi pertanian modern yang menggeser pola pertanian tradisional. Keinginan untuk terus mengintensifkan dan meningkatkan hasil pertanian telah mendorong pemerintah mengirimkan paket teknologi pertanian ke desa-desa, misal pestisida, bibit unggul, traktor, dan huller. Mekanisasi pertanian ini hasilnya cukup tinggi karena sejak itu hasil pertanian meningkat tajam. Namun, bersamaan dengan itu dampak yang diakibatkan juga tidak sedikit. Sejak itu, teknologi pertanian telah merombak struktur pertanian lama, khususnya mulai tersingkirnya sejumlah besar tenaga kerja perempuan di sektor pertanian. Mereka kehilangan kesempatan untuk ikut andil dalam proses produksi pertanian melalui cara-cara tradisional, misalnya derep (diganti sistem tebasan), nutu (diganti mesin penggiling), dan lainnya. Demikian pula tenaga

(5)

laki-laki di pedesaan banyak yang jadi pengangguran, sebagai akibat makin terbatasnya kesempatan kerja dan sempitnya lahan pertanian. Hal inilah yang menjadi awal terjadinya perubahan besar pada perekonomian sebagian besar keluarga-keluarga di pedesaan.

Konsep Kesetaraan Gender

Istilah “gender” pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Dalam ilmu sosial orang yang juga sangat berjasa dalam mengembangkan istilah dan pengertian gender ini adalah Ann Oakley (1972). Sebagaimana Stoller, Oakley mengartikan gender sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia.4

Dalam Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern, „relasi gender‟ diartikan sebagai relasi sosial antara laki-laki dan perempuan. Gender dibedakan dari relasi biologis antara jenis kelamin, sebab relasi gender adalah relasi yang dikonstruksi secara sosial. Sifat dari relasi gender adalah bervariasi dari waktu ke waktu dan tempat, berubah-ubah dari waktu ke waktu dan menunjukkan keragaman menurut kultur dan lokasi sosial. Penjelasan tentang pola relasi gender juga bervariasi dalam hal prioritas domain yang berbeda dan level abstraksi yang berbeda (Walby, 1990 dalam Outhwaite (ed), 2008). Gender dikonstruksi dan diekspresikan dalam banyak institusi sosial, mencakup kultur, ideologi, dan praktik diskursif. Gender adalah bagian dari pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan di rumah, terutama antara suami dan istri.

Relasi gender mengambil bentuk yang berbeda-beda di negara yang berbeda, dalam kelompok etnis yang berbeda, kelas sosial yang berbeda dan generasi yang berbeda. Meskipun demikian semuanya memiliki kesamaan dalam membedakan antara laki-laki dan perempuan, meski ada variasi sosial dalam sifat dari perbedaan tersebut. Dalam buku Dr. Riant Nugroho dikatakan bahwa relasi gender mempersoalkan posisi perempuan dan laki-laki dalam pembagian sumberdaya dan tanggungjawab, manfaat, hak-hak, kekuasaan dan previlese. Penggunaan relasi gender sebagai suatu kategori analisis tidak lagi berfokus pada perempuan yang dilihat terisolasi dari laki-laki.5

4

Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarusutamaannya di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 3.

5

(6)

Konsep gender yang dipahami sebagian besar orang seringkali bias dan lebih diartikan sangat sempit sebagai sebuah konsep yang hanya membicarakan masalah perempuan dengan kodrat keperempuanannya saja. Padahal gender berbeda dengan jenis kelamin, dia tidak hanya membicarakan perempuan saja ataupun laki-laki saja, bukan juga konsep tentang perbedaan biologis yang dimiliki keduanya. Gender merupakan perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan (dibangun) oleh masyarakat atau kelompok masyarakat dengan latar belakang budaya dan struktur sosial yang berbeda-beda di setiap daerah, suku, negara dan agama. Oleh karenanya, perbedaan peran, perilaku, sifat laki-laki dan perempuan yang berlaku di suatu tempat/budaya belum tentu sama atau berlaku di tempat yang berbeda.

Tabel 1. Perbedaan Gender dan Jenis Kelamin GENDER

Perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan hasil konstruksi sosial

JENIS KELAMIN Perbedaan organ biologis laki-laki dan perempuan khususnya pada bagian reproduksi

Buatan manusia Ciptaan Tuhan

Tidak bersifat kodrat Tidak dapat berubah

Dapat berubah Tidak dapat ditukar

Dapat ditukar Berlaku sepanjang zaman dan dimana saja

Tergantung waktu dan budaya setempat.

Perempuan: hamil, melahirkan, menyusui, menstruasi

Laki-laki: membuahi (spermatozoa) Pengertian gender juga termasuk membicarakan relasi antara perempuan dan laki-laki serta cara bagaimana relasi itu dibangun dan didukung oleh masyarakat. Seperti halnya konsep kelas, ras, dan suku, gender merupakan alat analisis untuk memahami relasi-relasi sosial antara perempuan dan laki-laki. Sampai saat ini, hambatan bagi terwujudnya kesetaraan antara perempuan dan laki-laki lebih banyak disebabkan oleh kesenjangan perempuan dan laki-laki yang dikonstruksikan oleh masyarakat. Kesenjangan relasi tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor sejarah, budaya, ekonomi dan agama yang mengakar sangat kuat secara turun-temurun di kalangan masyarakat. Kenyataan seperti inilah yang berdampak pada kehidupan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan

(7)

sehari-hari, baik di ranah domestik (rumah tangga) maupun di ranah publik (masyarakat, dunia kerja, dunia pendidikan).

Suatu paradigma baru sangat diperlukan untuk memberikan kerangka dan menjelaskan hubungan (relasi) antara perempuan dan laki-laki di berbagai lapisan masyarakat, lembaga formal maupun lembaga informal termasuk institusi keluarga. Strategi-strategi untuk perubahan diperlukan yaitu bagaimana melakukan perubahan hubungan (relasi) antara perempuan dan laki-laki yang responsif gender sehingga terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender .

Kesetaraan gender menurut Laporan UNICEF 2007 akan menghasilkan

“deviden” ganda. Perempuan yang sehat, berpendidikan, dan berdaya akan

memiliki anak-anak perempuan dan laki-laki yang sehat, berpendidikan dan percaya diri. Pengaruh perempuan yang besar dalam rumah tangga, telah memperlihatkan dampak yang positif pada gizi, perawatan kesehatan, dan pendidikan anak-anak mereka.

Perubahan yang diharapkan dari pengarusutamaan gender antara lain mengubah individu, masyarakat atau lembaga yang awalnya buta dan bias gender, meningkat menjadi responsif gender dan akhirnya menjadi sensitif gender. Buta gender adalah kondisi seseorang, masyarakat di mana sama sekali tidak memahami pengertian gender dan permasalahan gender. Bias gender adalah kondisi yang menguntungkan pada salah satu jenis kelamin yang berakibat munculnya permasalahan gender. Netral gender adalah kondisi yang tidak memihak pada salah satu jenis kelamin. Responsif gender adalah kondisi yang memperhatikan berbagai pertimbangan untuk terwujudnya kesetaraan dan keadilan pada berbagai aspek kehidupan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan sensitif gender adalah kemampuan dan kepekaan dalam melihat dan menilai berbagai aspek kehidupan dan hasil pembangunan dari perspektif gender (ada perbedaan aspirasi, kebutuhan, dan pengalaman antara laki-laki dan perempuan).

Dalam teori struktural-fungsional, peran masing-masing anggota keluarga sangat ditentukan oleh struktur kekuasaan laki-laki (ayah) sebagai kepala keluarga yang secara hierarkis memiliki kewenangan paling tinggi dalam keputusan-keputusan keluarga. Hierarki dilanjutkan pada perbedaan usia dan jenis kelamin anggota keluarga, misalnya saudara laki-laki memiliki struktur sosial lebih tinggi dibanding saudara perempuan. Relasi yang terbangun seringkali menempatkan seolah-olah laki-laki memiliki kemampuan/kekuasaan/ kekuatan lebih besar dibanding anggota keluarga perempuan. Banyak stereotype

(8)

bahkan mitos yang sudah tertanam di masyarakat, misalnya tanggungjawab mutlak terhadap ekonomi keluarga hanya ada di tangan ayah/suami, sementara tanggungjawab domestik melulu tanggung jawab ibu/istri. Padahal, faktanya begitu banyak kaum perempuan (istri/ibu) yang mampu menjadi tulang punggung keluarga, secara mandiri menghidupi keluarganya dan lebih mampu bertahan dalam kesulitan ekonomi keluarga.

Persepsi seperti itu tidak saja mengesampingkan peran perempuan dalam keluarga tetapi di sisi lain membebani kaum laki-laki dengan tanggung jawab mutlak terhadap ekonomi keluarga. Atau sebaliknya, karena peran mutlak yang dibebankan kepada suami/ayah sebagai pencari nafkah, sehingga peran lain seperti pengasuhan dan pendidikan anak, serta peran-peran domestik lainnya menjadi peran mutlak ibu/istri. Kesetaraan gender dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga maupun masyarakat sehingga tidak ada peran-peran yang dilabelkan mutlak milik laki-laki saja atau milik perempuan saja.

Berbeda dengan pendekatan teori struktural-fungsional yang menempatkan keluarga sebagai institusi dengan sistem struktur yang menempatkan kedudukan suami, istri, dan anak-anak pada posisi vertikal, sehingga peran, hak, kewajiban, tanggung jawab sangat ditentukan oleh hierarki patriakal. Sedangkan menurut teori sosial konflik, struktur yang vertikal tersebut sangat potensial untuk menimbulkan konflik berkepanjangan di dalam keluarga. Karena sistem struktur yang hierarkis seringkali menciptakan situasi yang tidak demokratis dimana pembagian sumberdaya yang terbatas (kekuasaan, kesempatan, keputusan-keputusan keluarga) berlaku mutlak tanpa proses negosiasi antar anggota keluarga.

Menurut Collins yang dikurip Megawangi (1999), bahwa keluarga yang ideal adalah yang berlandaskan companionship, yang hubungannya horizontal (tidak hierarkis). Model konflik memang tidak melihat kesatuan sebuah sistem, yang menurut model struktural-fungsional adalah aspek utama untuk solidnya sebuah masyarakat, tetapi lebih memfokuskan pada adanya konflik antar individu, kelas atau kelompok. Konflik ini tentunya dianggap akan membawa perubahan, bahkan kehancuran sistem tersebut. Pada proses selanjutnya, pendekatan sosial-konflik lebih menegaskan bahkan menumbuhkan kesadaran masing-masing individu akan perbedaannya serta bagaimana perbedaan tersebut menjadi sebuah sinergi/harmoni sehingga perubahan-perubahan yang lebih baik

(9)

dapat terjadi di dalam keluarga.6

Tawney dikutip Megawangi (1999) mengakui adanya keragaman pada manusia, baik biologis, aspirasi, kebutuhan, kemampuan, ataupun kesukaan, cocok dengan paradigma inklusif. Ia mengatakan bahwa konsep yang mengakui faktor spesifik seseorang dan memberikan haknya sesuai dengan kondisi perseorangan, atau disebut “person-regarding equality”. Kesetaraan ini bukan dengan memberi perlakuan sama kepada setiap individu agar kebutuhannya yang spesifik dapat terpenuhi, konsep ini disebut “kesetaraan kontekstual”. Artinya, kesetaraan adalah bukan kesamaan (sameness) yang sering menuntut persamaan matematis, melainkan lebih kepada kesetaraan yang adil yang sesuai dengan konteks masing-masing individu.7

Pemahaman tentang perbedaan biologis, aspirasi, kebutuhan, kemampuan masing-masing anggota keluarga seharusnya dapat ditanamkan sejak sebuah keluarga terbentuk. Sistem patriarkal yang memposisikan fungsi-fungsi di dalam keluarga didasarkan pada struktur yang kaku serta memiliki hierarki kekuasaan yang terlalu membatasi adanya peran partisipatif antaranggota keluarga telah menyebabkan terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan. Relasi gender dalam keluarga dapat dibangun jika masing-masing individu saling memahami perbedaan dan kebutuhan yang dimiliki serta mampu memberikan kesempatan yang seimbang tanpa membeda-bedakan peran gender.

Kesetaraan gender dalam segala aspek kehidupan termasuk kehidupan keluarga, didasarkan pada adanya perbedaan biologis, aspirasi, kebutuhan masing-masing individu sehingga pada setiap peran yang dilakukan akan memiliki perbedaan. Kesetaraan gender juga tidak berarti menempatkan segala sesuatu harus sama, tetapi lebih pada pembiasaan yang didasarkan pada kebutuhan spesifik masing-masing anggota keluarga. Kesetaraan gender dalam keluarga mengisyaratkan adanya keseimbangan dalam pembagian peran antar anggota keluarga sehingga tidak ada salah satu yang dirugikan. Dengan demikian, tujuan serta fungsi keluarga sebagai institusi pertama yang bertanggung jawab dalam pembentukan manusia yang berkualitas dapat tercapai.

Relasi vertikal dalam keluarga yang memposisikan hierarki keluarga

6

Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi

Gender, (Penerbit Mijan: Bandung, 1999) 7

Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi

(10)

berdasarkan sistem kekuasaan telah banyak menimbulkan konflik berkepanjangan dalam keluarga, karena relasi seperti itu cenderung menumbuhkan sikap-sikap otoriter. Pendekatan yang bersifat companionship yaitu hubungan yang horizonal (tidak hierarkis) antar anggota keluarga lebih memungkinkan pembagian peran yang seimbang antara laki-laki (ayah/suami dan anak laki-laki) dan perempuan (ibu/istri dan anak perempuan). Kesetaraan gender yang didasarkan pada perbedaan aspirasi, kemampuan, kebutuhan spesifik masing-masing individu dalam keluarga akan menumbuhkan kesadaran kolektif antar anggota untuk memperkuat fungsi-fungsi yang ada di dalam sistem keluarga. Apabila fungsi keluarga sebagai sistem terkecil dalam sebuah negara sudah berjalan dengan harmonis, maka di dalam keluarga tersebut akan tumbuh manusia-manusia yang berkualitas yang dapat memberikan kontribusi pada kemajuan masyarakat dan negara.

Relasi Gender dalam Keluarga

Keluarga sering dipandang sebagai institusi terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ini pandangan secara umum untuk keluarga yang lengkap. Sebab mungkin saja, sebuah keluarga hanya terdiri dari ayah dan anak atau ibu dan anak, atau mungkin pula hanya terdiri dari suami dan isteri bila mereka masih keluarga baru atau mungkin pula keluarga yang tidak memiliki anak.

Keluarga merupakan sub sistem dari masyarakat dan negara, yang memiliki struktur sosial serta sistemnya sendiri. Dalam keluarga, kehidupan seseorang dimulai, dimana seorang anak mendapat perlindungan dengan nyaman, seorang istri/ibu melakukan tugas, mendapatkan haknya dan melakukan tugas-tugas keibuanya, seorang ayah/suami memberikan kenyamanan, ketentraman, melakukan tugas-tugasnya sebagai kepala keluarga. Banyak hal dimulai dari rumah, anak tumbuh dan berkembang, mengenal dirinya, ayah dan ibunya, saudara-saudaranya, belajar memahami segala sesuatu yang terjadi di sekitar lingkungannya termasuk mengenal berbagai perbedaan bahkan konflik yang terjadi.

Persoalan yang terjadi dalam keluarga lebih disebabkan oleh konstruksi sosial dan kultural yang dipahami dan dianut oleh masyarakat yang tidak didasarkan pada asas kesetaraan gender. Pemahaman tentang subyek-obyek, dominan-tidak dominan, superior-imperior serta pembagian peran-peran yang tidak seimbang antara anggota keluarga laki-laki (ayah, anak laki-laki) dan

(11)

perempuan (ibu, anak perempuan) seringkali memposisikan laki-laki lebih mendapatkan hak-hak istimewa, sedangkan perempuan sebagai kaum kelas kedua.

Memaknai faham feminis eksistensialis, bekerja merupakan landasan fundamental bagi perempuan untuk mengukuhkan pengakuan akan kemandirian, ketidaktergantungan menuju kesetaraan, dan penegasan status perempuan sebagai subjek dan bukan sebagai objek. Meskipun kenyataannya menunjukkan bahwa sebagian lapangan pekerjaan yang ditekuni oleh perempuan masih belum terbebas dari diskriminasi, feminisasi pekerjaan dan kendala kultural, perempuan secara konsisten telah membuktikan bahwa keberadaan mereka di ranah publik tetap eksis dan dibutuhkan.

Leacock menyatakan bahwa perempuan dalam setiap masyarakat memberi sumbangan ekonomi yang substansial. Status perempuan tergantung bukan pada peran mereka sebagai ibu maupun pembatasan mereka pada lingkup domestik, melainkan pada apakah mereka menguasai pertama, akses pada sumber-sumber alam, kedua, kondisi dari kerja mereka, ketiga, distribusi dari kerja mereka untuk keluarga.

Berkaitan dengan perbedaan posisi ekonomi setiap individu dalam suatu keluarga atau rumah tangga, Joseph Pleck dalam Stichter (1990) berpendapat senada, bahwa di dalam interaksi keluarga-pekerjaan, perilaku individu dan kondisi psikologisnya dibentuk oleh peran-peran dan sekumpulan norma-norma yang merupakan lembaga-lembaga sosial. Seperangkat peran yang utama bagi individu yang menyangkut peran-peran pekerjaan dan peran-peran keluarga ini disebut sebagai sistem peranan pekerjaan keluarga (work-family role system).

Bagaimana relasi gender dalam keluarga dibangun? Dalam teori struktural-fungsional, peran masing-masing anggota keluarga sangat ditentukan oleh struktur kekuasaan laki-laki (ayah) sebagai kepala keluarga yang secara hierarkis memiliki kewenangan paling tinggi dalam keputusan-keputusan keluarga. Hierarki dilanjutkan pada perbedaan usia dan jenis kelamin anggota keluarga, misalnya saudara laki-laki memiliki struktur sosial lebih tinggi dibanding saudara perempuan. Relasi yang terbangun seringkali menempatkan seolah-olah laki-laki memiliki kemampuan/kekuasaan/kekuatan lebih besar dibanding anggota keluarga perempuan.

Teori struktural-fungsional Talcott Parsons tentang keluarga ini banyak mendapat kritikan para ilmuwan feminis, di mana keluarga adalah suatu struktur yang terdiri dari sub-substruktur, yang masing-masing substruktur mempunyai

(12)

fungsinya sendiri-sendiri. Masing-masing sub-substruktur tersebut, berdasarkan pada masing-masing fungsinya, saling terkait dan saling menunjang, sehingga merupakan suatu sistem. Jadi keluarga seperti suatu organisasi hidup, jika salah satu bagian atau substruktur tidak dapat menjalankan fungsinya, maka keluarga tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya. Anggota keluarga terdiri dari suami/ayah, istri/ibu, keduanya berperan sebagai orang tua, serta anak-anak baik laki-laki maupun perempuan. Masing-masing anggota keluarga, sesuai dengan statusnya, memiliki peran-peran yang fungsinya saling menunjang. Suami/ayah berperan instrumental, yaitu peran yang dikaitkan dengan keperkasaan, perlindungan; sedangkan istri/ibu berperan ekspresif, yaitu peran yang dikaitkan dengan kasih sayang, pelayanan, pengasuhan/pemeliharaan dan kedua peran tersebut saling mengisi dan menunjang.8 Dalam kenyataan hidup yang sebenarnya, peran yang saling menunjang (complementary roles) justru menjadikan hubungan sosial antar gender di dalam keluarga tidak seimbang, di mana perempuan sulit menggunakan kesempatan-kesempatan yang sudah diberikan, karena perannya tersebut. Banyak stereotype bahkan mitos yang sudah tertanam di masyarakat, misalnya tanggungjawab mutlak terhadap ekonomi keluarga hanya ada di tangan ayah/suami, sementara tanggungjawab domestik melulu tanggung jawab ibu/istri. Padahal, faktanya begitu banyak kaum perempuan (istri/ibu) yang mampu menjadi tulang punggung keluarga, secara mandiri menghidupi keluarganya dan lebih mampu bertahan dalam kesulitan ekonomi keluarga. Banyak pedagang perempuan di pasar-pasar tradisional, buruh pabrik perempuan yang secara tekun dan pantang menyerah, sampai pada profesi terhormat di masyarakat, mampu menjadi sumber ekonomi keluarga. Tetapi dalam tradisi di banyak daerah, peran perempuan dalam memperkuat ekonomi keluarga tersebut seringkali tidak diperhitungkan dan selalu dianggap sebagai pelengkap saja (pencari nafkah tambahan).

Jika diamati, pada saat krisis ekonomi terjadi, di mana banyak pekerja (laki-laki) yang terkena PHK, serta sulitnya mencari lapangan kerja baru membuat kaum perempuanlah yang bangkit menjadi pengganti peran pemenuhan kebutuhan keluarga. Di permukiman pinggiran kota, banyak kaum ibu yang berusaha membuka usaha kecil seperti warung, berjualan makanan/jajanan atau bekerja paruh waktu untuk tetap menjaga keberlangsungan hidup keluarga. Dan faktanya, peran itu telah memberikan kontribusi yang besar terhadap

8

Tapi Omas Ihromi, Kajian Wanita Dalam Pembangunan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), 113.

(13)

pemenuhan kebutuhan hidup keluarga. Artinya, bahwa peran yang dilekatkan pada perempuan sebagai kaum lemah dan hanya dibatasi pada peran-peran domestik (pengasuhan anak, mengurus rumah, dll.) tidak benar, karena baik laki-laki maupun perempuan, apabila diberi kesempatan yang setara dapat melakukan tugas yang sama pentingnya baik di dalam rumah (domestik) maupun di luar rumah (publik).

Berbeda dengan pendekatan teori struktural-fungsional yang menempatkan keluarga sebagai institusi dengan sistem struktur yang menempatkan kedudukan suami, istri, dan anak-anak pada posisi vertikal, sehingga peran, hak, kewajiban, tanggung jawab sangat ditentukan oleh hierarki patriakal. Sedangkan menurut teori sosial konflik, struktur yang vertikal tersebut sangat potensial untuk menimbulkan konflik berkepanjangan di dalam keluarga. Karena sistem struktur yang hierarkis seringkali menciptakan situasi yang tidak demokratis dimana pembagian sumberdaya yang terbatas (kekuasaan, kesempatan, keputusan-keputusan keluarga) berlaku mutlak tanpa proses negosiasi antaranggota keluarga.

Menurut Collins yang dikutip Megawangi (1999), bahwa keluarga yang ideal adalah yang berlandaskan companionship, yang hubungannya horizontal (tidak hierarkis). Model konflik memang tidak melihat kesatuan sebuah sistem, yang menurut model struktural-fungsional adalah aspek utama untuk solidnya sebuah masyarakat, tetapi lebih memfokuskan pada adanya konflik antarindividu, kelas atau kelompok. Konflik ini tentunya dianggap akan membawa perubahan, bahkan kehancuran sistem tersebut. Pada proses selanjutnya, pendekatan sosial-konflik lebih menegaskan bahkan menumbuhkan kesadaran masing-masing individu akan perbedaannya serta bagaimana perbedaan tersebut menjadi sebuah sinergi/harmoni sehingga perubahan-perubahan yang lebih baik dapat terjadi di dalam keluarga.9

Pemahaman tentang perbedaan biologis, aspirasi, kebutuhan, kemampuan masing-masing anggota keluarga seharusnya dapat ditanamkan sejak sebuah keluarga terbentuk. Sistem patriarkal yang memposisikan fungsi-fungsi di dalam keluarga didasarkan pada struktur yang kaku serta memiliki hierarki kekuasaan yang terlalu membatasi adanya peran partisipatif antar anggota keluarga telah menyebabkan terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan. Relasi gender dalam keluarga dapat dibangun jika masing-masing individu saling memahami

9

Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi

(14)

perbedaan dan kebutuhan yang dimiliki serta mampu memberikan kesempatan yang seimbang tanpa membeda-bedakan peran gender.

Duvall (1967) menyebut pola hubungan suami-istri dalam keluarga yang institusional sebagai pola yang otoriter, sedangkan pola hubungan suami-istri dalam keluarga yang companionship sebagai pola yang demokratis. Perubahan tersebut terjadi karena adanya perubahan social dalam masyarakat dan keluarga menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Dengan begitu keluarga bisa tetap bertahan. Pola hubungan yang otoriter menunjukkan pola hubungan yang kaku. Sebaliknya, dalam pola yang demokratis hubungan suami-istri menjadi lebih lentur. Pada pola yang kaku, seorang istri yang baik adalah istri yang melayani suami dan anakanaknya. Sedangkan pada pola yang lentur, istri yang baik adalah pribadi yang melihat dirinya sebagai pribadi yang berkembang terus.

Banyak stereotype bahkan mitos yang sudah tertanam di masyarakat, misalnya tanggungjawab mutlak terhadap ekonomi keluarga hanya ada di tangan ayah/suami, sementara tanggungjawab domestik melulu tanggung jawab ibu/istri. Padahal, faktanya begitu banyak kaum perempuan (istri/ibu) yang mampu menjadi tulang punggung keluarga, secara mandiri menghidupi keluarganya dan lebih mampu bertahan dalam kesulitan ekonomi keluarga. Banyak pedagang perempuan di pasar-pasar tradisional, buruh pabrik perempuan yang secara tekun dan pantang menyerah, sampai pada profesi terhormat di masyarakat, mampu menjadi sumber ekonomi keluarga. Tetapi dalam tradisi di banyak daerah, peran perempuan dalam memperkuat ekonomi keluarga tersebut seringkali tidak diperhitungkan dan selalu dianggap sebagai pelengkap saja (pencari nafkah tambahan).

Persepsi seperti itu tidak saja mengesampingkan peran perempuan dalam keluarga tetapi di sisi lain membebani kaum laki-laki dengan tanggung jawab mutlak terhadap ekonomi keluarga. Atau sebaliknya, karena peran mutlak yang dibebankan kepada suami/ayah sebagai pencari nafkah, sehingga peran lain seperti pengasuhan dan pendidikan anak, serta peran-peran domestik lainnya menjadi peran mutlak ibu/istri. Kesetaraan gender dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga maupun masyarakat sehingga tidak ada peran-peran yang dilabelkan mutlak milik laki-laki saja atau milik perempuan saja.

Perempuan dan Ekonomi

(15)

kegiatan ekonomi karena, pertama, adanya perubahan pandangan dan sikap masyarakat tentang sama pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan dan pria, serta makin disadarinya perlunya kaum perempuan ikut berpartisipasi dalam pembangunan; kedua, adanya kemauan perempuan untuk bermandiri dalam bidang ekonomi yaitu berusaha membiayai kebutuhan hidupnya dan mungkin juga kebutuhan hidup dari orang-orang yang menjadi tanggungannya dengan penghasilan sendiri. Kemungkinan lain yang menyebabkan peningkatan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja adalah makin luasnya kesempatan kerja yang bisa menyerap pekerja perempuan, misalnya munculnya kerajinan tangan dan industri ringan.

Berkaitan dengan perbedaan posisi ekonomi setiap individu dalam suatu keluarga atau rumah tangga, Joseph Pleck dalam Stichter (1990) berpendapat senada, bahwa di dalam interaksi keluarga-pekerjaan, perilaku individu, dan kondisi psikologisnya dibentuk oleh peran-peran dan sekumpulan norma-norma yang merupakan lembaga-lembaga sosial. Seperangkat peran yang utama bagi individu yang menyangkut peran-peran pekerjaan dan peran-peran keluarga ini disebut sebagai sistem peranan pekerjaan keluarga (work-family role system).

Menurut Collins yang dikutip Megawangi (1999), bahwa keluarga yang ideal adalah yang berlandaskan companionship, yang hubungannya horizontal (tidak hierarkis). Model konflik memang tidak melihat kesatuan sebuah sistem, yang menurut model struktural-fungsional adalah aspek utama untuk solidnya sebuah masyarakat, tetapi lebih memfokuskan pada adanya konflik antarindividu, kelas atau kelompok. Konflik ini tentunya dianggap akan membawa perubahan, bahkan kehancuran sistem tersebut. Pada proses selanjutnya, pendekatan sosial-konflik lebih menegaskan bahkan menumbuhkan kesadaran masing-masing individu akan perbedaannya serta bagaimana perbedaan tersebut menjadi sebuah sinergi/harmoni sehingga perubahan-perubahan yang lebih baik dapat terjadi di dalam keluarga.10

Pemahaman tentang perbedaan biologis, aspirasi, kebutuhan, kemampuan masing-masing anggota keluarga seharusnya dapat ditanamkan sejak sebuah keluarga terbentuk. Sistem patriarkal yang memposisikan fungsi-fungsi di dalam keluarga didasarkan pada struktur yang kaku serta memiliki hierarki kekuasaan yang terlalu membatasi adanya peran partisipatif antar anggota keluarga telah menyebabkan terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan. Relasi gender dalam

10

Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi

(16)

keluarga dapat dibangun jika masing-masing individu saling memahami perbedaan dan kebutuhan yang dimiliki serta mampu memberikan kesempatan yang seimbang tanpa membeda-bedakan peran gender.

Kesetaraan gender dalam segala aspek kehidupan termasuk kehidupan keluarga, didasarkan pada adanya perbedaan biologis, aspirasi, kebutuhan masing-masing individu sehingga pada setiap peran yang dilakukan akan memiliki perbedaan. Kesetaraan gender juga tidak berarti menempatkan segala sesuatu harus sama, tetapi lebih pada pembiasaan yang didasarkan pada kebutuhan spesifik masing-masing anggota keluarga. Kesetaraan gender dalam keluarga mengisyaratkan adanya keseimbangan dalam pembagian peran antar anggota keluarga sehingga tidak ada salah satu yang dirugikan. Dengan demikian, tujuan serta fungsi keluarga sebagai institusi pertama yang bertanggung jawab dalam pembentukan manusia yang berkualitas dapat tercapai.

Harvard Framework (Analisis Harvard)

Dalam menunjang kelengkapan data terkait fokus yang diteliti, penelitian ini juga akan menggunakan analisis Harvard. Kerangka Analisis Harvard, disebut juga Kerangka Analisis Peran Gender, adalah kerangka analisis gender yang dikembangkan oleh Harvard Institute for International Development, AS yang bekerjasama dengan USAid dan dipublikasikan tahun 1985 pada saat dimana sangat populer “pendekatan efisiensi” di era Perempuan dalam Pembangunan

(Women in Development).

Tujuan dari kerangka analisis gender ini adalah untuk menunjukkan bahwa ada persoalan ekonomi dalam alokasi sumberdaya baik bagi perempuan maupun laki-laki. Alat ini bertujuan untuk menolong para perencana program mendesain program atau proyek lebih efisien dan meningkatkan produktivitas secara keseluruhan yaitu dengan melakukan pemetaan peran dan sumber-sumber daya yang dimiliki perempuan dan laki-laki dalam komunitas dan dengan memberikan perhatian khusus pada perbedaan utamanya masing-masing.

Kerangka Analisis Harvard memakai matriks utuk pengumpulan data pada level mikro (level komunitas dan rumah tangga). Kerangka analisis gender Harvard lebih concern dengan membuat pembagian kerja gender (division of

labour), peran dalam pengambilan keputusan, tingkat kontrol atas sumberdaya

yang kelihatan. Sebagai konsep dan alat, ini dibutuhkan data detail bagi perencanaan gender. Implikasi perencanaan program terhadap gender

(17)

perempuan adalah diperlukan analisis yang menutupi jarak (gaps) pada level beban kerja, pengambilan keputusan dan sebagainya antara perempuan dan laki-laki. Tiga data utama yang diperlukan:

1. Siapa melakukan apa, kapan, di mana, dan berapa banyak alokasi waktu yang diperlukan? Hal ini dikenal sebagai “Profil Aktifitas”.

2. Siapa yang memiliki akses dan kontrol (seperti pembuatan kebijakan) atas sumber daya tertentu? Hal ini kerap dikenal dengan “Profil Akses dan Kontrol” Siapa yang memeliki akses dan kontrol atas “benefit” seperti produksi pangan, uang dsb?

3. Faktor yang mempengaruhi perbedaan dalam pembagian kerja berbasis gender, serta akses dan kontrol yang ada pada “profil aktifitas” dan “profil akses dan kontrol”.

Tujuan dari alat analisis ini adalah:

1. Membedah alokasi sumberdaya ekonomis terhadap laki-laki dan perempuan. 2. Membantu perencana proyek untuk lebih efisien dan meningkatan

produtifitas secara keseluruhan.

Tabel 2. Alat Profil Aktifitas

Aktifitas Perempuan Laki-laki

Aktifitas produksi 1. Pertanian 2. Livelihood 3. Pekerjaan 4. Peternakan 5. Perikanan 6. Dsb V V V V V V V V V V Aktifitas reproduksi 1. Mengambil air 2. Pemenuhan energi KK 3. Penyiapan makanan 4. Menjaga anak 5. Kesehatan 6. Membersihkan rumah V V V V V V V V V V V

(18)

7. Memperbaiki rumah

8. Belanja/jual di/ke Pasar

Catatan atau parameter lainnya perlu juga dilihat namun bergantung dari konteks:

1. Gender dan dominasi umur: indetifikasi yang lebih jelas soal perempuan dewasa, laki-laki dewasa, anak-anak, dan/atau orang tua yang melakukan aktifitas tertentu.

2. Alokasi waktu: perlu dihitung prosentasi alokasi waktu untuk tiap aktifitas dan apakah dilakukan secara harian atau kadang-kadang?

3. Lokus aktifitas: perlu dilihat secara jeli di mana suatu kegiatan dilakukan supaya bisa melihat peta mobilitas penduduk.

Tabel 3. Profil Akses dan Kontrol Atas Sumber Daya dan Benefit

Akses Kontrol

Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Sumber daya 1. Tanah 2. Alat produksi 3. Tenaga kerja 4. Cash/uang 5. Pendidikan 6. Pelatihan 7. Tabungan 8. Dll Benefit 1. Aset kepemilikan 2. Non pendapatan 3. Kebutuhan dasar 4. Pendidikan 5. Kekuasaan politis 6. Dll

(19)

Tabel 4. Faktor Saling Pengaruh antara “Profil Aktifitas” dan “Profil Akses dan Kontrol”

Faktor Pengaruh Hambatan

(constraints)

Kesempatan (opportunities) Norma-norma dan hierarki

sosial Faktor demografi Struktur kelembagaan Faktor ekonomi Faktor politik Parameter hukum Training

Sikap komunitas terhadap pihak luar spt LSM? Dll

Kekuatan/keutamaan dari Kerangka Harvard:

1. Praktis dan mudah digunakan khususnya pada analisis mikro yakni level komunitas dan keluarga

2. Berguna untuk baseline informasi yang detail

3. Fokus pada hal-hal yang kasat mata, fakta objektif, fokus pada perbedaan gender dan bukan pada kesenjangan

4. Mudah dikomunikasikan pada pemula/awam. Keterbatasan dari Kerangka Harvard:

1. Tidak ada fokus pada dinamika relasi kuasa dan kesenjangan (inequality) 2. Tidak efektif untuk sumberdaya yang tidak kasat mata seperti jaringan sosial

dan sosial kapital

3. Terlalu menyederhanakan relasi gender yang kompleks, kehilangan aspek negosiasi, tawar-menawar dan pembagian peran

Pola Relasi Gender dan Kehidupan Sosial Buruh Tani Perempuan

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Aminah, diperoleh keterangan bahwa memang banyak keluarga-keluarga menengah ke bawah yang sangat menggantungkan keberlangsungan ekonominya pada perempuan. Terdapat pergeseran nilai-nilai budaya, bahwa peran ekonomi adalah seharusnya di pundak laki-laki, namun kenyataannya, dalam ketidakberdayaannya laki-laki

(20)

mengizinkan dan mendukung perempuan/istrinya untuk bekerja di luar rumah. Berikut hasil wawancara tersebut:

“Suami saya mengizinkan saya bekerja, ia percaya saya di luar rumah bekerja jadi buruh adalah untuk keluarga. Karena desakan kebutuhan sehari-hari, suami saya mendukung dan menyuruh saya mencari tambahan penghasilan. Saya berangkat jam 5.30 pagi dan sampai rumah jam 16.00 sore. Bayaran saya Rp. 40.000,00 satu harinya, dibayarkan setiap akhir kerja. Kalau setengah hari ya, hanya Rp. 20.000,00. Suami saya kadang memberi uang, kadang tidak, karena uang hasil kerjanya sehari-hari sudah ia belanjakan langsung untuk beli beras, meski sering tak cukup. Gaji saya juga sering tak bisa utuh di akhir minggu, karena setiap hari sepulang kerja saya ngebon (baca: pinjam dulu) ke penjual sayur dan lauk. Sepulang kerja saya mengerjakan pekerjaan rumah, beres-beres, masak untuk makan malam dan persiapan besok paginya. Mencuci pakaian saya kerjakan hari Rabu dan Minggu saja. Capek juga, tapi bagaimana lagi,…. Kalau tidak

saya siapa lagi.”11

Pada kesempatan lain, peneliti mewawancarai Ibu Saida, 38 tahun, istri dari Bapak Rochim, 42 tahun. Pertanyaan peneliti kepadanya adalah mengenai pembagian kerja di rumah, perhatian suami pada istri dan anak-anak, suasana saat harus duduk bersama membicarakan persoalan/hal penting di rumah. Berikut ini hasil wawancara tersebut:

“Bapaknya anak-anak mau bantu-bantu pekerjaan rumah, tapi ya hanya sekedarnya, tidak banyak yang dilakukan, misalnya menata perabot, atau mengangkat jemuran kalau hujan. Urusan masak, menyapu, mencuci, membereskan meja makan dan anak-anak tetap harus saya. Apalagi kalau ada pakaian yang harus disetrika, pasti saya. Bapaknya lebih suka mengatur tanaman dan bercocok tanam. Seringkali membantu anak menyiapkan peralatan sekolahnya. Suami saya perhatian ke saya dan anak-anak… Sesekali kami duduk bersama sambil nonton TV. Ketika ada persoalan penting selalu kita bicarakan dulu..meskipun sering kali tidak sepaham. Seringkali juga pada akhirnya suami mengambil keputusan sendiri, karena tidak sepaham dengan saya. Ya sudahlah…. Biar laki-laki yang

memutuskan.”12

Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pola relasi gender

11

Wawancara dengan Bu Aminah pada tanggal 12 September 2017

12

(21)

dalam keluarga buruh perempuan bersifat tidak seimbang atau asimetris. Dapat terlihat dari aktivitas setiap hari yang dilakukan oleh laki-laki (suami) dan perempuan (istri). Meskipun perempuan kini sudah bisa bekerja mendapatkan penghasilan, namun setiap harinya pekerjaan kerumah tanggaan seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah dan merawat anak masih tetap dilakukan oleh buruh perempuan. Dalam pemanfaatan pendapatan, selalu diutamakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga terlebih dulu, sehingga buruh perempuan tidak bisa mengakses dan mengontrol pendapatan untuk kebutuhannya sendiri. Demikian halnya dalam proses pengambilan keputusan keluarga, buruh perempuan lebih menuruti perkataan dari suami.

Hasil observasi di atas sesuai dengan upaya membedah alokasi sumberdaya ekonomis terhadap laki-laki dan perempuan pada Analisis Harvard berikut ini:

Tabel 5. Alat Profil Aktifitas

Aktifitas Perempuan Laki-laki

Aktifitas produksi 1. Pertanian 2. Livelihood 3. Pekerjaan 4. Peternakan 5. Perikanan 6. Berdagang V V V V V V V V V V V V Aktifitas reproduksi 1. Mengambil air 2. Pemenuhan energi KK 3. Penyiapan makanan 4. Menjaga anak 5. Kesehatan 6. Membersihkan rumah 7. Memperbaiki rumah 8. Belanja/jual di/ke Pasar

V V V V V V V V V

Hambatan bagi terwujudnya kesetaraan antara perempuan dan laki-laki lebih banyak disebabkan oleh kesenjangan perempuan dan laki-laki yang

(22)

dikonstruksikan oleh masyarakat. Kesenjangan relasi tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor sejarah, budaya, ekonomi dan agama yang mengakar sangat kuat secara turun temurun di kalangan masyarakat. Kenyataan seperti inilah yang berdampak pada aktivitas perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari. Peran Buruh Tani Perempuan dalam Perekonomian Keluarga

Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa perempuan buruh tani di Desa Panti Jember, dalam penelitian ini berstatus sebagai ibu rumah tangga atau sudah berkeluarga, maka dari sisi ekonomi tentu saja berhubungan dengan perekonomian keluarganya. Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa buruh perempuan tersubordinasi di dalam keluarga. Namun, mereka tetap mencari pendapatan di luar rumah untuk mempertahankan hidup keluarganya. Berbagai aktivitas mencari pendapatan dan memutuskan untuk bekerja pada saat krisis ekonomi, merupakan wujud dari peran perempuan yang sangat strategis dalam keluarga.

Terdapat beberapa hasil wawancara yang menunjukkan bahwa buruh tani perempuan ini bekerja untuk menopang ekonomi keluarganya yang memang sangat kurang apabila hanya mengandalkan gaji atau penghasilan suami, diantaranya adalah wawancara dengan Ibu Asmah, 39 tahun, dari Desa Panti Jember berikut ini:

“Pekerjaan suami saya itu tidak tetap, bisa dibilang pekerja serabutan, jadi penghasilan juga tidak bisa tetap… kadang bisa ada sisa sedikit untuk ditabung, tapi kadang harus mengambil semua tabungan karena tak cukup bila harus membelikan peralatan sekolah anak. Apalagi sekarang tidak ada lahan pertanian yang harus digarap, suami saya hanya mengolah lahan sedikit di pekarangan rumah. Waktu saya belum bekerja, untuk membeli lauk seringkali kurang, jadi makan seadanya…. yang penting ada nasi. Maka itu, ketika ada tetangga mengajak saya untuk bekerja jadi buruh tani,

saya mau dan semangat sekali.”13

Perempuan dalam sebuah keluarga adalah sosok unik yang bukan saja secara kodrati mampu mengandung dan melahirkan anak, tetapi juga dengan ikhlas dan tulus merawat, mengasuh, dan mendidik anak-anak hingga menjadi orang yang berguna dan mandiri. Sosok perempuan pula yang senantiasa melindungi anak ketika dalam bahaya. Menjadi teman bermain dan bercanda. Dengan penuh rasa cinta, seorang perempuan selalu menghibur anak ketika

13

(23)

sedih dan merasa putus asa. Dengan telaten, perempuan/ibu selalu memberi semangat hidup pada anak dan selalu mendoakan agar kelak anaknya menjadi “orang” dan dapat hidup dengan layak.

Kehidupan sehari-hari perempuan berada dalam suatu konteks beban ganda. Beban untuk memberikan pengasuhan yang tidak dibayar dalam pelayanan-pelayanan dalam pekerjaan rumahtangga, serta beban untuk memberikan kelangsungan hidup perekonomian melalui kerja upahan, memberikan norma bagi perempuan. Kemampuan ekonomi perempuan tergantung pada kesempatan-kesempatan dalam hidupnya untuk berpartisipasi dalam angkatan kerja, tempat ia dapat menghasilkan upah yang cukup, karena tak setuju dengan penghasilan keluarga yang kurang mencukupi.

Peran ganda yang dilakukan kaum buruh tani perempuan dari Desa Panti Jember ini mencerminkan betapa besarnya pengorbanan mereka untuk keluarga. Di satu sisi, selaku ibu rumah tangga mereka disibukkan dengan mengurus rumah tangga (mencuci, memasak, mengurus suami dan anak-anak). Sebagai buruh tani, mereka akan menghabiskan waktu minimal 7-8 jam perhari untuk melakukan tugas pekerjaannya di sawah/ladang, yakni dari pagi hari sampai sore hari. Hal ini mengakibatkan berkurangnya waktu untuk berkumpul dengan keluarga serta mengurus rumah tangga. Kondisi yang demikian berdampak terhadap keharmonisan keluarga serta pendidikan anak menjadi terabaikan. Terdapat fungsi ekonomi pada perempuan, bahkan tidak sedikit pula perempuan yang memiliki penghasilan lebih besar dari suaminya, bahwa perempuan-perempuan sekarang ini telah menjadi penyangga kedua ekonomi keluarganya. Pengaruh/Pergeseran Budaya dalam Dinamika Kehidupan Sosial Ekonomi Buruh Tani Perempuan

Terkait pengaruh atau bahkan kemungkinan adanya pergeseran budaya berhubungan dengan perbedaan posisi ekonomi setiap individu dalam suatu keluarga atau rumah tangga. Pendapat Joseph Pleck bahwa di dalam interaksi keluarga-pekerjaan, perilaku individu, dan kondisi psikologisnya dibentuk oleh peran-peran dan sekumpulan norma-norma yang merupakan lembaga-lembaga sosial. Seperangkat peran yang utama bagi individu yang menyangkut peran-peran pekerjaan dan peran-peran-peran-peran keluarga ini disebut sebagai sistem peran-peranan pekerjaan keluarga (work-family role system).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Aminah, diperoleh keterangan bahwa memang banyak keluarga-keluarga menengah ke bawah yang sangat

(24)

menggantungkan keberlangsungan ekonominya pada perempuan. Terdapat pergeseran nilai-nilai budaya, bahwa peran ekonomi adalah seharusnya di pundak laki-laki, namun kenyataannya, dalam ketidakberdayaan laki-laki mengizinkan/menyuruh dan juga mendukung perempuan/istrinya untuk bekerja diluar rumah. Berikut hasil wawancara tersebut:

“Suami saya mengizinkan saya bekerja, ia percaya saya di luar rumah bekerja jadi buruh adalah untuk keluarga. Karena desakan kebutuhan sehari-hari, suami saya mendukung dan menyuruh saya mencari tambahan penghasilan. Saya berangkat jam 5.30 pagi dan sampai rumah jam 16.00 sore. Bayaran saya Rp. 40.000,00 satu harinya, dibayarkan setiap akhir kerja. Kalau setengah hari ya, hanya Rp. 20.000,00. Suami saya kadang memberi uang, kadang tidak, karena uang hasil kerjanya sehari-hari sudah

ia belanjakan langsung untuk beli beras, meski sering tak cukup.”14

Terdapat pergeseran nilai-nilai budaya, bahwa peran ekonomi adalah seharusnya di pundak laki-laki, namun kenyataannya, dalam ketidakberdayaannya laki-laki mengizinkan dan mendukung perempuan/ istrinya untuk bekerja di luar rumah. Buruh tani perempuan tersubordinasi di dalam keluarga. Namun, mereka tetap mencari pendapatan di luar rumah untuk mempertahankan hidup keluarganya.

KESIMPULAN

Perempuan telah menjadi faktor yang amat penting dalam ekonomi rumah tangga, terutama pada saat laki-laki „kehilangan‟ kesempatan terlibat didalamnya akibat segmentasi pasar tenaga kerja. Ada beberapa kendala yang dihadapi oleh buruh tani perempuan dalam keluarga, suatu persoalan yang muncul akibat keterlibatan mereka bekerja di luar rumah. Terkait dengan hal ini, relasi laki-laki dan perempuan ternyata tidak hanya menjadi masalah di tempat kerja, tetapi justru di dalam rumah pun masalah dapat timbul karena peran ekonomi misalnya. Bila hal ini terjadi, rumah dimana perempuan seyogyanya mendapat kebahagiaan akhirnya berubah menjadi „dunia lain‟ bagi perempuan sendiri, padahal satu kaki perempuan sudah terlanjur berada di luar rumah.

Berdasarkan kenyataan obyektif, buruh tani perempuan mengalami status subordinasi berganda. Di satu pihak dalam lingkup masyarakat kerjanya buruh perempuan bersama buruh laki-laki adalah alat produksi untuk menghasilkan

14

(25)

produk. Di pihak lain, buruh perempuan mengalami diskriminasi berganda akibat status gender perempuannya. Buruh perempuan dicitrakan sebagai buruh ideal yang terampil, rajin, teliti, patuh, dan murah. Disamping itu, buruh tani perempuan dianggap berbahagia dengan kesempatan kerja yang diperolehnya, sehingga mereka menjadi buruh yang mudah diatur dan tidak banyak menuntut. Citra semacam itu sudah menjadi mitos dan dimanfaatkan dengan baik oleh pihak yang memiliki kepentingan. Dengan kata lain, buruh perempuan termarginalisasi di tempat kerja dan tersubordinasi di dalam keluarga.

Berbeda dengan pendekatan teori struktural-fungsional yang menempatkan keluarga sebagai institusi dengan sistem struktur yang menempatkan kedudukan suami, istri, dan anak-anak pada posisi vertikal, sehingga peran, hak, kewajiban, tanggung jawab sangat ditentukan oleh hierarki patriakal. Sedangkan menurut teori sosial konflik, struktur yang vertikal tersebut sangat potensial untuk menimbulkan konflik berkepanjangan di dalam keluarga. Karena sistem struktur yang hierarkis seringkali menciptakan situasi yang tidak demokratis dimana pembagian sumberdaya yang terbatas (kekuasaan, kesempatan, keputusan-keputusan keluarga) berlaku mutlak pada laki-laki tanpa proses negosiasi antaranggota keluarga.

Kenyataan bahwa desakan kebutuhan sehari-hari, para suami mendukung dan menyuruh para istri (buruh tani perempuan) untuk mencari tambahan penghasilan. Fakta tersebut menunjukkan bahwa terdapat pergeseran nilai-nilai budaya, bahwa peran ekonomi adalah seharusnya dipundak laki-laki, namun kenyataannya, dalam ketidakberdayaan laki-laki mengizinkan dan mendukung perempuan/istrinya untuk bekerja diluar rumah. Buruh tani perempuan tersubordinasi di dalam keluarga. Namun, mereka tetap mencari pendapatan di luar rumah untuk mempertahankan hidup keluarganya. Di daerah penelitian kaum perempuan mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan juga berperan sebagai pencari nafkah. Dengan demikian, wanita ibu rumah tangga di daerah tersebut berperan ganda. Terjadi perubahan peran perempuan dalam bidang ekonomi yang sebelumnya berperan sebagai ibu rumah tangga, namun karena tuntutan ekonomi menjadi buruh perempuam dengan tetap tidak melupakan pekerjaan seputar rumah tangga.

Apabila ada cinta dalam perkawinan, Akan ada suasana harmoni dalam keluarga, Ketika suasana harmoni tercipta dalam rumah, Maka ada kedamaian dalam masyarakat, Apabila ada kedamaian dalam masyarakat,

(26)

Maka akan tercipta kemakmuran dalam negara, Apabila ada kemakmuran dalam negara,

(27)

DAFTAR PUSTAKA

Adisu, Editus & Jehani, Libertus. 2007. Hak-Hak Pekerja Perempuan. Ciganjur: Visi Media.

Astuti, Indah. 2010. Relasi Gender Pada Keluarga Perempuan Pedagang Di

Pasar Klewer Kota Surakarta. Surakarta: Program Sarjana Universitas

Sebelas Maret.

Fakih, Mansour. 2003. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gandhi, Mahatma. 2002. Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hayat, Edi dan Surur Maifhahus. 2005. Perempuan Multikultural: Negosiasi dan

Representasi. Jakarta: Penerbit Desantara.

Ihromi, T.O., 1995. Kajian Wanita Dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Ihromi, Tapi Omas. 2000. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita. Bandung: Alumni.

Irwan, Alex. 1999. Perisai Perempuan: Kesepakatan Internasional Untuk

Perlindungan Perempuan. Jakarta: LBH APIK & Ford Foundation.

Kertjasungkawa, Nursyahbani, dkk. 2001. Potret Perempuan, Tinjauan Politik,

Ekonomi, Hukum, di Zaman Orde Baru.

Megawangi, Ratna. 1999. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang

Relasi Gender. Penerbit Mijan: Bandung.

Moleong, Lexy J, M.A. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Mulyana, Deddy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Paradigma Baru Ilmu

Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Strategi Pengarusutamaannya di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nurhaeni, Ismi Dwi Astuti. 2009. Kebijakan Politik Pro Gender. Surakarta: UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press).

Prayitno, Iwan. 2003. Wanita Islam Perubah Bangsa. Jakarta: Pustaka Tarbiatuna.

(28)

Yogyakarta: Tiara Wacana.

Subadio, Maria Ulfah. 1994. Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Susanti, Erma. 2005. Berperan Tapi Dipinggirkan: Wajah Perempuan dalam

Ekonomi. Konsorsium Swara Perempuan (KSP) dan The Ford

Foundation. Jakarta.

Wahyulina, Sri. 2009. Kehidupan Buruh Perempuan dan Strategi Pertahanan Hidup dalam Krisis Ekonomi: Studi Kasus pada PT. Tesa di Mataram,

Provinsi Nusa Tenggara Barat. Diakses melalui

http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=73408&lok asi=local

WOMEN RESEARCH INSTITUTE (WRI). 2009. Buruh Perempuan dalam

Gambar

Tabel 1. Perbedaan Gender dan Jenis Kelamin  GENDER
Tabel 2. Alat Profil Aktifitas
Tabel 3. Profil Akses dan Kontrol Atas Sumber Daya dan Benefit
Tabel 4. Faktor Saling Pengaruh antara “Profil Aktifitas” dan “Profil Akses dan  Kontrol”
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pa& umur 1 BSP tinggi bibit kopi antar perlakuan pupuk organik tid& berbeda satu dengan lainnya, sedangkan pada umur 3 BSP, bibit yang diberi EMAS + % d.p.a

Macam media tanam berbeda sangat nyata terhadap luas daun, panjang akar dan berbeda nyata pada variabel berat kering akar serta berbeda tidak nyata pada variabel

Profitabilitas yang tinggi akan memberikan gambaran kepada investor bahwa perusahaan tersebut telah bekerja dengan baik dalam menghasilkan laba sehingga dapat meningkatkan

Penulis mengambil fokus mengenai Sumber Daya Manusia yang sesuai dengan tempat Internship yaitu divisi Training and Educational Program di fungsi Pertamina Corporate University,

Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa hasil pengujian golongan senyawa metabolit sekunder pada ekstrak etanol biji buah A.integer (Thunb) Merr)

Sebaiknya pemerintah harus lebih sering melakukan sosialisasi kepada masyarakat sekitar hutan, terutama pada kawasan gambut dan lahan gambut yang rawan akan

Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul pengaruh person organization fit dan motivasi terhadap kinerja karyawan pada karyawan koperasi

Tu’u (2004: 32) mengemukakan bahwa kedisiplinan belajar merupakan jalan bagi siswa untuk sukses dalam belajar dan kelak ketika bekerja. Lebih lanjut Tu’u menjelaskan bahwa