• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal luas sebagai bangsa yang terdiri dari sekitar 300. bergerak maju dan membaur bersama etnis lainnya di Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal luas sebagai bangsa yang terdiri dari sekitar 300. bergerak maju dan membaur bersama etnis lainnya di Indonesia."

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia dikenal luas sebagai bangsa yang terdiri dari sekitar 300 suku bangsa yang masing-masing memiliki identitas kebudayaan sendiri. Penduduk Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki daerah asal dan kebudayaannya sendiri dan telah berakar semenjak berpuluh-puluh tahun yang silam. Banyaknya suku bangsa di Indonesia saat ini telah bertambah satu, yaitu dengan diakuinya etnis Tionghoa sebagai salah satu etnis di Indonesia.

Perkembangan yang sangat baik adalah dengan adanya pengakuan dan pembauran etnis Tionghoa yang kini lebih terasa nyata. Pengakuan etnis ini secara resmi diberlakukan sejak pemerintahan Presiden Gus Dur. Hal ini memberi angin segar bagi seluruh warga Tionghoa di Indonesia, terutama kebebasan mereka dalam merayakan tahun baru Imlek dengan lebih leluasa. Tahun baru Imlek pun sudah menjadi libur nasional pada saat itu. Dengan adanya pengakuan inilah etnis Tionghoa semakin memiliki keberanian untuk bergerak maju dan membaur bersama etnis lainnya di Indonesia.

Bukti bahwa mulai membaurnya etnis ini dengan masyarakat Indonesia lainnya dapat kita lihat dari beberapa acara di televisi, seperti ajang Indonesian Idol, beberapa peserta seperti Delon dan Helena terlihat jelas dari etnis ini dan mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia. Bahkan beberapa waktu lalu, salah satu stasiun televisi swasta di

(2)

Indonesia baru saja menggelar ajang penyanyi bahasa Mandarin yang kontestannya sebagian besar berasal dari etnis Tionghoa. Dari sinilah terpancar bahwa adanya kerjasama yang dijalin antar etnis. Dan faktor ini akan semakin memperkuat keberadaan etnis Tionghoa di negara Indonesia.

Sebelum masa reformasi representasi terhadap etnis ini seringkali tidak seimbang, mereka banyak direpresentasikan sebagai orang sukses, pelit, eksklusif dan kaya. Hal ini menunjukkan seakan-akan ada suatu perbedaan yang sangat besar dengan etnis lain di Indonesia.

Representasi etnis Tionghoa yang berbicara mengenai cerita-cerita tradisional, sebagian besar dapat dilihat dalam sinema Indonesia, seperti film Sam Pek Eng Tay (1931), Gadis Jang Terdjoeal (1937), Oh Iboe (1938), Penjelundup (1952), dan Di Balik Awan (1963). Setelah tahun 1966, representasi etnis Tionghoa dalam sinema Indonesia semakin mengecil. Representasi etnis, apalagi etnis Tionghoa merupakan hal yang sangat sensitif di Indonesia. Film pertama pada masa Orde Baru yang dengan terbuka mengungkap representasi Tionghoa adalah film Kisah Fanny Tan (1971), kemudian diikuti oleh film Ca Bau Kan yaitu film pertama yang mengangkat etnis Tionghoa ke layar pasca-1998 dan film Gie (2005). Lalu film yang terakhir yaitu Berbagi Suami (2005) yang menggunakan karakter Tionghoa secara tipikal.

Banyaknya representasi etnis Tionghoa yang diangkat dalam sinema Indonesia, membuat pihak media massa lainnya untuk ikut berpartisipasi dalam merepresentasikan etnis Tionghoa dalam masyarakat Indonesia hingga saat ini. Hal ini dapat dilihat dari munculnya novel-novel Indonesia

(3)

dengan tema kaum keturunan Tionghoa sejak tahun 1960-an sampai 1990-an. Saat itu novel-novel tersebut lebih banyak membahas isu-isu diskriminasi antara pribumi dan non pribumi.

Tetapi pada kenyataannya, saat ini sudah banyak pencitraan yang telah dilakukan media massa tentang keadilan ras dan etnis Tionghoa. Kehadiran etnis Tionghoa di media elektronik dan cetak secara sukarela dan setara dengan etnis lain akan sangat membantu apresiasi masyarakat Indonesia terhadap etnis itu sendiri. Hal inilah yang telah dilakukan oleh Clara Ng, seorang novelis Indonesia keturunan Tionghoa. Ia mencoba untuk membeberkan persoalan seputar kaum keturunan Tionghoa tanpa prasangka melalui novelnya Dimsum Terakhir. Clara Ng ingin memberikan suatu wacana yang secara dinamis dibagi bersama dalam masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu novel Dimsum Terakhir lahir menjadi potret utuh kehidupan sebuah keluarga modern dengan segala persoalannya. Konflik-konflik antarsaudara (kembar) meluncur karena perbedaan karakter di antara mereka. Meski tidak adanya perbandingan antara hitam-putih, Clara Ng membuat satu deskripsi yang detail dari sisi fisik hingga perilaku tokoh-tokohnya.

Setiap media memiliki cara tersendiri dalam merepresentasikan sebuah isu yang kemudian akan ditampilkan dalam teks-teks berita. Rangkaian kata demi kata, kalimat demi kalimat pada teks akan membentuk pengertian sendiri di benak pembaca. Media memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia yang berperan untuk mengkonstruksi nilai dan sikap masyarakat terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Begitu kuatnya

(4)

pengaruh media terhadap pengetahuan manusia maka baik itu karena kebutuhan maupun kewajiban, manusia tetap akan dihadapkan dengan isi media.

Novel sebagai salah satu karya jurnalisme sastra, memiliki pandangan subjektif yang berasal dari pengarangnya sendiri. Clara Ng memiliki gaya penulisan yang tentu saja berbeda dengan novelis lain yang juga banyak merepresentasikan kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Clara Ng menulis untuk memberikan sudut pandang baru, pencerahan, dan cara berpikir yang kreatif buat pembaca, agar setiap pembaca yang selesai membaca karyanya dapat terhibur dan terinspirasi.

Kehidupan berbangsa bukan sesuatu yang mudah apalagi dalam bangsa multikultur, karena itu sikap untuk membiarkan semuanya akan berjalan sendiri, bukan sesuatu yang bijaksana. Kemauan untuk terus belajar menjadi bangsa harus dimiliki seluruh komponen di negeri ini.

Hal yang sangat menarik di sini adalah bahwa novel ini tidak lagi bercerita tentang tuntutan bagaimana seorang Tionghoa ingin diperlakukan, tetapi lebih memfokuskan kepada bagaimana warga Tionghoa mampu menghadapi kesulitan-kesulitan mereka sebelum era reformasi, bahwa bagaimana kepercayaan yang akhirnya muncul sebagai sebuah masalah baru bagi seorang keturunan Tionghoa. Hal-hal seperti ini tidak biasanya dipublikasikan secara luas dalam media. Oleh karena hal tersebut masalah ini menjadi menarik untuk diteliti. Bahwa tata bahasa yang digunakan dalam novel Dimsum Terakhir ini apakah dapat merepresentasikan bagaimana kehidupan sebuah keluarga keturunan Tionghoa dalam menghadapi segala

(5)

macam bentuk konflik dalam kehidupan mereka. Atas dasar inilah peneliti ingin melakukan penelitian mengenai representasi etnis Tionghoa dalam novel Dimsum Terakhir di mana suatu gambaran sekelompok individu minoritas yang tidak lagi mempermasalahkan identitas mereka.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah etnis Tionghoa direpresentasikan dalam novel Dimsum Terakhir?”

1.3 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah ditujukan agar ruang lingkup dapat lebih jelas, terarah sehingga tidak mengaburkan penelitian. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah:

1. Penelitian akan dilakukan terhadap novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng.

2. Fokus penelitian adalah pada level teks untuk mencari makna yang ada di balik penyajian tata bahasa tersebut.

3. Penelitian ini tidak membahas lebih jauh ke masalah kognisi sosial dan konteks sosial di balik teks tersebut.

(6)

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1 Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana wacana yang dipakai dalam menyampaikan representasi etnis Tionghoa.

2. Untuk mengetahui makna yang terkandung dari setiap teks.

3. Untuk mengetahui nilai-nilai ideologi penulis dalam menyajikan ceritanya.

1.4.2 Manfaat penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah penelitian tentang media, khususnya tentang kajian media yang diteliti dengan analisis wacana.

2. Secara praktis, hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca agar lebih kritis terhadap informasi yang disajikan media. 3. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada

Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan.

1.5 Kerangka Teori

Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun, 1995:37). Maka teori berguna untuk kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang

(7)

menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti (Nawawi, 1991:40).

Teori oleh Kerlinger diartikan sebagai himpunan konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menyebarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena tertentu (Rakhmat, 2000:6). Teori yang relevan dengan penelitian ini adalah :

1.5.1 Jurnalisme Baru dan Jurnalisme Sastra

Sejalan dengan berkembangnya kehidupan pers di Indonesia khususnya dan di dunia umumnya muncul pula teori-teori jurnalistik yang mendasari perkembangan pers, di antaranya yang terpenting adalah munculnya suatu teori jurnalistik yang disebut jurnalistik baru.

Menurut JB Wahyudi, jurnalistik baru dikembangkan pada tahun 1970-an oleh Paul Williams, seorang perintis laporan investigatif atau investigative reporting. Ia juga seorang pendiri Perkumpulan Wartawan dan Editor yang melakukan upaya pemasyarakatan laporan investigatif di Indianapolis Amerika Serikat pada tahun 1976.

Sesuai dengan namanya sebagai jurnalistik baru, maka jenis jurnalistik ini berbeda dengan gaya jurnalistik lama. Jurnalistik lama bersifat linier, yaitu satu referensi saja. Dalam memberitakan suatu peristiwa hanya menginformasikan peristiwa itu saja tanpa berusaha membandingkan dengan peristiwa yang sama yang terjadi di tempat yang lain dan waktu yang lain.

(8)

Sementara jurnalistik baru beritanya multilinier, yaitu selain menggunakan referensi pokok, yaitu kejadiannya, juga dilengkapi dengan referensi-referensi lain, seperti wawancara dengan orang yang mengetahui kejadian itu, kliping surat kabar, majalah, buku dan sebagainya, sehingga beritanya jauh lebih lengkap daripada berita yang ditulis dengan gaya jurnalistik lama.

Kemudian wartawan dituntut menulis dengan gaya jurnalistik baru, karena khalayak saat ini selain ingin mengetahui suatu kejadian, juga menginginkan kaitannya dengan peristiwa lain yang relevan dan kecenderungannya. Lalu perkembangan teknologi informasi saat ini memungkinkan suatu kejadian atau pendapat dapat diketahui dengan cepat dan lengkap, sehingga menuntut wartawan mencari kaitan peristiwa satu sama lain atau memberitakan satu jenis peristiwa yang terjadi di banyak tempat pada waktu yang sama.

Jurnalistik baru juga dikembangkan karena kalau wartawan hanya menulis apa yang terjadi di permukaan atau mudah terlihat, maka hampir pasti berita suatu media massa akan sama dengan berita media massa lain, seperti antara berita satu surat kabar dengan surat kabar lain atau satu stasiun televisi dengan stasiun televisi lain atau satu radio dengan radio lain dan sebagainya. Kalau berita-berita di semua media massa itu sama, maka tidak ada daya tariknya. Karena itu, wartawan harus melakukan penggalian suatu kejadian agar beritanya berbeda dengan berita di media massa lain, sehingga memiliki kelebihan dan daya tarik tersendiri.

(9)

1.5.2 Teori Komunikasi Antarbudaya

Definisi komunikasi antarbudaya menurut Samovar dan Porter (1972) bahwa komunikasi antarbudaya terjadi jika bagian yang terlibat dalam kegiatan komunikasi tersebut membawa serta latar belakang budaya pengalaman yang berbeda yang mencerminkan nilai yang dianut oleh kelompoknya berupa pengalaman, pengetahuan, dan nilai (intercultural communication obtains whenever the parties to a communications act to bring with them different experiential backgrounds that reflect a long-standing deposit of group experience, knowledge, and values).

Dari pengertian komunikasi antarbudaya tersebut menerangkan bahwa ada penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi antarbudaya. Komunikasi antar budaya memang mengakui dan mengurusi permasalahan mengenai persamaan dan perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antar pelaku-pelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya tetap terhadap proses komunikasi individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan interaksi.

Komunikasi dan budaya yang mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya, seperti yang dikatakan Edward T.Hall, bahwa ‘komunikasi adalah budaya’ dan ‘budaya adalah komunikasi’. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal,

(10)

dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.

Kebudayaan dari unit sosial apapun selalu berubah dengan berjalannya waktu. Masing-masing orang terlibat dalam sejumlah hubungan, kelompok atau organisasi. Setiap kali seseorang berhubungan dengan orang lain, maka ia membawa serta kebudayaan dari kelompoknya sebagai latar belakang. Dan apabila sebagai individu ia berubah, maka perubahan itu sedikit banyak akan berdampak pada kebudayaan kelompoknya. Dalam hal ini ia bertindak sebagai pembaharu kebudayaan. Perubahan dapat berlangsung secara wajar, alami, evolusioner, secara perlahan-lahan, tetapi dapat juga secara revolusioner dan disengaja. Juga pandangan terhadap perubahan kebudayaan bisa berbeda-beda, ada yang memang mengijinkan, tetapi ada pula yang menentang. Sebagian orang akan menilai negatif pemasukan kebudayaan asing yang dapat membawa dampak “melting pot” pada masyarakat atau pengaburan perbedaan-perbedaan antara kelompok-kelompok masyarakat. Mereka melihat proses tersebut dapat mengancam identitas dan khas kelompok-kelompok. Maka dalam hal ini komunikasi antar budaya ditentang secara aktif.

1.5.3 Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana adalah salah satu dari analisis isi selain analisis isi kuantitatif yang dominan dan banyak dipakai. Kalau analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan “apa” (what), analisis wacana lebih

(11)

melihat pada “bagaimana” (how) dari pesan atau teks komunikasi. Lewat analisis wacana kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, frasa, kalimat, metafora macam apa suatu berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 2001:15).

Ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana menurut Eriyanto (2001:4-6), pertama positivisme-empiris yang melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas.

Kedua disebut konstruktivisme yang memandang bahasa diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna dari sang pembicara. Bahasa tidak lagi dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka. Konstruktivis menganggap subjek adalah faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya.

Pandangan ketiga disebut pandangan kritis. Pandangan ini menyempurnakan pandangan konstruktivis yang masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu

(12)

berikut perilakunya. Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis konstruktivis.

Analisis wacana paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa di sini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Tetapi merupakan representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu maupun strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang harus dipakai dan topik apa yang dibicarakan.

Dalam Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis/CDA), wacana di sini tidak dipahami sebagai studi bahasa. Bahasa di sini dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Artinya, bahasa dipakai untuk tujuan dan praktek tertentu termasuk di dalamnya praktek kekuasaan dalam melihat ketimpangan yang terjadi.

1.5.4 Representasi

Representasi biasanya dipahami sebagai gambaran sesuatu yang akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to present”, “to image”, atau “to depict”. Kedua, gambaran politis hadir untuk merepresentasikan kepada kita. Kedua ide ini berdiri bersama untuk menjelaskan gagasan mengenai representasi.

(13)

Representasi adalah sebuah cara dimana memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan. Konsep lama mengenai representasi ini didasarkan pada premis bahwa ada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antara makna yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya digambarkan. Hal ini terjadi antara representasi dan benda yang digambarkan.

Berlawanan dengan pemahaman standar itu, Stuart Hall berargumentasi bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia. “So the representation is the way in which meaning is somehow given to the things which are depicted through the images or whatever it is, on screens or the words on a page which stands for what we’re talking about.”

Hall menunjukkan bahwa sebuah imaji akan mempunyai makna yang berbeda dan tidak ada garansi bahwa imaji akan berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Hall menyebutkan “Representasi sebagai konstitutif”. Representasi tidak hadir sampai setelah selesai direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah kejadian. Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian. Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstitutif darinya.

Menurut John Fiske, saat menampilkan objek, peristiwa, gagasan, kelompok, atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang dihadapi oleh wartawan. Pada level pertama, adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas. Pada level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana realitas itu digambarkan.

(14)

Pada level ketiga, bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Menurut Fiske, ketika kita melakukan representasi tidak bisa dihindari kemungkinan menggunakan ideologi tersebut.

1.5.5 Ideologi

Sebuah teks, kata Aart Van Zoest, tidak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi (Van Zoest, 1991: 70 dalam Sobur, 2004: 60). Setiap makna memiliki kecenderungan ideologi tertentu. Ideologi sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya (Sudibyo, 2001:12).

Dalam pengertian yang paling umum, ideologi adalah pikiran yang terorganisir, yakni nilai, orientasi dan kecenderungan yang saling melengkapi sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang diungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antarpribadi. Ideologi dipengaruhi oleh asal-usulnya, asosiasi kelembagaannya dan tujuannya, meskipun sejarah dan hubungan-hubungan ini tidak pernah jelas seluruhnya (Lull, 1998: 1).

Raymond William (Eriyanto, 2001: 87) mengklasifikasikan penggunaan ideologi dalam tiga ranah. Pertama, sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atas kelas tertentu. Definisi ini terutama dipakai oleh kalangan psikologi yang melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk yang koheren. Meskipun

(15)

ideologi di sini tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri individu itu sendiri, melainkan diterima dari masyarakat.

Kedua, sebuah sistem kepercayaan yang dibuat - ide palsu atau kesadaran palsu yang bisa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu di mana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain yang tidak dominan. Ideologi bekerja dengan membuat hubungan-hubungan sosial yang tampak nyata, wajar dan alamiah dan tanpa sadar kita menerima sebagai kebenaran.

Ketiga, proses umum produksi makna dan ide. Ideologi di sini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Berita secara tidak sengaja merupakan gambaran dari ideologi tertentu.

Asal mula ideologi sebagai sebuah konsep kritis dalam teori sosial dapat ditelusuri ke Perancis akhir abad ke-18. Sejak saat itu ideologi menurut definisi manapun, menjadi perhatian utama para sejarawan, kritikus sastra, filsuf, ahli semiotika, ahli retorika, yang dapat mewakili semua bidang dalam ilmu humaniora dan sosial (Lull, 1998: 2).

Menurut Sukarna (Sobur, 2004: 64) secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Greek, terdiri dari idea dan logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat. Idea dalam Webster’s New Colligiate Dictionary berarti “something existing in the mind as the result of the formulation of an opinion, a plan or the like (sesuatu yang ada di dalam pikiran atau rencana). Sedangkan logis berasal dari kata logos yang berarti word. Kata ini dari kata legein berarti to speak (berbicara). Selanjutnya kata logia berarti science

(16)

(pengetahuan/teori). Jadi ideologi menurut arti kata adalah pengucapan dari yang terlihat atau pengutaraan apa yang terumus dalam pikiran sebagai hasil dari pemikiran.

Sejumlah perangkat ideologi diangkat dan diperkuat oleh media massa, diberikan legitimasi oleh mereka dan didistribusikan secara persuasif, sering dengan menyolok, kepada khalayak yang besar jumlahnya.

1.5.6 Analisis Wacana Teun A. van Dijk

Model ini sering disebut sebagai kognisi sosial, menurut van Dijk penelitian atas wacana tidak cukup jika didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus diamati. Perlu dilihat bagaimana sesuatu teks diproduksi sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa seperti itu (Eriyanto, 2001:222).

Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari proses produksi berita yang melibatkan kognisi individu dari wartawan. Sedangkan konteks sosial mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah (Eriyanto, 2001:224).

Teks bukan sesuatu yang datang dari langit, bukan juga dari suatu ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi teks dibentuk dalam suatu praktek diskursus. Van Dijk tidak hanya membongkar teks semata, tapi ia melihat juga bagaimana struktur sosial, dominasi dan kelompok kekuasaan yang ada

(17)

dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks tersebut. Wacana oleh van Dijk dibentuk oleh tiga dimensi: teks, kognisi sosial dan konteks sosial.

Analisis wacana menekankan bahwa wacana adalah juga bentuk interaksi. Menurut van Dijk, sebuah wacana berfungsi sebagai suatu pernyataan (assertion), pertanyaan (question), tuduhan (accusation), atau ancaman (threat). Wacana juga dapat digunakan untuk mendiskriminasi atau mempersuasi orang lain untuk melakukan diskriminasi. Dalam wicara atau percakapan (conversation), bentuk-bentuk wacana interaksional juga relevan untuk dianalisis.

1.6 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah memakai model dari analisis wacana Teun A. van Dijk.

Van Dijk menganalisis pada tiga tahap, yaitu teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Penelitian ini hanya membahas pada tahap teks. Analisis teks van Dijk dibagi pada tiga level, yaitu :

1. Struktur Makro merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita.

(18)

2. Superstruktur merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke dalam berita secara utuh.

3. Struktur Mikro merupakan makna wacana yang dapat diamati dan bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar.

1.7 Operasionalisasi Konsep

Menurut van Dijk, meskipun terdiri atas berbagai elemen, semua elemen tersebut merupakan satu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka teks dan pada akhirnya pilihan kata dan kalimat yang dipakai. Menurut Littlejohn (Eriyanto, 2001:226) antara bagian teks dalam model van Dijk dilihat saling mendukung, mengandung arti yang koheren satu sama lain. Hal ini karena semua teks dipandang van Dijk mempunyai suatu aturan yang dapat dilihat sebagai suatu piramida. Prinsip ini untuk mengamati bagaimana suatu teks terbangun lewat elemen-elemen yang lebih kecil. Berikut akan diuraikan satu per satu elemen wacana van Dijk tersebut:

1. Tematik

Menunjukkan gambaran umum dari suatu teks. Bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks.

(19)

2. Skematik

Teks atau wacana mempunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga terbentuk suatu kesatuan arti. 3. Latar

Latar merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi semantik (arti) yang ingin ditampilkan. Latar belakang peristiwa menentukan ke arah mana pandangan khalayak hendak dibawa. 4. Detil

Berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang untuk melakukan penonjolan dan menciptakan citra tertentu dan mengekspresikan sikapnya secara implisit.

5. Maksud

Menunjukkan bagaimana wartawan secara eksplisit menonjolkan kebenaran tertentu dan secara implisit mengaburkan kebenaran lain.

6. Koherensi

Adalah pertalian atau jalinan antar kata dan kalimat dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren.

7. Koherensi Kondisional

Ditandai dengan pemakaian tanda kalimat dengan jelas. Ada tidaknya anak kalimat tidak mempengaruhi arti.

(20)

8. Koherensi Pembeda

Berhubungan dengan bagaimana dua peristiwa atau fakta itu hendak dibedakan. Dua buah peristiwa dapat dibuat saling bertentangan dan berseberangan. Perlu diketahui bagian mana yang diperbandingkan dan dengan cara apa perbandingan itu dilakukan. 9. Pengingkaran

Bagaimana wartawan menyembunyikan apa yang akan diekspresikan secara implisit.

10. Bentuk Kalimat

Merupakan segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis, prinsip kausalitas. Bentuk kalimat ini tidak hanya persoalan teknis di ketatabahasaan tapi menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat itu.

11. Kata Ganti

Elemen ini untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat untuk menunjukkan dimana posisi seseorang dalam wacana.

12. Leksikon

Elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Pilihan kata-kata yang dipakai menunjukkan sikap dan ideologi tertentu.

(21)

13. Praanggapan

Merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya.

14. Grafis

Merupakan bagian untuk memeriksa bagian yang ditekankan atau ditonjolkan. Dapat diamati beberapa bagian yang dibedakan dari tulisan lain.

15. Metafora

Penyampaian pesan melalui kiasan, ungkapan, metafora sebagai ornamen dari suatu berita yang dapat menjadi petunjuk utama untuk mengerti makna suatu teks.

1.8 Metodologi Penelitian

1.8.1 Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma kritis, yakni salah satu cara pandang dalam menganalisis media. Dikategorikan dalam penelitian interpretatif dan bersifat subjektif. Metode penelitian ini memakai pisau analisis wacana versi Teun A. van Dijk pada level teks.

Pada level teks ini terdapat tiga lapis yaitu makro, superstruktur, dan mikro. Dengan analisis wacana model van Dijk ini akan mengungkapkan bagaimana penggunaan bahasa digunakan untuk membentuk realitas media.

(22)

1.8.2 Subjek Penelitian

Yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah seluruh isi cerita yang terdapat dalam novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng, yang dibagi dalam 16 bab cerita. Terdiri atas 368 halaman, tebal buku 20 cm. Penelitian ini menggunakan novel cetakan pertama, April 2006 yang diterbitkan oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

1.8.3 Unit dan Level Analisis

Unit yang akan dianalisis adalah teks dari seluruh isi cerita dalam novel. Analisis hanya dilakukan pada level teks saja. Bagaimana strategi tekstual yang dipakai untuk memarginalkan suatu kelompok, gagasan atau peristiwa tertentu. Jika digambarkan maka struktur teks adalah sebagai berikut :

Struktur Makro

Makna global dari suatu teks yang diamati dari topik atau tema yang

diangkat dari suatu teks

Super Struktur

Kerangka dari suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan

kesimpulan

Struktur Mikro

Makna lokal dari suatu teks yang diamati dari pilihan kata, kalimat, dan

gaya yang dipakai oleh suatu teks.

(23)

1.8.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:

a. Data Primer, yaitu di mana data unit analisa dari teks-teks yang tertulis pada novel Dimsum Terakhir.

b. Data Sekunder, yaitu melalui penelitian kepustakaan (library research), dengan cara mengumpulkan literatur serta berbagai sumber bacaan yang relevan dan mendukung penelitian.

c. Wawancara terhadap pengarang novel Dimsum Terakhir via e-mail.

1.8.5 Teknik Analisis Data

Analisis data menunjukkan kegiatan penyederhanaan data ke dalam susunan tertentu yang lebih dibaca dan diinterpretasikan. Penelitian ini menganalisis teks pada novel Dimsum Terakhir dengan menggunakan Analisis Wacana. Sebelumnya teks akan ditabulasikan terlebih dahulu dalam sebuah tabel, kemudian dianalisis dengan kerangka analisis wacana Teun A. van Dijk, untuk kemudian data disederhanakan lagi ke dalam tabel.

(24)

Struktur Wacana van Dijk

STRUKTUR WACANA

HAL YANG DIAMATI ELEMEN

Struktur Makro Tematik

Tema atau topik yang dikedepankan dalam suatu berita

Topik

Superstruktur Skematik

Bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan dalam teks berita utuh

Skema

Struktur Mikro Semantik

Makna yang ingin ditekankan dalam teks berita. Misalnya dengan memberi detil pada satu sisi atau membuat eksplisit pada satu sisi atau

membuat eksplisit pada satu sisi dan mengurangi detil sisi lain

Latar, detil, maksud, praanggapan,

nominalisasi

Struktur Mikro Sintaksis

Bagaimana kalimat (bentuk, susunan) yang dipilih

bentuk kalimat, koherensi, kata ganti.

Struktur Mikro Stilistik

Bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita

Leksikon

Struktur Mikro Retoris

Bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan

Grafis, metafora, ekspresi

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rangka kegiatan Sertifikasi Guru dalam Jabatan Tahun 2012 untuk guru-guru di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Panitia Sertifikasi Guru Rayon 115 UM

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ketahanan bakteri Staphylococcus sciuri terhadap senyawa antimikrobial yang terkandung dalam jahe, kunyit, kencur,

Pengaruh proteksi protein ampas kecap dengan tanin terhadap konsentrasi amonia, produksi protein total dan persentase rumen undegraded dietary protein secara in

Berdasarkan hasil pembahasan di atas, mengenai analisis pengaruh pelayanan puskesmas dan kinerja pegawai terhadap kepuasan pelanggan di Puskesmas Dinoyo Kota

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian atas kejadian-kejadian yang ada dalam masyarakat kita dan sekaligus menuangkannya kedalam

Secara Praktis penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan masukan bagi aparat penegak hukum, khususnya petugas LPKA dan masyarakat pada umumnya mengenai perlakuan atau

Dimensi teks ini dibagi menjadi tiga bagian; struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. Struktur makro merupakan makna menyeluruh dari suatu teks yang dapat diamati

Namun disadari bahwa dalam upaya mencapai harapan tersebut, Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber daya Kelautan dan Perikanan dihadapkan pada beberapa