5.1 Tata Guna Lahan Pertanian dan Pola Penyemprotan Insektisida
Dalam penelitian ini diambil tanah dari dua jenis pertanian yang berbeda yaitu pertanian organik dan non-organik. Perbedaan dari kedua jenis pertanian ini adalah dari penggunaan insektisida. Tanah pertanian non-organik menggunakan insektisida organofosfat dan tanah dari pertanian organik akan dijadikan sebagai pembanding dalam analisis karena dalam tanah organik residu insektisida organofosfat tidak terdeteksi.
Daerah studi yang pertama yang terletak di Daerah Sukapura. Daerah ini merupakan tanah yang disewakan kepada petani dengan periode tertentu sehingga penggarapan tanahnya akan berbeda-beda. Hal ini akan mengakibatkan pola pemakaian insektisida yang berbeda-beda pula. Para petani cenderung untuk mengganti-ganti jenis insektisida yang dipakainya agar tidak terjadi resistensi terhadap salah satu jenis insektisida.
Penggunaan insektisida untuk pertanian di Desa Sukapura didominasi oleh jenis organofosfat yaitu profenofos dengan merk dagang Curacron, klorpirifos dengan merk dagang Dursban, dan diazinon dengan merek dagang Basudin, namun jenis diazinon ini sudah tidak dipergunakan lagi sekarang. Jenis, dosis, dan periode penyemprotan insektisida dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jenis tanaman, kondisi hama dan tanaman, musim kemarau dan hujan, serta daya beli petani yang bersangkutan.
Perioda penyemprotan yang dilakukan oleh petani di daerah ini memiliki kecenderungan yang sama dimana pada musim hujan penyemprotan dilakukan antara 3-5 hari sekali dan pada musim kemarau penyemprotan dilakukan antara 5-8 hari sekali. Penggunaan pestisida pada musim kemarau lebih sedikit dibandingkan dengan musim hujan. Hal ini dapat dikarenakan pada musim hujan insektisida yang disemprotkan terbilas dan terlindikan ke dalam tanah, sedangkan
pada musim kemarau frekuensi turunnya hujan sangat rendah sehingga pembilasan oleh air hujan jarang terjadi. Selain itu apabila penanaman pada musim kemarau dianggap kurang menguntungkan dan ketersediaan air cukup rendah, maka petani pada umumnya tidak akan melakukan penyemprotan. Periode penyemprotan dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Periode penyemprotan dan data penyemprotan terakhir
pada tanah non-organik Periode Penyemprotan rata-rata Titik sampling Jenis Tanaman Hujan Kemarau Penyemprotan terakhir
A Kol 1 x 5 hari 1x 10 hari 5 hari B buncis 1x 5 hari 1x 10 hari 4 hari C wortel 1 x 3 hari 1 x 5-7 hari 2 hari D C Bawang
daun
1 x 5 hari 1 x 5-7 hari 3 hari
E Kacang merah
1 x 3 hari 1 x 5-7 hari 2 hari
F Jagung 1 x 7 hari 1 x 15 hari 6 hari G Kentang 1 x 3 hari 1 x 5 hari 2 hari
Untuk mendapatkan dosis formulasi penyemprotan senyawa insektisida dilakukan suatu pendekatan dimana petani menggunakan ukuran lokal seperti tutup botol, drum, maupun tangki penyemprot pestisida. Untuk tutup botol Curacron (profenofos) memiliki volume ± 6,6 ml, Dursban (klorpirifos) ± 8,75 ml, drum memiliki volume ± 20 L, dan tangki penyemprot memiliki volume ± 18 L. Dari jumlah tutup botol yang dicampur dengan satu drum/tangki penyemprot, dapat dihitung dosis formulasi insektisida profenofos dan klorpirifos per liter air. berdasarkan keterangan para petani, rata-rata dosis penyemprotan berkisar 1-1,5 mL/L untuk profenofos dan 1,5-2 mL/L untuk klorpirifos.
Tata guna lahan daerah studi yang menggunakan insektisida organofosfat yang berada di Desa Sukapura, Kecamatan Kertasari dapat dilihat pada Gambar 5.1. Tata guna lahan di daerah ini didominasi dengan tanaman daun bawang dan tanaman lainnya seperti kacang merah, jagung, wortel, kol, kentang dan buncis.
Gambar 5.1 Tataguna Lahan Desa Sukapura, Kecamatan Kertasari, Kabupaten
Bandung
Daerah pengambilan titik sampling yang lainnya yaitu pada daerah pertanian organik di Cisarua Bogor. Pertanian organik ini diterapkan karena kekhawatiran terhadap pengaruh buruk bagi kesehatan dan keseimbangan lingkungan. Daerah ini tidak menggunakan insektisida sintetis untuk mengatasi masalah hama tanaman. Usaha pencegahan serangan hama tanaman pada pertanian organik dilakukan dengan prinsip tidak menekan secara drastis hama tanaman, namun dengan cara memelihara keseimbangan hama tanaman pada batas tertentu. Kegiatan mencegah serangan hama tanaman lebih diutamakan dalam pertanian organik. Upaya pencegahan peningkatan intensitas serangan hama tanaman dalam pertanian organik dengan menerapkan metoda rotasi dan kombinasi tanaman. Sebagaimana umumnya, pemeliharaan tanaman tentunya tidak lepas dari gangguan organisme penggangu tanaman, seperti hama, penyakit, maupun gulma. Untuk mengatasi gangguan tersebut, pertanian organik tidak menggunakan
insektisida sintetis melainkan dengan menerapkan teknik budidaya yang baik, seperti pemilihan bibit berkualitas, pemupukan berimbang, penerapan pengelolaan hama terpadu dan pengaturan pola tanam (Pracaya, 2003). Tata guna lahan pada pertanian organik dapat dilihat pada Gambar 5.2.
Gambar 5.2 Tataguna Lahan Pertanian Organik
5.2 Karakteristik Kimia Dan Fisika Tanah
Tanah terdiri atas susunan yang sangat kompleks kondisi ini akan mempengaruhi hal-hal yang terjadi didalam tanah seperti kemampuannya untuk mendegradasi kontaminan yang terpapar. Dalam penelitian ini, sifat fisik dan kimia tanah yang dianalisis adalah derajat keasaman (pH) dan temperatur, sedangkan sifat fisik udara yang dianalisis adalah temperatur. Sifat-sifat ini akan mempengaruhi perilaku atau nasib insektisida di dalam tanah dan keberadaan mikroorganisme didalamnya. Jenis tanah dalam penelitian ini berasal dari dua lokasi yang berbeda, namun memiliki jenis tanah yang sama yaitu tanah andosol. Sifat fisik tanah dan
kadar air pada saat pengambilan sampel dapat dilihat pada Tabel 5.2, Tabel 5.3, Tabel 5.4, dan Tabel 5.5.
Tabel 5.2 Sifat Fisik Tanah dan Udara Pada Saat Sampling Pada tanah
Non-organik
Tanah
pH
Temperatur (oC)
Sampel Jenis Tanaman 1 2 1 2
Temp udara (oC) A Kol 6,0 6,2 22 22 28,0 B Buncis 6,4 6,2 23 22 33,0 C Wortel 6,0 6,2 23 23 32,5 D Daun bawang 6,0 6,0 24 24 31,6 E Kacang merah 5,8 6,0 24 24 34,4 F Jagung 6,2 6,4 24 25 33,9 G Kentang 5,6 5,6 25 25 32,6
Tabel 5.3 Kadar Air Tanah pada Tanah Non-organik
Sampel Jenis Tanaman Kadar air dalam tanah (%)
A kol 36,49 B buncis 39,28 C wortel 34,66 D daun bawang 34,21 E kacang merah 37,93 F jagung 37,92 G kentang 33,89
Tabel 5.4 Sifat Fisik Tanah dan Udara Pada Saat Sampling Pada tanah Organik
Tanah pH Temperatur (oC) Sampel Jenis Tanaman 1 2 1 2 Temp udara (oC) 1 Jagung 6,4 6,2 22 22 31,4 2 Wortel 6,1 6,2 22 23 31,6 3 Daun bawang 6,0 6,0 24 25 30,4 4 Kol 6,0 6,2 21 22 29,8 5 Buncis 6,4 6,2 24 23 28,6
Tabel 5.5 Kadar Air Tanah Pada Tanah Organik
Sampel Jenis Tanaman Kadar air dalam tanah (%)
1 jagung 35,33
2 wortel 36,24
3 daun bawang 34,21
4 kol 36,22
5 buncis 40,21
Proses degradasi insektisida dapat dipengaruhi oleh pH, temperatur serta kadar air pada tanah melalui proses hidrolisis. pH berkaitan erat dengan proses degradasi insektisida dalam tanah. Pada umumnya, laju degradasi insektisida organofosfat akan semakin lambat seiring punurunan nilai pH. Nilai pH tanah lokasi sampling berada pada kisaran 5,6-6,4 (agak asam). Hal ini akan menghambat degradasi senyawa organofosfat yang berada pada tanah sehingga waktu paruh akan semakin besar. Untuk klorpiripos pada kisaran pH antara 5,8-6,4 proses hidrolisis akan terjadi dengan waktu paruh antara 24-62 hari, untuk profenofos pada rentang pH tersebut hidrolisis terjadi dengan waktu paruh antara 72 hari sedangkan untuk diazinon berkisar antara 8-35 hari.
Sama halnya dengan pH, temperatur tanah juga berkaitan erat dengan proses biodegradasi insektisida dalam tanah. Jenis mikroorganisme yang dapat hidup dalam tanah sangat dipengaruhi oleh temperatur tanah. Temperatur tanah di lokasi sampling berada pada kisaran 20-25oC. Sementara itu temperatur udara akan mempangaruhi proses penguapan insektisida yang terjadi. Pada temperatur udara yang lebih tinggi, penguapan insektisida yang terdapat di permukaan tanah akan semakin cepat.
Kadar air pada tanah berkaitan erat dengan proses hidrolisis senyawa organofosfat yang terjadi. Peningkatan kadar air akan mempercepat proses hidrolisis. Nilai kadar air yang diperiksa berada pada kisaran 34– 40 %.
5.3 Residu Insektisida Organofosfat
Setelah dilakukan ekstraksi dan analisis gas kromatografi didapatkan jenis insektisida organofosfat yang terdeteksi pada sampel pada Desa Sukapura adalah
klorpirifos, profenofos, dan diazinon. Hal ini sesuai dengan jenis insektisida dominan yang disemprotkan oleh para petani yaitu profenofos (nama dagang: Curacron), klorpirifos (nama dagang: Dursban), dan diazinon (nama dagang: Basudin). Sementara itu, pada sampel tanah dari pertanian organik tidak ditemukan senyawa organofosfat terkandung dalam tanahnya. Konsentrasi Insektisida organofosfat dalam tanah dapat dilihat pada Tabel 5.6 dan Tabel 5.7
Tabel 5.6 Konsentrasi Residu Insektisida Organofosfat dalam Tanah Non-organik Sampel Klorpirifos (ppm) Profenofos (ppm) Diazinon (ppm) A 0,013 0,028 0,001 B 0,022 0,011 0,008 C 0,015 0,2 0,002 D 0,009 0,013 td E 0,023 0,18 td F 0,004 0,029 td G 0,014 0,07 0,002
Keterangan: td = Tidak terdeteksi
Tabel 5.7 Konsentrasi Residu Insektisida Organofosfat dalam Tanah Organik Sampel Klorpirifos Profenofos Diazinon
1 td td td
2 td td td
3 td td td
4 td td td
5 td td td
0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 konsentrasi (ppm)
kol buncis wortel daun bawang kacang merah jagung kentang Jenis Tanaman diazinon (ppm) profenofos (ppm) klorpirifos (ppm)
Gambar 5.3 Konsentrasi residu organofosfat dalam tanah non-organik
Fate insektisida dalam tanah ditentukan oleh sifat fisika dan kimianya. Klorpirifos memiliki sifat yang relatif volatile, sehingga residu klorpirifos di permukaan tanah akan lebih sedikit. Residu diazion ditemukan sangat rendah karena diazinon merupakan senyawa yang sangat mudah untuk terdegradasi dalam tanah dibandingkan senyawa organofosfat lainnya. Residu profenofos merupakan senyawa yang paling banyak ditemukan di tanah. hal ini dikarenakan para petani umumnya menggunakan insektisida ini ataupun dari sifat profenofos yang cenderung lebih persisten di tanah. Pola penggunaan dari insektisida tergantung pada jenis tanamannya juga.
5.3.1 Residu Insektisida Klorpirifos
Insektisida klorpirifos paling sering digunakan untuk tanaman jenis kacang-kacangan. Jenis tanaman akan mempengaruhi jumlah residu yang berada didalam tanah karena kerentanannya terhadap hama berbeda-beda dan juga bentuk dari tanaman itu sendiri akan mengakibatkan perbedaan jatuhnya residu ke tanah. Nilai konsentrasi tertinggi klorpirifos sebesar 0,23 ppm terdapat pada titik E tanah tersebut ditanami tanaman kacang merah, sementara nilai residu insektisida terendah adalah sebesar 0,004 ppm yang terdapat pada titik F dimana tanah
tersebut ditanami jagung (gambar 5.4). Jagung merupakan tanaman yang relatif jarang diberikan penyemprotan insektisida karena kerentanannya terhadap serangga pengganggu. Gambar konsentrasi residu klorpirifos didalam tanah dapat dilihat pada Gambar 5.4.
0 0.005 0.01 0.015 0.02 0.025 jagung daun baw ang
kol kentang w ortel buncis kacang merah jenis tanam an k ons e nt ra s i ( ppm)
Gambar 5.4 konsentrasi residu Klorfiripos dalam tanah non-organik
Degradasi klorpirifos terjadi akibat beberapa proses, yakni volatilisasi, fotolisis, dan biodegradasi. Klorpirifos karakteristiknya non-polar sehingga sukar larut dalam air, dan memiliki Kads pada tanah yang relatif tinggi (teradsorpsi dengan baik), oleh karena itu hidrolisis tidak banyak berpengaruh terhadap degradasi klorpirifos. Dari Gambar 5.4 dapat dilihat bahwa konsentrasi residu klorpirifos di permukaan tanah memiliki kisaran antara 0,004-0,023 ppm.
Faktor penting dalam mempengaruhi degradasi klorpirifos bukanlah proses hidrolisis, fotolisis, dan volatilisasi melainkan aktivitas biologi (US EPA, 2000). Klorpirifos termasuk jenis insektisida yang persisten di dalam tanah dengan waktu paruh 60-180 hari, dan dapat bertahan hingga 12 bulan. Klorpirifos relatif stabil dalam keadaan asam namun dapat terhidrolisis saat berada di keadaan basa.
5.3.2 Residu Insektisida Profenofos
Residu profenofos terendah adalah sebesar 0.011 ppm (titik B) dan tertinggi adalah sebesar 0.2 (titik C). Tanah yang di tanami oleh tanaman wortel merupakan
tanah yang memiliki residu profenofos tertinggi dimana tanaman ini merupakan salah satu tanaman yang paling sering disemprot dengan profenofos karena sifatnya yang rentan terhadap hama. Gambar konsentrasi residu profenofos didalam tanah dapat dilihat pada Gambar 5.5.
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 buncis daun baw ang
kol jagung kentang kacang merah w ortel jenis tanam an ko n sen tr asi ( p p m )
Gambar 5.5 Konsentrasi residu profenofos dalam tanah non-organik
Hampir setiap hari turun hujan dengan intensitas yang tinggi pada saat pengambilan sampel di Desa Sukapura, hal ini akan mengakibatkan profenofos larut dan terbawa dalam air hujan. Sifat profenofos yang cepat menguap, juga dapat menyebabkan kandungan profenofos pada permukaan ikut menguap. Daun bawang merupakan tanaman yang paling banyak ditanam di daerah ini karena selain menguntungkan waktu tanamnya juga relatif singkat. Residu profenofos akan langsung jatuh kedalam tanah karena tanaman daun bawang ini tidak tinggi dan daunnya tidak lebar sehingga pada saat disemprotkannya profenofos pada tanaman tersebut residunya langsung menuju ke tanah namun karena jarak daun dan tanaman jarang terjadi residu tersebut akan mudah menguap ataupun saat turun hujan akan terbawa air hujan ke dalam tanah ataupun terbawa air limpasan sehingga konsentrasi residu di permukaan tanah sedikit, sedangkan pada tanaman wortel dengan daun yang sangat rapat dapat mengakibatkan profenofos yang jatuh ke tanah tidak banyak yang terbawa oleh air karena terlindungi daun dan juga proses penguapan tidak banyak terjadi.
Berdasarkan karakteristiknya, profenofos merupakan insektisida yang dikenal mudah sekali terhidrolisis dalam waktu yang relatif singkat (waktu paruh (t½) = ± 1/3 hari atau 6 – 7 jam pada pH 9), relatif volatil (dengan laju volatilitas mencapai 6,13 x 10-3 μg/cm2/jam), dan relatif mobile (dengan nilai konstanta Freundlich sebesar 7,5 - 17,0 untuk karakteristik tanah sampel). Namun pada pH 7 waktu paruh akibat terjadinya proses hidrolisis adalah sekitar 24 – 62 hari dan pada pH 5 adalah sekitar 104 – 108 hari. Profenofos merupakan insektisida yang bersifat mudah terdegradasi. Profenofos dalam tanah akan hilang pada kondisi netral sampai basa dengan waktu paruh beberapa hari. Proses biotik, metabolisme secara aerobik ataupun anaerobik, menjadi jalur utama menghilangnya profenofos setelah hidrolisis terjadi di tahap awal. Dalam studi yang dilakukan US EPA (1998), profenofos yang diaplikasikan sebesar 10,9 ppm pada tanah lanau berpasir dengan pH 7,8, terdegradasi dengan waktu paruh 1,9 hari.
5.3.3 Residu Insektisida Diazinon
Dari Gambar 5.3 dapat dilihat konsentrasi diazinon memiliki nilai paling rendah. Hal ini dikarenakan diazinon sudah tidak digunakan lagi untuk saat ini. Nilai konsentrasi tertinggi diazinon sebesar 0,08 ppm (titik B) pada tanaman buncis. Nilai konsentrasi residu diazinon dapat dilihat pada Gambar 5.6.
0 0.001 0.002 0.003 0.004 0.005 0.006 0.007 0.008 0.009 daun baw ang kacang merah
jagung kol w ortel kentang buncis
jenis tanam an k ons e nt ra s i (ppm)
Diazinon merupakan senyawa organofosfat yang relatif tidak persisten di dalam tanah. Diazinon yang diaplikasikan akan hilang dari tanah melalui degradasi secara kimia dan biologi. Proses degradasi diazinon terjadi hidrolisis dimana proses tersebut akan menjadi lebih lambat pada pH > 6, tetapi cukup signifikan di tanah. Produk utama dari hidrolisis adalah 2-isopropyl-4-methyl-6-hydroxypyrimidine, namun jika tidak cukup air pada kondisi asam, proses tersebut akan menghasilkan tetraetil dithio- and thiopirofosfat, kedua produk tersebut bersifat lebih toksik dari diazinon. Sedangkan biodegradasi untuk menghilangnya diazinon memerlukan waktu paruh antara 1,2 dan 5 minggu (US EPA,2000). Ada kemungkinan diazinon yang terdapat dalam tanah non-organik ini sudah tidak berbentuk diazinon lagi, sehingga residu diazinon tidak terdeteksi dalam analisis.
Menurut US EPA sekitar hanya sekitar 46 % diazinon yang tersisa di dalam tanah setelah 2 minggu diaplikasikan. Diazinon akan terhidrolisis dengan cepat pada kondisi yang sangat asam ataupun basa, hidrolisis akan terjadi lambat jika kondisi mendekati netral. Hidrolisis relatif cepat pada pH lebih kecil dari 6 (kondisi asam). Konsentrasi diazinon yang ditemukan pada lokasi sampling (yang tanahnya bersifat asam) sangat kecil.
5.4 Jumlah Total Bakteri
Perhitungan jumlah total bakteri menggunakan metoda total plate count (TPC), dilakukan secara duplo agar diperoleh hasil yang cukup representatif. Dari hasil total plate count yang dilakukan didapatkan jumlah koloni bakteri sebagai mana disajikan pada Tabel 5.8 dan Tabel 5.9 dan Gambar 5.7 memperlihatkan koloni bakteri.
Gambar 5.7 Koloni Bakteri
Tabel 5.8 Jumlah TPC Bakteri Tanah Desa Sukapura
Sampel Jenis Tanaman TPC (Cfu/g)
A kol 1,70 x 108 B buncis 9,55 x 107 C wortel 9,00 x 107 D daun bawang 3,17 x 107 E kacang merah 5,20 x 108 F jagung 1,14 x 106 G kentang 4,33 x 106
Tabel 5.9 Jumlah TPC Bakteri Tanah Pertanian Organik
Sampel Jenis Tanaman TPC (Cfu/g)
1 jagung 1,36 x 108
2 wortel 2,1 x 109
3 daun bawang 5,3 x 108
4 kol 1,2 x 108
Jumlah bakteri pada tanah yang terpapar insektisida organofosfat berkisar antara 1,14x106 - 5,20x108 (cfu/g), sedangkan pada tanah organik atau yang tidak terpapar insektisida organofosfat memiliki rentang jumlah bakteri tanah sebesar 1,2 x 108 - 4,1 x 109(cfu/g). Setelah dirata-ratakan jumlah total bakteri yang terdapat didalam tanah yang terpapar insektisida organofosfat memiliki jumlah total bakteri sebesar 1,30 x 108(cfu/g) ini lebih sedikit jika dibandingkan dengan tanah yang tidak terpapar senyawa organofosfat yaitu sebesar 1,40 x 109(cfu/g).
Untuk melihat pengaruh insektisida organofosfat pada tanah pertanian ini dibuat grafik antara jumlah bakteri (TPC) dalam tanah organik terhadap tanah non-organik. Gambar 5.8 memperlihatkan bahwa perbedaan jenis tanaman mengakibatkan perbedaan pada jumlah total bakteri yang terdapat di dalamnya.
1,00E+06 1,00E+07 1,00E+08 1,00E+09 1,00E+10
jagung daun bawang wortel buncis kol
Jenis Tanaman TP C ( c fu/ g) tanah organik tanah non organik
Gambar 5.8 Jumlah TPC bakteri tanah pada pertanian non-organik dan organik
dengan jenis tanaman yang sama
Jumlah TPC bakteri di area daun bawang lebih banyak dari total bakteri jagung namun jumlah TPC bakteri pada area daun bawang di pertanian organik lebih banyak dibandingkan dengan TPC bakteri pada area daun bawang di pertanian non-organik. Tetapi perbedaan kecenderungan terjadi pada tanaman kol ini dapat diakibatkan oleh pada saat sampling pada pertanian non-organik didapatkan residu insektisida organofosfat dengan konsentrasi rendah dan pemberian pupuk kompos oleh petani setempat. Dari Gambar 5.8 dapat disimpulkan bahwa jumlah TPC pada kedua jenis tanah tersebut memiliki kecenderungan yang sama terhadap
tanaman, namun jumlah TPC pada pada tanah yang terpapar insektisida organofosfat (non-organik) lebih sedikit dari pada tanah organik.
0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25
kol buncis wortel daun bawang kacang merah jagung kentang titik sampling konsentrasi (ppm) 1,00E+06 1,00E+07 1,00E+08 1,00E+09 TPC (cfu/g) diazinon (ppm) profenofos (ppm) klorpirifos (ppm) TPC
Gambar 5.9 Hubungan residu insektisida organofosfat terhadap TPC bakteri
tanah
Dari Gambar 5.9 dapat dilihat bahwa semakin banyak residu insektisida organofosfat yang berada dalam tanah jumlah total bakterinya semakin banyak. Kemungkinan ini tejadi karena bakteri yang berada di tanah merupakan bakteri-bakteri yang dapat mendegradasi senyawa klorpirifos profenofos dan diazinon di dalam tanah.
Lahan tanah di Desa Sukapura ini telah digunakan sebagai lahan pertanian dari tahun 80-an dan sejak saat itu insektisida sudah mulai dipergunakan sehingga ada kemungkinan bahwa bakteri yang berada di dalam tanah pertanian telah mengalami adaptasi ataupun telah terjadi seleksi alam sehingga bakteri yang bertahan hidup adalah bakteri yang dapat menggunakan senyawa organofosfat sebagai sumber energi dan nutrisinya, namun untuk memastikan hal ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Degradasi senyawa klorpirifos dapat terjadi akibat beberapa proses yaitu biodegradasi, volatilisasi dan fotolisis. Bakteri yang dapat mendegradasi senyawa klorpirifos adalah bakteri dari genus Bacillus.
Walaupun profenofos lebih resisten di alam namun telah ada bakteri yang dapat mendegradasi profenofos. Hidrolisis adalah jalur utama menghilangnya profenofos di alam. Fotolisis bukanlah proses utama dalam degradasi profenofos. Proses biotik, metabolisme secara aerobik ataupun anaerobik, menjadi jalur utama menghilangnya profenofos setelah hidrolisis terjadi di tahap awal (US EPA, 1998). Secara rinci, proses degradasi profenofos terjadi karena reaksi-reaksi hidrolisis, fotolisis, dan aktivitas mikroorganisme.
Degradasi profenofos dalam tanah akan menghasilkan produk 4-bromo-2-chlorophenol dan O-ethyl-S-propylphosphorthioate. 4-bromo-2 4-bromo-2-chlorophenol bersifat persisten di tanah sedangkan O-ethyl-S-propyl phosphorthioate belum diketahui tingkat persistensinya (US EPA, 1998).
Namun dengan keberadaan residu diazinon dalam tanah terjadi penurunan jumlah bakteri. Jumlah mikroorganisme yang banyak ada pada residu diazinon yang sedikit. Toledo (1993) menemukan bahwa dengan kehadiran diazinon 10 - 300 µg/g di tanah, jumlah aerobic dinitrogen fixing bakteri menurun sebelum kembali pada level kontrolnya namun nitrifying bakteri dan populasi jamur tanah tidak terpengaruh oleh adanya konsentrasi diazinon sebesar10 - 300 µg/g di tanah.
5.5 Hasil Identifikasi Bakteri Tanah
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terdegradasinya insektisida organofosfat adalah hidrolisis, fotolisis, volatilisasi, pelindian, dan biodegradasi. Biodegradasi dapat terjadi akibat adanya aktivitas bakteri dan jamur, sehingga mikroorganisme pada lahan yang terpapar insektisida organofosfat, perlu diidentifikasi untuk melihat apakah ada faktor biologis yang berperan dalam proses penurunan konsentrasi insektisida organofosfat.
Perkembangan lingkungan makhluk hidup dikendalikan faktor fisika, kimia dan biologi. Tatanan makhluk hidup yang membentuk suatu ekosistem secara genetika (turun temurun) mengadaptasi pada faktor ini sebagai bagian dari lingkungan alamiah mereka. Pencemaran menyebabkan suatu perubahan dalam tatanan faktor
yang bekerja dan mengendalikan suatu ekosistem alamiah. Setiap makhluk hidup dalam suatu sistem memiliki kemampuan alamiah untuk beradaptasi.
Degradasi insektisida dalam tanah sebagian besarnya dilaksanakan oleh mikroorganisme yang berada dalam suatu lahan atau tanah. Mikroorganisme dalam tanah jumlahnya 0,1% dari volume keseluruhan tanah, namun mikroorganisme tersebut bertanggung jawab dalam mendegradasi unsur-unsur insekstisida secara alami ( Agarwal, 2002).
Mikroba tanah yang berperan di dalam penyediaan unsur hara adalah mikroba pelarut fosfat dan kalium. Tanah pertanian kita umumnya memiliki kandungan fosfat cukup tinggi (jenuh). Namun, unsur ini jumlahnya sedikit/tidak tersedia bagi tanaman, karena terikat pada mineral liat tanah. Di sinilah peranan mikroba pelarut fosfat. Mikroba ini akan melepaskan ikatan fosfat dari mineral liat dan menyediakannya bagi tanaman. Banyak sekali mikroba yang mampu melarutkan fosfat, antara lain: Aspergillus sp, Penicillium sp, Pseudomonas sp. dan Bacillus
megatherium. Mikroba yang berkemampuan tinggi melarutkan fosfat, umumnya
juga berkemampuan tinggi dalam melarutkan kalium. (Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 2005).
Dalam penelitian ini bakteri aerob saja yang menjadi perhatian, sebab dalam penelitian ini hanya difokuskan pada bakteri yang yang dominan hidup di permukaan tanah saja. Menurut hasil identifikasi dengan berpedoman pada Bergey’s. Setelah menginokulasi sampel pada medium nutrient agar (NA) kemudian dilakukan pengisolasian koloni bakteri yang tumbuh pada medium NA miring sehingga diperoleh isolat murni dan setelah itu dilakukan identifikasi bakteri isolat murni. Hasil yang didapatkan dapat dilihat dalam Gambar 5.10.
Jenis bakteri dominan yang terdapat di pertanian non-organik adalah dari genus
Bacillus. Genus ini merupakan bakteri yang pada umumnya hidup di tanah (Holt,
1979), sehingga jika terjadi pemaparan insektisida organofosfat bakteri tersebut dapat bertahan hidup. Bakteri ini mampu mendegradasi senyawa organofosfat
seperti yang dikatakan dalam penelitian yang telah dilakukan sebelumnya Beberapa jenis bakteri mampu memanfaatkan insektisida sebagari sumber karbonnya dan dari beberapa studi menjelaskan bahwa satu atau beberapa jenis bakteri dapat melakukannya.
Dari hasil penelitian Rosliana (2001) penurunan konsentrasi klorpirifos pada tanah terjadi akibat adanya adsorpsi dan degradasi oleh bakteri. Serta beberapa jenis bakteri aerob genus Bacillus dapat melakukan bioremediasi terhadap tanah yang tercemar klorpirifos. Transformasi pestisida tidak selalu hanya dari satu jenis organisme namun dapat juga oleh beberapa organisme selektif. Menurut Setiawan (2001) bahwa Bacillus megaterium adalah bakteri yang mampu mendegradasi klorpirifos. Senyawa diazinon juga dapat didegradasi oleh beberapa jenis bakteri seperti Arthrobacter sp. (Gunner & Zuckerman, 1968 dalam Agarwal, 2002), dan
Pseudomonas sp. (Rosenberg & Alexander,1980 dalam Agarwal, 2002).
Bakteri yang hidup di lingkungan yang telah terkontaminasi oleh organofofat dapat beradaptasi untuk menggunakan bahan kimia baru sebagai nutrien dan kebutuhan energi walaupun adaptasi itu sendiri membutuhkan jangka waktu tertentu. Dapat dilihat dalam Gambar 5.10 bahwa bakteri Bacillus megaterium teridentifikasi. Maka hasil pengukuran dan identifikasi ini merupakan bukti untuk memperkuat hasil penelitian Sandi (2004) menemukan bahwa dalam lahan pertanian di daerah lembang yang telah tercemar insektisida organofosfat ditemukan bakteri-bakteri bergenus Bacillus secara alamiah di tanah yang dapat mendegradasi senyawa organofosfat.
Gambar 5.10 Hasil identifikasi bakteri dominan yang berada di lahan
pertanian non-organik
Pertanian secara organik sudah diterapkan oleh petani jaman dahulu sebelum mereka mengenal teknologi modern. Pertanian modern yang diterapkan saat ini adalah sistem pertanian konvensional yang mengandalkan pemakaian bahan-bahan kimia sintetis dan input dari luar yang begitu tinggi. Sawah diberi input pupuk kimia sintetis yang besar, sehingga air tercemar oleh bahan insektisida yang berbahan aktif racun. Dampak negatif pertanian konvensional akan mengganggu keseimbangan alam dengan berkurangnya keanekaragaman hayati.
Tabel 5.10 Jumlah residu insektisida organofosfat dalam tanah dan bakteri
dominan yang berada dalam tanah
Sampel klorpirifos (ppm) profenofos (ppm) diazinon (ppm) bakteri dominan Micrococcus luteus Bacillus megaterium Bacillus cereus A 0,013 0,028 0,001 Pseudomonas aeruginosa Micrococcus aureus Bacillus cereus Seratia marcescens Enterobacter aglomerans Pseudomonas Sp B 0,022 0,011 0,008 Pseudomonas aeruginosa Bacillus alvei Bacillus megaterium Micrococcus roseus Pseudomonas Sp Pseudomonas pyocianea C 0,015 0,2 0,002 Proteus vulgaris Micrococcus aureus Bacillus firmus Seratia marcescens Enterobacter aglomerans D 0,009 0,013 0 Pseudomonas aeruginosa Bacillus megaterium Bacillus alvei Pseudomonas Sp Pseudomonas flourescens E 0,0236 0,18 0 Proteus vulgaris Bacillus alvei Micrococcus aureus Enterobacter freundii Pseudomonas putida F 0,004 0,029 0 Proteus vulgaris Micrococcus roseus Bacillus megaterium Bacillus coagulans G 0,014 0,07 0,002 Erwinia herbicola
Dalam suatu sistem yang tercemar, makhluk hidup terseleksi berdasarkan toleransinya terhadap suatu kondisi yang dapat menyebabkan adaptasi genetik setelah beberapa waktu dengan generasi selanjutnya yang menjadi lebih toleran terhadap kondisi pencemaran. Keberadaan ini bergantung pada berbagai faktor,
termasuk proporsi populasi yang berhubungan timbal balik dan berkembang biak, yang dipengaruhi oleh pencemaran, laju perkembangbiakan, dan keanekaragaman genetik. Bila hanya ada satu proporsi kecil dari populasi berkembang biak yang dipengaruhi, seperti yang ada dalam situasi pencemaran, hanya adaptasi kecil yang diharapkan. Hasil identifikasi pada tanah pertanian organik dapat dilihat pada Gambar 5.11.
Gambar 5.11 Hasil identifikasi bakteri dominan yang berada
di lahan pertanian organik
Dari hasil identifikasi yang dilakukan ditemukan bakteri-bakteri bergenus Bacillus yang dapat mendegradasi insektisida dalam tanah. Dari hasil identifikasi bakteri pada tanah di kedua lokasi tersebut jenis bakteri yang terdapat di dalamnya sedikit berbeda namun sebagian besar terdapat jenis bakteri bergenus Bacillus. Bakteri-bakteri inilah yang resisten didalam tanah dan memiliki potensi dalam mendegradasi senyawa organofosfat dalam tanah.
Tabel 5.11 Bakteri dominan yang berada dalam tanah organik dan non-organik
Bakteri Dominan
Jenis tanaman Tanah Organik Tanah Non-organik
Jagung Bacillus alvei Bacillus alvei
Bacillus coagulans Micrococcus aureus
Bacillus cereus Enterobacter freundii
Enterobacter freundii Pseudomonas putida
Alkaligenes faecalis Proteus vulgaris
Proteus vulgaris
Agrobacterium sp.
Acinetobacter sp.
Wortel Bacillus alvei Bacillus alvei
Bacillus coagulans Bacillus megaterium
Bacillus cereus Micrococcus roseus
Bacillus brevis Pseudomonas sp.
Pseudomonas aeruginosa Pseudomonas pyocianea
Pseudomonas pyocianea Proteus vulgaris
Alkaligenes faecalis
Proteus vulgaris
Daun bawang Bacillus alvei Micrococcus aureus
Bacillus circulans Bacillus firmus
Enterobacter cloacae Seratia marcescens
Pseudomonas sp. Enterobacter aglomerans
Pseudomonas pyocianea Pseudomonas aeruginosa
Alkaligenes Viscescus
Citrobacter freundii
Micrococcus denitrificans
Kol Bacillus firmus Micrococcus luteus
Micrococcus aureus Bacillus megaterium
Enterobacter gergoviaee Bacillus cereus
Pseudomonas sp. Pseudomonas aeruginosa
Pseudomonas putida
Alkaligenes Viscescus
Clostridium sp.
Agrobacterium sp.
Buncis Micrococcus aureus Micrococcus aureus
Bacillus firmus Bacillus cereus
Bacillus circulans Seratia marcescens
Bacillus brevis Enterobacter aglomerans
Enterobacter freundii Pseudomonas sp.
Alkaligenes Viscescus Pseudomonas aeruginosa
Micrococcus denitrificans
Jenis bakteri di tanah organik terlihat lebih beragam. Menurut Frierer (2006) tanah yang memiliki tingkat keasaman dan tata guna yang sama akan menyebabkan persamaan komunitas bakteri walaupun jaraknya sangat jauh, namun disini tidak bisa memperlihatkan persamaan yang terjadi dalam tanah yang terpapar insektisida organofosfat.
Tanah merupakan tempat hidup mikroorganisme dimana didalamnya terdapat berbagai proses. Mikroorganisme terutama bakteri yang paling banyak berada di tanah memiliki peranan penting di tanah. Peranannya adalah sebagai nutrisi dari tanah itu sendiri sekaligus sebagai pemegang peranan penting dalam pembusukan terutama bahan organik. Apapun yang mengganggu aktivitas bakteri akan berakibat pada kualitas dari tanah itu sendiri, terutama kualitas nutrisi dari tanah.
Perbedaan jumlah total maupun jenis bakteri dalam tanah dapat disebabkan karena adanya seleksi alamiah yang disebabkan adanya paparan dari senyawa-senyawa asing dalam hal ini adalah insektisida organofosfat. Mikroorganisme yang tidak dapat bertahan hidup karena terjadinya perubahan lingkungan sehingga hanya mikroorganisme yang dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang baru saja dapat bertahan hidup.
Menentukan suatu biomass yang dapat hidup dari suatu komponen yang tercemar dengan menetapkan suatu perkiraan menyangkut jumlah mikroorganisme aktif dan kapasitasnya untuk melakukan transformasi metabolik. Sehingga dalam hal ini Bacillus alvei adalah spesies bakteri yang memiliki resistensi terhadap insektisida organofosfat, khususnya klorpirifos (Setiawan, 2001). Namun keberadaan bakteri ini tidak menunjukkan peningkatan degradasi senyawa pestisida klorpirifos. Sebaliknya, Bacillus megaterium adalah salah satu spesies bakteri yang mampu mendegradasi senyawa organofosfat, yakni dengan melibatkan senyawa tersebut dalam proses metabolisme.
Insektisida organofosfat yang digunakan untuk membunuh hama tanaman dapat membahayakan organisme non-target. Tanah di daerah pertanian non-organik telah terpapar residu insektisida. Setelah dilakukan perbandingan antara tanah
organik dan non-organik didapatkan bahwa pada tanah organik memiliki bakteri tanah yang cukup beragam. Namun ada salah satu jenis bakteri yang berada di tanah non-organik yang tidak ditemukan di tanah organik yaitu bakteri jenis Bacillus megaterium yang merupakan bakteri yang dapat mendegradasi senyawa organofosfat di dalam tanah. Dengan demikian bioindikator dalam penelitian ini adalah Bakteri Bacillus megaterium yang ditemukan di tanah yang terpapar insektisida organofosfat.
Penggunaan biomarker di dalam ekologi mikroorganisme berdasar pada pengamatan apakah suatu senyawa dapat disintesa oleh taksa organisme tertentu (Ratledge & Wilkinson,1988 dalam Wit, 1992). Dalam ekologi mikroorganisme biomarker digambarkan sebagai komponen ‘jasad renik’ yang sifat kimianya dapat dianalisa secara langsung dari lingkungan dan diinterpretasikan/dilihat menurut kualitas maupun kuantitas dalam kaitannya dengan tempat asal microbial
biomass tersebut (Parkes, 1987 dalam Wit,1992).
Penelitian ini merupakan suatu metoda dalam mengidentifikasi kemungkinan bakteri sebagai biomarker dalam kehadirannya di dalam tanah. Bioremediation
pathways menghubungkan bakteri yang ada di suatu lahan dengan suatu substrat
pencemar. Sehingga pengidentifikasian bioindikator ini untuk menghubungkan biomarker dari komponen atau bakteri tertentu dengan kemampuannya dalam bertahan hidup dan aktivitas metabolismenya dalam memanfaatkan senyawa pencemar dalam hal ini adalah insektisida organofosfat. Bakteri yang dipilih berasal dari lokasi yang tercemar tersebut.
Dalam pemahaman peran dari multispecies bakteri dalam proses penting seperti bioremediasi, bioimmobilisasi dan proses lainnya, bakteri yang ditemukan dan aktivitasnya adalah berdasar kemampuan dari genetiknya. Bakteri memiliki kode tersendiri untuk aktivitasnya yang berhubungan dengan metabolisme spesifik, yang bervariasi sebagai jawaban atas keadaan/kondisi lingkungannya (Aaron, 2004). Kehadirannya bakteri ini akan menandakan aktivitasnya dalam metabolisme spesifik, dan ini akan memberikan bukti langsung dari kondisi-kondisi lingkungan di mana organisme dapat hidup di tempat yang tercemar.
Informasi ini dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa bioproses terjadi dengan adanya kondisi-kondisi tertentu yang menyebabkan bakteri tersebut dapat bertahan hidup dan dapat dijadikan suatu acuan dalam penelitian biomarker selanjutnya.