• Tidak ada hasil yang ditemukan

menempati posisi paling tinggi dalam kehidupan seorang narapidana (Tanti, 2007). Lapas lebih dikenal sebagai penjara. Istilah tersebut sudah sangat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "menempati posisi paling tinggi dalam kehidupan seorang narapidana (Tanti, 2007). Lapas lebih dikenal sebagai penjara. Istilah tersebut sudah sangat"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tingkat kriminalitas di Indonesia semakin meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2005, diperkirakan kejahatan yang terjadi sekitar 209.673 kasus, sedangkan tahun sebelumnya 196.931 kasus. Adapun bentuk-bentuk kriminalitas tersebut seperti : perampokan atau pencurian, pembunuhan, tabrak lari, pengedar maupun pemakai miras dan obat-obatan terlarang, penipuan, korupsi, penganiayaan dan masih banyak jenis-jenis tindak kriminalitas yang lain (Tempo Interaktif, 2005).

Salah satu penyebab meningkatnya angka kriminalitas di Indonesia adalah masalah sosial ekonomi. Kriminalitas yang tinggi menyebabkan berbagai kerugian pada diri pelaku, korban dan masyarakat yang berupa kerugian materiil dan immaterial. Jumlah penduduk yang berisiko menjadi korban tindak kriminalitas mencapai 72 orang per 100.000 jiwa baik pada 2007 maupun 2008 (Priyato, 2008). Dalam upaya mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh kriminalitas yang ada, dibutuhkan suatu wadah pembinaan yaitu fasilitas correctional. Fasilitas correctional merupakan fasilitas yang mempunyai tujuan memberikan keamanan kepada masyarakat dengan memenjarakan seseorang yang telah melakukan tindak kriminal dan dapat membahayakan komunitas. Salah satu fasilitas correctional adalah lembaga pemasyarakatan (lapas) (Allender dan Spradley, 2005).

Lembaga pemasyarakatan (lapas) merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan terhadap orang-orang yang dijatuhi hukuman penjara (narapidana) berdasarkan keputusan pengadilan. Lapas merupakan lingkungan baru, dimana individu akan kehilangan otonomi, menjalankan kehidupan serba terbatas dan berkumpul dengan orang-orang baru yang tidak diinginkan dan secara kumulatif hal-hal tersebut merupakan stressor yang menekan (Charlotte & Jane, 2012). Penelitian menyebutkan bahwa menjalani kehidupan di lapas adalah perubahan kehidupan yang paling ekstrim. Berdasarkan skala stress yang dibuat oleh Masuda pada tahun 1974 menyatakan bahwa kehidupan di lapas merupakan stressor yang

(2)

menempati posisi paling tinggi dalam kehidupan seorang narapidana (Tanti, 2007). Lapas lebih dikenal sebagai penjara. Istilah tersebut sudah sangat menimbulkan perasaan takut dan perasaan tidak menyenangkan karena anggapan buruk yang selalu ada di dalamnya seperti pemukulan, penyiksaan, pelecehan seksual, kesehatan yang buruk dan fasilitas yang sangat minim. Penjara tidak hanya sebuah hal yang menakutkan untuk tinggal di dalamnya tetapi juga sebuah stigma yang akan tetap melekat pada seseorang apabila dirinya telah keluar dari penjara. Lama masa hukuman dan terisolasinya mereka dari lingkungan luar memberikan dampak psikologis yang cukup besar pada kesehatan mental para narapidana (Eliason, 2006).

Kesehatan mental merupakan masalah penting dalam pelayanan kesehatan bagi narapidana di dalam lapas. Jumlah narapidana di lapas yang mengalami gangguan jiwa kira-kira berjumlah 285.000 narapidana dari 1.255.700 narapidana pada tahun 2005 di penjara pusat dan penjara bagian di Amerika. Gangguan jiwa yang sering ditemui adalah gangguan afektif, gangguan kepribadian dan skizofrenia (James & Lauren, 2006).

Di Amerika Serikat tercatat hampir 73% gangguan jiwa di alami oleh narapidana wanita (James & Lauren ,2006). Narapidana wanita merupakan populasi minor di dalam lapas, namun mempunyai kebutuhan pelayanan kesehatan khusus karena kerentanan dan kelemahan mereka. Respon mental dan emosi yang menyebabkan wanita lebih rentan terhadap stress menjadikan wanita sebagai populasi yang berisiko terhadap kejadian depresi (Allender & Spradley, 2005). Narapidana wanita kebanyakan memiliki latar belakang yang traumatis pada proses kehidupannya. Peristiwa traumatis ini berupa pengalaman menjadi korban dari kekerasan fisik dan seksual, ketergantungan narkoba serta kondisi kesehatan yang kurang terawat. Di Negara-negara miskin, wanita dimanfaatkan oleh pengedar narkoba sebagai penyeludup dengan bayaran kecil, wanita tersebut hanya merupakan korban yang terpaksa harus melakukan tindak kriminal tertentu dengan alasan tertentu pula (Jones, 2008).

Peningkatan jumlah narapidana wanita pada kenyataannya jauh lebih tinggi daripada peningkatan jumlah narapidana pria. Di Inggris, peningkatan narapidana

(3)

wanita mencapai lebih dari 200% dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, sementara peningkatan narapidana pria hanya sebanyak 50% (WHO Conference on Women’s Health in Prison, 2008). Setiap tahun, 3 juta wanita ditangkap dan hampir 1 juta wanita berada dalam penjara (Blanchette & Brown, 2006). Hal tersebut mengindikasikan bahwa jumlah narapidana wanita semakin bertambah dari tahun ketahun. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mencatat bahwa jumlah narapidana wanita di Indonesia pada tahun 2009 adalah 2.768 dari total 57.691 narapidana dewasa (Puteri, 2009). Jumlah narapidana wanita memang sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan penghuni lapas suatu negara (biasanya hanya sekitar 2-9%). (WHO Conference on Women’s Health in Prison, 2008). Di Indonesia jumlah narapidana wanita dari tahun ke tahun juga mengalami peningkatan. Narapidana wanita pada kenyataannya kebanyakan dipenjarakan atas dakwaan pidana yang tidak disertai kekerasan yang pada dasarnya tidak memerlukan sistem penjagaan yang sangat ketat sedangkan sistem keamanan lapas di Indonesia dirancang untuk diterapkan pada lapas pria (Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2008).

Survei yang dilakukan oleh Kumalasari (2008) di lapas wanita Semarang terhadap 14 narapidana wanita menemukan adanya rasa takut, rasa sedih, tegang, bingung, kecewa, malu, susah tidur, sering menangis, suka melamun, suka menyendiri, mudah lupa, cemas, merasa putus asa, sakit kepala, sakit perut dan badan mudah sakit, dimana hal tersebut merupakan indikasi dari gejala depresi dan hasil wawancara dari 3 orang narapidana, ditemukan bahwa gejala depresi tersebut lebih banyak ditemukan pada narapidana yang baru masuk lapas atau akan segera keluar dari lapas.

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan di lapas wanita kelas IIA Semarang pada bulan Januari 2010 didapatkan beberapa pengalaman perasaan negatif diantaranya yaitu : perasaan akan kesepian, tertekan akan peraturan yang harus dipatuhi, keinginan untuk bebas, perlakuan dari narapidana lain yang tidak menyenangkan, tidak mendapatkan kunjungan dari anak dan keluarga, juga tuntutan dari keluarga. Permasalahan yang dihadapi di dalam penjara dapat membuat para narapidana wanita mengalami dampak psikis dan fisik seperti sakit

(4)

kepala, tidak dapat tidur dan bahkan ada salah satu diantara narapidana wanita pernah melakukan percobaan bunuh diri (Rizki, 2010).

Hasil 62 survei di 12 negara dan mencakup 22.790 narapidana menemukan tiap 6 bulan terjadi prevalensi psikosis pada pria 3,7 % dan wanita 4 %, depresi mayor pada pria 10 % dan wanita 12 % serta gangguan kepribadian pada pria 65 % dan wanita 42 % (WHO Conference on Women’s Health in Prison, 2008).

Penelitian Nugrahenny (1996) di lapas wanita Yogyakarta dan Semarang mengungkap bahwa rata-rata narapidana wanita mengalami depresi sedang.

Depresi merupakan salah satu gangguan mood, yaitu kondisi emosional yang ditandai dengan rasa putus asa (hopeless), tidak berdaya (helplessness) dan penurunan semangat hidup (a lowering of spirit). Depresi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain yaitu faktor biologis, faktor genetika dan faktor psikososial (Sadock, 2007).

Penelitian di Amerika menemukan bahwa narapidana wanita lebih besar mengalami gangguan psikologik dibandingkan narapidana pria disebabkan karena : 1). Wanita yang melakukan kejahatan dianggap sebagai wanita yang paling mengalami deprivasi, moral buruk dan putus asa sehingga menyebabkan penjara bagi wanita lebih menyeramkan, lebih terisolasi dan terabaikan, 2). Narapidana wanita lebih banyak mengalami kekerasan fisik selama dipenjara (tiga sampai enam belas kali) selain itu juga mengalami kekerasan seksual sebesar 75%, pemerkosaan sebesar 56% dan percobaan perkosaan sebesar 13% (Igrak, 2002). Dalam menghadapi stressor, wanita cenderung mengalami tingkat stress yang tinggi dan secara umum wanita mengalami stress lebih banyak dibandingkan pria (Diahsari, 2007). Dalam menghadapi situasi-situasi yang penuh tekanan dalam hidup serta perubahan kehidupan yang dialami, narapidana wanita harus dapat menyesuaikan diri agar tetap bertahan dengan kondisi tersebut. Kemampuan menyesuaikan diri terhadap perubahan kehidupan yang menekan ini disebut dengan resiliensi (Wolfelt, 2004).

Resiliensi dalam dunia psikologi disebut dengan kemampuan untuk bangkit dari keterpurukan (Synder dan Lopez, 2007). Kemampuan resiliensi individu dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal (Greef dan

(5)

Wentworth, 2009). Setiap individu membutuhkan resiliensi untuk memperoleh kebahagiaan atas peristiwa buruk yang dialami. Resiliensi dibutuhkan oleh narapidana wanita untuk melindungi diri dari stress berat dan resiliensi dapat melindungi individu dari depresi (Edward, 2005). Pada penelitian Fransiska et al (2004) dilaporkan bahwa semakin tinggi resiliensi maka semakin rendah depresi wanita pasca mastektomi. Resiliensi diharapkan mampu memberikan semangat hidup narapidana wanita untuk mampu menjalani hukuman dan menjadi manusia yang lebih baik, menyatu dengan masyarakat setelah narapidana wanita tersebut berhasil menyelesaikan masa hukumannya.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan di lapas Klas II A Banjarmasin jumlah warga binaan wanita pada bulan Mei 2013 sebanyak 88 orang dengan rincian narapidana wanita 38 orang dan tahanan wanita 50 orang. Peran klinik kesehatan di lapas lebih banyak memberikan pelayanan kesehatan secara fisik sehingga pelayanan kesehatan mental warga binaan belum terpenuhi dengan baik. Hal ini disebabkan jumlah warga binaan secara total melebihi kapasitas yaitu 2.354 orang dari kuota normal 366 orang. Berdasarkan gejala-gejala yang dapat muncul dalam penjara, maka dinilai penting untuk mengetahui tingkat resiliensi para narapidana wanita supaya narapidana wanita tetap mampu mengoptimalkan kemampuan, kesehatan fisik dan mentalnya dalam menghadapi gejala-gejala negatif yang dihadapi dalam penjara.. Hal ini mendorong peneliti untuk meneliti seberapa besar korelasi resiliensi terhadap depresi pada narapidana wanita di lapas klas II A Banjarmasin. Dalam penelitian ini juga dilakukan pengamatan terhadap faktor-faktor lain seperti umur, status pernikahan, pendidikan, pekerjaan dan lama hukuman yang diduga mempunyai peran terhadap timbulnya depresi.

B. Permasalahan

Dari uraian diatas dapat dirumuskan masalah, apakah terdapat korelasi antara resiliensi dengan depresi pada narapidana wanita di lembaga pemasyarakatan klas II A Banjarmasin.

(6)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya korelasi antara resiliensi dengan depresi pada narapidana wanita di lembaga pemasyarakatan klas II A Banjarmasin.

D. Manfaat Penelitian

Apabila hasil penelitian ini dapat menunjukkan ada dan besarnya korelasi serta bobot pengaruh resiliensi terhadap depresi pada narapidana wanita di lembaga pemasyarakatan klas II A Banjarmasin diharapkan dapat memberikan manfaat, berupa :

1. Manfaat teoritis :

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan tambahan pengetahuan bagi semua pihak, berupa pengetahuan tentang korelasi resiliensi dengan depresi pada narapidana wanita di lapas klas II A Banjarmasin.

2. Manfaat praktis :

Diharapkan dengan tulisan ini, deteksi dini dan perumusan strategi dalam penanganan depresi pada narapidana wanita yang berada di lapas klas II A Banjarmasin menjadi lebih komprehensif sehingga angka prevalensi depresi narapidana wanita dapat ditekan.

E. Keaslian Penelitian

Hasyim et al (2009); Pengaruh dukungan sosial terhadap resiliensi narapidana remaja di lembaga pemasyarakatan anak Blitar. Merupakan penelitian kuantitatif dimana pengumpulan data menggunakan metode wawancara dan skala. Jumlah populasi 115 narapidana dan mengambil sampel dengan menggunakan sampel random acak sebanyak 40 narapidana. Hasil penelitian didapatkan pengaruh yang positif atau signifikan antara dukungan sosial dengan resiliensi (Fhitung = 4,838 > Ftabel = 4,10). Pengaruh dukungan sosial terhadap resiliensi sebesar 33% dan 67% nya merupakan faktor lain yang melatarbelakangi timbulnya resiliensi. Persamaan pada penelitian ini adalah menggunakan variabel resiliensi. Perbedaan pada penelitian ini adalah cara pengambilan sampel dengan purposive sampling dan subyek penelitiannya adalah narapidana wanita.

(7)

Fransiska et al (2004); Hubungan antara resiliensi dengan depresi pada perempuan pasca pengangkatan payudara (mastektomi). Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimen yang bersifat studi korelasi, yaitu mengukur hubungan antara resiliensi dan depresi pada perempuan pasca mastektomi. Penelitian ini dilakukan terhadap 30 wanita. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara resiliensi dan depresi, r =- .772 (p=0.000 <0.01). Semakin tinggi resiliensi maka semakin rendah depresi wanita pasca mastektomi. Persamaan pada penelitian ini adalah menggunakan variabel resiliensi dan depresi. Perbedaan pada penelitian ini adalah subyek penelitiannya menggunakan narapidana wanita.

Noor (2008); Korelasi Dukungan Sosial dengan Depresi pada Lansia yang Mengalami Gangguan Kognitif Ringan di Panti Wredha Abiyoso Yogyakarta. Desain penelitian adalah cross-sectional study deskriptif analitik. Penelitian dilakukan di Panti Sosial Tresna Wredha (PSTW) Abiyoso Pakem Sleman Yogyakarta dari 4 Maret sampai 4 April 2008. Sampel penelitian diambil secara consecutive sampling sesuai dengan perkiraan besar sampel. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner data pribadi, Kuesioner SPMSQ (Short Portable Mental Status Questionnaire), Instrumen Skala Depresi Geriatri 15, dan Kuesioner Dukungan Sosial oleh Sarason. Data penelitian dianalisis dengan chi-square korelasi. Hasil penelitian melaporkan kepuasan terhadap dukungan sosial total memiliki hubungan secara bermakna dengan depresi pada lansia dengan gangguan kognitif ringan tetapi korelasinya lemah (p < 0.05, CC = 0.405). Jumlah dukungan sosial total memiliki hubungan secara bermakna dengan depresi pada lansia dengan gangguan kognitif ringan demgan korelasi cukup erat (p < 0.05, CC = 0.504). Persamaan dengan penelitian ini adalah menggunakan variabel depresi. Perbedaan dengan penelitian ini adalah subyek penelitiannya narapidana wanita, kuesioner yang dipakai untuk menentukan depresi dengan BDI.

Referensi

Dokumen terkait

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN CADANGAN 5.0 Pengenalan 5.1 Kesimpulan 5.1.1 Perkaitan di antara umur, pendidikan, pengetahuan dan sikap terhadap penggunaan lestari dengan amalan

Berikut merupakan pemodelan yang digunakan untuk memodelkan aliran 1D pada desain Bendungan Tugu menggunakan program HEC- RAS yaitu:. Pemodelan cara 1 yang memodelkan waduk

Pada ransum kontrol tanpa penambahan dedak padi halus (bekatul) dalam ransum dengan penambahan dedak padi halus (bekatul) sebesar 5 persen, diasumsikan kebutuhan energy

Kali Ajir Lor tardapat 3 siswa (75%) dari 4 siswa yang kondisi rumahnya saat tidak terdapat bunyi pesawat mempunyai intensitas kebisingan &gt; 55 dBA, untuk lebih jelasnya dapat

Terapi penguatan otot quadriceps femoris berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan naik tangga pada pasien osteoarthritis genu berdasarkan waktu yang

Primer rRNA-12S mitokondria dapat secara spesifik mengamplifikasi DNA sapi diantara DNA ayam, babi, celeng, kambing, DNA gelatin babi, dan DNA yang terdapat pada

Tujuan penelitian Friska Firnanti adalah untuk menguji dan menganalisis pengaruh ukuran perusahaan, profitabilitas, risiko bisnis, time interest earned, dan

Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Sistem Pembayaran dalam Penggilingan Gabah di Desa Dadapmulyo Kecamatan Sarang Kabupaten Rembang. Analisis Akad Ujrah dalam