• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dijerat Korupsi Akses Fee Rp 25 Juta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dijerat Korupsi Akses Fee Rp 25 Juta"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Dijerat Korupsi Akses Fee Rp 25 Juta

JAKARTA [PALUHAKIM.COM] Pengakuan Prof Dr Romli SH LLM, mantan Dirjen AHU yang menjadi terdakwa perkara dugaan korupsi akses fee Sisminbakum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam pledoi yang dia bacakan 2 September lalu menguak banyak hal. Baik keterlibatan sejumlah pejabat di Depkum HAM, juga niat jahat Kejaksaan Agung dalam menjeratnya.

Dia juga mengungkap keanehan dalam perkara tersebut. Ternyata dia dijerat hukum dan dimejahijaukan hanya karena menerima uang akses fee yang totalnya sekitar Rp 25 juta (Rp 5 juta plus US$ 2.000). Menurutnya, tudingan itu sampai saat ini belum bisa dibuktikan di

pengadilan. Bagaimana dia menyikapi hal itu di pledoinya? Berikut bagian kelima dari enam bagian pledoi Romli yang dimuat utuh oleh paluhakim.com:

Majelis Hakim dan Hadirin yang saya hormati,

Perkenankan saya menyampaikan pendapat hukum Perihal jabatan saya selaku Dirjen AHU dan tanggung jawab saya dalam perkara Sisminbakum sebagai berikut:

Bahwa, jika JPU teliti membaca Pasal 1 UU 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, telah dibedakan tiga subjek hukum, yaitu orang perorangan, pegawai negeri, dan korporasi.

Pembedaan tiga subjek hukum tersebut memiliki pertimbangan tertentu. Pertimbangan ini ialah, bahwa kedudukan orang perorangan dan seorang pegawai negeri, tidak harus disamakan dalam hal pertanggungjawabannya. Hal ini disebabkan seorang pegawai negeri, intinya adalah

(2)

setiap orang yang diangkat oleh kekuasaan umum dan menerima gaji dari keuangan negara atau daerah.

Sementara orang perorangan adalah mereka yang tunduk kepada hukum privat, artinya, tidak memiliki kapasitas sebagai pejabat publik. Pegawai negeri dalam kapasitas sebagai pejabat publik tunduk pada dan termasuk ke dalam ranah hukum publik atau hukum administrasi

negara. Atas dasar filosofi di balik ketentuan Pasal 1 di atas, maka di dalam UU 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001, pengertian istilah “ menyalahgunakan wewenang” atau

“menyalahgunakan kekuasaan” selalu dikaitkan dengan kalimat, “Karena jabatan atau

kedudukan”, untuk menegaskan adanya perbedaan antara seorang pemangku jabatan publik dan orang perorangan bukan pejabat publik (lihat Pasal 3 UU 31 Tahun 1999).

Sebagaimana pengertian istilah “melawan hukum” yang diadopsi dari Kitab UU Hukum Perdata yaitu “Onrechtmatigedaad” (Pasal 1365) dan telah menjadi Yurisprudensi HR Belanda (Januari 1919) kasus Lindebaum Cohen; maka pengertian istilah “menyalahgunakan wewenang”

diadopsi dari hukum administrasi negara. Oleh karena itu, untuk memahami sungguh-sungguh bunyi Pasal 3 dan Pasal 12 e, harus dicari makna sebenarnya di dalam hukum administrasi negara. Karena hukum pidana tidak dapat menjelaskan secara Lengkap pengertian istilah tersebut di atas.

JPU telah menjelaskan makna dari pengertian istilah “unsur melawan hukum” dari halaman 121 Buku Prof Dr Indriyanto Senoadjie (cetakan kedua 2007), secara sumir dan tidak lengkap. Karena khusus uraian Lengkap dari Prof Dr Indriyanto Senoadjie, mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara, terkait penerapan hukum pidana, khususnya UU 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001, terdapat pada halaman 421 dan seterusnya di bawah sub-judul “Beleid – Administrative-Rechtelijkheid”.

JPU Hanya mengutip unsur melawan hukum yang bersifat umum tidak terkait pada jabatan selaku pegawai negeri atau penyelenggara negara; JPU Hanya melihat unsur tersebut dalam konteks hukum perdata, bukan dilihat dari hukum administrasi negara.

Dalam menafsirkan unsur “melawan hukum” atas perbuatan terdakwa, JPU secara serta merta menyimpulkan perbuatan saya telah memenuhi unsur melawan hukum dikaitkan dengan fakta pelanggaran atas UU 20 Tahun 1997 dan PP 26 Tahun 1999 tentang PNBP serta Keppres 17 Tahun 2000 tentang APBN, selain beberapa surat edaran Dirjen AHU yang merujuk kepada pemberlakuan tarif akses fee sebagaimana dicantumkan dalam SK Menteri Kehakiman dan HAM pada 4 Oktober 2000 dan penunjukkan PT SRD dan KPPDK atas dasar SK Menteri Kehakiman dan HAM tanggal 10 Oktober 2000, dan perjanjian kerja sama antara PT SRD dan KPPDK tentang pengelolaan Sisminbakum tanggal 8 November 2000 yang telah diketahui Menkeh HAM Yusril Ihza Mahendra.

(3)

Perbuatan saya mengeluarkan surat edaran Dirjen AHU tanggal 8 Februari 2001 dan SE Dirjen AHU tanggal 28 Maret 2001 adalah perbuatan saya dalam kapasitas selaku pejabat dan dalam kewenangannya, dan tidak termasuk penyalahgunaan kekuasaan karena substansi SE Dirjen AHU tersebut merupakan pelaksanaan dari SK Menteri, dalam batas-batas lingkup tugas pokok dan fungsi Dirjen AHU berdasarkan SK Menteri Hukum dan Perundang-undangan nomor

M.03.PR.07.10 tahun 2000 tanggal 5 April 2000 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Hukum dan Perundang-undangan.

Cara JPU menafsirkan perbuatan saya berkaitan dengan unsur melawan hukum merupakan tindakan men-simplikasi-kan persoalan hukum yang tengah saya hadapi saat ini dan

merupakan upaya kriminalisasi pelaksanaan kebijakan Menkeh HAM dalam pemberlakuan Sisminbakum.

Dalam hal pertanggungjawaban pidana yang didakwakan kepada saya selaku mantan Dirjen AHU, keterangan Ahli Administrasi Negara Prof Philipus Hadjon, telah menerangkan bahwa hubungan hirarkis antara menteri dan dirjen, merupakan hubungan struktural yang bersifat mandat, bukan delegasi.

Selanjutnya Hadjon menyatakan, yang bertanggung jawab dalam hal mandat adalah tetap pemberi mandat. Sedangkan penerima mandat, tidak dapat dipertanggungjawabkan. Jika delegasi, maka penerima delegasi bertanggung jawab atas pelaksanaan delegasi itu, bukan pemberi delegasi.

Penjelasan atau keterangan ahli Prof Hadjon tersebut di atas menunjukkan bahwa saya selaku Dirjen AHU adalah pelaksana kebijakan bukan pembuat kebijakan dalam pemberlakuan

Sisminbakum. Pembuat kebijakan adalah Yusril Ihza Mahendra, mantan Menteri Kehakiman dan HAM.

Hasil Lokakarya Mahkamah Agung RI tanggal 2-6 September 2007 (halaman 3-4) setelah menguraikan pengertian dan lingkup hukum pidana administratif, menyampaikan solusi hukum antara lain:

1. Pada prinsipnya suatu kebijakan merupakan persoalan kebebasan kebijakan atau

beleidscrijheid atau freiesermessen dari aparatur negara dalam melaksanakan tugas publiknya. Sehingga tidak dapat dinilai oleh hakim pidana atau hakim perdata.

2. Administrative Penal Law (Hukum Pidana Administratif) tidak termasuk dalam domain tindak pidana korupsi jika dihubungkan dengan aplikasi kebijakan (baik beleidvirijheid dan wijsheid, freies ermessen maupun beleidsregels). Kebijakan-kebijakan tersebut Hanya tunduk dan dinilai dari segi hukum administrasi dan hukum tata negara, hukum publik (hukum pidana) maupun dari segi hukum privat (hukum perdata), karena kebijakan administrasi ini parameter hukumnya Hanya bisa dinilai dari aspek rechmateigheid dan doelmatigheid.

(4)

Majelis Hakim dan Hadirin yang saya hormati,

Perkenankan saya memberikan pendapat hukum mengenai hal-hal yang memberatkan dan meringankan yang tercantum dalam surat tuntutan JPU.

Di dalam tuntutan JPU antara lain disebutkan bahwa hal-hal yang memberatkan saya adalah, saya tidak berterus terang dalam memberikan keterangan dalam persidangan. Pernyataan JPU tersebut menggelisahkan perasaan saya karena bertentangan dengan realitas kehidupan saya selaku Guru Besar Hukum Unpad dan selaku pendidik selama 36 tahun, Hanya bermodalkan kejujuran dan amanah dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa ini.

Saya tidak pernah memeras mahasiswa untuk keuntungan pribadi. Tidak pernah mengubah nilai pelajaran dengan imbalan uang, dan selalu disiplin dalam mengajar. Saya berpendapat justru soal ketidakterusterangan dan ketidakjujuran itu ada pada JPU dalam membuktikan perbuatan yang didakwakan kepada saya.

Selain JPU telah memperlihatkan kejanggalan-kejanggalan dalam mengajukan barang bukti baik di dalam tingkat pemeriksaan penyidik dan di persidangan, mengenai copy surat perjanjian pembagian akses fee antara KPPDK dan Dirjen AHU tanggal 25 Juli 2001 sebagaimana telah diuraikan terdahulu dalam nota pembelaan ini.

Juga di dalam uraian mengenai pembuktian unsur “memaksa”, JPU tidak memasukkan juga sebagai bahan pertimbangan, Keputusan Dirjen AHU pada 31 Juli 2001 tentang pemberlakuan sistem manual dan Sisminbakum sebagai tindak lanjut SK Menkeh HAM Marsilam Simanjuntak tanggal 29 Juni 2001.

Bukti pembanding di atas diperkuat Surat PP INI tanggal 13 November 2000 ditujukan kepada Ketua KPPDK dan tembusan kepada Dirjen AHU. Isi surat antara lain, mendukung sepenuhnya program Sisminbakum dan PP INI Meminta “retour fee” sebesar Rp 100.000 per permohonan. Di dalam surat PP INI tersebut diakui oleh PP INI bahwa yang memberlakukan tarif akses fee adalah KPPDK, bukan Dirjen AHU.

Sesungguhnya jika JPU teliti dan cermat, pembukaan kesempatan memilih dua sistem telah diberikan sejak dikeluarkannya SE Dirjen AHU tanggal 8 Februari 2001 dan SE Dirjen AHU tanggal 28 Maret 2001. Atas bukti-bukti surat di atas, saya menyatakan bahwa unsur

“memaksa” seseorang memberikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau secara melawan hukum untuk keuntungan sendiri atau orang lain, tidak terbukti!

Majelis Hakim dan Hadirin yang saya hormati,

Sungguh naïf tuntutan JPU yang telah dibacakan dalam sidang 26 Agustus 2009, yang menyatakan bahwa saya telah menikmati dana akses fee sebesar Rp 5 juta dan US$ 2.000

(5)

Saya telah membantah keras atas keterangan saksi-saksi Aan Danu dan Luluk Ratnaningsih di muka persidangan. Keterangan dua saksi ini bertentangan dengan cara saya menerima uang yaitu tidak pernah menguasakan atau menyuruh orang lain untuk menerima uang dan

menandatangani kwitansi atas nama saya.

Saya selalu menandatangani kwitansi sendiri dan menerima uang sebesar nilai yang tertera dalam kwitansi.

Pembuktian JPU mengenai keterlibatan saya dalam perjanjian PT SRD dan KPPDK, Hanya atas dasar kesaksian yang termasuk “tertimonium de auditu” yaitu keterangan saksi-saksi lain, Ismail Bermawi, Haryantho, Basuki, Tarmanto, Pengurus/mantan Pengurus KPPDK, tidak mengetahui dan melihat saya ikut dalam pembuatan surat perjanjian antara PT SRD dan KPPDK tanggal 8 November 2000. Saya membantah keras dan tidak ikut dalam proses pembuatan perjanjian tanggal 8 November 2000 itu.

Referensi

Dokumen terkait

Bar adalah suatu tempat yang menyediakan atau menyajikan minuman beralkohol dan minuman tidak beralkohol, disamping itu bar juga digunakan oleh tamu untuk berkumpul, santai

Dengan demikian segment untuk DATA, STACK dan CODE pada program COM adalah sama, stack akan menggunakan akhir dari segment yang digunakan oleh segment CODE. Berbeda dengan

(1) Pusat Pelayanan Kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (4) huruf b berada di sekitar Kelurahan Ramanuju Kecamatan Purwakarta dengan fungsi perumahan,

Perancangan mesin pelepas lemak ikan patin ini dapat memudahkan para pengusaha rumah tangga maupun pemilik warung makan dengan terciptanya rancang bangun mesin

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat kepatuhan berobat penderita TB paru dengan perilaku kesehatan, efek samping Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan

Sebelum dilakukan uji hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji normalitas. Untuk menentukan statistik apa yang harus digunakan dalam pengujian hipotesis. Uji

Dalam konteks ini al-Nursi (2007) melihat bahawa sakit dapat mengajar erti hidup bermasyarakat dan di samping dapat menghapuskan sifat ego dalam diri seseorang kerana

Hasil pada Tabel 6 menunjukkan bahwa adanya interaksi antara perlakuan jarak tanam dan waktu penyiangan gulma, Pada pengamatan 42,49,56 dan 63 hari setelah