• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

MODEL PENELITIAN

Bab ini menguraikan empat hal yaitu tinjauan pustaka, konsep, landasan teori, dan model penelitian. Subbab pertama adalah tinjauan pustaka, merupakan kajian terhadap penelitian sebelumnya yang relevan dengan topik CSR. Manfaat dari penyajian penelitian-penelitian terdahulu adalah untuk mengapresiasi penelitian-penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya, sekaligus menemukan ruang persoalan yang belum tergarap sebelumnya dalam penelitian tentang CSR. Subbab kedua adalah konsep penelitian, menguraikan tentang kata-kata kunci yang berkaitan dengan penelitian ini untuk menghindari multitafsir sehingga pembaca dapat memahami uraian dalam tesis ini. Subbab ketiga adalah landasan teori, menyajikan uraian mengenai teori-teori yang digunakan dalam menganalisis data. Subbab keempat adalah model penelitian, merupakan alur pikir mulai dari mengidentifikasi sumber masalah, menetapkan topik, konsep, teori, rumusan masalah, hasil dan pembahasan serta kesimpulan dan rekomendasi.

2.1 Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang CSR dan ekowisata belum pernah dilakukan di Resor Nihiwatu. Namun, ada beberapa peneliti yang pernah mengkaji tentang praktek CSR di industri akomodasi dan perhotelan. Penelitian mereka dijadikan sebagai

(2)

11

pembanding dan acuan untuk menemukan permasalahan-permasalahan yang belum tergarap sebelumnya.

Penelitian Kabir (2011) tentang CSR di Zwasiland bersifat deskriptif kuantitatif. Ia melakukan survey terhadap 25 industri akomodasi yang tersebar di negara Zwasiland. Responden dalam penelitian terdiri dari 32 general manager dan 13 manager HRD. Dalam meneliti tentang bentuk program CSR yang dilakukan pada sektor akomodasi di Zwasiland, Kabir menggunakan 6 kategori utama CSR menurut Zadeck et al., (1997), yaitu: lingkungan, energi, praktek bisnis yang adil, sumber daya manusia, keterlibatan masyarakat, serta produk dan keselamatan.

Dari hasil penelitiannya, Kabir menemukan bahwa 84,44% responden menempatkan variabel keterlibatan masyarakat di posisi pertama kegiatan CSR yang paling banyak dilakukan oleh industri perhotelan di Zwasiland, diikuti variabel sumber daya manusia di posisi kedua sebanyak 71,11%, kemudian praktek bisnis yang adil di posisi ketiga sebanyak 60%, penghematan energi di posisi keempat sebanyak 53,33% dan program lingkungan sebanyak 46,67% serta produk dan keselamatan sebanyak 44,44% masing-masing di posisi lima dan enam.

Selain mengkaji tentang bentuk program CSR yang dilakukan, Kabir juga menganalisis tentang motivasi pihak industri perhotelan melakukan kegiatan CSR. Untuk tujuan penelitian ini, Kabir menggunakan 5 variabel yang merupakan adopsi dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rashid dan Ibrahim (2002) dan Al Khater dan Naser (2003). Kelima variabel tersebut adalah:

(3)

12

menciptakan/mempertahankan citra perusahaan, mematuhi peraturan yang berlaku, perusahaan harus dipandang sebagai organisasi sosial sepanjang perusahaan menjalankan bisnis di tengah masyarakat, program CSR dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat akan memberikan keuntungan jangka panjang perusahaan, dan perusahaan harus melakukan tanggung jawab sosial sebagai bukti kehadiran mereka di tengah masyarakat.

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, Kabir menemukan bahwa variabel menciptakan/mempertahankan citra perusahaan menduduki posisi pertama sebanyak 62,22%, sementara variabel perusahaan harus dipandang sebagai organisasi sosial sepanjang perusahaan tersebut menjalankan bisnis di tengah masyarakat menempati urutan kedua sebanyak 53,33%. Di urutan ketiga adalah variabel perusahaan harus menjalankan program CSR sebagai bukti kehadiran mereka di tengah masyarakat, yaitu sebanyak 48,89%, sedangkan di posisi empat dan lima adalah program CSR dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat akan memberikan keuntungan jangka psnjang perusahaan (42,22%) dan mematuhi peraturan yang berlaku (22,22%).

Persamaan penelitian Kabir dengan penelitian ini dapat dilihat pada tujuannya, yaitu sama-sama mengkaji tentang bentuk program CSR yang dilakukan dan motivasi/faktor pendorong pelaksanaan CSR. Letak perbedaan antara penelitian Kabir dan penelitian ini adalah pada metode yang digunakan. Kabir menggunakan metode deskriptif kuantitatif di mana dalam memperoleh data penelitian, menggunakan kuesioner, sedangkan pada penelitian ini metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, di mana untuk mendapatkan data

(4)

13

penelitian, peneliti melakukan observasi, kajian pustaka dan wawancara dengan informan-informan kunci yang diyakini memiliki pengalaman serta pengetahuan untuk memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan. Selain dari pada itu, perbedaan terletak pada jumlah objek penelitian yang digunakan. Pada penelitian Kabir objek penelitian yang digunakan sebanyak 25 industri akomodasi, sedangkan pada penelitian ini hanya berfokus pada satu objek penelitian.

Apsari dan Rohman (2012) melakukan kajian mengenai CSR dari perspektif pelaku bisnis perhotelan. Pelaku bisnis perhotelan di provinsi DIY mendefinisikan CSR sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan sekitar. Perusahaan melakukan kegiatan yang berfokus pada kegiatan sosial, sebagai wujud kepedulian dan tanggung jawab mereka terhadap masyarakat. Melalui tiap program CSR yang dilaksanakan, perusahaan hotel merepresentasikan CSR sebagai kegiatan filantropi perusahaan. Implementasi CSR oleh para pelaku bisnis perhotelan di Provinsi DIY termasuk dalam kategori corporate philantrhopy atau filantropi perusahaan, yang juga merupakan praktik bisnis yang memiliki tanggung jawab sosial. Proses manajerial dan pengambilan keputusan dalam program CSR hotel dilihat dari keberadaan CSR sebagai manajemen strategis, pihak yang terlibat dalam pembuatan keputusan, dan isu pilihan. Sebanyak 80% dari hotel yang diriset menjadikan CSR sebagai manajemen strategis perusahaan. Dengan menjadikan CSR sebagai manajemen strategis perusahaan atau dengan kata lain sebagai salah satu kebijakan manajemen, perusahaan berharap bahwa hal ini akan membantu memecahkan

(5)

14

masalah. Masalah yang dimaksudkan di sini adalah isu-isu sosial di sekitar lingkungan perusahaan.

Pertiwi dan Ludigdo (2013) dan Budiasni (2005) melakukan penelitian tentang implementasi CSR berlandaskan pada konsep Tri Hita Karana. Penelitian mereka merupakan penelitian deskriptif yang secara mendasar menceritakan implementasi CSR yang dilakukan berlandaskan pada prinsip Tri Hita Karana. Pertiwi dan Ludigdo yang melakukan penelitian di Discovery Kartika Plaza Hotel menceritakan bahwa penerapan CSR terintegrasi dalam empat bidang, yaitu perusahaan (corporate), masyarakat (community), lingkungan (environment), dan Tuhan (God).

Masing-masing bidang memiliki porsi yang sama dan saling melengkapi di dalam implementasi CSR Discovery Kartika Plaza Hotel. Implementasi CSR berlandaskan budaya Tri Hita Karana membuat kegiatan bisnis perusahaan (corporate) tidak lagi hanya terfokus pada keuntungan finansial (profit) semata, tetapi secara sadar menjalankan bisnis yang dapat mensejahterakan masyarakat (community), bersahabat dengan lingkungan (environment), dan pada akhirnya sebagai bentuk kepatuhan (yadnya) dan pengabdian (bhakti) perusahaan kepada Tuhan (God). Hal ini menyebabkan perusahaan atau usaha bisnis lebih memiliki kemampuan untuk mengendalikan berbagai aktivitas bisnisnya dalam rangka memperoleh keuntungan yang sejalan dengan perintah Tuhan Yang Maha Esa, tanpa merugikan pemilik saham, pemegang saham, karyawan, masyarakat, dan lingkungan sekitar.

(6)

15

Sementara itu, dalam penelitian Budiasni (2015) yang dilakukan di Hotel Como Shambala Estate, Kabupaten Gianyar, menceritakan bahwa kegiatan CSR dilaksanakan melalui program Como Approach. Program Como Approach dalam hubungan dengan lingkungan diwujudkan melalui kegiatan daur ulang sampah menjadi pupuk padat, mendaur ulang limbah cair menjadi air bersih, melakukan gotong royong pembersihan bersama masyarakat sekitar, membangun bak sampah, dan menyumbangkan tong sampah di warung-warung sekitar. Program Como Approach untuk masyarakat berupa pemberian sumbangan untuk masyarakat, mendukung pendidikan TK Tirta Kumara, dan dalam perekrutan tenaga kerja yang bekerja di Hotel Como Shambala Estate diutamakan yang berasal dari daerah sekitar. Program Como Approach terhadap aspek Ketuhanan dinyatakan melalui pendirian tempat suci berupa Padmasana di area hotel, pemberian sumbangan untuk upacara keagamaan bagi masyarakat setempat, dan pemberian sumbangan untuk pemugaran dan renovasi pura.

Relevansi penelitian yang dilakukan oleh Pertiwi dan Ludigdo (2013) dan Budiasni (2015) dengan penelitian ini adalah sama-sama mengkaji tentang implementasi CSR pada sektor akomodasi. Namun, yang membedakannya adalah Pertiwi dan Ludigdo memasukkan konsep laba (profit) dan Ketuhanan (God) sebagai bagian dari fokus penelitiannya. Demikian halnya dengan penelitian Budiasni, memasukkan aspek Ketuhanan sebagai bagian kajiannya. Pada penelitian ini hanya mengkaji tentang program CSR yang dilakukan pada aspek sosial dan lingkungan. Selain itu, baik dalam penelitian Pertiwi dan Ludigdo maupun penelitian Budianshi, tidak diteliti mengenai faktor-faktor yang

(7)

16

mempengaruhi penerapan CSR dan dampak pelaksanaan CSR terhadap pengembangan ekowisata.

Sucheran (2014) melakukan penelitian pada sektor perhotelan dan penginapan (lodge sector) di KwaZulu-Natal Afrika Selatan. Ia menemukan bahwa hotel dan penginapan yang melakukan kegiatan CSR dapat meningkatkan image positif perusahaan. Hotel-hotel dan penginapan yang diteliti berkontribusi positif dalam kegiatan CSR. Semua hotel mengaku bahwa mereka menggunakan tenaga kerja lokal, membeli barang dan jasa dari masyarakat lokal, melakukan sumbangan sukarela (charities) dan melakukan pembelian produk dengan harga yang wajar. Sejumlah hotel juga memberikan pelatihan kepada karyawan-karyawan dari keluarga kurang mampu. Pemberian bantuan kepada masyarakat lokal meliputi, pemberian dana tunai serta melakukan berbagai kegiatan pengembangan kemasyarakatan (community development). Proyek-proyek ini dimaksudkan untuk menekan ketimpangan-ketimpangan sosial dan ekonomi yang terjadi di masyarakat.

Abram dan Jarzabek (2016) melakukan penelitian tentang penerapan CSR pada hotel yang tergabung dalam Orbis Group dan 2 hotel lainnya yang berada di Krakow, Polandia. Abram dan Jarzabek menemukan bahwa Orbis Group telah melakukan beberapa proyek penting yang berkaitan dengan kegiatan CSR. Salah satu proyek penting yang telah dilakukan oleh Hotel Orbis Group adalah menandatangani dokumen tertulis (code of conduct) yang berisi tentang perlawanan terhadap pelecehan seksual terhadap anak-anak. Dengan menandatangani dokumen tersebut, Hotel Orbis Group memiliki komitmen untuk

(8)

17

memformulasikan kebijakan internal untuk melawan praktek pelecehan seksual terhadap anak-anak, memberikan pelatihan dan pengenalan mengenai hak-hak anak kepada karyawan serta mengedukasi masyarakat lokal dan wisatawan tentang isu pariwisata sex (sex tourism).

Selain itu, Orbis Group juga memberikan sumbangan finansial kepada sebuah proyek yang bernama “Spoldzielnia MaM” pada tahun 2011. Proyek ini menentang diskriminasi perempuan dalam dunia kerja. Proyek sosial lainnya adalah “Accordeon” yang merupakan hasil kolaborasi dengan Nobody’s Children Foundation. Proyek sosial ini memiliki misi membantu anak yatim piatu dan anak yang dibesarkan dalam keluarga broken home untuk memasuki dunia kerja. Selain proyek CSR di bidang sosial, Orbis Group juga melakukan kegiatan CSR di bidang lingkungan, seperti melakukan penanam pohon, melakukan kontrol terhadap penggunaan energi, serta manajemen air dan limbah.

Hotel lain yang menjadi obyek penelitian abram dan Jaezabek adalah Radisson Blue Hotel. Bentuk CSR yang dilakukan oleh hotel ini terbagi ke dalam tiga program yaitu: 1) The Think Planet Programme, yaitu sebuah program yang memiliki tujuan untuk meminimalisir jejak karbon terhadap lingkungan; 2) The Think People Programme, yaitu sebuah program yang berorientasi pada kesehatan dan keamanan pengunjung hotel dan karyawan; dan 3) The Think Together Programme, yaitu penerapan nilai dan norma masyarakat dalam perusahaan. Radisson Blue Hotel memiliki misi untuk menginspirasi stakeholder dalam aktivitas sosial dan lingkungan. Untuk dapat mewujudkannya hotel mengadakan sebuah event yang diberi nama “Blue Love Green”. Event ini diadakan untuk

(9)

18

memberikan penguatan kepada mitra bisnis untuk mengambil bagian dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kegiatan konservasi lingkungan. Berkat aksi ini, pada tahun 2011 Radisson Blue Hotel memperoleh penghargaan “Sustainable Development Leader” dari majalah Forbes.

Hotel terakhir yang menjadi objek penelitian Abram dan Jarzabek adalah Hotel Polski Pod Bialym Orlem Sp. Berbeda dengan Hotel Orbis Group dan Radisson Hotel yang melakukan program CSR bidang sosial dan lingkungan, program CSR pada Hotel Polski Pod Bialym Orlem Sp lebih berfokus pada aspek ekologis. Karyawan hotel diberikan pelatihan tentang konservasi lingkungan, sementara itu para pengunjung hotel juga diinformasikan tentang kebijakan-kebijakan lingkungan yang diterapkan di hotel.

Relevansi penelitian Abram dan Jarzabek dengan penelitian ini adalah sama-sama mengkaji tentang bentuk program CSR yang dilakukan oleh hotel. Walaupun demikian, perbedaan lokasi penelitian serta kehidupan dan kebutuhan masyarakat di mata hotel berada tentu saja dapat mempengaruhi bentuk program CSR yang dijalankan. Selain itu, tidak adanya standar yang baku mengenai program CSR dapat menjadi celah bagi hotel untuk melakukan improvisasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.

2.2 Konsep

Sub bab ini menguraikan pengertian dari kata-kata kunci yang berkaitan dengan topik penelitian. Hal ini bertujuan untuk menghindari multitafsir yang mungkin terjadi dalam memaknai dan memahami thesis ini. Ada enam konsep

(10)

19

yang digunakan, yaitu konsep CSR, konsep pariwisata alternatif, konsep ekowisata, konsep resor, konsep ecolodge, dan konsep pro-poor tourism.

2.2.1 Corporate Social Responsibility

Holcomb (2010) mengungkapkan bahwa CSR meliputi segala bentuk kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan yang berupaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan, serta memberikan manfaat ekonomi kepada para stakeholders. Dalam dokumen “Green Paper” yang dipublikasikan oleh Commission of the European Community pada bulan Juli 2001, mendefenisikan CSR sebagai suatu konsep di mana perusahaan mengintegrasikan bentuk kepedulian sosial dan lingkungan dalam operasional bisnis dan interaksinya dengan para stakeholder dan dilakukan atas dasar sukarela (voluntary basis) (Grigoras dan Albu, 2015).

Sementara itu, Untung (2008), mendefinisikan CSR sebagai bentuk komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial dan lingkungan.

Selanjutnya definisi CSR disampaikan oleh The World Business Councill for Sustainable Development (dalam Rahayu, 2011), yaitu merupakan bentuk kepedulian perusahaan terhadap lingkungan eksternal perusahaan melalui berbagai kegiatan yang dilakukan dalam rangka penjagaan lingkungan, norma masyarakat, partisipasi pembangunan, serta berbagai bentuk tanggung jawab sosial lainnya. Selain itu, tanggung jawab sosial juga merupakan bentuk

(11)

20

komitmen perusahaan dalam pengembangan ekonomi yang berkesinambungan dalam kaitannya dengan karyawan beserta keluarganya, masyarakat sekitar dan masyarakat luas pada umumnya, dengan tujuan peningkatan kualitas hidup mereka.

Dalam penelitian ini CSR didefinisikan sebagai wujud kepedulian perusahaan dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat di mana perusahaan itu beroperasi yang dilakukan melalui serangkaian kegiatan community development.

Dalam konteks Indonesia, tanggung jawab sosial perusahaan diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 74 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007, menyebutkan bahwa:

“Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.”

Ayat (2) “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatuhan dan kewajaran.”

Ayat (3) “Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Ayat (4) “Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

Dengan adanya ketentuan kewajiban menjalankan CSR bagi perusahaan di Indonesia, perusahaan tidak hanya diharapkan pada tanggung jawab Singel Bottom Line, yaitu tanggung jawab pada kondisi finansial perusahaan saja, tapi

(12)

21

perusahaan juga dihadapkan pada tanggung jawab Tripple Bottom Lines, maksudnya adalah selain tanggung jawab finansial, perusahaan juga dihadapkan kepada tanggung jawab lingkungan dan sosial. Hal ini disebabkan karena keberlangsungan perusahan yang berkelanjutan (sustainable) tidak bisa hanya dilihat dari aspek finansial saja, tetapi juga perlu juga dilihat dari aspek sosial dan lingkungan sekitar perusahaan (Untung, 2008: 25).

Seperti halnya di industri lain, konsep CSR juga mulai diterapkan dalam industri pariwisata (Khan, 2014). Meningkatnya peran CSR dalam industri pariwisata dapat dilihat dari upaya yang dilakukan oleh organisasi-organisasi internasional yakni The World Travel and Tourism Council, The World Tourism Organization and The Earth Council untuk merumuskan suatu rencana kerja (action plan) yang populer dengan sebutan Agenda 21 (Martinez et al., 2013). Implementasi agenda 21 ini menekankan pada isu CSR dalam industri pariwisata (Martinez dan Rodriguez, 2013).

2.2.2 Pariwisata Alternatif

Pengembangan pariwisata massal dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian suatu negara. Pesatnya perkembangan pariwisata yang ditandai dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan memberikan peluang munculnya usaha-usaha di bidang pariwisata misalnya usaha akomodasi (hotel, motel, resor, bungalow, dan lain-lain), transportasi (darat, udara, laut), perusahaan di bidang pangan (restoran, cafe, bar, pub, dan lain-lain), serta perusahaan jasa khusus (travel agent, money changer, dan lain-lain). Berbagai kegiatan usaha yang bermunculan sebagai respon terhadap berkembangnya pariwisata di suatu

(13)

22

destinasi akan berbanding lurus terhadap jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia baik yang berkaitan langsung maupun tidak berkaitan langsung dengan pariwisata.

Ironisnya, manfaat yang diperoleh dari pengembangan pariwisata massal bersifat jangka pendek (short term). Dalam jangka pendek, pengembangan pariwisata massal memang dapat mendongkrak pertumbuhan perekonomian suatu negara secara signifikan, akan tetapi dampak yang ditimbulkannya sangat besar dan cenderung bersifat destruktif. Padahal, seperti diketahui pariwisata sangat bergantung pada kebudayaan dan lingkungan alam

Kritik-kritik terhadap bentuk pengembangan pariwisata massal antara lain: kurangnya peran serta masyarakat lokal (host community) dalam pengelolaan pariwisata, keuntungan pengembangan pariwisata sebagian besar dinikmati oleh kaum kapitalis, menimbulkan kebocoran devisa (leakage) terutama di negara sedang berkembang seperti Indonesia, pengembangannya berorientasi pada keuntungan (profit oriented development) sehingga berpotensi terhadap terjadinya eksploitasi lingkungan alam maupun budaya yang merupakan aset utama (main assets) suatu destinasi; serta bersifat destruktif terhadap lingkungan maupun budaya masyarakat lokal.

Pariwisata alternatif (alternative tourism) merupakan paradigma baru pengembangan pariwisata yang berupaya mensinergikan antara aspek ekonomi serta aspek keberlanjutan lingkungan alam dan budaya. Berbeda dengan pariwisata massal, pariwisata alternatif berskala kecil, dan dalam pengembangannya melibatkan peran serta masyarakat lokal sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat langsung kepada mereka. Pelibatan masyarakat lokal

(14)

23

dalam pengembangan pariwisata alternatif dapat meningkatkan motivasi bagi masyarakat dalam menjaga kelestarian budaya maupun lingkungan mereka. Hal ini akan berbeda jika masyarakat lokal tidak dilibatkan dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata berpeluang terjadinya rasa apatis dari masyarakat dalam menjaga keberlangsungan budaya maupun lingkungan alam yang menjadi daya tarik bagi wisatawan.

Wearing dan Neil (2000), memberikan pengertian pariwisata alternatif sebagai bentuk-bentuk pariwisata yang menaruh pariwisata dan konsisten terhadap alam, sosial dan nilai-nilai kemasyarakatan, serta memberikan kesempatan kepada wisatawan dan penduduk lokal untuk berinteraksi dan menikmatinya secara positif serta saling bertukar pengalaman. Elemen penting lain dalam pengembangan pariwisata alternatif adalah unsur pendidikan (educational accent) Breton dan Marie (dalam Prochazkova, 2012). Unsur edukasi harus tercermin dalam interaksi antara wisatawan dan masyarakat lokal. Out put dari elemen pendidikan ini diharapkan mampu menciptakan kesadaran lingkungan (environmental awareness) dan pemahaman budaya (cultural understanding) antara wisatawan dan masyarakat lokal.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa esensi dari pengembangan pariwisata alternatif adalah:

1. Meminimalisir dampak-dampak negatif yang ditimbulkan. Lingkungan alam dan kebudayaan masyarakat lokal merupakan daya tarik utama suatu destinasi, sehingga untuk menjaga keberlangsungannya perlu kesadaran dari para pelaku wisata untuk mencegah atau paling tidak mengurangi

(15)

dampak-24

dampak negatif yang ditimbulkan sebagai akibat dari pengembangan pariwisata.

2. Host community (masyarakat lokal) sebagai aktor utama pengembangan pariwisata. Pemberian tanggung jawab kepada masyarakat lokal untuk mengembangkan daya tarik wisata yang dimilikinya selain dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan perekonomian dan penerimaan pendapatan masyarakat yang lebih besar, juga dapat meningkatkan rasa percaya diri, rasa kebanggaan, serta rasa memiliki terhadap alam dan budaya yang ada di daerahnya. Hal ini secara bersamaan akan meningkatkan kesadaran dan inisiatif dari masyarakat setempat untuk menjaga keberlanjutan dari lingkungan alam maupun kebudayaan mereka.

3. Pendidikan bagi wisatawan dan masyarakat lokal (host community). Elemen pendidikan menjadi penting dalam pengembangan pariwisata alternatif sebagai upaya preventif dari hal-hal yang tidak diinginkan. Pendidikan lingkungan dapat meningkatkan kesadaran lingkungan (environmental awareness), sementara itu edukasi tentang kebudayaan dapat menciptakan pemahaman budaya (cultural understanding) yang baik antara wisatawan dan masyarakat lokal.

2.2.3 Ekowisata

Harris et al. (dalam Rigatti, 2016) mengatakan bahwa pertumbuhan pariwisata yang sangat drastis dan berkesinambungan selama beberapa dekade terakhir secara dramatis mengubah kebudayaan masyarakat serta lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan wisatawan. Di negara-negara miskin yang sering

(16)

25

dikategorikan sebagai negara dunia ketiga, kondisi semacam ini bahkan jauh lebih buruk karena sumber daya pariwisata mereka dieksploitasi oleh negara-negara luar yang notabene merupakan negara kaya. Hal ini memberikan tantangan bagi mereka untuk berupaya memproteksi lingkungan dari berbagai kerusakan. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mitigasi lingkungan dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata adalah ekowisata. Konsep ekowisata pertama kali muncul pada akhir tahuan 1970-an sebagai reaksi terhadap pariwisata konvensional (pariwisata massal).

Timothy dan Teye (2009) menjelaskan bahwa ekowisata memiliki tiga komponen utama yaitu: “berbasis alam, berkelanjutan (termasuk perhatian terhadap manfaat ekonomi dan sosial budaya) dan memiliki unsur edukasi”. Sementara itu, Yoeti (2000) menjelaskan bahwa ekowisata adalah jenis pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan aktivitas melihat, menyaksikan, mempelajari, mengagumi alam, flora dan fauna, sosial budaya etnis setempat, dan wisatawan ikut membina kelestarian lingkungan sekitarnya dengan melibatkan penduduk lokal.

Selanjutnya, Honey (2008) menerangkan bahwa istilah ekowisata seringkali dikaitkan dengan pariwisata berbasis alam meskipun sebenarnya ekowisata tidak hanya sebatas itu, fokus ekowisata adalah di samping memberikan perlindungan pada lingkungan juga memberikan kesejahteraan pada masyarakat lokal. Honey memberikan penjelasan mengenai perbedaan antara wisata alam nature tourism, wildlife tourism, adventure tourism dengan

(17)

26

ekowisata. Jika nature tourism bertujuan untuk bersenang-senang dan menikmati keindahan alam, wildlife tourism berfokus untuk melihat hewan-hewan endemik dan langka, adventure tourism bertujuan menawarkan wisata petualangan kepada para wisatawan, maka tujuan ekowisata adalah selain untuk bersenang-senang juga memiliki karakteristik yang spesifik yaitu adanya kepedulian terhadap lingkungan dan pemberian manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal.

The International Ecotorism Society – TIES (2015) memberikan penjelasan tentang ekowisata yaitu:

Responsible travel to natural areas that conserves the environment, sustains the well-being of the local people, and involves interpretation and education”.

Dari definisi yang disampaikan oleh TIES (2015), dapat ditarik tiga konsep penting dalam kaitannya dengan pengembangan ekowisata yaitu: melindungi dan menjaga kelestarian alam, meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, serta adanya unsur edukasi.

2.2.4 Resor

Pendit (1999) mendefinisikan resor sebagai sebuah tempat menginap di mana mempunyai fasilitas khusus untuk kegiatan bersantai dan berolahraga seperti tennis, golf, spa, tracking, dan jogging. Sebuah resor sebaiknya mempunyai lahan yang ada kaitannya dengan objek wisata, itulah sebabnya sebuah resor selalu berada pada perbukitan, pengunungan, lembah, pulau kecil, dan juga pinggiran pantai.

(18)

27 Bhatia (2006) menjelaskan bahwa:

“Resort hotel cater to the need of holiday maker, and those tourists who travel for health or change for climate. Resort hotels are located near the sea, mountains and other areas of natural beauty. Rest, relaxation and entertainment are the key factors around which resort properties include receation facilities such as a swimming pool, golf courts, skiing, boating, surf riding and other various indoor sports. Resort can be clasified on the basis of climate and topography such as summer, winter, and hill, health resorts, forest resorts, and beach resorts”.

Senada dengan Bhatia (2006), Mill (2007) menyatakan bahwa resor merupakan gabungan dari 3 elemen, yaitu: 1) Recreational attractions that draw guests to the facility, 2) Housing and F&B services that cater to people away from home, 3) Activities to occupy guests during their stay.

Dari pengertian yang disampaikan oleh Bhatia (2006) dan Mill (2007) dapat disimpulkan bahwa resor tidak hanya menawarkan jasa akomodasi saja dengan berbagai fasilitas di dalamnya, melainkan juga berupaya maksimal dalam mengembangkan atraksi dan aktivitas wisatawan yang sesuai dengan karakteristik lingkungan serta budaya masyarakat setempat.

Marlina (2008) menjelaskan karakteristik resor berdasarkan lokasi, fasilitas, segmen pasar, serata arsitektur dan suasana:

1. Lokasi

Pada umumnya resor berlokasi di tempat-tempat yang memiliki pemandangan indah, pegunungan, tepi pantai, dan sebagainya, yang jauh dari hiruk pikuk dan keramaian, kebisingan, serta lalu lintas yang padat. Dalam pemilihan lokasi resor, kedekatan dengan atraksi utama yang berhubungan dengan rekreasi merupakan hal penting yang harus diperhatikan, karena sangat berkaitan erat dan berpengaruh pada harga.

(19)

28 2. Fasilitas

Secara umum fasilitas yang disediakan pada resor terdiri atas dua kategori utama, yaitu fasilitas umum dan fasilitas khusus. Fasilitas umum berupa penyediaan kebutuhan umum seperti akomodasi, pelayanan, hiburan, dan relaksasi. Semua tipe resor menyediakan fasilitas ini. Sedangkan fasilitas tambahan merupakan fasilitas yang disediakan pada lokasi khusus dengan memanfaatkan kekayaan alam yang ada pada tapak dan sekitarnya untuk kegiatan rekreasi yang lebih spesifik dan dapat menggambarkan kealamian resor. Contoh fasilitas ini adalah kondisi fisik tepi laut, yaitu pasir pantai dan sinar matahari yang dimanfaatkan untuk berjemur atau bermain volley pantai. Lautnya yang luas dimanfaatkan untuk kegiatan berenang, selancar, menyelam, dan lain-lain.

3. Segmen pasar

Resor merupakan jenis akomodasi yang terletak di daerah wisata. Sasaran pengunjung resort adalah wisatawan yang bertujuan untuk berlibur, bersenang-senang, mengisi waktu luang, dan melupakan rutinitas kerja yang menjemukan. Untuk itu wisatawan membutuhkan hotel yang dilengkapi dengan fasilitas yang bersifat rekreatif dan memberikan pola pelayanan yang memuaskan. Rancangan resor yang baik harus dapat merespon kebutuhan ini. Oleh karenanya, resor perlu dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang memungkinkan konsumen untuk bersenang-senang, refreshing, dan mendapatkan hiburan.

(20)

29 4. Arsitektur dan suasana

Wisatawan yang berkunjung ke resor cenderung mencari akomodasi dengan arsitektur dan suasana yang khusus dan berbeda dengan jenis akomodasi lainnya. Wisatawan pengguna resor cenderung memilih suasana yang nyaman dengan desain bangunan yang mengusung tema alami dan nuansa etnik. Rancangan bangunan lebih disukai yang mengutamakan pembentukan suasana khusus daripada efisiensi.

2.2.5 Ecolodges

Secara etimologis, ecolodges berasal dari gabungan dua suku kata yaitu ‘ecology’ yaitu ‘ilmu yang mempelajari hubungan makhluk hidup dengan lingkungan’ dan ‘lodges’, yang merupakan bentuk jamak dari ‘lodge’ yang berarti penginapan. Jadi, secara sederhana ecologes dapat diartikan sebagai penerapan konsep ekologi pada sebuah penginapan atau sarana akomodasi dalam skala yang lebih luas.

Osland dan Mackoy (2004) menjelaskan bahwa ecolodge merupakan fasilitas dan layanan akomodasi yang didirikan di dan/atau dekat dengan kawasan alam yang dikunjungi oleh ekoturis. Menurut Russell et al. (dalam Osland dan Mackoy, 2004) sebuah ecolodge harus menerapkan filosopi dan prinsip-prinsip ekowisata, serlain itu ecolodge juga sangat bergantung pada alam (nature-dependent). Ada tiga faktor utama yang membedakan ecolodge dari resort konvensional, yakni: design bangunan, makanan serta aktivitas yang dilakukan selama berada di ecolodge tersebut. Design ecolodge harus terintegrasi dengan alam dan lingkungan sekitar, makanan yang disajikan harus merupakan makanan

(21)

30

yang sehat dan bernutrisi (good-and-hearty food), dan aktivitas yang dilakukan harus berbasis pada nilai-nilai edukasi tentang alam.

TIES (2015) menjelaskan bahwa konsep ecolodges (eco-resort) masih relatif baru dan secara sederhana didefinisikan sebagai akomodasi yang berkelanjutan (sustainable accomodation) yang terintegrasi dengan lingkungan alam dan sosial, memiliki tujuan untuk mengurangi jejak karbon (carbon footprint) serta memberikan kesejahteraan bagi masyarakat lokal. Secara teori, ecologes menciptakan lapangan pekerjaan dan mempromosikan pembangunan berkelanjutan untuk masyarakat ditinjau dari aspek lingkungan sosial, budaya, dan ekonomi. Dengan kata lain, secara umum ecolodges dapat dikategorikan sebagai jenis akomodasi yang mengikuti prinsip-prinsip ekowisata. Rahmafitria (2014) menambahkan, konsep ecolodge mengacu pada keadilan dan perimbangan keuntungan moneter antara investor dan penduduk lokal, serta meminimalisir dampak negatifnya bagi lingkungan melalui pengalaman yang kuat dan berharga kepada pengunjung.

Menurut Mehta et al. (2002) ecolodge merupakan sarana akomodasi yang memenuhi paling tidak lima prinsip ecolodge, tiga prinsip yang harus terkandung dalam suatu ecolodge merupakan prinsip utama ekowisata, yakni konservasi terhadap lingkungan sekitar, memberikan manfaat ekonomi pada masyarakat lokal, serta sebagai sumber informasi bagi masyarakat lokal dan wisatawan (ada unsur edukasi). Selengkapnya prinsip-prinsip ecolodge adalah:

a. Membantu dalam hal konservasi (perlindungan dan pelestarian) terhadap flora dan fauna.

(22)

31

b. Berusaha untuk dapat bekerjasama dengan masyarakat lokal serta membuka lapangan pekerjaan dengan upah yang wajar.

c. Memberikan edukasi kepada wisatawan dan masyarakat lokal tentang lingkungan dan kebudayaan lokal.

d. Mengerti dan memahami manfaat air dan sumbernya serta mengatur dalam penggunaannya.

e. Memberikan penanganan yang sangat hati-hati terhadap pembuangan (pengelolaan) limbah padat, limbah cair dan sampah.

f. Menjadikan energi konvensional sebagai energi yang pasif dan menyediakan perencanaan terhadap energi alternatif yang ramah lingkungan.

g. Menggunakan konsep desain arsitektur tradisional (vernacular), baik dalam segi bentuk, penggunaan bahan, yang bisa saja dikombinasikan dengan unsur modern asal tidak mengurangi nilai-nilai lingkungan.

h. Meminimalisir pengaruh-pengaruh negatif terhadap lingkungan yang ditimbulkan selama proses konstruksi.

i. Mewujudkan bentuk fisik yang jelas dan mengandung arti yang spesifik dan dapat juga menerapkan nilai-nilai budaya lokal.

j. Berkontribusi dalam pelestarian budaya lokal, pengembangan, promosi, pendidikan dan penelitian terhadap budaya lokal itu sendiri.

Dari berbagia pengertian tentang ecolodge dapat disimpulkan definisi ecolodge dalam penelitian ini adalah sarana akomodasi yang didirikan pada dan/atau di dekat kawasan yang memiliki pemandangan alam yang menarik, yang dalam pengelolaannya menerapkan prinsip-prinsip ekowisata.

(23)

32 2.2.6 Pro-Poor Tourism

Istilah “pariwisata pro-rakyat’ walaupun secara leksikal tidak persis sama, sesungguhnya merupakan padanan Indonesia dari konsep pro-poor tourism (Putra dan Pitana, 2010). Para ekonom dan pembuat kebijakan menggunakan istilah pariwisata pro-rakyat untuk memberikan perbedaan antara bentuk pengembangan ekonomi secara umum dan pengembangan ekonomi yang memberikan dampak positif terhadap masyarakat miskin, yang memungkinkan mereka untuk bangkit dari kemiskinan (Jamison et al., 2004).

Pariwisata dikatakan pro-rakyat bilamana: 1) meningkatan perekonomian masyarakat melalui pekerjaan paruh waktu atau penuh waktu (part time or full time job) atau pengembangan kesempatan bagi usaha kecil dan menengah untuk menjual produknya kepada industri pariwisata maupun wisatawan, 2) memberikan sejumlah manfaat seperti penyediaan pasokan air, akses jalan yang baik sehingga memudahkan mobilitas masyarakat untuk menjual barangnya ke pasar, peningkatan kesehatan dan pendidikan, 3) Masyarakat miskin memiliki kesempatan dan kapasitas dalam hal pengambilan keputusan agar mereka dapat meningkatkan penghidupan mereka melalui pengamanan akan akses pada pariwisata dan usaha di bidang pariwisata (Jamison et al., 2004).

Asley (dalam Suardana dan Sunarta, 2016) mengatakan bahwa Pariwisata pro rakyat bukan sebuah produk, akan tetapi merupakan sebuah pendekatan melalui industri, di mana pariwisata diharapkan dapat meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam berbagai sektor pariwisata. Pariwisata pro rakyat bertujuan

(24)

33

untuk meningkatkan perekonomian penduduk, meningkatkan manfaat sosial pariwisata, dan mengurangi dampak negatif pariwisata.

Harison (dalam Pitera, 2016) mengungkapkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pro-poor tourism dimaksudkan agar masyarakat diberikan kesempatan untuk menikmati hasil pariwisata. Harrison menguraikan perbedaan antara pariwisata pro rakyat dan pariwisata bukan pro rakyat seperti ditampilkan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1

Karakteristik Pariwisata Pro Rakyat Bukan Pariwisata

Pro Rakyat Pariwisata Pro-Rakyat

Antikapitalis Fokus untuk mengikutsertakan orang miskin ke dalam pasar kapitalis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Berbeda dari sistem pasar yang besar

Sangat tergantung dari pasar dan struktur pariwisatra

Sebuah teori atau model

Orientasi berdasarkan penelitian dari keuntungan pariwisata untuk manfaat bagi orang miskin

Ceruk pariwisata Berlaku terhadap setiap model pariwisata, termasuk yang bersekala besar atau kecil, dari sekala regional, nasional yang dikelola oleh sektor swasta

Sebuah metode khusus

Menggunakan beragam metode Hanya untuk orang

miskin

Keuntungan tidak hanya dinikmati oleh orang miskin Hanya tentang

kelaparan dan pendapatan rendah

Memiliki pengertian yang luas tentang kemiskinan, ketidakbebasan, kesempatan, kekuasaan, keterampilan dan pendidikan

Hanya untuk keuntungan pribadi

Fokus untuk keuntungan komunitas, seperti air, sanitasi, kesehatan, pendidikan, infrastruktur

Hanya untuk tingkat atas atau kelompok tertentu

Memerlukan kerjasama dan komitmen dari para perencana, pemerintah, sektor swasta untuk memastikan bahwa orang miskin mendapat keuntungan dari pariwis Sumber: Harrison dalam Patera (2016)

(25)

34 2.3 Landasan Teori

Landasan teori dalam penelitian ini digunakan sebagai alat bantu dalam menafsirkan data penelitian yang telah diperoleh. Ada empat teori yang digunakan, yaitu teori stakeholders, teori legitimasi, teori corporate citizenship, dan teori dampak.

2.3.1 Teori Stakeholders

Perusahaan tidak sekadar bertanggung jawab terhadap para pemilik modal (shareholders) sebagaimana terjadi selama ini, namun bergeser menjadi lebih luas yaitu pada ranah sosial kemasyarakatan (stakeholders), selanjutnya disebut tanggung jawab sosial (social responsibility). Fenomena seperti ini terjadi karena adanya tuntutan terbesar dari masyarakat akibat negative externalities yang timbul serta ketimpangan sosial yang terjadi. Pergeseran tersebut berimplikasi pada perkembangan tanggung jawab perusahaan, yang semula hanya diukur sebatas pada indikator ekonomi (economic indicator) dalam laporan keuangan, kini harus memperhitungkan faktor-faktor sosial (social dimensions) terhadap stakeholder, baik internal maupun eksternal (Harahap dalam Hadi, 2011).

Teori stakeholder mampu menjelaskan hubungan antara perusahaan dengan stakeholder-nya. Stakeholder pada dasarnya dapat mengendalikan atau memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pemakaian sumber-sumber ekonomi yang digunakan perusahaan. Oleh karena itu, power stakeholder ditentukan oleh besar kecilnya power yang dimiliki stakeholder atas sumber tersebut. Dengan kata lain, teori ini menyatakan bahwa kesuksesan dan hidup matinya perusahaan sangat bergantung pada kemampuannya dalam menyeimbangkan beragam

(26)

35

kepentingan dari para stakeholder atau pemangku kepentingan. Jika mampu, maka perusahaan akan merain dukungan yang berkelanjutan dan menikmati pertumbuhan pangsa pacar, penjualan, dan laba. Perspektif teori ini menjelaskan masyarakat dan lingkungan merupakan stakeholder yang harus diperhatikan (Lako, 2011:5).

Kasali (2005) membagi stakeholders, menjadi: 1. Stakeholders internal dan eksternal.

Stakeholders internal adalah stakeholders yang berada dalam lingkungan organisasi, misalnya karyawan, manajer dan pemegang saham (shareholders), sedangkan stakeholders eksternal adalah stakeholders yang berada di luar organisasi, seperti: penyalur atau pemasok, konsumen atau pelanggan, masyarakat, pemerintah, pers, kelompok investor, dan lainnya.

2. Stakeholders tradisional dan stakeholders masa depan.

Karyawan dan konsumen merupakan stakeholders tradisional, karena saat ini sudah berhubungan dengan organisasi. Selanjutnya stakeholders masa depan adalah stakeholders pada masa yang akan datang yang diperkirakan akan memberikan pengaruh pada organisasi, seperti: peneliti, konsumen potensial, calon investor (investor potential), dan lainnya.

3. Proponents, opponents, uncommited.

Stakeholders proponents merupakan stakeholders yang berpihak pada perusahaan, stakeholders opponents merupakan stakeholders yang tidak

(27)

36

memihak kepada perusahaan, sedangkan stakeholders uncommited adalah stakeholders yang tidak peduli lagi terhadap perusahaan.

4. Silent majority dan vocal majority.

Dilihat dari aktivitas stakeholders dalam melakukan komplain atau dukungannya secara vocal (aktif), namun ada pula yang menyatakan secara silent (pasif).

Selanjutnya, Kasali membagi garis besar kriteria kepentingan dan keputusan serta kepuasan stakeholders terhadap keberadaan perusahaan, seperti pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2

Interest Stakeholders terhadap Perusahaan

Stakeholders Kriteria Kepentingan dan Kepuasan Shareholders Financial Performance

Employee Salaries, Supervision & Workforce and Satisfaction Consumers Quality, Service, Location, Price

Creditors Creditworthiness

Community Community Contributions Supplier Equal transactions

Government Legal compliance Sumber: Kasali (2005)

Tabel 2.1 di atas menunjukkan bahwa setiap stakeholder memiliki kepentingan masing-masing yang berbeda dengan stakeholder lainnya. Analisis stakeholders ini sangat penting dalam mengkaji tanggung jawab sosial Resor Nihiwatu.

2.3.2 Teori Legitimasi

Teori legitimasi berhubungan erat dengan teori stakeholder. Teori ini menyatakan bahwa organisasi secara berkelanjutan mencari cara untuk menjamin

(28)

37

operasi mereka berada dalam batas norma yang berlaku di masyarakat (Deegan dalam Hadi, 2011). Pengertian senada juga disampaikan oleh O’Donovan (dalam Arifin, dkk, 2012), yaitu:

“Legitimacy theory as the idea that in order for an organization to continue operating successfully, it must act in a manner that society deems socially acceptable.”

Dari pengertian yang dikemukakan oleh O’Donovan di atas mengandung arti bahwa agar perusahaan/organisasi dapat beroperasi secara berkesinambungan harus memperhatikan norma-norma yang dianut oleh masyarakat dan memastikan bahwa aktivitas yang perusahaan dapat diterima oleh masyarakat.

Hal yang mendasari teori legitimasi adalah adanya “kontrak sosial” antara perusahaan dengan masyarakat di mana perusahaan tersebut beroperasi dan menggunakan sumber daya alam. Berdasarkan teori tersebut, setiap perusahaan pada dasarnya harus memberikan benefit kepada masyarakat yang dapat dilakukan dengan cara melaksanakan program corporate social responsibility kepada lingkungan masyarakat di mana perusahaan beroperasi sehingga perusahaan mendapat timbal balik berupa legitimasi dari masyarakat (Ghozali dan Chariri, 2007).

Legitimasi organisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang diberikan masyarakat kepada perusahaaan dan sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Dengan demikian, legitimasi merupakan manfaat atau sumber daya potensial bagi perusahaan untuk bertahan hidup (going concern) (O’Donovan dalam Hadi, 2011: 87).

(29)

38

Sejalan dengan karakternya yang berdekatan dengan ruang dan waktu, legitimasi mengalami pergeseran bersamaan dengan perubahan dan perkembangan lingkungan dan masyarakat di mana perusahaan itu berada (Dowling dalam Hadi, 2011: 87). Perubahan nilai dan norma sosial dalam masyarakat sebagai konsekuensi perkembangan peradaban manusia menjadi motivator perubahan legitimasi perusahaan di samping juga dapat menjadi tekanan bagi legitimasi perusahaan (Lindblom dalam Hadi, 2011: 88).

2.3.3 Teori Corporate Citizenship

Salah satu teori CSR yang dikembangkan oleh Garriga dan Mele adalah teori corporate citizenship. Secara historis, istilah ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 1980-an dalam bisnis dan hubungan masyarakat melalui praktisi. Eilbirt dan Parket, pada tahun 1970-an, mencermati pengertian yang lebih baik dari tanggung jawab sosial, dengan menggunakan istilah ‘good neighborliness’, yang tidak jauh dari istilah ‘good citizen’. Menurut kedua ahli ini, ada dua makna yang melekat pada ‘good neighborliness’. Pertama, ‘tidak melakukan hal yang merusak lingkungan’; dan kedua, ‘komitmen bisnis secara umum, terhadap peran aktif dalam solusi masalah sosial secara luas, seperti diskriminasi rasial, polusi, transportasi atau pelemahan daerah urban’ (Mele dalam Prayudi, 2012).

Meski ide untuk melihat perusahaan layaknya warga negara (citizen) bukanlah konsep yang baru, ketertarikan kembali atas konsep ini baru-baru ini di kalangan praktisi dikarenakan faktor-faktor tertentu yang memiliki dampak pada hubungan bisnis dan masyarakat. Beberapa faktor penting di antaranya adalah fenomena globalisasi dan kekuatan perusahaan multi nasional. Pentingnya

(30)

39

memberikan perhatian di mana perusahaan beroperasi telah mendorong CEO perusahaan multinasional besar menandatangani sebuah dokumen dalam World Economic Forum di New York pada tahun 2002, Global Corporate Citizenship: The Leadership Challenge for CEOs and Boards. Bagi World Economic Forum, ‘Corporate Citizenship adalah mengenai bagaimana perusahaan memberikan kontribusi bagi masyarakat melalui aktivitas bisnis inti mereka, investasi sosial mereka dan program filantropi, serta keterlibatan dalam kebijakan publik (Prayudi, 2012).

Teori ini memiliki konotasi rasa memiliki terhadap komunitas. Pada prinsipnya teori ini menekankan bahwa perusahaan, layaknya warga negara, memiliki hak dan kewajiban. Artinya bahwa ketika perusahaan menjalankan aktivitasnya dalam rangka mengejar keuntungan, maka saat bersamaan seharusnya perusahaan mempertimbangkan kewajibannya untuk memperhatikan komunitas dan lingkungan. Karena alasan ini manajer atau instansi bisnis sadar bahwa mereka harus mempertimbangkan komunitas dimana mereka beroperasi.

2.3.4 Teori Dampak

Menurut Soemartowo (2009:38), mendefinisikan dampak sebagai suatu perubahan yang terjadi akibat suatu aktivitas. Aktivitas tersebut dapat bersifat alamiah, kimia, fisik, dan biologi.

Dampak atau perubahan yang ditimbulkan oleh suatu aktivitas tidak selamanya berarti negatif, tetapi bisa juga sebaliknya. Dalam konteks penelitian ini, dampak mengacu pada terjadinya perubahan kehidupan sosial, ekonomi masyarakat dan ekologis sebagai akibat dari berbagai kegiatan CSR yang

(31)

40

dilakukan oleh Resor Nihiwatu. Aspek sosial, ekonomi, dan ekologis merupakan pilar penting dalam pengembangan ekowisata.

Armour (dalam Mansyah, 2013), memberikan pengertian perubahan sosial sebagai perubahan yang terjadi pada manusia dan masyarakat yang diakibatkan oleh aktivitas pembangunan. Perubahan itu meliputi aspek-aspek:

a. Cara hidup (way of life) termasuk di dalamnya bagaimana manusia itu hidup, bekerja, bermain, dan berinteraksi satu dengan yang lain. Cara hidup ini disebut aktivitas keseharian (day-to-day-activities)

b. Budaya termasuk di dalamnya sistem nilai, norma dan kepercayaan. Contohnya, dengan adanya suatu aktivitas industri atau proyek, irama kerja penduduk menjadi lebih kaku (rigid), sehingga tidak lagi memiliki kesempatan untuk turut dalam kegiatan-kegiatan kampung seperti yang mereka lakukan sebelumnya.

c. Komunitas meliputi struktur penduduk, kohesi sosial, stabilitas masyarakat, estetika, sarana dan prasarana fasilitas yang diakui sebagai fasilitas publik (public facilities) oleh masyarakat yang bersangkutan. Seringkali kehadiran proyek yang menimbulkan dampak perpindahan penduduk menimbulkan renggangnya kohesi sosial. Mereka harus pindah ke tempat lain yang tidak selalu sama dengan tempat sebelumnya.

Menurut Carley dan Bustelo (dalam Mansyah, 2013), dampak sosial ekonomi terdiri dari perubahan pendapatan, kesempatan bekerja, dan pola tenaga kerja. Sementara itu, Homenauck (dalam Mansyah, 2013), mengkategorikan dampak sosial ekonomi ke dalam dampak nyata (real impact) dan dampak khusus

(32)

41

(special impact). Dampak nyata (real impact) adalah dampak yang timbul sebagai akibat dari aktivitas proyek, pra konstruksi, konstruksi, operasi, dan pasca operasi, misalnya migrasi penduduk, kebisingan, dan polusi udara. Sedangkan dampak khusus (special impact) adalah suatu dampak yang timbul dari persepsi masyarakat terhadap resiko dari adanya proyek.

Dampak sosial dalam penelitian ini diartikan sebagai bentuk perubahan cara hidup masyarakat (way of life) sebagai akibat dari program-program CSR yang dilakukan. Dampak sosial yang akan dibahas pada penelitian ini adalah perubahan-perubahan positif yang dialami oleh masyarakat dengan adanya berbagai kegiatan CSR di lingkungan mereka. Dampak ekonomi dalam penelitian ini diartikan sebagai perubahan ekonomi yang terjadi akibat kegiatan CSR yang dilakukan oleh Resor Nihiwatu. Sementara itu, dampak ekologis merupakan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan CSR terhadap lingkungan, khususnya lingkungan fisik (alam).

2.4 Model Penelitian

Ekowisata sebagai salah satu bentuk pengejawantahan dari pariwisata alternatif merupakan pariwisata yang dalam pengembangannya dapat memberikan sumbangsih langsung terhadap perekonomian masyarakat lokal, melakukan konservasi lingkungan serta mendukung pelestarian kebudayaan masyarakat lokal. Penerapan konsep ekowisata tidak tidak hanya dapat dilakukan pada destinasi wisata tetapi juga pada sektor-sektor industri akomodasi. Banyak peneliti menemukan bahwa penerapan ekowisata pada sarana akomodasi berkorelasi

(33)

42

positif terhadap peningkatan citra perusahaan, peningkatan daya saing, strategi positioning perusahaan, serta dapat meningkatkan keuntungan perusahaan. Atas dasar itu, saat ini penerapan ekowisata tidak lagi menjadi keharusan perusahaan akan tetapi sudah menjadi kebutuhan perusahaan apabilah ingin tetap bertahan (survive) dalam persaingan perusahaan.

Di Indonesia, penerapan ekowisata sudah mulai diterapkan, salah satunya adalah Resor Nihiwatu. Hal yang paling menonjol dari resor ini adalah pelaksanaan program CSR-nya. Secara substansial konsep CSR sejalan dengan prinsip-prinsip ekowisata. Dalam CSR dikenal konsep Tripple Bottom Lines (3P), yaitu profit (upaya perusahaan untuk memperoleh keuntungan dari aktivitas bisnisnya), people (tanggung jawab perusahaan untuk memberikan keuntungan ekonomi kepada stakeholders-nya), dan planet (tanggung jawab perusahaan untuk melakukan konservasi lingkungan). Sementara itu, secara garis besar konsep ekowisata terbagi dalam tiga unsur pokok yaitu aspek ekonomi, sosial, dan budaya.

Penelitian ini akan mengkaji tentang bentuk program CSR pada Resor Nihiwatu, faktor-faktor yang mendorong Resor Nihiwatu untuk melakukan kegiatan CSR, serta dampak program CSR yang dilakukan oleh Resor Nihiwatu dalam kaitannya dengan pengembangan ekowisata. Untuk menjawab rumusan-rumusan masalah tersebut, peneliti melakukan pengumpulan data melalui observasi dan kegiatan wawancara dengan pihak-pihak yang dinilai memiliki pengalaman serta pengetahuan terkait dengan informasi-informasi yang

(34)

43

dibutuhkan dalam upaya memecahkan permasalahan penelitian. Selain itu, untuk menunjang dan melengkapi data yang diperoleh melalui observasi dan wawancara, peneliti juga menghimpun data melalui studi pustaka. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan analisis deskriptif kualitatif dengan mengacu pada teori yang ada. Adapun teori yang digunakan adalah teori stakeholder, teori legitimasi, teori corporate citizenship, dan teori dampak.

Berdasarkan konsep pemikiran tersebut, maka secara skematis dapat digambarkan model penelitian seperti tertera pada Gambar 2.1.

(35)

44

Gambar 2.1 Model Penelitian Faktor Pendorong Pelaksanaan CSR Bentuk Program CSR Pengaruh CSR terhadap Ekowisata CSR Resor Nihiwatu Pembahasan Sosial Lingkungan Ekonomi Rekomendasi Konsep: 1. CSR 2. Pariwisata Alternatif 3. Ekowisata 4. Resor 5. Ecolodges 6. Pro-poor Tourism Teori: 1. Stakeholder 2. Legitimasi 3. Corporate Citizenship 4. Dampak

Gambar

Gambar  2.1 Model Penelitian Faktor Pendorong Pelaksanaan CSR Bentuk Program CSR  Pengaruh CSR terhadap  Ekowisata CSR Resor Nihiwatu Pembahasan Sosial  Lingkungan Ekonomi Rekomendasi  Konsep: 1

Referensi

Dokumen terkait

• (Selain dari dua kegiatan tadi, ada lagi kegiatan komunikasi personal yang dilakukan mba? Misalnya manfaatin media sosial?) Oh kalau itu iya kita lakukan, kan kadang-kadang

Pengaturan aset tetap yang tersedia untuk dijual dihapus karena sudah diatur dalam PSAK 58 (revisi 2009): Aset Tidak Lancar yang Dimiliki untuk Dijual dan

Spesies tumbuhan pada tingkat pancang ditemukan sebanyak 47 spesies dari 27 famili pada petak contoh penelitian, sedangkan nilai INP dari spesies pancang yang

Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif

Kendaraan Ringan ( Light vehicles , LV) Diantaranya : bus angkutan, pick up, colt, kijang, sedan, jeep.. Sepeda Motor ( Motor cycles , MC) Diantaranya : sepeda motor dan

Seni sebagai ekspresi jiwa manusia sudah barang tentu mengandung nilai estetika, termasuk kesenian tradisional Gong Gumbeng yang ditumbuh-kembangkan oleh masyarakat

Melalui identi- fikasi awal hambatan melaluipembelajaran bersama dengan guru PAUD Gugus 11 Arjowinangun untuk menemukenali faktor kegagalan pemahaman pada K13 PAUD dari

Dengan pelbagai andaian serta spekulasi tentang punca kemerosotan makanan utama iaitu padi kita seharusnya mengambil iktibar bahawa sesebuah negara yang kuat ialah negara yang