• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI. Ilmu Penyakit Dalam BRONKIEKTASIS 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAFTAR ISI. Ilmu Penyakit Dalam BRONKIEKTASIS 1"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...1

BAB I PENDAHULUAN...2

BAB II DEFINISI...3

BAB III EPIDEMIOLOGI...4

BAB IV ETIOLOGI...6

BAB V PATOFISIOLOGI...12

BAB VII MANIFESTASI KLINIS...13

BAB VIII DIAGNOSIS...16

BAB IX TERAPI...22

BAB XI PROGNOSIS...25

BAB XII PENCEGAHAN...26

(2)

BAB I PENDAHULUAN

Bronkiektasis adalah suatu proses kronik, dimana terjadi suatu dilatasi atau pelebaran abnormal dan permanen dari satu atau lebih bronkus atau saluran napas.[1][2][3] Saluran napas

yang dimaksud adalah dari trakea hingga alveoli. Bronkiektasis pada umumnya terjadi karena proses infeksi, namun demikian faktor selain infeksi pun dapat berkontribusi dalam proses pembentukan dan perkembangan kondisi ini.[1] Sesungguhnya bronkiektasis telah dijelaskan

pertama kalinya oleh Laennec pada tahun 1819, kemudian rinci oleh Sir William Osler pada akhir 1800, dan ditetapkan lebih lanjut oleh Reid pada 1950-an, bronkiektasis telah mengalami perubahan yang signifikan dalam hal yang prevalensi, etiologi, presentasi, dan pengobatan.[4] Namun demikian bronkiektasis ini sendiri merupakan penyakit paru yang

jarang dikenali oleh masyarakat. Bronkiektasis dapat dikategorikan sebagai penyakit paru obstruktif kronik dimanifestasikan oleh meradangnya saluran napas, yang membuat saluran napas menjadi rentan sehingga terjadi obstruksi aliran udara dan menimbulkan sesak napas, adanya gangguan sekresi mukus dan kadang-kadang hingga adanya hemoptisis.[4][5] Beberapa

kasus yang berat dapat menyebabkan gangguan progresif saluran napas hingga menimbulkan gagal napas. Bronkiektasis paling sering muncul sebagai proses fokal dimana hanya melibatkan lobus, segmen, atau subsegment dari sebelah paru, dan proses difus lebih jarang terjadi dimana melibatkan kedua paru. Bronkiektasis difus merupakan kasus yang paling sering terjadi dalam hubungan dengan penyakit sistemik, seperti cystic fibrosis (CF), penyakit sinopulmonary, atau keduanya. [1][3] Diagnosis biasanya didasarkan pada riwayat

klinis dengan adanya gejala pernapasan kronis, seperti batuk setiap hari yang kronis dan produksi dahak kental, selain itu adanya temuan dari hasil pencitraan (misalnya CT scan karena pemeriksaan ini yang paling mudah dan sering digunakan) seperti adanya penebalan dinding bronkus dan dilatasi lumen.[7][8] Dalam penatalaksanaan bronkiektasi, antibiotik dan

fisioterapi toraks adalah modalitas andalan. Selain itu, terapi yangdapat dilakukan adalah tergantung dari kondisi yang mendasari, seperti hypogammaglobulinemia atau kekurangan alpha1-antitrypsin, adalah penting untuk perawatan keseluruhan. Bedah merupakan tambahan penting untuk terapi pada beberapa pasien yang memiliki komplikasi dan penyakit yang sudah sangat parah.[7][9][11]

(3)

BAB II DEFINISI

Bronkiektasis berasal dari bahasa Yunani dari kata “broncos” dan “ectasia”, dimana broncos berarti saluran napas dan ectasia berarti dilatasi. [1]Sehingga secara morfologi dapat

disimpulkan definisi bronkiektasis adalah saluran napas yang berdilatasi. Bronkiektasis adalah suatu proses kronik di paru, berupa dilatasi saluran napas yang irreversible / permanen dan adanya fibrosis di paru sehingga mengurangi kemampuan saluran napas untuk membersihkan hasil sekresi (mukus).[1] [2] [3] Bronkiektasis adalah tahapan terakhir dari

berbagai proses patologik yang menyebabkan kerusakan dari dinding bronkial dan jaringan penyokong sekitarnya.[2] Berkurangnya kemampuan tersebut membuat hasil sekresi tersebut

menjadi media pertumbuhan mikroba dan berkumpulnya partikel lain sehingga memicu penambahan sekresi mukus. Bronkiektasis merupakan penyakit yang jarang ditemukan di masyakarat dan seringnya disebabkan oleh proses infeksi sekunder. Pada anak-anak apabila terdapat batuk berdahak yang kronik dan tidak responsif terhadap terapi antibiotik mungkin dapat diindikasikan adanya bronkiektasis.[3]

(4)

BAB III EPIDEMIOLOGI

Bronkiektasis merupakan penyakit yang jarang diketahui dan tidak umum dikenal dalam masyarakat. Jumlah prevalensinya pun sulit untuk ditentukan karena gejala klinisnya yang bervariasi dan diagnosis yang jarang dibuat oleh para petugas medis.[1] Di era

pre-antibiotik tingkat kejadian bronkiektasis sama seperti atau lebih sering dibandingkan tuberkulosis dan muncul di 92% kasus bronkitis kronik. Pada era itu bronkiektasis mulai muncul pada usia kanak-kanak, sekitar 25 orang per 100.000 mengalami bronkiektasis, dan bertambah jumlah penderita pada usia 74 tahun ke atas sekitar 272 orang dari 100.000.[7]

Total prevalensi bronkiektasis di negara United State baik itu anak-anak maupun dewasa berkisar sekitar 520 dari 1.000.000. Suatu penelitian yang dilakukan di tahun 2005 memperkirakan setidaknya terdapat 110.000 pasien dewasa di United State yang menderita bronkiektasis.[8] Tingkat kejadian bronkiektasis yang bukan disebabkan oleh cystic fibrosis

sangat sulit untuk ditentukan. Hal ini mungkin disebabkan tidak adanya survei mengenai bronkiektasis, gejala yang tidak terlalu khas dari penyakit bronkiektasis dan penyakit yang ringan sehingga sering tidak terdiagnosis.[8] Walaupun demikian terdapat penelitian yang

membuktikan adanya penurunan tingkat kejadian bronkiektasis akibat peningkatan jumlah penggunaan antibiotik dan peningkatan kepedulian terhadap kesehatan anak-anak. Dari data-data yang berhasil dikumpulkan menunjukan bahwa tingkat prevalensi tertinggi pasien yang terdiagnosis bronkiektasis bukan dikarenakan cystic fibrosis rata-rata berjenis kelamin perempuan. Penelitian lain yang dilakukan secara retrospektif terhadap 144 anak di Australia dengan batuk berdahak yang kronik menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami batuk berdahak dan tidak kunjung sembuh setelah empat minggu menjalani terapi antibiotik oral memiliki kemungkinan 20 kali lebih tinggi menderita bronkiektasis.[8] Anak-anak terebut

dipasang suatu alat detektor bernama chest multi-detector CT (MDCT) scans yang menunjukan bahwa dari 144 anak tersebut terdapat 106 anak yang mengalami bronkiektasis pada pemeriksaan menggunakan MDCT tersebut. Berdasarkan data antibiotik yang diperoleh dari 129 anak didapatkan data sekitar 105 orang anak yang menderita batuk walaupun telah diberikan terapi antibiotik yang sesuai diantaranya terdapat 88 orang anak (83,8 %) menderita bronkiektasis, sementara dari 24 orang anak yang sembuh dari batuknya diantaranya terdapat 6 orang anak (25,0 %) yang menderita bronkiektasis.[8]

(5)

Gambar. Jumlah pasien bronkiektasis di Australia tahun 2010-2011 yang dirawat berdasarkan etiologi. Sumber: AIHW National Hospital Morbidity Database.[8]

Saat ini tidak ada data yang sistematis tersedia pada kejadian atau prevalensi bronkiektasis. Sebuah teori umum adalah bahwa munculnya vaksin dan antibiotik dalam abad ke-20 mengakibatkan penurunan tingkat bronkiektasis di negara-negara maju.[7][8][9] Data

terbaik yang tersedia menunjukkan bahwa prevalensi bronkiektasis mencerminkan kondisi sosial ekonomi penduduk yang diteliti, dengan prevalensi secara signifikan lebih rendah di daerah dimana imunisasi dan antibiotik yang tersedia. Bronkiektasis tetap menjadi penyebab utama morbiditas di negara-negara berkembang, terutama di negara-negara dengan akses terbatas ke perawatan medis dan terapi antibiotik.[7] CF adalah penyebab tunggal terbesar dari

infeksi paru-paru kronis dan bronkiektasis di negara-negara industri. Dalam era preantibiotik, gejala biasanya mulai pada dekade pertama kehidupan, dan hal ini terus berlaku di negara-negara berkembang. Saat ini, di negara-negara maju, onset terjadinya bronkiektasis telah pindah ke masa dewasa sekitar usia 60-80 tahun, kecuali pada anak-anak dengan CF. [9]

(6)

BAB IV ETIOLOGI

Penyebab terjadinya bronkiektasis adalah adanya infeksi di bronkial dan inflamasi yang kronik di saluran nafas, yang memiliki progresifitas terhadap kerusakan paru.[3]

Penyebab tersering adalah cystic fibrosis, kelainan imun, infeksi berulang dan beberapa kasus dapat penyebabnya idiopatik.[1][2][3] Brokiektasis dapat terjadi pada beberapa area di paru yang

disebut sebagai bronkiektasis difus, ataupun dapat terjadi pada satu atau dua area di paru yang disebut sebagai bronkiektasis fokal.[3]

Bronkiektasis difus sering terjadi pada pasien dengan kelainan genetik, imunologik dan anatomik yang mengenai saluran napas.[2][3] Di negara berkembang, beberapa kasus

muncul sebagai kasus idiopatik, yang mungkin disebabkan karena kasus ini memiliki perjalanan penyakit yang lambat sehingga pencetus penyakit ini sulit untuk diidentifikasi. Namun dengan berkembangnya tes genetik dan imunologik yang semakin canggih, jumlah kasus ini bertambah sehingga memudahkan dalam mengidentifikasi penyebab dari kelainan yang sebelumnya dianggap sebagai kasus idiopatik tersebut. Penyebab yang paling sering adalah cystic fibrosis, imunodefisiensi, nutrisi yang buruk dan HIV dapat meningkatkan resiko terjadinya bronkiektasis, adanya kelainan kongenital pada kemampuan mukosiliar dalam membersihkan saluran napas seperti pada sindrom primary cilliary dyskinesia (PCD) dan penyakit autoimun seperti rheumatoid arthritis dan sindrom Sjogren. Selain itu reaksi alergi seperti alergi bronkopulmonar aspergilosis (ABPA) yaitu reaksi hipersensitif terhadap Aspergilus spp, yang umunya sering terjadi pada pasien asma, namun juga dapat terjadi pada pasien cyctic fibrosis dapat berkontribusi dalam menyebakan bronkiektasis. Di negara berkembang kebanyakan kasus diffuse bronchiectasis terjadi karena tuberculosis.[3]

Bronkiektasis fokal biasanya terjadi karena adanya penyakit pneumonia yang tidak diterapi dan adanya penyumbatan seperti contohnya benda asing, tumor, limfadenopati, dan lain sebagainya, seperti yang tercantum dalam tabel 1.[4]

(7)

Tabel 1. Faktor-Faktor Pemicu Bronkiektasis

Kategori Contoh

Infeksi Bakteri Bordetella pertussis Haemophilus influenzae Klebsiella spp. Moraxella catarrhalis Mycoplasma pneumoniae Pseudomonas aeruginosa Staphylococcus aureus Fungal Aspergillus spp. Histoplasma capsulatum Mycobacterial Mycobacterium tuberculosis

Nontuberculous mycobacteria

Virus Adenovirus

Herpes simplex virus Influenza

Measles

Respiratory syncytial virus Kelainan

Kongenital

Kekurangan α1

-Antitrypsin

Jika sudah parah dapat menyebabkan bronkiektasis

Kelainan siliar Dpat menyebabkan bronkiectasis, sinusitis, otitis media dan infertiliti pada pria

50% pasien dengan primary ciliary dyskinesia memiliki situs inversus

(8)

Kartagener syndrome (trias : dextrocardia, penyakit sinus, situs inversus)

Cystic fibrosis Adanya sekresi mukus berlebih karena adanya kelainan pada transport Na+ dan Cl

-Sering terjadi komplikasi karena adanya kolonisasi P. aeruginosa atau S. aureus. Imunodefisiensi Primer Penyakit granuloma kronik

Kekurangan komplemen Hypogammaglobulinemia Sekunder HIV Imunosupresan Obstruksi jalan napas

Kanker Lesi endobronkial

Kompresi ekstrinsik Massa tumor atau limfadenopati Benda asing Teraspirasi atu intrinsik (co: bronkolit) Impaksi mukoid Allergic bronchopulmonary aspergillosis Postoperatif Reseksi lobar

Kelainan jaringan

penyokong dan sistemik

RA Paling sering menyebabkan bronkiektasis, lebih sering pada laki-laki dan pasien yang telah lama menderita RA

Sjögren syndrome Peningkatan produksi mukus yang memicu terjadinya penyumbatan, sulit dalam

membersihkan saluran napas dan infeksi kronik. SLE Bronkiectasis terjadi pada 20% pasien dengan

mekanisme yang masih belum jelas. Inflammatory bowel

disease

Komplikasi bronkopulmonari terjadi setelah onset inflammatory bowel disease sebesar 85% kasus dan sebelum onset sekitar 10 -15% kasus Bronkiektasis lebih sering terjadi pada pasien ulcerative colitis dan Crohn disease

(9)

Relapsing polychondritis — Kelainan struktural kongenital

Limfatik Yellow nail syndrome

Trakeobronkial Williams-Campbell syndrome (kekurangan kartilago)

Trakeobronkomegali (co: Mounier-Kuhn syndrome)

Vaskuler Pulmonary sequestration Inhalasi toksin Amonia

Klorin

Nitrogen dioksida

Secara langsung merusak struktur dan fungsi saluran

Lain-lain Transplantasi Sekunder pada infeksi yang berulang pada pasien imunosupresan

Dikutip dari : Barker, AF: Bronchiectasis. The New England Journal of Medicine 346: 1383–1393, 2002.

 Infeksi

Bronkiektasis adalah hasil akhir dari infeksi yang tidak diobati dengan tepat atau tidak diobati sama sekali. Infeksi adalah penyebab yang paling umum dari bronkiektasis di negara berkembang sebelum meluasnya penggunaan antibiotik dan dimana antibiotik digunakan secara tidak konsisten.[3] Infeksi virus syncytial pernafasan pada masa

kanak-kanak dapat juga menyebabkan bronkiektasis. Mycobacterium avium complex (MAC) merupakan infeksi yang memiliki kecenderungan terjadi pada penderita human immunodeficiency virus (HIV) atau pada orang-orang yang imunokompeten. Setelah bronkiektasis terjadi, banyak dari organisme yang sama berkoloni di bronkus yang rusak tersebut dan dapat menyebabkan kekambuhan dan infeksi episodik. Organisme yang ditemukan paling sering adalah spesies Haemophilus (47-55% pasien) dan spesies Pseudomonas (18-26% pasien). Meskipun bukan penyebab utama dari bronkiektasis, P. aeruginosa sering menyebabkan infeksi bronkial kronis pada pasien dengan non-CF bronkiektasis melalui mekanisme yang melibatkan pembentukan biofilm dan pelepasan faktor virulensi. Hal ini menunjukkan bahwa spesies Pseudomonas dapat mendukung

(10)

proses perkembangan penyakit dan infeksi dari spesies ini dapat menyebabkan perburukan pada fungsi paru-paru dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas.[2][3]

 Obstruksi bronkus

Bronkiektasis postobstruktif fokal dapat terjadi karena beberapa hal seperti tumor endobronkial, broncholithiasis, stenosis bronkial akibat infeksi, aspirasi benda asing dan lain sebagainya. Pada orang dewasa, aspirasi benda asing sering terjadi pada pasien dengan perubahan status mental, aspirasi makanan yang tidak terkunyah dengan benar atau sesuatu yang berasal dari perut, termasuk makanan, asam lambung, dan mikroorganisme.[4]

Cystic fibrosis

CF adalah gangguan multisistem yang mempengaruhi sistem transportasi klorida dalam jaringan eksokrin. CF dan variannya adalah penyebab paling umum dari bronkiektasis di Amerika Serikat dan negara-negara industri lainnya. CF adalah penyakit resesif autosomal yang mempengaruhi sekitar 1 dari 2.500 di Amerika Serikat. Bronkiektasis yang terkait dengan CF diyakini terjadi akibat penyumbatan lendir di saluran napas proksimal dan infeksi paru kronis, terutama infeksi P aeruginosa. [4]

 Ciliary primer dyskinesia

Ciliary dyskinesia primer adalah sekelompok kelainan bawaan yang memiliki manifestasi immotile atau diskinesia silia. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya pembersihan mukosiliar, infeksi paru berulang dan akhirnya bronkiektasis.Sebuah varian dari kondisi ini, awalnya dijelaskan oleh Kartagener, mencakup trias klinis situs inversus, polip hidung atau sinusitis, dan bronkiektasis dalam pengaturan silia immotile dari saluran pernapasan.[3][4]

 Alergi aspergillosis bronkopulmonalis

Alergi bronchopulmonary aspergillosis (ABPA) adalah reaksi hipersensitivitas terhadap antigen Aspergillus dihirup yang ditandai dengan bronkospasme, bronkiektasis, dan bukti imunologi dari reaksi terhadap spesies Aspergillus. ABPA harus dicurigai pada pasien dengan batuk produktif yang juga memiliki riwayat gejala asma yang tidak berespon terhadap terapi konvensional. Bronkiektasis yang dihasilkan berdinding tipis dan mempengaruhi paru daerah pusat/ tengah. CT scan thoraks menunjukkan bronkiektasis napas pusat, membedakan kondisi ini dari penyebab lain dari bronkiektasis. Fitur lain dari ABPA termasuk eosinofilia, peningkatan imunoglobulin E (IgE) tingkat, dan respon terhadap kortikosteroid terapeutik.[4]

 Cacat bawaan anatomi

Bronkiektasis dapat hasil dari berbagai cacat anatomi bawaan. Penyerapan bronkopulmonalis adalah kelainan kongenital diklasifikasikan sebagai intralobar atau

(11)

extralobar dan menghasilkan infeksi saluran pernapasan kronis yang lebih rendah dalam menyebabkan bronkiektasis. Sindrom Williams-Campbell (defisiensi kartilago kongenital) adalah tidak adanya tulang rawan dari segmen lobar generasi pertama sampai kedua sehingga menghasilkan bronkiektasis perifer yang luas. Sindrom Mounier-Kuhn (tracheobronchomegaly) adalah gangguan langka yang ditandai dengan pelebaran trakea dan bronkus segmental (bronkiektasis sentral). Swyer-James sindrom (unilateral hiperlusen paru) adalah gangguan perkembangan yang mengarah ke bronchiolitis unilateral, hiperinflasi dan bronkiektasis. [2][3][4]

 Alpha1-antitrypsin (AAT) defisiensi

Patogenesis bronkiektasis dalam akibat rendahnya alpha1-antitrypsin masih belum jelas, namun diyakini bahwa kelainan AAT membuat pasien lebih rentan terhadap infeksi saluran pernapasan dan kerusakan bronkus berikutnya.[3]

 Penyakit autoimun

Penyakit autoimun, gangguan jaringan ikat, dan gangguan inflamasi idiopatik. Rheumatoid arthritis dikaitkan dengan bronkiektasis dalam dilaporkan 3,2-35% pasien dan patologi bronkiektasis dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi pada pasien. Penyakit paru dapat terjadi sebelum terjadinya proses rheumatik.Bronkiektasis pada pasien dengan sindrom Sjögren menunjukan adanya peningkatan viskositas lendir. Systematic lupus erythematosus dapat hadir dengan berbagai patologi paru, termasuk bronkiektasis, yang dilaporkan pada 21% pasien dalam satu seri. Sindrom Marfan adalah gangguan jaringan ikat, kelemahan jaringan ikat dinding bronkus merupakan predisposisi terjadinya bronkiektasis.[3]

 Traksi dari proses lainnya

Traksi bronkiektasis adalah distorsi dari saluran napas/ bronkus akibat dari adanya fibrosis parenkim paru sekitarnya. Traksi bronkiektasis cenderung memiliki distribusi lobus atas dalam kasus fibrosis radiasi dan sarcoidosis, sedangkan lobus bawah didominasi terlibat dalam kasus penyakit paru interstitial / fibrosis paru idiopatik (ILD / IPF).[3]

 Paparan gas beracun

Paparan gas beracun mungkin sering menyebabkan kerusakan permanen pada saluran napas bronkus dan bronkiektasis kistik. Agen umum terlibat mencakup gas klorin dan amonia.[3]

(12)

BAB V PATOFISIOLOGI

Bronkiektasis adalah dilatasi saluran napas yang abnormal dan permanen yang disebabkan adanya kerusakan pada otot dan jaringan ikat elastis. [2] Kelainan ini diawali

dengan adanya penyempitan di cabang bronkial yang dipicu oleh suatu infeksi, dimana mikroorganisme berkolonisasi di permukaan mukosa saluran napas membentu suatu lapisan yang disebut biofilm untuk melindungi diri dari sistem imun manusia dan menjadi media untuk pertumbuhan mikroorganisme tersebut atau mikroorganisme lain.[3] Kolonisasi

mikroorganisme tersebut kemudian menyebabkan rusaknya epitelium pada kondisi kronik. [2]

Jaringan parenkim sekitar terinfiltrasi oleh sel inflamatori. Rusaknya jaringan sekitar menyebabkan dilatasi dalam bentuk silindrikal, varikosa atau distensi sistik dengan hancurnya struktur jaringan sekitar. [2] Hal ini akan memicu terjadinya gangguan dari fungsi

mukosiliar dalam membersihkan mukus dari saluran napas menyebabkan mukus tertahan di saluran napas dan dapat menjadi tempat untuk infeksi saluran napas lainnya. [2] Kemudian

penebalan mukosa bronkial akan terjadi, dan pada pemeriksaan histologi akan tampak gambaran metaplasia dari epitelium sel skuamosa. [2]

(13)
(14)
(15)

BAB VII MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis bronkiektasis sangat bervariasi, namun gejala yang paling klasik adalah adanya batuk kronik dan adanya produksi dari dahak (mukus,mukopurulen atau purulen sputum) yang terjadi setiap hari dan berlangsung berbulan-bulan hingga bertahun-tahun, pada sekitar 70% pasien bronkiektasis.[3] Zaman dahulu jumlah total sputum harian

digunakan untuk kriteria tingkat keparahan bronkiektasis, dengan total sputum harian kurang dari 10 mL didefinisikan sebagai bronkiektasis ringan, 10-150 mL didefinisikan sebagai bronkiektasis moderat, dan lebih besar dari 150 mL didefinisikan sebagai bronkiektasis berat. Namun sekarang ini yang paling sering digunakan sebagai alat klasifikasi bronkiektasis adalah hasil radiografi. Batuk adalah gejala yang sangat sering dikeluhkan dan mungkin adalah satu–satunya gejala yang dikeluhkan pasien yang terjadi selama bertahun–tahun, sekitar 98% pasien bronkiektasis memiliki gejala batuk produktif kronik. Gejala yang kurang spesifik meliputi dyspnea (72%), nyeri dada pleuritik intermitten (19%-46%) apabila pleura visceral terkena infeksi, mengi, demam, kelemahan (73%) , dan penurunan berat badan hingga adanya hemoptisis yang terjadi akibat kerusakan jalan napas berhubungan dengan infeksi akut. Hemoptisis biasanya timbul pada bronkiektasis tipe kering (tidak ada produksi sputum berlebih). Bronkiektasis kering biasanya merupakan sekuele (gejala sisa) dari tuberkulosis yang sering ditemukan di lobus atas. Hemoptisis terjadi pada 56-92% pasien dengan bronkiektasis. Hemoptisis umumnya ringan dan berupa bintik-bintik darah di dahak pasien. Hal ini sering menjadi faktor yang menyebabkan pasien untuk berkonsultasi dengan dokter. [7]Perdarahan biasanya berasal dari arteri bronkial dilatasi, yang mengandung darah

pada tekanan sistemik. Gejala lainnya yang dapat munul seperti sinusitis terutama pada pasien cystic fibrosis, diskinesia siliar primer,defisiensi imun primer, sindrom Young atau pada pan bronkiolitis difus.[3]

Pada pemeriksaan fisik, terutama pemeriksaan auskultasi paru dapat ditemukan keadaan paru dalam keadaan normal, namun dapat juga ditemukan adanya crackles, ronki atau mengi, dan pada kasus yang sangat parah dapat ditemukan adanya clubbing finger, cachexia, tanda-tanda kegagalan napas atau cor polmunale.[3]

Manifestasi klinis eksaserbasi bronkiektasis akut yang disebabkan oleh infeksi bakteri ditandai adanya perubahan karakteristik sputum berupa timbulnya peningkatan produksi

(16)

sputum, peningkatan kekentalan sputum, lebih purulen, kadang-kadang sputum berbau busuk dan adanya hemoptisis.[3] Selain itu juga adanya peningkatan keparahan gejala-gejala

penyerta lainnya seperti bertambah parahnya sesak, batuk, demam,asthenia,anorexia, penurunan berat badan dan sakit dada pleuritik. Eksaserbasi akut ini dapat terjadi dikarenakan adanya penambahan jumlah kolonisasi bakteri yang menginfeksi atau adanya bakteri baru sehingga memicu terjadinya gejala-gejala eksaserbasi tersebut. Eksaserbasi yang sangat parah dapat ditandai dengan adanya takipneu, penurunan saturasi oksigen dan fungsi paru,hiperkapni, demam lebih dari 38oC, ketidakstabilan hemodinamik dan gagal napas.[6]

(17)

BAB VIII DIAGNOSIS

Dalam mendiagnosis bronkiektasis hal yang diperlukan adalah memperhatikan gejala klinis seperti produksi sputum yang banyak setiap harinya disertai batuk yang kronik (lebih mendukung apabila pasien mempunyai penyakit paru yang kronis), melakukan pemeriksaan penunjang pencitraan seperti x-ray atau CT scan ( sebagai pemeriksaan penunjang yang paling dianjurkan/ standard kriteria diagnostik bronkiektasis), lalu dapat dilanjutkan dengan analisis sputum untuk memperkuat kecurigaan klinis.[9][10]

Distribusi anatomi bronkiektasis juga dapat membantu proses pembuatan diagnosa berdasarkan kondisi atau penyebab bronkiektasis, sebagai berikut:

 Bronkiektasis akibat infeksi umumnya (nontuberkulosis mycobacteria) melibatkan lobus lebih rendah, lobus kanan tengah, dan lingula. Keterlibatan lobus kanan tengah saja menunjukkan disfungsi anatomi, atau penyebab neoplastik dengan obstruksi mekanik sekunder.[3]

 Bronkiektasis yang disebabkan oleh cystic fibrosis (CF), infeksi Mycobacterium

tuberculosis, atau infeksi jamur kronis cenderung mempengaruhi lobus atas, meskipun hal ini tidak universal di CF.[3]

 Bronkiektasis akibat aspergillosis bronkopulmonalis alergi (ABPA) juga mempengaruhi lobus atas tetapi biasanya melibatkan bronkus pusat, sedangkan sebagian besar bentuk lain dari bronkiektasis melibatkan segmen bronkial distal.[3]

Analisis sputum dapat memperkuat diagnosis bronkiektasis dan menambahkan informasi yang signifikan tentang etiologi potensial. Hasil dari pewarnaan gram stain dan kultur sputum dapat membantu dalam membuktikan mikroorganisme penyebab bronkiektasis, termasuk spesies Pseudomonas dan Escherichia coli. Kehadiran eosinofil dan bercak keemasan mengandung hifa menunjukkan spesies Aspergillus.[4]

Pemeriksaan darah komplit juga dapat dilakukan pada pasien dengan bronkiektasis. Temuan khas dan spesifik adalah adanya anemia dan jumlah sel darah putih dengan peningkatan persentase neutrofil. Peningkatan eosinofil merupakan salah satu kriteria untuk ABPA.[4]

(18)

Kadar imunoglobulin kuantitatif, termasuk IgG, IgM dan IgA berguna dalam menyingkirkan hipogamaglobulinemia. Namun, perlu diketahui bahwa pada kesempatan langka, bronkiektasis dapat dilihat pada pasien defisiensi antibodi tapi memiliki nilai IgG normal hingga rendah. Kadar total serum IgE yang lebih besar dari 1000 IU / mL atau meningkat 2 kali lipat atau lebih dari semula merupakan kriteria diagnosis ABPA.[4]

Pemeriksaan tingkat kuantitatif serum alpha1-antitrypsin (AAT) dapat digunakan untuk menyingkirkan defisiensi AAT. Selain itu juga perlu diperhatikan riwayat keluarga, gambaran klinis emfisema yang dapt terjadi pada pasien defisiensi AAT, pemeriksaan serum dan onset pada usia dini (< 45 tahun) dan tidak adanya faktor risiko seperti merokok, terpapar polusi kerja.[3][4]

Tes skrining untuk autoimun seperti faktor reumatoid dan antibodi antinuclear assay (ANA) juga dapat dipertimbangkan.[4]

CT scan terutama resolusi tinggi CT (HRCT) scanning dada, telah menggantikan bronchography sebagai modalitas mendefinisikan bronkiektasis. CT scan memiliki sensitivitas 84-97% dan spesifisitas 82-99%. Keuntungan dari HRCT scanning termasuk tidak invasif, menghindari reaksi alergi dan informasi mengenai proses paru lainnya. HRCT dapat memvisualisasikan 3 bentuk bronkiektasis dalam klasifikasi Reid yaitu gambaran bronkiektasis silinder, kistik dan varikos.[3] Berikut ini adalah aspek penting yang dapat kita

lihat pada hasil pemeriksaan CT scan:

 Bronkiektasis silinder memiliki jalur paralel trem trek, memiliki gambaran dilatasi bronkial / tanda signet-ring (bronkoarterial rasio) terdiri dari bronkus dipotong melebar di bagian horisontal dengan arteri pulmonalis yang berdekatan dengan lumen bronkus biasanya 1-1,5 kali lebih besar dari saluran yang berdekatan; jika diameter lebih besar 1,5 kali dari saluran yang terdekat maka dapat diartikan bahwa telah terjadi bronkiektasis, tidak adanya gambaran tapering pada bronkial [3]

 Bronkiektasis varikos memiliki gambaran bronkus yang tidak teratur, tampak daerah dilatasi dan daerah konstriksi.[3]

 Bronkiektasis sistik memiliki gambaran ruang kistik besar dan adanya tampakan seperti sarang lebah (honeycomb); hal ini kontras dengan emfisema, yang memiliki dinding tipis dan tidak disertai kelainan saluran napas proksimal.[3]

(19)

CT scan juga dapat mengidentifikasi etiologi seperti kelainan kongenital, situs inversus, trakeobronkomegali, obstruksi bronkial dan empisema et causa rendahnya konsentrasi α-antitripsin. [3]

(20)

Pemeriksaan radiografi foto thoraks posterior-anterior dan lateral akan tampak gambaran umum seperti peningkatan corak bronkovaskular, sarang lebah, atelektasis, dan perubahan pleura. Gambarab spesifik yang dapat dilihat adalah adanya garis linear lusen dan corakan paralel memancar dari hilus (trem line) pada bronkiektasis silindris, bronkus tampak melebar pada bronkiektasis varikos, dan kista berkerumun pada bronkiektasis kistik. Gabungan antara gejala klinis yang digali secara tepat dan hasil radiografi dada sudah cukup untuk mengkonfirmasikan diagnosis bronkiektasis.[10]

Gambar. Bronkiektasis Sistik

Tes fungsi paru (spirometri) berguna dalam penilaian fungsional pasien adakah penurunan fungsi paru pada pasien. Kelainan yang paling umum adalah cacat saluran napas obstruktif, yang bahkan mungkin ditemukan pada pasien tanpa riwayat merokok sebelumnya. Selain itu, pasien dengan bronkiektasis memiliki rasio lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa bronkiektasis dalam penurunan tahunan volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1).[8]

(21)

Gambar . Tingkat Keparahan Bronkiektasis Berdasarkan Hasil Spirometri

Bronkografi merupakan suatu pemeriksaan untuk melihat keadaan bronkus. Bronkografi dilakukan dengan cara menanamkan bahan kontras melalui kateter atau bronkoskop dan melakukan pencitraan radiografi polos. Ini harus dilakukan hanya dengan fasilitas dan oleh operator terampil dalam penggunaannya. Dalam praktek saat ini, bronkografi hanya digunkan dalam mengkonfirmasikan lokasi bronkiektasis fokus dan tidak termasuk penyakit di tempat lain, prosedur ini membawa risiko bronkokonstriksi akut.[9]

Gambar Bronkografi

Bronkoskopi umumnya tidak membantu dalam mendiagnosis bronkiektasis, tetapi mungkin berguna dalam mengidentifikasi kelainan yang mendasari, seperti tumor, benda

(22)

asing, atau lesi lainnya. Bronkoskopi dengan lavage bronchoalveolar dapat digunakan untuk mendapatkan spesimen untuk pewarnaan dan kultur ketika etiologi infeksi primer atau infeksi sekunder dicurigai.[10]

(23)

BAB IX TERAPI

Tujuan utama dari terapi brokiektasis adalah untuk memperbaiki atau mengurangi gejala, mengurangi komplikasi, mengontrol eksaserbasi, mencegah hilangnya fungsi paru, mengurangi morbiditas dan mortalitas dan membantu penderita untuk memperoleh kualitas hidup yang baik. [1] Pengenalan dini sangat penting dalam bronkiektasis dan kondisi terkait.

Selain itu, manajemen kondisi yang mendasari, yang mungkin termasuk penggunaan imunoglobulin intravena atau terapi intravena alpha1-antitrypsin (AAT), sangat penting untuk pengobatan secara keseluruhan.

Antibiotik dan fisioterapi dada adalah modalitas utama. Modalitas lain yangdapat dilakukan termasuk bronkodilator, terapi kortikosteroid, suplemen makanan, dan oksigen atau terapi bedah.[11] Pasien eksaserbasi parah bronkiektasis dapat diterapi dengan antibiotik

intravena, bronkodilator dan fisioterapi agresif. Berikut adalah angkah-langkah umum yang disarankan kepada penderita bronkiektasis seperti: berhenti merokok, asupan gizi yang memadai dengan suplemen, jika perlu imunisasi untuk influenza dan pneumonia pneumokokus, campak, rubeola, dan pertusis, dan terapi oksigen disediakan untuk pasien yang hipoksemia dengan penyakit dan stadium akhir komplikasi berat, seperti kor pulmonal. Pasien dengan cystic fibrosis (CF) harus dirawat di pusat pengobatan CF khusus yang menangani semua aspek dari penyakit, termasuk aspek gizi dan psikologis. Antibiotik telah menjadi andalan pengobatan selama lebih dari 40 tahun. [7][8]Antibiotik oral, parenteral, dan

aerosol yang digunakan, tergantung pada keadaan klinis. Dalam eksaserbasi akut, agen antibakteri spektrum luas umumnya lebih disukai. Namun, jika waktu dan situasi klinis memungkinkan, pengambilan sampel sekresi pernapasan selama eksaserbasi akut memungkinkan pengobatan dengan antibiotik berdasarkan identifikasi spesies tertentu. Pilihan antibiotik untuk rawat jalan yang ringan sampai sedang diantaranya: amoksisilin, tetrasiklin, trimethoprim-sulfamethoxazole, macrolide baru (misalnya, azitromisin atau klaritromisin), sefalosporin generasi kedua atau fluorokuinolon. Secara umum, durasi terapi antibiotik untuk penyakit ringan moderat 7-10 hari. [9] Untuk pasien dengan gejala sedang

sampai berat, antibiotik parenteral, seperti aminoglikosida (gentamisin, tobramisin) dan penisilin sintetik antipseudomonal, sefalosporin generasi ketiga, atau fluorokuinolon, dapat diindikasikan. Pasien dengan bronkiektasis dari CF sering terinfeksi dengan spesies Pseudomonas berlendir tobramisin sering obat pilihan untuk eksaserbasi akut. Untuk

(24)

pengobatan MAC dalam pengaturan bronkiektasis, American Thoracic Society merekomendasikan rejimen pengobatan 3 sampai 4-obat dengan klaritromisin, rifampisin, etambutol, streptomisin dan dilanjutkan sampai hasil kultur pasien negatif selama 1 tahun. Durasi terapi sekitar 18-24 bulan. Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan nebulasi antibiotik memperoleh lebih banyak perhatian karena mampu memberikan konsentrasi yang relatif tinggi obat lokal dengan relatif sedikit efek samping sistemiknya. [6]Hal ini terutama

bermanfaat dalam mengobati pasien dengan infeksi kronis dari P aeruginosa. Saat ini, antibiotik yang paling banyak digunakan untuk nebulasi adalah tobramycin, untuk pasien dengan bronkiektasis CF atau non-CF penyebab bronkiektasis. Selain itu juga gentamisin dan colistin juga telah digunakan . Tidak ada studi yang signifikan telah meneliti penggunaan jangka panjang antibiotik inhalasi pada pasien dengan non-CF bronkiektasis

Pembersihan saluran bronkial adalah yang terpenting dalam pengobatan bronkiektasi. Drainase postural dengan perkusi dan getaran digunakan untuk melonggarkan dan memobilisasi sekresi. Perangkat yang tersedia untuk membantu dalam pengeluaran sputum termasuk perangkat bergetar, perangkat ventilasi perkusi intrapulmonic, dan spirometri insentif. [8]

Nebulization yang memiliki konsentrasi solusi natrium klorida dapat membantu pasien dengan bronkiektasis CF. Mukolitik seperti acetylcysteine, juga sering dicoba walaupun tidak memperbaiki kondisi pasien terlalu banyak. Namun, mempertahankan hidrasi umum yang memadai dapat meningkatkan viscidity sekresi. Aerosol DNase rekombinan telah terbukti bermanfaat bagi pasien dengan CF. Enzim ini memecah DNA dirilis oleh neutrofil, yang menumpuk di saluran udara sebagai respon terhadap infeksi bakteri kronis. Namun, perbaikan belum definitif ditunjukkan pada pasien dengan bronkiektasis dari penyebab lain.[8]

Bronkodilator, termasuk beta-agonis dan antikolinergik, dapat membantu beberapa pasien dengan bronkiektasis, memperbaiki bronkospasme pada saluran napas yang hiperreaktivitas dan meningkatkan pembersihan mukosiliar. Alasan terapi anti-inflamasi untuk memodifikasi respon inflamasi yang disebabkan oleh mikroorganisme dan mengurangi jumlah kerusakan jaringan. Kortikosteroid inhalasi, kortikosteroid oral, leukotrien inhibitor dan agen anti-inflamasi nonsteroid mampu menurunkan volume sputum, meningkatkan volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1), menurunan kepadatan sputum dan menurunkan tingkat mediator inflamasi Azitromisin telah dikenal memiliki sifat anti-inflamasi dan penggunaan jangka panjang telah dipelajari pada pasien dengan CF maupun

(25)

non-CF bronkiektasis. Pada pasien non-CF, azitromisin telah terbukti menurunkan eksaserbasi dan meningkatkan spirometri dan mikrobiologis profil. Pada pasien CF meta-analisis menunjukkan bahwa hal itu meningkatkan fungsi paru-paru, terutama pada pasien dengan koloni Pseudomonas.[3][8][9]

(26)

BAB XI PROGNOSIS

Di era preantibiotic, mortalitas tinggi, dan pasien paling sering meninggal dalam waktu 5 tahun setelah timbulnya gejala. Sebuah studi dari 400 pasien pada tahun 1940 mengungkapkan angka kematian lebih dari 30%, sebagian besar pasien meninggal dalam waktu 2 tahun dan lebih muda dari 40 tahun. Sebagai perbandingan, sebuah penelitian retrospektif pada tahun 1981, setelah meluasnya penggunaan antibiotik , melaporkan tingkat kematian akibat bronkiektasis 13% setelah diagnosis.Pada akhir 1990-an, para peneliti di Finlandia melaporkan tidak ada kematian meningkat pada pasien dengan bronkiektasis dibandingkan pasien dengan asma atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Tingkat kematian untuk bronkiektasis, asma, dan PPOK adalah 28%, 20%, dan 38%.[3][8]

Tingkat kematian saat ini sulit untuk diperkirakan, mengingat kesulitan dalam mengidentifikasi prevalensi dan kurangnya studi definitif. Secara keseluruhan, prognosis untuk pasien dengan bronkiektasis yang baik, tetapi bervariasi dengan kondisi yang mendasari atau predisposisi. Bronkiektasis yang terkait dengan CF membawa prognosis yang lebih buruk. Secara umum, pasien dapat bertahan dan mampu memliki kondisi yang baik jika mereka mematuhi semua rejimen pengobatan dan praktek rutin strategi pengobatan pencegahan. Komplikasi umum yang sering terjadi diantaranya pneumonia berulang yang membutuhkan rawat inap, empiema, abses paru, gagal napas progresif, kor pulmonal, infeksi bronkial kronis dan pneumotoraks, hemoptisis pun jarang terjadi.[9] Amiloidosis dan abses

metastasis terjadi pada era preantibiotic tapi jarang ditemukan di era sekarang. Saat ini, angka kematian lebih sering berhubungan dengan gagal napas progresif dan kor pulmonal daripada infeksi yang tidak terkendali. Satu studi menemukan bahwa usia yang lebih tua dari 65 tahun dan tidak memperoleh terapi oksigen menjadi faktor risiko untuk hasil yang buruk pada pasien dengan bronkiektasis yang dirawat di unit perawatan intensif untuk kegagalan pernafasan. Sebuah studi di tahun 2007 pada pasien dengan non-CF bronkiektasis menemukan bahwa angka kematian yang lebih tinggi dikaitkan dengan usia lanjut, status fungsional, perawatan pencegahan (yaitu, vaksinasi) penyakit, hasil radiografi, dan bukti hipoksemia atau hiperkapnia., kunjungan dokter secara teratur dan indeks massa tubuh (apabila memiliki berat badan lebih tinggi dibandingkan awal, memiliki prognosis lebih baik dan dapat menurunkan mortalitas).[10]

(27)

BAB XII PENCEGAHAN

Tindakan pencegahan untuk bronkiektasis termasuk sulit untuk dilakukan karena faktor resiko terjadinya bronkiektasis sendiri tidak dapat diketahui, dan bronkiektasis baru dapat diketahui apabila sudah dilakukan pemeriksaan diagnostik. Akan tetapi apabila penyebabnya dapat diketahui dan dapat diperbaiki, maka hal ini adalah salah satu tindakan yang baik dalam mencegah terjadinya bronkiektasis.[3][4]

Bronkiektasis dapat diobati namun tidak dapat disembuhkan.[1] Penatalaksanaan

bronkiektasis hanya dapat memberikan efek berupa mengurangi tingkat keparahan dari gejala atau progresifitas penyakit yang diderita oleh pasien sehingga pasien merasa lebih nyaman dan dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari tanpa gangguan dari fungsi pernapasan, tanpa memperbaiki keadaan saluran napas yang telah berubah kondisinya. Terdapat dua cara atau strategi yang dapat dilakukan dalam mencegah atau memperlambat progresifitas dari bronkiektasis yaitu upaya pembersihan sekresi saluran napas dan terapi yang tepat untuk infeksi paru-paru. [3]

Teknik perawatan secara pribadi merupakan hal yang penting untuk diaplikasikan setiap harinya dalam pencegahan terjangkitnya suatu infeksi saluran napas atau infeksi berulang. Teknik-teknik perawatan tersebut seperti mencuci tangan dengan cara tepat, menutup mulut ketika sedang batuk dan vaksinasi. Selain itu juga dapat diterapkan aktivitas-aktivitas seperti olahraga aerobik yang teratur, pola makan yang seimbang, banyak minum air putih ( untuk menjaga hidrasi tubuh sehingga sputum tidak semakin kental) dan menghindari berbagai macam produk tembakau (terkhusus rokok). [1]

(28)

DAFTAR PUSTAKA

1. AL-Shirawi N, AL-Jahdali HH, Al Shimemeri A. Pathogenesis, etiology and treatment of bronchiectasis. Ann Thorac Med [serial online] 2006 [cited 2014 Aug 3];1:41-51. Available from:

2. Ratjen F. Cystic Fibrosis : Pathogenesis and Future Treatment Strategies. Respiratory care, May 2009 vol 54 No 5.

3. Vendrell M, et al. Diagnosis and Treatment of Bronchiectasis.Arch Bronconeumol, 2008 ;44(11) :629-40.

4. Rademacher J, Welte T. Bronchiectasis- Diagnosis and Treatment. Dtsch Arztebl Int, 2011;108 (48):809(15)

5. Gracia M, Suriano J. Physiotherapy in Bronchiectasis. Eur Respir J, 2009; 34: 1011-1012.

6. Edward E. Bronchiectasis-Acute Respiratory Exacerbation. Starship’s Children Health Clinical Guideline. Available from:

http://www.adhb.govt.nz/starshipclinicalguidelines/_Documents/Bronchiectasis%20-%20Acute%20Respiratory%20Exacerbation.pdf

7. Basak C, MD; Brian P, MD; Alexander S., MD. Bronkiektasis. 2013 [cited 2014 Aug 4]. Available from :

http://www.merckmanuals.com/professional/pulmonary_disorders/bronchiectasis_and _atelectasis/bronchiectasis.html

8. Australian. Bronchiectasis. 2011. Available from : http://www.aihw.gov.au/bronchiectasis/

9. Canadian Lung Association.Bronchiectasis. June 2014. Available from:

https://www.lung.ca/diseases-maladies/a-z/bronchiectasis-bronchiectasie/index_e.php#

10. Elsevier. Bronchiectasis. 2012. Available from :

https://www.clinicalkey.com/topics/pulmonology/bronchiectasis.html#253859 11.Respiratory tract. Bronchiectasis : A Guide For Primary Care. 2012. Vol 41 no 11.

Gambar

Tabel 1. Faktor-Faktor Pemicu Bronkiektasis
Gambar A. Bronkiektasis Silindris, B Bronkiektasis Varikosa
Gambar Bronkografi

Referensi

Dokumen terkait

(1) PIHAK KEDUA dapat melaksanakan pengadaan kebutuhan barang dan jasa sebagaimana dimaksud dalam Rencana Kebutuhan Biaya (RKB)/ Rencana Anggaran Biaya (RAB)

manusia.. Nama Hamu beliau lahir di Sungai Madang Kecamatan Sungai Tabuk Kabupaten Banjar. Adapun kesaharian sebagai guru mengaji dan petani. Ketika ada kegiatan

Maka konsumen akan setia untuk menggunakan produk Tupperware.Berdasarkan uraian yang sudah dijelaskan pada latar belakang di atas maka penulis sangatlah tertarik untuk

penelitian kuantitatif dengan pendekatan Quasi Eksperimen Poprrlasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SD trslam AI-Huda yang terdiri dari 2

Pembelajaran advokasi merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang masih dianggap asing oleh banyak guru, oleh sebab itu guru diharapkan mampu mengembangkan model

HAIKAL HANIF NASUTION: Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada Berbagai Perbandingan Media Tanam Sludge dan Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) di Pre

Penelitian ini berusaha untuk menyusun model kompetensi manajerial yang dapat menunjang efektivitas kerja Pengawas Kecil Jahit dan merancang program pengembangan bagi

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga tesis dengan judul “Analisis Kualitas Air Tanah dan Pola Konsumsi Air