• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sawit. Petani tidak akan mampu memenuhi persyaratan-persyaratan ini sehingga mereka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sawit. Petani tidak akan mampu memenuhi persyaratan-persyaratan ini sehingga mereka"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pengusahaan tanaman kelapa sawit di Indonesia sebagai suatu komoditi perkebunan selalu dilakukan oleh perkebunan besar yang dimiliki baik oleh pemerintah maupun swasta. Pada masa Kolonial Belanda perkebunan sawit yang ada di Indonesia seluruhnya dimiliki oleh perusahaan swasta asing. Ada beberapa sebab mengapa perkebunan kelapa sawit tidak muncul di kalangan masyarakat petani. Salah satu sebabnya yang paling penting adalah bahwa membangun perkebunan kelapa sawit membutuhkan modal uang dan teknologi yang sangat mahal.

Teknologi yang canggih tidak hanya dibutuhkan dalam pemrosesan minyak kelapa sawit, namun juga dibutuhkan dalam pengelolaan kebun dan pemeliharaan tanaman kelapa sawit. Petani tidak akan mampu memenuhi persyaratan-persyaratan ini sehingga mereka hanya tertarik untuk menjadi buruh perkebunan kelapa sawit daripada memiliki kebun sawitnya sendiri. Hal ini tidak berbeda dengan pengelolaan kebun karet dan yang menarik dari sejarahnya perkebunan sawit yang berbeda dengan perkebunan karet. Apabila muncul suatu perkebunan besar karet di suatu daerah, maka dengan cepat akan muncul suatu perkebunan besar karet rakyat di daerah itu, tidak demikian halnya dengan kelapa sawit1

1

Loekman Soetrisno dan Retno Winahyu, Kelapa Sawit: Kajian Sosial ekonomi, Yogyakarta: Aditya Media, 1991, hlm. 94.

. Walaupun perkebunan besar kelapa sawit cukup lama berada di satu daerah, namun

(2)

perkebunan kelapa sawit rakyat tidak kunjung muncul di daerah itu. Perkebunan besar tetap menjadi satu-satunya pemilik kebun-kebun kelapa sawit di Indonesia, dan rakyat sekitar perkebunan itu hanya menjadi buruh dari perkebunan besar.

Pemerintah Indonesia dengan beberapa alasan ingin mengubah situasi tersebut. Monopoli pengusahaan kelapa sawit oleh perkebunan besar, di mana rakyat hanya menjadi buruh dianggap oleh pemerintah sebagai suatu warisan jaman penjajahan yang tidak sesuai dengan jiwa kemerdekaan Indonesia dan oleh karena itu pemerintah Indonesia ingin menghapuskannya. Pemerintah Indonesia menganggap perkebunan kelapa sawit haruslah berfungsi sebagai sarana perbaikan hidup rakyat dan bukan seperti halnya pada masa kolonial, perkebunan berfungsi sebagai penghasil devisa negara dengan menghisap rakyat. Dengan kata lain, selain berfungsi sebagai penghasil devisa negara juga harus berfungsi sebagai wahana untuk mensejahterakan rakyat. Oleh sebab itu, pemerintah berkeyakinan bahwa hal ini dapat dicapai apabila rakyat dilibatkan langsung sebagai pekebun kelapa sawit dalam proses produksi minyak sawit di Indonesia, dan bukan hanya sekedar sebagai buruh perkebunan besar kelapa sawit.

Ide pemerintah untuk mengembangkan perkebunan rakyat sebagai saka guru pembangunan sektor perkebunan telah dirintis oleh pemerintah Indonesia sejak pelita I (1969). Dalam hal ini asumsi pemerintah bahwa peningkatan kesejahteraan petani pekebun di Indonesia dapat dicapai apabila lembaga terkait dan semua faktor produksinya melibatkan petani. Untuk melaksanakan konsep ini, sejak pelita I diperkenalkan suatu model pembangunan perkebunan rakyat yang dikenal dengan Unit Pelaksana Proyek atau UPP. Program ini dilaksanakan pemerintah pada tahun 1973/1974 di tiga propinsi. Di Sumatera Utara dikembangkan Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat atau P3RSU, di Propinsi

(3)

Lampung dikembangkan Proyek Pengembangan Cengkeh Lampung atau PPCL, sedang di Propinsi Jawa Barat dikembangkan Proyek Pengembangan Rakyat dan Perkebunan Besar Swasta Nasional yang disingkat P2TRSN2

Sampai akhir pelita I pembangunan perkebunan besar dan perkebunan rakyat berjalan terpisah

. Proyek ini lebih menekankan peningkatan produksi di lokasi perkebunan rakyat.

3

, dan antara kedua jenis perkebunan itu tidak ada keterkaitan dan keterikatannya. Hal ini berubah hingga awal Pelita II setelah pemerintah mengadakan pengkajian dalam pelaksanaan dan hasil proyek UPP. Pemerintah dalam rangka pengembangan perkebunan rakyat memutuskan untuk mengarahkan perhatiannya pada daerah-daerah baru di mana sumber-sumber alamnya mendukung, seperti halnya di Sumatera Utara. Di Sumatera Utara perkebunan rakyat berkembang sejak adanya Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang melalui pemukiman di daerah baru dengan dukunganperusahaan perkebunan negara sebagai intinya. Bentuk proyek ini dilakukan melalui Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR BUN) dan Pengembangan Perkebunan Besar (PPB)4 yang mulai dilakukan sejak tahun 1953 sebagai bentuk perhatian dari pemerintah5

2

Ibid.

3

Secara historis perkembangan perkebunan yang bersifat komersil bercirikan skala usaha yang besar, permodalan yang kuat, penggunaan teknologi yang maju, pengelolaan yang modern serta mempunyai jangkauan yang luas. Sedangkan pengembangan perkebunan rakyat masih sangat sederhana, baik areal lahan, pengelolaan dan perawatan serta pemasaran dalam jangkauan yang terbatas.

4

Terjemahan Nucleus Estate And Smalholder Development Project yang disingkat dengan NES Project.

5

Rofiq Ahmad, Perkebunan dari Nes Ke PIR, Jakarta: Puspa Swara, 1998, hlm. 14.

. Dalam proyek PIR BUN ini ada dua komponen, yakni komponen inti yang menjadi asset dari perusahaan perkebunan besar yang berfungsi sebagai

(4)

Pembina, sedang komponen plasma merupakan asset dari para petani pekebun peserta proyek.

Usaha ini cepat berkembang, terutama jenis tanaman kelapa sawit dan karet, karena ketersediaan lahan yang cukup luas dengan harga relatif terjangkau. Seperti halnya yang terjadi di Padang Bolak khususnya di Desa Batang Pane II. Usaha perkebunan rakyat di desa ini mulai dikelola oleh masyarakat sejak tahun 1990 melalui ide dan pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan tentang tanaman keras terutama kelapa sawit diperoleh dari perkebunan-perkebunan besar yang ada di Aek Nabara, Kota Pinang dan PT. Sungai Pinang yang kemudian menjadi kebun plasma atau Perkebunan Inti Rakyat (PIR)6

Pada awal keberadaan mereka di daerah ini, mereka belum mengenal usaha tanaman keras. Akan tetapi, sesuai anjuran pemerintah di atas lahan 2½ ha untuk setiap kepala keluarga mereka menanam tanaman pangan, khususnya padi dan palawija guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Lahan seluas itu merupakan modal awal untuk menanam padi. . Masyarakat awalnya bekerja sebagai buruh-buruh kebun di perusahaan

Usaha ini dikelola oleh penduduk setempat yang adalah para transmigrasi berasal dari Jawa. Mereka datang ke daerah ini melalui program transmigrasi yang dicanangkan pada masa Orde Baru dengan salah satu tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Para transmigran ini sejak tahun 1982 ditempatkan pada salah satu lahan yang memang dibuka sebagai tempat bermukim mereka. Desa inilah yang kemudian dikenal dengan nama Desa Batang Pane II.

6

Perkebunan Inti Rakyat adalah pola perkebunan yang polanya diterapkembangkan di luar usaha perkebunan, maka pengertian PIR kemudian berubah menjadi perusahaan inti rakyat yang juga sering disebut kemitraan inti plasma dengan melibatkan rakyat bukan sebagai buruh perkebunan, tetapi sebagai pekebun yang mandiri dalam artian pemerintah menyediakan kesempatan bagi rakyat yang terpilih untuk ikut dalam proyek PIR.

(5)

Masyarakat bercocok tanam dengan membuka rawa-rawa dari semak belukar untuk ditanami padi, sedangkan lahan pekarangan ditanami palawija, seperti jagung, ubi dan sayur-sayuran. Dalam pengerjaannya masyarakat menggunakan tenaga keluarga atau dengan sistem gotong royong7

Untuk mengelola usaha tersebut, mereka mendapat pengetahuan secara pribadi.

Sebelum membuka perkebunan sawit, masyarakat sudah bekerja sebagai buruh di . Dengan cara inilah kebutuhan pokok masyarakat dapat terpenuhi meskipun sangat sederhana. Sistem pertanian yang dijalankan dapat berkembang ditandai dengan luasnya areal pertanian maupun hasilnya.

Dengan perkembangan zaman, pengelolaan lahan untuk tanaman pangan ini tidak dapat diandalkan bagi pendapatan petani. Salah satu penyebabnya adalah lingkungan yang tidak mendukung, seperti keadaan dan kesuburan tanah, tidak ada perhentian lahan, cuaca dan efisiensi kerja yang tidak teratur. Hal ini menyebabkan hasil produksi padi yang dikelola masyarakat di desa ini menurun, sehingga pertanian tanaman pangan hanya bertahan sekitar 5-6 tahun (1982-1989). Masyarakat beralih ke tanaman kelapa sawit bukan saja dari hasil produksi padi yang menurun, tetapi lahan semakin habis dan tananam kelapa sawit lebih menguntungkan.

Menghadapi situasi tersebut, maka mereka melakukan usaha peralihan tanaman. Pada tahun 1989 masyarakat mulai mencoba menanam tanaman keras yaitu menanam kelapa sawit. Mereka memilih tanaman tersebut karena dari segi pengelolaan dan perawatannya yang tidak menyita waktu seharian penuh seperti tanaman padi.

7

Dalam masyarakat transmigrasi (Jawa), gotong royong merupakan suatu sistem pengerahan tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga untuk mengisi kekurangan tenaga pada masa-masa sibuk bercocok tanam di sawah. Untuk keperluan itu seorang petani meminta bantuan kepada warga lain untuk membantu dan petani tuan rumah hanya menyediakan makan, tetapi konvensasi lain yang diminta bantuan tadi harus mengembalikan jasa itu dengan membantu semua petani yang diundangnya tadi tiap saat mereka memerlukan.

(6)

perkebunan swasta yang terdapat di luar pemukiman, seperti Rantau Prapat dan Aek Nabara. Kemudian menyusul dengan didirikan PT. Sungai Pinang yang dikhususkan untuk para transmigran, selanjutnya PT sungai Pinang inilah kemudian menjadi PIR.

Untuk usaha penanaman tanaman keras terutama kelapa sawit dan karet mendapat penolakan keras dari pemerintah dengan alasan untuk menunjang swasembada pangan, tetapi penduduk tetap mencoba untuk melakukan. Ternyata, usaha perkebunan tanaman kelapa sawit di Desa Batang Pane II ini berhasil dan berkembang cepat, baik dari segi luas areal maupun produksinya. Pada tahun 1995 hampir sebagian besar penduduk di Desa Batang Pane II telah beralih ke tanaman sawit, sehingga lima tahun berikutnya pada tahun 2000 masyarakat sudah merasakan hasil dari tanaman kelapa sawit.

Persoalan di atas menarik untuk dikaji, karena peralihan tanaman dari tanaman pangan ke tanaman kelapa sawit tentu memberi perubahan besar terhadap kehidupan masyarakat. Di samping itu, tulisan yang membahas mengenai perkebunan rakyat khususnya di Desa Batang Pane II Kecamatan Padang Bolak belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian yang mengkaji soal perkebunan rakyat pernah dilakukan, antara lain oleh Edi Sumarno dalam tesis S-2 (UGM) ”Pertanian Karet Rakyat Sumatera Timur (1863-1942)” dan Ain Syahputra dalam skripsi S-1 (USU) “Kehidupan Sosial Ekonomi Petani Karet Rakyat di Desa Sugih Waras Kecamatan Rambang Rubai Sumatera Selatan (1978-1990)”.

Cakupan spasial dalam kajian ini bersifat lokal, yakni Desa Batang Pane II sebagai satu bagian dari desa di Kecamatan Padang Bolak Sumatera Utara. Batasan temporal adalah 1982-2000. Tahun 1982 inilah penduduk mulai mengerjakan pertanian pangan yang hanya bertahan sampai tahun 1990. Sejak saat itu penduduk mengalihkan tanaman pangan ke tanaman kelapa sawit. Sementara itu, skop temporal penulisan diakhiri pada tahun 2000

(7)

menunjukkan usaha perkebunan rakyat sudah memberi perubahan besar bagi kehidupan masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam melakukan suatu penelitian maka yang menjadi landasan dari penelitian itu sendiri adalah apa yang menjadi akar permasalahannya. Permasalahan yang dibicarakan dalam kajian ini terangkum dalam pertanyaan:

1. Bagaimana keadaan masyarakat Desa Batang Pane II sebelum dibukanya perkebunan kelapa sawit rakyat ?

2. Bagaimana proses pembukaan dan perkembangan perkebunan kelapa sawit rakyat.

3. Apa manfaat yang dirasakan oleh mayarakat Desa Batang Pane II setelah dibukanya perkebunan kelapa sawit rakyat?

1. 3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan dan manfaat yang penting tentunya, bukan hanya bagi peneliti, tetapi juga bagi masyarakat umum. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan tentang:

1. Keadaan masyarakat sebelum membuka perkebunan rakyat di Desa Batang Pane II.

2. Proses pembukaan dan perkembangan perkebunan kelapa sawit di Desa Batang Pane II.

(8)

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai tambahan referensi bagi masyarakat umum dalam mengetahui sejarah perkebunan rakyat khususnya di Desa Batang Pane II.

2. Memberikan pemahaman tentang sektor pendapatan daerah di Kecamatan Padang Bolak, khususnya kelapa sawit rakyat di Desa Batang Pane II.

3. Praktisnya sebagai acuan bagi pembuat kebijaksanaan dalam menangani masalah kelapa sawit rakyat di Sumatera Utara.

1. 4 Tinjauan Pustaka

Sesuai dengan judul skripsi ini “Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat di Desa Batang

Pane II Kecamatan Padang Bolak (1982-2000)”, penulis menggunakan literatur mengenai

kajian sejarah perkebunan. Berkaitan dengan kajian yang dilakukan, sedikitnya terdapat empat karya yang perlu diperhatikan. Karl J. Pelzer dalam bukunya “Toean Keboen dan

Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria” (1985), mengkaji tentang

pengusaha-pengusaha onderneming di Sumatera Timur pada tahun 1904 mulai mengalihkan tanaman tembakau ke jenis tanaman lain8

8

Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria 1863-1947, terj. J. Rumbo, Jakarta: Sinar Harapan, 1985, hlm. 73.

. Permulaan peralihan dari tembakau, mula-mula kopi, kemudian karet dan kelapa sawit. Digambarkan bahwa perkebunan karet dan kelapa sawit yang sekarang, merupakan peralihan dari masa produksi tembakau. Akan tetapi, tidak semua perkebunan tembakau yang ditutup dapat dialihkan ke jenis tanaman keras. Kebanyakan lahan-lahan yang digunakan untuk tanaman keras adalah lahan bekas tanaman tembakau. Buku ini sebagai dasar untuk membandingkan usaha perkebunan rakyat di Desa Batang Pane

(9)

II lahir akibat peralihan tanaman pangan (padi dan palawija). Lahan-lahan untuk membuka perkebunan adalah lahan bekas tanaman pangan.

Kajian mengenai Sejarah perkebunan dibahas oleh Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo dalam karyanya “Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi” (1991), membahas sistem perkebunan di Indonesia yang sudah ada sejak 1200 M, hingga mengalami perkembangan yang pesat mulai kolonial hingga sesudah kemerdekaan. Secara umum pembukaan perkebunan akan menimbulkan lingkungan baru, yaitu lingkungan perkebunan. Kehadiran komunitas perkebunan melahirkan lingkungan yang berbeda dari segi lokasi, tata ruang, ekologi, maupun organisasi sosial dan ekonomi9

Fachri Yasin dalam karyanya yang berjudul “Agribisnis Riau:Pembangunan

Perkebunan Berbasis Kerakyatan” (2003), mengkaji tentang pembangunan perkebunan di

. Secara topografisnya perkebunan dibangun di daerah yang subur, baik di dataran rendah atau dataran tinggi. Tanaman yang dibudidayakan homogen yaitu komoditi ekspor dan berbeda dengan tanaman pertanian subsisten setempat. Demikian bentuk lingkungan lebih berorentasi ke dunia luar, menjadikan lingkungan berbeda dengan lingkungan agraris. Sartono dan Djoko juga membahas bahwa kehadiran perkebunan dapat menciptakan komunitas sektor perekonomian modern yang berorentasi ekspor bila dibandingkan komunitas sektor perekonomian pangan. Secara cepat perekonomian masyarakat akan terangsang untuk lebih baik bila dibandingkan dengan tanaman sebelumnya. Jadi, jelas buku ini membantu pembahasan mengenai Perkebunan Rakyat di Desa Batang Pane II Kecamatan Padang Bolak. Kehadiran perkebunan rakyat di wilayah ini melahirkan suatu perubahan lingkungan baik sosial, ekonomi dan budaya.

9

Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta: Adytia Media, 1991, hlm. 7.

(10)

Riau yang dilakukan dengan empat pola pengembangan, yaitu Swadaya, Unit Pelayanan Pembangunan (UPP), Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dan Pengembangan Perkebunan Besar dan dapat ditambahkan bahwa areal perkebunan yang terluas adalah perkebunan rakyat10

Secara khusus yang membahas sosial ekonomi kelapa sawit oleh Loekman Soetrisno dan Retno Winahyu, dengan judul buku “Kelapa Sawit: Kajian Sosial Ekonomi” (1991). Dalam kajian dijelaskan lebih rinci masalah pengembangan kelapa sawit rakyat dengan pola PIR, bahwa luas areal kelapa sawit di Indonesia tersebar 12 propinsi, seperti Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur

. Menurutnya perkebunan rakyat merupakan subsektor pendapatan daerah yang mendapat perhatian khusus pemerintah daerah.

Telah diketahui bahwa petani dapat memberikan kontribusi pada pemerintah dengan tanaman yang dibudidayakan. Tanaman sawit dan karet merupakan tanaman pertanian strategis dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pertanian dan peningkatan pendapatan rumah tangga petani. Jadi, pengembangan perkebunan rakyat manfaat ekonominya terhadap petani di Riau senasib dirasakan petani di Desa Batang Pane II Kecamatan Padang Bolak, Sumatera Utara.

11

10

Fachri Yasin, Agribisnis Riau:Pembangunan Perkebunan Berbasis Kerakyatan, Pekanbaru:UNRI Press, 2003, hlm.113.

11

Loekman Soetrisno dan Retno Winahyu, op. cit., hlm. 98.

. Terpusatnya areal perkebunan tersebut tidak terlepas dari faktor alam, perkembangan ekonomi dan kebijaksanaan pengembangan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Perkebunan kelapa sawit di indonesia sebetulnya telah dimulai sejak 1911, tetapi baru berkembang 10 tahun kemudian hingga mencapai puncaknya pada tahun 1940. Pada masa itu tanaman kelapa sawit merupakan tanaman penting setelah karet dan tembakau yang telah lebih dahulu

(11)

diusahakan oleh para pengusaha asing yang memang diundang pemerintah Belanda untuk melakukan investasi di Sumatera Timur.

Sejak saat itulah dalam perekonomian Indonesia, kelapa sawit mempunyai peran yang cukup strategis. Pertama, minyak sawit merupakan bahan baku utama minyak goreng, sehingga pasokan yang kontinyu ikut menjaga kestabilan harga minyak goreng. Kedua, sebagai salah satu komoditi pertanian andalan ekspor non migas, komoditi ini mempunyai sebagai sumber perolehan devisa. Ketiga, dalam proses produksi maupun pengolahan mampu menciptakan kesempatan kerja sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jadi, buku ini sebagai dasar untuk menggambarkan sosial ekonomi kelapa sawit rakyat di Desa Batang Pane II.

1.5 Metode Penelitian

Dalam menulis kejadian masa lalu yang dituangkan dalam historiografi harus menggunakan metode sejarah. Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau12

Metode sejarah dianggap ilmiah jika yang dimaksud ilmiah itu berlandaskan fakta. Fakta yang dimaksud di sini adalah hasil dari sumber-sumber yang sudah diverifikasi secara khusus. Metode sejarah yang umum digunakan dalam ilmu sejarah ada empat tahap. Pertama, heuristik adalah proses mengumpulkan sumber-sumber mengenai masalah yang akan dikaji. Sumber itu didapatkan melalui dua cara yaitu studi lapangan (field research) dan studi perpustakaan (library research). Studi lapangan adalah melakukan teknik wawancara

.

12

Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terjemahan dari Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 1985, hlm. 32.

(12)

terhadap informan yang terlibat langsung pembukaan sekaligus yang memiliki lahan perkebunan rakyat dan informan yang tidak terlibat langsung, serta responden sebagai pelaksana proses pembukaan perkebunan rakyat di Desa Batang Pane II. Teknik wawancara menggunakan interview guide yaitu pedoman wawancara dengan terlebih dahulu membuat pertanyaan. Studi kepustakaan dimaksudkan adalah untuk memperoleh sumber-sumber tertulis yang relevan dengan penulisan. Sumber-sumber itu berupa buku-buku, artikel atau laporan-laporan penelitian yang terdapat di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan Daerah Sumatera Utara. Selain buku juga berupa dokumen dan laporan dari Pemerintah Daerah Tingkat II Padang Bolak Kabupaten Padang lawas Utara, Kantor Dinas Transmigrasi Padang Lawas Utara, dan kantor Kepala Desa Batang Pane II.

Kedua, setelah sumber-sumber dikumpulkan kemudian diverifikasi melalui kritik, baik ekstern maupun intern. Kritik ekstern digunakan untuk menentukan keabsahan sumber, sedangkan kritik intern diperlukan guna melihat kelayakan sumber yang diperoleh dan selanjutnya diinterprestasi. Pada tahapan ini peneliti mencoba menafsirkan sumber-sumber yang terkumpul agar menjadi fakta yang valid. Menganalisa sumber yang diperoleh akan melahirkan suatu analisa baru yang sifatnya lebih objektif dan ilmiah dari objek yang akan diteliti. Dengan kata lain, tahapan ini dilakukan dengan menyimpulkan kesaksian atau sumber informasi yang dapat dipercaya dari bahan – bahan yang ada.

Tahapan terakhir adalah historiografi yaitu penulisan dengan sumber-sumber yang diinterpretasikan melalui sebuah tulisan yang diperoleh dari fakta-fakta dan dituangkan secara sistematis dan kronologis. Dalam penulisan sejarah aspek kronologis memang menjadi sangat penting untuk menghasilkan karya sejarah yang ilmiah dan objektif. Dengan ini

(13)

diharapkan struktur Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat di Desa Batang Pane II Kecamatan Padang Bolak (1982-2000) diungkapkan secara jelas, logis, dan utuh.

Referensi

Dokumen terkait

Di tengah suasana yang serba meriah dan marak itu, semoga saja esai ini bisa jadi pengingat bagi banyak pihak, termasuk pemilik/pengelola Galeri Nadi: bahwa ada banyak harapan

Berdasarkan data Notul jalur hijau Penetapan Kembali diatas yang terbit di Kantor Pelayanan Utama Bea Cukai Tanjung Priok, dapat dilihat semakin meningkat setiap bulannya, hal

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut: Berdasarkan dari hasil analisis regresi disimpulkan bahwa kompensasi

tertentu tanpa adanya keuntungan yang diperoleh, tetapi pada intinya bahwa perilaku tersebut telah melanggar kehormatan orang atau kelompok lain sebagai manusia

MTs Muallimin Univa Medan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manajemen kinerja guru baik dari segi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi

1ulan Suhu  bulanan ,ndeks -enyinaran bulanan -erkiraan 0T " Faktor  Koreksi

MASJID JUM’AH MADINAH.. khutbah dan inilah merupakan shalat berjamaah jum’at pertama yang dilaksanakan oleh Rasulullah Saw. walaupun perintah shalat berjamaah jum’at telah

Namun, sesungguhnya yang lebih dahsyat dari gegap gempita ini adalah kenyataan bahwa suatu program acara televisi bisa juga memberi manfaat sehat bagi orang