7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perawat
Perawat merupakan salah satu tenaga medis di rumah sakit yang memberikan
pelayanan untuk menunjang kesembuhan pasien, oleh sebab itu peran perawat di
rumah sakit sangatlah dibutuhkan. Makagiansar (2008) mendefinisikan perawat
sebagai orang yang memiliki kemampuan menilai masalah keperawatan, memutuskan
dan menentukan pilihan mengenai jenis tindakan asuhan yang diperlukan. Dalam
undang-undang kesehatan RI No. 23 Tahun 1992 perawat adalah mereka yang
memiliki kemampuan dan kewenangan melaksanakan tindakan keperawatan berdasar
ilmu yang dimiliki yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan. Sedangkan
Permenkes RI No. HK. 02.02/MENKES/148/1/2010 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Perawat, definisi perawat adalah seseorang yang telah lulus
pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
2.2 Beban Kerja Perawat
Setiap pekerjaan yang dilakukan seseorang merupakan beban kerja baginya,
beban-beban tersebut tergantung bagaimana orang tersebut bekerja sehingga disebut
sebagai beban kerja. Tubuh manusia dirancang untuk dapat melakukan aktivitasnya
sehari-hari, menurut Everlyn (2004) mengatakan bahwa beban kerja adalah keadaan
di mana pekerja dihadapkan pada tugas yang harus diselesaikan pada waktu tertentu.
yang menyatakan beban kerja merupakan kemampuan tubuh dalam menerima
pekerjaan. Dari sudut pandang ergonomi setiap beban kerja yang diterima seseorang
harus sesuai dan seimbang baik terhadap kemampuan fisik, kemampuan kognitif
maupun keterbatasan manusia yang menerima beban tersebut (Munandar, 2001).
Beban kerja perawat adalah seluruh kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh
seorang perawat selama bertugas di suatu unit pelayanan keperawatan (Robot, 2009).
Menurut Supriatna (2012) beban kerja perawat terdiri atas beban kerja fisik dan beban
kerja mental.
1. Beban Kerja Fisik Perawat
Beban kerja fisik adalah seluruh kegiatan atau aktivitas yang memerlukan
energi fisik manusia sebagai sumber tenaganya dimana performansi kerja
sepenuhnya akan tergantung pada manusia yang berfungsi sebagai sumber
tenaga (Supriatna, 2012)
Beban kerja fisik perawat meliputi mengangkat pasien, memandikan pasien,
membantu pasien ke kamar mandi, mendorong peralatan kesehatan,
merapikan tempat tidur pasien, mendorong brankart pasien, serta aktivitas
lain terkait asuhan keperawatan.
2. Beban Kerja Mental Perawat
Menurut Prabawati (2012) beban kerja mental adalah suatu konsep yang
tidak memisahkan faktor fisik dan faktor psikologis yang saling berpengaruh
dalam diri manusia. Sedangkan menurut Grandjean (1995) menyatakan
bahwa setiap aktivitas mental akan selalu melibatkan unsur persepsi,
Beban kerja mental perawat meliputi observasi pasien selama pasien tersebut
dirawat, banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan demi kesehatan dan
keselamatan pasien, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki tidak
mampu mengimbangi sulitnya pekerjaan, tuntutan keluarga untuk kesehatan
dan keselamatan penderita, harapan manajemen rumah sakit terhadap
pelayanan yang berkualitas, selalu dihadapkan pada pengambilan keputusan
yang tepat terkait asuhan keperawatan, serta tanggung jawab yang tinggi
dalam melaksanakan asuhan keperawatan.
Dalam penelitian ini, penulis berfokus pada beban kerja mental perawat,
mengingat dari beberapa jenis tugas yang harus dilaksanakan oleh seorang perawat,
terlihat bahwa mereka melaksanakan mental task yang memiliki beban kerja mental
yang tinggi. Meskipun mereka juga melakukan tugas-tugas fisik tetapi mental task
mereka juga cukup untuk menambah beban kerja mereka (Rozy, 2011).
2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Beban Kerja Mental
Beban kerja mental dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti hubungan antara
tuntutan tugas dengan performansi tugas, kewaspadaan pekerja agar tetap fokus pada
suatu pekerjaan untuk periode waktu yang cukup lama, jenis pekerjaan, situasi
pekerjaan tertentu, waktu penyelesaian yang tersedia, serta faktor individu seperti
tingkat motivasi, keahlian, kejenuhan serta toleransi performansi yang diijinkan
(Simanjuntak, 2010).
Perawat bertanggung jawab terhadap kesehatan dan keselamatan pasien selama
24 jam dimana mereka dituntut untuk tetap fokus dan siap siaga apabila pasien
membutuhkan sesuatu terkait pelayanan kesehatan. Perawat juga dituntut memiliki
kesalahan sekecil apapun di dalam memberikan perawatan dapat mengancam
keselamatan pasiennya. Dari beberapa jenis tugas yang harus dilaksanakan oleh
perawat tersebut, terlihat bahwa mereka melaksanakan mental task yang memiliki
beban kerja mental yang tinggi. Meskipun mereka juga melakukan tugas-tugas fisik
tetapi mental task mereka juga cukup untuk menambah beban kerja mereka (Rozy,
2011).
2.4 Dampak Beban Kerja Mental
Dampak beban kerja mental seorang perawat yang terlalu berat sedangkan
kemampuan fisik yang tidak bisa mengimbangi, maka mengakibatkan seorang perawat
menderita gangguan atau penyakit akibat kerja. Selain itu beban kerja berlebih dapat
menimbulkan kelelahan kerja, stres psikologi, rasa tertekan, rasa tidak nyaman, hingga
terjadinya kelalaian atau kesalahan dalam asuhan keperawatan (Prihatini, 2007).
Selain itu juga muncul reaksi-reaksi emosional seperti sakit kepala, mudah marah,
mudah tersinggung dan jenuh terhadap pekerjaan tersebut.
2.5 Pengukuran Beban Kerja Mental
Metode pengukuran beban kerja mental menurut Widyanti, dkk (2010)
diantaranya National Aeronautics and Space Administration Task Load Index
(NASA-TLX), Subjective Workload Assessment Technique (SWAT), Harper Qooper Rating
(HQR), dan Rating Scale Mental Effort (RSME).
1. National Aeronautics and Space Administration Task Load Index
(NASA-TLX)
Metode NASA-TLX merupakan metode yang digunakan untuk
menganalisis beban kerja mental yang dihadapi oleh pekerja dengan
kembangkan oleh Sandra G. Hart dari NASA-Ames Research Center dan
Lowell E. Staveland dari San Jose State University pada tahun 1981
berdasarkan munculnya kebutuhan pengukuran subjektif. Di dalam
kuesioner NASA-TLX ini, responden diminta untuk memberikan rating
dan pembobotan di setiap indikator. Adapun kelebihan metode ini adalah
lebih sensitif terhadap berbagai kondisi pekerjaan, setiap indikator
penilaian mampu memberikan sumbangan informasi mengenai struktur
tugas, proses penentuan keputusan lebih cepat dan sederhana, dan lebih
praktis diterapkan dalam lingkungan operasional (Ratna, 2009)
2. Subjective Workload Assessment Technique (SWAT)
SWAT adalah prosedur pemberian skala yang di disain untuk tugas penting
yang banyak dari seseorang yang berpengaruh pada mental serta
berhubungan dengan pelaksanaan atau performansi tugas yang bervariasi.
Metode ini dikembangkan oleh Reid dan Nygren dengan menggunakan
dasar metode penskalaan conjoint. SWAT berbeda dengan pengukuran
subyektif lainnya karena dikembangkan dengan teliti dan berakar pada
teori pengukuran formal, khususnya teori pengukuran conjoint. Terdapat
kelebihan dan kekurangan dari pengukuran beban kerja mental dengan
metode SWAT ini. Kelebihan metode ini yaitu pengukuran dilakukan
berdasarkan teori pengukuran formal, yaitu teori pengukuran conjoint,
dapat digunakan pada data tunggal maupun berkelompok dan dapat
digunakan untuk penilaian secara global yang diaplikasikan pada ruang
lingkup yang lebih luas. Kelemahan dari SWAT yaitu penggunaaan
setiap individu serta memerlukan program conjoint analysis untuk
menghitung besarnya beban kerja mental (Ratna, 2009).
3. Harper Qooper Rating (HQR)
HQR adalah suatu alat pengukuran beban kerja dalam hal ini untuk analisa
Handling Quality dari perangkat terbang di dalam cockpit. Metode ini
terdiri dari sepuluh angka rating dengan masing–masing keterangannya
yang berurutan mulai dari kondisi yang terburuk hingga kondisi yang
paling baik, serta kemungkinan–kemungkinan langkah antisipasinya.
Rating ini dipakai oleh pilot evaluator untuk menilai kualitas kerja dari
perangkat yang diuji didalam cockpit pesawat terbang. Kelemahan metode
ini adalah hanya dapat digunakan pada jenis pekerjaan dalam dunia
penerbangan (Widyanti, dkk, 2010).
4. Rating Scale Mental Effort (RSME)
Rating Scale Mental Effort (RSME) merupakan metode pengukuran beban
kerja subyektif dengan skala tunggal. Responden diminta untuk
memberikan tanda pada skala 0-150 dengan deskripsi pada beberapa titik
acuan. Metode ini jarang digunakan karena memiliki banyak kelemahan,
salah satunya adalah belum teruji validitasnya (Ratna, 2009).
Namun dari beberapa metode tersebut, metode yang paling banyak digunakan
dan terbukti memberikan hasil yang baik adalah NASA-TLX (Hancock dan Meshkati,
1988). Penelitian tentang pengukuran beban kerja mental pada perawat pernah
dilakukan oleh Hidayat, dkk (2013) di rumah sakit XYZ dan didapatkan hasil bahwa
2.6 Metode NASA-TLX
Metode NASA-TLX merupakan metode yang digunakan untuk menganalisis
beban kerja mental yang dihadapi oleh pekerja yang harus melakukan berbagai
aktivitas dalam pekerjaannya. Metode ini di kembangkan oleh Sandra G. Hart dari
NASA-Ames Research Center dan Lowell E. Staveland dari San Jose State University
pada tahun 1981 berdasarkan munculnya kebutuhan pengukuran subjektif yang terdiri
dari skala sembilan faktor (kesulitan tugas, tekanan waktu, jenis aktivitas, usaha fisik,
usaha mental, performansi, frustasi, stress dan kelelahan). Dari sembilan faktor ini
disederhanakan lagi menjadi enam yaitu Mental demand (MD), Physical demand
(PD), Temporal demand (TD), Performance (P), Frustation level (FR). Keterangan
dari enam kebutuhan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Enam Indikator Beban Kerja Mental
Skala Keterangan
Mental Demand (MD) Seberapa besar aktivitas mental dan
perseptual yang dibutuhkan untuk
melihat, mengingat dan mencari.
Apakah pekerjaan tersebut sulit,
sederhana atau kompleks. Longgar atau
ketat
Physical Demand (PD) Jumlah aktivitas fisik yang dibutuhkan
(misalnya mendorong, menarik dan
mengontrol putaran)
Temporal Demand (TD) Jumlah tekanan yang berkaitan dengan
waktu yang dirasakan selama elemen
pekerjaan perlahan atau santai atau cepat
dan melelahkan
Performance (OP) Seberapa besar keberhasilan seseorang
di dalam pekerjaannya dan seberapa
puas dengan hasil kerjanya
Frustation Level (FR) Seberapa tidak aman, putus asa,
tersinggung, terganggu, dibandingkan
dengan perasaan aman, puas, nyaman
dan kepuasaan diri yang dirasakan
Effort (EF) Seberapa keras kerja mental dan fisik
yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
pekerjaan
Langkah-langkah pengukuran dengan menggunakan NASA TLX adalah sebagai
berikut (Hancock dan Meshkati, 1988):
1. Pembobotan
Pada bagian ini responden diminta untuk memilih salah satu dari dua indikator
yang dirasakan lebih dominan menimbulkan beban kerja mental terhadap
pekerjaan tersebut. Kuesioner NASA-TLX yang diberikan berupa
perbandingan berpasangan. Dari kuesioner ini dihitung jumlah tally dari setiap
indikator yang dirasakan paling berpengaruh. Jumlah tally menjadi bobot
untuk tiap indikator beban mental. Berikut tabel perbandingan indikator NASA
Tabel 2.2 Perbandingan Indkator NASA-TLX MD PD TD OP EF FR MD PD TD OP EF FR 2. Pemberian rating
Pada bagian ini responden diminta memberi rating terhadap keenam indikator
beban kerja mental. Rating yang diberikan adalah subyektif tergantung pada
beban mental yang dirasakan oleh responden tersebut. Berikut gambar skala
Gambar 2.1 Skala Rating NASA-TLX 3. Menghitung nilai indikator
Diperoleh dengan mengalikan rating dengan bobot faktor untuk
masing-masing indikator. Dengan demikian didapatkan nilai keenam indikator tersebut
4. Menghitung Weighted Workload (WWL)
5. Menghitung rata-rata WWL
Diperoleh dengan membagi WWL dengan jumlah bobot total. Rumus
menghitung rata-rata WWL dapa dilihat dibawah ini: Skor = ∑ WWL
15
Skor yang didapat dalam perhitungan dapat digolongkan menjadi lima
golongan. Berikut tabel penggolongan skor dalam NASA-TLX:
Tabel 2.3 Penggolongan Skor NASA-TLX
Nilai Golongan Beban Kerja Mental
0-9 Rendah
10-29 Sedang
30-49 Agak Tinggi
50-79 Tinggi
80-100 Sangat Tinggi
2.7 Kelelahan Kerja Perawat
Kelelahan kerja adalah respon total individu terhadap stres psikososial yang
dialami dalam satu periode waktu tertentu dan kelelahan kerja itu cenderung
menurunkan prestasi maupun motivasi pekerja yang bersangkutan. Kelelahan kerja
merupakan kriteria yang lengkap tidak hanya menyangkut kelelahan yang bersifat fisik
dan psikis saja tetapi lebih banyak kaitannya dengan adanya penurunan kinerja fisik,
adanya perasaan lelah, penurunan motivasi, dan penurunan produktivitas kerja
(Cameron, 1973). Kelelahan kerja tidak dapat didefinisikan secara jelas, tetapi dapat
dirasakan sebagai perasaan kelelahan kerja disertai adanya perubahan waktu reaksi
dipergunakan untuk mengetahui adanya kelelahan kerja. Perasaan kelelahan kerja
adalah gejala subjektif kelelahan kerja yang dikeluhkan pekerja yang merupakan
semua perasaan yang tidak menyenangkan (Setyawati, 2010).
Kelelahan kerja pada perawat adalah perasaan kelelahan akibat dari aktivitas
pekerjaan yang dilakukannya meliputi asuhan keperawatan, serta kegiatan lain di luar
tugasnya sebagai perawat serta ditandai dengan penurunan motivasi, penurunan
produktivitas kerja, dan penurunan kondisi fisik. Perawat merupakan salah satu
pekerja sosial yang rentan mengalami kelelahan kerja. Pernyataan tersebut didukung
oleh Safaat (2010) yang menggunakan istilah kelelahan kerja untuk mendefinisikan
sindrom khusus dari profesi pelayan sosial seperti pekerja sosial karena pekerjaan
mereka secara konstan mendapat tekanan atau stres.
2.8 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelelahan
Kelelahan dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, masa kerja, dan kondisi kesehatan
perawat (Aya, 2009).
1. Umur
Umur seseorang akan mempengaruhi kondisi tubuh. Semakin tua umur
seseorang semakin besar tingkat kelelahan. Fungsi faal tubuh yang dapat
berubah karena faktor usia mempengaruhi ketahanan tubuh dan kapasitas
kerja seseorang. Seseorang yang berumur muda sanggup melakukan
pekerjaan berat dan sebaliknya jika seseorang berusia lanjut maka
kemampuan untuk melakukan pekerjaan berat akan menurun karena
merasa cepat lelah dan tidak bergerak dengan gesit ketika melaksanakan tugasnya sehingga mempengaruhi kinerjanya (Suma’mur, 1996).
2. Jenis Kelamin
Pada umumnya wanita hanya mempunyai kekuatan fisik 2/3 dari
kemampuan fisik atau kekuatan otot pria (Tarwaka, dkk, 2004). Bagi
seorang wanita, jantung harus bekerja memompa darah yang mengandung
oksigen lebih berat dari pada pria untuk mengalirkan satu liter oksigen ke
jaringan-jaringan tubuh (Bridger, 2003). Dengan demikian, untuk
mendapatkan hasil kerja yang sesuai maka harus diusahakan pembagian
tugas antara pria dan wanita. Hal ini harus disesuaikan dengan kemampuan,
kebolehan, dan keterbatasannya masing-masing. Berdasarkan hasil
penelitian pada perawat di RS Syarif Hidayatullah Jakarta didapatkan
bahwa jenis kelamin memiliki hubungan yang bermakna dengan kelelahan
(Aya, 2009).
3. Pendidikan
Pendidikan memberikan pengetahuan bukan hanya langsung berhubungan
dengan pelaksanaan tugas, akan tetapi juga berdasarkan unit
pengembangan diri serta kemampuan untuk memanfaatkan semua sarana
yang ada untuk kelancaran tugasnya. Pendidikan merupakan kekuatan
dinamis dalam mempengaruhi semua aspek kepribadian serta kehidupan
individu (Aya, 2009).
4. Masa Kerja
Masa kerja dapat mempengaruhi pekerja baik pengaruh positif maupun
negatif. Pengaruh positif terjadi bila semakin lama seorang pekerja bekerja
maka akan berpengalaman dalam melakukan pekerjaannya. Sebaliknya
pengaruh negatif terjadi bila semakin lama seorang pekerja bekerja akan
bekerja maka semakin banyak pekerja terpapar bahaya yang ditimbulkan
oleh lingkungan kerja tersebut (Budiono, dkk, 2003). Dampak negatif
lainnya berupa adanya batas ketahanan tubuh terhadap proses kerja yang
berakibat terhadap timbulnya kelelahan. Pekerjaan yang dilakukan secara
kontinyu dapat berpengaruh terhadap sistem peredaran darah, sistem
pencernaan, otot, syaraf dan sistem pernafasan (Suma’mur, 1996).
Berdasarkan penelitian Hestya (2012) didapatkan perawat yang memiliki
masa kerja >1 tahun mengalami kelelahan sebesar 80%.
Sedangkan faktor eksternal diantaranya beban kerja fisik maupun mental,
waktu istirahat, shift kerja, dan lingkungan kerja (Setyawati, 2010).
1. Beban Kerja Fisik
Beban kerja fisik adalah suatu perbedaan antara kapasitas atau kemampuan
pekerja dengan tuntutan pekerjaan yang harus dihadapi (Tarwaka, 2013).
Beban kerja fisik (physical workload) merupakan beban yang diterima
tubuh akibat melaksanakan suatu aktivitas kerja. Beban kerja fisik dapat
berupa beratnya pekerjaan seperti mendorong, mengangkat, merawat,
mengangkut. Beban kerja yang melebihi kemampuan akan mengakibatkan
kelelahan kerja (Departemen Kesehatan RI, 1991). Berdasarkan penelitian
Hariyono, dkk (2009) pada perawat di Rumah Sakit Islam Yogyakarta
didapatkan hubungan yang signifikan antara beban kerja fisik dengan
2. Beban Kerja Mental
Beban kerja mental menurut Grandjean (1995) adalah setiap aktivitas
mental akan selalu melibatkan unsur persepsi, interpretasi, dan proses
mental dari suatu informasi yang disimpan. Beban kerja berlebih secara
fisik maupun mental dapat menyebabkan seorang pekerja mengalami
kelelahan. Penelitian Kasmarani (2012) pada perawat IGD RSUD Cianjur
didapatkan adanya pengaruh beban kerja mental terhadap stres dan
kelelahan.
3. Waktu Istirahat
Pada umumnya kelelahan bersifat sementara dan dapat dikurangi dengan
beristirahat. Waktu istirahat tidak hanya untuk menghentikan pekerjaan
tetapi harus dapat memberikan suasana rileks. Waktu istirahat dapat
mengurangi kebosanan, mengantuk, dan meningkatkan output produksi (Suma’mur, 1996). Penelitian Hulu (2003) menunjukkan ada pengaruh
pemberian waktu istirahat pendek terhadap kelelahan dengan menurunnya
tingkat kelelahan dan meningkatnya tingkat produktivitas.
4. Shift Kerja
Shift adalah kerja yang dibagi secara bergiliran dalam waktu 24 jam
(Simanjuntak, 1997). Ciri khas dari kerja shift yaitu terdapatnya
kontinuitas, pergantian kerja secara bergilir dan terdapat jadwal khusus.
Kerja bergilir dikatakan kontinyu apabila dikerjakan selama 24 jam setiap
hari termasuk hari minggu dan hari libur (ILO, 1998). Beberapa penelitian
tentang shift kerja diperoleh bahwa tingkat kelelahan tenaga kerja yang
suhu lingkungan kerja memberikan kontribusi yang paling besar terhadap
tingkat kelelahan kerja. Penelitian Hestya (2012) didapatkan bahwa
kelelahan paling banyak dialami oleh perawat pada shift pagi Sebesar
36,36%.
5. Lingkungan Kerja
Faktor lingkungan kerja seperti suhu, kebisingan, getaran, pencahayaan,
dan ventilasi dapat mempengaruhi kenyamanan fisik, sikap mental, output,
dan kelelahan pada pekerja (Setyawati, 2010). Penelitian Hestya (2012)
didapatkan 11 dari 35 perawat yang bekerja pada ruangan yang iklim
kerjanya tidak memenuhi syarat mengalami kelelahan.
2.9 Dampak Kelelahan Kerja
Menurut Safaat (2010), kelelahan kerja memiliki dampak yang beranekaragam
dan tidak hanya merugikan diri pekerja itu sendiri. Misalnya berupa absen dari
pekerjaan, komitmen yang rendah, mempunyai masalah dengan relasi kerja dan yang
lainnya. Kelelahan juga merugikan tempat mereka bekerja, yaitu menurunnya kualitas
pelayanan dan produksi akan menurun akibat kesalahan dalam bekerja tinggi.
Kelelahan kerja dengan kadar yang tinggi bisa menciptakan gangguan
hubungan interpersonal di tempat kerja atau dalam kehidupan secara umum. Yang
umum terjadi, kelelahan kerja menurunkan kemampuan dalam mendapatkan informasi
yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan. Pekerja yang mengalami kelelahan
kerja dampak minimnya adalah kehambaran, kedataran, ketidakserasian, atau
ketidaktanggapan. Selain itu kelelahan kerja dapat melemahkan gairah untuk mentaati
komitmen yang mengikat hubungan, misalnya komitmen untuk menepati janji atau
2.10 Pengukuran Kelelahan
Parameter-parameter yang dapat digunakan untuk mengukur kelelahan kerja
menurut Setyawati (2010) antara lain:
1. Waktu Reaksi
Waktu reaksi adalah waktu yang terjadi antara pemberian rangsang tunggal
sampai timbulnya respon terhadap rangsang tersebut. Waktu reaksi ini
merupakan reaksi sederhana atas rangsang tunggal atau reaksi yang
memerlukan koordinasi.
2. Uji Ketuk Jari (Finger Taping Test)
Uji ketuk jari adalah mengukur kecepatan maksimal mengetukkan jari tangan
dalam suatu periode waktu tertentu. Uji ini sangat lemah karena banyak faktor
yang sangat berpengaruh dalam proses mengetukkan jari dan uji ini tidak dapat
dipakai untuk menguji kelelahan kerja bermacam-macam pekerjaan
(Grandjean, 1995).
3. Uji Flicker Fusion
Uji flicker fusion adalah pengukuran terhadap kecepatan berkelipnya cahaya
(lampu) yang secara bertahap ditingkatkan sampai kecepatan tertentu sehingga
cahaya tampak berbaur sebagai cahaya yang kontinyu. Kelemahan uji ini
adalah hanya dipergunakan untuk menilai kelelahan mata saja (Grandjean,
1995).
4. Uji Critical Fusion
Uji critical fusion adalah modifikasi uji flicker fusion. Uji ini dipergunakan
untuk pengujian kelelahan mata yang berat dengan menggunakan Flicker
5. Uji Bourdon Wiersma
Uji Bourdon Wiersma adalah pengujian terhadap kecepatan bereaksi dan
ketelitian. Uji ini dipakai untuk menguji kelelahan pada pengemudi.
6. Skala Industrial Fatique Rating Comite (IFRC)
Skala IFRC yang di disain untuk pekerja dengan budaya Jepang ini merupakan
angket yang mengandung tiga puluh macam perasaan kelelahan. Kelemahan
skala ini yaitu perasaan kelelahan yang dirasakan seorang pekerja dan tiap butir
pernyataan dalam skala ini tidak dapat dievaluasi hubungannya.
7. Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja (KAUPK2)
Kuisioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja (KAUPK2) merupakan
parameter yang digunakan dalam pengukuran perasaan kelelahan kerja sebagai
gejala subyektif yang dialami pekerja dengan perasaan yang tidak
menyenangkan. Parameter ini di disain oleh Setyawati (2010) khusus bagi
pekerja di Indonesia dan telah teruji kesahihan dan kehandalannya untuk
mengukur perasaan kelelahan pada pekerja. Instrumen pengukuran perasaan
kelelahan kerja ini dipersiapkan untuk penelitian masal pada pekerja di
unit-unit kerja, sehingga bersifat sederhana, sahih, handal dan berbahasa Indonesia.
Kuesioner ini terdiri dari 17 pertanyaan tentang keluhan subjektif yang berisi
butir-butir keluh kesah kelelahan kerja yang dapat dialami tenaga kerja di
Indonesia.
8. Stroop Test.
Dalam uji ini seseorang diminta menyebutkan nama warna-warna tinta suatu
seri huruf atau kata-kata. Pengujian ini dinilai kurang memadai untuk
Namun parameter yang dapat digunakan untuk mengukur perasaan kelelahan
kerja adalah skala kelelahan IFRC dan KAUPK2. Skala kelelahan IFRC yang di desain
untuk pekerja dengan budaya jepang ini merupakan angket yang mengandung tiga
puluh macam perasaan kelelahan. Kelemahan skala ini yaitu perasaan yang dirasakan
seorang pekerja dan tiap butir pernyataan dalam skala IFRC tidak dapat dievaluasi
hubungannya (Setyawati, 2010). Sehingga dalam penelitian ini, penulis menggunakan