• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KETENTUAN SYARAT ARBITRASE DALAM PASAL 7-11 NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III KETENTUAN SYARAT ARBITRASE DALAM PASAL 7-11 NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

27

PENYELESAIAN SENGKETA

A. Latar Belakang dan Pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

Sebelum membahas lebih lanjut tentang latar belakang dan proses pembentukan Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999, sebagai penambah wawasan tentang arbitrase ada baiknya kita melihat ke belakang sejarah perkembangan arbitrase dari masa ke masa. Peradaban manusia dewasa ini merupakan hasil dari pembangunan peradaban sebelumnya. Sejarah manusia di muka bumi ini diwarnai dengan konflik antar indvidu, perselisihan, perang, sampai pada pemusnahan etnik antar negara yang menimbulkan tragedi umat manusia. Demikian pula arbitrase tumbuh karena adanya perselisihan antar para pihak yang membuat perjanjian, dimana pihak ketiga diperlukan untuk membantu menyelesaikan tanpa ada campur tangan pengadilan resmi.

Dari perkembangan sejarahnya, badan arbitrase ini sesungguhnya telah lama dipraktekkan. Menurut M. Domke, bangsa-bangsa telah menggunakan cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase sejak zaman Yunani kuno. Praktek ini berlangsung pula pada zaman keemasan Romawi dan Yahudi serta terus berkembang teerutama di negara-negara dagang di Eropa, seperti Inggris dan negeri Belanda, kemudian cara penyelesaian

(2)

sengketa ini menyebar ke negara-negara Eropa lainnya. Penyebaran di Prancis berlangsung pada 1250, di Skotlandia 1695, di Irlandia 1700 dan Denmark 1795.1

Namun perkembangan arbitrase di Eropa pada waktu itu masih dalam bentuknya yang sederhana. Bentuk sederhana pada masa ini mempunyai tiga ciri. Ciri yang pertama, yakni bahwa pada masa itu orang baru menggunakan arbitrase setelah sengketa lahir. Jadi sebelumnya para pihak tidak dan belum menjanjikan terlebih dahulu bahwa apabila terjadi sengketa maka arbitraselah yang akan menyelesaikan. Ciri kedua, arbitrase ini digunakan untuk menyelesaikan sengketa di antara kerabat, tetangga atau mereka yang hidupnya bersama-sama dan yang berkepentingan agar hubungan mereka terjaga dengan baik. Ciri ketiga, arbitrator yang dipilihnyapun adalah mereka yang telah dikenal baik oleh para pihak dan tidak terikat pada adanya ikatan-ikatan tertentu.2

Peran arbitrase sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa dagang yang berskala Internasional, dimulai pada penghujung abad ke-18 yang ditandai dengan lahirnya Jay Treaty pada tanggal 19 November 1794. Perjanjian ini terjadi antara Amerika dan Inggris, dengan perjanjian ini, terjadi tata cara perubahan mendasar mengenai penyelesaian sengketa dagang.

Permasalahan penanganan sengketa internasional, dalam era global dihadapkan pada persoalan yang komplek, khususnya mengenai Coalotion Of Norm. Mengapa demikian, hal ini banyak faktor berperan yang perlu

1

Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional (edisi revisi), Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1991, hlm. 2

2

(3)

dicarikan jalan keluar apabila timbul satu sengketa antar pihak. Di Negara industri seperti Amerika Serikat. Peran lawyer sangat menentukan dan merupakan suatu profesi yang sangat disegani di Amerika, rasio perbandingan antara lawyer dan penduduk adalah 1:300. Sedangkan di Indonesia belum ada data yang valid yang pasti jauh di bawah kebutuhan masyarakat.3

Di Indonesia arbitrase sebenarnya juga mempunyai sejarah yang panjang, hal ini disebabkan arbitrase sudah dikenal dalam peraturan perundang-undangan sejak berlakunya hukum acara perdata Belanda, yaitu sejak berlakunya Reglement Op De Burgerlijke Rechtsvordering (RV). Sungguhpun begitu sejarah institusional sejarah perkembangan arbirase kita mendapatkan momentumnya dengan terbentuknya Badan Arbitrase Nasional pada tanggal 3 Desember 1977.4

Pada waktu pemerintah Belanda masih menguasai Indonesia, penduduk Indonesia dibagi menjadi beberapa golongan, yang mendasarinya 131 dan 163 Indische Staatsregeling disingkat IS. Berdasarkan IS tersebut ditetapkan bahwa golongan Eropa dan mereka yang disamakan berlaku hukum Negeri Belanda yang juga disebut hukum barat, sedangkan bagi golongan bumi putra (Indonesia) berlaku hukum adatnya masing-masing. Karena adanya perbedaan perlakuan hukum tersebut, konsekuensinya adalah adanya perbedaan dalam badan-badan peradilan berikut hukum acaranya.5

3

Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Jakarta; Ghalia Indonesia, 2002, hlm. 76

4

Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Bandung, Citra Aditya Bhakti, 2003, hlm. 27 5

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis; Hukum Arbitrase, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 10

(4)

Dan yang terakhir adalah golongan timur asing (yang dibagi atas golongan timur asing Tionghoa dan timur asing bukan Tionghoa seperti; Arab, India dan lain-lain). Telah ditetapkan pada tahun 1925 bahwa bagi mereka berlaku hukum barat dengan beberapa pengecualian.6 Sedangkan dasar hukum arbitrase pada zaman kolonial Belanda pasal 377 HIR/ pasal 705 RBG. Kemudian Jepang menggantikan kedudukan Hindia Belanda, peradilan pada masa pendudukan Hindia Belanda dihapus dan diganti dengan peradilan yang berlaku bagi semua orang yang diberi nama Tihoo Hooin. Badan peradilan ini merupakan kelanjutan Landraad, hukum acaranya tetap mengacu pada HIR dan RBG.7

Mengenai berlakunya arbitrase ini pemerintah Jepang masih mengakui keabsahan Undang-undang dari pemerintah dahulu, yaitu Pemerintah Hindia Belanda untuk sementara, asal undang-undang yang ada tidak bertentangan dengan Undang-undang pemerintah Jepang.

Untuk mencegah kefakuman hukum pada waktu Indonesia merdeka, diberlakukanlah pasal 11 aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945 tertanggal 18 Agustus 1945 yang menyatakan8:

“Segala badan negara dan peraturan yang ada langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”.

Berdasarkan kata-kata tersebut jadi jelaslah peraturan yang diwarisi dari zaman Hindia Belanda dianggap sebagai pedoman dan dapat

6

Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional, Bandung, Alumni, 1986, hlm. 130 7

Gunawan Widjaja, Op, Cit, hlm. 13 8

(5)

dikesampingkan oleh pengadilan jika pasal-pasal dari peraturan tersebut dipandang bertentangan dengan undang-undang dasar.

Ketika berlakunya undang-undang darurat nomor 1 tahun 1951 tanggal 14 Januari 1951, maka pada dasarnya di seluruh Indonesia hanya ada tiga macam badan peradilan yaitu Pengadilan Negeri Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Tinggi Pengadilan Tingkat Banding, dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat kasasi.9

Pada zaman Hindia Belanda arbitrase dipakai oleh pedagang, baik sebagai eksportir maupun importir dan pengusaha lainnya, pada saat itu adalah arbitrase tetap yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda.10Arbitrase sering dipraktekkan di Indonesia, ada beberapa badan arbitrase tetap dibidang perdagangan, badan-badan itu didirikan oleh berbagai perkumpulan dari organisasi-organisasi perdagangan, sebagai contoh dapat disebutkan di sini11: 1. Organisasi eksportir hasil bumi Indonesia di Jakarta

2. Organisasi asuransi kebakaran Indonesia di Jakarta 3. Organisasi asuransi kecelakaan Indonesia di Jakarta

Arbitrase juga sangat populer di bidang perdagangan internasional, menghadapi suatu sengketa yang melibatkan unsur-unsur antar negara, maka para pedagang pada umumnya cenderung menyerahkan penyelesaiannya kepada badan-badan arbitrase bisnis Internasional. London umpamanya terkenal sebagai pusat arbitrase untuk masalah maritim, asuransi serta

9

Gunawan Widjaja, Op, Cit, hlm. 14 10

Ibid, hlm. 13

11

(6)

barang hasil bumi.12 Dan tidak hanya mengenai jual beli perniagaan, akan tetapi dalam perjanjian perburuhan dan dalam dunia makelar tidak jarang diadakan wasit.13

Namun tidak semua sengketa hukum dapat diselesaikan melalui arbitrase, adalah diperkenankan pada siapa saja yang terlibat dalam suatu sengketa yang mengenai hak-hak yang berbeda dalam penguasaan untuk melepaskannya, untuk menyerahkan pemutusan sengketa tersebut pada seseorang atau beberapa arbiter (pasal 615 RV)14.

Melihat perkembangan dunia usaha sekarang ini mungkin pada saat pembuataanya pada tahun 1849 (landasan umum arbitrase pasal 615-651 RV) sudah memenuhi praktek pada saat itu, akan tetapi melihat lagi pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat dan beraneka ragam sudah saatnya dipikirkan dan diusahakan pembangunan dan pembaharuan hukum di bidang arbitrase yang lebih utuh dan terpadu, meliputi segala segi yang menyangkut arbitrase asing yang diputus di luar negeri, sebab ketentuan arbitrase yang diatur dalam Reglement Acara Perdata belum meliputi hal-hal yang meliputi berkenaan dengan pengakuan dan ekskusi putusan arbitrase asing, bahkan bentuk-bentuk klausula pactum de compromittendo yang diatur dalam pasal 615 ayat 3 mengenai pengangkatan arbitrator dapat dikatakan sudah

12

Setiawan, Aneka Masalah Hukum Dan Hukum Acara Perdata, Bandung, Alumni. 1992, hlm. 2

13

Sukardono, Hukum Dagang Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 1991, hlm. 2 14

(7)

ketinggalan zaman. Begitu pula dalam pasal 641 mengenai upaya banding atau putusan arbitrase bisa menimbulkan ketidakpastian hukum.15

Mengapa ketentuan arbitrase yang lama yang diatur dalam RV harus diganti ? Dengan semakin berkembangnya dunia usaha dan perkembangan lalu lintas dunia perdagangan baik Nasional maupun Internasional serta perkembangan hukum pada umumnya, maka peraturan yang terdapat dalam reglement acara perdata yang dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan dagang yang bersifat Internasional sudah merupakan kebutuhan conditiosine quanon sedangkan hal tersebut tidak diatur ke dalam reglement acara perdata.16

Hal demikian sangat diperlukan pencegahan untuk menghindari persaingan yang tidak sehat, oleh karena itu ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk menetapkan lembaga dan hukum alternatif penyelesaian sengketa di negara kita, yaitu17 :

a) Memasyarakatkan lembaga arbitrase dikalangan masyarakat umum, khususnya masyarakat pengusaha.

b) Memperluas pelajaran dan penyebaran pengetahuan tentang alternatif penyelesaian sengketa di perguruan tinggi.

c) Membentuk lembaga–lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang sifatnya permanen di daerah-daerah.

15

Yahya Harahap, Arbitrase, Jakarta, Pustaka Kartini, 1991, hlm. 23 16

Gunawan Widjaja, Op, Cit, hlm. 6 17

Joni Emerzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Peradilan, Jakarta, Gramerdia Pustaka Utama, 2000, hlm. 12

(8)

d) Membuka pelatihan-pelatihan alternatif penyelesaian sengketa untuk mencari negosiator, arbitrator, dan lain-lain.

Perubahan mendasar di atas dan untuk mengantisipasi perkembangan tersebut telah diterbitkan Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, adapun falsafah yang melatar belakangi pengesahan Undang-undang tersebut adalah18 :

1) Bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa disamping dapat diajukan ke peradilan umum juga dapat diajukan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. 2) Bahwa peraturan perundang-undangan yang kini berlaku untuk

menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sudah tidak sesuai lagi dengan perkembagnan dunia usaha dan hukum pada umumnya.

3) Bahwa berdasarkan alasan-alasan dan pertimbangan tersebut maka perlu membentuk Undang-undang tentang arbitrase dan altenatif penyelesaian sengketa.

Dengan berlakunya undang-undang tersebut dengan sendirinya ketentuan yang mengatur arbitrase yang ada dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 81 undang-undang nomor 30 tahun 1999 yang berbunyi :

“Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam pasal 615-651 reglement acara perdata (Reglement Op De Burgerlijke Reehtsvordering (RV) Staatsblad,

18

(9)

1847:52} dan pasal 377 reglement Indonesia yang diperbaharui (Het Herzeine Indonesich Reglement, Staatsblad, 1941:44) dan Pasal 705 reglement acara untuk daerah luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad, 1927:227) dinyatakan tidak berlaku”19

B. Materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

Model arbitrase yang diatur dalam Undang–undang nomor 30 tahun 1999 adalah cara penyelesaian suatu sengketa di luar pengadilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Akan tetapi, tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yag bersengketa atas dasar kesepakatan mereka20

Adapun susunan atau sistematika Bab dari Undang-undang No 30 tahun 1999, terdiri atas :

Bab I : Ketentuan umum (pasal 1-5)

Bab II : Alternatif penyelesaian sengketa (pasal 6)

Bab III : Syarat arbitrase, pengangkatan arbiter, dan hak ingkar (pasal 7- 26)

Bab IV : Acara yang berlaku dihadapan majelis arbitrase (pasal 27-51) Bab V : Pendapat dan putusan arbitrase (pasal 52-58)

Bab VI : Pelaksanaan putusan arbitrase (59-69) Bab VII : Pembatalan putusan arbitrase (pasal 70-72)

19

Pasal 81 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa

20

Suyud Margono, ADR (Alternatif Dispute Resolution) dan Arbitrase, Jakarta : PT Ghalia Indonesia,2000, hlm 21

(10)

Bab VIII : Berakhirnya tugas arbiter (pasal 73-75) Bab IX : Biaya arbitrase (pasal 76-77)

Bab X : Ketentuan peralihan (pasala 78-80) Bab XI : Ketentuan penutup (pasal 81-82)

Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yanhg telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.21

Dalam Undang-undang no 30 tahun 1999, disebutkan bahwa alternatif penyelesaian sengketa (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati bersama oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Undang-undang tersebut memberikan kepastian hukum bagi berlakunya lembaga penyelesaian alternatif di luar pengadilan yang diharapkan berprosedur informal dan efisien. Hal ini akan memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk berperan serta dan mengembangkan mekanisme penyelesaian konfliknya sendiri serta mendapatkan pilihan untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul.22

Dengan demikian, sungguhpun Undang-undang arbitrase kelihatannya lebih menekankan kepada penyelesaian alternatif melalui kesepakatan para

21

hadi setia tunggal , Undang-undang No 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa (pasal 2), Jakarta, harvarindo, 2002, hlm 3

22

(11)

pihak sendiri, mediasi, penggunaan tenaga ahli atau arbitrase tetapi sebenarnya dimaksudkan dengan alternatif penyelesaian sengketa tersebut termasuk semua jenis penyelesaian sengketa di luar badan pengadilan23

Dari kerangka Undang-undang ini dapat dikemukakan bahwa alternatif penyelesaian sengketa dibahas dalam pasal 6, yang terdiri dari 9 ayat dan dalam bab III juga dibahas tentang syarat arbitrase, pengangkatan arbiter, dan hak ingkar. Adapun bagian tersebut meliputi :

1. Bagian pertama tentang syarat arbitrase (pasal 7-11)

2. Bagian kedua tentang syarat pengangkatan arbiter (pasal 12-21) 3. Bagian ketiga tentang hak ingkar (pasal 22-26)

Dibandingkan dengan pemeriksaan oleh pengadilan biasa, yang terbuka secara umum dan dapat dihadiri oleh semua orang yang hendak mendengar sekarang ini dalam acara arbitrase, untuk memelihara konfidensialitas dan tetap memelihara iklim tidak terpengaruhi oleh dunia luar atau oleh pers, maka pemeriksaan dilakukan secara tertutup. Menurut memori penjelasan ketentuan bahwa pemeriksaan dilakukan secara tertutup ini adalah menimpang dari memeriksa acara perdata yang berlaku di pengadilan negeri. Pada prinsipnya pengadilan negeri memeriksa satu perkara secara terbuka untuk umum.untuk lebih mengedepankan kerahasiaan dan konfidensialitas dari penyelesaian arbitrase ini maka ditegaskan bahwa dilakukan pemeriksaannya dengan cara pintu tertutup.24Keharusan sidang pemeriksaan

23

Munir Fuady, Op cit, hlm 4

24

Sudargo gautama, Undang-undang arbitrase baru 1999, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999, hlm 85

(12)

perkara arbitrase yang tertutup ini merupakan salah satu ciri dari prosedur arbitrase. Dengan demikian kerahasiaan perkara dari para pihak tetap terjamin. Hal ini disebabkan anggapan masyarakat bernada miring terhadap suatu sengketa hukum sehingga meyebabkan cukup banyak pihak yang merasa tidak enak jika ada orang lain mengetahui bahwa dia sedang terlibat dalam suatu sengketa. Pasala 27 dari Undang-undang no 30 tahun 1999 tidak memberikan pengecualian terhadap sifat tertutupnya sidang pemeriksaan dalam proses arbitrase.25

Dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, acara yng berlaku dihadapan majelis arbitrase dibahas menjadi dua bagian yang diatur dari pasal 27 sampai dengan pasal 51 dengan rincian sebagai berikut :

a. Bagian pertama tentang acara arbitrase (pasal 27-48) b. Bagian kedua tentang saksi dan saksi ahli (pasal 49- 51)

Dapat kita ketahui bahwa Undang-undang nomor 30 tahun 1999 juga mengenal istilah pendapat ahli sebagai bagian dari alternatif penyelesaian sengketa, dan bahwa ternyata arbitrase dalam suatu bentuk kelembagaan, tidak hanya bertugas untuk menyelesaikan perbedaan atau perselisihan pendapat maupun sengketa yang terjadi diantara para pihak dalam suatu perjanjian pokok melainkan juga dapat memberikan konsultasi dalam bentuk opini atau pendapat hukum atas permintaan dari setiap pihak yang memerlukannya tidak terbatas pada para pihak dalam perjanjian.26

25

Munir Fuady, Op cit, hlm 146 26

Gunawan Widjaya,Alternatif Penyelesaian Sengketa (Seri Hukum Bisnis), Jakarta, Raja Grafindo, 2002, hlm 95

(13)

Putusan arbitrase harus diambil menurut peraturan hukum yang berlaku, kecuali dalam klausula atau perjanjian arbitrase tersebut telah diberikan kekuasaan kepada (para) arbiter untuk memutus menurut kebijaksanaan (ex aequo et bono) (pasal 631 Rv). Dalam hal ini putusan yang diambil harus menyebutkan nama-nama dan tempat tinggal para pihak berikut amar putusannya, yang disertai dengan alasan dan dasar pertimbangan yang dipergunakan (para) arbiter dalam mengambil putusan, tanggal diambil putusan, dan tempat dimana putusan diambil, yang ditanda tangani oleh (para) arbiter. Dalam hal salah seorang arbiter menolak menandatangani putusan hak ini harus dicantumkan dalam putusan tersebut, agar putusan ini berkekuatan sama dengan putusan yang ditanda tangani oleh semua arbiter. (pasal 632 Jo pasal 633 Rv).27

Kalau pasal 633 ditafsir secara analogis putusan arbitrase sah apabila putusan diambil berdasar mayoritas. Cukup bagian mayoritas yang menandatangani putusan sudah sah, dan dianggap seperti ditanda tangani oleh semua arbiter. Dari penafsiran analogis tersebut, sistem pengambilan putusan menurut Rv berdasar suara mayoritas. Apabila terdapat suara mayoritas, yang minoritas harus mengalah dan takluk menerima putusan yang diambil. Terserah apakah dia mau atau tidak menandatangani putusan. Bagian minoritas boleh menandatangani, tapi boleh juga tidak menandatangani, meskipun bagian minoritas menolak untuk ikut menandatangani putusan yang diambil oleh mayoritas, tetap sah. Mau atau tidak mau menandatangani, pasal

27

(14)

633 Rv menganggap putusan ditanda tangani oleh semua arbiter.28Dalam bab V Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 pendapat dan putusan arbitrase diatur dalam pasal 52 sampai dengan 58.29

Pelaksanaan putusan dilakukan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan ditetapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri dan oleh panitera diberikan catatan yang merupakan akta pendaftaran arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli, pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada panitera pengadilan negeri. Hal ini merupakan syarat dan jika tidak dipenuhi, berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.30

Ketua pengadilan negeri dalam memberikan perintah pelaksanaan harus perlu memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase telah memenuhi kriteria sebagai berikut :

1) Para pihak menyetujui bahwa sengketa diantara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase

2) Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.

28

Yahya harahap, Op Cit, hlm 231 29

Lihat Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, hlm 22-24 30

Rahmat Rosyadi dan Ngatimo, Arbitrase Dalam Perspektif Islam Dan Hukum Positif , Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002, hlm 86

(15)

3) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan

4) Sengketa lain yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah yang tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.31

Dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tidak dirumuskan pengertian putusan arbitrase nasional, yang ada rumusan pengertian putusan arbitrase Internasional. Didalamnya disebutkan, putusan arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan diluar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase Internasional. Secara penafsiran (argumentum a contrari) dapat dirumuskan putusan arbitrase nasional adalah putusan yang dijatuhkan diwilayah hukum Republik Indonesia berdasarkan ketentuan hukum Republik Indonesia. Sepanjang putusan tersebut dibuat berdasarkan dan dilakukan di Indonesia, maka putusan arbitrase ini termasuk dalam arbitrase Nasional.32

Sedangkan dalam pasal 70 Undang-undang nomor 30 tahun 1999 disebutkan bahwa terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan

31

Suyud margono, Op Cit, hlm 132 32

(16)

permohonan pembatalan apabila keputusan arbitrase diduga mengandung unsur-unsur antara lain :33

(a) Surat atau dokumen diajukan dalam pemeriksaan dinyatakan palsu

(b) Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang sifatnya menentukan, yang disembunyikan salah satu pihak lawa

(c) Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa

Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari, sejak hari penyerahan hingga pendaftaran putusan arbitrase pada panitera pengadilan negeri, dalam pasal 59 Undang-undang nomor 30 tahun 1999, diatur berkaitan dengan pelaksanaan putusan arbitrase (ekskusi), pelaksanaan putusan dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak putusan ditetapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri dan oleh panitera diberikan catatan yang merupakan akta pendaftaran.34

Dalam Undang-undang nomor 30 tahun 1999 putusan arbitrase dibagi menjadi 2 (dua) bagian yang diatur dari pasal 59 sampai dengan 69, sedangkan pembatalan putusan arbitrase diatur dari pasal 70 sampai dengan 72 dengan rincian sebgai berikut :

(1) Bagian pertama tentang arbitrase nasional (pasal 59-64) (2) Bagian kedua tentang arbitrase internasional (pasal 65-69) dan

33

Rahmat Rasyadi, Op cit, hlm 89 34

(17)

(3) Bagian tentang pembatalan putusan arbitrase (pasal 70- 72)

Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, maka kedudukan dan kewenangan dari arbitrase di Indonesia sudah semakin jelas dan kuat. Dalam hukum adat juga dikenal adanya badan-badan pemutus yang dalam bekerjanya menggunakan prinsip-prinsip musyawarah. Badan-badan pemutus secara adat ini menggunakan juga prinsip-prinsip yang serupa dengan prinsip-prinsip penyelesaian sengketa altenatif yang modern. Contohnya Tohapuet dalam masyarakat Aceh, kerapatan adat Negeri di Minangkabau.35

Istilah arbitrase (arbitrage = arbitration) berasal dari bahasa latin yang berarti suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim (arbitator) atau para hakim berdasarkan satu persetujuan bahwa mereka tunduk dan mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih tersebut.36

Menurut ketentuan pasal umum pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, arbitrase adalah penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.37

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arbitrase adalah usaha perantara dalam meleraikan sengketa.38

35

Rachmadi Usman, Op, Cit, hlm. 13-14 36

Ridhwan Khairandi, dkk, Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, Yogyakarta, Gama Media, 1999, hlm 276

37

Gunawan Widjaja, Op, Cit, hlm 42 38

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1994, hlm 55

(18)

Sedang dalam kamus bahasa Inggris Indonesia, arbitrate artinya mengadili atau mengambil keputusan sesudah mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak.39

Dalam kamus Belanda, arbitrage artinya perdamaian atau perwasitan.40

Dalam bahasa Perancis, arbitre artinya penengah.41

Selain pengertian arbitrase di atas, juga perlu kita memperkaya pemahaman tentang arbitrase dengan mengutip beberapa pendapat para ahli hukum terkemuka diantaranya sebagai berikut :42

1. Subekti dalam bukunya “aneka perjanjian” mengemukakan bahwa arbitrase adalah pemutusan suatu sengketa oleh seseorang atau beberapa orang yang ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa sendiri, di luar hakim atau pengadilan.

2. Z. Asikin Kusumaatmadja, arbitration is the business community regulatory of disputes settlement (arbitrase adalah aturan komunitas bisnis dalam menyelesaikan sengketa diantara mereka)43

3. Sudikno Martokusuma mengemukakan bahwa arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang berdasarkan

39

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta, Gramedia, 1976, hlm 36

40

A.L.N. Kramer , Kamus Belanda, Den Haag, G.B. Vaan Goor Zoneis, 1966, hlm 22 41

Farida Soemargono, Kamus Dasar Perancis Indonesia, Jakarta, Pustaka Jaya, 1990, hlm 18

42

Ade Maman Suherman, Op, Cit, hlm 79 43

(19)

persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan diserahkan kepada seorang wasit.44

4. Chappel mendefinisikan arbitrase sebagai satu penyelesaian sengketa yang dipilih secara sukarela oleh para pihak yang menginginkan sengketanya diputus oleh hakim yang netral dan dipilih oleh mereka, yang keputusannya berdasarkan pokok sengketa yang mereka setujui sebelumnya untuk menerima keputusan tersebut sebagai final dan mengikat.45

Berdasarkan sejumlah pengertian arbitrase kita mendapatkan gambaran yang memadai tentang esensi arbitrase, namun ada pernyataan yang lain apakah semua perkara dapat dibawa ke pengadilan arbitrase? Dalam Undang-undang yang terdiri dari 11 bab dan 82 pasal hanya menegaskan secara umum dalam pasal 5 yang berbunyi46 :

(1) Sengketa yang dapat diselesaiakan melalui arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. (2) Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa

yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

Tidak ada suatu penjelasan resmi mengenai apa yang dimaksud dalam ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tersebut,

44 Ibid 45

Huala Adolf, Ibid, hlm 11 46

Pasal 5 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa

(20)

namun jika kita melihat penjelasan pada pasaal 66 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 yang berhubungan dengan putusan Internasional dimana dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ”ruang lingkup hukum perdagangan” adalah kegiatan antara lain47

a) Perniagaan b) Perbankan c) Keuangan

d) Penanaman modal e) Industri

f) Hak kekayaan intelektual

H.M.N. Purwosucipto memberikan ulasan terhadap sengketa bidang apa saja yang dapat selesaikan dalam arbitrase, dengan melihat sejarah yang dibentuk untuk kepentingan pedagang, adapun sengketa tersebut dapat berupa penyelesaian mengenai48 :

(1) Jual beli perusahaan (2) Perjanjian perburuhan

(3) Perjanjian pengangkutan dan lain-lain (4) Makelar dan komisioner

Sejalan dengan itu pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, menyebutkan sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian, secara penafsiran argumentum a contratio, obyek sengketa yang

47

Gunawan Widjaja, Op, Cit, hlm. 45 48

(21)

menjadi kewenangan lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc adalah sengketa dibidang perdagangan dan hak yang menurut perundang-undang dapat diadakan perdamaian sepanjang penyelesaian sengketa perdagangan dan hak tersebut dapat diserahkan pada lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc.49

C. Karakteristik Undang-undang Nomor 30 tahun 1999

Menurut ketentuan pasal 6 ayat (9) Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, dalam hal usaha-usaha alternatif penyelesaian sengketa melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, pemberian pendapat (hukum) yang mengikat maupun perdamaain tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc. Ini berarti arbitrase dapat dikatakan merupakan pranata alternatif penyeesaian sengketa terakhir dan final bagi para pihak.

Dalam hukum acara, kita mengenal adanya kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kedua istilah tersebut diatas berhubungan dengan masalah kewenangan dari pranata peradilan atau pengadilan yang berwenang untuk menyelesaiakan perselisihan atau sengketa yang timbul di antara para pihak pada kompetensi relatif, kewenangan tersebut berhubungan dengan lokasi atau letak pengadilan yang berwenang. Sedangkan kompetensi absolut mempersoalkan kewenangan dari pranata penyelesaian sengketa yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi.

49

(22)

Berdasarkan pada ketentuan pasal 3 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 kita ketahui bahwa penyelesaian perselisihan atau sengketa melalui pranata arbitrase memiliki “kompetensi absolut” terhadap penyelesaian perselisihan atau sengketa melalui pengadilan. Ini berarti bahwa setiap perjanjian yang telah mencantumkan klausula arbitrase atau suatu perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak menghapuskan kewenangan dari pengadilan (Negeri) untuk menyelesaikan setiap perselisihan atau sengketa yang timbul dari perjanjian yang memuat klausula arbitrase tersebut atau yang telah timbul sebelum ditandatanganinya perjanjian arbitrase oleh para pihak.

Jika kita lihat definisi dari perjanjian arbitrase yang diberikan dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 dapat kita katakan bahwa pada dasarnya perjanjian arbitrase dapat terwujud dalam bentuk suatu kesepakatan berupa :

1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau

2. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa

Sebagai salah satu bentuk perjanjian sah tidaknya perjanjian arbitrase digantungkan pada syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 Undang-undang hukum perdata.50

50

(23)

D. Ketentuan syarat arbitrase dalam pasal 7-11 Nomor 30 tahun 1999

sebagaimana komitmen para pihak dalam menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, diharapkan mereka memperoleh kebebasan dan menentukan wasit yang adil dan keputusannya pun akan ditaaati dan mengikat para pihak, unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam arbitrase yaitu :

a) Peradilan perdamaian

Lembaga peradilan arbitrase itu terletak di luar pengadilan umum. Arbitrase diselenggarakan oleh pihak swasta.

b) Para pihak

Para pihak biasanya terdiri dari pengusaha-pengusaha c) Kesepakatan para pihak

Hal ini merupakan unsur mutlak bagi adanya arbitrase d) Hak yang dipersengketakan

Hak yang dipersengketakan haruslah hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, “sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan yang dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”

e) Arbitrator

Arbitrator ini dapat ditunjuk oleh pihak yang bersengketa atau badan arbitrase atau dapat pula ditunjukan oleh Pengadilan Negeri, Untuk

(24)

memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase

f) Putusan peradilan arbitrase

Karena para pihak sengketa menunjuk arbitrator sendiri maka logisnya putusan arbitrator harus ditaati kedua belah pihak.

g) Putusan arbitrase adalah putusan akhir

Termasuk dalam kesepakatan kedua belah pihak, bahwa putusan wasit adalah putusan terakhir maka tidak ada banding.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam perjanjian arbitrase tertuang dalam pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 yang mensyaratkan persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase harus dimuatkan dalam dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.51

Dalam Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tidak dinyatakan syarat-syarat arbitrase meliputi apa saja, sedangkan dalam kompilasi hukum Islam dinyatakan bahwa syarat arbitrase bila dipandang dari obyeknya terdiri atas harta benda yang halal, maka tidak sah perdamaian atas khamar, mayat, darah dan berburu yang diharamkan, sedang dalam Undang-undang tidak ada pernyataan seperti itu.

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak serta merta dapat dilangsungkan ketika sengketa telah terjadi, salah satu pihak harus memberitahukan (notice) kepada pihak lainnya bahwa syarat-syarat penyelesaian sengketa melalui arbitrase telah berlaku. Adapun cara

51

Pasal 4 angka 2 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa

(25)

pemberitahuannya diatur lebih lanjut dalm pasal 8 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999.

Dalam pasal itu dinyatakan bahwa pemohon harus memberitahukan kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku, dalam hal timbul sengketa dengan salah satu cara di bawah ini : a. Surat tercatat b. Telegram c. Teleks d. Faksimile e. E-mail f. Buku ekspedisi.52

Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase dimaksudkan haruslah memuat dengan jelas hal-hal sebagai berikut :

1. Nama dan alamat para pihak

2. Penunjukan pada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku 3. Perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa

4. Dasar tuntutan atau jumlah yang dituntut apabila ada 5. Cara penyelesaian yang dikehendaki

6. Perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat

52

(26)

mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.

Setelah pemberitahuan sengketa kepada para pihak dilakukan, para pihak segera melakukan pemilihan atau penunjukan arbiter yang akan ditugaskan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi.53

Dari definisi yang diberikan dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, kita mengenal adanya dua bentuk klausula arbitrase, yaitu :

1. Pactum De Compromittendo

Dalam pactum de compromittendo, para pihak mengikat kesepakatan akan menyelesaikan perselisihan melalui forum arbitrase sebelum terjadi perselisihan yang nyata.

Bentuk klausula pactum de compromittendo ini diatur dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan altrnatif penyelesaian sengketa. Pasal tersebut berbunyi :

“Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase”

Cara pembuatan klausula pactum de compromittendo ada dua cara yaitu : a. Dengan mencantumkan klausula arbitrase yang bersangkutan dalam

perjanjian pokok, cara ini adalah cara yang paling lazim

b. Klausula pactum de compromittendo dibuat terpisah dalam akta tersendiri

53

(27)

2. Akta kompromis

Dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 akta kompromis diatur dalam pasal 9 yang berbunyi :

(1) “Dalam hal para pihak memilih menyelesaikan sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak”

(2) ”Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris”

(3) ”Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat :

a. Masalah yang dipersengketakan;

b. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;

c. Nama lengkap dan tempat tinggal para arbiter atau majelis arbitrase

d. Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan e. Nama lengkap sekretaris

f. Jangka waktu penyelesaian sengketa g. Pernyataan kesediaan dari arbiter; dan

h. Penyediaan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

i. Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum”.

Perbedaan antara de compromittendo dan akta kompromis hanya terletak pada “saat” pembuatan perjanjian. Bila pactum de compromittedo dibuat sebelum perselisihan terjadi, akta kompromis dibuat setelah perselisihan atau sengketa terjadi. Dari segi perjanjian antara keduanya tidak ada perbedaan.

Perjanjian arbitrase merupakan suatu kontrak. Seperti yang telah disebutkan di atas perjanjian tersebut dapat merupakan bagian dari suatu kontrak yang terpisah. Perjanjian arbitrase dalam suatu kontrak biasa

(28)

disebut klausula arbitrase. Klausula arbitrase dapat berupa perjanjian yang sederhana untuk melaksanakan arbitrase, tetapi dapat juga berupa perjanjian yang lebih komprehensif, yang memuat syarat-syarat arbitrase.

Secara umum menurut Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, dan Fatmah Jatim, klausula-klausula arbitrase akan mencakup :

a. Komitmen atau kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrse; b. Ruang lingkup arbitrase;

c. Apakah arbitrase akan berbentuk arbitrase institusional atau ad hoc; apabila memilih bentuk ad hoc, maka klausula tersebut harus merinci metode penunjukan arbiter atau mejelis arbitrase;

d. Aturan prosedural yang berlaku; e. Tempat dan bahasa yang digunakan;

f. Pilihan terhadap hukum substantif yang berlaku bagi arbitrase;

g. Klausula-klausula stabilisasi dan hak kekebalan (imunitas), jika relevan.54

Dalam pasal 10 dari Undang-undang arbitrase baru tahun 1999 telah dinyatakan bahwa perjanjian tidak menjadi batal disebabkan oleh :

(1) Kematian salah satu pihak

Karena meninggalnya salah satu pihak. Hal ini adalah logis, karena walaupun satu pihak telah meninggal dunia, maka ia masih mempunyai ahli waris atau penerus dalam hukum sebagai pihak yang telah memperoleh hak (Rechtsverkrijgenelen). Maka sudah jelas bahwa

54

(29)

apabila para pihak yang telah menandatangani klausula arbitrase ini telah meninggal, maka dengan sendirinya perjanjian arbitrase ini menjadi batal.

(2) Faillisemen salah satu pihak

Juga apabila salah satui pihak menjadi bangkrut ( pailit ) maka tidak dengan sendirinya klausula arbitrase ini menjadi batal.

Sebagai dasar dapat dikemukakan bahwa tidak batalnya perjanjian arbitrase ini adalah disebabkan karena perjanjian arbitrase telah dibuat sebelum “yang bersangkutan dinyatakan pailit”. Semua tindakan hukum yang telah dilakukan sebelum dinyatakan pailit, dengan sendirinya berlangsung terus, walaupun kemudian ia telah dinyatakan pailit.

(3) Novasi

Karena “novasi”, perjanjian arbitrase tidak akan menjadi batal. Yang dimaksud “novasi” adalah pembaharuan hutang.

Tentunya yang dimaksud adalah apa yang diatur dalam Bab III daripada hukum perjanjian seperti termaktub dalam BW. Yaitu salah satu cara untuk berakhirnya satu perjanjian adalah dengan “novasi”. Sekarang ini ditegaskan bahwa dengan adanya pembaharuan hutang yang disebut ”novasi”, maka tidak akan menjadi bubar suatu perjanjian arbitrase yang sudah dinyatakan dalam perjanjian pokok terdahulu.

(30)

(4) Insolvensi

Dalam pasal 10 d dinyatakan bahwa perjanjian arbitrase ini juga tidak menjadi batal karena insolvensi dari salah satu pihak.

Insolvensi ini dianggap keadaan tidak dapat membayar. Kalau dinyatakan dalam keadaan insolvensi, sama seperti dinyatakan pailit (bangkrut) maka tidak mempengaruhi klausula arbitrase yang telah dibuat sebelum keadaan itu terjadi.

(5) Pewarisan

Pasal 10 sub f kecil menyatakan bahwa pewarisan juga tidak mengakibatkan klausula arbitrase menjadi tidak berlaku lagi. Hal ini sudah jelas dalam prinsip umum hukum perdata bahwa seorang ahli waris akan memperoleh (mewarisi) segala hak dan kewajiban daripada si pewaris yang telah meninggal dunia itu. Dengan demikian maka akan tetap berlakulah perjanjian klausula arbitrase yang telah ditandatangani oleh si pewaris pada saat ia masih hidup.55

Penegasan tentang tidak berwenangnya pengadilan biasa jika terdapat arbitrase termaktub dalam ketentuan pasal 11 ayat (1) dan (2) yaitu :

(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.

(2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui abitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.56

55

Sudargo Gautama, Op, Cit, hlm 19-21 56

Pasal 11 ayat 1 dan 2 Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternaif penyelesaian sengketa

(31)

Apabila terdapat satu perjanjian arbitrase tertulis maka ditiadakan hak daripada pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau pendapat mereka ke Pengadilan Negeri. Dinyatakan secara jelas bahwa Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Perkecualian terhadap hal ini adalah jika dalam hal tertentu campur tangan pengadilan diperbolehkan.57

57

Referensi

Dokumen terkait

1. Prosedur pelayanan yang diberikan mudah dipahami dan tidak berbelit-belit, serta adanya petunjuk mengenai prosedur pelayanan publik dengan aparat Kecamatan

berbasis pendidikan multikultural dapat dikembangkan baik dengan basis teori behavioristik, kognitif, maupun konstruktivistik. Tinggal bagaimana guru dan siswa

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektivitas ekstrak Daun Mangkokan (Nothopanax scutellarium Merr.)dengan glibenklamid sebagai antidiabetes terhadap

Pada gambar 3.1 bagian a, bisa dilihat secara visual bahwa ritme sinyal pada gelombang tidak berada pada garis isoline(garis 0), sehingga padda bagian durasi tertentu

Bersamaan dengan sosialisasi penyimpangan iklim, pemerintah kabupaten juga telah merekomendasikan upaya-upaya pengendalian dampak perubahan iklim yang ekstrim, antara lain

Untuk maksud perbincangan ini, peribahasa Bajau dipilih kerana pada hemat pengkaji, seseorang yang ingin mengkaji budaya perlu tahu bahasa masyarakat pendukung dan secara tidak

Komitmen organisasi memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap budgetary slack , maka disarankan agar perusahaan berusaha untuk meningkatkan rasa kebersamaan dengan

Pulau Sempu adalah kawasan cagar alam yang terletak di sebelah selatan Kabupaten Malang. Selain fungsinya sebagai kawasan konservasi ekosistem alami, Pulau Sempu juga menjadi