• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMUNIKASI GURU DALAM PENGAJARAN DI ERA MILENIAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KOMUNIKASI GURU DALAM PENGAJARAN DI ERA MILENIAL"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KOMUNIKASI GURU DALAM PENGAJARAN DI ERA MILENIAL

Asmat Purba1), Rudi M.S.2)

1) Teknik Informatika, Politeknik TEDC Bandung 2) Teknik Elektro, Politeknik TEDC Bandung E-mail: madpurba@yahoo.com1); smkgkr@gmail.com2)

Abstrak

Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui apakah komunikasi pengajaran antara guru dan murid sudah sesuai dengan generasi milenial atau masih menggunakan cara-cara yang sudah lama. Terkait dengan pengajar di era milenial, guru harus memiliki perubahan cara berpikir, pola-pola pengajaran dan pola-pola komunikasi. Dalam era yang sarat dengan perkembangan teknologi komunikasi masa kini, para ahli mengaktegori manusia ke dalam beberapa kelompok generasi. Pertama, generasi Babyboomers (lahir 1946 – 1964, dan disebut Builder. Kedua, Generasi X (lahir 1965 -1980, dan disebut actor/pelaku). Ketiga, generasi Y (lahir 1980/81 – 1994, dan disebut adapter/penyesuaian diri). Keempat, generasi Z (lahir 1995 -2010) dan Generasi Alpha (lahir 2011 – 2025). Setiap generasi diasumsikan para ahli dipengaruhi oleh informasi perkembangan teknologi, trend dan gaya hidup yang hampir sama. Sebagian guru masuk kategori generasi Babyboomers dan Builder, namun sebagian besar generasi X. Siswa adalah generasi Z yang sangat jauh berbeda dari gurunya. Mereka tidak tertarik kepada logika, mereka lebih mementingkan relasi antara guru dengan murid. Seorang guru agama Kristen harus mampu mengkomunikasikan pengajarannya dengan baik melalui relasi/komunikasi yang cocok dengan mereka. Itu sebabnya, seorang guru harus mau belajar dari sosok Guru Agung yaitu Tuhan Yesus Kristus dimana cara Dia mengkomunikasikan pengajaran-Nya dapat digunakan disepanjang zaman. Segala upaya Tuhan Yesus lakukan dalam melangsungkan pengajaran-Nya, kreatifitas serta pola-pola ketika mengajar sangat banyak, kaya dan unik, sehingga proses pengajaran-Nya tidak menjenuhkan, bahkan menjadi kesan tersendiri di pandangan para murid-Nya.

Kata kunci: komunikasi, pengajaran, guru, siswa, milenial, Yesus, Kristen, Abstract

The purpose of this study is to find out in full, whether teaching communication between teacher and students is in accordance with the millennial generation or maybe still using the old method. Related to this, the teacher is that in fact in the millennial era teachers must have changes in the way patterns of thinking, teaching patterns and patterns of communication systems. In an era full of developments in communication technology experts make the category that humans belong to several generations of groups. First, the generation of Babymoomers (born 1946 – 1964, and called Builder, Second, Generation X (born 1965 – 1980, and called actor/actor), Third, generation Y (born 1980 /81 – 1994, and called adapter/adaptation). Fourth, generation Z (born 1995 – 2010) and Generation Alpha (born 2011 – 2025). Every generation is assumed by experts who can influence information on technological developments, where trends and lifestyle are almost the same. Then, some teachers fall into the Babymoomers and Builder generation category, but most of them are in the X generation. Students are generation Z which is very different from the teacher. They are not interesred in logic, and they are more concerned with the relationship between teacher and student. A Christian religion teacher must be able to communicate his teaching well through relations / communication that suits them. That is why, a teacher must be willing to learn from the figure of the Almighty namely Jesus Christ where he communicates His teaching can be used throughout the ages. All the efforts of Jesus Christ have been done in carrying out his teaching, creativity and patterns when teaching very many, rich and unique, so that the teaching process does not saturate, even become special impression on the views of his disciples.

Keywords: communication, teaching, teacher, students, millennial, Jesus, Christian. I. PENDAHULUAN

Menurut Undang-Undang Guru dan Dosen No 14 Tahun 20015 Pasal 1 Ayat 1, dituliskan bahwa: “Guru adalah pendidik professional dengan tujuan utama untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik dan pendidikan usia dini, jalur

pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.” Betapa pentingnya peranan guru professional atau ahli di dunia pendidikan, Udin (2012:5) menyampaikan guru profesinal dilihat dari “penampilan dan ketepatan seseorang (pengajar) dalam melakukan pekerjaannya yang sesuai dengan profesinya….,

(2)

profesional dikontraskan dengan non-profesioanl atau amatir”. Sebagai seorang pendidik professional, guru dituntut untuk memiliki keahlian khusus atau melalui pendidikan khusus agar guru memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugasnya sebagai pengajar dan selanjutnya mencerminkan guru yang profesional. Guru yang profesional akan terlihat dalam pelaksanaan tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian berkomunikasi dalam menyampaikan materi dan metode pengajaran.

Sidjabat (2019) mengemukakan bahwa dalam era yang sarat dengan perkembangan teknologi komunikasi masa kini, para ahli mengaktegori manusia ke dalam beberapa kelompok generasi. Pertama, generasi Babyboomers (lahir 1946 – 1964, dan disebut Builder. Kedua, Generasi X (lahir 1965 -1980, dan disebut actor/pelaku). Ketiga, generasi Y (lahir

1980/81 – 1994, dan disebut

adapter/penyesuaian diri). Keempat, generasi Z (lahir 1995 -2010) dan Generasi Alpha (lahir 2011 – 2025) (Buku Wisuda, STAT, 2019:6). Setiap generasi diasumsikan para ahli dipengaruhi oleh informasi perkembangan teknologi, trend dan gaya hidup yang hampir sama. Pengajar yang mampu berjalan seiring dengan perkembangan zaman, akan berusaha mengimbangi dan tidak akan tertinggal oleh kemajuan ipteks sehingga tidak disebut “guru yang ketinggalan zaman”, maka guru agama Kristen harus mau meningkatkan kemampuannya untuk mengkomunikasikan pengajarannya agar murid-murid yang diajarnya yang notabene adalah anak-anak milenial yang sangat berbeda dengan zaman tahun sebelumnya, maka diharapkan siswa mampu menangkap isi pengajaran yang disampaikan guru. Guru harus terus belajar agar murid yang diajar mampu menerima pengajaran itu dengan mudah. Siswa di era milenial tidak tertarik kepada logika, mereka lebih mementingkan relasi antara guru dengan murid. Seorang guru agama Kristen harus mampu mengkomunikasikan pengajarannya dengan baik melalui relasi/komunikasi yang cocok dengan mereka.

Salah satu keprofesionalan seorang guru/pengajar, dapat dilihat dari cara mengkomunikasikan pengajaran, cara kerja dan kecakapannya ketika mengajar peserta didik di dalam kelas. Sejalan dengan itu, J.M.Price (2011:14) menyampaikan pandangan pengajaran Yesus Guru Agung “yang jelas bahwa Ia sangat cakap mengajar…., Ia menguasai unsur-unsur penting dalam semua hal, dan mengunakan hal-hal itu (pengajaran) dengan baik sekali, bahkan Ia mengunakan metode-metode dengan leluasa dan efisien”. Penguasaan pengajaran sangat penting dalam mendukung kompetensi profesionalisme seorang guru.

Udin (2012:56) dalam bukunya yang membahas mengenai pengembangan profesi

guru, menuliskan “ketrampilan komunikasi guru terlihat dari kreatifitas guru tersebut, saat membuka dan menutup pengajaran, saat menjelaskan dan mengarahkan siswa dalam proses pengajaran”. Kegiatan ini membuktikan bahwa seorang guru disebut professional.

Siswa yang lahir di generasi Z (1995 – 2010) yang selalu terhubung dengan perangkat teknologi informasi, yang mengutamakan pertemanan kelompok melalui media sosial, terbuka terhadap perubahan, memelajari apa yang disukai dan menolak teori atau teori yang sudah dianggap out of date. Siswa di era milenial jauh lebih membutuhkan relasional dari sang gurunya daripada tersampaikannya materi ajar guru. Jika komunikasi itu lancar maka akibatnya pelajaran yang disampaikan guru dapat diterima oleh siswa, demikian sebaliknya jika dari pihak guru menggunakan komunikasi yang kurang baik (tidak sesusi dengan kebutuhan mereka) maka siswa menjadi tidak responsif dan antusias terhadap materi pengajaran yang disampaikan, bahkan siswa bisa menilai negatif terhadap beberapa gurunya karena dianggap tidak mengerti psikologi perkembangan. Akibatnya siswa malas belajar dan prestasi mereka menurun. Terkait guru di era milenial, penulis melakukan wawancara singkat dengan beberapa siswa di SMAK sebuah yayasan sekolah di Bandung, pada tanggal 18 April 2019. Dari wawancara singkat tersebut penulis mendapati bahwa komunikasi guru harus benar dan tepat sesuai dengan perkembangan mereka.

Contoh kasus, pertama, Anto siswa kelas dua belas mengatakan bahwa selama ia belajar “guru mengajar dalam bahasa yang terlalu cepat dan siswa sangat jarang dilibatkan dalam interaksi pengajaran.” Dampak dari interaksi pengajaran yang tidak merata, Anto merasa diabaikan dan tidak nyaman berada di kelas, sehingga ia kurang senang dengan guru tersebut, bahkan kerapkali ia izin kepada guru untuk ke belakang (toilet), sebenarnya itu adalah alasan sebagai wujud dari ketidaksenangannya (wawancara dengan siswa SMAK, 18 April 2019). Penulis mengamati tindakan Anto sebagai akibat kegagalan interaksi pengajaran guru dengan sisiwa yang tidak merata, serta penyampaian materi yang kurang tepat dan tidak melihat sejauhmana kemampuan siswa untuk menyerap materi yang hendak diajarkan. Kedua, Herman adalah siswa asal Papua, ia kelas sebelas IPS. Ketika penulis menanyakan keluhan apa yang dialami dan dirasakan saat proses pengajaran, Herman menyampaikan, “saat mengajar guru lebih banyak melibatkan anak-anak dari daerah Jawa dan mengabaikan dirinya.” Bahkan guru berulangkali menertawakan bahasa yang diucapkan oleh Herman karena ada perbedaan bahasa. Akibat sikap dan pengajaran guru itu (respon nonverbal), Herman merasa dirinya berbeda dengan teman-teman sekelasnya yang berasal dari suku-suku

(3)

lain, ia hanya nyaman dengan teman-teman dari suku dan daerah yang sama. Akibat dari pengajaran guru itu, Herman menjadi malas belajar dan sering bolos pada jam pelajaran tersebut (wawancara dengan Herman, 19 April 2019). Penulis mengamati lebih jauh kepada beberapa teman yang berasal dari daerah yang sama, dan ternyata mereka merasakan hal yang serupa. Ketiga, penulis melakukan wawancara kepada Brian, siswa kelas dua belas, ia menyampaikan permasalahannya dalam belajar. Ia merasa tidak nyaman dengan empat pengajar, yang dipandangnya terlalu acuh dan seakan-akan mengajar dengan asal, tidak berusaha memberikan pengertian, sepertinya guru itu masa bodoh dengan siswa yang diajar. Permasalahan ini membuat Brian kurang nyaman dan tidak senang dengan empat pelajaran dari keempat guru itu. (Wawancara dengan Brian, 20 April 2019). Harapan siswa untuk mengerti pelajaran yang diajarkan guru tidak tercapai, sebab guru melakukan kesalahan besar dalam mengkomunikasikan pengajarannya, yang tidak diiringi dengan interaksi yang baik dengan siswa. Keempat, penulis mewawancarai Albert kelas dua belas. Keluhan yang dia sampaikan yaitu: ada guru yang mengajar tidak sistematis, guru itu mengajar dari materi yang sulit, kemudian kepada materi yang mudah. Ini menjadi keluhan Albert, karena ia merasa terkejut dengan beban materi pelajaran yang tidak bertahap dari yang mudah kepada yang sulit. Silas mengatakan, “kadang-kadang guru tersebut menyampaikan pengajarannya terlalu terburu-buru dan kalimat-kalimat yang diucapkan pun jadi kurang jelas”. Albert merasa bahwa guru tersebut hanya menyampaikan materi ajarnya tanpa mengetahui apakah siswa mengerti atau tidak. Menurut Albert, guru itu tidak peduli kepada mereka yang sedang belajar. (wawancara, 22 April 2019).

Dari hasil pengamatan selama sebulan di sekolah tersebut, penulis menemukan sebagian guru mengajar dengan pola lama yakni membacakan/mendiktekan pengajarannya dan siswa mencatat sampai jam mengajar selesai, ada juga guru yang terlalu asik menyampaikan bahan ajar dan sedikit berinteraksi dengan siswa, interaksi pengajaran yang tidak merata atau mengutamakan siswa dari daerah tertentu. Ada juga sikap pengajar yang kurang peduli terhadap siswanya, menyampaikan bahasa nonverbal yang merendahkan siswa, mengajar tetapi tidak memberikan penjelasan yang detil, pengajaran yang tidak sistematis, pelafalan yang kurang jelas (asbun: asal bunyi), dan mengajar dengan cepat (seperti sedang terburu-buru). Permasalahan lain dalam pembelajaran yang berkaitan dengan kesiapan peserta didik serta kesiapan pengajar dalam menyajikan bahan pembelajaran, juga sangat menentukan keberhasilan dalam pengajaran, sebab jika tidak ada kesiapan, maka interaksi pengajaran juga akan mengalami

hambatan dan keberhasilan pengajaran tidak akan tercapai. Kesimpulan sementara dari semua permasalahan yang penulis sampaikan di atas permasalahan terjadi karena adanya kendala komunikasi antara guru dan siswa dalam proses belajar mengajar, serta kesiapan dari pengajar dan siswa yang diajar. Interaksi pengajaran yang baik akan berpengaruh kepada hasil yang hendak dicapai oleh siswa. Saud Udin (2008) mengemukakan: sasaran pengajaran akan tercapai dan dapat diterima peserta didik, jika ada interaksi yang baik dari guru serta respon yang baik pula dari peserta didik. Dari pernyataan tersebut, penulis menyimpulkan betapa pentingnya komunikasi dalam melangsungkan pengajaran dalam proses pembelajaran.

II. LANDASAN TEORI Komunikasi

Komunikasi adalah kunci utama suksesnya sebuah kegiatan pengajaran. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia memakai komunikasi sebagai sarana untuk mengerjakan apa yang ia inginkan, bahkan dengan komunikasi manusia mampu mencukupi kebutuhannya, dengan berinteraksi kepada sesama manusia lainnya. Tidak hanya dalam keseharian komunikasi diperlukan, tetapi dalam pembelajaran yang dilakukan guru dan siswa dalam kelas.

Howard Hendrick memberikan pengertian tentang komunikasi sebagai berikut: Kata komunikasi berasal dari kata Latin, communis, yang berarti common (sama). Sebelum kita dapat berkomunikasi, kita harus membangun commonness, commonality (kesamaan, persamaan). Semakin banyak kesamaan, semakin besar potensi kita untuk berkomunikasi. Ia pun mengambil contoh sederhana tentang Mike: Mike dan istrinya, Beth, adalah pasangan keluarga bahagia dengan empat anak, dua laki-laki dan dua perempuan. Mike mengajar sebuah kelas dewasa di Sekolah Minggu. Di kelas itu ada banyak orang seperti Mary. Mary bercerai dan menjadi orang tua-tunggal dengan dua anak laki-laki. Tugas utama Mike sebagai seorang pengajar adalah masuk ke dalam kehidupan Mary dan orang-orang seperti dia. Tetapi Mike tidak mungkin menganggap situasi kehidupan Mary sama seperti dirinya dan Beth. Karena itu, Mike dan Beth harus menyediakan waktu bersama Mary, agar mereka dapat membangun kesamaan, dan mengenali pergumulan-pergumulannya. Mereka mengundang Mary dan dua putranya datang ke pesta kebun mereka, dan bercakap-cakap. Mereka juga mengajar nonton konser bersama. Lalu mereka pergi mancing bareng dengan anak-anak Mary dan Mike. Dalam proses itu, Mike dan Beth membangun dasar kesamaan dengan Mary. Dengan demikian Mike bisa berkomunikasi dengan Mary pada setiap Minggu pagi. Ia jadi bisa didengarkan (Howard, 2009:84).

(4)

Jadi Komunikasi menurut Howard adalah membangun kesamaan antara pengajar dengan siswa yang diajar. Jika guru lahir digenerasi Babyboomers (1946 – 1964) maka ia harus mampu membangun komunikasi dengan siswa yang lahir di generasi Milenial (1980 – 2000). Komunikasi yang tidak nyambung akan mengakibatkan gagalnya pembelajaran di kelas.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia “komunikasi” adalah:

a) Pengiriman atau penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih, sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. b) Hubungan dua arah antara komunikan dan

komunikator secara bergantian memberi dan menerima informasi; komunikasi yang memperhitungkan tingkat ketepatan, keringkasan, dan kecepatan komunikasi. Komunikasi adalah proses penyampaian dan penerimaan informasi atau pesan, komunikasi sebagai “pengiriman” dan “penerimaan” pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehinga sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.

Komunikasi adalah pertukaran ide, gagasan, informasi, perasaan dan lain-lain antara dua atau lebih peserta bicara. Di dalam tindak komunikasi yang paling kurang terdapat seorang pembicara atau komunikator yang bertindak sebagai pengirim, suatu pesan yang disampaikan atau disalurkan, dan seorang komunikan sebagai pendengar atau penerima pesan yang disampaikan. Pengrim dan penerima pesan akan saling berganti menjadi pengirim dan menjadi penerima pesan, sebagai wujud interaksi dalam proses komunikasi (Richard, etc,1987:48). Jadi komunikasi adalah tindakan aktif yang membutuhkan aksi serta reaksi, baik dari pihak komunikator maupun dari pihak komunikan, yang nantinya akan menimbulkan suatu interaksi. Proses interaksi komunikasi ini tentunya akan menghasilkan sebuah keputusan, yang saling menguntungkan antara komunikator sebagai penyampai/pengirim, ataupun komunikan sebagai penerima pesan itu sendiri. Adapun komunikasi itu juga tidak terbatas pada jumlah orang tertentu, melainkan komunikasi yang penulis maksudkan ini ialah ekspresi interaksi verbal maupun non-verbal, yang nantinya akan membuahkan hasil kesimpulan berdasarkan kedua belah pihak (komunikator dan komunikan). Penulis mengibaratkan komunikasi itu seperti sebuah jembatan, dimana melalui jembatan ini seseorang akan dapat melintasi satu tebing ke tebing yang lainnya. Sebab dengan komunikasi inilah pesan atau berita dapat disampaikan, serta dapat disebarluaskan kepada banyak orang, ataupun kepada satu orang. Jika seorang komunikator mampu mengkomunikasikan pesan

dengan baik dan tepat kepada

pendengar/komunikan, maka reaksi atau respon akan tampak dari seorang komunikan, jika pesan

yang ia terima dari komunikator tepat dan memang mengenai pada komunikan.

Fungsi dan Tujuan Komunikasi

Komunikasi memiliki fungsi vital untuk merubah sebuah kondisi pemahaman (pengetahuan), karakter (tingkah laku dan kepribadian), serta fungsional (menjalankan sesuai tugas dan perannya). Menurut Romeltea, ada empat fungsi komunikasi, antara lain:

Pertama, To information (Menyampaikan pesan). Komunikasi dijadikan sarana untuk menyampaikan maksud atau pesan dari seseorang komunikator kepada komunikan atau pendengar, sehingga pesan yang telah disampaikan dapat diterima, dimengerti serta dipahami oleh pendengar.

Kedua, To education (Mendidik). Seorang guru harus memiliki ketrampilan komunikasi yang baik dan benar, karena komunikasi adalah jembatan yang dapat dibangun seorang guru untuk mendidik siswa, baik dari sisi pengetahuan maupun karakter kepribadian.

Ketiga, To entertaint (Menghibur). Hiburan dibutuhkan manusia, untuk menyegarkan pemikiran serta memberi kesejukan dan mampu mencairkan suasana, mampu memberi rasa nyaman bagi orang yang dihibur.

Keempat, To influence (Mempengaruhi). Dampak yang ditimbulkan dari pesan yang telah dikomunikasikan, inilah harapan dari seorang komunikator, komunikasi yang baik agar mampu mempengaruhi seorang komunikan.

Sedangkan fungsi komunikasi yang lain yang dikemukakan oleh Harold D. Laswell (2010:15,16) dalam bukunya mengenai system komunikasi Indonesia adalah sebagai berikut: pertama, Penjajagan serta pengawasan lingkungan (surveillance of the environment), Kedua, Menghubungkan bagian-bagian yang terpisah dari masyarakat untuk menanggapi lingkungannya (correlation of the part of society in responding to the environment), Ketiga, Menurunkan warisan social dari generasi ke generasi berikutnya (transmission of the social heritage).

Jenis dan Bentuk Komunikasi

Komunikasi juga bisa ditelusuri dari tipe atau jenis komunikasi itu sendiri, yang mana komunikasi dibagi atas beberapa macam tipe: 1) Komunikasi verbal

Komunikasi verbal adalah komunikasi atau interaksi yang dilakukan dengan orang lain, baik secara individu, maupun secara kelompok, komunikasi verbal yaitu komunikasi yang dilakukan secara verbal atau lisan, bahkan dalam bentuk tulisan (Moekijat,

(5)

1993). Menurut Pitfield, “komunikasi verbal dapat dilakukan dengan beberapa kontak, diantaranya tatap muka, wawancara, konsultasi bersama, percakapan dan pidato”. Komunikasi verbal lain yang berupa tulisan, misalkan buku, majalah, Koran, memo atau pesan singkat. Komunikasi verbal yang menggunakan tulisan biasanya dilakukan karena jarak yang jauh atau penyampai pesan ingin menyampaikan pesannya kepada generasi di bawahnya, jadi komunikasi verbal ini tidak langsung dilakukan secara tatap muka, melainkan komunikasi akan mendapat pesan dari pembacaan yang sudah dituliskan oleh seorang komunikator. Komunikasi dengan cara ini dapat diulang-ulang, dengan membaca ulang pesan yang ada, jika pembaca kurang memahami maksud atau pesan yang tertera dalam buku, tetapi komunikasi verbal lisan yang hanya didengarkan tidak dapat diulang, sebab hanya disampaikan secara lisan, kecuali ada media yang digunakan untuk merekam komunikasi lisan, sehingga dapat diutar ulang.

2) Komunikasi nonverbal

Non verbal adalah komunikasi yang dilakukan bukan dengan kata-kata atau tulisan, tetapi gerakan reflex yang dilakukan badan untuk menegaskan pesan yang disampaikan secara verbal, misalkan dengan melambaikan tangan kepada orang lain, selain menyapa secara lisan gerakan tangan itulah yang memberi penegasan sapaan kepada orang lain. Beberapa tindakan non verbal yang dilakukan untuk mempertegas komunikasi verbal diantaranya mengedipkan mata, menggeleng-gelengkan kepala, mengangguk, melambaikan tangan, menunjuk, melompat, menghentak dengan kaki, menepuk, mendorong dan sebagainya.

Tindakan-tindakan yang spontan saat bercakap dengan orang lain, itu sebenarnya wujud dari penegasan pesan yang hendak disampaikan, atau wujud respon dari pesan yang telah diterima dari seorang sumber. Tindakan non verbal memberikan nyawa dalam proses komunikasi, sebab ini yang kerap kali dipandang oleh mata seorang komunikan yang hendak mendengarkan pesan verbal dari seorang komunikator yang menyampaikan pesan (Moekijat, 1993). 3) Komunikasi pribadi ke pribadi (interpersonal

communication)

Komunikasi antar pribadi adalah komunikasi yang berlangsung dalam situasi tatap muka antara dua orang atau lebih, baik secara terorganisasi maupun pada kerumunan orang (Wiryanto, 2004). Komunikasi interpersonal adalah interaksi orang orang ke orang, dua arah, verbal dan non verbal. Saling berbagi

informasi dan perasaan antara individu dengan atau antar individu di dalam kelompok kecil (Febrina, 2008).

4) Komunikasi Pengajaran

Komunikasi memiliki peranan penting dalam dunia pendidikan, bahkan dikatakan memiliki sejarah yang panjang (Owen, 2011:4). Seorang guru haruslah ahli dan mahir dalam berkomunikasi, atau dapat dikatakan bahwa seorang guru harus memiliki teknik dan kemampuan komunikasi yang memadai, sebab seorang guru dituntut untuk menjadi narasumber atau sebagai komunikator primer dalam proses pengajaran. Seorang guru yang mahir atau dengan kata lain professional, ia akan berusaha menyampaikan pengajarannya tidak sekedar menyampaikan, melainkan berusaha mentransfer pengetahuan serta perhatian yang lebih kepada peserta didik, sebab seorang guru dituntut untuk mengajarkan serta mengaplikasikan pengajaran dalam kehidupan sehari-hari. Ketepatan pesan yang disampaikan guru harus sesuai dengan kebutuhan siswa, jika kebutuhan komunikan dan pemberian pesan tidak sesuai, maka ini akan menjadi hambatan yang sangat fatal, dan harapan atas tercapainya hasil dari pesan yang disampaikan tidak akan diperoleh. “Komunikasi yang baik harus diimbangi dari dua belah pihak yang baik, yang siap menyampaikan dan siap menerima pesan yang hendak disampaikan, serta pesan yang tepat dan media yang tepat untuk menyampaikannya (Widjaja, 1998).

Komunikasi guru yang baik yaitu komunikasi yang diiringi interaksi dari dua belah pihak, baik dari guru (pengajar) maupun sisiwa (pendengar), sisiwa dituntut untuk aktif dan tidak hanya terdiam pasif, dan sisiwa juga harus memberikan respon atau umpan balik, untuk memastikan bahwa pesan yang telah disampaikan guru diterima dan dipahami siswa. Jika siswa hanya diam dan tidak ada respon nyata, maka sulit untuk dipastikan bahwa komunikasi sudah berlangsung dengan baik atau tidak, apakah pesan yang disampaikan diterima atau hanya didengar dan berlalu begitu saja. Semua keberhasilan komunikasi juga tidak luput dari dukungan lingkungan sekitar atau kondisi dimana komunikasi berlangsung.

5) Komunikasi dan relasi

Kreatifitas serta kemampuan berkomunikasi guru yang mengalir dan mampu memahami kondisi siswa yang diajar sangat menolong, sehingga siswa merasa nyaman dengan pola komunikasi pengajaran yang sedang dilangsungkan gurunya. Menjadi guru yang atau tidak kaku merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam pengajaran, mampu

(6)

mengenali siswa serta mampu mengarahkan / membimbing siswa dengan pola komunikasi yang tepat. Ketepatan pola komunikasi mesti disesuaikan dengan tingkatan usia peserta didik.

III. METODE PENELITIAN

Langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini meliputi beberapa hal, yaitu metode deskriptif-analisis. Nazir (1998) menjelaskan bahwa suatu metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran dalam kelas peristiwa masa sekarang. Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan antar fenomena yang sedang diamati serta diselidiki untuk memahami lebih dalam permasalahan yang ada dan dapat ditemukan solusinya. Nana Mengemukakan: Penelitian deskriptif dalam bidang pendidikan dan kurikulum pengajaran merupakan hal yang cukup penting untuk menguraikan fenomena kegiatan pendidikan, pembelajaran, implementasi kurikulum pada berbagai jenis, jenjang dan satuan pendidikan. Sukmadinata (2008). Penulis melakukan wawancara kepada lima orang siswa di sebuah sekolah di Bandung.

IV. PEMBAHASAN Realita Siswa Generasi Z

Arryrahman (2017) mengemukakan cara mengajar ke Generasi Millenial Generasi Z yang lahir pada tahun 2000 – 2012 yang kini belajar di tingkat pendidikan TK, SD, SMP dan SMU.

Secara umum, menurut B.S.Sidjabat (2019) ciri khas gaya hidup mereka ialah sebagai berikut:

1. Melekat dengan teknologi informasi yang

lebih besar atau lebih banyak ragamnya: facebook, MOOCs, OER, Twitter, WhatsApp, Smartphone. Youtube, factime, skype. 2. Sinis dan skeptis, serta mengutamakan

kebutuhan diri. Tidak mudah menerima aturan yang berlaku di komunitas, serta meresponi realita dalam pengambilan keputusan. Mereka berdalih, ingin relevan, kontekstual.

3. Ekspresif namun menjunjung tinggi privasi. Menyebarkan informasi diri di media sosial yang tidak boleh dilacak orang lain (instagram, SnapChat), menjadi sebuah bentuk petualangan. Banyaknya subscribe atas informasi yang mereka upload mendatangkan rasa bahagia.

4. Memiliki kemampuan multi-taksing yang lebih tinggi dari generasi Y. Mereka bahkan melakukan lima tugas berbeda sekaligus dengan memanfaatkan teknologi. Artinya, secara bersamaan mereka mengetik, dengar lagu, meresponi WA, mengisi facebook, cari informasi di Google. Mereka kreatif di zaman

yang disebut internet of things. Tidaklah mengherankan bila perhatian mereka cepat berpindah dari satu trend kepada trend lainnya.

5. Fasih teknologi atau bahkan memiliki ketergantungan terhadap teknologi. Gadget, HP menjadi seperti tidak terpisahkan dari mereka. Betapa frustrasi anak generasi ini jika perangkatnya rusak atau hilang.

6. Pola pikir mereka sangat luas dan penuh kewaspadaan karena mudah menjelajah informasi tanpa batas. Mudah membangun hubungan dengan semua kalangan melalui media sosial.

7. Cenderung toleran dengan perbedaan kultur

dan sangat peduli dengan lingkungan. Lihatlah keompok remaja di media social yang menyuarakan perlunya pemerintah responsif terhadap kerusakan lingkungan global dan lokal.

Prinsip Mengajar Generasi Z

DeVries, (2011) mengemukakan bagaimana membangun pelayanan kaum muda yang kokoh dan bertahan lama. Berikut adalah prinsip mengajar generasi Milenial (Z) supaya semakin mengenal dan teguh di dalam Injil Tuhan Yesus Kristus, antara lain:

1. Guru yang relatif generasi babyboomers, X dan Y harus memahami pola berpikir anak generasi Z dan khususnya menerima cara kerja mereka yang multi-tasking melebihi generasi sebelumnya. Prinsip inkarnasi Tuhan Yesus harus mewarnai pola pengajaran guru. Guru bersedia hadir, mendengar dan mengajak berdialog dan melalui cara itu menuntuk kepada kebenaran Kitab Suci (Luk.24:13-35).

2. Kolaborasi generasi Y dan Z dapat menghasilkan karya unggul di masa depan. Tentu kedua generasi di dalam sekolah harus sama-sama bertumbuh di dalam iman kepada Yesus Kristus, Sang Jalan, Kebenaran dan Hidup (Yoh.14:6). Guru dan siswa/i yang dibina dapat menghasilkan pesan Injil yang disajikan di media sosial.

3. Fasilitasi kegiatan belajar mengajar yang menjawab rasa ingin tahu siswa/I dan jangan menggurui mereka. Lebih baik mencari tahu apa yang mereka pikirkan dan menggelisahkan. Guru menawarkan bantuan. Kebenaran tentang ajaran dan teladan hidup Tuhan Yesus patut disajikan dalam format audio visual. Oleh sebab itulah, guru di zaman ini perlu belajar optimalisasi penggunaan teknologi dengan baik dan benar.

4. Guru perlu memberikan alas an atas setiap nasehat dan pesan. Berikan contoh konkrit untuk membangun konsep. Tuhan Yesus di masa lalu membangun pemahaman para murid-Nya melalui pengalaman dan peristiwa

(7)

nyata. Ia mengajar mereka melalui cerita kreatif yang disebut perumpamaan. Generasi zaman ini pun tampak menyukai pendekatan naratif dalam memahami Alkitab.

5. Guru harus membangun persahabatan agar siswa/i mengemukakan kesulitan hidup yang dialami, khususnya terkait menghadapi godaan, pencobaan, dan tantangan iman lainnya. Persahabatan guru dengan siswa/i tidak harus selalu personal, tetapi juga melalui media social (grouping dan chatting).

Persiapan Guru

Langkah-langkah yang harus dilakukan guru untuk memperlengkapi dirinya Dalam Mengajar Generasi Z agar tidak terjadi miskomunikasi, antara lain:

a) Guru Yang Meneladani Yesus

Yesus Guru Agung mengajar dengan hati, pengajaran-Nya disesuaikan dengan kebutuhan para pendengar. Pengajaran-Nya tidak asal-asalan atau sekedar menyampaikan, inilah yang membedakan Yesus dengan para ahli taurat. Yesus berusaha mengajarkan Kerajaan Allah dengan cara yang mudah dimengerti. Ia pun membuka diri untuk ditanyai tentang materi yang sudah diajarkan-Nya. Ia menggunakan berbagai metode dan semua metode-Nya cocok dengan pendengar-Nya. Kiasan-kiasan yang digunakan-Nya seperti domba, air, terang, garam dan sebagainya adalah untuk menjelaskan materi ajar yang akan disampaikannya sehingga lebih mudah dimengerti. Pengajaran-Nya menggunakan bahasa setempat, seperti bahasa Yahudi. Yesus juga mengajar di berbagai tempat yang strategis serta diminati para murid-Nya karena memang Dia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.

Yesus mengajar tentang iman melalui persoalan hidup di danau Galilea. Pengajaran yang hendak Tuhan Yesus ajarkan kepada para murid, yang saat itu sedang berlayar bersama, sebagai seorang guru yang sudah selayaknya mengijinkan murid yang dibina untuk menghadapi tantangan dan permasalahan, itu akan menjadi sesuatu yang mungkin tidak dapat terlupakan oleh mereka. Jika murid mengalami kesulitan dalam menghadapi tantangan, murid tidak harus dipersalahkan dan diabaikan begitu saja, tetapi sebagai seorang guru harus memberi kesempatan kepada para murid untuk studi mandiri, belajar studi kasus, menegur jika ada yang perlu untuk diluruskan, mengarahkan serta memberikan contoh nyata yang benar untuk dapat diikuti serta diteladani para murid. Dari peristiwa ini, umpan balik yang diberikan oleh para murid atas mujizat tersebut adalah rasa heran dan kagum akan guru-Nya serta menimbulkan pertanyaan dan seakan-akan mereka menjadi penasaran akan guru-Nya (Mat.8:23-27).

b) Guru Yang Mampu Menguatkan

Menjadi pengajar yang peduli dengan murid diperankan oleh Yesus. Ketika para murid ketakutan, Ia berkata: “mengapa kamu takut, kamu yang kurang percaya” (Mat.8:26), “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang” (Mat.14:31), kepada orang-orang yang sedang mengalami kelaparan, Yesus berkata: “Mengapa kamu memperbincangkan soal tidak ada roti? Hai orang yang kurang percaya” (Mat.16:8). Hampir semua teguran Yesus kepada para murid merupakan ciri khas Tuhan Yesus ketika hendak mengkomunikasikan pengajaran-Nya. Ia bisa mengajar dengan teguran keras khususnya ketika sedang menegur yang salah dan dengan lemah lembut serta penuh kasih. Ia tahu dengan siapa Dia berbicara dan bagaimana cara berkomunikasi yang baik dengan orang yang dihadapi-Nya.

c) Guru Yang Mampu Mengoreksi Murid

Sudah menjadi tangung jawab seorang guru untuk mengoreksi apa yang menjadi kekurangan para murid dan bagian mana yang perlu diberikan perbaikan. Kelakuan para siswa zaman sekarang sudah dipengaruhi oleh apa yang ditonton/dilihatnya di gadget yang hampir setiap hari tontonan atau game itu dilihat. Sebagai pengajar yang hendak mengoreksi siswanya, maka seorang guru perlu memperhatikan hal-hal berikut ini: pertama, kebutuhan intelektual siswa, kedua kebutuhan spiritual atau kerohanian siswa. Pengoreksian perlu dilakukan seorang guru, agar siswa tidak salah arah, dan dengan adanya pengoreksian, sebenarnya guru atau pengajar sedang berusaha mengkomunikasikan kebenaran kepada murid yang diajarnya.

Dalam pembinaan serta pelayanan yang Tuhan Yesus lakukan bersama para murid. Ia juga melakukan pengkoreksian terhadap pemikiran murid yang saat itu Ia bina. Ketika Tuhan Yesus sedang berlayar dengan para murid, Ia berusaha memberikan arahan, agar para murid selalu waspada terhadap ragi orang Farisi dan Saduki, tetapi pemahaman para murid yang saat itu berorientasi pada makanan dan tidak seperti yang Yesus maksudkan “ragi” adalah ajaran yang menyesatkan (Mat.16:11,12). Dibalik kesalahpahaman para murid, Tuhan Yesus langsung memberikan koreksian dan berusaha menggiring pemikiran para murid akan maksud dari perumpamaan tersebut, koreksian inilah yang meluruskan pandangan para murid, bahkan dengan koreksian ini pemikiran para murid langsung berubah.

d) Peka Dan Sensitif

Rasa simpati dan empati yang kuat haruslah tertanam dalam diri seorang pengajar, sebab seorang guru harus peka terhadap setiap permasalahan yang dihadapi para murid. Sebagai seorang guru yang peka terhadap kondisi nara didik, ia harus memperhatikan siswanya, apakah

(8)

mereka sedang menghadapi masalah atau tidak. Jika guru tidak peka, maka siswa pun mungkin akan menghindar dari gurunya. Tuhan Yesus sangat peka terhadap kebutuhan para murid-Nya. Ia tahu apa yang harus disampaikan ketika para murid berhadapan dengan angin sakal, ketika Petrus datang kepada Yesus berjalan di atas air lalu kakinya tenggelam (Mat.14: 24-25, 30-31). Sebagai guru yang mengajarkan spiritualitas kepada peserta didik, sudah seharusnya guru hidup dalam kepekaan yang tinggi, jika murid sudah dirasa tidak mampu menghadapi permasalahannya snediri, guru harus menyisihkan waktu untuk mengulurkan pertolongan kepada muridnya.

e) Melibatkan Siswa

Tuhan Yesus yang adalah pengajar yang agung, Ia memberikan kesempatan kepada para murid, untuk melakukan apa yang telah Ia tetapkan. Sebagai pengajar yang agung, Ia memberikan kuasa kepada para murid dan memberikan nasehat-nasehat yang perlu untuk menjadi bekal para murid dalam melayani, barulah Ia memerintahkan para murid untuk pergi melayani (Mat.10:6-8). Perintah Tuhan Yesus untuk pergi melayani adalah sebuah kesempatan yang diberikan kepada para murid untuk mempraktekkan pelajaran yang mereka terima dari Yesus Guru Agung. Tidak banyak guru yang memberikan kesempatan seperti itu kepada siswanya karena berbagai alasan, misalnya takut tersaingi oleh muridnya sendiri dan sebagainya.

Peristiwa lain yang Tuhan Yesus ajarkan kepada murid, dengan memberikan kesempatan kepada murid-Nya untuk mencoba dan mengalami hal yang sama seperti yang Ia lakukan ketika berjalan di atas air (Mat.14:28-29). Ketika sang guru datang berjalan di atas air, murid yang melihat menjadi takut dan menyangka bahwa guru-Nya itu adalah hantu, tetapi salah seorang dari murid-Nya memberi respon dengan meminta izin untuk menghampiri guru-Nya, dengan berjalan di atas air. Yesus memberikan kesempatan kepada Petrus berjalan dia atas air. Kesempatan yang Tuhan Yesus berikan kepada murid itu adalah kesempatan yang luar biasa, bahwa Ia menginginkan murid-Nya untuk berani mencoba hal baru. Jadi sebagai pengajar, Tuhan Yesus tidak merasa tersaingi oleh murid-Nya, justru sebaliknya Ia menyuruh murid-Nya datang kepada-Nya untuk melakukan hal yang sama.

f) Motivator

Sebagai pengajar harus mampu memotivasi para siswa untuk maju, kemajuan tidak terbatas pada satu sisi saja, tetapi pada banyak sisi atau bagian-bagian lain yang perlu untuk ditingkatkan. Penulis mengamati, bahwa untuk menjadi guru yang memberi motivasi adalah sebuah kebutuhan dalam lembaga pendidikan, apalagi seorang guru agama Kristen, haruslah memberikan motivasi

kepada murid, baik motivasi intelektual maupun motivasi spiritual, dari kedua bagian ini haruslah seimbang.

Yang Harus Dihindari

Guru yang monolog: bicara sendiri, bertanya dan menjawab pun sendiri adalah cara kuno. Siswa zaman sekarang harus dilibatkan dalam pengajaran sebab perhatian mereka sangat cepat sekali beralih dari pelajaran kepada hal-hal yang ada di dalam pikiran mereka. Ketika Yesus memberi makan 5000 orang, Ia melibatkan para murid untuk membagikan roti yang akan dimakan (Mat.14:19; 15:36). Yesus mengajarkan agar para murid-Nya memiliki kepedulian sosial, baik kepada penderita kusta, orang gila di Gerasa, dan orang-orang yang lapar dan haus.

V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Guru harus belajar mengenali perkembangan dan komunikasi generasi milenial (Y) dan generasi (Z) agar guru dapat mengajar dengan baik dan benar sesuai dengan kebutuhan para siswa, sehingga guru tidak terlalu cepat mengajar, membeda-bedakan siswa, dan cara-cara yang salah lainnya sebab yang harus diperhatikan ialah bagaimana relasi guru dengan murid. 2. Komunikasi dan relasi merupakan kunci

utama keberhasilan bagi seorang pendidik dalam menjalankan tugas dan peranannya sebagai pengajar. Pengajaran tidak akan berhasil, jika seorang guru tidak mampu berkomunikasi atau mengkomunikasikan bahan ajarnya kepada para siswa. Jika guru tidak dapat mengkomunikasikan bahan ajarnya, maka dipastikan pengajarannya akan mengalami kegagalan dan siswa yang diajarnya pun tidak akan tertarik mengikuti sang guru.

3. Pengajar agama Kristen, harus mau belajar untuk meningkatkan kemampuannya dalam mengajar peserta didik, dengan melatih diri dalam berkomunikasi serta mampu mengkomunikasikan bahan ajarnya kepada siswa.

4. Guru harus mau belajar seumur hidupnya. Guru harus mencari bahan-bahan lain untuk dipelajari agar guru tetap up to date bagi siswa/i.

Saran

Setelah melakukan penelitian tentang pengajaran di era milenial, penulis sangat menyadari bahwa pribadi guru sebagai pengajar harus up to date dan guru harus mau belajar seumur hidup long life education. Oleh sebab itu, penulis menyampaikan saran-saran terkait pengajaran di era milenial

(9)

1. Guru mengikuti seminar-seminar tentang mengajar di era milenial. Mengingat era milenial adalah era yang terus berkembang, jangan sampai guru ketinggalan zaman sehingga siswa tidak lagi meresponi pelajaran yang disampaikan oleh guru.

2. Guru juga dapat melakukan evaluasi secara bertahap melalui angket dan wawancara sehingga guru tahu sejauhmana pengajarannya berhasil dilaksanakan. Evaluasi ini berguna demi keberhasilan pengajaran guru di era milenial ini.

DAFTAR PUSTAKA

Arryrahman.(2017). Bagaimana cara mengajar ke

Generasi Millenial?.

https://arryrahmawan.net/bagaimana-cara-mengajar-ke-generasi-milenial/ diakses 2

Agustus 2019.

Hendricks. Howard G.(2009). Mengajar Untuk

Mengubah Hidup. Yogyakarta: Gloria Graffa.

Hargie, Owen.(2011).Skilled Interpersonal Communication-Research,Teory and Practice. London:Routledge.

Laswell, Harold D.(2010).Sistem Komunikasi Indonesia.Bandung: Grafindo

Moekijat, (1993). Teori Komunikasi. Bandung: Mandar Maju

Nazir, Mohammad.(1988). Metode Penelitian.

Jakarta: Ghalia Indonesia.

Price, J.M.(2011).Yesus Guru Agung. Bandung: Lembaga Literatur Babtis.

Sidjabat, B.S.(2019). Orasi Ilmiah.

Udin, Syaefudin Saud.(2012). Pengembangan Profesi Guru. Bandung: Alphabeta.

Wijaya, A.W.(1998).Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Bina Aksara.

Wawancara dengan empat orang sisiwa SMAK di sebuah sekolah di Bandung, April 2019.

Referensi

Dokumen terkait

Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) adalah rerata seluruh nilai matakuliah yang lulus sesuai dengan aturan masing-masing perguruan tinggi dan disyahkan oleh Dekan atau Pembantu

“. Bukankah Kami telah memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi setiap orang yang mau berpikir, dan bukankah sudah tiba kepadamu pemberi peringatan?. Allah

Dalam bagian mesin juga sering kita jumpai suatu bahan yang memerlukan kekerasan dan keuletan misalnya poros engkol, dengan permasalahan ini maka tentunya diperlukan

Melihat hasil penelitian di atas, diperoleh hasil bahwa semangat kerja berpengaruh secara positif terhadap produktivitas kerja, yang berarti bahwa dengan

Hasil penelitian bahwa pcrbandingan l<omposisi balnnbahan cat tutup yang optirnal bagi kulit hl'dlsana* menjadi kulit lemas untuk tas wanin adalah perlakuan

XXX terdapat 4 orang teller dalam sistem antrian yang bertugas melayani nasabah, namun kadang hanya ada 3 teller yang melayani nasabah, sehingga terjadi penumpukan

Dari hasil wawancara yang dilakukan pada responden guru SMAN 1 Kedungwaru (SS) dan guru SMA PGRI Kalangbret (AT) serta pengamatan langsung yang dilakukan oleh

Pengaruh Kepemilikan Institusional dan Ukuran Perusahaan terhadap Kebijakan Hutang dan Nilai Perusahaan (Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI)..