• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. legein artinya berbicara, jadi monolog adalah hanya satu orang yang berbicara dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. legein artinya berbicara, jadi monolog adalah hanya satu orang yang berbicara dan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Teks Monolog Sebagai Bagian Dari Drama

Monolog berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata mono dan legein yang memiliki arti hanya satu orang yang berbicara. Mono artinya satu sedangkan legein artinya berbicara, jadi monolog adalah hanya satu orang yang berbicara dan hanya dia yang menentukan pokok bahasan dan lainnya. Jika diterapkan dalam seni pertunjukkan. Monolog hanya membutuhkan satu orang saja yang melakukan adegan di atas panggung.

Sementara itu menurut Satoto (2016: 106) “drama monolog adalah lakon yang dipentaskan, dan pemerannya hanya seorang.” Kadang-kadang seorang pemeran tersebut memerankan beberapa peran watak dalam lakon yang dipentaskan itu. Disini pemeran monolog tidak seperti drama biasa yang membutuhkan banyak orang. Meskipun tidak memiliki banyak pemain, pemeran yang hanya satu orang ini terkadang dituntut harus bisa memerankan beberapa tokoh di beberapa naskah.

Hal ini sejalan dengan pendapat Riris. K. Sarumpaet (Satoto, 2016:2) memberikan definisi “lakon adalah kisah yang dramatisasi dan ditulis untuk dipertunjukkan diatas pentas oleh sejumlah pemain.” Lakon merupakan istilah lain dari drama. Dalam teks drama bahkan teks monolog merupakan kisah yang di dramatisasi, cendrung ditambah-tambahkan agar terlihat menarik. Kisah yang telah diolah ini dituliskan ke dalam teks. Setelah ditulis dipertunjukkan oleh pemeran untuk memvisualkan apa yang tertulis dalam teks.

(2)

Drama berasal dari kata Draien yang diturunkan dari kata ‘draomai’ yang semula berarti berbuat, bertindak, dan beraksi (to do, to act). Dalam perkembangan selanjutnya, kata ‘drama’ mengandung arti kejadian, risalah, dan karangan.

Istilah ‘drama’ mempunyai pengertian yang luas dan bermacam-macam: Menurut Clay Hamilton (Satoto, 2016:2) merumuskan “tiap drama merupakan suatu cerita, yang dikarang dan disusun untuk dipertunjukkan oleh pelaku-pelaku diatas panggung di hadapan publik.” Disini drama adalah sebuah cerita yang telah dibuat oleh seorang penulis. Penulis lalu menyusunnya menjadi sebuah cerita yang utuh dan memiliki dramatik yang jelas. Setelah drama ditulis lalu dipertunjukkan oleh aktor di atas panggung pertunjukkan. Pertunjukkan itu dilakukan di ruangan ataupun diluar ruangan dan ditonton oleh masyarakat luas.

Lilian Herlands Hornstein (dalam Satoto, 2016:2) menjelaskan bahwa “drama adalah sebuah karya sastra yang ditulis dalam bentuk dialog dan dimaksudkan untuk dipertunjukkan oleh para aktor/aktris (pemain, pelaku, atau pameran).” Penulis telah membuat teks drama dalam bentuk naskah. Dalam naskah itu dibuat dialog-dialog yang akan diucapkan oleh aktor/aktris yang akan memerankannya. Setelah naskah selesai ditulis oleh penulis, naskah itu diberikan kepada aktor dan aktris yang akan memerankan tokoh dalam naskah drama itu. Lalu, aktor dan aktris ini memerankan pertunjukkan yang akan ditonton oleh masyarakat luas.

(3)

Unsur-unsur penting yang membina struktur sebuah teks (Satoto, 2016:2), dapat dirumuskan:

1) Tema dan Amanat

2) Penokohan (karakter, perwatakan), 3) Alur (Plot),

4) Setting (latar), 5) Aspek ruang 6) Aspek waktu

7) Tikaian atau konflik, dan 8) Cakapan (dialog, teks). 1) Tema dan Amanat

Penulis teks bukanlah mencipta untuk semata-mata, tetapi juga untuk menyampaikan sesuatu (pesan, amanat, message) kepada publik, masyarakat, bangsa; bahkan kepada seluruh manusia, Penulis teks menciptakan untuk menyuguhkan persoalan kehidupan manusia, baik kehidupan lahiriah maupun kehidupan batiniah, yaitu pikiran (cita), perasaan (rasa), dan kehendak (karsa).

Pengalaman dramatik yang lahir dari kehidupan itu, pada suatu saat merangsang dan menggetarkan jiwa pengarang untuk mencipta. Mereka mencipta sebagai bentuk pengungkapan ekspresif atau impresif dari pengalaman estetik akibat adanya interkomunikasi estetik. Proses demikiran seharusnya ada pula pada para penikmat (baca: audience, publik). Dan demikian pula proses perebutan makna (baca: tema dan amanat) antara pencipta dan penikmat.

(4)

Dari pengalaman dramatik diangkatlah satu ide gagasan atau persoalan pokok yang menjadi dasar sebuah tema. Jadi, tema (theme) adalah gagasan, ide atau pikiran utama di dalam karya sastra, baik terungkap secara tersurat maupun tersirat, tema tidak sama dengan pokok masalah atau topik. Tetapi tema dapat dijabarkan ke dalam beberapa pokok.

Sebenarnya, tema suatu karya sastra (termasuk jenis drama atau lakon), bukan pokok persoalannya. Tetapi lebih bersifat ide sentral (pokok) yang dapat terungkapkan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Amanat (pesan, message) dalam drama adalah pesan yang ingin disampaikanpengarang kepada publiknya. Teknik penyampaian pesan itubisa secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, tersirat atau secara simbolik.

Jika tema dan amanat merupakan ide sentral yang menjadi pokok persoalannya, maka amanat merupakan pemecahannya. Jika tema sebuah drama merupakan pertanyaan, maka amanat yang terkandung didalamnya merupakan pemecahannya.

Tidak semua pengarang menyuratkan atau menyiratkan apa tema dan amanatnya. Dalam hal ini, tema dan amanat yang terkandung didalamanya diserahkan kepada pembaca.

2) Penokohan

Tokoh menurut Abrams (Nurgiyantoro, 2015: 247) adalah “orang (-orang) yang ditampilkan dalam sesuatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecendrungan tertentu seperti yang oleh

(5)

pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecendrungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.” Tidak berbeda dengan Abrams, Baldic (Nurgiyantoro, 2015:247) menjelaskan bahwa tokoh adalah orang yang menjadi pelaku dalam cerita fiksi atau drama, sedang pemokohan (caracterization) adalah penghadiran tokoh dalam cerita fiksi atau drama dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menafsirkan kualitas dirinya lewat kata dan tindakannya.

Penokohan (Satoto, 2016:40) adalah “proses penampilan ‘tokoh’ sebagai pembawa peran watak tokoh dalam suatu pementasan lakon. Penokohan harus mampu menciptakan citra tokoh.”Oleh karena itu aktor yang memerankan tokoh harus bisa menghidupkan tokoh dalam sebuah pementasan.

Penokohan dapat menggunakan berbagai cara, diantaranya: 1. Tindakan atau lakuan

2. Ujaran atau ucapan

3. Pikiran, perasaan dan kehendak 4. Penampilan fisiknya

5. Apa yang dipikirkan, dirasakan atau dikenedaki tentang dirinyaatau tentang diri orang lain.

6.

a. Pembeda Tokoh

Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah cerita fiksi dapat dibedakan dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan sudut pandang mana penamaan itu

(6)

dilakukan. Berdasarkan dan tinjauan tertentu tokoh dapat dibedakan sebagai berikut:

b. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

Tokoh utama (Nurgiyantoro, 2015:259) adalah “tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan.” Ia merupakan tokoh yang paling banyak muncul dalam cerita. Baik sebagai pelaku kejadian maupun yang mengalami kejadian. Dalam banyak cerita, tokoh utama selalu hadir dalam setiap bab atau adegan dan mendominasi cerita.

c. Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis

Tokoh protagonis (Nurgiyantoro, 2015: 261) adalah “tokoh yang kita kagumi yang salah satunya secara pupoler disebut hero – tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma nilai-nilai yang ideal bagi kita.” Tokoh protagonis ditampilkan penulis sesuai dengan harapan pembacanya. Sehingga pembaca bisa mencocokkan dirinya dengan tokoh protagonis. Maka kita sering menganalinya sebagai memiliki kesamaan dengan kita, permasalahan yang dihadapi oleh tokoh seolah-olah juga sebagai permasalahan kita sehari-hari.

d. Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat

Tokoh sederhana (Nurgiyantoro, 2015:265) dalam bentuknya yang asli, adalah “tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak tertentu saja.” Sebagai tokoh manusia dalam cerita, tokoh ini hanya ditampilkan salah satu sisinya saja, misalnya: pemalas. Ia sengaja dibuat penulis tidak memiliki sifat dan tingkah laku yang membuat pembaca terkejut. Sifat, sikap dan tingkah laku tokoh datar bersifat monoton, kaku dan hanya memiliki satu sifat saja.

(7)

Tokoh Bulat, tokoh kompleks berbeda halnya dengan tokoh sederhana Nurgiyantoro menuturkan (2015: 266) adalah “tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinnan sisi hidupnya, sisi kehidupan dan jati dirinya.” Berbeda jauh dengan tokoh sederhana, tokoh bulat memiliki berbagai sifat. Sifat ini bisa saja sengaja dibuat seragam seperti dia adalah seorang yang rajin, pandai dan saling membantu. Namun, bisa pula berbeda dan saling bertolak belakang, misalnya dia adalah seorang yang pemalas namun pandai.

e. Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang

Tokoh statis menurut Nurgiyantoro(2015:272) “tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa yang terjadi.” Tokoh ini tidak terlibat dengan berbagai perubahan yang terjadi di lingkungannya bahkan tidak terpengaruh dengan gejolak-gejolak yang terjadi di sekitarnya. Jika diibaratkan, tokoh statis ini bagaikan karang yang tidak goyah dihantam ombak.

Tokoh berkembang, di pihak lain, (Nurgiyantoro, 2015:272) adalah “tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot yang dikisahkan.” Ia secara aktif melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya, baik itu lingkungan sosial, lingkungan alam, ataupun lingkungan politik. Interaksi dengan lingkungan sekitarnya ini membuat sikap dan watak tokoh berubah. Dengan demikian sikap dan dan watak tokoh berubah secara dinamis dari awal cerita, tengah cerita dan akhir cerita sesuai dengan tuntutan logika cerita.

(8)

Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap (sekelompok) manusia dalam kehidupan nyata, tokoh cerita dapat dibedakan menjadi tokoh tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal menurut Nurgiyantro(2015:274) adalah “tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya atau sesuatu yang lebih mewakili.” Tokoh tipikal merupakan penggambaran, pencerminan atau penunjukkan terhadap orang, atau sekelompok orang yang terikat dalam sebuah lembaga, atau seorang individu sebagai bagian dari suatu komunitas atau seorang individu sebagai bagian dari suatu komunitas, yang ada di dunia nyata. Penggambaran itu bisa dilakukan secara tidak langsung dan menyeluruh dan justru pihak pembacalah yang menafsirkannya secara demikian berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan persepsinya terhadap tokoh di dunia nyata dan pemahamannya terhadap tokoh cerita di dunia fiksi.

Tokoh netral, di pihak laun, adalah “cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri.” Ia benar-benar merupakan tokoh imajinatif yang hanya hidup dan bereksitensi dalam dunia fiksi. Ia hadir (atau dihadirkan) semata-mata demi cerita, atau bahkan dia empunya cerita, pelaku cerita atau yang diceritakan. Kehadirannya tidak berpretensi untuk mewakili atau menggambarkan sesuatu yang diluar dirinya, seseorang yang berasal dari dunia nyata.

3) Alur

Alur menurut Satoto (2016:2) adalah “jalinan peristiwa (baik linear maupun non linear) yang disusun berdasarkan hukum klausal (sebab – akibat).” Jadi, alur (plot) dramatik adalah alur (plot) yang menganut hukum dramatik. Artinya,

(9)

tiap-tiap tahap dalam teknik pengaluran merupakan konsekuensi yang menimbulkan gerak atau lakuan dramatik dalam lakon. Semua gerak atau lakuan yang terjadi diatas pentas erupakan sebab atau akibat dari gerak-gerak atau laku-laku yang lain. Jadi, gerakan-gerakan yang terjadi di atas pentas hendaknya dilakukan dengan wajar.

M.H Abram (Satoto, 2016: 44) mengemukakan bahwa “alur (plot) dalam lakon tidak hanya bersifat verbal (diucakan secara lisan lewat percakapan), tetapi juga bersifat gerak fisik.” Hal ini tampak dalam penokohan. Antara gerak tokoh dan karakterisasi (perwatakan) saling menunjang dan mengisi serta melengkapi. Dengan kata lain ada saling ketergantungan antara alur dan perwatakan.

Robert Longeworth (Satoto, loc cit) memberi gambaran bahwa “struktur umum yang membentuk alur dramatik sebuah lakon ialah introduction or exposition (pengenalan atau exposisi); rising action or complication (perumitan, pengawatan, atau komplikasi); the climax or turing point (klimaks, puncak atau saat yang menentukan); falling action or unravelling (leraian atau selesaian): and the denouement or resolution, in tragedy the catastrophe (kesudahan, kesimpulan/akhir suatu cerita dalam drama, atau pemecahan, ketetapan hati-dalam drama tragedi disebut katastrop (catastrophe)”.

4) Latar (Setting)

Istilah ‘latar’ (setting) dalam arti yang lengkap meliputi aspek ruang dan waktu terjadinya peristiwa. Bagian dari teks dan hubunganyang mendasari suatu lakuan (action) terhadap keadaan sekeliling. Latar dapat menjadi lebih luas dari sekedar urutan lakuan; dan tidak tergantung pada arti dari setiap peristiwa. Perumusannya, latar dipandang sebagai bagian jenis infoemasi (disamping background atau latar belakang, evaluation atau penliaian, dan collateral atau yang

(10)

mengiringi/ yang terjadi bersamaan; dimana ata where, kapan atau when dan while saat atau waktu dakam masalah apa action (kejadian) itu ditempatkan.

Setting mncakup tiga aspek yakni, 1) aspek ruang, 2) aspek waktu dan 3) aspek suasana.

2.4 Pengertian Semiotika

Semiotika menurut Ferdinand de Saussure (Danesi, 2011:5) adalah ilmu yang mempelajari kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat dapat dibayangkan ada. Ia akan menjadi psikologi sosial dan karenanya juga merupakan bagian dari psikologi umum.

Kata semiotik berasal dari kata semion (Yunani) yang berarti tanda. Di Eropa, Ferdinand de Saussure (1857-1913) dengan dasar linguistik mengembangkan konsep semiologi, sedangkan di Amerika Serikat, Charles Sanders Pierce(1834 -1914) dengan pengertian yang sama mengembangkan konsep semiotika (semiotics). Selanjutnya, baik semiotika maupun semiologi dipergunakan dengan pengertian yang sama artinya (Rina, 2016: 2).

Menurut Danesi (2011:6) tanda adalah “segala sesuatu – warna, isyarat, kedipan mata, objek, rumus matematika dan lain-lain yang mempresentasikan sesuatu yang lain selain dirinya.” Kata biru seperti yang telah kita lihat, dikategorikan sebagai tanda karena ia bukan mempresentasikan bunyi b-i-r-u yang membangunnya, melainkan sejenis warna dan hal lainnya.

Penelitian sastra dengan pendekatan semiotik itu sendiri sesungguhnya merupakan kelanjutan dari pendekatan strukturalisme. Seperti yang dikemukakan Junus (Jambrohim, 2015:89) bahwa “semiotik itu merupakan lanjutan, atau perkembangan strukturalisme. Strukturalisme itu tida dapat dipisahkan dengan

(11)

semiotik.” Alasannya adalah karya sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna . Tanpa memperhatikan tanda-tanda dan maknanya, dan konvensi tanda, struktur karya sastra (atau karya sastra) tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal.

Charles Sanders Pierce (1839 – 1914) mengembangkan filsafat pragmatisisme melalui kajian semiotika. Seorang penafsir adalah yang berkedudukan sebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji objek yang dipahaminya. Dalam mengkaji objek yang dipahaminya, seorang penafsir yang jeli dan cermat. Segala sesuatunya akan dilihat dari tiga jalur logika, yaitu:

a. Hubungan penalaran dengan jenis penandanya (sign): 1) qualisign :Penanda yang bertalian dengan kualitas. 2) sinsign : Penanda yang bertalian dengan kenyataan. 3) legisign : Penanda yang bertalian dengan kaidah. b. Hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya (objek):

1) Ikon: sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan obyek aslinya (terlihat pada gambar atau lukisan).

2) Indeks: sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan petandanya.

3) Simbol : sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara konvensi telah lazim digunakan dalam masyarakat.

c. Hubungan pikiran dengan jenis petandanya (interpretant):

1) Rheme or seme: Penanda yang bertalian dengan mungkin terpahaminya objek petanda bagi penafsir.

(12)

2) Discent or dicisign or pheme: Penanda yang menampilkan informasi tentang petandanya.

3) Argument: Penanda dan petandanya akhir bukan suatu benda tetapi kaidah. (Santosa, 2013:13)

1) Ikon

Ikon (Danesi, 2011: 33) adalah “tanda yang mewakili sumber acuan melalui sebuah bentuk replikasi, simulasi, imitasi atau persamaan.” Dari ikonitas kita bisa tahu bahwa manusia memiliki persepsi yang tinggi terhadap warna, bunyi, bentuk, rasa, gerakan, dan dimensi yang berulang-ulang sehingga memiliki makna tertentu. Salah satu bentuk ikon yang dikenal manusia ialah tulisan, gambar gua dan piktogram. Ikonitas dasar ini memainkan peran yang penting dalam perkembangan manusia.

2) Indeks

Indeks (Danesi, 2011:33) adalah “tanda yang mewakili sumber acuan dengan cara menunjuk padanya atau mengaitkannya (secara implisit atau eksplisit)

(13)

dengan sumber acuan lain.” Dalam indeks sumber acuan pertama memiliki hubungan dengan sumber acuan lainnya secara klausal. Salah satu wujud indeks adalah jari yang menunjuk, kata keterangan atau garis diagram pada peta.

Ada tiga jenis dasar indeks:

a) Indeks ini mengacu pada lokasi spesial (ruang) sebuah benda, makhluk dan peristiwa dalam hubungannya dengan penggunaan tanda. Tanda yang dibuat dengan tangan seperti jari menunjuk kata penjelas, kata keterangan dan figur seperti anak panah, semuanya merupakan contoh-contoh indeks ruang.

b) Indeks ini saling menghubungkan benda-benda dari segi waktu. Kata keterangan atau grafik garis waktu yang melambangkan poin-poin waktu yang terletak disebelah kiri dan kanan satu sama lain di kalender, semuanya merupakan contoh indeks temporal.

c) Indeks ini saling menghubungkan pihak-pihak yang ambil bagian dalam sebuah situasi. Kata ganti orang atau kata ganti tak tentu adalah contohnya indeks orang.

3) Simbol

. Simbol (Danesi 2011: 33) adalah “tanda dirancang untuk menyandikan sumber acuan melalui kesepakatan atau persetujuan.” Sumber acuan diwakilkan oleh simbol dengan cara konvensional. Pada umumnya kata-kata adalah simbol. Namun, penanda seperti bunyi, objek dan sosok juga merupakan simbolik terhadap sumber acuannya. Salah satu contoh simbol adalah tanda salib dapat menyimbolkan agama kristiani, hitam dapat mewakili kotor, suram dan misterius. Pemaknaan

(14)

terhadap simbol dilakukan berdasarkan kesepakatan sosial atau berupa tradisi yang bersejarah dalam kehidupan masyarakat.

Simbolisme ada dimana-mana. Ia memerankan, misalnya, peran penting dalam kehidupan beragama–salib melambangkan kematian kristus dan segala ajaran kristiani; bintang Daud melambangkan ajaran Yahudi; bulan sabit dan bintang melambankan islam dan sebagainya. Orang diseluruh dunia menyepakati simbol-simbl tertentu sebagai sistem kilat untuk mencatat dan memanggil kembali informasi.

Pada simbol menampilkan hubungan penanda dan petanda yang bersifat aribitrer. Penafsir ditunututt untuk menemukan hubungan pendandaan itu secara kreatif dan dinamis. Tanda yang berubah menjadi simbol dengan sendirinya akan dibubuhi sifat-sifat kultural, situasional dan kondusional.

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan saya: kemungkinan besar bawha tape (yang tidak pernah muncul!) dan teks itu yang diberikan pada Rudhito, suatu pelancungan, pemalsuan. Maksudnya dan akibatnya:

terbentuk warna merah pada medium setelah ditambahkan a- napthol dan KOH, artinya hasil akhir fermentasi bakteri ini bukan asetil metil karbinol (asetolin). Selain uji

Diharapkan untuk penelitian selanjutnya dapat meneliti briket arang bambu dengan menggunakan ukuran partikel 35 mesh dan kuat tekan 1940 kg/m 2 dengan variabel berubah yang

20 Sesudah itu berkatalah Naomi kepada menantunya: "Diberkatilah kiranya orang itu oleh TUHAN yang rela mengaruniakan kasih setia-Nya kepada orang-orang yang hidup dan

Perpanjangan waktu merupakan kembalinya peneliti ke lapangan untuk melakukan pengamatan berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan sebelumnya.Perpanjangan

Dalam banyak kasus, sebuah perusahaan e-commerce bisa bertahan tidak hanya mengandalkan kekuatan produk saja, tapi dengan adanya tim manajemen yang handal, pengiriman yang tepat

Uji efektivitas terhadap populasi nyamuk Aedes aegypti di laboratorium menunjukkan bahwa Formulasi VI dengan konsentrasi bahan aktif 0,6% memberikan hasil yang

(2) Dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP yang digunakan dalam pengenaan