• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS SEBAGAI INDIKATOR KUALITAS PERAIRAN DANAU TOBA BALIGE KABUPATEN TOBA SAMOSIR TESIS. Oleh TIORINSE SINAGA /BIO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS SEBAGAI INDIKATOR KUALITAS PERAIRAN DANAU TOBA BALIGE KABUPATEN TOBA SAMOSIR TESIS. Oleh TIORINSE SINAGA /BIO"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS SEBAGAI

INDIKATOR KUALITAS PERAIRAN DANAU TOBA

BALIGE KABUPATEN TOBA SAMOSIR

TESIS

Oleh

TIORINSE SINAGA

077030025/BIO

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 9

SE K O L A H PA SCA S AR JANA

(2)

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS SEBAGAI

INDIKATOR KUALITAS PERAIRAN DANAU TOBA

BALIGE KABUPATEN TOBA SAMOSIR

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Biologi pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

TIORINSE SINAGA

077030025/BIO

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 9

(3)

Judul Tesis : KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS SEBAGAI INDIKATOR KUALITAS PERAIRAN DANAU TOBA BALIGE KABUPATEN TOBA SAMOSIR

Nama Mahasiswa : Tiorinse Sinaga Nomor Pokok : 077030025 Program Studi : Biologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc) Ketua

(Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc) Anggota

Ketua Program Studi,

(Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc)

Direktur,

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)

(4)

Telah diuji pada Tanggal 29 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc Anggota : 1. Prof. Dr. Dwi Suryanto MSc

2. Prof. Dr. Ir. B. Sengli J. Damanik, M.Sc 3. Prof. Dr. Retno Widyastuti, MS

(5)

ABSTRAK

Danau Toba merupakan danau terbesar di Asia Tenggara, berada di sebelah utara Pegunungan Bukit Barisan. Danau Toba terletak pada ketinggian 995 m di atas permukaan laut, dengan luas 1129,7 km2, panjang 87 km, dan kedalaman 455 m. Air dari danau ini dipergunakan untuk pertanian, air minum, pekan dan sebagai dermaga. Berkembangnya aktivitas masyarakat di sekitar danau dapat berpengaruh terhadap kualitas airnya, karena limbah yang dihasilkan dari kegiatan penduduk tersebut dibuang langsung ke danau. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan Danau Toba Balige serta menentukan kualitas perairan Danau Toba berdasarkan sifat fisika-kimia biologi yang dimilikinya. Penelitian ini, telah dilakukan mulai bulan Desember 2008 – Februari 2009 sampel diambil dari 4 stasiun penelitian. Titik pengambilan sampel ditentukan dengan metode Purposive Random Sampling. Sampel diambil dengan menggunakan Surber net dan Eckmann Grab kemudian diidentifikasi di Laboratorium PSDAL Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan. Dari hasil penelitian didapatkan makrozoobentos yang terdiri dari 5 kelas, 10 ordo, 17 famili dan 21 genus. Nilai kepadatan tertinggi didapatkan dari taksa Elimia sp sebesar 77,77 individu/m2 yang ditemukan pada stasiun II dan terendah dari taksa Haitia sp sebesar 1,23 individu/m2 yang ditemukan pada stasiun IV. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) makrozoobentos tertinggi didapati pada stasiun IV sebesar 2,08 dan terendah pada stasiun I sebesar 1,71. Dari hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa pH, DO, Kejenuhan Oksigen dan COD berkorelasi positif dengan keanekaragaman makrozoobentos sedangkan Substrat, Fosfat, Nitrat, BOD5 dan Suhu berkorelasi negatif.

(6)

ABSTRACT

Lake Toba is the largest lake in Southeast Asia, lies in the Northern part of Barisan Mountain Range. The water surface of Lake Toba is 995 m above sea level and about 1129,7 Km2 wide, length 87 Km, and 455 m deep. The water of this lake is used not only for agriculture, drinking water, traditional market but also for quay wall. The people activities along this lake could influence its water quality, because the waste produced by those people activities is thrown to this river directly. The changes of those water qualities in the lake induce the change of macrozoobenthos community. For that reason, it is necessary to observe the Danau Toba water quality based on macrozoobenthos indicator. The aims of the research were to know the diversity of macrozoobenthic as bioindicator in Danau Toba and to determine the Danau Toba quality level in relation to physical-chemical and biologis of the lake. The research was carried out from December 2008 until February 2009 in Danau Toba Balige Toba Samosir. Sampel were collected from four stations by Purposive Random Sampling method. Surber net and Eckmann Grabb were used to taken the sampel. Samples were identified in Laboratory PSDAL, Department of Biology, Faculty of Mathematic and Natural Sciences of North Sumatera University. The result showed that there five classes within ten ordo, 17 family and 21 genera of Macrozoobenthic were found. Elimia sp has the highest density index with 77,77 individu/m2 founded in second station, and Haitia sp in fourth station has the lowest density index with 1,23 individu/m2. The Highest Index Diversity (H’) was founded at the 4th station with 2,08 and the lowest value was founded at the 1st station with 1,71. According to the analysis of Pearson Correlation, pH, DO, Oxygen Saturation and COD has the positive correlated to the diversity of Macrozoobenthic, while Organic Substrat, Fosfat, Nitrat, BOD5 and Temperature has the negative correlated to the Diversity of Macrozoobenthic.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karuniaNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan

judul “KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS SEBAGAI

INDIKATOR KUALITAS PERAIRAN DANAU TOBA BALIGE

KABUPATEN TOBA SAMOSIR”.

Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Biologi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. Dengan selesainya penulisan tesis ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Direktur Sekolah Pascasarjana USU Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc atas kesempatan yang diberikan kepada penulis menjadi mahasiswa pada Sekolah Pascasarjana USU.

2. Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc selaku Pembimbing Utama, yang dengan tulus dan penuh perhatian membimbing penulis sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat terselesaikan.

3. Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc sebagai Ketua Program Studi Biologi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Pembimbing penulis yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat terselesaikan.

4. Prof. Dr. Retno Widyastuti, MS sebagai Dosen Penguji, yang telah memberikan masukan dalam penulisan tesis ini.

5. Prof. Dr. Ir. B. Sengli. J. Damanik, M.Sc selaku Dosen Penguji yang telah banyak memberikan masukan dan arahan selama proses penulisan tesis ini.

6. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Sekolah Pascasarjana Program Studi Biologi Universitas Sumatera Utara Medan yang telah membekali Penulis dengan berbagai disiplin ilmu.

(8)

7. Gubernur Provinsi Sumatera Utara dan Kepala Bappeda Sumatera Utara yang telah memberikan Beasiswa S-2 kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan Studi S-2 pada Sekolah Pascasarjana USU.

8. Kepala SMA Negeri 5 Medan dan seluruh rekan staf pengajar dan pegawai yang telah memberikan dukungan sepenuhnya kepada penulis selama mengikuti studi pada Sekolah Pascasarjana USU.

9. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama penulisan tesis ini. Kepada suami terkasih Drs. Ajis Pakpahan, M.Si dan Ananda terkasih Inggrieny Angelia Ester Pakpahan dan Putri Haradyka Pakpahan yang telah memberi dukungan sepenuhnya dan pengertian yang dalam serta kesabaran selama penulis mengikuti studi sampai terselesaikan, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya.

Medan, Mei 2009

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pematang Siantar, pada tanggal 04 Januari 1966, sebagai anak keempat dari sepuluh bersaudara, dengan nama Ayah J.W. Sinaga (Almarhum) dan Ibu E. Girsang (Almarhumah).

Memasuki sekolah dasar SD GKPS Bersubsidi Pematang Siantar tahun 1972 dan lulus tahun 1978, melanjut ke SMP Negeri 1 Pematang Siantar tahun 1978 dan lulus tahun 1981, kemudian lulus dari SMA Negeri 2 Pematang Siantar tahun 1984. Pada tahun 1984 penulis diterima sebagai mahasiswi pada Program Pendidikan Diploma 3 Jurusan Biologi FMIPA IKIP Medan, dan lulus pada tahun 1987.

Penulis ditempatkan sebagai tenaga pendidik pada bulan Oktober tahun 1988 di SMA Negeri Sianjur Mula-mula. Pada tahun 1991, penulis pindah tugas sebagai tenaga pendidik di SMA Negeri 5 Medan. Tahun 1996, penulis melanjutkan studi pada Universitas Negeri Medan, dan lulus tahun 1998. Kemudian pada tahun 2007 mendapat kesempatan belajar pada Strata-2 Sekolah Pascasarjana USU Program Studi Biologi Konsentrasi Ekologi.

Medan, Mei 2009

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN ... x BAB I : PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Permasalahan... 3 1.3. Tujuan Penelitian ... 4 1.4. Hipotesis... 4 1.5. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Ekosistem Danau... 5

2.2. Ekosistem Danau Toba ... 7

2.3. Keanekaragaman Makrozoobentos ... 8

2.4. Makrozoobentos Sebagai Indikator ... 11

2.5. Faktor-faktor Abiotik yang Mempengaruhi Makrozoobentos ... 16

BAB III : BAHAN DAN METODE ... 24

3.1. Deskripsi Setiap Stasiun Pengamatan ... 24

(11)

3.4. Pengukuran Faktor Fisika dan Kimia Perairan ... 27

3.5. Penentuan Status Mutu Air dengan Metode Storet ... 30

3.6. Analisis Data ... 32

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

4.1. Klasifikasi Makrozoobentos ... 35

4.1.1. Ciri Morfologi ... 36

4.1.2. Kepadatan Bentos (K), Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) pada Setiap Stasiun Penelitian. ... 46

4.1.3. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman (E) Makrozoobentos. ... 51

4.1.4 Nilai Indeks Similaritas... 54

4.1.5 Nilai Distribusi Morista (Id) ... 56

4.2. Pengukuran Parameter Lingkungan Fisika Kimia Air .. 57

4.3. Sifat Fisika, Kimia dan Biologi Perairan Danau Toba Balige Berdasarkan Metode Storet... 66

4.4 Analisis Korelasi Pearson (r) Antara Faktor Fisik Kimia dengan Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos ... 67

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

5.1 Kesimpulan ... 71

5.2 Saran ... 73

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

4.1. Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran

Faktor Fisika, Kimia dan Biologi Perairan ... 30 3.2. Penentuan Sistem Nilai untuk Menentukan Status Mutu Air ... 31 4.1. Klasifikasi Makrozoobentos yang Didapatkan pada Setiap Stasiun

Penelitian di Beberapa Lokasi di Danau Toba, Kecamatan Balige .... 35 4.2. Nilai Kepadatan Populasi (individu/m2), Kepadatan relatif (%)

dan Frekuensi Kehadiran Makrozoobentos (%) pada Setiap

Stasiun Penelitian di Danau Toba, Kecamatan Balige... 49 4.3. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman (E)

Makrozoobentos pada Masing-masing Stasiun Penelitian... 51 4.4. Nilai Indeks Similaritas Makrozoobentos di Perairan Danau Toba

Balige Kabupaten Toba Samosir ... 54 4.5. Nilai Distribusi Morista ... 56 4.6. Nilai Rata-rata Parameter Lingkungan yang Diukur pada Masing-

masing Lokasi Pengambilan Sampel ... 57 4.7. Kondisi Fisik, Kimia dan Biologi Air yang terdapat di Perairan

Danau Toba Balige Menurut Metode Storer ... 66 4.8. Interval Korelasi dan Tingkat Hubungan antar Faktor ... 67 4.9. Nilai Analisis Korelasi Pearson (r) Antara Keanekaragaman dan

Kelimpahan Makrozoobentos dengan Sifat Fisika-Kimia

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

4.1. Palaemonetes sp... 36 4.2. Pila sp... 36 4.3. Helicina sp... 37 4.4. Pseudosucinaea sp... 37 4.5. Haitia sp ... 38 4.6. Indoplanorbis sp ... 38 4.7. Parapholix sp... 39 4.8. Floridobia sp ... 39 4.9. Elimia sp ... 40 4.10. Pleurocera sp... 40 4.11. Ademietta sp ... 41 4.12. Melanoides sp ... 41 4.13. Thiara sp ... 42 4.14. Truncatella sp ... 42 4.15. Trochotaia sp... 43 4.16. Glossiphonia sp ... 43 4.17. Enochrus sp ... 44 4.18. Chironomus sp... 44 4.19. Neoephemera sp ... 45 4.20. Chimarra sp... 45 4.21. Branchiura sp ... 46

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Peta Lokasi Penelitian ... 80

2. Stasiun Penelitian ... 81

3. Data Bentos ... 83

4. Correlation ... 84

5. Contoh Perhitungan ... 85

6. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO) ... 86

7. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur BOD5 ... 87

8. Bagan Kerja Kandungan Nitrat (NO3-) ... 88

9. Bagan Kerja Analisis Fosfat (PO43-) ... 89

10. Metode Kerja Pengukuran COD ... 90

11. Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) pada Berbagai Besaran Temperatur air ... 91

12. Cara Kerja Metode MPN (Most Probability Number) ... 92

13. Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 ... 93

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Wilayah Indonesia memiliki 6% dari persediaan air dunia atau sekitar 21% persediaan air Asia Pasifik tetapi kelangkaan dan kesulitan memperoleh air bersih dan layak pakai menjadi permasalahan yang mulai muncul di banyak tempat dan semakin mendesak dari tahun ke tahun. Kecenderungan konsumsi air naik secara eksponensial, sedangkan ketersediaan air bersih cenderung melambat akibat kerusakan alam dan pencemaran, yaitu diperkirakan sebesar 15-35% per kapita per tahun. Dengan demikian Indonesia yang memiliki jumlah penduduk mencapai lebih dari 200 juta jiwa, menyebabkan kebutuhan air bersih menjadi semakin mendesak (Walhi, 2005).

Ekosistem air yang terdapat di daratan (inland water) secara umum dapat dibagi 2 yaitu perairan lentik (lentic water), atau juga disebut sebagai perairan tenang, misalnya danau, rawa, waduk, situ, telaga dan sebagainya dan perairan lotik (lotic water), disebut juga sebagai perairan yang berarus deras, misalnya sungai, kali, kanal, parit dan sebagainya. Perbedaan utama antara perairan lotik dan lentik adalah dalam kecepatan arus air. Perairan lentik mempunyai kecepatan arus yang lambat serta terjadi akumulasi massa air yang berlangsung dengan cepat. Danau Toba termasuk perairan lentik (lentic water), atau disebut juga perairan tenang (Barus, 2001).

(16)

Danau Toba merupakan suatu perairan yang banyak dimanfaatkan oleh beberapa sektor seperti pertanian, perikanan, pariwisata, perhubungan dan juga merupakan sumber air minum bagi masyarakat di kawasan Danau Toba. Adanya berbagai aktivitas manusia di sekitar danau tersebut, menyebabkan Danau Toba mengalami perubahan-perubahan ekologis sehingga kondisinya sudah berbeda dengan kondisi alaminya sehingga kelestariannya perlu diperhatikan.

Menurut Barus (2005) beranekaragamnya aktivitas manusia di sekitar Danau Toba secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan perubahan kualitas lingkungan perairan Danau Toba. Kehidupan organisme akuatik dalam danau sangat ditentukan oleh kualitas perairan tempat hidupnya. Bentos sebagai biota dasar perairan yang relatif tidak mudah bermigrasi merupakan kelompok biota yang paling menderita akibat pencemaran perairan.

Odum (1994) menjelaskan bahwa komponen biotik dapat memberikan gambaran mengenai kondisi fisik, kimia dan biologi suatu perairan. Salah satu biota yang dapat digunakan sebagai parameter biologi dalam menentukan kondisi suatu perairan adalah makrozoobentos. Menurut Purnomo (1989) berubahnya kualitas suatu perairan sangat mempengaruhi kehidupan biota yang hidup di dasar perairan tersebut, diantaranya adalah makrozoobentos.

Makrozoobentos baik digunakan sebagai bioindikator di suatu perairan karena habitat hidupnya yang relatif tetap. Perubahan kualitas air dan substrat hidupnya sangat mempengaruhi kelimpahan dan keanekaragaman makrozoobentos.

(17)

sensitivitasnya terhadap perubahan lingkungan. Kisaran toleransi dari makrozoobentos terhadap lingkungan berbeda-beda (Wilhm, 1975 dalam Marsaulina, 1994). Komponen lingkungan, baik yang hidup (biotik) maupun yang mati (abiotik) mempengaruhi kelimpahan dan keanekaragaman biota air yang ada pada suatu perairan, sehingga tingginya kelimpahan individu tiap jenis dapat dipakai untuk menilai kualitas suatu perairan. Perairan yang berkualitas baik biasanya memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi dan sebaliknya pada perairan yang buruk atau tercemar (Fachrul, 2007). Sejauh ini belum diketahui keanekaragaman makroozobentos dan kualitas perairan Danau Toba khususnya di daerah Balige, Kabupaten Toba Samosir, berdasarkan hal tersebut penelitian ini dilakukan.

1.2. Permasalahan

Perairan Danau Toba banyak dimanfaatkan oleh penduduk di sekitar Danau Toba untuk berbagai aktivitas yaitu perikanan, perhubungan, pertanian, pariwisata dan berbagai aktivitas rumah tangga. Pemanfaatan tersebut menyebabkan perubahan kondisi ekologis terhadap kehidupan biota terutama keanekaragaman makrozoobentos. Sejauh ini belum diketahui bagaimana kondisi fisik kimia dan keberadaan jenis serta keanekaragaman makrozoobentos pada perairan Danau Toba Balige.

(18)

1.3. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui sifat fisik dan kimia perairan Danau Toba dalam hubungannya dengan baku mutu kualitas air berdasarkan PP 82 Tahun 2001 dan metode Storet di kawasan perairan Danau Toba Balige.

b. Untuk mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan makrozoobentos pada perairan Danau Toba Balige.

c. Untuk mengetahui hubungan keanekaragaman dan kelimpahan makrozoobentos yang terdapat di perairan Danau Toba Balige dengan sifat fisika dan kimia yang dimilikinya.

1.4. Hipotesis

a. Keanekaragaman makrozoobentos di perairan Danau Toba Balige rendah.

b. Perbedaan parameter faktor fisik, kimia, dan biologi perairan sangat mempengaruhi keanekaragaman makrozoobentos di perairan Danau Toba Balige.

1.5. Manfaat Penelitian

a. Memberikan informasi mengenai keanekaragaman makrozoobentos di perairan Danau Toba Balige.

b. Memberikan informasi bagi pemerintah setempat tentang kualitas perairan Danau Toba Balige dengan demikian dapat dilakukan pengelolaan, pengembangan dan pemanfaatan sumber daya alam khususnya Kecamatan Balige.

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Danau

Ditinjau dari kedudukannya, ekosistem air tawar dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu air diam misalnya kolam, danau dan waduk serta air yang mengalir misalnya sungai. Air diam digolongkan sebagai perairan lentik sedangkan air yang mengalir deras disebut lotik (Barus, 2004). Danau adalah sejumlah air (tawar atau asin) yang terakumulasi di suatu tempat yang cukup luas, yang dapat terjadi karena mencairnya gletser, aliran sungai atau karena adanya mata air http://id.wikipedia.org/wiki/Danau. Menurut Jorgensen (1989) perairan danau merupakan salah satu bentuk ekosistem air tawar yang ada di permukaan bumi, Secara fisik, danau merupakan suatu tempat yang luas, mempunyai air yang tetap, jernih atau beragam dengan aliran tertentu selanjutnya Wulandari (2006) mengatakan danau adalah badan air yang dikelilingi daratan dan dikelompokkan sebagai salah satu jenis lahan basah. Danau digolongkan ke dalam lahan basah alami bersama hutan mangrove, rawa gambut, rawa air tawar, padang lamun dan terumbu karang.

Berdasarkan keadaan nutrisinya Payne (1986), menggolongkan danau menjadi 3 jenis yaitu:

a. Danau Oligotrofik yaitu danau yang mengandung sedikit nutrien (miskin nutrien), biasanya dalam dan produktivitas primernya rendah. Sedimen pada bagian dasar kebanyakan mengandung senyawa anorganik dan konsentrasi oksigen pada

(20)

bagian hipolimnion tinggi. Walaupun jumlah organisme pada danau ini rendah tetapi keanekaragaman spesies tinggi.

b. Danau Eutrofik, yaitu danau yang mengandung banyak nutrien (kaya nutrien), khususnya nitrat dan fosfor yang menyebabkan pertumbuhan algae dan tumbuhan akuatik lainnya meningkat. Dengan demikian produktivitas primer pada danau ini tinggi dan konsentrasi oksigen rendah. Walaupun jumlah dan biomassa organisme pada danau ini tinggi tetapi keanekaragaman spesies rendah.

c. Danau Distrofik, yaitu danau yang memperoleh sejumlah bahan-bahan organik dari luar danau, khususnya senyawa-senyawa asam yang menyebabkan air berwarna coklat. Produktivitas primer pada danau ini rendah, yang umumnya berasal dari hasil fotosintesa plankton. Tipe danau distrofik ini juga sedikit mengandung nutrien dan pada bagian hipolimnion terjadi defisit oksigen. Suatu danau berlumpur mewakili bentuk danau distrofik.

Odum (1994) menyatakan bahwa danau terdiri dari 3 zona yaitu:

a. Zona litoral, yaitu daerah perairan dangkal penetrasi cahaya sampai ke dasar. b. Zona limnetik, yaitu daerah air terbuka sampai kedalaman penetrasi cahaya yang

efektif.

c. Zona profundal, yaitu merupakan bagian dasar dan daerah air yang dalam yang tidak tercapai oleh penetrasi cahaya efektif.

Danau mempunyai fungsi ekonomi yang sangat tinggi. Salah satu fungsi danau adalah perikanan, baik budidaya maupun perikanan tangkap. Danau juga

(21)

kaitannya dengan penyediaan air bersih, baik untuk minum, irigasi maupun industri. Dengan demikian danau mempunyai fungsi sebagai penyangga kehidupan. Penjagaan kebersihan sumber-sumber air danau, danau itu sendiri dan saluran-saluran keluarnya secara otomatis menjamin tersedianya air bersih di sepanjang alirannya.

2.2. Ekosistem Danau Toba

Secara geografis, Danau Toba terletak antara 98° - 99° BT dan 2°- 3° LU. Bagian yang landai terletak di sebelah Tenggara dan Selatan daratan Sumatera, serta bagian barat dengan daratan Samosir. Di samping letaknya yang strategis meliputi 7 (tujuh) wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Simalungun, Karo, Dairi, Tapanuli Utara, Tobasa, Samosir dan Humbang Hasundutan, faktor alam sekitarnya juga sangat mendukung keindahan alam kawasan Danau Toba tersebut.

Danau Toba merupakan danau yang terbesar di Sumatera, sumber airnya berasal dari puluhan sungai yang mengalir dan berasal dari tepi luar Danau Toba dan Pulau Samosir yang bermuara ke Danau Toba sebagai sumber air permukaan, mengalir ke Sungai Asahan sepanjang 150 Km menyusuri pantai Timur Sumatera (Bapedalda, 2000). Danau Toba yang terletak pada ketinggian 995 m di atas permukaan laut merupakan danau terluas di Indonesia yang luasnya sekitar 1129,7 Km2, keliling 194 Km, panjang 87 Km, lebar 31 Km dan kedalaman maksimum 455 m. Danau Toba berbentuk elips dengan jumlah teluk yang sedikit dan daerah litoralnya sempit, sehingga produktivitasnya relatif rendah. Keadaan ini didukung oleh pantainya yang sangat curam, dasar perairan litoral umumnya pasir berbatu dan

(22)

daerah sekelilingnya merupakan daerah perbukitan yang gundul (Ruttner, 1930 dalam Tjahjo et al, 1998).

Menurut Barus, (2007) Danau Toba merupakan sumber daya air yang mempunyai nilai yang sangat penting ditinjau dari fungsi ekologi, hidrologi serta fungsi ekonomi. Hal ini berkaitan dengan fungsi Danau Toba sebagai habitat berbagai jenis organisme air, sebagai sumber air minum bagi masyarakat sekitarnya, sebagai sumber air untuk kegiatan pertanian dan budidaya perikanan serta untuk menunjang berbagai jenis industri, seperti kebutuhan air untuk industri pembangkit listrik Sigura-gura dan Asahan. Danau Toba pada beberapa tahun terakhir diberitakan telah mengalami gangguan hidrologis dan ekosistem yang serius. Volume air mengalami penyusutan terus menerus, terjadi pelumpuran dan pendangkalan yang melebihi normal serta pencemaran kualitas, baik di dalam danau maupun pada aliran sungai Asahan yang mengalirkan air dari danau tersebut ke laut.

2.3. Keanekaragaman Makrozoobentos

Menurut Odum (1994), komunitas adalah kumpulan populasi yang hidup pada suatu lingkungan tertentu atau habitat fisik tertentu yang saling berinteraksi dan secara bersama membentuk tingkat trofik. Di dalam komunitas, jenis organisme yang dominan akan mengendalikan komunitas tersebut, sehingga jika jenis organisme yang dominan tersebut hilang akan menimbulkan perubahan-perubahan penting dalam komunitas, bukan hanya komunitas biotiknya tetapi juga dalam lingkungan fisik.

(23)

Krebs (1989) mengemukakan bahwa struktur komunitas memiliki lima tipologi atau karakteristik, yaitu keanekaragaman, dominansi, bentuk dan struktur pertumbuhan, kelimpahan relatif serta struktur trofik. Konsep komunitas sangat relevan diterapkan dalam menganalisis lingkungan perairan karena komposisi dan karakter dari suatu komunitas merupakan indikator yang cukup baik untuk menunjukkan keadaan di mana komunitas berada.

Hubungan perubahan lingkungan terhadap kestabilan suatu komunitas makrozoobentos dapat dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dapat dilakukan dengan melihat keanekaragaman jenis organisme yang hidup di lingkungan tersebut dan hubungan dengan kelimpahan tiap jenisnya sedangkan kualitatif adalah dengan melihat jenis-jenis organisme yang mampu beradaptasi dengan lingkungan tertentu. Odum (1994) menerangkan bahwa baik buruknya kondisi suatu ekosistem tidak dapat ditentukan hanya dari hubungan keanekaragaman dan kestabilan komunitasnya. Suatu ekosistem yang stabil dapat saja memiliki keanekaragaman yang rendah atau tinggi tergantung pada fungsi aliran energi pada sistem tersebut.

Bentos merupakan organisme yang mendiami dasar perairan dan tinggal di dalam atau pada sedimen dasar perairan. Payne (1986) menyatakan bahwa zoobentos adalah hewan yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di dasar perairan, baik sesil, merayap maupun menggali lubang. Hewan makrozoobentos lebih banyak ditemukan di perairan yang tergenang (lentik) dari pada di perairan yang mengalir (lotik).

(24)

Berdasarkan cara hidupnya, bentos dibedakan atas 2 kelompok yaitu: infauna dan epifauna (Barnes & Mann, 1994). Infauna adalah kelompok makrozoobentos yang hidup terbenam di dalam lumpur (berada di dalam substrat), sedangkan epifauna adalah kelompok makrozoobentos yang hidup menempel di permukaan dasar perairan (Hutchinson, 1993).

Pennak (1989), menyatakan bahwa epifauna lebih sensitif daripada infauna. Lailli & Parsons (1993), menyatakan bahwa kelompok infauna sering mendominasi komunitas substrat yang lunak dan melimpah di daerah subtidal, sedangkan kelompok hewan epifauna dapat ditemukan pada semua jenis substrat tetapi lebih berkembang pada substrat yang keras dan melimpah di daerah intertidal. Hewan bentos dapat dikelompokkan berdasarkan ukuran tubuh yang bisa melewati lubang saring yang dipakai untuk memisahkan hewan dari sedimennya. Berdasarkan kategori tersebut bentos dibagi atas:

a. Makrobentos

Kelompok bentos yang berukuran lebih besar dari 1,0 mm. Kelompok ini adalah hewan bentos yang terbesar.

b. Mesobentos

Kelompok bentos yang berukuran antara 0,1 mm – 1,0 mm. Kelompok ini adalah hewan kecil yang dapat ditemukan di pasir atau lumpur. Hewan yang termasuk kelompok ini adalah Mollusca kecil, cacing kecil dan Crustacea kecil.

(25)

b. Mikrobentos

Kelompok bentos yang berukuran lebih kecil dari 0,1 mm. Kelompok ini merupakan hewan yang terkecil. Hewan yang termasuk ke dalamnya adalah protozoa khususnya Ciliata.

Bentos pemakan deposit cenderung melimpah pada sedimen lempung, dan sedimen lunak yang merupakan daerah yang mengandung bahan organik yang tinggi, sedangkan bentos pemakan suspensi lebih berlimpah pada substrat yang berbentuk pasir dan bahan organik lebih sedikit. Keadaan substrat dasar merupakan faktor yang sangat menentukan komposisi hewan bentos dalam suatu perairan. Struktur substrat dasar akan menentukan kemelimpahan dan komposisi jenis hewan makrozoobentos. Kelompok makrozoobentos yang dominan di perairan bersubstrat lumpur adalah Polychaeta, Bivalvia (kerang) dan Crustacea (Jati, 2003).

2.4. Makrozoobentos Sebagai Indikator

Bentos sering digunakan sebagai indikator atau petunjuk kualitas air. Suatu perairan yang sehat (belum tercemar) akan menunjukkan jumlah individu yang seimbang dari hampir semua spesies yang ada. Sebaliknya suatu perairan tercemar, penyebaran jumlah individu tidak merata dan cenderung ada spesies yang mendominasi (Patrick, 1949 dalam Odum, 1994).

Dalam penilaian kualitas perairan, pengukuran keanekaragaman jenis organisme sering lebih baik daripada pengukuran bahan-bahan organik secara langsung. Makrozoobentos sering dipakai untuk menduga ketidakseimbangan

(26)

lingkungan fisik, kimia dan biologi perairan. Perairan yang tercemar akan mempengaruhi kelangsungan hidup organisme makrozoobentos karena makrozoobentos merupakan biota air yang mudah terpengaruh oleh adanya bahan pencemar, baik bahan pencemar kimia maupun fisik (Odum, 1994). Hal ini disebabkan makrozoobentos pada umumnya tidak dapat bergerak dengan cepat dan habitatnya di dasar yang umumnya adalah tempat bahan tercemar. Menurut Wilhm (1975) dalam Marsaulina (1994) perubahan sifat substrat dan penambahan pencemaran akan berpengaruh terhadap kemelimpahan dan keanekaragamannya. Menurut Ravera (1979) dalam Fachrul (2007) daya toleransi bentos terhadap pencemaran bahan organik dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:

a. Jenis Intoleran

Jenis intoleran memiliki kisaran toleransi yang sempit terhadap pencemaran dan tidak tahan terhadap tekanan lingkungan, sehingga hanya hidup dan berkembang di perairan yang belum atau sedikit tercemar.

b. Jenis Toleran

Jenis toleran mempunyai daya toleran yang lebar, sehingga dapat berkembang mencapai kepadatan tertinggi dalam perairan yang tercemar berat.

c. Jenis Fakultatif

Jenis fakultatif dapat bertahan hidup terhadap lingkungan yang agak lebar, antara perairan yang belum tercemar sampai dengan tercemar sedang dan masih dapat hidup pada perairan yang tercemar berat.

(27)

Menurut Vemiati (1987) dalam Fachrul (2007) jenis yang berbeda menunjukkan reaksi yang berbeda terhadap pencemaran, sehingga dengan adanya jenis bentos tertentu dapat dijadikan petunjuk untuk menafsir kualitas suatu badan air tertentu, misalnya keberadaan cacing Polychaeta dari suku Capitellidae, yaitu Capitella capitella menunjukkan perairan tercemar dan Capitella ambiesta terdapat pada lingkungan yang tidak tercemar selanjutnya Tesky (2002) mengatakan spesies indikator merupakan organisme yang dapat menunjukkan kondisi lingkungan secara akurat yang juga dikenal dengan bioindikator.

Makrozoobentos umumnya sangat peka terhadap perubahan lingkungan perairan yang ditempatinya, karena itulah makroinvertebrata ini sering dijadikan sebagai indikator ekologi di suatu perairan dikarenakan cara hidup, ukuran tubuh, dan perbedaan kisaran toleransi di antara spesies di dalam lingkungan perairan. Alasan pemilihan makrozoobentos sebagai indikator ekologi menurut Wilhm (1978), dan Oey et al, (1980) dalam Wargadinata (1995) adalah sebagai berikut:

a. Mobilitas terbatas sehingga memudahkan dalam pengambilan sampel. b. Ukuran tubuh relatif besar sehingga memudahkan untuk identifikasi.

c. Hidup di dasar perairan, relatif diam sehingga secara terus menerus terdedah (exposed) oleh air sekitarnya.

d. Pendedahan yang terus menerus mengakibatkan makrozoobentos dipengaruhi oleh keadaan lingkungan.

Menurut Purnomo (1989) kelebihan penggunaan makrozoobentos sebagai indikator pencemaran organik adalah mudah diidentifikasi, bersifat immobil, dan

(28)

memberikan tanggapan yang berbeda terhadap berbagai kandungan bahan organik, sedangkan kelemahannya adalah karena penyebarannya mengelompok dipengaruhi oleh faktor hidrologis seperti arus dan kondisi substrat dasar. Menurut Cole (1983) zoobentos juga berperan dalam proses mineralisasi dan pendaurulangan bahan-bahan organik, baik yang berasal dari perairan (autokton) maupun dari daratan (allokton) serta menduduki urutan kedua dan ketiga dalam rantai kehidupan suatu komunitas perairan.

Banyaknya bahan pencemar dalam perairan dapat memberikan dua pengaruh terhadap organisme perairan, yaitu dapat membunuh spesies tertentu dan sebaliknya dapat mendukung perkembangan spesies lain. Jadi bila air tercemar ada kemungkinan terjadi pergeseran dari jumlah spesies yang banyak dengan populasi yang sedang menjadi jumlah spesies yang sedikit tapi populasinya tinggi. Oleh karena itu penurunan dalam keanekaragaman spesies dapat juga dianggap sebagai suatu pencemaran (Sastrawijaya, 2000).

Menurut Rini (2007), beberapa jenis makrozoobentos, serangga ordo Ephemeroptera, Plecoptera dan Trichoptera membutuhkan kualitas air dengan kandungan oksigen terlarut yang tinggi dan keberadaannya menjadi indikasi kualitas air yang masih baik selanjutnya Sutapa et al (1999) mengatakan Ephemeroptera, Plecoptera dan Trichoptera merupakan kelompok intoleran terhadap polutan organik dan konsentrasi logam yang tinggi dari limbah yang masuk ke badan perairan. Jenis makrozoobentos lainnya dapat bertahan hidup di perairan dengan kandungan oksigen rendah karena memiliki saluran pernafasan yang menyerupai snorkel dan dapat

(29)

menyimpan dan membawa gelembung udara atau oksigen di dalam tubuhnya atau di bawah bagian sayapnya.

Tekanan karena buangan bahan organik mengakibatkan terjadinya pembatasan variasi makrozoobentos, yang berarti hanya beberapa jenis saja yang mampu hidup dalam kondisi tersebut. Pengaruh dari perubahan substrat dan adanya bahan kimia beracun akan menurunkan jumlah bahkan menghilangkan beberapa jenis makrozoobentos pada daerah tersebut. Perbedaan batas toleransi antara populasi terhadap faktor-faktor lingkungan mempengaruhi kemampuan berkompetisi. Jika kondisi lingkungan perairan menurun karena pencemaran maka jenis organisme yang tidak toleran terhadap kondisi tersebut akan menurun populasinya, sebaliknya jenis-jenis organisme yang mempunyai toleransi terhadap kondisi tersebut akan meningkat populasinya karena jenis-jenis kompetitornya berkurang. Jenis-jenis organisme yang dapat bertahan tersebut biasanya akan mendominasi komunitasnya. Menurut Vemiati (1987) dalam Fachrul (2007) berdasarkan derajat toleransinya terhadap pencemaran, bentos dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Jenis yang tahan terhadap bahan pencemar.

Contoh : Cacing Tubificid, larva nyamuk, siput, terutama Masculium sp dan Psidium sp.

b. Jenis yang lebih jernih (bersih)

(30)

c. Jenis yang hanya senang bersih

Contoh: Siput dari Vivinatidae dan Amnicolidae, serangga (larva/nimfa) dari bangsa Ephemeridae, Odonata, Hemiptera, dan Coleoptera.

2.5. Faktor-faktor Abiotik yang Mempengaruhi Makrozoobentos

Sifat fisika kimia perairan sangat penting dalam ekologi. Oleh karena itu selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik seperti makrozoobentos, perlu juga dilakukan pengamatan faktor-faktor abiotik perairan. Dengan mempelajari aspek saling ketergantungan antara organisme dengan faktor-faktor abiotiknya maka akan diperoleh gambaran tentang kualitas suatu perairan.

Faktor abiotik (fisika dan kimia) perairan yang mempengaruhi kehidupan makrozoobentos, antara lain:

a. Suhu

Kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologis dan fisiologis di dalam ekosistem sangat dipengaruhi oleh suhu. Suhu mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelarutan oksigen di dalam air, apabila suhu air naik maka kelarutan oksigen di dalam air menurun. Bersamaan dengan peningkatan suhu juga akan mengakibatkan peningkatan aktivitas metabolisme akuatik, sehingga kebutuhan akan oksigen juga meningkat (Sastrawijaya, 2000). Brehm dan Meijering (1990) dalam Barus (1996) menyatakan bahwa akibat meningkatnya laju respirasi akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat, sementara di sisi lain dengan

(31)

naiknya suhu akan menyebabkan kelarutan oksigen dalam air menjadi berkurang. Menurut Suriawiria (1996) kenaikan suhu pada perairan dapat menyebabkan penurunan oksigen terlarut. Suhu merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan hewan bentos. Batas toleransi hewan terhadap suhu tergantung kepada spesiesnya. Umumnya suhu di atas 30°C dapat menekan pertumbuhan populasi hewan bentos (Nybakken, 1992).

b. Disolved Oxygen (DO)

Disolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Kehidupan di air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimum sebanyak 5 mg oksigen setiap liter air (Sastrawijaya, 2000).

Oksigen terlarut di dalam air dihasilkan dari proses fotosintesis tumbuhan air dan dari udara yang masuk melalui proses difusi yang secara lambat menembus permukaan air (Wardhana, 1995). Menurut Mahida (1993) kelarutan oksigen di dalam air bergantung pada keadaan suhu, pergolakan di permukaan air, luasnya daerah permukaan air yang terbuka bagi atmosfer, tekanan atmosfer, dan persentase oksigen di udara sekelilingnya.

Penambahan bahan organik maupun anorganik berupa limbah ke dalam perairan selain mengubah susunan kimia air, juga mempengaruhi sifat-sifat biologi dari perairan tersebut. Banyaknya bahan organik di dalam perairan menyebabkan menurunnya kadar oksigen terlarut di dalam perairan dan jika keadaan ini berlangsung lama menyebabkan perairan menjadi anaerob, sehingga organisme aerob akan mati.www.famu.org/mayfly/h/pubhandayanis.

(32)

c. Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Biochemical Oxygen Demand atau kebutuhan oksigen biologis adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik di dalam air lingkungan untuk memecah (mendegradasi) bahan buangan organik yang ada di dalam air lingkungan tersebut. Pembuangan bahan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup (Wardhana, 1995).

Pengukuran BOD merupakan salah satu pengukuran yang digunakan untuk menentukan kualitas suatu perairan. Nilai BOD dapat dinyatakan sebagai jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam proses penguraian senyawa organik, biasanya pada suhu 20°C. Penentuan oksigen terlarut merupakan dasar utama dalam pengukuran BOD (Mahida, 1993). Pengukuran BOD yang umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 hari (BOD5), karena dari hasil penelitian

bahwa setelah pengukuran dilakukan selama lima hari jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai 70% (Barus, 1996).

d. Chemycal Oxygen Demand (COD)

Chemycal Oxygen Demand merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses oksidasi kimia yang dinyatakan dalam mg O2/l. Dengan mengukur nilai

COD akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang mudah diuraikan secara

(33)

biologis maupun terhadap yang sukar atau tidak bisa diuraikan secara biologis (Barus, 2004).

Chemical Oxygen Demand erat kaitannya dengan BOD. Banyak zat organik yang tidak mengalami penguraian biologi secara cepat berdasarkan pengujian BOD5

tetapi senyawa-senyawa organik itu tetap menurunkan kualitas air, karena itu perlu diketahui konsentrasi organik dalam limbah dan setelah masuk dalam perairan. Untuk itulah tujuan diadakannya uji COD. Pengujian COD dilakukan dengan mengambil contoh dengan volume tertentu yang kemudian dipanaskan dengan larutan kalium dikromat dengan kepekatan tertentu yang jumlahnya sedikit di atas yang diperlukan. Dengan katalis asam sulfat diperlukan waktu dua jam, maka kebanyakan zat organik telah teroksidasi. Dengan penentuan jumlah kalium dikromat yang dipakai, COD contoh dapat dihitung.

e. Derajat Keasaman

Pengukuran pH adalah suatu yang penting, karena banyak reaksi kimia dan biokimia yang penting terjadi pada tingkat pH (Mahida, 1993). Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang sangat basa maupun yang sangat asam akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi (Barus, 1996). Adanya ion-ion seperti besi sulfur (FeS) dalam jumlah yang tinggi dalam air meningkatkan keasaman karena FeS dengan udara dan air akan membentuk H2SO4 dan besi yang larut (Fardiaz, 1992).

(34)

f. Kandungan Nitrat

Keberadaan senyawa nitrogen dalam perairan dengan kadar yang berlebihan dapat menimbulkan permasalahan pencemaran. Kandungan nitrogen yang tinggi di suatu perairan dapat disebabkan oleh limbah yang berasal dari limbah domestik, pertanian, peternakan dan industri. Hal ini berpengaruh terhadap kelimpahan fitoplankton sebagai makanan makrozoobentos. Sumber makanan manusia dan hewan pada umumnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis tipe zat nutrisi yaitu karbohidrat, lemak dan protein. Dengan demikian kandungan limbah domestik pada umumnya juga terdiri dari ketiga jenis zat nutrisi tersebut.

Produk penguraian karbohidrat dianggap tidak mempunyai masalah yang serius bagi ekosistem perairan, karena berbagai jenis bakteri dan jamur dapat mengkonsumsinya. Yang dapat menimbulkan masalah adalah produk dari penguraian zat nutrisi lemak dan terutama protein yang berupa amonium (NH4+) atau amoniak

(NH3). Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan untuk dapat

tumbuh dan berkembang, sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisma air. Keberadaan nitrat di perairan sangat dipengaruhi oleh buangan yang dapat berasal dari industri, bahan peledak, pirotehnik dan pemupukan. Secara alamiah kadar nitrat biasanya rendah namun kadar nitrat dapat menjadi tinggi sekali dalam air tanah di daerah yang diberi pupuk nitrat/nitrogen (Alaerts et al, 1987). Proses oksidasi amonium menjadi nitrit dilakukan oleh jenis-jenis bakteri seperti Nitrosomonas:

(35)

NH4 + O2 NO2

(Amonium) Nitrosomonas (Nitrit)

Selanjutnya nitrit oleh aktivitas bakteri dari kelompok Nitrobacter akan dioksidasi lebih lanjut menjadi nitrat:

NO2 + O2 NO3

(Nitrit) Nitrobacter (Nitrat) (Barus, 2004). g. Kandungan Fosfat

Seperti halnya nitrogen, fosfor merupakan unsur penting dalam suatu ekosistem air. Zat-zat organik terutama protein mengandung gugus fosfor, misalnya ATP, yang terdapat di dalam sel makhluk hidup dan berperan penting dalam penyediaan energi. Dalam ekosistem fosfor terdapat dalam tiga bentuk yaitu senyawa fosfor anorganik seperti ortofosfat, senyawa organik dalam protoplasma dan sebagai senyawa organik terlarut yang terbentuk dari proses penguraian tubuh organisme (Barus, 2004).

Ortofosfat merupakan bentuk fosfat yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat terlebih dahulu sebelum dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfor. Kandungan fosfat yang terdapat di perairan umumnya tidak lebih dari 0,1 mg/l, kecuali pada perairan yang menerima limbah dari rumah tangga dan industri tertentu, serta dari daerah pertanian yang mendapat pemupukan fosfat. Oleh karena itu,

(36)

perairan yang mengandung kadar fosfat yang cukup tinggi melebihi kebutuhan normal organisme akuatik akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi.

h. Substrat Dasar

Susunan substrat dasar penting bagi organisme yang hidup di zona dasar seperti bentos, baik pada air diam maupun pada air yang mengalir (Michael, 1994). Karena jenis bentos sangat dipengaruhi oleh jenis substrat alami dan pergerakan air di danau (Hutchinson, 1993). Menurut Odum (1994) bahan organik utama yang terdapat di dalam air adalah asam amino, protein, karbohidrat, dan lemak. Komponen lain seperti asam organik, hidrokarbon, vitamin, dan hormon juga ditemukan di perairan, tetapi hanya 10% dari material organik tersebut yang mengendap sebagai substrat ke dasar perairan.

Substrat batu menyediakan tempat bagi spesies yang melekat sepanjang hidupnya, juga digunakan oleh hewan yang bergerak sebagai tempat perlindungan dari predator. Substrat dasar yang halus seperti lumpur, pasir dan tanah liat menjadi tempat makanan dan perlindungan bagi organisme yang hidup di dasar perairan (Lailli dan Parsons, 1993). Substrat dasar yang berupa batu-batu pipih dan batu kerikil merupakan lingkungan hidup yang baik bagi makrozoobentos sehingga bisa mempunyai kepadatan dan keanekaragaman yang besar (Odum, 1994). Menurut Koesoebiono (1979) dasar perairan yang berupa pasir dan sedimen halus merupakan lingkungan hidup yang kurang baik untuk hewan bentos.

(37)

i. Bakteri Coli (Colifekal)

Eschericha coli pada awalnya dikenal sebagai Bacterium coli, diidentifikasi oleh Theodor Escherich tahun 1885. Bakteri ini banyak terdapat di saluran pencernaan manusia serta hewan berdarah File://F:\index.php.htm. Colifekal adalah bakteri coli yang berasal dari kotoran manusia dan hewan Mamalia. Bakteri ini bisa masuk ke perairan bila ada buangan feses yang masuk ke dalam badan air. Kehadiran bakteri colifekal di dalam air mengindikasikan perairan itu kemungkinan tercemar sehingga tidak bisa dijadikan sebagai sumber air minum (Sastrawijaya, 2000).

Pencemaran air oleh pembuangan kotoran yang belum diolah dapat ditemukan dengan menguji air tersebut untuk mengetahui adanya bakteri-bakteri berbentuk coli yang hanya ditemukan di dalam saluran pencernaan mamalia. Tidak semua bentuk coli berasal dari feses. Karena bentuk coli feses tidak tumbuh normal di luar saluran pencernaan, maka kehadiran mereka di air tanah merupakan petunjuk yang pasti dari pencemaran oleh pembuangan kotoran (Michael, 1994). Ada korelasi antara jumlah coliform fecal dalam suatu perairan dengan terjangkitnya penyakit yang disebabkan perairan tersebut.

(38)

BAB III

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan di Perairan Danau Toba Kecamatan Balige Kabupaten Tobasa Sumatera Utara. Berdasarkan rona lingkungan yang ada ditetapkan 4 stasiun pengamatan yang berbeda. Perairan ini banyak digunakan untuk berbagai aktivitas masyarakat antara lain transportasi air, budidaya ikan, pariwisata, perhotelan, pemukiman penduduk, peternakan dan pertanian (Lampiran 1).

3.1. Deskripsi Setiap Stasiun Pengamatan a. Stasiun I

Stasiun ini secara geografis terletak pada titik 2°20′09,7″LU dan 99°03′39,2″ BT lokasi ini merupakan Dermaga Kapal yang datang dari Nainggolan, Muara, Sigaol, Panamean, Porsea bahkan dari Parapat. Di sekitar pelabuhan ini banyak dijumpai eceng gondok, dan substrat dasar lumpur dan sepanjang tepi lokasi ini terdapat pemukiman penduduk. Dari hasil pengamatan terhadap permukaan air banyak ditemukan sampah berupa limbah organik yang berasal dari rumah tangga, perhotelan, pekan, parit dan limbah berupa minyak yang berasal dari kapal-kapal yang bersandar.

b. Stasiun II

Stasiun ini secara geografis terletak pada titik 2°20′42,2″LU dan 99°03′59,3″BT. Pada lokasi ini banyak ditemukan usaha peternakan ikan dalam

(39)

bentuk keramba yang dimiliki oleh penduduk Lumban Bulbul tersebut. Di sekitar lokasi ini juga ditemukan pemukiman penduduk, persawahan dan mereka langsung membuang limbahnya ke danau. Di sekitar perairan ini banyak ditemukan eceng gondok dan tumbuhan hydrilla. Lokasi ini juga didominasi oleh substrat berlumpur dan sedikit pasir, diperkirakan terindikasi tercemar limbah domestik dan sisa pakan-pakan ikan yang terlarut masuk ke dalam perairan Danau Toba.

c. Stasiun III

Stasiun ini secara geografis terletak pada titik 2°20′56,2″ LU dan 99°02′34,1″BT. Pada lokasi yang berdekatan dengan pemukiman penduduk di Lumban Silintong dengan daerah pemandian untuk wisata dan banyak restoran serta pondok-pondok untuk bersantai. Pada lokasi ini juga ditemukan eceng gondok dan hydrilla beserta tumbuhan lainnya dan substrat dasar pasir berbatu. Lokasi ini diperkirakan terindikasi limbah domestik yang masuk ke dalam perairan Danau Toba. d. Stasiun IV

Stasiun ini secara geografis terletak pada titik 2°21′38,3″LU dan 99°01′30,7″ BT. Stasiun IV merupakan lokasi pembanding, karena perairan ini cukup jernih dan jauh dari pemukiman penduduk berada di sekitar Tara Bunga. Lokasi ini didominasi oleh substrat batu berpasir.

3.2. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah pH meter, termometer, keping sechii, Lamnot, Eckman Grabb, pipet tetes, erlenmeyer 125 ml,

(40)

split, ember 5 liter, botol film, cool box, tali plastik, plastik 5 kg, lakban, kertas label, pensil, spidol, botol alkohol dan GPS. Sedangkan bahan yang digunakan adalah MnSO4, KOHKI, H2SO4, Na2S2O3, alkohol dan amilum.

3.3. Metode Pengambilan Sampel

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2008 sampai Pebruari 2009 pengambilan sampling makrozoobentos dilakukan menggunakan

Metode Purposive Random Sampling dengan menentukan empat stasiun penelitian yang dibagi dalam tiga sub stasiun. Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan sebanyak 3 kali pada setiap sub stasiun.

Sampel makrozoobentos diambil menggunakan jala surber apabila lokasi pengambilan sampel dangkal dan menggunakan Eckman grabb jika lokasi pengambilan sampel dalam. Jala surber diletakkan di dasar danau, kemudian substrat dikeruk sehingga makrozoobentos terjaring dalam jala sedangkan pengambilan sampel dengan Eckman grabb dilakukan dengan cara menurunkannya hingga ke dasar danau dengan kondisi terbuka. Pada saat mencapai dasar danau, pemberat diturunkan sehingga Eckman grabb menutup bersamaan dengan masuknya substrat. Sampel yang didapat disortir menggunakan tangan untuk sampel yang berukuran besar dan metode pengapungan untuk sampel berukuran kecil (yang tidak bisa disortir) selanjutnya sampel dibersihkan dengan air dan direndam dengan formalin 4% selama 1 hari, kemudian dicuci dan dikeringkan, selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam botol sampel yang telah diisi alkohol 70% sebagai pengawet, lalu diberi

(41)

label. Sampel dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi dengan menggunakan buku acuan Edmonson (1959) dan Pennak (1978).

3.5. Pengukuran Faktor Fisika dan Kimia Perairan

Metode dan alat ukur yang digunakan untuk menganalisa faktor fisika dan kimia dalam penelitian ini:

a. Suhu Air (◦C) Diukur dengan Termometer Air Raksa

Sampel air diambil dari dasar danau dengan menggunakan tabung lamnot, kemudian dituang ke erlenmeyer dan diukur suhu dengan termometer air raksa selama 10 menit lalu dibaca skalanya.

b. Penetrasi Cahaya, Diukur dengan Menggunakan Keping Secchi

Keping secchi dimasukkan ke dalam badan air sampai keping secchi tidak kelihatan dan kemudian diukur kedalaman penetrasi cahaya dengan cara menghitung jumlah bulatan pada tali yang masing-masing berjarak 20 cm. Kedalaman diukur dengan menggunakan tali berskala yang diberi pemberat. Tali dimasukkan ke dalam air sampai mencapai dasar kemudian diukur skala pada tali tersebut.

c. Oksigen Terlarut (mg/l) Diukur dengan Metoda Winkler

Air diambil dari danau kemudian diberi perlakuan sesuai dengan metoda yang terdapat pada Lampiran 2.

(42)

d. BOD (mg/l) Diukur dengan Metode Winkler

Sampel air diambil dari danau kemudian diberi perlakuan sesuai dengan metode yang terdapat pada Lampiran 3.

e. COD (mg/l) Diukur dengan Metode Winkler

Sampel air diambil dari danau kemudian diberi perlakuan sesuai dengan metode yang terdapat pada Lampiran 4.

f. Kandungan Nitrat

Sampel air diambil sebanyak 5 ml, kemudian ditetesi dengan1ml NaCl selanjutnya

ditambahkan 5 ml H2SO4 75% dan 4 tetes asam Brucine Sulfat Sulfanik. Larutan ini

dipanaskan selama 25 menit pada suhu 95 °C kemudian didinginkan selanjutnya kandungan nitrat dapat diukur dengan spektrofotometer pada ë = 410 nm. Alur kerja terlampir (Lampiran 5).

g. Ortofosfat

Sampel air diambil sebanyak 5 ml kemudian ditetesi dengan reagen Amstrong sebanyak 2 ml selanjutnya ditambahkan 1 ml asam askorbat. Larutan didiamkan selama 20 menit kemudian konsentrasi fosfat diukur dengan spektrofotometer pada ë =880 nm. Alur kerja terlampir (Lampiran 6).

h. Jenis Substrat/Fraksi Substrat

Sampel substrat dari dasar perairan, dibawa ke Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara untuk dianalisis.

(43)

i. Derajat Keasaman Diukur dengan pH Meter

Air dari dasar perairan diambil dengan menggunakan tabung lamnot kemudian dituang ke erlenmeyer, elektroda pH meter dicelupkan ke dalam sampel air, dibaca nilai pH yang tertera.

j. Kandungan Organik Substrat (%)

Substrat dikeringkan dan diayak, kemudian tanah atau substrat ditimbang sebanyak 0,5 gram, dimasukkan dalam erlenmeyer 250 ml, ditambahkan 5 ml Kalium bikromat (K2Cr2O7)IN. Kemudian ditambahkan 10ml H2SO4 pekat dan

dibiarkan selama 30 menit, ditambahkan 100 ml aquadest, 5 ml asam posphat (H3PO4) 85% 2,5 ml NaFe 4%, 5 tetes diphenil amino. Kemudian dititrasi dengan

Fe (NH4) SO4 0,5 N (dicatat volume titrasi yang merupakan hasil) dan hitung

kandungan organik substrat (Lampiran 7). k. Bakteri Coli (Colifekal)

Sampel air yang diperiksa, diambil dan dimasukkan ke dalam botol sampel yang sudah disterilkan, kemudian ditutup dengan tutup botol yang steril dan diawetkan dengan es biasa atau es kering (CO2) selanjutnya dilakukan tahap:

a. Uji pendugaan (Presumptive Test). b. Uji penegasan (Confirmed Test). c. Uji lengkap (Completed Test).

Hasil analisis yang didapatkan disesuaikan dengan tabel yang memberikan The Most Probable Number atau Angka Perkiraan Terdekat, yang tergantung dari kombinasi tabung positif (yang mengandung bakteri coli) dan negatif (yang tidak

(44)

mengandung) dari tahap test. Angka tersebut tidak menunjukkan konsentrasi yang sebenarnya, tetapi berlaku sebagai angka penunjuk coli tinja. Alur kerja terlampir (Lampiran 12).

Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia berserta satuan dan alat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisika, Kimia dan Biologi Perairan

3.6. Penentuan Status Mutu Air dengan Metode Storet

Secara prinsip metode Storet adalah membandingkan antar data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status mutu air. Untuk Danau Toba, peruntukannya adalah air golongan I karena Danau Toba juga dipakai untuk sumber air minum. Cara menentukan status mutu air adalah dengan menggunakan sistem nilai dari United State Environmental Protection Agency (US- EPA) dengan mengklasifikasikan mutu air dalam 4 kelas yaitu:

No Parameter

Fisik-Kimia-Biologi Satuan Alat Tempat Pengukuran

1 Suhu Air °C Termometer Air Raksa In - situ

2 Penetrasi Cahaya Cm Keping Sechii In - situ

3 BOD5 mg/l Metoda Winkler Lab.Kimia Puslit USU

4 COD mg/l Refluks Titrimetri Lab.Kimia Puslit USU

5 pH Air - pH meter In - situ

6 DO mg/l Metoda Winkler Lab.Kimia PuslitUSU

7 Kejenuhan Oksigen % Metoda Winkler In - situ

8 Nitrat mg/l Spektrofotometri Lab.Uji Mutu-LP USU

9 Fosfat mg/l Spektrofotometri Lab.Uji Mutu-LP USU

10 Substrat Organik % - Lab.Uji Mutu-LP USU

11 Total Coliform Jml/

(45)

1. Kelas A : Baik sekali, skor = 0 → memenuhi baku mutu 2. Kelas B : Baik, skor = -1 s/d -10 → tercemar ringan 3. Kelas C : Sedang, skor = -11 s/d -30 → tercemar sedang 4. Kelas D : Buruk, skor ≥-31 → tercemar berat

Prosedur penggunaan:

1. Dilakukan pengumpulan data kualitas air dan debit air sehingga membentuk data.

2. Dibandingkan data hasil pengukuran dan masing-masing parameter air dengan nilai baku mutu yang sesuai dengan kelas air.

3. Jika hasil pengukuran memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran ≤ baku mutu) maka diberi skor 0.

4. Jika hasil pengukuran tidak memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran > baku mutu) maka diberi skor, dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Penentuan Sistem Nilai untuk Menentukan Status Mutu Air Parameter

Jumlah

Parameter Nilai Fisika Kimia Biologi

< 10 ≥ 10 Maksimum Minimum Rata-rata Maksimum Minimum Rata-rata -1 -1 -3 -2 -2 -6 -2 -2 -6 -4 -4 -12 -3 -3 -9 -6 -6 -18

5. Jumlah negatif dari seluruh parameter dihitung dan ditentukan status mutunya dari jumlah skor yang didapat dengan menggunakan sistem nilai.

(46)

3.7. Analisis Data

Data yang diperoleh, diolah dengan menghitung kepadatan populasi, kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon-Wiener, indeks equitabilitas, indeks similaritas dan analisis korelasi Pearson, dengan persamaan sebagai berikut:

a. Kepadatan Populasi (K)

K = Area Luas Jenis Suatu Individu Jumlah (Brower et al, 1990)

b. Kepadatan Relatif (KR)

KR = x100% Jenis Seluruh Kepadatan Jumlah Jenis Suatu Kepadatan (Michael, 1984)

c. Frekuensi Kehadiran (FK)

FK = x100% Plot Total Jumlah Jenis Suatu Ditempati yang Plot Jumlah

Dimana : FK = 0-25 % : Kehadiran sangat jarang FK = 25-50% : Kehadiran jarang FK = 50-75 % : Kehadiran sedang

FK > 75% : Kehadiran sering/absolut d. Indeks Diversitas Shannon-Wiener (H’)

H’ =

  S I pi pi 1 ln (Koesoebiono, 1987)

Di mana: H’ = Indeks Diversitas

(47)

s = Jumlah jenis In = Logaritma nature

e. Indeks Equitabilitas (E) Keseragaman

E = max H H = ) ( ln ' s H (Michael, 1984) H = Indeks diversitas Shannon-Wiener

Hmax = Keanekaragaman spesies maximum

= In s (s = banyaknya spesies) dengan nilai E berkisar antara 0 – 1

f. Indeks Similaritas (IS)

IS = 2 x100%

b a

c

 (Michael, 1984)

Dengan a = Jumlah spesies pada lokasi a b = Jumlah spesies pada lokasi b

c = Jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b IS = 75 – 100 : sangat mirip

50 – 75 : mirip 25 – 50 : tidak mirip IS < 25 : sangat tidak mirip g. Indeks Morisita

Untuk mengetahui distribusi atau sebaran makrozoobentos apakah berkelompok, acak dan teratur di dalam perairan dicari melalui indeks Morisita dengan rumus sebagai berikut (Krebs, 1989):

(48)

Id = n

 

      

2 1 N N N x Di mana: Id = Indeks Morisita n = Jumlah plot 2

x = Kuadrat jumlah individu per plot untuk total n plot N = Jumlah total individu per plot untuk total n plot Dengan kriteria sebagai berikut (Bengen, 1998)

Id = 0 ... distribusi acak atau random Id > 1 distrbusi berkelompok

Id < 1 distribusi normal h. Analisis Korelasi

Analisis korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui keberartian hubungan antara keanekaragaman dan kelimpahan makrozoobentos yang terdapat di Perairan Danau Toba Balige dengan sifat fisik-kimia airnya. Analisis dilakukan dengan metoda komputerisasi SPSS Versi 16.00 (Sugiyono, 2005).

(49)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Klasifikasi Makrozoobentos

Makrozoobentos yang berhasil diidentifikasi dalam penelitian ini terdiri dari 5 Kelas Invertebrata yaitu: Crustaceae yang terdiri dari 1 spesies, Gastropoda yang terdiri dari 14 spesies, Hirudinae terdiri dari 1 spesies, Insecta terdiri dari 1 spesies dan Oligochaeta terdiri dari 1 spesies seperti tertera pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Klasifikasi Makrozoobentos yang Didapatkan pada Setiap Stasiun Penelitian di Beberapa Lokasi di Danau Toba, Kecamatan Balige

Kelas Ordo Famili Spesies

Crustaceae Decapoda Palaemonidae 1. Palaemonetes sp

Archaegastropoda Heliciidae 2. Pila sp

Ampularidae 3. Helicina sp Limnaeidae 4. Pseudosucinaea sp Phsydae 5. Haitia sp Basommatophora Planorbidae 6. Indoplanorbis sp 7. Parapholix sp Hydrobidae 8. Floridobia sp Pleuroceridae 9. Elimia sp 10. Pleurocera sp Thiaridae 11. Ademietta sp 12. Melanoides sp 13. Thiara sp Truncatellidae 14. Truncatella sp Gastropoda Mesogastropoda Viviparidae 15. Trochotaia sp

Hirudinae Rhynchobdelida Glossiphoniidae 16. Glossiphonia sp

Coleoptera Hydrophilidae 17. Enochrus sp

Diptera Chironomidae 18. Chironomus sp

Insecta

Ephemroptera Necephemeridae 19. Neoephemera sp

Tricoptera Philopotamidae 20. Chimarra sp

(50)

4.1.1. Ciri Morfologi

a. Palaemonetes sp

Tubuhnya berwarna putih kekuningan dan terdapat bintik-bintik hitam di sekitar tubuh. Karapaks menutupi seluruh bagian tubuh, rostrum bergerigi. Bagian caput sebelah kanan lebih besar dari sebelah kiri (Gambar 4.1).

Gambar 4.1. Palaemonetes sp b. Pila sp

Ukuran tubuh berkisar antara 3-10 cm, bagian atas cangkangnya pendek sedangkan bagian bawahnya membengkak serta warna tubuh kuning kecoklatan. cangkang besar, memiliki 4 garis pertautan. Celah mulut lebar dengan tipe apeks tumpul (Gambar 4.2).

(51)

c. Helicina sp

Cangkangnya berbentuk seperti piramid dan berukuran kecil, operculumnya berkapur. Berukuran 0,5 mm - 60 cm, tetapi umumnya 10 mm (Gambar 4.3).

Gambar 4.3. Helicina sp d. Pseudosucinaea sp

Ukuran tubuh berkisar antara 3-8 cm, bagian atas cangkangnya pendek sedangkan bagian bawahnya membengkak serta warna tubuh kuning kecoklatan. cangkang besar, memiliki 4 garis pertautan. Celah mulut lebar dengan tipe apeks tumpul (Gambar 4.4)

(52)

e. Haitia sp

Spesies ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 5-8 cm, tipe cangkang memanjang, dengan cangkang berukuran sedang, bagian permukaan cangkang bergelombang dengan apeks yang tumpul, serta memiliki celah mulut yang berukuran sedang (Gambar 4.5).

Gambar 4.5. Haitia sp f. Indoplanorbis sp

Spesies ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2-5 cm, tipe cangkang memanjang dan berukuran sedang, bagian permukaan cangkang lebih bergelombang dengan apeks tumpul dengan celah mulut yang kecil (Gambar 4.6).

(53)

g. Parapholix sp

Spesies ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2-5 cm, tipe cangkang memanjang dan berukuran sedang, bagian permukaan cangkang lebih bergelombang dengan apeks tumpul dengan celah mulut yang kecil (Gambar 4.7).

Gambar 4.7. Parapholix sp h. Floridobia sp

Spesies ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2-9 cm, tipe cangkang memanjang dan berukuran sedang, bagian permukaan cangkang lebih bergelombang dan mengkilap dengan apeks tumpul dengan celah mulut yang besar (Gambar 4.8).

(54)

i. Elimia sp

Spesies ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2-5 cm, tipe cangkang memanjang dan berukuran sedang, bagian permukaan cangkang lebih bergelombang dengan apeks tumpul dengan celah mulut yang sedang (Gambar 4.9).

Gambar 4.9. Elimia sp j. Pleurocera sp

Spesies ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2-7 cm, tipe cangkang memanjang dan berukuran sedang, bagian permukaan cangkang lebih bergelombang dengan apeks tumpul dengan celah mulut yang kecil (Gambar 4.10).

(55)

k. Ademietta sp

Spesies ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2-8 cm, tipe cangkang memanjang dan berukuran sedang, bagian permukaan cangkang lebih bergelombang dengan apeks tumpul dengan celah mulut yang kecil (Gambar 4.11).

Gambar 4.11. Ademietta sp l. Melanoides sp

Spesies ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2-9 cm, tipe cangkang memanjang dan berukuran sedang, bagian permukaan cangkang lebih bergelombang dengan apeks tumpul dengan celah mulut yang kecil (Gambar 4.12).

(56)

Gambar 4.12. Melanoides sp m. Thiara sp

Spesies ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2-6 cm, tipe cangkang memanjang dan berukuran sedang, bagian permukaan cangkang lebih bergelombang dengan apeks tumpul dengan celah mulut yang sedang (Gambar 4.13).

Gambar 4.13. Thiara sp

n. Truncatella sp

Spesies ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2-10 cm, tipe cangkang memanjang dan berukuran sedang, bagian permukaan cangkang lebih licin dengan apeks tumpul dengan celah mulut yang besar (Gambar 4.14).

(57)

Gambar 4.14. Truncatella sp o. Trochotaia sp

Spesies ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2-6 cm, tipe cangkang memanjang dan berukuran sedang, bagian permukaan cangkang lebih tebal dengan apeks tumpul dengan celah mulut yang kecil (Gambar 4.15).

Gambar 4.15. Trochotaia sp p. Glossiphonia sp

Spesies ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2-7 cm, tubuh lunak, memanjang dan berukuran sedang (Gambar 4.16).

(58)

Gambar 4.16. Glossiphonia sp q. Enochrus sp

Spesies ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2-9 cm, bentuk tubuh memiliki ruas, memanjang dan berukuran sedang, bagian permukaan tubuh lunak, dengan celah mulut yang kecil (Gambar 4.17 ).

Gambar

Tabel 3.1.  Alat  dan  Satuan  yang  Dipergunakan  dalam  Pengukuran  Faktor        Fisika, Kimia dan Biologi Perairan
Tabel 3.2. Penentuan Sistem Nilai untuk Menentukan Status Mutu Air                                                       Parameter
Tabel 4.1. Klasifikasi Makrozoobentos yang Didapatkan pada Setiap Stasiun  Penelitian di Beberapa Lokasi di Danau Toba, Kecamatan Balige
Gambar 4.1. Palaemonetes sp
+7

Referensi

Dokumen terkait

Aset keuangan dan liabilitas keuangan saling hapus dan nilai netonya disajikan dalam laporan posisi keuangan konsolidasian jika, dan hanya jika, terdapat hak yang berkekuatan

Virtual lab statistika ini dibuat dengan tujuan agar memudahkan mahasiswa Universitas Gunadarma khususnya jurusan Teknik Informatika untuk menjalani praktikum statistika tanpa

Didapatkan suatu fakta bahwa pada Fungsi Faktorial dan Fibonacci rata-rata penggunaan sumber daya CPU pada Q-Equational sebesar 2 % sedangkan pada MATLAB sebesar 4 %, namun

Rekonsiliasi antara rugi sebelum pajak penghasilan, seperti yang disajikan dalam laporan laba rugi komprehensif konsolidasian, dengan taksiran penghasilan kena pajak

Cara penggalangan sumber dana untuk dana operasional pendidikan, riset, pengabdian masyarakat, dan dana invesitasi untuk menunjang penyelenggaraan Program Studi

Dalam hal ini guru sekolah dasar negeri yang mengajar di SD Negeri Kecamatan Semarang Tengah dituntut untuk dapat menjalankan tugasnya dengan baik sesuai dengan peraturan yang

Contoh sikap percaya diri yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari hari adalah.... Rajin belajar dan tekun

Kepuasan  kerja  yang  dirasakan  oleh  auditor  terhadap  pekerjaannya  dapat dipengaruhi  oleh 2  dimensi  komitmen  yaitu komitmen  organisasional  dan