• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. (KAPUSLITDATIN BNN) Darwin Butar Butar pada tahun 2013 dalam acara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. (KAPUSLITDATIN BNN) Darwin Butar Butar pada tahun 2013 dalam acara"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kepala Pusat Penelitian Data dan Informasi Badan Narkotika Nasional (KAPUSLITDATIN BNN) Darwin Butar Butar pada tahun 2013 dalam acara rapat koordinasi implementasi kebijakan dan strategi nasional pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba (Jakstranas P4GN 2011 s/d 2015), menjelaskan bahwa penyalahgunaan narkoba di Indonesia telah menjadi ancaman nasional yang perlu diperhatikan secara seksama dan multidimensional, baik ditinjau dari segi mikro (keluarga) maupun makro (ketahanan nasional), serta dampak buruknya di bidang ekonomi dan sosial. Dalam beberapa tahun terakhir penyalahgunaan narkoba meningkat pesat dalam segi jumlah pengguna. Berikut tabel proyeksi persentase peningkatan pengguna Narkoba dari tahun 2008 hingga 2013.

Tabel 1.Persentase peningkatan penyalahguna narkoba di Indonesia (2008-2013)

(2)

Pada tabel 1 dapat dilihat peningkatan penyalahgunan narkoba selama 5 tahun (2008–2013). Pada semua kelompok penyalahguna narkoba tersebut dipilah menurut kelompok pelajar/mahasiswa dan kelompok bukan pelajar/mahasiswa. Angka prevalensi penyalahguna narkoba disetiap kelompok kemudian dibagi menurut jenis penyalahguna yaitu coba pakai, teratur pakai, dan pecandu (bukan suntik dan suntik). Pada kelompok pelajar/mahasiswa yang coba pakai, angka kenaikan pada tahun 2008 sebesar 3,74%, kemudian mengalami kenaikan sekitar 0,27 % setiap tahun hingga mencapai 5,09% pada tahun 2013. Pada subkelompok teratur juga mengalami kenaikan mulai dari 1,7% pada 2008 menjadi 2,31% pada tahun 2013. Hal senada juga terjadi pada subkelompok pecandu bukan suntik dan suntik. Peningkatan juga terjadi pada kelompok bukan pelajar/mahasiswa untuk kenaikan angka prevalensi per tahun pada subkelompok coba pakai yaitu 0,06% kemudian mengalami peningkatan menjadi 0,07% pada tahun 2013. Peningkatan ini juga terjadi pada subkelompok pecandu teratur, begitu pula halnya pada kelompok pecandu suntik dan bukan suntik. Keadaan ini menunjukkan bahwa permasalahan penyalahgunaan narkoba semakin serius.

Menurut Ariesta (2010) penyalahgunaan narkoba adalah "penyakit endemik" dalam masyarakat modern, "korban" umumnya remaja dan dewasa muda. Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi keempat (APA, 2000), penyalahgunaan narkoba disebut juga sebagai substance abuse, yaitu “suatu pola maladaptif dari penggunaan zat yang dapat menyebabkan gangguan klinis yang signifikan atau dapat menyebabkan seseorang menjadi menderita”. Dalam DSM IV-TR juga dijelaskan bahwa gejala-gejala

(3)

penyalahgunaan narkoba (substance abuse) meliputi ketidakmampuan untuk mempertahankan pekerjaan, mengasuh anak atau ketidakmampuan untuk menyelesaikan tugas sekolah, penggunaan obat-obatan pada situasi yang berbahaya dan cukup sering mengalami konflik dengan orang lain akibat penggunaan obat-obatan tersebut.

Wade (2007) menjelaskan bahwa banyak cara dilakukan untuk menanggulangi masalah penyalahgunaan narkoba baik secara preventif maupun represif. Sejalan dengan hal ini Budiarta (dalam Syafnita, 2007) mengemukakan bahwa upaya preventif merupakan pencegahan yang dilakukan agar seseorang jangan sampai terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan narkoba misalnya melakukan penyuluhan ke sekolah-sekolah dan juga melalui iklan/poster anti narkoba kepada semua kalangan. Upaya represif artinya usaha penanggulangan dan pemulihan pengguna narkoba yang mengalami ketergantungan, salah satu usaha represif tersebut adalah dengan melakukan rehabilitasi di pusat rehabilitasi maupun Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO).

Wresniwiro (dalam Syafnita, 2007) mengemukakan bahwa rehabilitasi merupakan usaha untuk penanggulangan dan pemulihan masalah narkoba dengan cara menolong, merawat dan merehabilitasi korban penyalahgunaan obat terlarang, sehingga diharapkan dapat kembali ke lingkungan masyarakat atau dapat bekerja serta belajar dengan layak. Sarafino (2006) menjelaskan bahwa proses pemulihan pecandu narkoba bukanlah suatu proses yang singkat dan dapat dilakukan dengan mudah, sebelum benar-benar dikatakan terbebas dari narkoba

(4)

maka dalam perjalanannya ada saatnya pecandu mengalami relapse. Menurut Sarafino (2006) relapse adalah suatu keadaan kembali pada perilaku sebelumnya, dalam hal ini kembali menggunakan narkoba. Relapse sangat tinggi kemungkinannya terjadi pada minggu atau bulan pertama berhenti dari penggunaan narkoba (Sarafino, 2006).

Menurut data RSKO di Jakarta pada tahun 2012 tingginya potensi relapse pasien narkoba dapat mencapai 60-70 % (dalam BNN, 2013). Hal ini terjadi karena bagi pecandu, usaha untuk menghentikan kecanduan merupakan hal yang sulit sehingga meningkatkan kemungkinan untuk mengalami relapse. Kondisi ini juga tergambar dalam wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan konselor berinisial I pada salah satu pusat rehabilitasi narkoba di kota Medan sebagai berikut:

“Kalau melihat klien kami disini, ada juga yang bolak balik kemari. Disini sering juga menerima klien yang udah pernah keluar masuk tempat rehabilitasi lain. Ada klien yang kalau direhab ini baru pertama kali tapi si klien sebelumnya udah pernah masuk rehabilitasi di tempat lain gitu bang” (I.003, 9 September 2014)

“Kalau klien kami sendiri yang udah keluar dari pemulihan ada juga yang kembali ke mari. Sering juga ada kembali kemari karena alasan udah “goyang” dan tergoda untuk make narkoba lagi jadi daripada tambah parah kliennya minta di rehab lagi” (I.005, 9 September 2014)

“Kadang ada juga yang lari dari rehab karena tidak tahan tidak memakai barang dan pas udah keluar dia udah make narkoba lagi, dan dengan bantuan keluarga dan pihak aparat bisa tertangkap lagi” (I.006, 9 September 2014)

Pernyataan ini menunjukkan suatu kondisi bahwa seorang pecandu memiliki peluang untuk mengalami relapse, mengalami kesulitan untuk

(5)

mempertahankan dirinya agar tetap “bersih” dari narkoba. Hal ini senada dengan pernyataan Minervini (2011) yang menyatakan bahwa tantangan dan hambatan yang dihadapi para pecandu menuju kepulihan sangatlah berat, seorang pecandu harus berusaha untuk memperbaiki komponen-komponen yang telah “rusak” dalam kehidupan mereka, tidak hanya fisik, namun juga mental, sosial, dan spiritual. Pecandu harus berjuang melawan sugesti yang akan berada terus dalam kehidupan mereka bahkan mungkin juga mereka akan membawa sugesti ini sampai akhir kehidupannya. Sugesti atau adanya keinginan/dorongan untuk menggunakan zat ini disebut sebagai craving.

Situasi yang dapat menyebabkan seorang pecandu mengalami craving dan selanjutnya mengalami relapse disebut sebagai high risk situation yaitu situasi yang beresiko tinggi untuk memicu penggunaan narkoba. High risk situation dapat berupa: tekanan psikologis, masalah keluarga, sakit yang dihubungkan dengan masalah medis, hubungan sosial (bertemu dengan teman lama yang merupakan pengguna), atau lingkungan (melintasi jalan tempat biasanya menggunakan narkoba), berhadapan dengan objek, atau bahkan mencium bau yang behubungan dengan obat-obatan (Leshner dalam National Institute of Drug Abuse, 2009). Hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh seorang Psikolog, Thersiah Lubis (dalam Candraresmi, 2000) yang menangani kasus penyalahgunaan narkoba, menyimpulkan bahwa banyak pecandu yang telah berulang kali kembali pada pemakaian narkoba padahal pecandu tersebut telah berulang kali pula melakukan proses rehabilitasi. Menurutnya keberhasilan pemulihan bagi pengguna narkoba dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya

(6)

faktor eksternal seperti mengikuti berbagai program pemulihan di panti rehabilitasi serta faktor internal berupa keinginan untuk berhenti menggunakan narkoba, memiliki keyakinan untuk mampu melepaskan diri dan menolak untuk tetap tidak menggunakan narkoba.

Marlat dan Gordon (dalam Handershot, 2011) memberikan penjelasan senada dengan Thersiah Lubis yang menyatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan seorang relapse adalah faktor keyakinan akan kemampuan yang ia miliki. Seorang individu yang tidak yakin akan kemampuannya untuk menolak narkoba maka akan semakin mudah untuk mengalami relapse. Berbeda halnya dengan individu yang yakin akan kemampuannya untuk menolak narkoba, maka akan semakin sulit untuk mengalami relapse. Sejalan dengan hal ini, Witkiewitz & Marlatt (dalam Sarafino, 2006) juga menjelaskan bahwa salah satu yang dapat menyebabkan pecandu relapse adalah keyakinan akan kemampuannya yang rendah. Keyakinan seorang individu akan kemampuannya untuk menolak dan tetap tidak menggunakan narkoba sehingga tidak mengalami relapse disebut sebagai abstinence self-efficacy (Majer, 2004).

Groove (2012) menjelaskan bahwa abstinence self efficacy terdiri dari dua kata yaitu abstinence dan self efficacy. Self-efficacy merupakan keyakinan seorang individu mengenai kemampuannya untuk melakukan aktivitas tertentu yang sebelumnya sudah dilatih untuk menghadapi peristiwa penting dalam kehidupannya, dan abstinence merupakan suatu keadaan pecandu yang tidak menggunakan narkoba, sehingga abstinence self-efficacy adalah keyakinan individu akan kemampuannya untuk menolak penggunaan narkoba dalam situasi

(7)

yang dapat memicu penggunaan narkoba/high risk situation. Ilgen (2005) menjelaskan bahwa abstinence self efficacy menentukan seorang individu untuk merasa, berfikir, dan memotivasi untuk berperilaku tidak menggunakan narkoba. Individu yang memiliki keyakinan akan kemampuannya akan memandang high risk situation sebagai tantangan yang harus dikuasai atau dihadapi dan bukan sebagai ancaman yang harus dihindari.

Mark Ilgen, John McKellar dan Quyen Tiet (2005) dalam penelitiannya tentang abstinence self-efficacy, mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara abstinence self-efficacy dengan perilaku tidak menggunakan narkoba (abstinence) selama satu tahun. Durasi selama 1 tahun ini menunjukkan bahwa pecandu sudah memiliki kemampuan yang baik untuk menolak penggunaan narkoba, terkait dengan masa kritis untuk mengalami relapse dalam minggu atau bulan pertama setelah rehabilitasi (Sarafino,2006). Hal ini juga menunjukkan pentingnya peningkatan abstinence self efficacy dalam proses pemulihan di rehabilitasi. Dalam wawancara yang dilakukan oleh peneliti di salah satu pemulihan narkoba di Medan pada mantan pecandu yang berada dalam masa pemulihan menunjukkan adanya ketidakyakinan akan kemampuannya untuk dapat pulih, terlihat dari pernyataan pecandu berinisial B berikut ini:

“Saya udah satu bulan di sini, tapi saya masih ragu nanti kalau di bujuk kawan, bisa-bisa saya gak tahan. Kalau dari program udah bagus tapi itu dia aku masih belum tau bagaimana nanti kalau di bujuk kawan, takutnya bisa terpengaruh lagi” (B.007, 16 September 2014)

“Kalau lagi galau, saya masih teringat makai shabu, biar hilang semua beban di kepala ini. makanya kalau udah sehat gini bisalah saya bilang sembuh tapi kalau udah galau gak yakin mampu nolak bang.” (B.010, 16 September 2014)

(8)

Pecandu berinisial C juga menuturkan hal yang senada:

“Aku udah pernah masuk rehabilitasi satu kali bang, awalnya aku senang kali bisa keluar dari rehabilitasi itu, merasa kayak dipenjara. Tapi waktu udah keluar aku baru sadar kalau aku itu gampang goyang. Gampang kali terpengaruh, diajak kawan pesta-pesta terus dikasih barang yaudah balek lagi make bang.” (C.003, 2 oktober 2014)

“Kalau saat ini penting kali memang bang untuk meningkatkan kemampuan kita untuk nolak make, kadang kalo udah dibujuk kawan ini jadi susah awak nolaknya” (C.007, 2 oktober 2014)

“Sejauh ini belum yakin bang dengan kemampuanku, perlu dapat motivasi ini biar makin percaya diri dengan kemampuan aku sendiri. Kan itulah yang paling penting dulu, kalau kita belum yakin bagaimana bisa kita bisa mampu, iya kan bang” (C.010, 2 oktober 2014).

Pernyataan-pernyataan diatas didukung oleh salah seorang staf konselor yang bertugas di pusat rehabilitasi tersebut. Ia menjelaskan bahwa kebanyakan pecandu masih belum yakin akan kemampuannya untuk menahan diri dan tetap tidak menggunakan narkoba atau dalam istilah yang sering mereka gunakan disebut dengan “clean and sober” yang berarti bersih dari penggunaan narkoba dan tidak mengalami gangguan kejiwaan, berikut penuturannya:

“Mereka ini penting sekali mendapat pembekalan tentang cara mengontrol pikirannya biar percaya diri, biar nanti dia kuat kalau kembali ke luar, jadi memang harus di bekali dengan kemampuan untuk mampu mengatakan “tidak” untuk menggunakan narkoba” (I.012, 16 Oktober 2014)

“Sebahagian besar pecandu ini memang selalu mudah goyang dan gak percaya diri dengan kemampuannya, ada takut takut kalau nanti berhadapan dengan masalah. Kalau selalu tidak percaya diri akan kemampuannya bagaiamana dia bisa kuat menghadapi tantangan di luar sana. Ujung-ujungnya ya relapse lagi” (I.013, 16 Oktober 2014)

Pernyataan diatas menunjukkan kondisi mengenai pecandu yang tidak yakin akan kemampuannya untuk menolak penggunaan narkoba. Sejalan dengan

(9)

hal ini, Minervini (2011) melakukan penelitian mengenai keyakinan seorang individu untuk mampu bertahan tidak menggunakan substance atau disebut dengan abstinence self efficacy dalam situasi yang dapat memicu penggunaan narkoba (high-risk situation). Hasil yang diperoleh adalah abstinence self efficacy yang tinggi dapat membantu pecandu untuk mengendalikan dorongan/keinginan untuk menggunakan zat (craving).

Menurut Marlat dan Gordon (dalam Handershot, 2011), cara untuk meningkatkan abstinence self efficacy adalah dengan melakukan identifikasi strategi kognitif yang tepat untuk mengatasinya maka akan semakin membuatnya yakin untuk menolak penggunaan narkoba, dan selanjutnya menurunkan kemungkinan untuk relapse. Selain itu, para pecandu juga memiliki pikiran irasional berkaitan dengan penggunaan narkoba (Sudiyanto, 2007). Chiang (2006) juga memberikan penjelasan yang senada; ia menjelaskan bahwa pecandu perlu untuk merestrukturisasi pikirannya yang irasional, berupa pengharapan yang tidak rasional akan manfaat penggunaan narkoba seperti: narkoba dapat membantu penyelesaian masalah, meningkatkan harga diri, tanpa narkoba maka akan mengurangi kemampuan fisik untuk bekerja dan mampu mengatasi berbagai masalah sehari-hari. Adanya pikiran yang irasional ini secara jelas terlihat pada seorang pecandu berinisial C:

“Kalau tidak memakai barang lagi rasanya hidup itu hampa. Kayak udah segala-galanya gitu bang, terasa kosong bang. Kalau tidak memakai itu kita jadi kayak gak semangat kerja” (C.013, 9 Oktober 2014)

“Kalau sudah muncul keinginan memakai narkoba itu bang, kayaknya udah gelap dunia ini, pokoknya harus memakai, kira kira gitulah pikiranku. Kalau misalnya macam naik darah ini bang, jantung berdetak

(10)

gitu makin keras artinya mau mintalah badan ini bang” (C.015, 9 Oktober 2014)

“Kalau udah make narkoba pikiran kita kayaknya kita akan makin kuat bang. Bisa tahan lama kalau kerja” (C.016, 10 Oktober, 2014)

Pernyataan-pernyataan diatas menunjukkan keadaan bahwa pecandu memiliki pikiran irasional berupa overgeneralization (melakukan generalisasi dari salah satu aspek kehidupan terhadap seluruh aspek kehidupannya) yaitu berupa penilaian bahwa narkoba adalah segalanya, tanpa narkoba maka hidupnya hampa dan juga terdapat pikiran jumping to conclusion (mengambil kesimpulan atas fakta yang sangat sedikit) berupa anggapan bahwa peningkatan detak jantung merupakan indikator bahwa ia butuh untuk menggunakan narkoba.

Sudiyanto (2007) menambahkan pula bahwa pecandu perlu untuk membangun status kognitif yang rasional (cognitive restructuring) sehingga menjadi adaptif dan semakin yakin akan kemampuannya dalam menghadapi high risk situation. Begitu pula dengan pernyataan Bernard P. Rangé1 dan Ana Carolina Robbe Mathias (2012) dalam bukunya yang berjudul Cognitive-Behavior Therapy for Substance Abuse menjelaskan bahwa salah satu teknik untuk membantu meningkatkan kemampuan pecandu untuk tidak menggunakan narkoba adalah dengan mengidentifikasi pikiran irasional kemudian melakukan restrukturisasi. Hal ini akan membuat pecandu mampu untuk menginterpretasi situasi pemicu penggunaan narkoba dengan baik sehingga melemahkan hasrat/keinginan untuk kembali menggunakan narkoba, keadaan inilah yang selanjutnya membuat pecandu semakin yakin bahwa dirinya mampu untuk menghindari penggunaan narkoba.

(11)

Penelitian Hagman (2004) memberikan penjelasan dari sudut pandang yang berbeda. Hagman menjelaskan bahwa terdapat interaksi antara keberadaan dalam situasi pemicu penggunaan zat, kemampuan penyelesaian masalah (coping skills) dan abstinenence self-efficacy terhadap proses relapse. Individu yang memiliki abstinence self efficacy yang rendah diakibatkan karena memiliki coping skill yang tidak efektif. Semakin ia tidak memiliki keterampilan yang baik untuk mampu mengatasi permasalahan yang ia alami maka semakin rendah keyakinannya untuk menolak penggunaan narkoba. Hagman (2004) juga menjelaskan bahwa pada saat seorang pecandu sudah memiliki keyakinan akan kemampuannya untuk menghindari penggunaan narkoba maka semakin mampu ia menolak penggunaan zat tersebut karena sudah memili kemampuan coping skill yang baik.

CBT memberikan penjelasan yang logis mengenai hubungan kognitif yang terdistorsi/irasional dengan gangguan psikologis, terapi ini telah diadaptasi secara khusus dalam menangani masalah penyalahgunaan narkoba (Spiegler, 2003). Beberapa penelitian mendukung efektifitas CBT untuk meningkatkan abstinence self efficacy, akan tetapi CBT yang diberikan lebih difokuskan pada teknik coping skill, seperti Jafari (2012) melakukan penelitian yang bertujuan untuk membandingkan efektifitas dua pendekatan yaitu CBT dan SOC (stage of change model) untuk meningkatkan abstinence self efficacy. Berdasarkan hasil penelitiannya membuktikan bahwa CBT dapat meningkatkan self efficacy. Begitu pula oleh Ali Khaneh Keshi pada tahun 2013 melakukan penelitian yang bertujuan untuk menggali efektivitas cognitive behavior therapy (CBT) pada

(12)

peningkatan self efficacy. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan setelah pemberian CBT.

Pendekatan coping skill yang diberikan ini dilandasi oleh beberapa hal, Julian (2007) dalam bukunya yang berjudul cognitive-behavioral therapy menjelaskan bahwa kebanyakan praktisi CBT menggunakan teknik coping skill karena teknik ini memiliki fokus pada high risk situation, dengan memahami peran situasi tersebut maka individu kemudian dibekali kemampuan coping guna menghadapi high risk situation. Selanjutnya, Jafari (2012) menjelaskan bahwa metode coping skill merupakan metode yang lebih cepat dan lebih mudah untuk dilakukan, selain itu metode ini juga secara langsung dapat membantu individu untuk semakin mampu dalam menerapkan coping skill pada high risk situation. Namun, berdasarkan penjelasan Bernard (2012) seorang pecandu tidak hanya memerlukan peningkatan kemampuan coping skill saja, tetapi perlu untuk membangun status kognitif yang rasional.

Keadaan ini semakin memperjelas bahwa selain dibantu untuk mampu melakukan teknik coping, pecandu juga perlu untuk mengganti pikirannya yang irasional menjadi rasional. Spiegler (2003) menjelaskan bahwa teknik coping skill dan restrukturisasi kognitif merupakan bagian dari cognitive behavioral therapy (CBT). Terapi kognitif yang berdasarkan pada cognitive restructuring berperan untuk mengubah kognitif klien secara langsung dengan cara mengubah pikiran yang irasional menjadi rasional. Sedangkan dalam coping skill individu akan diberikan intervensi berupa peningkatan coping skill untuk menghadapi high risk situation.

(13)

Berdasarkan penjabaran ini, maka peneliti menilai bahwa perlu untuk memberikan CBT tidak hanya dengan menggunakan teknik coping skill tetapi juga menggunakan teknik restrukturisasi kognitif sebagai upaya untuk membantu pecandu meningkatkan keyakinan akan kemampuannya menolak menggunakan narkoba. Intervensi CBT dapat dilakukan secara individual maupun berkelompok. Subjek dalam penelitian ini merupakan pecandu yang berada dalam pusat rehabilitasi yang sama dan juga memiliki keluhan yang sama, oleh karena itu pendekatan CBT dengan cara berkelompok akan lebih efisien dalam segi waktu, biaya dan tenaga. CBT berkelompok atau Group Cognitive Behavioral Therapy merupakan bentuk pelaksanaan CBT dengan melibatkan beberapa orang klien. Bieling (2006) menjelaskan bahwa kelebihan pendekatan berkelompok ini adalah memberikan fokus pada keterbukaan dalam berinteraksi, mampu menyediakan ruang dan peluang kepada klien untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi melalui kewujudan unsur-unsur terapeutik dalam CBT kelompok seperti nilai umum, dukungan, peluang untuk mencoba tingkah laku baru dan respon. Selain itu, CBT berkelompok merupakan suatu proses antara pribadi yang bercirikan pengungkapan pikiran dan perasaan secara leluasa, saling percaya, saling perhatian, saling memahami dan saling membantu. Morrison (dalam Bieling, 2006) menyebutkan bahwa keuntungan yang diperoleh dalam pendekatan Group CBT dibandingkan dengan individual adalah efisiensi dari segi waktu, biaya dan tenaga. Oleh karena ini maka peneliti akan mengangkat judul “Efektivitas Group Cognitive Behavioral Therapy dalam meningkatkan Abstinence Self efficacy Pecandu pada masa pemulihan di pusat rehabilitasi X Kota Medan”

(14)

B. Perumusan Masalah

Rumusan permasalahan dalam pelitian ini adalah:

1. Apakah Group Cognitive Behavioral Therapy dengan teknik restrukturisasi kognitif efektif untuk meningkatkan abstinence self efficacy?

2. Apakah Group Cognitive Behavioral Therapy dengan teknik coping skill efektif untuk meningkatkan abstinence self efficacy?

3. Apakah Group Cognitive Behavioral Therapy dengan gabungan teknik restrukturisasi kognitif dan coping skill efektif untuk meningkatkan abstinence self efficacy?

4. Apakah Group Cognitive Behavioral Therapy dengan gabungan restrukturisasi kognitif dan coping skill lebih efektif untuk meningkatkan abstinence self efficacy dibandingkan dengan pemberian restrukturisasi kognitif dan coping skill secara terpisah?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas Group Cognitive Behavioral Therapy dengan menggunakan teknik restrukturisasi kognitif dan/atau coping skill untuk meningkatkan abstinence self efficacy pada pecandu dalam proses pemulihan di rehabilitasi.

(15)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis :

a) Menambah pemahaman dan sumber informasi bagi disiplin ilmu psikologi klinis, khususnya mengenai penerapan Group Cognitive Behavioral Therapy dengan menggunakan teknik restrukturisasi kognitif dan/atau coping skill untuk meningkatan abstinence self efficacy pada pecandu narkoba.

b) Memberikan masukan bahwa pecandu tidak hanya memerlukan intervensi coping skill, tetapi perlu juga untuk mengganti pikirannya yang irasional menjadi rasional agar semakin yakin akan kemampuannya untuk menolak penggunaan narkoba.

2. Manfaat praktis:

a) Bagi pusat-pusat rehabilitasi, diharapkan dapat melihat pentingnya peningkatan abstinence self efficacy dalam diri seorang pecandu narkoba sebagai bekal bagi mereka untuk bertahan tanpa penggunaan narkoba setelah keluar dari tempat rehabilitasi.

b) Pecandu yang menjalani rehabilitasi dapat semakin meningkatkan keterampilannya dalam hal coping skill.

c) Pecandu mampu menerapkan pikirannya yang rasional dalam menghadapi high risk situation.

d) Implikasi hasil penelitian dapat digunakan dalam penyusunan Standard Operasional Procedure (SOP) terhadap penanganan penyalahguna narkoba.

(16)

e) Memberikan masukan bagi pihak rehabilitasi untuk memiliki sumber daya manusia seperti tenaga Psikolog klinis yang memiliki keahlian CBT untuk menerapkan intervensi coping skill dan/atau restrukturisasi kognitif dalam proses rehabilitasi pecandu narkoba.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam laporan penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan: Bab ini menguraikan secara umum mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan penelitian.

Bab 2 Landasan Teori: Bab ini menguraikan mengenai berbagai teori yang dapat memberikan penjelasan dan mendukung data penelitian.

Bab 3 Metode Penelitian: Bab ini menguraikan rangkaian penelitian yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan analisa data.

Bab 4 Hasil dan Pembahasan: Bab ini menguraikan mengenai hasil yang ditemukan dalam penelitian serta pembahasan hasil penelitian dan perbandingan hasil penelitian dengan teori.

Bab 5 Kesimpulan, dan Saran: Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan dari seluruh hasil yang telah diperoleh, dan saran untuk penyempurnaan penelitian selanjutnya.

Gambar

Tabel 1.Persentase peningkatan penyalahguna narkoba di Indonesia (2008-2013)

Referensi

Dokumen terkait

Pada sisi kesehatan ibu hamil, mereka dituntut memenuhi kebutuhan nutrisinya sesuai kebutuhan pada tiap trimester kehamilan, sehingga bagi ibu yang mengadopsi

Keberadaan Batik Banyuwangi dari tahun ke tahun dinilai cukup menggembirakan, ditilik dari awal pengembangan batik di Banyuwangi, pembinaannya dimulai pada era

[r]

Mampu memo berbagai hubu data dalam be bidang ilmu menggunakan regresi nonpar.. UB Dalam dan p (band

Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) menyajikan informasi tentang penjelasan atau daftar terinci atau analisis atas nilai suatu pos yang disajikan dalam Laporan Realisasi

Jika zaman dahulu orang masih dapat menggunakan sumber air yang berasal dari kali atau sungai tanpa mensterilkan terlebih dahulu untuk kebutuhan sehari-hari, maka pada jaman

Temuan lain adalah bahwa strategi pengembangan produk merupakan strategi yang lebih banyak dipilih oleh para pemilik usaha kecil menengah dengan cara menghasilkan produk atau

Deskripsi Mata Kuliah :akuliah manajemen fasilitas pendidikan merupakan matakuliah wajib tempuh dengan bobot 2 sks.. Matakuliah ini engertian