1
1. 1 Latar Belakang
Keberhasilan fenomenal Southwest Airlines di Amerika Serikat sebagai maskapai Low Cost Carrier (LCC) dapat dilihat dari keuntungan yang diperoleh setiap tahunnya. Melihat pergerakan penduduk yang tinggi, serta menurunnya daya beli masyarakat di masa krisis dan sesudahnya juga memicu maskapai Low Cost Carrier untuk masuk ke Indonesia. Dengan diberlakukannya deregulasi aturan penerbangan niaga Republik Indonesia, yang terdapat pada Undang Undang No 15 Tahun 1992, kelonggaran dunia bisnis penerbangan komersial mulai terbuka lebar. Undang-Undang ini mengakibatkan jumlah persaingan perusahaan jasa penerbangan semakin meningkat.
Sebelum diberlakukannya Undang-Undang tersebut, persaingan perusahaan jasa penerbangan di Indonesia untuk kategori penerbangan niaga berjadual hanya diisi oleh Garuda Indonesia, Merpati Nusantara, Bouraq Airlines dan Mandala Airlines. Meskipun ada beberapa operator yang melayani rute domestik dan regional, mereka biasanya memiliki hubungan bisnis dengan Garuda Indonesia atau memiliki hubungan dekat dengan kalangan pemerintah (Damuri & Anas, 2005). Posisi
dominan yang didapat serta perlindungan dari pemerintah, memungkinkan mereka untuk membebankan tarif tinggi terhadap layanan mereka, terutama pada penerbangan domestik dan regional.
Namun, situasi ini pun berakhir pada akhir 1990-an ketika krisis ekonomi melanda di seluruh Asia. Industri penerbangan Asia Tenggara sangat terpengaruh oleh krisis pada tahun 1997 dan hal tersebut mengakibatkan rendahnya jumlah penumpang rute domestik dan internasional yang masuk atau keluar Indonesia. Beberapa penerbangan bahkan mengalami kesulitan keuangan yang cukup parah (Firdanianty, 2005). Deregulasi yang terjadi, sebagian besar didorong oleh krisis, telah menciptakan lingkungan kompetitif yang baru pada industri penerbangan di Indonesia.
Penerbangan Indonesia tidak lagi hanya menghadapi persaingan dengan maskapai regional tetapi juga dengan maskapai internasional. Hal tersebut memicu adanya pergeseran permintaan dari maskapai tradisional ke model Low Cost Carrier. Awal dimulainya Low Cost Carrier di Indonesia adalah pada tahun 2001, dimana sebelumnya sudah mulai bermunculan perusahaan maskapai penerbangan baru seperti Lion Airline pada bulan Juni 2000, disusul oleh Kartika Airlines pada bulan Mei 2001, Batavia pada bulan Januari 2002, Wings Air pada bulan Juni 2003, Adam Air pada bulan Desember 2003 (yang kini sudah tidak lagi beroperasi), dan kemudian disusul oleh Indonesia Air Asia pada bulan Desember 2005.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang tersebut, perusahaan-perusahaan maskapai penerbangan di Indonesia mulai mengalami perubahan yang cukup drastis. Dampak ini terutama sangat terasa oleh Garuda Indonesia sejak masuknya penerbangan Indonesia Air Asia dengan slogan utamanya yaitu ‘now everyone can fly’. Hal ini mengakibatkan Garuda Indonesia harus mengubah strategi bisnisnya dengan memperkenalkan Citilink, yang awalnya berdiri pada tahun 2001, namun belum cukup dikenal oleh masyarakat karena kurangnya strategi pemasaran.
Citilink adalah Strategic Business Unit (SBU) dari PT. Garuda Indonesia yang melayani penerbangan point-to-point dengan konsep Low Cost Carrier. Sesuai dengan tujuan awalnya Citilink menggarap pasar menegah ke bawah, sedangkan Garuda Indonesia tetap konsisten dalam menggarap pasar menengah ke atas. Namun pada Januari 2008, Citilink menutup operasinya karena merugi. Citilink tidak beroperasi untuk sementara waktu dalam rangka menata ulang kebijakan dan strategi baru Citilink.
Citilink kembali lagi pada September 2008 dengan sebuah konsep yang baru dengan memindahkan basis operasinya dari Jakarta ke Surabaya. Hal tersebut dilakukan oleh Citilink untuk memotong biaya serendah mungkin. Citilink mencoba untuk mengoptimalkan pemanfaatan armada mereka dengan memilih bandara diluar ibukota dan memilih untuk beroperasi berdasarkan rute point-to-point. Selain itu, Citilink juga berusaha untuk mengurangi biaya secara substansial dan menawarkan penerbangan bertarif rendah dengan menyediakan hanya layanan dasar kepada
pelanggan. Salah satunya adalah dengan cara menyederhanakan prosedur pemesanan dan pembelian dengan memperkenalkan saluran distribusi baru, yaitu melalui online-ticketing yang telah dilakukan sejak 2001. Untuk pelayanan penerbangannya, Citilink tidak menyediakan makanan atau hiburan untuk pengurangan biaya. Hal tersebut dilakukan oleh Citilink untuk dapat mengadapi persaingan perusahaan jasa penerbangan yang semakin meningkat.
1. 2 Permasalahan
Sejak dikeluarkannya kebijakan yang memudahkan pendirian sebuah maskapai penerbangan oleh pemerintah, banyak maskapai penerbangan baru yang mulai bermunculan. Dengan adanya perusahaan-perusahaan penerbangan yang baru di Indonesia, persaingan di dunia angkutan udara domestik menjadi lebih ketat dan terbuka. Dampak dari persaingan ini adalah harga tiket yang menjadi semakin murah dan hal tersebut sangat menguntungkan bagi konsumen. Harga tiket pesawat yang masih terkenal mahal pada satu dekade lalu, kini sudah jauh lebih terjangkau dengan beroperasinya sejumlah Low Cost Carrier yang berhasil menekan biaya operasionalnya.
Di sisi lain, persaingan yang terjadi mengakibatkan perang tarif antara perusahaan-perusahaan maskapai penerbangan dan hal tersebut merugikan beberapa perusahaan penerbangan. Salah satunya adalah pada perusahaan penerbangan Garuda Indonesia, dimana pada tahun 2004 hingga tahun 2006, neraca Garuda Indonesia
sempat mengalami penurunan yang cukup drastis. Menurut majalah SWA (2005), kerugian yang dialami oleh Garuda Indonesia mencapai 66 miliar pada tahun 2006. Berbagai upaya dilakukan oleh PT. Garuda Indonesia untuk mengantisipasi pelayanan jasa penerbangan pada segmen pasar ‘middle down’ dan ‘price sensitive’.
Garuda Indonesia yang sudah berdiri lama diantara pemain lainnya, mempunyai pengalaman yang cukup lama di pasar Indonesia, mempunyai beberapa strategi untuk memenangkan persaingan. Salah satunya adalah dengan memperkenalkan maskapai penerbangan Citilink, yang baru benar-benar aktif pada tahun 2008. Citilink, sebagai Strategic Business Unit (SBU) dari PT. Garuda Indonesia diluncurkan dengan alasan untuk dapat menggarap pasar menengah ke bawah. Citilink beroperasi dengan menawarkan penerbangan murah yang dapat dijangkau oleh hampir seluruh lapisan masyarakat dengan mengedepankan ketepatan waktu.
Namun, faktor penerbangan murah sendiri saja tidak dapat menarik pelanggan mengingat banyaknya maskapai penerbangan Low Cost Carrier yang sudah berdiri di Indonesia. Apalagi Citilink masih merupakan bagian dari PT. Garuda Indonesia. Strategi bisnis yang digunakan tentunya akan berbeda karena target pasar masing-masing maskapai juga berbeda. Contohnya, untuk Garuda Indonesia, penumpang yang membayar tinggi harga tiket akan mengharapkan fasilitas dan pelayanan yang lebih ketimbang dengan penumpang maskapai penerbangan Low Cost Carrier. Dengan demikian, pengoperasian Full Service Carrier akan lebih luas dengan
mencangkup hal-hal di luar layanan dasar, seperti ketentuan tempat duduk, bagasi, makanan, minuman, hiburan dan pelayanan.
Menurut Kumar (2006), ketika perusahaan sudah memiliki pengalaman yang cukup lama di industri serta sumber daya yang melimpah, pemain lama seringkali percaya bahwa bisnis model Low Cost Carrier dapat dengan mudahnya ditiru. Pada tahun 1990-an, misalnya, semua perusahaan penerbangan besar meluncurkan Low Cost Carrier sebagai tambahan bisnis, seperti Continental Lite, Delta Express, KLM's Buzz, SAS's Snowflake, US Airways' Metrojet, United's Shuttle untuk melawan pesaing Low Cost Carrier lainnya. Akan tetapi, semua perusahaan tersebut tutup atau dijual dikarenakan sulitnya dalam mengoperasikan strategi ganda. Maka dari itu, pendirian sebuah unit yang independen kadangkala akan lebih menguntungkan dimana perusahaan dapat menciptakan struktur, sistem, staf dan nilai-nilai yang berbeda dan tentunya operasi bisnis yang lebih efisien.
Dalam segi brand image, melihat hampir semua para pesaing besar Citilink memiliki basis operasi di Jakarta, sedangkan basis operasi Citilink berada di Surabaya, tentunya strategi pemasaran Citilink perlu diperluas. Hal tersebut dapat diperkuat melalui perluasan geografis, operasi, sistem kerja, promosi, sampai dengan segi pelayanan, kualitas dan harga. Citilink harus tetap menjaganya sehingga kepercayaan dari pelanggan dapat dengan mudahnya diperoleh. Citilink tidak akan sukses jika Citilink tidak terus melakukan inovasi dalam bersaing dan menawarkan keuntungan lebih kepada pelangan. Pendek kata dari permasalahan, tesis ini akan
membahas seberapa efektif strategi Citilink dalam menghadapi persaingan dengan Low Cost Carrier.
1. 3 Tujuan Dan Manfaat
1. 3. 1 Tujuan
• Menganalisis dampak masuknya Low Cost Carrier ke Indonesia. • Menganalisis market share PT. Garuda Indonesia (Citilink).
• Menganalisis strategi yang digunakan oleh Citilink dan para pesaingnya. • Menganalisis seberapa efektif strategi tersebut.
• Menganalisis positioning Citilink dan para pesaingnya.
• Menganalisis keputusan dan langkah-langkah yang diambil oleh Citilink dalam menghadapi para pesaingnya.
1. 3. 2 Manfaat
• Memberikan gambaran sedekat mungkin dengan kenyataan, tentang bagaimana ketatnya persaingan pada saat ini.
• Manfaat teoritis, dapat memperkaya konsep atau teori yang menyokong perkembangan ilmu pengetahuan strategic manajemen, khususnya yang terkait dengan strategi yang diambil oleh Citilink.
• Manfaat praktis, dapat memberikan masukan yang berarti bagi Citilink dalam meningkatkan kinerjanya.
1. 4 Ruang Lingkup
Struktur industri penerbangan di Indonesia mengalami perubahaan dengan masuknya maskapai Low Cost Carrier. Hal ini mengubah kondisi internal dan eksternal perusahaan penerbangan Garuda Indonesia. Maka dari itu, Citilink diluncurkan untuk melawan para pesaing Low Cost Carrier. Penelitian yang dilakukan adalah dengan mengidentifikasi faktor lingkungan, faktor industri, bisnis model, positioning, serta strategi untuk menghadapi para pesaing Citilink. Selain itu, penelitian ini juga akan dilakukan dengan menggunakan Diamond Strategy.
Secara khusus, penelitian yang diambil yaitu dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 dimana pada tahun 2008, Citilink mulai beroperasi kembali dengan sistem operasi yang baru. Kemudian, rute penerbangan yang diambil adalah rute gemuk, yaitu secara spesifik rute penerbangan Jakarta – Medan dan Jakarta – Surabaya. Pemilihan rute gemuk lebih dipilih dibandingkan rute kurus karena pertumbuhan penumpang pada rute tersebut sangat signifikan dan pada saat yang sama, persaingan pada rute tersebut juga sangat kuat.
Model bisnis penerbangan yang diambil adalah model bisnis Low Cost Carrier yang tentunya dimiliki oleh Citilink dan perbandingan kompetitor yang diambil hanya akan dipilih pada pesaing yang juga menggunakan strategi model Low Cost Carrier, yaitu PT Lion Airlines, PT. Indonesia Air Asia, PT. Mandala Airlines
dan PT. Wings Abadi Airlines. Di luar model bisnis tersebut tidak akan dibahas.
Efektif atau tidaknya strategi yang digunakan oleh Citilink juga dipersempit dengan hanya menggunakan perbandingan melalui market share dan Passenger Load Factor (PLF). Dua hal tersebut sangat kritikal dalam menentukan apakah sebuah maskapai penerbangan sudah berada pada titik aman dengan mendapatkan keuntungan paling tidak keuntungan diatas biaya. Selain itu, dengan menganalisa market share, posisi sebuah maskapai penerbangan secara keseluruhan juga dapat dilihat secara mendalam. Untuk hal-hal seperti keuangan perusahaan, tidak akan dibahas secara mendalam karena hal confidentiality.
Dalam mendapatkan data-data yang diperlukan untuk penelitian ini akan digunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Untuk teknik pengumpulan data, akan digunakan metode kualitatif berupa teknik riset kepustakaan dengan penelitian dokumen dan studi kepustakaan, serta riset lapangan dengan melakukan wawancara mendalam kepada pihak Citilink.
Untuk teknik analisis data, akan digunakan metode analisis kualitatif dengan membaca data yang didapat dari lapangan dan memaparkan data yang diolah. Metode kuantitatif yang digunakan akan dicoba untuk menginterpretasikan data berupa angka persentase namun tanpa melakukan perhitungan statistika.