• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam buku ini kami aturkan beberapa karangan E. Du Perron, Diantaranja ada jang mengenai politik, ada jang se-mata2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dalam buku ini kami aturkan beberapa karangan E. Du Perron, Diantaranja ada jang mengenai politik, ada jang se-mata2"

Copied!
253
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Dalam buku ini kami aturkan beberapa karangan E. Du Perron, Diantaranja ada jang mengenai politik, ada jang se-mata2

bertjoraksasteradankadang2adapulajang bertjorak filsafat dsb.; pendek kata, tidak ber-lebili2an kiranja, djika kami katakan bahwa bunga-rampai ini mengenai segala segi (aspek) penghidupan kita.

Siapa Du Perron itu, tentu sadja tidak perlu lagi diterangkan pada pembatja jang sudah remadja atau dewasa umumja dimasa sebelum Perang Dunia II. Kepada orang2 jang belum mengenai dia, tjukup- lah djika kita ulangi djulukan jang diberikankepadanja olehsdr. Fred Batten jang menulis kata-pengantar buku ini; sdr. F. Batten itu menamakannja penga- rang «jang memelihara djiwa Multatuli», artinja, jang meneruskan semangat dan perdjuangan Multatuli.

Sekarang agaknja tidak perlu lagi kami menerangkan, mengapa sebabnja kami berani mengeluarkan terdjemahan ka- rang2an penulis Belanda ini. Nama Mul­ tatuli itu sadja sudah merupakan djaminan setjukupnja.

(3)

Iw

L0

(4)
(5)

E. D U P E R R O N

M E N E N T U K A N S I KAP

K U M P U L A N K A R A N G A N D I T E R D J E M A H K A N O L E H S I T O R S I T U M O R A N G

P e i

m N . V . P E N E R B I T A N W . V A N H O E V E - B A N D U N G , ’ s - G R A V E N H A G E

(6)

<3

- 8 - 7 v

(7)

T E N T A N G D U P E R R O N (1899-1940)

Pada tgl. 14 M ci 1940, beberapa djam sesudah Nederland terpaksa m enjerah pada serangan dari pasukan Djerman- H itler, m eninggallah pengarang D u Perron. Setelah kem- bali dari Indonesia ia baru sadja disana berdiam dikota ketjil dekat pantai, ja itu Bergen jan g berupa permulaan masa baru dalam keliidupannja sebagai pengarang.Serang­ an penjakit djantung mengachiri hidupnja, jan g seluruhnja diabdikan sedalam-dalamnja kepada sastera.

Entahlah pada orang lain, tapi saja hingga kini masih tidak selalu dapat m em ikirkan pengarang itu seperti menii- kirkan orang ja n g sudah mati. Sulit bagiku menganggapnja seperti suatu tokoh, ja n g seperti kebanjakan jan g lain dalam masa sebelum perang ja n g segera mendjadi sedjarah sesudah mati.

M ulutnja ja n g m enggam barkan kesungguhan disertai rasa hum or, kening ja n g tinggi dan halus, pandang jan g seakan-akan m engkilap, sikapnja ja n g tenang tapi waspada seperti ja n g terlihat pada segala potretnja, semua itu me- m elihara kehadiran ja n g hidup dari seorang manusia jang seakan-akan masili berada ditengah-tengah kita, djuga buat orang ja n g tak pem ah mengenal dia. Tapi ada lagi hal ja n g lebih berarti dari pada gambaran luar ini. Sedjak M ultatuli tak ada pengarang dalam sastera Belanda, tak ada pengarang ja n g begitu njaring dan berkesan bersuara didalam tulisan2nja seperti D u Perron, jan g memelihara

(8)

djiwa Multatuli sampai dalam kalimat jan g seketjil-ketjilna. Ia menulis seolah-olah ia sedang berbintjang dengan teman- temannja atau sedang bertengkar dengan lawan. Hal inilah, tjara2 seperti dalam pertjakapan berdua atau perdebatan bermuka-muka, jang memperkuat kebenaran tjara saja untuk membitjarakan. D u Perron seperti membitjarakan orang hidup serta mengemukakan pengaruhnja ja n g masih berlaku sampai pada hari ini.

Du Perron lahir diachir abad kesembilan belas, mendje- lang ambang abad kedua puluh, di Gedong Menu, Dja- tinegara, sebagai turunan opsir Perantjis jan g bekerdja pada tentera Belanda dizaman Napoleon. Keluarga D u Perron mendjadi orang jang kajaraja sebagai tuan tanah disekitar Djakarta dan didalam lingkungan ja n g menarik itulah, dunia orang kaja dinegeri djadjahan, D u Perron dibesarkan sampai usia 21 tahun. Dunia itu bertjiri kema- nusiaan jang terus-terang dan nafsu kehormatan jan g tak disembunji-sembunjikan, keramahan jang mirip sifat anak- anak dan rasa kekeluargaan seperti dialam lepas. Dalam dunia demikianlah ia mendjalani sebagian dari hidupnja - dan temjata sebagian besar dari hidupnja. Pengarang itu sendirilah jang paling tadjam melukiskan kegandjilan asal- nja jang berakar dua, jaitu dalam sebuah surat kepada S. Sjahrir:

«Saja selalu merasa tertarik pada bangsa dan kebudajaan Perantjis, dan karena pendidikan saja tergolong <indische jongen> dan tergolong orang Belanda karena bahasa dan bcberapa kebiasaan. Pada saat ini saja dianggap <vereuro- peest> oleh beberapa orang, <tak banjak lagi sisa indische jongen dulu> kata mereka, hal mana tak saja akui. D jika saja bergaul barang sepuluh menit dengan indische jongens tulen, mereka segera mengenai saja sebagai teman. D im ana saja merasa betah dengan perasaan jang tak mau tahu alas- an itu <inilah lingkunganku?> Sekarang hal itu telah saja ketahui, setelah saja, sesudah mengembara lima belas tahun

(9)

di Eropah, kembali dinegeri ini; bilangan M r Cornelis. Tidak di Batavia sendiri tapi dari Meester melalui Bidara- tjina ke D cpok; djika saja duduk dalam kereta api dan melihat tanah merah itu, saja insjaf, tanpa merumuskannja: <saja anak sini>. Disana sadja saja mendapat perasaan berada kembali <dikampung halaman>; sedang rumah saja sudah lama tak ada disana lagi.»

Pada usia 2 1 tahun ketika ia pertama kali berada di Eropah tjita2nja hanjalah mendjadi seorang pengarang. Ia beber- apa waktu ludup sebagai boheme didjantung kebudajaan Eropah, Paris. Dalam sebuah roman ketjil mungil, Eeti

Voorbereiding (1927), ia memberi pertanggung-djawaban

atas «masa beladjar» di Montmartre itu, dibalut dalam se- matjam rasa lutju. Anak mandja dari Gedong Menu ini sekali-sekali mengalami kesuhtan djuga di-tengah2 seniman miskin disana.

Sambil menurutkan djedjak penulis kesukaannja, jakni Valery Larbaud, ia beberapa lamanja mengembara dan da­ lam melawat dan membatja itu ia lambat-laun menemukan bakatnja sendiri. Pada masa itu baginja lebih menarik men­ djadi pengarang termasjhur dalam sastera Perantjis dari pada mendjadi pengarang berdasar penghargaanjang samar dalam lingkungan sastera Belanda. Memang karangan per- mulaannja ialah dalam bahasa Perantjis, kumpulan ketjil berisi prosa dan puisijang diterbitkannja pada usia 23 tahun, bernama Manuscrit trouve dans tine poche (1923), jan g se- luruhnja dituhs di Montmartre. Agaknja ia tadinja akan tetap menulis dalam bahasa Perantjis kalau ia tidak ber- temu dengan seniman2 Vlaam dan Belanda, jan g djuga telah memasukkan modernisme dalam seni Belanda. K e­ tika itu ia berdiam di Brussel.

Pergaulannja dengan Paul van Ostaijen, penjair expres- sionis Vlaam, dengan Jan Greshoff, penjair Belanda, kri- tikus dan bibliopliiel, dan dengan pelukis C . W illink, mo- dernis diantara pelukis2 Belanda, m em punjaipengaruhjang

(10)

menentukan dalam pertumbuhan D u Perron sebagai pe­ ngarang.

Dalam karangan2nja jang pertama ia m engikuti sikap hidup jang dalam tulis2an jan g terbit kemudian disebutnja sikap «pemuda Eropah». Sikap hidup itu menghasilkan, B ij

Gebrek aan Ernst (1928) dan Poging tot Afstand (1928), dua

kumpulan tjerita jang memperlihatkan daja menelaah dji- wa dan bersifat main2, jang kemudian beralih djadi kesung- guhan karena pengaruh suatu krisis dalam hidupnja, ja itu ketika bapaknja bunuh diri. Dalam kumpulan tjerita Nut-

teloos Verzet (1929) suatu kumpulan jan g paling asli bentuk-

nja dan paling menghenjakkan dilihat dari sudut psychologi dalam sastera Belanda, D u Perron membuktikan sedjelas- djelasnja bahwa ia seorang pengarang jan g berbakat besar: Du Perron langsung mendjadi djago dari djenis prosa, ja n g biasanja bersifat lirik, dan pada masa itu dipergunakan oleh pengarang2 muda dibawah pimpinan Marsman. T jerita2 dalam kumpulan itu dibangunkan dalam bentuk pertjakap- an2, dalam mana pembitjara jan g satu menjerahkan bahan tjerita kepada lawannja atau merenggutkan bahan itu dari padanja. Seperti Andre Gide, D u Perron agaknja dapat djuga menjebut diri suatu «etre de dialogue»: dalam dirinja seakan-akan berdiam dua pribadi, jang saling m eng-am at2i dan memberi tegoran, djika jang lain tjondong untukm eng- ambil sikap kurang kritis. Kadang-kadang terdjadilah «in- dische jongen» itu seakan-akan dilampaui oleh «pemuda Eropah», seakan-akan inteligensi jang paling tadjam harus menang diatas rasa jang katjau balau.

Dalam kesepian sebuah puri di Belgia, Gistoux, agak djauh dari dunia sastera Belanda, ia menuliskan kesan2nja ten tang apa jang dibatjanja dalam bentuk tjatatan harian, jang mula2 diterbitkan sebagai Cahiers van een Lezer (1928- 1931) dalam djumlah ketjil untuk kawan2nja dan kem udian dalam tiga bagian dengan nama Voor de kleine Parochie,

Vriend ofVijand dan Tegenonderzoek buat lingkungan pem-

(11)

kritikus jang dengan tjara jang lebih asli dan pribadi me • neruskan jan g dibatjanja kepada pembatja seperti D u Per­ ron. Saja dan banjak orang lain telah beladjar bagaimana membatja dari padanja, baliwa membatja itu adalah suatu avontuur, disertai keinginan jang tak kundjung reda untuk menemukan air terdjun dan tepi langit jang lebih djauh seperti keinginan pendjeladjah bumi dulu. Dizaman itu sekitar tahun 1930 bakat Du Perron telah diakui dikalangan pengarang2 jan g ternama dalam dunia sastera Belanda. Dalam bulanan De Gids jang akademis itu ia menjiarkan sandjak sindiran Sonnet van Btirgerdengd, sandjak Gebed bij

de Harde Dood jang kini tjukup terkenal kiranja dan novel-

nja jan g pertama Drama van Huize-aan-Zee, jang oleh se- orang teman sezamannja diandjurkan supaja dilarang sadja penjiarannja sedang De Vrije Bladen, bulanan jang dipimpin Marsman, memuat Gesprek over Slauerhoffjang terkenal itu.

Sesudah itu kritik2nja mendapat tempat jang luas diber- bagai madjalah. Orang mengagumi semangatnja sambil menakutinja. Ia menjerang dengan hebatnja sasterawan2 ja n g ternama seperti Dirk Coster, pengarang essay jang memperdjuangkan pendirian humanisme dan dalam tempo ja n g singkat dia berhasil mendapat kawan dan lawan se- kaligus. Dalam perdjuangan sastera demikian, jang baginja merupakan perdjuangan untuk mempertahankan nilai2 ke- manusiaan, D u Perron merasa diri kuat dan betah: dalam saat demikian ia mengolah ketjakapannja main tindju dan anggar dengan tulisan mendjadi polemik tadjam imtuk kesenangannja sendiri dan teman2nja. Dalam liidup ia men- tjari manusia dan sastera, ia mentjari manusia tapi lebih sering ia mendjumpai pemain sandiwara jang berpura2 punja kemanusiaan. Ia sering menulis karena djidjiknja dan sebagai perlawanan, tapi orang djangan salah tafsir: ia bu- kan pemurung seperti seorang guru susila jang ketjewa. «Sajalah orangnja jan g terachir jang akan menjangkal ke- kuatan watak orang jang sepi, orang jang tjondong pada sikap mistik, orang perasa jang terlalu tjongkak dan suka

(12)

menjendiri, tapi saja beraiii mengatakan bahw a djuga 1111- tuk melakukan perdjuangan dengan tekun untuk m em bela nilai2 sendiri tidak kurang meminta kekuatan w atak,» de- mikian tulisnja dalam mukadimah untuk D e smalle M ens.

Tjerita-tjeritanja, essay2 dan sadjak2nja m untjul sebagai pembantras lagak kosong dan kegelapan, dengan sifatnja jang djemih dan terus-terang, seliingga berpcngaruh besar pada perkembangan sastera Belanda dikurun masa ja n g dikuasai tadinja oleh pemudjaan bentuk se-mata2.

Pada bulan Djanuari 1932 D u Perron m endirikan inadja- lah bulanan Forum bersama kawannja M enno ter B raa k , sebuah madjalah jang memperdjuangkan hak p sych ologie terhadap hak estetica. Essay2 jan g terbaik selama em pat ta­ hun dalam madjalah ini dikumpulnja dalam bu ku D e stnalJe

Mens (1934), dalam mana ia mengadakan pertanggung-

djawaban individuahsmenja di-tengah2 aHran2 kollektivistis jang kiri atau kanan. Dengan m empertarulikan seluruh ke- pribadiannja jang sangat perasa dan sangat tadjam itu ia menetapkan tempatnja disuatu dunia ja n g sampai sekarang masih berlaku. «De smalle mens» (manusia sempit) ja n g di- maksudnja ialah manusia jang tidak sudi m enjerahkan se- djengkal daerahnja tanpa perdjuangan, manusia ja n g tidak sudi dilebur dalam partai manapun dan ja n g lebih suka melagukan lagu mati individualism^ dari pada xnenguak bersama hewan sekitarnja. Krisis politik ja n g m en gam u k sekitar 1933 di Eropah membangunkan pedjuang dalam diri Du Perron dilapangan pemikiran kem asjarakatan, dan dengan demikian membuktikan lagi bagaim ana terbukanja hatinja bagi setiap persoalan jan g mengenai manusia. Bahu- membahu ia berdjuang dengan M enno ter B raak m elaw an bahaja keruntuhan Eropah dan tak mengenai djalan tengah dalam perdjuangan kaum intelektuil terhadap perbudakan manusia. Dalam tahun2 jang sangat genting itu, ketika mana ia harus pula mengorek segala kesanggupannja untuk mentjari nafkah sesudah ia kehilangan kekajaannja, ia tulis- lah kerdja-utamanja Het Land van Herkomst (19 35), ja n g

(13)

dengan tiada sangsi2 sedikitpuii dapat digolongkan roman ja n g paling kaja isinja sesudah M ax Havelaar. Seluruh rin- dunja kepada negeri kelaliirannja, jan g pemah diutjapkan- nja dalam sadjak2 dalam kumpulan Parlando (19 31), ke- nangan masa kanaknja, tjintanja dan persahabatannja, harap dan keketjewaannja diterakan dalam buku «anti-roman» ini dengan tjara jan g tak ada taranja. Sifat terpudji dari roman D u Perron ini agaknja njata dari penghargaan orang jan g be-ragam2, dan hanja buku jang dihargai dengan berbargai tjara oleh beberapa generasilah buku jang mempunjai ha- rapan akan mclcbihi usia pengarangnja. Disamping kom- posisinja jan g serupa Havelaar dan «egotisme»nja jan g mengarah-arah Stendhal, buku itu mempunjai nafas ter- sendiri dan suasana jang menjamai buku2 jan g mendjadi tjontoh baginja. Kalau ia tidak sedang mengerdjakan ker- dja besar, ia mentjatat pikiran dan pandangannja, pertja- kapan dan kesan jan g dipcrolehnja dari hidup dan sastera, dengan tjara jan g mirip pada tjara kauin moralis Perantjis dari abad ke-18 seperti Diderot, Chamfort dan Vauve- nargues dan pada Stendhal, Leautaud dan Gide kemudian, tjatatan mana ia kumpul dengan nama Blocnote klein for-

maat (1936), dikemudian hari diperluas mendjadi kumpulan

bernama In deze grootse tijd (1947).

Dengan harapan bahwa negeri kelahirannja akan lebih banjak memberi ketenangan serta bahan2 buat kerdjanja dari pada Eropah jan g diobrak-abrik oleh perdjuangan po- litik, D u Perron berangkat ke Indonesia pada Oktober 1936, ketika perang saudara Spanjol telah berketjamuk. Sebagai seorang laki2 jan g sudah berusia 36 ia mening- galkan Eropah karena merasa muak dan pula karena dido- rong oleh rindu jan g menggelora dan achimja karena keharusan kembali kenegeri kelahirannja, jan g sudah 15 tahun ditinggalkannja dan menginsjafi bahwa tempatnja bukan disana lagi. A lam Indonesia itu masili mempunjai pesona jan g sama terhadap dirinja seperti dimasa kanaknja, tapi tak boleh tidak setiap hari bertambah pedih perasaan

(14)

jang menegaskan bahwa kepergiaii selama 15 tahun mem- buat kita asing dinegeri sendiri: «indischejongen» ja n g dulu sudah djadi «europeaan» buat selamanja. K ebanjakan dari pertemuan dengan sahabat lama atau baru dinegeri dja- djahan menimbulkan kesan padanja, bahwa masa kanaknja hanja mimpi dan hanja dapat didjumpai kem bah dalam kenangan jang romantis atau sebagai bajangan ditam asja jang djauh dipegunungan Priangan.

Bertentangan dengan sangkaan dari beberapa orang ja n g mengatakan bahwa Du Perron m eninggalkan Eropah su- paja dapat hidup menjendiri dan aman seperti kura-kura dalam kulitnja, kerdjanja jang ditulisnja di Indonesia de­ ngan tegas membuktikan hidupnja semangat perdjuangan- nja, djuga dinegeri kelahirannja itu. Seakan-akan ia hanja memindahkan medan perdjuangan untuk m em bela mar- tabat manusia dan seakan-akan ia bemiat m em bebaskan negeri kelahirannja dari binatang2 jan g paling djahat. Ia menulis pemandangan2 sastera dan politik dalam berbagai harian dan madjalah dan dengan demikian turut dalum usaha mentjiptakan pergaulan baru di Indonesia. «Diantara orang2 jang berteman dengan D u Perron di-tahun2 19 3 6 - 1939 timbullah persahabatan jang hingga sekarang masih tetap ada; baikpun berangkatnja D u Perron ke Eropah, maupun meninggalnja ataupun kedjadian2 sesudah itu ru- panja tak dapat menjebabkan putusnja tah persahabatan tsb. Ia selalu berpegang pada persahabatan: kontak dengan kawan2nja merupakan kebutuhan bagi kalbunja dan sudah tentu ia mentjari kontak sebagai tsb. dengan pendukung2 kebudajaan disini, baikpun pendukung2 kebudajaan bangsa Indonesia maupun jang berbangsa Eropah. K etika beber­ apa bulan sesudah kapitulasi Nederland kabar angin ten- tang meninggalnja Du Perron njata benar, m aka m endjadi lebih eratlah perasaan solidaritet diantara kam i tem an2n ja; rupanja kenang2an akan Du Perron merupakan pertalian antara kami jang ditinggalkannja» demikianlah utjapan B . Vuyck dalam salah satu karangannja. D u Perron merasakan

(15)

dirinja senasib dengan M ultatuli; karena itu M ultatuli di- anggapnja sebagai teman seperdjuangan dan dalam beber- apa m inggu ia berhasil menulis biografie «De M an van Lebak». D alam sebuahsuratkepada Sjahrir, D u P erro n mem- beri pendjelasan kepada teman2nja orang Indonesia ten- tang sebab2 ia kem bali ke Eropah, dalam mana ia menjat- akan maksudnja akan mentjeritakan pengalaman2nj a se- w aktu ia kembah dimasjarakat kolonial dalam suatu buku bem am a Terug cn Tcnig sebagai sambungan Het Land van

Herkomst.

Pada bulan September 1939 D u Perron kem bah di N eder­ land dengan maksud menjelesaikan seri rom annja D e O11-

zekereti, jan g bagian pertamanja, Schandaal in Holland

(i939) tclah terbit sebagai pendahuluan rentetan rom an ja n g bersifat kesedjarahan dan psychologis meliputi w aktu sedjak zaman N apoleon sampali abad ke-20. Jan g mendjadi tjita2nja ialah psychologie Stendhal dan keobjektipan T o l­ stoi dalam hal sedjarah. ‘ B eri aku w aktu sedikit lagi, nanti aku pasti djadi Stendhal di Nederland’ , katanja sambil ber- tjanda memutus djiw a ja n g begitu bergelora ini.

Tibalah ‘kesepian besar’ dibekas tem patliidup pengarang ja n g begitu bernafsu tadinja. Sepi jan g mahabesar, seperti ia menjebut mati itu dalam salah satu sadjaknja, tapi dise- balik itu kita m em punjai buah tangannja, puisi dan prosa ja n g begitu beragam , sebagai protes terhadap kesepian itu, dan ja n g buat selamanja memeliliara suaranja serta kerdip- an matanja.

Manusia, manusia dalam kebebasan niutlak, itulah ja n g selalu mendjadi pusat kepudjanggaan D u Perron. Sebenar- nja baginja perdjuangan untuk «De Sm alle Mens» itu adalah perdjuangan untuk paham martabat manusia didunia. Ke- jakinannja akan gaja hidup ksatria seperti pada d’ A rtagnan dalam buku ja n g paling disukainja D e Drie Musketiers - dan keuletannja dalam m em perdjuangkan hak2 manusia m endjadikan D u Perron tjontoh bagi setiap orang. T ugas

(16)

mengumpul kerdjanja, sekalipun hanja m engenai ja n g bersifat tindjauan sadja, sebenamja tak dapat saja lakukan dengan rasa puas. Tak ubalmja memetik: beberapa buali dari kebun jan g rimbun, jan g menimbulkan kesan keniis- kinan padahal sebenamja sangat m akmur. Pulang m aklu m kepada pembatja jan g budiman mengenai pohon dari buah- nja dan melihatnja dalam keluasan kebun.

(17)

I S I

Tentang Du Perron .. .. . . v Sang intelektuil dan bajangannja .. . . .. i Seorang wanita Indonesia menulis roman .. 3 Kesusasteraan dan rakjat . . . . . . ! j Tjatatan pada karangan Sjahrir .. .. .. 27 P.C .C . (Surat kepada seorang Indonesia) . . 42 Penemuan sastra .. .. .. . . .. ^ Kritik kesusasteraan . . . . . 55 Tentang autobiografi . . . . . 68 Tentang ragam dalam kesusasteraan . . .. 70 Puntjak-puntjak seni roman politik . . . . -72

Arti Multatuli .. .. .. .. .. 78

Bertjakap-tjakap tentang J . SlauerhofF . . 82 Djurubitjara modernisme .. .. .. .. 107 Menno ter Braak dan S. Vestdijk.. .. .. 115 Rom an tentang Indonesia .. . . .. . . 125 Malraux - Les Conquerants .. .. .. 13 1 Malraux - La Voie royale . . .. .. .. 136 Dalam kantjah perang saudara Spanjol .. .. 140 Andre Gide . . . . . . . . . 147

Conrad .. .. .. . . .. .. 157

Pertjakapan tentang Tolstoi . . . 159 Pertjakapan tentang Sebastopol .. .. . . 164

Motto .. .. .. .. .. .. 167

(18)

Tentang pendidikan rakjat.. .. . . . . 17 7 Tentang Rusia dan orang Rusia . . . . . . 178 Tentang pemuda .. .. . . . . . . 180 Main mata dengan revolusi . . . . . . 18 x Manusia sempit .. . . . . . . . . 203

(19)

S A N G I N T E L E K T U I L D A N B A J A N G A N N J A

Seperti pengisap tjandu-ah, bukan! seperti perokok jang tidak dapat berpisah dengan sigaretnja sang intelektuil pergi menghirup hawa ke-ladang2 dengan sebuali buku dalam saku badju dinginnja. Ia sudah tahu betul bahwa ia tak akan membatja; ia berharap demikian; tapi ia tak berani meng- hadapi kemungkinan akan terserah pada siksaan kekosongan laut, pemandangan, kemungkinan timbulnja selera jang sangat dengan tiba2, dan pajahlah ia kalau tak ada huruf2 tertjetak tersedia untuk mengliilangkan laparnja.

Laut indah sekali, kadang2 lebar, kadang2 sempit terapit lereng bukit seperti lupak; sang intelektuil teringat akan

Robinson Crusoe dan akan Treasure Island. Laluiameninggal-

kanlaut dan djalanmenjusurperladanganjang telah dibadjak. Ia naik bukit, menobros rumput basah; dari langit turun sinar matahari, sudah djauh siang, memantjarkan sinarnja menepis permukaan buini; sang intelektuil ditampungnja; mula2 kepalanja, kemudian bahunja, pinggangnja, achimja ia djalan ditepi dimana rumput tertimpa sinar disebelah dan gelap disebelah lain. Tanpa berpikir ia djalan terus, sampai sudut matanja tertarik oleh sesuatu hal.

Disebelah dan sekarang djuga dibawahnja, ada lembah ketjil. Diseberangnja, masih lebih rendah, tapi kembah ter- tjelup tjahaja matahari, sebuah pagar semak berduri jang tinggi dan pandjang. Bajangan sang intelektuil djalan pada pagar semak itu, tegak, lengkap, lebih kurus dan liat dari

(20)

pada dirinja; dengan. tidak sedar sang intclektu il d jalan demikian rupa hingga bajangannja ja n g len gkap b e rd jalan sedjadjar dengannja, sama2 tak berpikir apa2, tapi d jau h lebih njata dalam keadaan tiada berpikir begitu , d iseb eran g lembah. Sang intelektuil teringat akan tjerita ten tan g ba- j a n g a n p a d a Andersen, djuga pada Peter Schlemihl tap i lebih sedar bahwa ia hampir nielewatkan n ikm at ja n g d ja ra n g bersua, dan hampir tidak m enikm atinja seperti tadi d ite p i laut. Lebih terpesona dari pada ketika m cm b atja b u k u , sang intelektuil mulai ber-main2 dengan b a ja n g a n n ja diseberang. Pabila ia semakin m em perhatikan b a ja n g a n itu , semakin merdeka pulalah bajangan itu ; lalu b a ja n g a n itu makin berkurang kesamaannja dengan sang in te le k tu il, lebih bebas dari garis chajalan ja n g m e n g h u b u n g k a n n ja dengan sang intelektuil dan m em ang tak m e m p crlih a tk a n bekas apa2 pada rumput gelap dalam lem bah antara m e re k a . Sang intelektuil hidup dalam bajangannja. L u p a d iri.

Dengkul baj angan meHpat, m elangkah pandj an g , b e rp u ta r sekitar diri, dan berhenti pada siku 90 derdjat. A d a sepcr- empat djam berlalu sebelum sang intelektuil m c m u tu sk a n sudah waktunja m eninggalkan tepi lem b ah tem p a tn ja ber- diri, dan pada saat terachir ia tak berani la g i m e m a n d a n g bajangannja, jakin bahw a djuga ini telah b c rp a lin g d an pergi hilang mengikuti djalan sendiri d ib elak a n g p a g a r semak.

Sebentar kemudian ia berbaring dalam ru m p u t d a la m sinar sendja, diatas bajangan ja n g lain sekali d an ta k b er- harga untuk diperhatikan. Ia m enutup m ata d an t in g g a l disana sampai hawa mendjadi dingin dan se d je n a k p u n ia tak hendak mengusap huruf2 tjetak ja n g b e ra d a d a la m kantongnja.

Saja tidak ragu2 lagi - dan hal ini se-kali2 tid ak b e rd asark an ukuran2 estetisjang manapun djuga —, b a h w a d ia n tara se g a la matjam kesenian seni-sasteralah ja n g p alin g t in g g i n ila in ja : seni-sastera adelah kesenian ja n g p alin g tep at lu k isa n n ja , sedang alat2 teater jan g dipakainja p a lin g se d ik it p u la.

(21)

S E O R A N G W A N I T A I N D O N E S I A M E N U L I S R O M A N

Pendahuluan buat:

<sBuiten het Garceh, Suwarsih Djojopuspito, ig40

T okoh utama dari tjerita berikut, Sulastri, mentjeritakan pengalamannja sebagai roman dalam bahasa Belanda; Su­ lastri adalah seorang wanita Sunda dan ia terpaksa berba- hasa asing tsb., karena romannja itu ditolak oleh lem baga - penerbit jan g menjelenggarakan batjaan jan g baik untuk rakjat. W alaupun saja tidak melihat persamaan mutlak antara penulis Bui ten het Gareel, njonja Suwarsih D jojopus­ pito, dan tokoh utamanja Sulastri, tak salah rasanja dinjata- kan ditempat ini bahwa bukunja djadi dalam keadaan ja n g serupa. Seorang Indonesia, ja n g merasa terdorong menulis untuk bangsanja, jan g merasa tjukup «pengetahuan» untuk melakukan hal itu, biasanja harus mempergunakan bahasa Indonesia atau bahasa Belanda. D jika ia memakai bahasa Indonesia, ia dapat mengenakan pakaian bahasa baru pada bentuk2 sastera barat, tapi besar kemungkinan ia akan menimbulkan banjak salah-terima dikalangan orang banjak, karena banjak orang, terutama golongan tua bangsanja, akan heran apa sebabnja ia mempersoalkan hal2 jan g begitu remeh dan lata, jakn i hal2 jan g sedjak berpuluh tahun men- djadi perhatian bagi realisme di Barat. (Pelukisan badan seorang petani jan g bersimbah peluh akan mengedjutkan dan membikin tersenjum pembatjanja dikalangan orang tua, ja n g lalu akan menjebut pengarangnja kekanak-kanakan: manusia lata jan g buang w aktu buat soal2 dem ikian!). D jika ia mempergunakan bahasa Belanda, ia hanja akan sampai

(22)

pada teman sebangsanja jang sudah tjukup terpcngaruh kebudajaan Barat, tapi disebalik itu la harus m empcrguna kan bahasa sastera jang bukan miliknja, bahasa jan g ti a memberi alasan minta m aaf «masih dalam keadaan-dja i» (seperti bahasa umum, jaitu bahasa Indonesia, jan g se ^ a rang mendjadi tudjuan orang diseluruh kepulauan Indonesia), dan jang membawa beratus2 pengarang s e agai a han perbandingan jang mentjemaskan had, ber atar e a kang kesusasteraan jang ketjil tapi sudah matang dan mem punjai tradisi sendiri, dengan latar-belakang mana ia a an menarik perhatian melulu hanja karena ia asing. D a^ aSx • kalau ia dapat merasa diri orang Belanda. T api ia u a a seorang Indonesia, djika tidak menudjukan karangarmja kepada bangsanja per-tama2, sekalipun ia menu is a am

bahasa Belanda. ...

Dalam situasi demikianlah njonja Djojopuspito ter at. bagaimanapun djuga baginja lebih gainpang memperguna kan bahasa Belanda, bahasa jang mula2 memberi pengerti an kesusasteraan padanja, dalam mana ia mendapat lati lan mengarang jang pertama dibangku sekolah; tapi terang, ia tidak per-tama2 menulis untuk pembatja Belanda. H al ini tidak berarti bahwa njonja Djojopuspito tidak akan meng- hargai perhatian orang Belanda jang suka bersahabat dan berkemauan baik, sebaliknja. Tapi baginja, sebagaimana djuga bagi banjak orang Indonesia lainnja, jan g tidak per- nah ke Nederland, jang mengenai orang Belanda terutama hanja dalam bentuk pernjataan kolonial-nja, dan itupun tidak selalu dalam bentuk pernjataannja ja n g paling baik, djurang jang memisah kedua mentalitet seakan-akan tak dapat ditutupi, dan djika banjak buku Belanda j anS * batjanja, hal itu mungkin merupakan penawar, tapi e 1 dari itu tidak. Kebanjakan orang Indonesia, dan djusteru mereka pada siapa kebudajaan Barat itu telah berarti, sulit kedudukannja dalam bergaul dengan mereka dikalangan Belanda, jang scdianja pasti akan dapat mendjadi teman ja n g sesungguhnja.

(23)

Dalam roman Indonesia tahun2 belakangan ini terdapat dua tema p okok: perkawinan antara dua orang jan g sedera- djat, peranan perempuan jang dalam segalahal, djuga dalam hal kerohanian, sanggup mendampingi suaminja sebagai teman, dan bukan hanja alat bersenang-senang, penang- gung-djawab rumah-tangga, kedudukan jan g masih dipe- gangnja menurut paham lama, berdasar paham Islam atau tidak - dan arti pendidikan dalam usaha menjedarkan puak2 Indonesia. Kedua tema ini sedjalan djuga, karena kesedaran wanita Indonesia jan g semakin bertambah adalah akibat pendidikan itu pula. Demikianlah Buiten het Garccl, walau- pun ditulis dalam bahasa Belanda, merupakan roman In­ donesia jang sangat representatif, karena didalamnja kedua soal tersebut didjalinkan sebagai pcrsoalan hidup.

Soal timbul atau tenggelam dilapangan pendidikan se­ akan-akan lebih njaring pula suaranja dari soal lain jang ter­ dapat dalam buku ini, dan dapatlah dikatakan dalam hal ini bahwa pengarangnja bitjara sebagai seorang nasionalis dan tidak terutama sebagai seorang wanita.

Membajangkan alam demikian, dimana kehausan akan segala jan g berbau «intelektuil» lahir dari «perdjuangan hi- dup» jang paling sentimentil dan paling kasar, dimana perka- taan jang telah begitu luas dan lusuli mendapat arti jan g baru dan akrab sekali,susah bagi pembatjaBelanda dari tahuni 940.

Dalam lingkungan suatu kesusasteraan, jan g bukan sadja melaliirkan seorang Vestdijk, tapi segera sesudah itu menje- butnja dekaden, kita harus punja tjukup fantasi untuk membajangkan suatu alam, dimana kalimat «mawar itu merah» masih mengandung kekuatan gaib memindahkan orang dari suasana hidup jang satu k ejan g lain. Ialah fadjar penjebaran sekolah rakjat, jang masih dapat kita persaksi- kan dikalangan penduduk «daerah Tim ur kita», jan g buat bagian terbesar masih buta huruf; dan suasana jan g roman- tis ini, jan g menutupi persoalan jang lebih musjkil dari pada jan g kelihatan pada pandangan pertama, dilukiskan semur-

(24)

Seorang pemimpin rakjat Indonesia Ir. Sukarno, j ang oleh beberapa orang dibandingkan dengan Lasalle, telah memberi tjorak nasional jang begitu djelas pada tarat e- bangunan ini, hingga bertambah romantis lagi djika diberi wama pohtik. Masa itu ialah masa non-kooperatie, ja n g berarti menolak bantuan Belanda dan mendirikan sekolah2 kebangsaan dengan tenaga sendiri, dalam kemiskinan an semangat jang ber-api2, waktu mana «sekolah liar» turn u 1 dengan subur. Tjara bagaimana kaum nasionalis Indonesia menjusun semua ini, usaha memberi kesadaran politik ja n g sedjalan dengan itu, tentangan dari pihak jan g berw a j i , semua ini kelihatan dalam roman ini. Tapi pokok utama lebih dalam letaknja, dan ada sangkut-pautnja dengan nama buku ini: jaitu romantik tindakan memutuskan pe a jaran, jang se-akan2 menentukan hidup kepegawaian bagi m^r<" a dalam «gareel» Belanda, dan mendjadi guru pada s e o a 1

liar dengan nasib jang tidak tentu.

Dalam buku ini dilukiskan pribadi Sukarno dengan kehalusan tangan wanita dan walaupun lukisannja kurang djelas, pengaruh pemimpin ini dalam alani chusus tempat Sudarmo dan Sulastri hidup, tak dapat disangkal kebena rannja. «Masa kedjajaan Bung Karno» hingga kini masili dikenang-kenang dilingkungan itu sebagai topan semangat perdjuangan; Bung Kam o sendiri hampir merupakan pah- lawan dongengan; Sudarmo dan Sulastri, berdiri diluar barisan gubernemen, memandang diri pula sebagai pening- galan masa jang sudah silam, ibarat kaju apung dalam lupak2 terpisah dari gelombang besar. Tenaga pendorong bagi mereka hanja kegembiraan mereka sendiri, kesetiaan pada tjita2 lama; tapi mereka meliliat diri se-akan2 ter- kurung dalam barisan baru: jaitu barisan guru sekolah liar, satu2nja tempat bekerdja jang terbuka bagi m ereka sekarang. Suasana romantik lama jang masih tersisa, tanpa ragi, tanpa zat asam, dalam mana mereka terpaksa ber- kembang, setidak-tidaknja harus dapat bertahan. M ereka telah punja pengalaman, mereka telah memperoleh

(25)

penglihatan jang kritis, kegembiraan lama telah diganti oleh keketjewaan, tapi mereka mengharapkan bentuk2 kehidupan baru jang pasti bakal timbul menurut keper- tjajaan mereka, dan mereka berusaha tetap tinggal setia pada tjita2 lama sambil mengenang harapan2 jang sekali waktu telah dibuka oleh Bung Karno.

Sebenarnja Sudarmo-lah jang dalam banjak hal men- djadi tokoh utama buku ini dan bukan Sulastri. Tokoh wanita, Sulastri, diteropong setjara sentimentil tapi djuga kritis, artinja ditindjau dari dalam; terasa benar bagaimana ia berusaha keras mendjadi teman seperdjuangan jang pan- tas bagi lakinja, tapi djuga kelihatan kekurangan2 jang melekat pada dirinja. Walaupun sering ia tidak segan me- nundjukkan rasa sentimentil, njonja Djojopuspito tetap djudjur, hampir seperti pengarang barat: kritis tapi tenang, daja penghhatannja terbalut dalam rasa humor jang tidak menondjolkan diri, sesuai dengan sifat kewanitaan. Djika Sulastri dengan kritis memandang teman2nja senasib, hal demikian djuga sering dilakukannja terhadap dirinja, dan sifat kc-indoncsiaan, sifat «ketimuran» jang chas dalam buku ini, pada hemat saja, ialah nada jang rata dari rangkaian kenang-kenangan dan pengalamannja; tokohnja tidak me­ nondjolkan diri, dan se-akan2 bukan seorang wanita jang revolusioner jang bitjara, melainkan seorang wanita, seperti jang mungkin terdapat didimia Barat, jang mendjalankan peranannja dalam kehidupan jang sulit, pilihan golongan- nja, dengan keberanian, tapi tak luput dari kelesuan, dengan kesedaran akan korban jang telah diberikan dan terhambur berkali-kali. Suatu perasaian nasib jang tidak chas terdapat pada wanita sadja tapi mendjadi tjiri sifat manusia umumnja.

Karena sifat2 inilah, maka saja tak ragu2 menulis kata pendahuluan buat buku ini untuk pembatja dikalangan Belanda. Orang Indonesia dan Belanda di Indonesia dapat menentukan pendiriannja terhadap buku ini tanpa perto- longan apa2; walaupun pendirian itu sering akan diten- tukan oleh situasi kemasjarakatan masing2. Djelas, bahwa

(26)

roman im sebagai roman hanja sedikit mempunjai «ketc- gangan dramatis»; bahwa buku ini sebagai hasil kesusas­ teraan gampang disebut lemah. Barangkali e n a dinjatakan bahwa buku ini per-tama2 ber-tjita2 mendja 1 sematjam lapuran, dokumen; tapi rasanja kurang a 1 me makai perumusan demikian pada ketika in i, karena a am bukuituterdapatkemurnianjangdiwudjudkansetjara a nada ash, bukan sadja sebagai kesaksian, tapi djusteru psy chologis, jang harus pula diakui sebagai salah satu an pa

sifatnja jang baik. . ,.

Kenjataan bahwa buku inilah roman pertama, jan g it oleh seorang Indonesia dalam bahasa Belan a, c un kudjadikan pertimbangan; lagi hal ini tidak apat me djadi suatu sifat kepudjian melainkan hanja suatu ia J

menarik perhatian. Sepandjang pengetahuan saja, hanja Kartini dan Noto Surotolah jang mendahului njonja Djojopuspito dilapangan ini, dan walaupun ja n g e ua sebenarnja tak dapat didjadikan bandingan, barang a jang pertama masih dapat dibanding sebagai pengarang

dengan njonja Djojopuspito karena k e a d a a n jan g ke etu an

hampir bersamaan. Tapi djuga perbandingan ini ti a tjo tjok benar, ketjuali kalau dipergunakan alasan2 sosio ogis,

untuk menundjukkan bagaimana djauhnja pengaru pen didikan barat sedjak masa Kartini di Indonesia.

Anak bupati jang dahulu itu meng-arah2 fenomen, njonja Djojopuspito hanja seorang wanita Indonesia dian- tara jang banjak. Dan dia lebih modern pula dari Kartini, dalam tjara perumusan perasaan sadja; sekalipun tokoh utamanja tjukup memperlihatkan sentimentalitet, nada tulisannja djauh lebih scderhana, dan Kartini, artinja da am pengakuan2nja jang lyris, lebih tjondong pada «kesusastera an», sedang ia menulis surat dan njonja Djojopuspito tanipi sebagai pengarang roman. Dalam tulisan2nja jan g lyn s, Kartini, sekalipun perasaannja tetap perasaan D jaw a, akan nampak sebagai pengarang a la Hollandsche Lelie bagi penv batja Belanda anno 1940, karena pengarub pengarang jan g

(27)

rupanja mendjadi tcladan baginja, karena perkataan2nja jang berasal dari logat njonja-belanda-jang-dalam-kesulitan; djika kebesaran arti tokoh Kartini (sebagai pertanda zaman, sebagai perintis) kita lupakan, maka prosanja jang diumum- kan hanja berharga bagi kita pada saat2 ia melukiskan sesuatu setjara sederhana dan singkat.

Njonja Djojopuspito, barangkali dengan tak sadar, se- akan-akan mengambil peladjaran dari pengalaman in i: ke- sederhanaannja jang sering bersifat pentjatatan sadja, inilah jang memberi harapan besar, bahwa ia tak akan dianggap ketinggalan zaman kelak. Lagi pula sudah terang bahwa buku ini tcrutama akan merupakan kesaksian dari pada suatu zaman: zaman tjepat berobah, djuga «didaerah tropi- ka Nederland». Kelak segi politik dalam roman ini akan berkurang harganja, jang bagi saja sendiri sudah tidak ber- apa penting lagi, sudah kurang penting, djusteru karena setiap orang Indonesia tak akan luput dari sematjam kesa- daran politik. Dan djuga itu hanja akibat dari pendidikan barat, sebagai jang diperkenankan oleh kekuasaan Belanda sendiri kepada «rakjat bumiputera»-nja; dan betapapun kerasnja usaha orang sekarang memperbaiki kesalahan aki­ bat perbuatan sendiri dengan melarang batjaan jang diang­ gap berbahaja, agaknja suatu pendirian jang tidak tepat djika orang Indonesia itu hendak dihukum karenanja: jakm, memukul dengan tangan kanan karena mereka menerima jang diberikan dengan tangan kiri.

Melihat bentuk roman ini, maka ia adalah buah dari ke- budajaan Barat, setidak-tidaknja hasil pendidikan Barat, dikalangan «rakjat bumiputera» di Indonesia, dan djika di- sini kelihatan pemandangan satu pihak sadja, suatu hal jang tak dapat dielakkan, itulah kedjudjurannja, kedjudjuran jang sulit dianggap berbahaja. Perasaan2 nasional diakui dan tertjatat didalamnja, pergeseran jang menjakitkan hati dengan alat2 kekuasaan dilukiskan sesuai dengan kebenar- an, tapi tanpa dendam. Utjapan2 jang menimbulkan ke- gelisahan tak akan didjumpai oleh pembatja jang tak

(28)

ber-prasangka didalamnja. Barangkali buku inipun dapat menjumbangkan sesuatu pada kemauan «saling mengerti» jang mendjadi tudjuan orang jan g suka bersahabat dike-

dua belah pihak.

(29)

Kesadaran akan penghidupan kultur makin lama makin besar pada kita. T ak dapat disangkal bahwa djasa jan g ter- besar untuk menghidupkan dan mengembangkan kesadar­ an itu adalah pada scgolongan kaum muda jang berkumpul disekeliling madjalah Pudjangga Baru.

Pergerakan pemuda ini mula2 hanja menarik perhatian oleh semangat kegembiraannja untuk membangunkan su­ atu penghidupan kultur di Indonesia, jang tidak berbau udara musium atau menjan. Tudjuan dan dasar mula2 be- lum terang, se-kurang2nja bagi orang diluar. Akan tetapi lambat-laun semangat kegembiraan muda tadipun bertam- bah djernih, dilapis oleh pengalaman dan pengertian jang lebih landjut akan kedudukan dan kesanggupan sendiri.

Pudjangga Baru mendjadi madjalah bulanan jang hen-

dak memimpin semangat baru jang dinamis untuk mem- bentuk kebudajaan baru, kebudajaan persatuan Indonesia. Kesadaran akan diri didapat: semangat dinamis semangat pembaru. Tudjuan tetap masih belum terang benar. Bagai- manakah rupanja kelak kebudajaan baru, kebudajaan per­ satuan Indonesia itu?

Mengetahui jan g akan datang didalam penghidupan dan pergaulan manusia kita serahkan sadja kepada M m e Leila. Kita sebagai manusia biasa hanja dapat menduga dan ber- ichtiar mentjapai apa jan g kita kehendaki. Apakah jang dikehendaki pergerakan Pudjangga Barn ini? Bagaimana

(30)

rupa kebudajaan baru jang dikehendaki Pndjangga Baru ? Kita hanja dapat men-duga2 dari utjapan2 w akil2nja. P ro­ gram rupanja tidak ada. Ini suatu kekurangan akan tetapi bukan suatu kesalahan.

Oleh karena ia tiada mempunjai program selain dari ja n g se-luas2nja didalam tudjuannja itu, ia hanja dapat dikenal benar oleh memperhatikan dan menjelidiki gerak-geriknja, tendenties jang ada padanja. Inilah pula jan g saja gunakan bagi dasarfikiran dan pemandangansajaterhadapnja,serta du- gaan dan pengharapan kedjurusan mana ia akan berlandjut.

Agaknja kepada rakjat. Sebab djika ia nanti mendapat kesadaran jang sepenuhnja akan diri dan tudjuannja, ia akan terpaksa akan memilih satu dari dua djalan ja n g ter- lihat dimukanja: kekanan balik pada permulaan - kekiri terus dengan rakjat menudju kebudajaan baru. Djalan k e­ kanan djalan kekesentosaan jang kekal, djalan kekubur - djalan kekiri, djalan perdjuangan terus - menerus menudju kebudajaan baru jang rupanja tidak pernah akan ditjapai, djalan perdjuangan untuk perdjuangan, djalan dunia di- namis.

Djika Pudjangga Baru memenuhi perdjandjian ja n g di- berinja pada diri sendiri dan pada rakjat Indonesia: — se- mangat dinamis dan kebudajaan baru - tentu ia akan men- djurus terus pada rakjat dan achimja m enggabungkan t'ita2 dan dirinja dengan rakjat.

Rakjat banjak jang tidak mempunjai kesempatan untuk penghidupan kebudajaan didalam kesempitan hidup-men- tjari-makan sedia untuk bersama dan bersatu dengan pah- lawan2 jang hendak mentjapai kebudajaan baru, didalam mana rakjat mendapat tempat. Diantara rakjat banjak ja n g sebenarnja belum berkebudajaan pun tak perlu dimusnah- kan dahulu semangat kebudajaan «statis», jan g dimusuhi oleh Pudjangga Baru itu.

Oleh karena ini soal kesusasteraan dan rakjat harus men- djadi pokok perhatian sckalian pemuda Indonesia ja n g berse- mangat dinamis dan berichtiar mentjapai kebudajaan baru.

(31)

Beberapa fikiran tentang kesusasteraan dan kebudajaan didalam karangan ini saja dasarkan pada karangan jang lebih besar tentang kebudajaan dan rakjat. Pokok-pokok fikiran didalam karangan itu adalah demikian:

Kebudajaan berarti sama dengan dalam bahasa Inggeris civilization; perbedaan antara Zivilization dan Kultur jang dibuat orang Djerman saja anggap tidak berguna dan saja tolak.

Kebudajaan burdjuis jang djuga dinamakan kebudajaan Barat telah mendjadi kebudajaan universil, kebudajaan se- luruh dunia. Kebudajaan bukan pusaka barang mati, akan tetapi pusaka jan g harus dialalikan lebih dahulu, untuk mendapatnja. W aris dari sesuatu kebudajaan bukan sesuatu manusia atau kasta menurut turunan darah, akan tetapi se- kahan jan g sedia dan sanggup mengalahkan menguasai pusaka kebudajaan tadi.

Kebudajaan kaum terpeladjar di Tim ur tak lain dari ke­ budajaan Barat itu.

Disini saja landjutkan sedikit fikiran2 ini dengan akibat: pergerakan Pudjangga Baru hanja suatu rupa dari kebuda­ jaan universil jan g ada didunia.

Lebih dahulu saja akan berichtiar memberi karakteristik pergerakan kesusasteraan baru jang ada di Indonesia.

Pergerakan ini dimulai oleh kaum muda, kaum terpe­ ladjar Indonesia. Mereka terpeladjar setjara Barat. Kekajaan kebudajaan mereka bukan sadja ilmu barat akan tetapipun kesusasteraan dan kesenian Barat. Mereka hidup dengan kesusasteraan dan kebudajaan Barat tadi oleh karena bagi mereka memang tidak ada kesusasteraan dan kebudajaan lain jan g dapat memuaskan penghidupan rohani mereka. Oleh karena ini pula tjita2 mereka tentang kebudajaan tak berbeda dari tjita2 jan g terdapat didalam kebudajaan Barat. Kebenaran dan kenjataan ini sedikitpun tak perlu meren- dahkan deradjat kebudajaan dan kesusasteraan jang dike- hendaki Indonesia muda. Sebaliknja apa jang dikehendaki- nja itu tak lain dari apa jan g dibawa zaman.

(32)

Sedjalan dengan pergaulan di Indonesia bertambah m o ­ dem bertambah kuat pula kedudukan Indonesia m uda de­ ngan tjita2nja. Pemuda2 Indonesia ini jan g atjap disebut orang «ontworteld» sebenamja tumbuh dan tim bul ditanah baru, di Indonesia baru, jang banjak orang tidak hendak meliliat dan mengetahui. Bertambah m odem Indonesia bertambah meluas dan mendalam akar mereka, bertam bah besar pengaruh dan kuasa mereka atas pergaulan Indonesia.

Ukuran jang harus dipergunakan pada kebudajaan m e­ reka tak lain dari ukuran jang lazim dipakai untuk kebu ­ dajaan Barat.

Menurut ukuran itu kesusasteraan jan g diw akilkan oleh mereka masih terbelakang. Hal ini tak perlu m engetjew a- kan. Pergarakan kesusasteraan ini masih sangat m uda. Ia masih penuh tjatjat dan kekurangan jan g m endjadi sifat umur muda. Ia djauh dari mempunjai distinctie ja n g di- dapat pada rambut putih.

Akan tetapi pula sebenarnja sifat2 itu mendjadi keuntung- an padanja didalam saat ini. Ia masih penuh kegem biraan dan belum dihinggapi skeptisisme dan pessimisme B arat tua. Semangatnja masih dapat menjala oleh tjita2, ja n g ha­ nja membuat skeptikus Eropah tersenjum. Pergerakan 80 jang di Eropah telah dianggap kuno masih dapat m enggem - birakannja. Ia masih bergumul dengan soal2 ja n g di Eropah telah ditanggalkan seolah-olah pakaian tua. A p a ja n g telah mendjadi tempo jang sudah lampau untuk Eropah baginja masih masa jang akan datang. Baginja kebudajaan dan k e ­ susasteraan masih suatu perdjandjian rnasa ja n g akan da­ tang. Ia pertjaja pada masa jan g akan datang itu dan ia ber- sedia untuk mentjapai segala tjita2nja dengan tjepat dan berburu-buru.

Pada waktu ini kebudajaannja belum seukur dengan k e ­ budajaan di Barat, akan tetapi ia djuga akan m entjapai ukuran itu. Hingga sekarang beberapa fase ja n g di E rop ah beberapa tahun lamanja, mereka djalani dalam tem po se- dikit. Pun pada waktu ini ada satu dua antara m ereka ja n g

(33)

telah mengenjam modemisme Eropah. M uak dan lesu pada kebudajaan jang ada di Eropah masih djauh dari diri me­ reka.

Didalam tangan pemuda2 Asia ini kebudajaan masih be- rupa muda. Sehingga banjak orang di Eropah menjangka bahwa kebudajaan mereka ini jang akan mengganti ke­ budajaan Eropah jang telah tua itu. Ini ada suatu kechilafan. Kebudajaan pemuda Tim ur ini satu dengan kebudajaan Barat dan semangat pembarunja hanja dapat membarukan kebudajaan Eropah itu, sedjalan dan bersama dengan se­ mangat dan kekuatan-kekuatan pembaru jang ada di Ero­ pah itu sendiri.

Dengan bertambah umurnja pergerakan ini, tjita2 ke- budajaannja akan lebih terang dan njata, naik seukur de­ ngan tjita2 membarukan kebudajaan jang ada diseluruh dunia.

Pergerakan pembaru kebudajaan di Indonesia boleh di- katakan hanja pergerakan kesusasteraan. Didalam penghi- dupan kebudajaan jan g lain selain dari penghidupan agama dan ilmu, semangat pembaru itu belum ada. Pada pergerak­ an kesusasteraan ini tergantung djurusan jang akan ditem- puh oleh kebudajaan Indonesia. Untuk menjumbang un- tuk keperluannja didalam perdjalanan dan pekerdjaannja saja hadapkan padanja beberapa fikiran didalam karangan ini.

Didalam tiap2 penghidupan kebudajaan manusia ting- katan romantis harus dilalui. Demikian pula dengan per­ gerakan kesusasteraan Indonesia muda. Tingkatan itu ada- lah tingkatan didalam mana kekurangan pengalaman dan pengetahuan dipenuhi dengan perasaan. Penglihatan duma adalah penglihatan dunia oleh perasaan. Mata tidak, belum lagi «dikuasai» oleh fikiran akan tetapi oleh perasaan. Fikir­ an passif belum lagi aktif. Dinamik didalam penghidupan dinamik-perasaan belum lagi dinamik-fikiran. Malahan fikiran atjap terasa sebagai penghalang - rem - didalam penghidupan. Perasaan dihargai djauh lebih dari fikiran,

(34)

jang kuasanja belum diketahui. Perasaan didjundjung, di- djadikan sesuatu dunia, dipertuhan:

Uud wenn Du ganz in die Gefiihle selig bist, Nenn es dann, wie du wilst,

Nenn’s Gliick! H erz! Liebe! Gott! Ich habe keine Namen

Dafiir Gefiihl ist alles; Name ist Schall und Rauch,

Umnebelnd Himmelsglut.

Tingkatan itu agaknja belum dibelakang kita, kalau sudah belum berpisah dari kita. Meskipun begitu boleh dikatakan, bahwa kita telah keluar dari dunia Weltschmerz dan Idylle, dari dunia Courths-Mahler dan Florence Barclay. Kitapun tidak lagi mengutamakan mengembara didalam «wazigheid enlievigheid»dan«tussenlicht en duisternis». K ita sudah tahu membatja dan menghargakan D u Perron, T er Braak, B en ­ da dan Malraux. Kita madju tjepat dan dengan ketjepatan itu akan lekas pula dapat dibuat djembatan jan g akan me- njambung kaum terpeladjar kita serta kebudajaan mereka

dengan rakjat dan keperluannja.

Demikian pula dengan soal kesusasteraan dan rakjat. Pertanjaan disini tidak berbunji: perlukah kesusasteraan itu dihadapkan dan didasarkan pada Rakjat? akan tetapi: ba- gaimanakah seharusnja kesusasteraan itu, agar dapat ber- guna jang sebanjak2nja untuk rakjat Indonesia?

Pertanjaan itu dapat pula dipetjah mendjadi dua. Per- tama: bentuk dan isi kesusasteraan itu?

Hal jang kedua biarpun sangat penting sebenarnja hal technisch commercieel. Soal mentjari siaran jan g semurah- murahnja dan - oleh karena itu - se-luas2nja didalam ka- rangan ini tidak akan saja bitjarakan lebih landjut.

Hal jang pertama adalah mengenai kesusasteraan sendiri. Apa matjamnja kesusasteraan jang dapat dan harus dibatja oleh orang banjak?

(35)

Kalau kita berpaling ke Eropah terlihat dimuka kita nama2 : Zola, Gorki, Adama van Scheltema dan A . M . de Jong.

Keempatnja itu tidak sama deradjatnja didalam kesusas­ teraan dunia. Akan tetapi buah kesusasteraan mereka ke- empat sama gemar dibatja rakjat dinegeri Belanda.

Zola ajah naturalisme. Gorki boleh dikatakan muridnja dinegeri Rusia, demikian pula Adama van Scheltema dan A. M . de Jon g dinegeri Belanda.

Apakah sifat2 naturalisme itu, jang membuat dia dapat bersambung dengan perasaan rakjat? Selintas lalu dapat kita duga. Naturalisme menggambarkan penghidupan ra­ kjat banjak. Kcburukan, kesengsaraan jang ada pada rakjat diichtiarkannja menggambarkan dengan bahasa jang se- terang-terangnja. Menurut pengakuaimja, maksudnja ialah tak lain dari menggambar sadja. Pada Zola: hukum alam didalam penghidupan, hukum turun-temurun (erfelijkheid) djuga pada manusia. Djadi sebenarnja pada Zola naturalis­ me tidak djuga menggambarkan se-mata2, akan tetapi di- gunakan untuk membuktikan suatu teori ilmu (turun-te- murun). Pendapatan saja rata2 rakjat banjak tertarik oleh buah kesusasteraan Zola bukan oleh karena teori ini, bukan djuga oleh riwajat Rougeon Macqnart dan turunannja, akan tetapi oleh gambaran-gambaran seperti terdapat didalam

I’Assommoir dan Germinal, jaitu gambaranjang teliti tentang

penghidupan dan kesengsaraan kaum buruh. Pendapatan Zola bahwa manusia sebenarnja didalam perbuatan dan fikirannja didorong oleh perasaan kasar (instinkt), dapat dirasa sebagai kebcnaran oleh rakjat banjak pada permu- laan abad ini. Memang didalam kesengsaraan jang hampir tak terhingga pada waktu itu kehidupan kaum ini tiada ba­ njak bedanja dengan kehidupan hewan.

Meskipun Gorki banjak beladjar dari Zola, naturalisme- nja berbeda dari naturalisme Zola. Selain dari Zola ada djuga ia membatja dan beladjar dari Pusjkin, Dostojevski, G ogol dan Tolstoi. Naturalisme padanja boleh dikatakan

(36)

berbangun Rusia. Pada Zola hanja kekuatan jan g men- dorong fikiran dan tindakan manusia (instinkt). Pada G orki ada psychologi, meskipun tidak mendalam sebagai Dosto- jevski. Naturahsme pada Zola banjak kali mendjadi sym- bolisme, pada Gorki rata2 realisme. Akan tetapipun Gorki menggambarkan penghidupan kasta paria. Berm ula de­ ngan Ntfc/zto}'/,jang dikarangnjawaktuiamengembaraseba- gai salah seorang dari kaum paria itu. Zola dapat m enggam ­ barkan penghidupan rakjat banjak itu sebagai orang dari luar jang mempeladjarinja dari luar. Gorki sebagai orang jang mengalami dan mengetahui sendiri. Boleh djadi per- bedaan psychologi didalam buku2 kedua pudjangga besar ini tersebab oleh perbedaan pengalaman penghidupan.

Adama van Scheltema, pudjangga rakjat Belanda pun naturalis didalam bahasa dan masaalah. Kehendak m eng­ gambarkan jang besar-besar hingga mendjadi sym bolik, jang terdapat pada Zola, djauh dari padanja. Didalam se- gala2nja ia ketjil, meskipun sosialisme dunianja hanja dia- lamkannja sebagai salah satu dari perasaannja jan g banjak sadja. Akan tetapi sebagai. Zola ia menggambarkan dengan sadjak apa jang dapat dirasa oleh rakjat banjak dalam ba­ hasa jang dapat diertikan oleh rakjat.

Demikian pula A. M . de Jong dengan prozanja. Didalam buku2nja tidak ada soal psychologi jan g sulit2. Ia men- tjeritakan penghidupan kaum buruh dinegeri Belanda di­ dalam abad kita ini dengan bahasa jang lantjar dan mudah. Gambaran penghidupan itu telah tidak begitu buruk lagi sebagai didalam abad kesembilan belas. Penghidupan kaum buruh dinegeri Belanda menurut gambaran A . M . de Jong menjerupai penghidupan manusia biasa dengan susah-senangnja.

Njata bahwa ke-empat2 pudjangga jan g dibatja rakjat banjak di Eropah ini menggambarkan hal2 jan g dapat di­ rasa oleh rakjat, penghidupannja sendiri, dengan djalan na- turalisme.

(37)

diterdjemah-kail didalam bahasa Indonesia dan disiarkan dengan harga murah, pun dinegeri kita ini Zola dan Gorki akan dibatja oleh rakjat jang sanggup membatja, meskipun boleh di- katakan, bahwa gambaran kesengsaraan kaum miskin di Eropah itu - disana lebih dahulu alkohol berkuasa - asing pada rakjat banjak di Indonesia. Jang tak luput akan me- narik hati didalam buku2 itu adalah perhatian kepada ke- miskinan dan kesengsaraan, serta penghidupan prim itif jang menjerupai penghidupan rakjat banjak dimanapun

djua.

Rakjat di Indonesia, terlebih di Djawa, setingkat kurang kasar dari rakjat-banjak di Eropah, akan tetapi agaknja sama primitif.

Djika ditilik pembatjaan rakjat-banjak itu lain dari apa jang dapat dinamakan kesusasteraan, njata bahwa jang di- gemarinja ialah pembatjaan tentang negeri asing dan avon- tuur dan selain dari itu djuga buku2 tjap Courths-Mahler dan matjam2 sentimentalitet harga murali lagi matjam lagu Jan Koloniaal jang berbitjara dengan mamanja dengan radio-tilpon dan sentimentalitet straatzangers hingga ke SpeenhofF, Songs (Somiy Boy).

Menurut kehendak rakjat niaka kesusasteraan hams reqlis kasar, jaitu naturalis, dan disebaliknja sentimentil.

Haruslah diturut sadja kehendak rakjat ini? Haruslah se- kalian pudjangga jang hendak mendjadi pudjangga rakjat berguru pada Zola sadja? Menurut pendapat saja tidak. Terlebih di Indonesia tidak. Benar bahwa pekerdjaan Zola dan Gorki termasuk kesusasteraan tinggi, akan tetapi tidak perlu kita tinggal pada puntjak jang telah mereka tjapai. Naturalisme jang se-tinggi2nja telah tertjapai oleh Zola, lagi telah banjak bersifat symbolisme. Gorki sebenarnja bukan naturalis se-mata2. Padanja sudah bersinar kehendak rakjat banjak, kehendak mentjapai jang lebih tinggi dan lebih baik. Gorki pun meluas seperti Zola akan tetapi tidak pemah kasar. Salah satu dari buku2nja jang terachir jang saja batja didalam bahasa Belanda (terdjemahannja baik)

(38)

Zomer, hampir boleh dikatakan. aesthetis, halus bahasa

ptT'a^aan. Berguru pada G o rk i?

B erguru padanja tentang pengalamannja, kesanggupan-

nja membentuk fikiran dan perasaan, pengalam annja ten- tang rentjana2 roman jang baik dan bagus. A kan tetapi bukan padanja sadja. Berguru pula pada D ostojcvski, T o l­ stoi, Proust, Gide, pada Van Schendel, Van Oudshoorn, Boutens dan Roland Holst. Berguru pada kesusasteraan umumnja, kepada kebudajaan umumnja, meskipun tidak naturalis atau realis.

Tidak perlu rakjat diberi makanan naturalis dan senti- mentil. Malahan didalam zaman kita ini berbuat dem ikian adalab berbuat salah, berpendirian kuno didalam buku2nja. Zola tidak bermaksud mendidik. Ia menggam barkan ke- miskinan dan kesengsaraan bukan terutama untuk meng- hilangkannja akan tetapi menurut pengakuannja sendiri menggambar dan menerangkan se-mata2. K ita berichtiar mendidik rakjat, berichtiar menghilangkan kemiskinan dan kesengsaraan, kita berdjuang menurut kebudajaan baru.

Kesusasteraan kita tidak mesti direndahkan ukurannja se­ ll ingga dapat memuaskan keperluan rohani rakjat jang belum diasah,jang masih primitif, akan tetapi kesusasteraan kita hams dapat mendidik rakjat banjak, supaja dapat menghargakan fik ir ­ an dan perasaan, kesusasteraan jang halus pun djtia. Kesusas­ teraan kita hams dapat menghela fikiran dan perasaan rakjat pada tempat jang lebih tinggi.

Dimanakah diperoleh perhubungan antara kesusasteraan jang telah membubung tinggi itu dengan perasaan dan fikiran rakjat jang masih primitif? Didalam tempat hidup ke-dua2nja, didalam lapang pergaulan hidup. Kesusasteraan untuk rakjat harus bcrsifat sosial. Dan untuk dapat me- mahamkan penghidupan sosial tadi kita W u s m e m p u n j a i

“ ' W a t a d in go , dan

ber-MSUSastern/m imntk rakjal litlak perlu naturalis, akan

(39)

Psychoanalyse orang2 berkebudajaan bagaimana djuga tadjam dan halusnja, seperti terdapat didalam buah kesu­ sasteraan Marcel Proust atau Aldous Huxley, tinggal djauh dari pcrhatian rakjat banjak.

Perasaan sentimentil kasar dan rendah rakjat-banjak ha- rus disaring disublimir mendjadi perasaan dan tjita2 jang bersili dan bagus. Itu semua pekerdjaan kesusasteraan kita dengan djalan sadjak dan roman.

Maka timbul pertanjaan: Djika kewadjiban kita ialah mendidik, tidaklah semua kesusasteraan mendjadi tenden- tieus? Sebenamja kwalifikasi tendentieus itu didalam ke­ susasteraan djauh kurang artinja dari anggapan umum di Indonesia. Banjak kali apa jang dinamakan si reaksioner- conservatif tendentieus oleh filiak lain disebut realistis.

Tidakkah pernah Max Havelaar disebut orang tenden­ tieus? Dapatkah atau tidak La Guerre et la Paix karangan Tolstoi dinamakan tendentieus? Segenap pekerdjaannja? Roland Holst? Kuranglah harga buah kesusasteraan ini oleh karena ada sesuatu fihak jang menamakan mereka ten­ dentieus? Meskipun sebenamja naturalisme Zola dapat di­ namakan tendentieus didalam pengertian demikian. D i­ dalam mengukur kesusasteraan pengertian tendentieus itu tidak berharga apa2. Dengan ukuran kesusasteraan suatu roman meskipun bolsjewis dapat dihargakan tinggi dari suatu roman l’art pour l’art. Umpamanja Cement kaiangan Gladkow atau sckalian buah kesusasteraan Michael Sjolo- chov dibandingkan dengan buah pekerdjaan tiap2 Piet atau Mina Lutjebroek dinegeri Belanda jang mangarang l’art pour l’art mau ia bernama F. de Sinclair, Reyneke van Stuwe, Maurits Dekker, sekalipun Van Ammers-Kuller atau Szekely-Lulofs.

Ukuran buah kesusasteraan tidak sedikit dj ua dipengaruhi oleh niaksud sipengarang dengan buah kcsusasteraannja. Sekalipun maksud itu mcngadjak orang untuk mengada- kan revolusi dunia. Ukuran itu sc-mata2 digunakanterhadap buah kesusasteraan itu sendiri. Maksud Multatuli

(40)

menga-rang M ax Havelaar ditulisnja dengan terns temenga-rang pada radja Belanda jan g memerintah waktu itu. Berapa buah karangan didalam bahasa Belandajang dapat dibandingkan dengan M ax Havelaar menurut ukuran kesusasteraan?

Ukuran tiap2 buah kesenian, demikian djuga buah k e­ susasteraan, proza maupun sadjak, tetap hanja mengenai isi dan bangun. Keindahan tak lain dari kesetimbangan antara bangun dan isi. Kesetimbangan itu bukan suatu kesetim ­ bangan jang statis, jang tetap. Bangun tak perlu beku, m e­ nurut schema dan conceptie jan g dirantjangkan seperti kaart terlebih dahulu. Bangun boleh hidup, dinamis, m e­ nurut isi jang hidup, ditentukan oleh isi ja n g hidup.

Bagaimana rupa bangun jan g baik itu tak dapat diten­ tukan atau dikelaskan oleh buku peladjaran kesusasteraan manapun djuga.

Ia tergantung pada sipengarang dan stofnja (bahan2nja). James Joyce dengan Ulyssesnja mempergunakan bangun dan djuga stijl jan g luar biasa. Demikian pula D os Passos dengan Forty Second Parallel.

Djadi bukan pula keindahan tadi terutama tergantung kepada bangun. Formalisme selamanja tanda kekosongan fikiran dan perasaan, kekosongan roh. Seni ja n g tiada ber- isi fikiran dan perasaan bukan seni. Jan g utama selamanja adalah isi.

Pengertian isi ini dapat dipetjah dalam tiga, jaitu bahan2 (sto j, pengertian (begrip, opvatting) dan bahasa (kekuasaan per ataan an stijl). Didalam buah kesusasteraan ja n g indah

etiga ini mendjadi satu jan g tidak dapat dipisah lagi. . mPamanj a didalam kesusasteraan Belanda karangan

u tatu i M ax Havelaar atau karangan Arthur van Schen- e e Rjjke Man atau karangan W illem Elsschot Lijtnen.

iga matjam buah kesusasteraan, tiga m atjam stof, tiga matjam intelligentie (kesanggupan untuk mengerti), tiga matjam stij . Ini dapat ditambah lagi dengan Het Vijfde Zegel arangan Vestdijk, atau Bint karangan B o rd ew ijk men- ja 1 ma matjam jan g berbeda benar2, akan tetapi diukur

(41)

dengan ukuran jang diadjukan diatas harganja hampir sama tinggi. Apa djadinja De Rijke Man djika ditulis dengan stijl Bint atau M ax Havelaar atau sebaliknja Bint atau M ax

Havelaar ditulis dengan stijl De Rijke Man? Bahasa, stijl,

ditentukan oleh stof dan pengertian begitupun suatu pe­ ngarang akan mempergunakan stijl jang berbeda dari stijl- nja jang biasa, djika ia memilih stof jang mesti dikarang dengan lain stijl. Umpamanja bandingan stijl Vestdijk da­ lam karangannja Terng naar Ina Damman dan didalam ro­ man tentang El Greco, Het Vijfde Zegel benar bahwa per- bedaan stijl dua pudjangga selamanja lebih besar, meskipun mereka membitjarakan satu matjam stof, dari perbedaan stijl jang terdapat didalam dua buah karangan seorang pudjangga jang membitjarakan dua matjam stof, akan te­ tapi didalam satu intelligence - jang menentukan pengerti­ an stof - mesti didapat kesanggupan untuk menjesuaikan bahasanja pada stof. Dan biasanja pula, didalam buah ke­ susasteraan lain, tidak pernah pengertian (begrip dan op- vatting) sama.

Lain dari itu stof dan terutama stijl tergantung pada za­ man, kepada stijl sesuatu kebudajaan. Kebudajaan kita um­ pamanja stijl «zakelijk». Demikian pula stijl jang tidak za- kelijk sukar dapat menimbulkan perasaan keindahan itu pada kita. Dahulu perkataan2 satu2nja tak perlu diperiksa dan ditimbang isinja, hanja pengaruhnja sadja. Beratus perkataan kadang2 digunakan untuk mentjapai suatu mak- sud: sfeer dan stemming. Umpamanja didalam buah ke­ susasteraan Hoffmann, Dickens, Dumas, Van Lennep, pen- dek kata didalam kesusasteraan romantik. Stijl zaman dan kebudajaan pada waktu itu romantik djuga.

Sekarang tiap2 perkataan harus berisi (geladen). Dan me- nurut kehendak stijl sekarang tiap perkataan kalau boleh dapat menimbulkan suatu dunia perasaan dan fikiran (de­ ngan associaties). Apa jang dikatakan harus ditjeritakan se-pekat2nja, se-pendek2nja. Tjontoh jang bagus untuk ne­ geri Belanda, ialah Van Schendel. Apa jang dapat

(42)

dihilang-kan dengan menunggu kedjernihan dihilangdihilang-kannja dida­ lam De Rijke Man, beratus kom m a jan g dipandang perlu oleh orang lain. Tanda mula berkata dan m cnutup kata, tak digunakannja sama sekah. Orang ja n g berbitjarapun atjap kali tak disebutnja. Meskipun begitu buku dan tjeri- tanja tinggal djernih, malahan bertambah djernih pekat mendjadi rupa kristal.

Pengertian dan bahasa ialah alat ja n g dipergunakan pu- djangga untuk menguasai dan mempunjai sesuatu stof. Dan dengan kesanggupannja m embcntuk sesuatu disem- pumakannja itu mendjadi buah kesusasteraan.

Menurut ukuran zaman kita bangun dari luar ja itu pem- bagian stof, susunannja, pendek kata apa ja n g lazim dise- butkan struktur karangan harus menurut sto f dan stijl. Oleh karena itu ber-matjam2 struktur dapat diterim a asal sesuai dengan stof.

Ukuran zakelijk mendjadi: Bangun hams setimbemg dengan

isi, akan tetapi isi jang menentukan bangun.

Ukuran jang saja kemukakan diatas ini dapat dipakaikan pada tiap2 buah kesusasteraan, terutama rom an, rom an so- sial atau roman politik sekalipun.

Siapa jang akan teringat pada tendens, kalau lagi m em ­ batja Fontamara atau La Condition Humaine atau In de Scha-

duw van den Leider. Soal tendens atau tidak tendens sedikit

djua tiada perlu mengganggu fikiran pengarang atau kan- didat pengarang di Indonesia.

Djika ia hendak berdjasa pada rakjat ia harus m em pela- djari penghidupan rakjat se-luas2nja dan se-dalam2nja. Ia harus berichtiar mengambil stof untuk karangannja dari penghidupan rakjat-banjak itu. Keinginannja m endidik rakjat dengan makna jang se-luas2nja terutama harus men- dorongnja untuk mengenai rakjat itu, kedua untuk mem - perlengkapkan alat2 untuk mengerdjakan pendidikannja se-sempurna2nja sebagai pudjangga dengan kesusasteraan- nja, jang hams dapat diukur dengan ukuran kesusasteraan. Ia tidak dapat memaafkan kekurangan didalam buah

(43)

kesusas-teraamija dengan alasan bahwa buah kesusasteraannja tidak dapat dan tidak boleh diukur dengan ukuran kesusasteraan biasa sebab dimaksudkan untuk mendidik rakjat.

Kalau ia tak sanggup mendidik rakjat dengan kesusasteraan jang dapat diukur dengan ukuran kesusasteraan tak pantas ia hendak mendidik dengan kesusasteraan dan tempatnja bekerdja untuk rakjat ialah diperguruan, djurnalistik atau politik.

Malahan oleh karena memang kedudukannja sebagai pudjangga jan g hendak berguna untuk rakjat-banjak, mem- bakti pada tjita2 jan g lebih luas dari tjita2 kesenian, mem- beratkan pekerdjaannja sebagai pudjangga (pengakuan A l­ bert Helman didalam Gulden Winckel Januari j.l. menarik perhatian dalam hal ini), oleh karena itu ia harus berichtiar, beladjar lebih banjak dari pudjangga jang hidup hanja un­ tuk kesusasteraan sadja. Ia terus menerus harus mentjari bangun jang sebaiknja dan sepantasnja untuk kesusasteraan jan g hendak dipergunakannja untuk rakjat. Untuk itu ia harus beladjar pada sekalipun pudjangga besar jang ada dan jan g dikenal didalam riwajat kesusasteraan. Dari Dante, Pascal, Moliere, Shakespeare, Milton, melalui Goethe, Hugo, Balzac, Zola, Nietzsche, Multatuli, Pusjkin, Dosto- jevski, Gogol, Tolstoi ke M axim Gorki, Marcel Proust, Andre Gide, Van Schendel, Van Oudshoom hingga ke Upton Sinclair, Jules Romains, Thomas Mann, Julien Ben­ da, Martin du Gard, Joyce, Kafka, D . H. Lawrence, Ernest H em ingway dan Aldous Huxley, Plivier, Guehenno, A n­ dre M alraux, Ignazio Silone dan Luis Guzman, dinegeri Belanda Vestdijk, Greshof, Slauerhoff, Elsschot, Borde- w ijk, D u Perron dan Ter Braak.

Dari klassik kehumanisme, kerenaissance melalui roman­ tik, positivisme dan naturalisme kerealisme modern. Ia harus berichtiar menguasai kesusasteraan jang lalu, dan mengua- satekmk kesusasteraan jan g baru.

Didalam karangan lain, jan g telah saja sebut diatas, saja telah berichtiar menerangkan arti realisme didalam kebu­ dajaan sekarang dan untuk kebudajaan jang akan datang.

(44)

Demikian pula perhubungannja dengan rationalisme m o ­ dem. Realisme kasar jang ada pada rakjat, ja n g mem buat ia tertarik pada naturalisme dalam kesusasteraan harus di- asah mendjadi reaHsme modern. Kebudajaan untuk rakjat harus berdasar realisme modem. M empunjai stijl zakelijk. Demikian pula dengan kesusasteraan. Ber-m atjam 2 w arna reaHsme itu telah saja sebut diatas dengan menjebut nam a2 wakil2nja, dari realisme Upton Sinclair jan g meluas se- mata2 dan Huxley jang mendalam se-mata2 hingga ke- reahsme jang lebih baru lagi: document humain, menda­ lam dengan meluas hampir mendjadi sym bolik kem bah djika tidak realis terus menerus: Silone, M alraux.

Semua pudjangga jang berbakti kepada rakjat-banjak harus beladjar dari mereka. Kesusasteraan harus dibawanja pada tingkatan reaHsme modem. Ia merdeka untuk me- milih atau menggabungkan w am a2 jan g telah ada m en­ djadi wama sendiri, sesuai dengan kesanggupannja sendiri dan sesuai dengan fikiran dan perasaan rakjat. R ak jat- banjak di Indonesia dan dirinja sendiri harus dikenalnja untuk dapat menentukan warna realisme ja n g akan dipi- lihnja untuk kesusasteraannja.

Dapatlah sembojan Pudjangga Baru jan g m enuntut k e ­ budajaan baru, ditambah, diisi, mendjadi:

Dengan reaHsme baru memimpin semangat dinamis m e­ nuntut kebudajaan untuk Rakjat Indonesia?

S U T A N S j A H R I R

Neira, Mei 1938

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Disamping usaha-usaha rehabilitasi lahan mendapatkan banyak manfaat dari tingginya curah hujan terhadap garam ini, perlakuan-perlakuan konvensional lainnya, seperti drainase

Memprioritaskan pengembangan pembangunan ekonomi pada sektor sektor industri pengolahan dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan sebagai sektor unggulan serta

Di lain sisi, tenaga kerja atau sumber daya manusia dari Indonesia apabila bekerja di luar negeri hanyalah mendapat pekerjaan seperti, pembantu rumah tangga, pekerja

Berdasarkan latar belakang tersebut, Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk optimasi formulasi sediaan lipbalm dari sari buah jeruk manis yang stabil dan

Dalam bagian ini menyatakan temuan-temuan penelitian berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan untuk menjawab tujuan penelitian.Selain itu disampaikan juga secara

Ter/adinya Kaki &#34;iabetik ,K&#34;- sendiri disebabkan oleh faktor. faktor disebutkan dalam etiologi$ &gt;aktor utama yang berperan timbulnya K&#34; adalah angiopati%

akan menjadi suatu pernyataan yang benar untuk setiap subtitusi x yang diambil dari himpunan semesta bilangan bulat karena kuantifikasinya berlaku untuk semua