• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP KARTINI KARTONO DALAM MENANGGULANGI KENAKALAN REMAJA PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSEP KARTINI KARTONO DALAM MENANGGULANGI KENAKALAN REMAJA PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1

Ilmu Tarbiyah

Oleh:

MUH. ANIQUL WAFA NIM : 3104277

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) WALISONGO

SEMARANG

(2)

ii

Jl. Prof. Dr. Hamka (Kampus II) Ngaliyan Semarang Telp. 024-7601295 Fax 7615387

PENGESAHAN Naskah skripsi dengan:

Judul : Konsep Kartini Kartono dalam Menanggulangi Kenakalan Remaja Perspektif Pendidikan Islam

Nama : Muh. Aniqul Wafa NIM : 043111277

Jurusan : Pendidikan Agama Islam Program Studi : Pendidikan Agama Islam

telah diujikan dalam sidang munaqasyah oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dan dapat diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Pendidikan Islam.

Semarang, 17 Juni 2011

DEWAN PENGUJI Ketua,

Drs. H. Mat Solikhin, M.Ag.

NIP: 19600524 199203 1 001

Sekretaris,

Hj. Nur Asiyah, M.Si.

NIP: 19710926 199803 2 002

Penguji I,

Dra. Hj. Nur Uhbiyati, M.Pd.

NIP: 19520208 197612 2 001

Penguji II,

Dr. H. Fatah Syukur, M.Ag.

NIP: 19681212 199403 1 003

Pembimbing I,

Dr. Abdul Wahib, M.Ag.

NIP: 19600615 199103 1 004

Pembimbing II,

Drs. Abdul Wahid, M.Ag.

(3)

iii

Kepada

Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo

di Semarang

Assalamua’alaikum Wr.Wb.

Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi naskah skripsi dengan:

Judul : KONSEP KARTINI KARTONO DALAM MENANGGULANGI KENAKALAN REMAJA PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

Nama : Muh. Aniqul Wafa NIM : 043111277

Jurusan : Pendidikan Agama Islam Program Studi : Pendidikan Agama Islam

Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diajukan dalam Sidang Munaqasyah

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Pembimbing I,

Dr. Abdul Wahib, M.Ag

(4)

iv

Kepada

Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo

di Semarang

Assalamua’alaikum Wr.Wb.

Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi naskah skripsi dengan:

Judul : KONSEP KARTINI KARTONO DALAM MENANGGULANGI KENAKALAN REMAJA PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

Nama : Muh. Aniqul Wafa NIM : 043111277

Jurusan : Pendidikan Agama Islam Program Studi : Pendidikan Agama Islam

Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diajukan dalam Sidang Munaqasyah

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Pembimbing II,

Drs. Abdul Wahid, M.Ag NIP. 19691114 199403 1 003

(5)

v

Penulis menyatakan dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga itu tidak berisi satupun pikiran orang lain kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan

.

Semarang, 23 Mei 2011 Deklarator,

Muh. Aniqul Wafa

(6)

vi

Perspektif Pendidikan Islam

Penulis: Muh. Aniqul Wafa

NIM : 3104277

Skripsi ini membahas konsep Kartini Kartono dalam menanggulangi kenakalan remaja perspektif pendidikan Islam. Kajiannya dilatarbelakangi oleh adanya kenakalan remaja yang masih terus terjadi dewasa ini. Studi ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan bagaimana konsep Kartini Kartono dalam menanggulangi kenakalan remaja? Bagaimana konsep pendidikan Islam dalam menanggulangi kenakalan remaja? Bagaimana kelebihan, kekurangan, persamaan dan perbedaan konsep Kartini Kartono dalam menanggulangi kenakalan remaja perspektif pendidikan Islam? Permasalahan tersebut dibahas melalui studi kepustakaan (library research) dengan jenis penelitian kualitatif dengan metode deskriptif analisis. Dalam membahas dan menelaah data, penulis menggunakan metode deskriptif Analisis.

Kajian ini menunjukkan bahwa (1) Menurut Kartini Kartono untuk menanggulangi kenakalan remaja, maka ada beberapa tindakan preventif yang dilakukan antara lain berupa: meningkatkan kesejahteraan keluarga, mendirikan klinik bimbingan psikologis dan edukatif untuk memperbaiki tingkah-laku dan membantu remaja dari kesulitan mereka; membentuk badan kesejahteraan anak-anak, membuat badan supervisi dan pengontrol terhadap kegiatan anak delinkuen, disertai program yang korektif. Selain itu mendirikan sekolah bagi anak gembel (miskin), menyelenggarakan diskusi kelompok dan bimbingan kelompok untuk membangun kontak manusiawi di antara para remaja delinkuen dengan masyarakat luar. (2) Konsep pendidikan Islam dalam menanggulangi kenakalan remaja adalah sebagai berikut: a. menempatkan pendikan akhlakul karimah dalam porsi yang jelas dan terpadu dengan pendidikan akidah dan syari'ah; b. pendidikan akhlakul karimah menjadi tujuan pendidikan Islam di antaranya untuk menanggulangi kenakalan remaja. (3) Kelebihan dan kekurangan konsep Kartini Kartono dalam menanggulangi kenakalan remaja perspektif pendidikan Islam sebagai berikut: kelebihannya yaitu pemikiran Kartini Kartono memiliki hubungan yang erat dengan pendidikan Islam yaitu baik pendidikan Islam maupun Kartini Kartono mempunyai harapan dan cita-cita untuk membangun remaja yang sehat jasmani dan rohani. Pemikiran Kartini Kartono mempunyai keterkaitan dengan pendidikan Islam, karena ia mengakui bahwa untuk menanggulangi kenakalan remaja maka di samping peran orang tua, maka peranan sekolah atau pendidikan sangat besar peran dan fungsinya dalam membentuk karakter remaja. Kekurangannya yaitu konsepnya kurang banyak menggunakan pendekatan agama akan tetapi lebih menitik beratkan pada pendekatan sosiologis.

(7)

vii

Kebudayaan Republik Indonesia Nomor:158 th. 1987, Nomor:1543b/u/1987

. ا a ط t ب b ظ Z ت t ع ' ث ś غ g ج j ف f ح h ق q خ kh ك k د D ل l ذ Ŝ م m ر r ن n ز Z و w س S  h ش Sy ء , ص ş ي y ض d

(8)

viii

taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi yang berjudul Konsep Kartini Kartono dalam Menanggulangi

Kenakalan Remaja Perspektif Pendidikan Islam), ini disusun untuk memenuhi

salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Suja'i, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.

2. Bapak Drs. Abdul Wahib, M.Ag selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Drs. Abdul Wahid, M.Ag selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Pimpinan Perpustakaan Fakultas Tarbiyah yang telah memberikan izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Seluruh dosen, staf dan karyawan di lingkungan civitas akademik Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang yang telah memberikan pelayanan yang baik serta membantu kelancaran penulisan skripsi ini.

Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum mencapai kesempurnaan dalam arti sebenarnya, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Penulis

(9)

ix HALAMAN JUDUL ... i NOTA PEMBIMBING ... ii PENGESAHAN ... iv PERNYATAAN ... v ABSTRAK ... vi TRANSLITERASI ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Penegasan Istilah ... 4

C. Rumusan masalah... 5

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

E. Telaah Pustaka ... 6

F. Metode Penelitian... 10

BAB II : KENAKALAN REMAJA DAN STRATEGI BELAJAR DALAM OUTBOUND A. Kenakalan Remaja …. ... 15

1. Pengertian Kenakalan Remaja ... 15

2. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kenakalan Remaja ... 18

3. Upaya Penanggulangan Kenakalan Remaja Perspektif Pendidikan Islam ... 22

B. Strategi Belajar dalam Outbound ... 29

1. Pengertian Strategi Belajar ... 29

2. Metode Belajar ... 33

3. Outbound sebagai Strategi Pembelajaran... 35 C. Penerapan Strategi Outbound Untuk Mengatasi

(10)

x

A. Pendidikan Islam ... 37

1. Pengertian Pendidikan Islam ... 37

2. Dasar-Dasar Pendidikan Islam ... 39

3. Tujuan Pendidikan Islam... 50

B. Kenakalan Remaja ... 54

1. Pengertian Kenakalan Remaja Menurut Pendidikan Islam ... 54

2. Batasan Remaja Menurut Pendidikan Islam ... 56

3. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kenakalan Remaja Menurut Pendidikan Islam ... 61

4. Upaya Penanggulangan Kenakalan Remaja Menurut Pendidikan Islam ... 64

BAB IV: ANALISIS KONSEP KARTINI KARTONO TENTANG KENAKALAN REMAJA MENURUT KONSEP PENDIDIKAN ISLAM A. Analisis Konsep Kartini Kartono tentang Penanggulangan Kenakalan Remaja ... 66

B. Relevansi Pemikiran Kartini Kartono tentang Penanggulangan Kenakalan Remaja dengan Tujuan Pendidikan Islam ... 76

BAB V : PENUTUP A. Simpulan ... 82 B. Saran-Saran ... 83 C. Penutup ... 83 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Masa remaja (adolesensi) adalah masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa, anak-anak mengalami pertumbuhan cepat di segala bidang. Mereka bukan lagi anak-anak, baik bentuk jasmani, sikap, cara berfikir dan bertindak. Tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang. Masa ini mulai kira-kira pada umur 13 tahun dan berakhir kira-kira umur 21 tahun.1

Persoalan remaja selamanya hangat dan menarik, baik di negara yang telah maju maupun di negara terbelakang, terutama negara yang sedang berkembang. Karena remaja adalah masa peralihan, seseorang telah meninggalkan usia anak-anak yang penuh kelemahan dan ketergantungan tanpa memikul sesuatu tanggung jawab, menuju kepada usia dewasa yang sibuk dengan tanggung jawab penuh. Usia remaja adalah usia persiapan untuk menjadi dewasa yang matang dan sehat. Kegoncangan emosi, kebimbangan dalam mencari pegangan hidup, kesibukan mencari pegangan hidup, mencari bekal pengetahuan dan kepandaian untuk menjadi senjata dalam usia dewasa.2

Banyak di antara mereka yang tidak sanggup mengikuti pelajaran, hilang kemampuan untuk konsentrasi, malas belajar, patah semangat dan sebagainya. Tidak sedikit pula yang telah jatuh kepada kelakuan yang lebih berbahaya lagi.3 Muncullah julukan kenakalan remaja yang dalam terminologi asingnya disebut juvenile delinquency.

Kartini Kartono menyatakan:

"Fakta kemudian menunjukkan bahwa semua tipe kejahatan remaja itu semakin bertambah jumlahnya dengan semakin lajunya perkembangan industrialisasi dan urbanisasi. Di kota-kota industri dan kota besar

1

Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, Cet. 10, (Jakarta: Gunung Agung, 1993), hlm. 101.

2

Zakiah Daradjat, Perawatan Jiwa Untuk Anak-Anak, Cet 2, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 477.

3 Ibid.

(12)

yang cepat berkembang secara fisik, terjadi kasus kejahatan yang jauh lebih banyak daripada dalam masyarakat "primitif" atau di desa-desa. Dan di negara-negara kelas ekonomis makmur, derajat kejahatan ini berkorelasi akrab dengan proses industrialisasi. Karena itu Amerika sebagai negara paling maju secara ekonomis di antara bangsa-bangsa di dunia, mempunyai jumlah kejahatan anak remaja paling banyak; jadi ada derajat kriminalitas anak remaja paling tinggi".4

Delinkuensi anak-anak yang terkenal di Indonesia adalah masalah “cross boy” dan cross girl” yang merupakan sebutan bagi anak-anak muda yang tergabung dalam satu ikatan/organisasi formil atau semi formil dan yang mempunyai tingkah laku yang kurang/tidak disukai oleh masyarakat pada umumnya. Delinkuensi anak-anak di Indonesia meningkat, hal mana sering disinyalir dalam pernyataan-pernyataan resmi pejabat-pejabat maupun petugas-petugas penegak hukum. Delinkuensi anak-anak tadi meliputi pencurian, perampokan, pencopetan, penganiayaan, pelanggaran susila, penggunaan obat-obat perangsang dan mengendarai mobil (atau kendaraan bermotor lainnya), tanpa mengindahkan norma-norma lalu lintas.5

Istilah kenakalan remaja merupakan terjemahan dari kata juvenile

delinquency yang dipakai di dunia Barat. Istilah ini mengandung pengertian

tentang kehidupan remaja yang menyimpang dari berbagai pranata dan norma yang berlaku umum. Baik yang menyangkut kehidupan bermasyarakat, tradisi, maupun agama, serta hukum yang berlaku. Lebih jelasnya pengertian kenakalan tersebut mengandung beberapa ciri pokok, sebagai berikut:

1. Tingkah laku yang mengandung kelainan-kelainan berupa perilaku atau tindakan yang bersifat a-moral, a-sosial atau anti sosial.

2. Dalam perilaku atau tindakan tersebut terdapat pelanggaran terhadap norma-norma sosial, hukum, dan norma agama yang berlaku dalam masyarakat.

4

Kartini Kartono, Patologi Sosial 2, Kenakalan Remaja, (Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 136

5

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 375

(13)

3. Tingkah/perilaku, perbuatan serta tindakan-tindakan yang betentangan dengan nilai-nilai hukum atau undang-undang yang berlaku yang jika dilakukan oleh orang dewasa hal tersebut jelas merupakan pelanggaran atau tindak kejahatan (kriminal) yang diancam dengan hukuman menurut ketentuan yang berlaku.

4. Perilaku, tindakan dan perbuatan tersebut dilakukan oleh kelompok usia remaja. 6

Menariknya masalah ini untuk diteliti adalah karena masalah remaja sangat meresahkan orang tua, masyarakat, bahkan negara, mengingat apa yang dilakukan oleh remaja saat ini sangat membahayakan masyarakat dan berdampak pada kepentingan orang banyak.

Meskipun cara penanggulangan kenakalan remaja telah diulas oleh para ahli namun kenyataannya sampai saat ini kebrutalan remaja tidak makin berkurang kalau tidak boleh dikatakan bertambah dalam frekuensi yang makin mengkhawatirkan. Namun demikian untuk menanggulangi kenakalan remaja tidak seharusnya berhenti mengungkapkan gagasan baru karena tiada suatu penyakit yang tidak ada obatnya. Untuk itulah peneliti hendak mengkaji konsep Kartini Kartono tentang kenakalan remaja. Sebabnya memilih tokoh ini, karena beliau merupakan salah seorang pendidik yang berpengalaman. Beliau mempunyai sejumlah pemikiran dan ide menyangkut masalah remaja di Indonesia. Bahkan, beliau tercatat sebagai tokoh yang banyak memperhatikan masalah remaja, sehingga banyak karyanya yang mengetengahkan obsesinya untuk pembinaan remaja di Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, mendorong peneliti mengangkat tema ini dengan judul: Konsep Kartini Kartono dalam Menanggulangi Kenakalan

Remaja Perspektif Pendidikan Islam.

6

M.Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, Cet 5, (Jakarta: PT.Golden Trayon Press, 1994), hlm. 79-80

(14)

B. Penegasan Istilah

Agar pembahasan tema dalam skripsi ini menjadi terarah, jelas dan mengena yang dimaksud, maka periu dikemukakan batasan-batasan judul yang masih perlu mendapatkan penjelasan secara rinci.

Istilah kenakalan remaja mempakan terjemahan dari kata juvenile

delinquency yang dipakai di dunia Barat. Juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis, artinya: anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda,

sifat-sifat khas pada periode remaja. Delinquent berasal dari kata Latin "delinquere" yang berarti: terabaikan, mengabaikan; yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain.

Delinquency itu selalu mempunyai konotasi serangan, pelanggaran,

kejahatan dan keganasan yang dilakukan oleh anak-anak muda di bawah usia 22 tahun.7 Istilah juvenile delinquency dikemukakan oleh para sarjana dalam rumusan yang bervariasi, namun substansinya sama misalnya:

Kartini Kartono mengatakan juvenile delinquency (juvenilis = muda, bersifat kemudaan; delinquency dari delinqucuere = jahat, durjana, pelanggar, nakal) ialah anak-anak muda yang selalu melakukan kejahatan, dimotivir untuk mendapatkan perhatian, status sosial dan penghargaan dari lingkungannya.8

John M Echols dan Hassan Shadily, menterjemahkan juvenile

delinquency sebagai kejahatan/kenakalan anak-anak/anak muda/muda-mudi.9

Simanjuntak dengan pendekatan kriminologi, mengartikan juvenile delinquency sebagai perbuatan dari tingkah laku yang merupakan kegiatan

perkosaan terhadap norma hukum pidana dan Pelanggaran terhadap kesusilaan yang dilakukan oleh para juvenile delinquency.10

7

Kartini Kartono, op.cit., hlm.6.

8

Kartini Kartono, Patologis Sosial 3 Gangguan-gangguan Kejiwaan, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), hlm 209.

9

John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia (An Engglish-Indonesian Dictionary), Cet 21, (Jakarta: PT Gramedia, 1995), hlm.339

10

Simanjutak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, (Bandung: Transito, 1977), hlm.292.

(15)

Dengan mengkaji rumusan-rumusan di atas maka pada intinya secara sederhana juvenile delinquency dapat diterjemahkan sebagai kenakalan remaja. Kenakalan remaja yang dimaksud di sini, seperti yang dikatakan Sarlito Wirawan Sarwono yaitu perilaku yang menyimpang dari atau melanggar hukum.11 Sedangkan yang dimaksud dengan penanggulangan yaitu upaya mengatasi dan memberi solusi kepada para remaja yang berperilaku menyimpang serta berbagai pihak yang dapat mempengaruhi perilaku remaja. Para pihak yang dimaksud seperti orang tua, guru, tokoh masyarakat dan pemerintah.

Adapun yang dimaksud dengan pendidikan Islam sebagaimana dikemukakan Achmadi adalah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil sesuai dengan norma Islam).12 Sedangkan tujuan akhir pendidikan Islam sebagaimana diungkapkan Abdurrahman an-Nahlawi adalah merealisasikan ubudiyah kepada Allah di dalam kehidupan manusia, baik individu maupun masyarakat.13

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebelumnya, maka yang menjadi permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep Kartini Kartono dalam menanggulangi kenakalan remaja?

2. Bagaimana konsep pendidikan Islam dalam menanggulangi kenakalan remaja?

3. Bagaimana kelebihan, kekurangan, persamaan dan perbedaan konsep Kartini Kartono dalam menanggulangi kenakalan remaja perspektif pendidikan Islam?

11

Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, cet 3, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 200

12

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta:: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 28.

13

Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam, terj. Herry Noer Ali, (Bandung: CV.Diponegoro, 1996), hlm. 162.

(16)

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui konsep Kartini Kartono dalam menaggulangi kenakalan remaja

2. Untuk mengetahui konsep pendidikan Islam dalam menanggulangi kenakalan remaja

3. Untuk mengetahui kelebihan, kekurangan, persamaan dan perbedaan konsep Kartini Kartono dalam menanggulangi kenakalan remaja perspektif pendidikan Islam

b. Manfaat Penelitian

Nilai guna yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis, yaitu diharapkan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif dalam menanggulangi kenakalan remaja dan hubungannya dengan konsep pendidikan Islam. Dengan demikian diharapkan dapat dijadikan studi banding oleh peneliti lain.

2. Secara praktis, yaitu diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran pada masyarakat dalam menangani kenakalan remaja perspektif pendidikan Islam.

3. Penulisan ini sebagai bagian dari usaha untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan di Fakultas Tarbiyah pada umumnya dan jurusan pendidikan agama Islam khususnya.

E. Telaah Pustaka

Penelitian dengan tema sentral kenakalan remaja telah banyak dilakukan oleh beberapa mahasiswa sebelum penelitian ini, di antaranya:

Pertama, skripsi yang disusun oleh Ali Mahkrus (3197031 Tahun

(17)

dan Agama bagi Remaja. Skripsi ini menggunakan pendekatan pendidikan

Islam. Kesimpulan yang dapat diambil dari skripsi ini yaitu kenakalan anak dan remaja merupakan persoalan yang sangat kompleks dan disebabkan oleh bermacam-macam faktor. Maka dalam penanggulangannya diperlukan bermacam-macam usaha, antara lain yang terpenting adalah usaha preventif, agar kenakalan itu dapat dibendung dan tidak menular kepada anak yang masih baik. Tentu saja usaha represif dan rehabilitasi pun perlu diperhatikan, agar anak yang nakal dapat diperbaiki dan kembali hidup sebagai anggota masyarakat yang baik. Dalam semua usaha itu, peranan agama dan pembinaan moral sangat penting, karena agama memberikan pedoman dan peraturan yang pasti serta dipatuhi dengan sukarela atas dorongan dari dalam diri sendiri bukan karena paksaan dari luar.

Kedua, skripsi yang disusun oleh Encep Idrus (1197011 Tahun 2002)

yang berjudul: “Konsep Pembinaan Remaja menurut Pemikiran Zakiah

Daradjat ”. Skripsi ini menggunakan pendekatan dakwah

Kesimpulan skripsi ini dapat diungkap sebagai berikut :

1. Pertumbuhan seorang remaja sangat ditentukan oleh bagaimana cara keluarga membina anak remaja itu. Seorang yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang penuh cinta kasih dan perhatian maka kecenderungan anak itu mencintai dan mengasihi sesamanya. Sebaliknya remaja yang hidup dalam keluarga yang penuh dengan dendam, kebencian, kekerasan dan masa bodoh, maka remaja itu akan menjadi anak yang cenderung asosial, amoral dan merugikan orang lain.

2. Dalam membina remaja harus melakukan berbagai pendekatan terutama pendekatan agama menjadi syarat mutlak. Namun demikian agar agama tidak terkesan pemaksaan, maka pendekatan psikologis harus turut dilibatkan

Ketiga, skripsi yang disusun oleh Yusuf (3197106 Tahun 2003)

berjudul: ”Upaya Dakwah Islam dalam Menanggulangi Tindak Kekerasan

(18)

Kecamatan Ciamis Kabupaten Bogor)”. Skripsi ini menggunakan pendekatan

dakwah.

Temuan dari skripsi ini dapat diungkap sebagai berikut :

1. Dakwah Islam dalam menanggulangi tindak kekerasan dan perilaku amoral di kalangan remaja tidak cukup dengan lisan saja melainkan suri tauladan sangat mempengaruhi remaja dalam berperilaku. Dewasa ini terjadi ketimpangan antara ucapan dengan perbuatan, sehingga remaja mengalami kesulitan dalam mencari tokoh anutan untuk berperilaku. 2. Untuk menanggulangi tindak kekerasan dan perilaku amoral, maka

dakwah Islam harus lebih dikembangkan dengan arif dan bijaksana dalam arti dapat menyentuh hati sanubari remaja. Namun demikian karena remaja sosok manusia yang sangat sensitif, maka dakwah ada baiknya tidak bersifat menggurui. Itulah yang diharapkan masyarakat, khususnya remaja di Kecamatan Ciamis Kabupaten Bogor.

Keempat, skripsi yang disusun oleh Siti Maimunah (3197048 Tahun

1996) dengan judul “Metode Bimbingan dan Penyuluhan Agama Islam

terhadap Remaja di Kecamatan Dempet Kabupaten Demak”. Skripsi ini

menggunakan pendekatan bimbingan dan penyuluhan agama. Temuan dari skripsi ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan agama terhadap remaja, harus menggunakan metode yang bervariasi, karena boleh jadi metode yang satu kurang pas sementara metode yang lain bisa mengena dan efektif.

2. Bimbingan dan penyuluhan agama Islam terhadap remaja di Kecamatan Dempet Kabupaten Demak dalam metodenya mulai disesuaikan dengan kebutuhan remaja yang terus berubah demikian cepatnya. Sehingga efektifitas bimbingan dan penyuluhan mulai terasa, terbukti misalnya remaja mulai menggemari masjid, mengunjungi perpustakaan meskipun kecil dan angka kenakalan remaja pun turun secara perlahan.

Kelima, Tesis yang disusun oleh Fakhrurozi (520127), Peranan Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Pembinaan Kenakalan Remaja (Studi Kasus

(19)

Prilaku Siswa SMU Bhakti Praja Adiwerna Kabupaten Tegal). Tesis ini n

menggunakan pendekatan pendidikan Islam. Dalam temuannya, peneliti pada intinya mengungkapkan, guru pendidikan agama Islam sangat mewarnai prilaku anak didiknya, mengingat guru pendidikan agama membawa misi suci untuk membawa anak didiknya menuju jalan Allah SWT. kenakalan anak dan remaja merupakan persoalan yang sangat kompleks dan disebabkan oleh bermacam-macam faktor. Maka dalam penanggulangannya diperlukan bermacam-macam usaha, antara lain yang terpenting adalah usaha guru, agar kenakalan itu dapat dibendung dan tidak menular kepada anak yang masih baik. Tentu saja usaha represif dan rehabilitasi pun perlu diperhatikan, agar anak yang nakal dapat diperbaiki dan kembali hidup sebagai anggota masyarakat yang baik. Dalam semua usaha itu, peranan guru agama dan pembinaan moral sangat penting, karena agama memberikan pedoman dan peraturan yang pasti serta dipatuhi dengan sukarela atas dorongan dari dalam diri sendiri bukan karena paksaan dari luar.

Keenam, Tesis yang disususun oleh Sulthon, (520181) Hubungan Perilaku Beribadah Orang Tua dan Pendidikan Islam Dalam Keluarga dengan Kenakalan Remaja Siswa SMU Negeri 3 Semarang). Tesis ini

menggunakan pendekatan pendidikan Islam. Kesimpulan Tesis ini dapat diungkap sebagai berikut: Pertumbuhan seorang remaja sangat ditentukan oleh bagaimana cara keluarga membina anak remaja itu. Seorang yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang penuh cinta kasih dan perhatian maka kecenderungan anak itu mencintai dan mengasihi sesamanya. Sebaliknya remaja yang hidup dalam keluarga penuh dengan dendam, kebencian, kekerasan dan masa bodoh, maka remaja itu akan menjadi anak cenderung asosial, amoral dan merugikan orang lain. Dalam membina remaja harus melakukan berbagai pendekatan terutama pendekatan agama menjadi syarat mutlak. Namun demikian agar agama tidak terkesan pemaksaan, pendekatan psikologis harus turut dilibatkan.

Dari penelitian terdahulu itu, sangat berbeda dengan penelitian saat ini, karena tulisan ini hendak mengungkap untuk mengetahui kelebihan dan

(20)

kekurangan konsep Kartini Kartono dalam menanggulangi kenakalan remaja perspektif pendidikan Islam

F. Metode Penelitian

Ketepatan menggunakan metode dalam penelitian adalah syarat utama dalam menggunakan data. Apabila seorang mengadakan penelitian kurang tepat metode penelitiannya, maka akan mengalami kesulitan, bahkan tidak akan menghasilkan hasil yang baik sesuai yang diharapkan. Berkaitan dengan hal ini Winarno Surachmad mengatakan bahwa metode merupakan cara utama yang digunakan dalam mencapai tujuan.14

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode deskriptif analisis. Analisis ini akan digunakan dalam usaha mencari dan mengumpulkan data, menyusun, menggunakan dan menafsirkan data yang sudah ada serta untuk menguraikan secara lengkap, teratur dan teliti terhadap suatu obyek penelitian,15 yaitu menguraikan dan menjelaskan kelebihan dan kekurangan konsep Kartini Kartono dalam menanggulangi kenakalan remaja relevansinya dengan tujuan pendidikan Islam.

Adapun langkah-langkah sebagai berikut: 1) memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan (saat sekarang) atau masalah-masalah yang bersifat aktual; 2) menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya, diiringi dengan interpretasi rasional; 3) membandingkan pendapat Kartini Kartono dengan para ahli lainnya sehingga dapat dicari persamaan, perbedaan, kelebihan dan kekurangan pendapat para ahli tersebut.

14

Winarno Surachmad, Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar-Dasar Metode dan

Teknik, (Bandung: Tarsito Rimbuan, 1995), hlm.121 15

(21)

2. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini yaitu konsep Kartini Kartono dalam menanggulangi kenakalan remaja yang meliputi aspek preventif, refresif dan kuratif.

3. Metode Analisis Data

Dalam membahas dan menelaah data, penulis menggunakan

metode deskriptif Analisis akan digunakan dalam usaha mencari dan mengumpulkan data, menyusun, menggunakan serta menafsirkan data yang sudah ada. Untuk menguraikan secara lengkap, teratur dan teliti terhadap suatu obyek penelitian,16 yaitu menguraikan dan menjelaskan kelebihan dan kekurangan konsep Kartini Kartono dalam menanggulangi kenakalan remaja relevansinya dengan tujuan pendidikan Islam.

Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:

a) Menemukan pola atau tema tertentu. Artinya, peneliti berusaha menangkap karakteristik pemikiran sang tokoh dengan cara menata dan melihatnya berdasarkan dimensi suatu bidang keilmuan sehingga dapat ditemukan pola atau tema tertentu.

b) Mencari hubungan logis antar pemikiran sang tokoh dalam berbagai bidang, sehingga dapat ditemukan alasan mengenai pemikiran tersebut. Di samping itu, peneliti juga berupaya untuk menentukan arti di balik pemikiran tersebut, berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang mengitarinya.

c) Mengklasifikasikan dalam arti membuat pengelompokan pemikiran sang tokoh sehingga dapat dikelompokkan ke dalam berbagai bidang/aspek pendidikan Islam yang sesuai: bidang manajerial, sosiologis, psikologis, politis, ekonomis, dan sebagainya. Adanya pengelompokan semacam ini, dapat ditarik kesimpulan, berdasarkan hasil studi atas sang tokoh, tentang bidang keahlian yang digeluti tokoh tersebut.

16

(22)

12

A. Biografi Kartini Kartono

Liek Kartini Kartono dilahirkan di Surabaya tahun 1929, bekerja

sebagai dosen tetap di IKIP Bandung. Sejak 1969 ia merangkap mengajarkan psikologi umum, psikologi sosial di Fakultas Sospol UNPAR.

Kesarjanaannya di bidang ilmu pendidikan diperoleh dari IKIP Sanata Dharma Yogyakarta, 1964. Tahun 1972 ia melengkapi studi post graduate selama 18 bulan di Universiteit Amsterdam untuk Politieke ontwikkeling,

verandering-processen, modernisatie, urbanisatie en sociologie van Indonesia, di samping menamatkan studi untuk pekerjaan sosial selama 2

tahun pada Protestantse Voortgezette Opieiding voor Sociale Arbeid di Amsterdam (dipl.M.Sw.). Pada tahun 1986 berhasil meraih gelar Doktor Pendidikan di IKIP Bandung,

Karier kerjanya dimulai sebagai kopral TNI-AD (Brigade XVII TRIP Jawa Timur 1945—1950), wartawati surat kabar harian Suara Rakyat Surabaya, guru SD, SMP, SMA, SMEA, SGKP/SKKA; dosen IKIP.

Buku-buku karyanya yang telah diterbitkan antara lain: 1. Psikologi Wanita I. 2. Psikologi Wanita 2. 3. Psikologi Anak. 4. Psikologi Umum. 5. Psikologi Abnormal. 6. Teori Kepribadian. 7. Mental Hygiene. 8. Patologi Sosial. 9. Kenakalan Remaja. 10. Gangguan-gangguan Kejiwaan.

(23)

11. Pemimpin dan Kepemimpinan.

12. Psikologi Sosial untuk Manajemen, Perusahaan dan Industri. 13. Mencari Jatidiri lewat Pendidikan.

14. Wawasan Politik mengenai Sistem Pendidikan.1

B. Pemikiran Kartini Kartono tentang Kenakalan Remaja 1. Pengertian Kenakalan Remaja Menurut Kartini Kartono

Kenakalan remaja seringkali disebut juvenile deliquency (juvenilis = muda, bersifat kemudaan; delinquency dari "delinquere = jahat, durjana, pelanggar, nakal) ialah anak-anak muda yang selalu melakukan kejahatan, dimotivir untuk mendapatkan perhatian, status sosial dan penghargaan dari lingkungannya.

Mereka itu disebut pula sebagai pemuda-pemuda brandalan, atau pemuda aspalan yang selalu berkeliaran di jalan-jalan aspalan, atau anak-anak jahat nakal. Pada umumnya mereka tidak memiliki kesadaran sosial dan kesadaran moral. Tidak ada pembentukan Ego dan Super-ego, karena hidupnya didasarkan pada basis instinktif yang primitif. Mental dan kemauannya jadi lemah, hingga impuls-impuls, dorongan-dorongan dan emosinya tidak terkendali lagi.

Tingkah-lakunya liar berlebih-lebihan. Fungsi-fungsi psikisnya tidak bisa diintegrasikan, hingga kepribadiannya menjadi khaotis dan menjurus pada psikotis. Anak-anak muda delinquent dengan cacat jasmaniah sering dihinggapi rasa "berbeda", rasa inferior, frustasi dan dendam. Maka untuk mengkompensasikan perasaan-perasaan minder itu mereka melakukan perbuatan-perbuatan "kebesaran/grandieus", kekerasan dan kriminal, menteror lingkungan, bersikap tiranik, agresif dan destruktif, merusak apa saja. Semua itu dilakukan, dengan maksud: mempertahankan

1

(24)

harga dirinya, dan untuk "membeli" status sosial serta prestige sosial, untuk mendapatkan perhatian lebih dan penghargaan dari lingkungannya.2

2. Faktor-faktor Terjadinya Kenakalan Remaja Menurut Kartini Kartono

Sebab-sebab remaja menjadi delinquent (nakal), antara lain ialah: a) Instabilitas psikis.

b) Defisiensi dari kontrol Super-ego. c) Fungsi persepsi yang defektif.

a) Delinquent karena instabilitas psikis.

Tipe ini banyak terdapat pada anak-anak gadis, dengan sikap yang pasif, tanpa kemauan dan sugestible sifatnya. Biasanya mereka itu tidak memiliki karakter, terlalu labil mentalnya. Emosinya tidak matang, dan inteleknya mengalami retardasi; pada umumnya mereka tidak agresif, tapi kemauan dan karakternya sangat lemah. Sehingga mudah mereka jadi pecandu alkohol, dan obat-obat bius; lalu mudah terperosok pada praktek dan perbuatan-perbuatan immoral seksual serta melakukan pelacuran/prostitusi.

b) Delinquent disebabkan defisiensi dari kontrol Superego:

Sebagai akibat dari defisiensi ini, muncul banyak agresivitas. Dorongan-dorongan, impuls-impuls dan sikap-sikap bermusuhannya meledak-ledak secara eksplosif seperti pada penderita epilepsi/ayan. Semua ini mengakibatkan defek intelektual, hingga pasien selalu melakukan reaksi yang primitif, yang ditampilkan dalam gejala: tingkah-laku jahat-kejam tidak berperikemanusiaan, dan suka menteror orang lain serta lingkungan.

c) Delinquent karena fungsi persepsi yang defektif.

Mereka itu tahu bahwa perilakunya jahat kriminal, namun mereka tidak menyadari arti dan kualitas dari kejahatannya. Sebab hati nuraninya

2

Kartini Kartono, Patologis Sosial 3 Gangguan-gangguan Kejiwaan, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), hlm. 209

(25)

sudah menumpul, hingga tingkah-lakunya menjadi buas jahat dan kejam kelewat-lewat.3

Laporan "United Nations Congress on the Prevention of Crime and

the Treatment of Offenders" yang bertemu di London menyatakan adanya

kenaikan jumlah juvenile delinquency (kejahatan anak remaja) dalam kualitas kejahatan, dan peningkatan dalam kegarangan serta kebengisannya yang lebih banyak dilakukan dalam aksi-aksi kelompok daripada tindak kejahatan individual.

Fakta kemudian menunjukkan bahwa semua tipe kejahatan remaja itu semakin bertambah jumlahnya dengan semakin lajunya perkembangan industrialisasi dan urbanisasi. Di kota-kota industri dan kota besar yang cepat berkembang secara fisik, terjadi kasus kejahatan yang jauh lebih banyak daripada dalam masyarakat "primitif" atau di desa-desa. Dan di negara-negara kelas ekonomis makmur, derajat kejahatan ini berkorelasi akrab dengan proses industrialisasi. Karena itu Amerika sebagai negara paling maju secara ekonomis di antara bangsa-bangsa di dunia, mempunyai jumlah kejahatan anak remaja paling banyak; jadi ada derajat kriminalitas anak remaja paling tinggi.

Selanjutnya, gangguan masa remaja dan anak-anak, yang disebut sebagai childhood disorders dan menimbulkan penderitaan emosional minor serta gangguan kejiwaan lain pada pelakunya, di kemudian hari bisa berkembang jadi bentuk kejahatan remaja (juvenile delinquency). Kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak muda remaja pada intinya merupakan produk dari kondisi masyarakatnya dengan segala pergolakan sosial yang ada di dalamnya. Kejahatan anak remaja ini disebut sebagai salah-satu penyakit masyarakat atau penyakit sosial.

Penyakit sosial atau penyakit masyarakat adalah segala bentuk tingkah-laku yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum, adat-istiadat, hukum formal, atau tidak bisa diintegrasikan dalam pola tingkah-laku umum. Ilmu tentang penyakit sosial atau penyakit

3

(26)

masyarakat disebut sebagai patologi sosial, yang membahas gejala-gejala sosial yang sakit atau menyimpang dari pola perilaku umum yang disebabkan oleh faktor-faktor sosial. Penyakit sosial ini disebut pula sebagai penyakit masyarakat, masalah sosiopatik, gejala disorganisasi sosial, gejala disintegrasi sosial, dan gejala deviasi (penyimpangan) tingkah-laku.

Disebut sebagai penyakit masyarakat karena gejala sosialnya yang terjadi di tengah masyarakat itu meletus menjadi "penyakit". Dapat disebut pula sebagai struktur sosial yang terganggu fungsinya, disebabkan oleh faktor-faktor sosial. Disebut sebagai masalah sosiopatik karena peristiwanya merupakan gejala yang sakit secara sosial, yaitu terganggu fungsinya disebabkan oleh stimuli sosial.

Penyakit sosial disebut pula sebagai disorganisasi sosial, karena gejalanya berkembang menjadi ekses sosial yang mengganggu keutuhan dan kelancaran berfungsinya organisasi sosial. Selanjutnya dinamakan pula sebagai disintegrasi sosial, karena bagian satu struktur sosial tersebut berkembang tidak seimbang dengan bagian-bagian lain (misalnya person anggota suku, klen, dan lain-lain), sehingga prosesnya bisa mengganggu, menghambat, atau bahkan merugikan bagian-bagian lain, karena tidak dapat diintegrasikan menjadi satu totalitas yang utuh.

Semua tingkah-laku yang sakit secara sosial tadi merupakan penyimpangan sosial yang sukar diorganisir, sulit diatur dan ditertibkan sebab para pelakunya memakai cara pemecahan sendiri yang nonkonvensional, tidak umum, luar biasa atau abnormal sifatnya. Biasanya mereka mengikuti kemauan dan cara sendiri demi kepentingan pribadi. Karena itu deviasi tingkah-laku tersebut dapat mengganggu dan merugikan subyek pelaku sendiri dan/atau masyarakat luas. Deviasi tingkah-laku ini juga merupakan gejala yang menyimpang dari tendensi sentral, atau menyimpang dari ciri-ciri umum rakyat kebanyakan.4

4

Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rajawali Press, 1992), hlm. 5.

(27)

Tingkah-laku menyimpang secara sosial tadi juga disebut sebagai diferensiasi sosial, karena terdapat diferensiasi atau perbedaan yang jelas dalam tingkah-lakunya, yang berbeda dengan ciri-ciri karakteristik umum, dan bertentangan dengan hukum, atau melanggar peraturan formal.

3. Pengaruh Sosial dan Kultural Menurut Kartini Kartono

Pandangan bahwa anak seumpama segumpal tanah liat yang bisa dibentuk sekehendak hati menurut keinginan orang tua sudah pudar. Kini semakin disadari kenyataan bahwa tingkah laku anak memang bisa sangat dipengaruhi oleh keluarga dan lingkungan tempat anak tumbuh, tetapi juga banyak perubahan yang dapat terjadi dalam tingkah laku individu ditentukan oleh faktor dari dalam diri anak sendiri. Hal ini tidak berarti bahwa kita cukup sekedar berpangku tangan dan bersikap "biarlah dia tumbuh sendiri".5

Pengaruh sosial dan kultural memainkan peranan yang besar dalam pembentukan atau pengkondisian tingkah-laku kriminal anak-anak remaja. Perilaku anak-anak remaja ini menunjukkan tanda-tanda kurang atau tidak adanya konformitas terhadap norma-norma sosial, mayoritas juvenile

delinquency berusia di bawah 21 tahun. Angka tertinggi tindak kejahatan

ada pada usia 15-19 tahun; dan sesudah umur 22 tahun, kasus kejahatan yang dilakukan oleh gang-gang delinkuen jadi menurun.

Kejahatan seksual banyak dilakukan oleh anak-anak usia remaja sampai dengan umur menjelang dewasa, dan kemudian pada usia pertengahan. Tindak merampok, menyamun dan membegal, 70% dilakukan oleh orang-orang muda berusia 17-30 tahun. Selanjutnya, mayoritas anak-anak muda yang terpidana dan dihukum itu disebabkan oleh nafsu serakah untuk memiliki, sehingga mereka banyak melakukan perbuatan mencopet, menjambret, menipu, merampok, menggarong, dan lain-lain. Menurut catatan kepolisian, pada umumnya jumlah anak laki

5

Kartini Kartono, Bimbingan bagi Anak dan Remaja yang Bermasalah, (Jakarta: CV Rajawali, 1985), hlm. V.

(28)

yang melakukan kejahatan dalam kelompok gang-gang diperkirakan 50 kali lipat daripada gang anak perempuan; sebab anak perempuan pada umumnya lebih banyak jatuh ke limbah pelacuran, promiskuitas (bergaul bebas dan seks bebas dengan banyak pria) dan menderita gangguan mental, serta perbuatan minggat dari rumah atau keluarganya.6

Pendidikan anak dalam lingkungan keluarga merupakan awal dan sentral bagi seluruh pertumbuhan dan perkembangan si anak menjadi individu yang dewasa. Kiranya kita bisa menamakan keluarga adalah "sekolah cinta kasih". Cinta kasih orang tua yang sebenarnya adalah perpaduan cinta kasih seorang ibu dan cinta kasih seorang ayah.7

Anak-anak dalam gang yang delinkuen itu pada umumnya mempunyai kebiasaan memakai uniform atau pakaian yang khas, aneh dan mencolok, dengan gaya rambut khusus, punya lagak tingkah-laku dan kebiasaan khas, suka mendengarkan jenis-jenis lagu tertentu, senang mengunjungi tempat hiburan dan kesenangan, misalnya ke tempat-tempat pelacuran, suka minum-minum sampai mabuk, suka berjudi dan lain-lain. Pada umumnya mereka senang sekali mencari gara-gara, membuat jengkel hati orang lain, dan mengganggu orang dewasa serta obyek lain yang dijadikan sasaran buruannya.

Dipelbagai negara mereka itu dikenal dengan nama-nama khusus, yaitu: bar gangs (Argentina), blousons noire (Perancis), bodgies (Australia), chimpira (Jepang), Habstarke (Jerman Barat), hooligans (Polandia), nozem (Nederland), raggare (Swedia), stilyagi (Uni Soviet),

tapakaroschi (Yugoslavia), tau-pau (Taiwan), teddy boys (Inggris), vitelloni (Italia), gali (gabungan anak liar) atau jeger (jagoan keker),

Indonesia. Gang-gang ini dikenal pula sebagai sebutan bende.

Secara umum mereka dianggap ada dalam satu periode transisi dengan tingkah-laku anti-sosial yang potensial, disertai dengan banyak pergolakan hati atau kekisruhan batin pada fase-fase remaja dan adolesens.

6

Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, hlm. 7.

7

Kartini Kartono, Peranan Keluarga Memandu Anak, (CV Rajawali, Jakarta, 1985), hlm. 8.

(29)

Maka segala gejala keberandalan dan kejahatan yang muncul itu merupakan akibat dari proses perkembangan pribadi anak yang mengandung unsur dan usaha:

(1) kedewasaan seksual;

(2) pencaharian suatu identitas kedewasaan; (3) adanya ambisi materiil yang tidak terkendali; (4) kurang atau tidak-adanya disiplin-diri.8

Maka dalam konteks perspektif baru dari periode adolesens dan keremajaan, gang delinkuen tadi mereka interpretasikan sebagai manifestasi kebudayaan remaja, dan tidak dilihat sebagai bagian dari gang kriminal orang-orang dewasa. Kejahatan anak-anak remaja ini merupakan produk sampingan dari:

(1) pendidikan massal yang tidak menekankan pendidikan watak dan kepribadian anak;

(2) kurangnya usaha orang tua dan orang dewasa menanamkan moralitas dan keyakinan beragama pada anak-anak muda;

(3) kurang ditumbuhkannya tanggung jawab sosial pada anak-anak remaja.

Anak-anak remaja yang melakukan kejahatan itu pada umumnya kurang memiliki kontrol-diri, atau justru menyalahgunakan kontrol-diri tersebut, dan suka menegakkan standar tingkah-laku sendiri, disamping meremehkan keberadaan orang lain. Kejahatan yang mereka lakukan itu pada umumnya disertai unsur-unsur mental dengan motif-motif subyektif, yaitu untuk mencapai satu obyek tertentu dengan disertai kekerasan dan agresi. Pada umumnya anak-anak muda tadi sangat egoistis, dan suka sekali menyalahgunakan atau melebih-lebihkan harga-dirinya.

Adapun motif yang mendorong mereka melakukan tindak kejahatan dan kedursilaan itu antara lain ialah:

(1) Untuk memuaskan kecenderungan keserakahan. (2) Meningkatnya agresivitas dan dorongan seksual,

8

(30)

(3) Salah-asuh dan salah-didik orang tua, sehingga ariak menjadi; manja dan lemah mentalnya.

(4) Hasrat untuk berkumpul dengan kawan senasib dan sebaya, dan kesukaan untuk meniru-niru.

(5) Kecenderungan pembawaan yang patologis atau abnormal.

(6) Konflik batin sendiri, dan kemudian menggunakan mekanisme pelarian diri serta pembelaan diri yang irrasional.

Kartini Kartono mengatakan juvenile delinquency (juvenilis = muda, bersifat kemudaan; delinquency dari delinqucuere = jahat, durjana, pelanggar, nakal) ialah anak-anak muda yang selalu melakukan kejahatan, dimotivir untuk mendapatkan perhatian, status sosial dan penghargaan dari lingkungannya.9

Keseluruhan jumlah tindak kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak remaja itu tidak dapat diketahui dengan tepat, karena kasus yang dilaporkan kepada polisi dan diajukan ke pengadilan sangat terbatas sekali. Hanya proporsi yang sangat kecil saja dari jumlah kejahatan itu bisa diketahui atau dilaporkan; biasanya berupa tindak kriminal yang bengis dan sangat mencolok di mata umum. Kejahatan kecil pada umumnya tidak dilaporkan, karena orang enggan berurusan dengan polisi atau pihak berwajib, atau orang merasa malu jika peristiwanya sampai terungkap.10

4. Pendekatan Humaniter Menurut Kartini Kartono

Kenakalan remaja dalam kenyataannya memiliki bentuk yang variatif termasuk di dalamnya kenakalan berupa penyimpangan seks.

Dalam konteksnya dengan penyimpangan seksual bahwa penyimpangan seksual adalah ketidakwajaran seksual (sexual perversion) itu mencakup perilaku-perilaku seksual atau fantasi-fantasi seksual yang diarahkan pada pencapaian orgasme lewat relasi di luar hubungan kelamin

9

Kartini Kartono, Patologis Sosial 3 Gangguan-gangguan Kejiawaan, Jakarta: CV. Rajawali, 1986, hlm 209.

10

(31)

heteroseksual, dengan jenis kelamin yang sama, atau dengan partner yang belum-dewasa, dan bertentangan dengan norma-norma tingkah laku seksual dalam masyarakat yang bisa diterima secara umum.

Penyimpangan seksual ini jelas merupakan substitusi dari relasi kelamin heteroseksual yang biasanya bersifat kompulsif, dan tegar menetap. Karena itu disfungsi seksual dan penyimpangan seksual itu merupakan satu aspek dari gangguan kepribadian dan penyakit neurotis yang umum.11

Berdasarkan keterangan di atas maka perlu pendekatan humaniter (kemanusiaan). Pemahaman dan pendekatan secara humaniter terhadap

juvenile delinquency dilakukan atas dasar beberapa pertimbangan berikut:

a. Didasarkan atas pandangan hidup dan falsafah hidup kemanusiaan/humaniter terhadap pribadi anak-anak dan para remaja.

b. Kebutuhan akan perawatan dan perlindungan terhadap anak-anak dan remaja yang nakal-jahat, bermasalah dan menjadi masalah sosial, disebabkan oleh ketidakdewasaan mereka.

c. Untuk menggolongkan anak dan remaja delinkuen tersebut ke dalam satu kategori yang berbeda dengan kategori kriminalitas orang dewasa.

d. Untuk menerapkan prosedur-prosedur peradilan, penghukuman, penyembuhan dan rehabilitasi khusus; terutama sekali untuk menghindarkan anak-anak dari pengalaman traumatis yang tidak perlu, serta melindungi mereka dari tindak-tindak manipulatif oleh orang-orang dewasa.

e. Adanya tugas "parens patriae" sebagai orang tua dan bapak oleh orang dewasa dan masyarakat, khususnya oleh negara untuk ikut bertanggung jawab memikul beban memelihara dan melindungi

11

Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, (Bandung: Mandar Maju, 1989), hlm. 227.

(32)

anak-anak dan para remaja yang terhalang proses perkembangan mentalnya, dan cacat secara sosial.

Sehubungan dengan kelima pertimbangan tadi, masyarakat dan pemerintah secara bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas penanganan terhadap masalah kejahatan anak tersebut, antara lain dengan jalan menyelenggarakan upaya:

(a) mendirikan panti rehabilitasi dan pengoreksian, (b) peradilan anak-anak,

(c) badan kesejahteraan anak (d) foster home placement

(e) undang-undang khusus untuk pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak dan para remaja,

(f) sekolah bagi anak-anak gembel,

(g) rumah tahanan untuk anak, dan lain-lain.

Semua lembaga tersebut di atas menggunakan pelayanan dan perlakuan khusus bagi anak-anak, baik secara individual maupun secara kelompok dalam bentuk tindak koreksi dan rehabilitasinya. Khususnya anak-anak tersebut dididik agar mampu bertanggung jawab sosial, dan di kemudian harinya bisa menjadi warga negara yang susila, berguna dan bertanggung jawab.12

5. Wujud Kenakalan Remaja Menurut Kartini Kartono

Secara klinis, tingkah laku seksual yang menyimpang (sakit, patologis, mengalami disfungsi, abnormal) itu pada umumnya berasosiasi dengan melemahnya dan atau rusaknya kemampuan untuk menghayati relasi-relasi seksual yang bisa saling memuaskan (dengan partnernya) dari lawan jenis kelamin; dan biasanya ada affek-affek kuat berisikan unsur rasa bersalah, berdosa, dendam kesumat. dan kebencian.

12

(33)

Pada tingkah laku seksual yang normal dan sehat, relasi heteroseksual berlangsung dalam suasana penuh afeksi dan saling memuaskan, saling memberi dan menerima kasih-sayang dan kenikmatan. Sebaliknya, pada tingkah laku seksual yang menyimpan sering berjalan tanpa ada diskriminasi (tanpa perbedaan, semua sama saja. ada rasa yang datar, tanpa afeksi) terhadap partnernya; bahkan tanpa memperdulikan sama sekali perasaan-perasaan partnernya

Perilaku seksual yang menyimpang ini lebih banyak dikuasai oleh kebutuhan-kebutuhan neurotis dan dorongan-dorongan non seksual daripada kebutuhan erotis, yang pada akhirnya menuntun pasien pada tingkah laku kompulsif dan patologis.13

Gang delinkuen banyak tumbuh dan berkembang di kota-kota besar, dan bertanggung jawab atas banyaknya kejahatan dalam bentuk: pencurian, perusakan milik orang lain, dengan sengaja melanggar dan menentang otoritas orang dewasa serta moralitas yang konvensional, melakukan tindak kekerasan menteror lingkungan, dan lain-lain. Pada umumnya anak-anak remaja ini sangat agresif sifatnya, suka berbaku-hantam dengan siapa pun juga tanpa suatu-sebab yang jelas, dengan tujuan sekedar untuk mengukur kekuatan kelompok sendiri, serta membuat onar di tengah lingkungan.14

Pada intinya, gerombolan anak laki dari suatu gang dengan ciri-ciri a-sosial dan kriminal itu adalah anak-anak normal; namun oleh satu atau beberapa bentuk pengabaian, dan upaya mencari kompensasi bagi segala kekurangannya, menyebabkan anak-anak muda ini kemudian menjadi jahat. Mereka lantas berusaha mendapatkan segala sesuatu yang "memuaskan", yang tidak cukup diberikan oleh orang tua mereka, keluarga dan masyarakat sekitarnya. Hal-hal yang tidak ditemukan di tengah-tengah keluarga dan lingkungan sendiri, kemudian justru ditemukan di dalam gang delinkuen itu; yaitu antara lain berupa posisi

13

Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, hlm. 228.

14

(34)

sosial, status, suatu ideal, pribadi idola, aksi-aksi bersama, ikatan persahabatan, simpati kasih-sayang, prestise, harga-diri, rasa aman terlindung, dan seterusnya.

Menurut visi anak-anak delinkuen tadi, masyarakat luas dan keluarganya itu menolak dan memusuhi dirinya; juga menghambat mereka untuk "menjadi" dan bertingkah-laku, bahkan sering menghalang-halangi mereka untuk menjadi "manusia yang berarti". Dalam situasi penuh frustasi dan kebingungan, anak-anak secara spontan saling bersimpati dan saling tarik-menarik. Mereka lalu menggerombol jadi satu untuk mendapatkan dukungan moril, guna memainkan suatu peranan sosial tertentu, dan untuk memuaskan segenap kebutuhannya.15

Kebanyakan gang tersebut pada awalnya merupakan kelompok bermain yang beroperasi bersama-sama untuk mencari pengalaman baru yang menggairahkan, dan melakukan eksperimen yang merangsang jiwa mereka. Dari permainan yang netral dan menyenangkan hati itu, lama-kelamaan perbuatan mereka menjadi semakin liar dan tidak terkendali, ada di luar kontrol orang dewasa. Lalu berubahlah aksi-aksinya menjadi tindak kekerasan dan kejahatan.

Di dalam gang tersebut secara lambat-laun akan timbul benturan untuk memperebutkan peranan sosial tertentu. Muncullah kemudian secara spontan seorang atau beberapa tokoh pemimpin, yang kemunculannya lewat banyak konflik dan adu kekuatan melawan kawan-kawan sebaya. Posisi kepemimpinan ini sangat ditentukan oleh kualitas individualnya, yaitu oleh beberapa kemahiran dan kelebihannya jika dibanding dengan para anggota kelompok lainnya. Jiwa dan ide-ide pemimpin tersebut menjadi semangat kelompok; sedang ideal-ideal dan norma-norma yang ditentukan oleh pemimpin dijadikan panutan bagi setiap anggota gang. Semua bentuk ketidakpatuhan dan pelanggaran terhadap ketentuan yang sudah dikeluarkan, akan ditindak keras, bahkan seringkali disertai ancaman-ancaman hukuman mati.

15

(35)

Gang tadi lalu menentukan daerah operasi atau padang perburuannya sendiri. Dengan sengaja kemudian banyak dimunculkan pertengkaran, perkelahian dan "peperangan" di antara gang tadi guna memperebutkan prestise sosial. Banyaknya perkelahian dan pertempuran massal itu diharapkan bisa memperkuat kesadaran kekaitannya dan menumbuhkan semangat korps. Yaitu merupakan kepatuhan dan kesadaran yang menuntut setiap anggota menjadi "satu-onderdil yang tidak-terpisahkan" dari gangnya, disertai loyalitas dan kepatuhan mutlak.

Norma dan kode yang dijadikan panutan dan tidak boleh dilanggar, serta dibarengi sanksi-sanksi berat itu pada umumnya merupakan:

(a) produk interaksi para anggota kelompok gang dengan ambisi tertentu, (b) pencerminan pola tingkah-laku para anggota gang yang ada dalam satu

lingkungan sosial tertentu;

(c) kelanjutan dari perkembangan sentimen kelompok primer, yang kemudian memberikan motivasi "perjuangan" kepada para anggota gang dalam bentuk tingkah-laku menyimpang secara sosial.16

Di dalam kelompok gang tadi kemudian muncul bahasa sendiri dengan penggunaan kata dan istilah khusus yang hanya dapat dimengerti oleh para anggota gang itu sendiri. Timbul pula ungkapan bahasa, gerak tubuh dan isyarat sandi tertentu. Dari seluruh kelompok itu selanjutnya muncul satu tekanan kepada semua anggota kelompok, agar setiap individu mau menghormati dan mematuhi segala perintah yang sudah ditentukan. Penyimpangan terhadap norma, etik, kode dan ketentuan-ketentuan kelompok, akan dihukum. Pengkhianatan terhadap kelompok dianggap sebagai "kejahatan paling berat" yang harus dituntut dengan hukuman mati.

Lewat pendisiplinan yang keras itu diharapkan bisa timbul kesediaan berkorban tingkat tinggi bagi kepentingan bersama, dan kerelaan untuk saling tolong-menolong dalam situasi yang berbahaya dan

16

(36)

kritis. Bagi setiap anggota, gangnya merupakan "segala-galanya" yang melebihi semua kejadian di dunia.

Di dalam kelompok gangnya, pada umumnya anak-anak remaja itu bisa merasakan iklim aman terlindung; sebab di tengah kelompok tersebut anak merasa mendapatkan posisi, merasa diakui pribadi dan eksistensinya, dan merasa punya martabat diri. Dengan demikian, gang merupakan basis bagi perasaan-diri, harga-diri dan kehormatan dirinya. Sehubungan dengan hal tersebut, mentalitas kelompok suatu gang jelas dapat membedakan ciri-ciri karakteristik para anggota ingroup dengan anggota outgroup. Di tengah lingkungan ingroup tadi anak-anak remaja berusaha menemukan arti kehidupannya.17

Banyak remaja yang ketika di tengah lingkungan keluarga dan kerabat sendiri merasa tidak berarti, hanyut dan tidak mempunyai status sosial yang bermartabat, merasa terkungkung dan tidak bisa berkembang, di tengah gangnya anak-anak ini dapat menemukan kompensasi bagi segala kekurangannya. Di sana mereka merasa diberi peranan yang berarti; bahkan bisa menemukan nilai- diri dan kehormatan karena diangkat dan disanjung oleh anggota-anggota gang yang lain. Dengan begitu gang tersebut merupakan "kesatuan" atau unit temporer yang berarti bagi pribadi para remaja yang merasa kesepian dan tenggelam di tengah arus masyarakat.

Beberapa ciri gang tadi dapat disebutkan di bawah ini:

1) Jumlah anggotanya berkisar antara 3-40 anak remaja. Jarang beranggotakan lebih dari 50 anak remaja.

2) Anggota gang lebih banyak terdiri dari anak laki ketimbang anak perempuan, walaupun ada juga anak perempuan yang ikut di dalamnya. Di dalam gang tersebut umum terjadi relasi heteroseksual bebas antara anak laki dan perempuan (yang merasa dirinya "maju dan modern"). Sering pula berlangsung perkawinan di antara mereka,

17

(37)

sungguhpun pada umumnya anak laki lebih suka kawin dengan perempuan luar, dan bukan dengan anggota gang sendiri.

3) Kepemimpinan ada di tangan seorang anak muda yang dianggap paling banyak berprestasi, dan memiliki lebih banyak keunggulan atau kelebihan daripada anak-anak remaja lainnya.

4) Relasi di antara para anggota mulai dari keterikatan yang longgar sampai pada hubungan intim.

5) Sifat gang sangat dinamis dan mobil (sering berpindah-pindah tempat).

6) Tingkah-laku kaum delinkuen dalam gang itu pada umumnya bersifat episodik; artinya bersifat terpotong-potong, seolah-olah berdiri sendiri. Sebab tidak semua anggota berpartisipasi aktif dalam aksi-aksi bersama; ada yang pasif dan ikut-ikutan saja. Yang paling aktif biasanya para anggota inti dan tokoh pemimpinnya yang berusaha menjadi unsur inti dalam kelompoknya.

7) Kebanyakan gang delinkuen itu terlibat dalam bermacam tingkah-laku melanggar hukum yang berlaku di tengah masyarakatnya.

8) Usia gang bervariasi; dari beberapa bulan dan beberapa tahun, sampai belasan tahun atau lebih.

9) Umur anggotanya berkisar 7-25 tahun. Pada galibnya semua anggota berusia sebaya; berupa peer-group atau kawan-kawan sebaya, yang memiliki semangat dan ambisi yang kurang lebih sama.

10) Dalam waktu yang relatif pendek, anak-anak itu berganti-ganti peranan, disesuaikan dengan tuntutan dan kebutuhan kondisi-situasi sosial, bentuk kepemimpinan baru, dan sasaran-sasaran yang ingin mereka capai.

11) Anggota gang biasanya bersikap konvensional bahkan sering fanatik dalam mematuhi nilai-nilai dan norma gang sendiri. Pada umumnya mereka sangat setia dan loyal terhadap sesama.

12) Di dalam gang sendiri anak-anak itu mendapatkan status sosial dan peranan tertentu sebagai imbalan partisipasinya. Mereka harus mampu

(38)

menjunjung tinggi nama kelompok sendiri. Semakin kasar, kejam, sadistis dan berandalan tingkah-laku mereka, semakin "tenarlah" nama gangnya, dan semakin banggalah hati mereka. Nama pribadi dan gangnya menjadi mencuat dan banyak ditiru oleh kelompok berandalan remaja lainnya.

13) Ada beberapa bentuk gang, antara lain gang perkelahian, gang , pemilikan, gang kejahatan, gang penggunaan obat narkotika dan minuman beralkohol.18

Selanjutnya, anak-anak delinkuen itu mempunyai karakteristik umum yang sangat berbeda dengan anak-anak non-delinkuen; yaitu berbeda dalam:

a. struktur intelektualnya, b. konstitusi fisik dan psikis. c. ciri karakteristik individual.19

Karakteristik umum umum yang sangat berbeda tersebut dapat dijelaskan dan diuraikan sebagai berikut:

a. Perbedaan struktur intelektual

Pada umumnya inteligensi mereka tidak berbeda dengan inteligensi anak-anak yang normal; namun jelas terdapat fungsi-fungsi kognitif khusus yang berbeda. Biasanya anak-anak delinkuen ini mendapatkan nilai lebih tinggi untuk tugas-tugas prestasi daripada nilai untuk keterampilan verbal (Wechsler, 1939). Mereka kurang toleran terhadap hal-hal yang ambigius. Pada galibnya mereka kurang mampu memperhitungkan tingkah-laku orang lain; bahkan tidak menghargai pribadi lain, dan menganggap orang lain sebagai "gambar cermin" dari diri sendiri.

b. Perbedaan fisik dan psikis

Anak-anak delinkuen lebih "idiot secara moral", dan memiliki perbedaan ciri karakteristik yang jasmaniah sejak lahir jika dibanding

18

Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, hlm.17.

19

(39)

dengan anak-anak normal (Lombroso, 1899). Bentuk tubuh mereka lebih "mesomorphs", yaitu relatif berotot, kekar, kuat (60%), dan pada umumnya bersifat lebih agresif.

Sarjana lain menemukan fungsi fisiologis dan neurologis yang khas pada anak-anak delinkuen ini; antara lain: (1) mereka kurang mereaksi terhadap stimuli kesakitan; lebih kebal; (2) menunjukkan ketidakmatangan jasmaniah atau "anomali-anomali perkembangan" tertentu.

Sedang Ostrow dan kawan-kawan melaporkan adanya indikasi gangguan neurologis (1946). Gangguan berupa kerusakan jasmaniah itu merupakan akibat dari buruknya faktor lingkungan anak-anak. Maka diduga keras malfungsi fisiologis (tidak berfungsi secara jasmaniah) tersebut memainkan peranan penting dalam memprodusir anak-anak delinkuen dengan malfungsi psikis.

c. Perbedaan ciri karakteristik individual

Anak-anak delinkuen mempunyai sifat kepribadian khusus yang menyimpang, seperti:

(1) Hampir semua anak muda jenis ini cuma berorientasi pada "masa sekarang", bersenang-senang dan puas pada hari ini. Mereka tidak mau mempersiapkan bekal hidup bagi hari esok. Mereka tidak mampu membuat rencana bagi hari depan.

(2) Kebanyakan dari mereka itu terganggu secara emosional.

(3) Mereka kurang tersosialisasi dalam masyarakat normal, sehingga tidak mampu mengenal norma-norma kesusilaan, dan tidak bertanggungjawab secara sosial.

(4) Mereka senang menceburkan diri dalam kegiatan "tanpa pikir" yang merangsang rasa kejantanan, walaupun mereka menyadari besarnya risiko dan bahaya yang terkandung di dalamnya.

(5) Pada umumnya mereka sangat impulsif, dan suka menyerempet bahaya.

(40)

(7) Mereka kurang memiliki disiplin-diri dan kontrol-diri, sebab mereka memang tidak pernah dituntun atau dididik untuk melakukan hal tersebut. Tanpa pengekangan diri itu mereka menjadi liar, ganas, tidak bisa dikuasai oleh orang dewasa. Muncullah kemudian kebiasaan jahat yang mendarah-daging, dan kemudian menjadi stigma. 20

Dalam keadaan terganggu secara emosional itu mereka menjadi lupa daratan. Mereka menjadi tidak sadar atau setengah sadar, sehingga menjadi eksplosif meledak-ledak dan sangat agresif, untuk kemudian tanpa berpikir panjang melakukan bermacam-macam tindak dursila. Dalam keadaan terganggu jiwanya ini hati nuraninya sering tidak berfungsi dengan baik. Akibatnya mereka melakukan perbuatan "kortsluiting" yang merugikan dan membahayakan lingkungannya.

Selanjutnya stigma alami tadi selalu saja membujuk anak-anak remaja yang tidak imbang secara emosional (terganggu secara emosional) itu untuk melakukan kejahatan, dan terus-menerus memberikan rangsangan yang kuat sekali untuk melakukan tindak kejahatan.

Maka untuk mengatasi semua kesulitan tadi diperlukan adanya: - pendidikan hati nurani

- pendisiplinan-diri secara ketat

Di bagian depan telah dijelaskan bahwa perilaku delinkuen adalah perilaku jahat, melanggar norma sosial dan hukum; dan ada konotasi "pengabaian" Delinkuen merupakan produk konstitusi mental serta emosi yang sangat labil dan defektif, sebagai akibat dari proses pengkondisian lingkungan buruk terhadap pribadi anak, yang dilakukan oleh anak muda tanggung usia, puber dan adolesens.21

Wujud perilaku delinkuen ini adalah:

1) Kebut-kebutan di jalanan yang mengganggu keamanan lalu-lintas, dan membahayakan jiwa sendiri serta orang lain.

20

Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, hlm. 19

21

(41)

2) Perilaku ugal-ugalan, brandalan, urakan yang mengacaukan ketenteraman milieu sekitar. Tingkah ini bersumber pada kelebihan energi dan dorongan primitif yang tidak terkendali serta kesukaan menteror lingkungan.

3) Perkelahian antargang, antarkelompok, antarsekolah, antar-suku (tawuran), sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa.

4) Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan, atau bersembunyi di tempat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen bermacam-macam kedurjanaan dan tindak a-susila.

5) Kriminalitas anak, remaja dan adolesens antara lain berupa perbuatan mengancam, intimidasi, memeras, maling, mencuri, mencopet, merampas, menjambret, menyerang, merampok, menggarong; melakukan pembunuhan dengan jalan menyembelih korbannya; mencekik, meracun, tindak kekerasan, dan pelanggaran lainnya.

6) Berpesta-pora, sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas, atau orgi (mabuk-mabukan hemat dan menimbulkan keadaan yang kacau-balau) yang mengganggu lingkungan.

7) Perkosaan, agresivitas seksual dan pembunuhan dengan motif seksual, atau didorong oleh reaksi-reaksi kompensatoris dari perasaan inferior, menuntut pengakuan diri, depresi hebat, rasa kesunyian, emosi balas dendam, kekecewaan ditolak cintanya oleh seorang wanita dan lain-lain.

8) Kecanduan dan ketagihan bahan narkotika (obat bius; drugs) yang erat bergandengan dengan tindak kejahatan.

9) Tindak-tindak immoral seksual secara terang-terangan, tanpa tendeng aling-aling, tanpa rasa malu dengan cara yang kasar. Ada seks dan cinta bebas tanpa kendali (promiscuity) yang didorong oleh hiperseksualitas, Geltungsrieb (dorongan menuntut hak) dan usaha-usaha kompensasi lainnya yang kriminal sifatnya.

10) Homoseksualitas, erotisme anal dan oral, dan gangguan seksual lain pada anak remaja disertai tindakan sadistis.

Referensi

Dokumen terkait

tersebut mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul “ Peran Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam Menanggulangi Kenakalan Remaja di Desa

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis dapat merumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana peran guru pendidikan agama Islam dalam menanggulangi kenakalan siswa di

PEMBENTUKAN KONSEP DIRI REMAJA PADA KELUARGA JAWA YANG BERAGAMA ISLAM..

Untuk lebih jelasnya maka peneliti akan menyajikan tentang faktor-faktor yang mendorong kenakalan remaja i SMK Negeri 01 Batu melalui hasil interview berikut: Berdasarkan

Pembahasan tentang kontribusi pendidikan agama islam dalam menanggulangi kenakalan remaja di Smk Muhammadiyah 1 Purwokerto telah penulis jelaskan dalam bab demi bab pada

Penelitian ini terdiri dari dua vaiabel, yaitu konsep kesetaraan gender menurut R.A. Kartini, Konsep kesetaraan dalam pendidikan Islam. Sesuai dengan konsepsi awal. Variabel

Kata Kunci: Tanggung Jawab, Kenakalan Remaja, Hukum Keluarga Islam. Perkawinan atau yang biasa juga disebut dengan pernikahan adalah suatu ibadah untuk mentaati perintah Allah

Dari pemaparan mengenai pendidikan anak dalam keluarga berperspektif Islam, dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa Pendidikan dalam keluarga yang berperspektif Islam