• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Syifa' dalam Tafsir Mafatih al-ghaib al-razi Oleh: Aswadi Syuhadak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kajian Syifa' dalam Tafsir Mafatih al-ghaib al-razi Oleh: Aswadi Syuhadak"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak

Tulisan ini berusaha merumuskan konsep Syifa' dalam tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi, yang difokuskan pada tinjauan umum tentang pengungkapan syifa’ dalam al-Qur'an dan konsep syifa’ dalam tinjauan tafsir Mafatih al-Ghaib al-Razi.

Syifa' (

ﺀﺎﻔـﺷ

) dengan berbagai bentuknya diungkapkan 6 kali dalam

al-Qur'an. Lima di antaranya tergolong ayat Makkiyah dan satu lainnya tergolong ayat Madaniyah. Term syifa’ ini pada dasarnya dipersandingkan dengan term marad demikian pula perkembangan selanjutnya hingga mengarah pada perbedaan karakter dan kecenderungan masing-masing term yang identik dengannya. Pada umumnya, syifa’ diartikan dengan "sembuh", sedangkan marad diartikan dengan "sakit". Sakit dan sembuh merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan umat manusia. Bahkan keduanya berkembang seiring dengan sejumlah jenis penyakit maupun penyembuhannya. Karena itu, sebutan sakit dalam al-Qur'an selain

menggunakan term marad (

ﺽﺮﻣ

), juga menyebut istilah syafa (

ﹶﻔـﺷ

) yang

berarti pinggir maupun sesuatu yang berada di ambang kehancuran sebagai bentuk analogi dari penyakit yang sangat berbahaya terkait dengan

permusuhan dan sifat-sifat hipokrit. Term saqam (

ﻢﹶﻘـﺳ

) dalam keadaan

tertentu bisa bermakna ganda (tawriyah), baik sakit mental maupun fisiknya, meskipun pada umumnya hanya dipahami sebagai bentuk sakit

fisik saja. Term ada (

ﻯﹶﺫﺃ

) menunjuk pada segala sesuatu yang

menyebabkan sakit dan term alam (

ﻢـﹶﻟﹶﺃ

) merupakan perasaan sakit yang

sangat pedih, sedangkan pengungkapan al-Qur'an selain menggunakan

term syifa' (

ﺀﺎﹶﻔــﺷ

) dalam arti berbagai usaha penyembuhan, juga

menggunakan istilah bur'ah (

ﹲﺓﹶﺃﺮﺑ

) yang menunjuk pada kesembuhan secara

mutlak, maupun term salamah (

ﹲﺔﻣﹶﻼﺳ

) yang menekankan pada keselamatan

di dunia hingga kelak kemudian.

Al-Razi dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib telah menyajikan kajian syifa’ dengan berbagai macamnya secara terpisah antara satu term dengan

(2)

lainnya, namun kesemuanya itu dapat dikaji melalui pendekatan tafsir tematik secara kronologis berdasarkan tertib nuzl surah-surah dalam al-Qur'an karya Muhammad `Azzah Darwazah, kemudian dikonfirmasikan dengan karya Muhammad Fu'ad `Abd al-Baqi dalam karyanya al-Mu`jam al-Mufahras li Alfad al-Qur’an untuk melihat satuan ayat Makkiyah dan Madaniyahnya dengan tanpa mengabaikan tinjauan dari para mufassir lainnya, terutama dalam tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi.

Kajian syifa’ dalam tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi dengan pendekatan tematik tersebut dapat dihasilkan sebuah konsep syifa’ secara komprehensif sehubungan dengan eksistensi, makna dan sasaran syifa’, sakit dan sebab-sebabnya, jenis syifa’ beserta karakteristik dan mekanismenya secara parsial maupun terpadu beserta nilai guna dan manfaatnya bagi kehidupan umat manusia. Kajian syifa' dengan fokus tafsir

Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi sangat penting bagi kehidupan

saat sekarang dan yang akan datang, karena kehidupan al-Razi yang lahir di Ray pada tanggal 25 Ramadan 544 H. Wafat di Herat pada hari Senin, 1 Syawwal/'id al-Fitri tahun 606 H. yang bertepatan dengan tahun 1148-1210 M., adalah seorang tokoh Muslim di berbagai bidang, termasuk di dalamnya adalah ahli di bidang fikih, ushul fikih, teologi, filsafat, kedokteran, tafsir, tasawuf dan bahkan beliau adalah seorang Imam besar pada masanya yang selalu berusaha mencari solusi dan sintesis dalam dunia akademis maupun sosial kemasyarakatan. Oleh karenanya, usaha-usaha demikian itu masih sangat relevan dan bahkan patut dimanfaatkan dan dikembangkan untuk masa kini dan yang akan datang.

Sungguhpun kajian syifa’ telah diungkapkan sedemikian rupa, namun masih banyak celah-celah yang menuntut adanya kajian sebagai bentuk pengembangan, apalagi kajian ini hanya difokuskan pada satu kajian tafsir al-Razi dengan satu corak pendekatan. Karena itu, kajian syifa' demikian ini sungguh sangat terbuka dan tidak tertutup kemungkinan untuk pengembangan penelitian berikutnya.

Kata kunci: syifa', tafsir Mafatih al-Ghaib, Fakhruddin al-Razi

1. Pendahuluan

Syifa’ dalam studi al-Qur'an bagi ahli agama Islam maupun lainnya, pada dasarnya tidak hanya dikaji dari dimensi psikologis, melainkan juga fisiologis, sosiologis, dan spiritual. Sudut pandang ini selain menjadikan al-Qur'an sebagai sumber utama, juga melahirkan sejumlah temuan yang berbeda dari para cendikiawan Muslim maupun pemerhati syifa’ lainnya dengan segala bentuk dan corak yang beraneka ragam. Bahkan studi al-Qur'an tersebut dalam kitab-kitab tafsir maupun keilmuannya dewasa ini

(3)

hampir-hampir tidak pernah mengabaikan tafsir Fakhruddin al-Razi, yang terkenal dengan Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib. Di mana karya ini selain menjadi rujukan, juga mejadi objek kajian yang dapat melahirkan sejumlah penilaian dari berbagai kalangan, baik yang berhubungan dengan cakupan makna ayat-ayat al-Qur'an maupun kerangka metodologisnya.

Kajian holistik terhadap tafsir al-Qur'an, termasuk di dalamnya dimensi normativitas dan historisitas, merupakan bidang yang belum tersentuh secara maksimal oleh kalangan ilmuan, baik Barat maupun Muslim. Kajian holistik dimaksud menunjuk adanya kombinasi ideal antara perspektif tekstual dan kontekstual. Jika pendekatan tekstual sangat penting untuk mengkaji kandungan ayat-ayat al-Qur'an secara normatif, maka pendekatan kontekstual sangat penting untuk menafsirkan norma-norma tersebut ke dalam wacana historis dan metodologis.

Meskipun sintesis al-Razi terhadap berbagai pemikiran yang mewarnai tafsirnya al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, bahkan di dalamnya telah mencakup berbagai kajian teologi, filsafat, astronomi, kedokteran dan lain sebagainya, namun secara metodologis penyajiannya masih dipaparkan dalam bentuk tahlili (analisis berdasarkan urutan mushaf), yang dinilai oleh banyak kalangan masih mengandung kajian secara parsial dan belum menggambarkan kombinasi dalam kesatuan sistem yang utuh tentang persoalan-persoalan yang menjadi fokus kajian, termsuk di dalamnya adalah kajian tentang syifa'. Bahkan bentuk penafsiran ini menurut Quraish Shihab telah menjadikan petunjuk-petunjuk al-Qur'an terpisah-pisah dan

tidak disodorkan kepada pembacanya secara komprehensif.1 Oleh karena

itu, sangat diperlukan bentuk penafsiran yang menerapkan satu topik tertentu dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari berbagai surah yang berbicara mengenai topik tersebut untuk kemudian dikaitkan satu dengan lainnya sehingga pada akhirnya dapat diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pandangan al-Qur'an, yang pada perkembangan selanjutnya disebut dengan tafsir

mawdu`i (tematik),2 dengan mendasarkan pada perurutan masa turun

surah-surah dalam al-Qur'an, sehingga dalam penyajiannya dapat diketahui bagaimana runtutan petunjuk Allah s.w.t. yang diberikan kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan kepada umatnya. Namun, penerapan metode tematik ini tidak berarti menjadikan seorang penafsir telah mengabaikan

1M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat, (Bandung, Mizan, 2001), p. 112.

2Abd al-Hayy al-Farmawi, Muqaddimah fi al-Tafsir al-Mawdu'i, (Kairo: Universitas

(4)

metode tahlili, bahkan rincian dari uraian-uraian yang tersaji dalam metode

tahlili amat sangat diperlukan dalam uraian secara tematik.3

Kajian tentang syifa’ dalam al-Qur'an dengan berbagai

karakteristiknya, tampaknya belum pernah mendapat perhatian secara spesifik dari berbagai kalangan, terutama yang terfokus pada studi tafsir yang bercorak ilmiah sebagaimana karya Fakhr al-Din al-Razi dengan pendekatan tafsir tematik. Hal ini menuntut adanya sebuah kajian lebih luas dan mendalam dengan mengingat betapa banyaknya sejumlah gagasan, pemikiran maupun temuan yang berserakan di berbagai kesempatan, tempat dan dalam sejumlah kitab tafsir maupun literatur keislaman lainnya yang secara mutlak memerlukan integritas secara holistik dan komprehensif dengan tersedianya suatu media khusus secara metodologis sehingga melahirkan landasan yang kuat untuk kajian syifa' yang berdasarkan pada al-Qur'an maupun Hadis Nabi s.a.w.

Oleh sebab itu, bagaimana pengungkapan syifa’ dalam al-Qur'an dan bagaimana konsep syifa’ dalam tafsir Mafatih Ghaib karya Fakhruddin al-Razi menjadi penting untuk diangkat.

Tulisan ini bersifat deskriptif kualitatif. Disebut deskriptif, karena penelitian ini bermaksud mengekplorasi dan merumuskan konsep syifa’ dalam tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi dengan pendekatan tafsir tematik berdasarkan tertib nuzul surah-surah dalam al-Qur'an karya Muhammad `Azzah Darwazah, kemudian dikonfirmasikan dengan karya Muhammad Fu'ad `Abd al-Baqi dalam karyanya al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an untuk melihat satuan ayat Makkiyah dan Madaniyahnya dengan tanpa mengabaikan tinjauan dari para mufassir lainnya, terutama dalam tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi.

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan maksud untuk memperoleh kedalaman dan keutuhan informasi konseptual tentang konsep syifa’ secara komprehensif sehubungan dengan eksistensi, makna dan sasaran syifa’, sakit dan sebab-sebabnya, jenis syifa’ beserta karakteristik dan mekanismenya secara parsial maupun terpadu beserta nilai guna dan manfaatnya bagi kehidupan umat manusia. Hasil Penelusuran konseptual tentang syifa' ini kemudian dipetakan menjadi kerangka kategoris dan klasifikasi data, kemudian

ditampilkan dalam bentuk display data deskriptif .4

3M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur'an al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek

Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), pp. vi-vii.

4Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan

Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), p. 48.

(5)

2. Analisis Hasil Penelitian

Pengungkapan syifa' dalam al-Qur'an. Syifa’ dengan berbagai kata jadiannya diulang enam kali dalam al-Qur’an. Term syifa’ tersebut diungkapkan dalam bentuk nakirah (indefinit) yang memberikan isyarat

pada keluasan makna maupun realitas yang tercakup di dalamnya.5 Secara

eksplisit, term syifa' (sembuh) berdampingan dengan term marad (sakit) sebagai bentuk keniscayaan yang saling berlawanan dalam kehidupan umat manusia. Karena itu, pemaknaan lebih jauh dinyatakan oleh Ibnu Faris bahwa segala sesuatu dapat dikatakan syifa’ apabila ia telah mengalahkan

berbagai penyakit.6 Demikian pula sebaliknya, jika sesuatu dapat

mengalahkan kesembuhan dan mampu mengunggulinya maka ia dapat diidentikkan dengan term marad. Di sisi lain, Ibnu Mansur memberikan

batasan syifa' sebagai

ﻯﺩﺃﻭ

ﻑﻭﺮﻌﻣ

ﻮﻫﻭ

ﺉﱪﻳ

ﻦﻣ

ﻢﻘﺴﻟﺍ

obat yang terkenal,

yaitu segala sesuatu yang dapat menyembuhkan penyakit.7 Makna dasar

demikian juga mengisyaratkan bahwa setiap ada penyakit ada pula obatnya.

Pengungkapan syifa' dalam al-Qur'an antara lain dapat dikategorikan menurut bentuk kata (tata urutan menurut kamus), tata urutan berdasarkan mushaf dan tata urutan berdasarkan urutan sebab nuzul. Tiga bentuk kategori tersebut dapat diperhatikan pada masing-masing table berikut:

5 Lihat misalnya Abu Hayyan al-Andalusiy (w. 745 H.), Tafsir Al-Bahrul Muhit, Jus

5, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1999), p. 497. dan `Abd al-Hamid ibn Badis, Tafsir ibn Badis fi Majalis al-Tafkir min Kalam al-Hakim al-Khabir, (Mesir: Dar al-Fikr, 1979), p. 224.

6Ab al-Husain Ahmad Ibn Faris ibn Zakariya, Mu`jam Maqayis al-Lughah, Jilid 3,

dengan tahqiq `Abd al-Salam Muhammad Harun (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), p. 199.

7Jamal Din Muhammad ibn Mukarram ibn Mansur Ansariy (w. 711) Lisan

al-`Arab, Jus 19, (t.tp.: al-Dar al-Misriah, t.t.), p. 167. Menurut al-Suyuthi, obat itu sendiri sesungguhnya adalah pengobatan. Lihat Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, Pengobatan Cara Nabi s.a.w., yang diterjemahkan dari aslinya As-Suyuthi's Medicine of the Prophet, alih bahasa Luqman Hakin dan Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), p. 169.

(6)

Tabel 1

Ayat-ayat Syifa' Berdasarkan Tata Urutan Bentuk Kata8

No Konversi Kedudukan Ayat-ayat Syifa'

1 2 3 4 01 al-Taubah [9/113]: 14 Madaniyah

ﻢﻫﻮﹸﻠﺗﺎﹶﻗ

ﻢﻬﺑﱢﺬﻌﻳ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻢﹸﻜﻳﺪﻳﹶﺄﹺﺑ

ﻢﻫﹺﺰﺨﻳﻭ

ﻢﹸﻛﺮﺼﻨﻳﻭ

ﻢﹺﻬﻴﹶﻠﻋ

ﻒﺸﻳﻭ

ﺭﻭﺪﺻ

ﹴﻡﻮﹶﻗ

ﲔﹺﻨﻣﺆﻣ

(14) 02 al-Syu`ara' [26/47]: 80 Makkiyah (80)

ﹺﲔﻔﺸﻳ

ﻮﻬﹶﻓ

ﺖﺿﹺﺮﻣ

ﺍﹶﺫﹺﺇﻭ

03 Yunus [10/51]: 57 Makkiyah

ﺎﻬﻳﹶﺃﺎﻳ

ﺱﺎﻨﻟﺍ

ﺪﹶﻗ

ﻢﹸﻜﺗَﺀﺎﺟ

ﹲﺔﹶﻈﻋﻮﻣ

ﻦﻣ

ﻢﹸﻜﺑﺭ

ٌﺀﺎﹶﻔﺷﻭ

ﺎﻤﻟ

ﻲﻓ

ﹺﺭﻭﺪﺼﻟﺍ

ﻯﺪﻫﻭ

ﹲﺔﻤﺣﺭﻭ

ﲔﹺﻨﻣﺆﻤﹾﻠﻟ

(57) 04 al-Nahl [16/70]: 69 Makkiyah

ﻢﹸﺛ

ﻲﻠﹸﻛ

ﻦﻣ

ﱢﻞﹸﻛ

ﺕﺍﺮﻤﱠﺜﻟﺍ

ﻲﻜﹸﻠﺳﺎﹶﻓ

ﹶﻞﺒﺳ

ﻚﺑﺭ

ﺎﹰﻠﹸﻟﹸﺫ

ﺝﺮﺨﻳ

ﻦﻣ

ﺎﻬﹺﻧﻮﹸﻄﺑ

ﺏﺍﺮﺷ

ﻒﻠﺘﺨﻣ

ﻪﻧﺍﻮﹾﻟﹶﺃ

ﻪﻴﻓ

ٌﺀﺎﹶﻔﺷ

ﹺﺱﺎﻨﻠﻟ

ﱠﻥﹺﺇ

ﻲﻓ

ﻚﻟﹶﺫ

ﹰﺔﻳﺂﹶﻟ

ﹴﻡﻮﹶﻘﻟ

ﹶﻥﻭﺮﱠﻜﹶﻔﺘﻳ

(69) 05 al- Isra' [17/50]: 82 Makkiyah

ﹸﻝﺰﻨﻧﻭ

ﻦﻣ

ﻥﺍَﺀﺮﹸﻘﹾﻟﺍ

ﺎﻣ

ﻮﻫ

ٌﺀﺎﹶﻔﺷ

ﹲﺔﻤﺣﺭﻭ

ﲔﹺﻨﻣﺆﻤﹾﻠﻟ

ﺎﹶﻟﻭ

ﺪﻳﹺﺰﻳ

ﲔﻤﻟﺎﱠﻈﻟﺍ

ﺎﱠﻟﹺﺇ

ﺍﺭﺎﺴﺧ

(82) 06 Fussilat [41/61]: 44 Makkiyah

ﻮﹶﻟﻭ

ﻩﺎﻨﹾﻠﻌﺟ

ﺎﻧﺍَﺀﺮﹸﻗ

ﺎﻴﻤﺠﻋﹶﺃ

ﺍﻮﹸﻟﺎﹶﻘﹶﻟ

ﺎـﹶﻟﻮﹶﻟ

ﺖﹶﻠـﺼﹸﻓ

ﻪﺗﺎﻳﺍَﺀ

ﻲﻤﺠﻋﹶﺃَﺀ

ﻲﹺﺑﺮﻋﻭ

ﹾﻞﹸﻗ

ﻮﻫ

ﻦﻳﺬﱠﻠﻟ

ﺍﻮﻨﻣﺍَﺀ

ﻯﺪﻫ

ٌﺀﺎﹶﻔﺷﻭ

ﻦﻳﺬﱠﻟﺍﻭ

ﺎﹶﻟ

ﹶﻥﻮﻨﻣﺆﻳ

ﻲﻓ

ﻢﹺﻬﹺﻧﺍﹶﺫﺍَﺀ

ﺮﹾﻗﻭ

ﻮـﻫﻭ

ﻢﹺﻬﻴﹶﻠﻋ

ﻰﻤﻋ

ﻚﺌﹶﻟﻭﹸﺃ

ﹶﻥﻭﺩﺎﻨﻳ

ﻦﻣ

ﻥﺎﹶﻜﻣ

ﺪﻴﻌﺑ

(44).

Tabel di atas menunjukkan bahwa term yang seakar dengan syifa’ diulang sebanyak 6 kali yang bertempat pada 6 surah dan 6 ayat. Lima di antaranya termsuk kategori Makkiyah dan satu lainnya termasuk Madaniyah, sedangkan pengungkapan syifa’ dengan segala isytiqaq-nya tampak menggunakan dua bentuk kata jadian: Pertama, menggunakan bentuk fi`il mudari` diulang dua kali dalam al-Qur’an, yaitu: a)

menggunakan kata

ﻒـﺸﻳ

(yasyfi/yasyfini) sebagaimana terdapat dalam QS.

al-Taubah [9/113]: 14, tergolong ayat Madaniyah, dan b) menggunakan kata

ﹺﲔﻔـﺸﻳ

(yasyfin) sebagaimana terdapat dalam QS. al-Syu`ara’ [26/47]:

8Muhammad Fu'ad Abd al-Baqi, Al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an, (Beirut:

Dar al-Fikr, 1992), p. 488. Urutan bentuk kata pada table ini dimulai dari fi`il Mudari` (nomor satu dan 2) menuju bentuk masdar (nomor 3-6).

(7)

80, tergolong ayat Makkiyah. Kedua, menggunakan bentuk masdar yang diulang sebanyak empat kali dalam al-Qur'an dengan menggunakan kata

ٌﺀﺎﹶﻔـﺷ

(syifa’) yang kesemuanya termsuk kategori makiah sebagaimana terdapat dalam QS. Yunus [10/51]: 57, al-Nahl [16/70]: 69, al-Isra' [17/50]: 82 dan Fussilat [41/61]: 44.

Tabel 2

Ayat-ayat Syifa' Berdasarkan Tertib Mushaf9

No Konversi Kedudukan Ayat-ayat Syifa'

1 2 3 4 01 al-Taubah [9/113]: 14 Madaniyah

ﻢﻫﻮﹸﻠﺗﺎﹶﻗ

ﻢﻬﺑﱢﺬﻌﻳ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻢﹸﻜﻳﺪﻳﹶﺄﹺﺑ

ﻢﻫﹺﺰﺨﻳﻭ

ﻢﹸﻛﺮـﺼﻨﻳﻭ

ﻢﹺﻬﻴﹶﻠﻋ

ﻒﺸﻳﻭ

ﺭﻭﺪﺻ

ﹴﻡﻮﹶﻗ

ﲔﹺﻨﻣﺆﻣ

(14) 02 Yunus [10/51]: 57 Makkiyah

ﺎﻬﻳﹶﺃﺎﻳ

ﺱﺎﻨﻟﺍ

ﺪﹶﻗ

ﻢﹸﻜﺗَﺀﺎﺟ

ﹲﺔﹶﻈﻋﻮﻣ

ﻦﻣ

ﻢﹸﻜﺑﺭ

ٌﺀﺎﹶﻔﺷﻭ

ﻟ

ﺎﻤ

ﻲﻓ

ﹺﺭﻭﺪﺼﻟﺍ

ﻯﺪﻫﻭ

ﹲﺔﻤﺣﺭﻭ

ﲔﹺﻨﻣﺆﻤﹾﻠﻟ

(57) 03 al-Nahl [16/70]: 69 Makkiyah

ﻢﹸﺛ

ﻲﻠﹸﻛ

ﻦﻣ

ﱢﻞﹸﻛ

ﺕﺍﺮﻤﱠﺜﻟﺍ

ﻲﻜﹸﻠﺳﺎﹶﻓ

ﹶﻞﺒﺳ

ﻚﺑﺭ

ﺎﹰﻠﹸﻟﹸﺫ

ﺝﺮﺨﻳ

ﻦﻣ

ﺎﻬﹺﻧﻮﹸﻄﺑ

ﺏﺍﺮﺷ

ﻒﻠﺘﺨﻣ

ﻪﻧﺍﻮﹾﻟﹶﺃ

ﻪﻴﻓ

ٌﺀﺎﹶﻔﺷ

ﹺﺱﺎﻨﻠﻟ

ﱠﻥﹺﺇ

ﻲﻓ

ﻟﹶﺫ

ﻚ

ﹰﺔﻳﺂﹶﻟ

ﹴﻡﻮﹶﻘﻟ

ﹶﻥﻭﺮﱠﻜﹶﻔﺘﻳ

(69) 04 al- Isra' [17/50]: 82 Makkiyah

ﹸﻝﺰﻨﻧﻭ

ﻦﻣ

ﻥﺍَﺀﺮﹸﻘﹾﻟﺍ

ﺎﻣ

ﻮﻫ

ٌﺀﺎﹶﻔﺷ

ﹲﺔﻤﺣﺭﻭ

ﲔﹺﻨﻣﺆﻤﹾﻠﻟ

ﺎﹶﻟﻭ

ﺪﻳﹺﺰﻳ

ﲔﻤﻟﺎﱠﻈﻟﺍ

ﺎﱠﻟﹺﺇ

ﺍﺭﺎﺴﺧ

(82) 05 al-Syu`ara' [26/47]: 80 Makkiyah (80)

ﹺﲔﻔﺸﻳ

ﻮﻬﹶﻓ

ﺖﺿﹺﺮﻣ

ﺍﹶﺫﹺﺇﻭ

06 Fussilat [41/61]: 44 Makkiyah

ﻮﹶﻟﻭ

ﻩﺎﻨﹾﻠﻌﺟ

ﺎﻧﺍَﺀﺮﹸﻗ

ﺎﻴﻤﺠﻋﹶﺃ

ﺍﻮﹸﻟﺎﹶﻘﹶﻟ

ﺎﹶﻟﻮﹶﻟ

ﺖﹶﻠﺼﹸﻓ

ﻪﺗﺎﻳﺍَﺀ

ﻲﻤﺠﻋﹶﺃَﺀ

ﻲﹺﺑﺮﻋﻭ

ﹾﻞﹸﻗ

ﻮﻫ

ﻦﻳﺬﱠﻠﻟ

ﺍﻮﻨﻣﺍَﺀ

ﻯﺪﻫ

ٌﺀﺎﹶﻔﺷﻭ

ﻦﻳﺬﱠﻟﺍﻭ

ﺎﹶﻟ

ﹶﻥﻮﻨﻣﺆﻳ

ﻲﻓ

ﻢﹺﻬﹺﻧﺍﹶﺫﺍَﺀ

ﺮﹾﻗﻭ

ﻮﻫﻭ

ﻢﹺﻬﻴﹶﻠﻋ

ﻰﻤﻋ

ﻚﺌﹶﻟﻭﹸﺃ

ﹶﻥﻭﺩﺎﻨﻳ

ﻦﻣ

ﻥﺎﹶﻜﻣ

ﺪﻴﻌﺑ

(44).

Berdasarkan urutan surah-surah dalam mushaf sebagaimana terlihat pada tabel di atas, maka tampak dengan jelas bahwa urutan surah yang di dalamnya mengandung term yang seakar dengan syifa’ adalah: Pertama adalah QS. al-Taubah [9/113]: 14, yaitu: surah ke-9 berdasar urutan mushaf dan nomor 113 adalah berdasar tertib nuzul yang tergolong ayat

9 Tata urutan ini mengikuti tertib Mushaf atau tertib al-Qur'an yang dimulai dari

Surah al-Fatihah hingga Surah al-Nash. Pada table tersebut, ayat Madaniyah menempati urutan pertama kemudian dilanjutkan dengan ayat-ayat Makkiyah.

(8)

Madaniyah. Kedua, QS. Yunus [10/51]: 57, yaitu surah ke-10 berdasar urutan mushaf atau 51 berdasar tertib nuzul yang tergolong ayat Makkiyah. Ketiga, QS. al-Nahl [16/70]: 69, yaitu surah ke-16 berdasar urutan mushaf atau 70 berdasar tertib nuzul yang tergolong ayat Makkiyah, Keempat, QS. al-Isra’ [17/50]: 82, yaitu surah ke-17 berdasar urutan mushaf atau surah ke-50 berdasar tertib nuzul yang tergolong ayat Makkiyah, Kelima, QS. al-Syu`ara’ [26/47]: 80 sebagai surah ke-26 berdasar urutan mushaf atau surah ke-47 berdasar tertib nuzul yang tergolong ayat Makkiyah, dan Keenam, QS. Fussilat [41/61]: 44 sebagai surah ke-41 berdasar urutan mushaf atau surah ke-61 berdasar tertib nuzul yang tergolong sebagai ayat-ayat Makkiyah.

Komposisi ayat-ayat al-Qur'an, yang di dalamnya mengandung term syifa' berdasarkan tertib mushaf dan Makkiyah-Madaniahnya sebagaimana telah dipaparkan di atas, dapat ditegaskan bahwa ayat yang menduduki komposisi pertama adalah QS. al-Taubah [9/113]: 14 yang tergolong ayat madaniah, sedangkan komposisi lima ayat berikutnya adalah termasuk kategori Makkiyah. Oleh karena itu, kajian al-Qur'an secara tematik yang didasarkan pada urutan mushaf terutama yang terkait dengan syifa', sekalipun dapat memudahkan dalam pencarian sumber dalam kitab-kitab tafsir pada umumnya, namun pendekatan tersebut belum menggambarkan secara tegas tentang adanya peristiwa maupun kejadian secara kronologis. Untuk itu kajian tentang syifa' dengan segala permasalahannya berdasarkan urutan secara kronologis atau yang dikenal dengan istilah tertib nuzul menjadi sangat penting untuk disajikan.

Tabel 3

Ayat-ayat Syifa' Berdasarkan Tertib Nuzul10

No Konversi Kedudukan Ayat-ayat Syifa'

1 2 3 4 01 al-Syu`ara' [26/47]: 80 Makkiyah (80)

ﹺﲔﻔﺸﻳ

ﻮﻬﹶﻓ

ﺖﺿﹺﺮﻣ

ﺍﹶﺫﹺﺇﻭ

02 al- Isra' [17/50]: 82 Makkiyah

ﹸﻝﺰﻨﻧﻭ

ﻦﻣ

ﻥﺍَﺀﺮﹸﻘﹾﻟﺍ

ﺎﻣ

ﻮﻫ

ٌﺀﺎﹶﻔﺷ

ﹲﺔﻤﺣﺭﻭ

ﹾﻠﻟ

ﲔﹺﻨﻣﺆﻤ

ﺎﹶﻟﻭ

ﺪﻳﹺﺰﻳ

ﲔﻤﻟﺎﱠﻈﻟﺍ

ﺎﱠﻟﹺﺇ

ﺍﺭﺎﺴﺧ

(82) 03 Yunus [10/51]: 57 Makkiyah

ﺎﻬﻳﹶﺃﺎﻳ

ﺱﺎﻨﻟﺍ

ﺪﹶﻗ

ﻢﹸﻜﺗَﺀﺎﺟ

ﹲﺔﹶﻈﻋﻮﻣ

ﻦﻣ

ﻢﹸﻜﺑﺭ

ٌﺀﺎﹶﻔﺷﻭ

ﺎﻤﻟ

ﻲﻓ

ﹺﺭﻭﺪﺼﻟﺍ

ﻯﺪﻫﻭ

ﹲﺔﻤﺣﺭﻭ

ﲔﹺﻨﻣﺆﻤﹾﻠﻟ

(57) 04 Fussilat [41/61]: 44 Makkiyah

ﻪـﺗﺎﻳﺍَﺀ

ﺖﹶﻠﺼﹸﻓ

ﺎﹶﻟﻮﹶﻟ

ﺍﻮﹸﻟﺎﹶﻘﹶﻟ

ﺎﻴﻤﺠﻋﹶﺃ

ﺎﻧﺍَﺀﺮﹸﻗ

ﻩﺎﻨﹾﻠﻌﺟ

ﻮﹶﻟﻭ

10Urutan Surah-surah dalam al-Qur’an berdasarkan tertib Mushaf maupun

Nuzulnya dapat dilihat pada Muhammad `Azzah Darwazah, Al–Tafsir al-Hadis (al-Suwar Murattabat Hasb al-Nuzul), (Kairo: `Isa al-Babiy al-Halabiy, t.t.), pp. 14-15.

(9)

ﻲﻤﺠﻋﹶﺃَﺀ

ﻲﹺﺑﺮﻋﻭ

ﹾﻞﹸﻗ

ﻮﻫ

ﻦﻳﺬﱠﻠﻟ

ﺍﻮﻨﻣﺍَﺀ

ﻯﺪﻫ

ٌﺀﺎﹶﻔـﺷﻭ

ﻦﻳﺬﱠﻟﺍﻭ

ﺎﹶﻟ

ﹶﻥﻮﻨﻣﺆﻳ

ﻲﻓ

ﻢﹺﻬﹺﻧﺍﹶﺫﺍَﺀ

ﺮﹾﻗﻭ

ﻮﻫﻭ

ﻢﹺﻬﻴﹶﻠﻋ

ﻰﻤﻋ

ﻚﺌﹶﻟﻭﹸﺃ

ﹶﻥﻭﺩﺎﻨﻳ

ﻦﻣ

ﻥﺎﹶﻜﻣ

ﺪﻴﻌﺑ

(44). 05 al-Nahl [16/70]: 69 Makkiyah

ﻢﹸﺛ

ﻲﻠﹸﻛ

ﻦﻣ

ﱢﻞﹸﻛ

ﺕﺍﺮﻤﱠﺜﻟﺍ

ﻲﻜﹸﻠﺳﺎﹶﻓ

ﹶﻞﺒﺳ

ﻚﺑﺭ

ﺎـﹰﻠﹸﻟﹸﺫ

ﺝﺮﺨﻳ

ﻦﻣ

ﺎﻬﹺﻧﻮﹸﻄﺑ

ﺏﺍﺮﺷ

ﻒﻠﺘﺨﻣ

ﻪﻧﺍﻮﹾﻟﹶﺃ

ﻪﻴﻓ

ٌﺀﺎﹶﻔـﺷ

ﹺﺱﺎﻨﻠﻟ

ﱠﻥﹺﺇ

ﻲﻓ

ﻚﻟﹶﺫ

ﹰﺔﻳﺂﹶﻟ

ﹴﻡﻮﹶﻘﻟ

ﹶﻥﻭﺮﱠﻜﹶﻔﺘﻳ

(69) 06 al-Taubah [9/113]: 14 Madaniyah

ﻢﻫﻮﹸﻠﺗﺎﹶﻗ

ﻢﻬﺑﱢﺬﻌﻳ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻢﹸﻜﻳﺪﻳﹶﺄﹺﺑ

ﻢﻫﹺﺰﺨﻳﻭ

ﻢﹸﻛﺮـﺼﻨﻳﻭ

ﻢﹺﻬﻴﹶﻠﻋ

ﻒﺸﻳﻭ

ﺭﻭﺪﺻ

ﹴﻡﻮﹶﻗ

ﲔﹺﻨﻣﺆﻣ

(14)

Urutan surah-surah dalam al-Qur'an secara kronologis sebagaimana terlihat pada tabel di atas, tampak dengan jelas bahwa urutan surah yang di dalamnya mengandung term syifa’ adalah: Pertama, QS. al-Syu`ara’ [26/47]: 80 sebagai surah 26 berdasar urutan mushaf atau surah ke-47 berdasar tertib nuzul yang tergolong ayat Makkiyah. Kedua, QS. al-Isra’ [17/50]: 82, surah ke-17 berdasar urutan mushaf atau surah ke-50 berdasar tertib nuzul yang tergolong ayat Makkiyah. Ketiga, QS. Yunus [10/51]: 57, surah ke-10 berdasar urutan mushaf atau 51 berdasar tertib nuzul yang tergolong ayat Makkiyah. Keempat QS. Fussilat [41/61]: 44 sebagai surah ke-41 berdasar urutan mushaf atau surah ke-61 berdasar tertib nuzul yang tergolong sebagai ayat-ayat Makkiyah. Kelima, QS. al-Nahl [16/70]: 69, surah ke-16 berdasar urutan mushaf atau surah ke-70 berdasar tertib nuzul yang tergolong ayat Makkiyah. Keenam, adalah QS. al-Taubah [9/113]: 14, yaitu surah ke-9 berdasar urutan mushaf atau surah ke-113 berdasar tertib nuzul yang tergolong ayat Madaniyah.

1. Derivasi Syifa' dan Lawan-lawannya

Term syifa' (

ﺀﺎﻔـﺷ

) yang lebih cenderung mengalahkan penyakit

dapat diperluas dan dipertajam kandungan maknanya melalui derivasi istilah yang sejalan dengannya. Istilah-istilah dalam al-Qur'an yang dapat

diidentikkan dengan term syifa’ adalah a) term bur'ah (

ﺓﺃﱪــﻟﺍ

) dengan

berbagai kata jadiannya. Karena term bur'ah ini selain mengandung makna terputus dan terbebas juga mengandung makna sembuh dari penyakit, b)

Term salamah (

ﺔﻣﻼـﺳ

), karena term salamah ini lebih menekankan pada

(10)

sekarang hingga kelak kemudian. Keterkaitan term syifa’, bur’ah dan salamah dapat dipahami melaui alur dan kerangka berpikir berikut:

Sebaliknya, term-term yang dapat diidentikkan dengan marad (

ﺽﺮﳌﺍ

)

sebagai lawan dari term syifa’ ialah: a) term syafa (

ﺎﹶﻔــﺷ

) yang lebih

menekankan pada sakit mental, seperti sifat permususuhan dan

kemunafikan, b) term saqam (

ﻢﻘــﺳ

) dalam arti tauriyah, yakni selain

dipahami sebagai sakit jasmani, juga menunjuk pada pengertian sakit

dimensi yang lain, c) term adza (

ﻯﺫﻷﺍ

) dalam pengertian segala bentuk

gangguan yang dapat mengakibatkan seseorang diperbolehkan untuk

meninggalkan aktifitas kesehariannya, d) term alam (

ﱂﻷﺍ

) dalam pengertian

perasaan sakit maupun suatu penderitaan yang mengarah pada siksaan yang sangat pedih di hari pembalasan. Keterkaitan term-term sebagai lawan syifa' dapat disederhanakan dalam sekema berikut.

MARAD

SYIFA' SEMBUH

BUR'AH SEHAT

SELAMAT SALAMAH'

Sakit Ruhani Sakit Jasmani Sakit Ruhani-Jasmani

SYAFA' SAQAM

Ada gangguan Adza Tidak ada gangguan

SYAFA' SYAFA'

(11)

2. Konsep Syifa' dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib al-Razi

Syifa' dalam tafsir Mafatih al-Ghaib al-Razi11 selain menjelaskan 6 ayat

yang menjadi fokus kajian ini,12 syifa' juga disebut sebagai nama lain dari

al-Qur'an maupun nama lain dari surah al-Fatihah. Menurutnya, al-Qur'an secara keseluruhan dapat berfungsi sebagai syifa’ terhadap berbagai penyakit ruhaniyah maupun jasmaniyah. Demikian pula halnya dengan surah al-Fatihah, karena surah al-Fatihah ini pada hakekatnya adalah menjadi sebab tercapainya syifa’-kesembuhan. Di sisi lain syifa' dapat ditunjang melalui minuman sejenis madu dengan segala sifat-sifat dan indikasinya bagi kehidupan umat manusia. Karena madu tersebut terkadang dapat diminum secara langsung atau dijadikan sebagai bahan minuman. Pendek kata, Integritas petunjuk ayat-ayat qur'aniyah dan ayat-ayat kauniyah dapat

berfungsi sebagai syifa' bagi kehidupan umat manusia.13

Syifa’ dalam bentuk al-Qur’an dan minuman sejenis madu dengan berbagai karakter dan fungsinya tersebut merupakan satuan sistem yang tak terpisahkan antara satu dengan lainnya dalam realitas kehidupan umat

manusia. Keduanya merupakan hubungan aksedental dengan

transendental, bahkan keduanya merupakan pembuktian secara rabbaniyah menuju ilahiyah. Realitas al-Qur’an dan minuman sejenis madu beserta karakteristiknya dapat dijadikan sebagai petunjuk maupun tanda bukti bagi

orang-orang yang beriman (

ﲔﻨﻣﺆﻤﻠﻟ

), berpikir (

ﻡﻮﻘﻟ ﻥﻭﺮﻜﻔﻳ

), berakal (

ﻡﻮﻘﻟ

ﻥﻮﻠﻘﻌﻳ

) dan yang berkenan mengambil pelajaran (

ﻡﻮﻘﻟ ﻥﻮﻌﻤﺴﻳ

). Kerangka pembuktian tersebut pada esensinya terpusat pada bukti-bukti ketuhanan

11 Secara keseluruhan, komposisi Tafsir al-Fakhruddin al-Razi atau Al-Tafsir al-Kabir

wa Mafatih al-Ghaib karya al-Imam Muhammad al-Razi Fakhruddin ibn al-`Allamah Diya'uddin `Umar yang terkenal dengan panggilan Khatib al-Rayy (544-604 H.) terdiri dari 17 jilid atau 33 juz yang diterbitkan oleh "Hay'at al-Buhus wa al-Dirasat Dar al-Fikr", tahun 1414 H./1992 M., dengan kata pengantar Al-Syaikh Khalil Muhyi al-Din al-Mays sebagai Direktur Al-Azhar.

12 Keberadaan enam term syifa' dalam Tafsir al-Razi yang menjadi kajian utama

dalam karya ini adalah tersebar pada 6 jilid dari 17 jilid yang ada. Namun, setelah diadakan identifikasi berdasarkan tertib nuzulnya, 6 term syifa' yang dimaksud adalah sebagai berikut: a) QS. al-Syu`ara’ [26/47]: 80, jilid, 12 (tertulis juz 12), juz 24, p. 144, b) QS. al-Isra’ [17/50]:82, jilid 11, juz 21, p. 34., c) QS. Yunus [10/51]: 57, jilid 9 (tertulis Juz 9) , juz 14, p. 119, d) QS. Fussilat [41/61]: 44, jilid 14, juz 27, p. 133, e) QS. al-Nahl [16/70]: 69, jilid 10 (tertulis Juz 10), juz 20, p. 72, f) QS. al Taubah [9/113]: 14, jilid 8 Juz 16, p. 3.

13Bandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Masaru Emoto dalam

Karyanya, The True Power of Water: Hikmah Air Dalam Olah Jiwa, yang diterjemahkan dari Buku Aslinya, Mizu No Maryoku Kokoroto Karada No Uoutaa Hiiringu, Yokohama Municipal University Japan–2005, oleh Azam Transltor (Bandung: MQ Publising, 2006).

(12)

dengan melalui dua cara. Pertama, berpegang pada realitas menuju makna

yang tersembunyi

ﻰﻔﺧﻷﺍ

ﱃﺍ

ﺎﻴﻗﺮﺘﻣ

ﻰﻔﺧﻷﺎﻓ

ﺮﻬﻇﻷﺎ

ﻚﺴﻤﺘﻳ

ﻥﺃ

ﺮﻬﻇﻷﺎﻓ

Kedua,

berargumentasi mulai dari yang paling mulia hingga menurun pada

tingkatan yang paling rendah

ﱃﺍ

ﻻﺯﺎﻧ

ﱏﺩﻷﺎﻓ

ﻑﺮﺷﻷﺎﺑ

ﷲﺍ

ﺞﺘﳛ

ﻥﺃ

ﻑﺮﺷﻷﺎﻓ

ﱏﺩﻷﺍ

.

Konsep syifa’ dalam tafsir Mafatih al-Ghaib dapat diklasifikasikan menjadi tiga unsur utama, yaitu (a) syifa' berkaitan dengan al-Qur'an dan minumam sejenis madu beserta karakteristiknya bagi kehidupan umat manusia, (b) syifa’ berkaitan dengan gangguan spiritualitas dan tindakan manusia, baik yang berhubungan dengan kebodohan, kesalahan dan kerusakan ruhani maupun jasmani, (c) syifa’ berkaitan dengan aktivitas perbaikan spiritualitas dan tindakan manusia demi tercapainya kesempurnaan hidup sehat lahir batin di hadapan Allah dan makhluk ciptaan-Nya. Dengan demikian, tampak dengan jelas bahwa realisasi syifa’ dalam tafsir al-Razi akan dapat memberikan manfaat secara global dan menyeluruh bagi kehidupan umat manusia beserta lingkungannya baik dimensi penyembuhan dan penguatan ruhani yang disebut sebagai bentuk usuliyyah, dimensi penyembuhan dan penguatan jasmani yang disebut sebagai bentuk furu`iyyah maupun penyembuhan dan penguatan holistik (ijmali) yang disebut sebagai bentuk mukasyafat.

3. Kritik terhadap Konsep Syifa' dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib

al-Razi

Studi kritis dan relevansi syifa' dengan sain dan teknologi modern merupakan peluang dan persambungan antara konsep syifa' dalam tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi dengan keberadaan sains dan teknologi modern dewasa ini. Studi kritis yang dimaksudkan terkait dengan outentisitas penafsiran maupun beberapa hadis yang dijadikan sebagai argumen oleh al-Razi dalam memperkuat pendapatnya terdapat beberapa catatan penting yang patut mendapatkan perhatian dan kajian lebih mendalam, terutama yang terkait dengan kedudukan maupun status kesahihan hadisnya, karena dalam pengutipannya terdapat beberapa hadis yang tidak ditemukan sanad maupun matan hadis yang dimaksudkan, baik dalam 9 maupun 14 kitab hadis. Beberapa contoh yang dimaksudkan ialah 1) pengungkapan hadis dalam tafsir al-Razi yang tidak dijumpai dalam 9 maupun 14 kitab hadis, namun ditemukan hadis sejenis yang semakna dengannya, seperti:

(13)

ﻦﻋ

ﰊﺃ

ﺪﻴﻌﺳ

ﻱﺭﺪﳋﺍ

ﻝﺎﻗ

:

ﻝﺎﻗ

ﻝﻮﺳﺭ

ﷲﺍ

ﻰﻠﺻ

ﷲﺍ

ﻪﻴﻠﻋ

ﻢﻠﺳﻭ

:

ﺔـﲢﺎﻓ

ﺏﺎـﺘﻜﻟﺍ

ﺀﺎﻔﺷ

ﻦﻣ

ﻞﻛ

،ﻢﺳ

ﺮﻣﻭ

ﺾﻌﺑ

ﺔﺑﺎﺤﺻ

ﻞﺟﺮﺑ

ﻉﻭﺮﺼﻣ

ﺀﺍﺮﻘﻓ

ﻩﺬﻫ

ﺓﺭﻮﺴﻟﺍ

ﻪـﻧﺫﺃ

ﺀﻯﱪﻓ

ﻩﻭﺮﻛﺬﻓ

ﻝﻮﺳﺮﻟ

ﷲﺍ

ﻰﻠﺻ

ﷲﺍ

ﻪﻴﻠﻋ

ﻢﻠﺳﻭ

ﻝﺎﻘﻓ

:

ﻲﻫ

ﻡﺃ

،ﻥﺃﺮﻘﻟﺍ

ﻲﻫﻭ

ﺀﺎﻔـﺷ

ﻦﻣ

ﻞﻛ

ﺀﺍﺩ

.

2) pengungkapan hadis dalam tafsir al-Razi yang tidak dijumpai dalam 9 maupun 14 kitab hadis, namun ditemukan dalam kitab-kitab tafsir lain,

seperti:

ﱃﺎـﻌﺗ

ﷲﺍ

ﻩﺎﻔﺷ

ﻼﻓ

ﻥﺃﺮﻘﻟﺎﺑ

ﻒﺸﺘﺴﻳ

ﻦﻣ

Namun, hal tersebut dapat

dijumpai dalam beberapa kitab tafsir lainnya, seperti dalam tafsir al-Zamakhsyari, tafsir al-Qurtubi dan al-Maraghi; 3) Hadis maupun pendapat yang ditolak dan dinyatakan lemah oleh al-Razi. Di antara pendapat maupun hadis yang dinyatakan lemah dan ditolak oleh al-Razi ketika

menjelaskan makna damir pada ayat

ﺱﺎـﻨﻠﻟ

ﺀﺎﻔـﺷ

ﻪﻴﻓ

dalam QS. al-Nahl

[16/70]: 69 yang terkait dengan argumen dan hadis yang dikemukan oleh Mujahid. Di sisi lain, al-Razi dalam menafsirkan ayat-ayat syifa' masih ditemukan redaksi yang serupa dengan redaksi maupun teks yang terdapat dalam kitab tafsir sebelumnya, misalnya tafsir al-Zamakhsyari ketika menjelaskan QS. al-Syu`ara' [26/27]: 80.

4. Relevansi dan mekanisme syifa' dengan sains dan teknologi

modern

Relevansi syifa' dengan sains dan teknologi modern dapat difokuskan pada tiga aspek, 1) relevansi syifa' dengan aspek-aspek terapi spiritual (ruhaniyah), 2) relevansi syifa' dengan aspek-aspek terapi medis dan psikoterapi; 3) relevansi syifa' dengan aspek-aspek terapi holistik.

Relevansi syifa' dengan aspek-aspek terapi spiritual (ruhaniyah) antara lain dapat didasarkan pada QS. al-Syu`ara' [26/27]: 80, terutama yang

terkait dengan damir huwa pada frase

ﲔﻔـﺸﻳ

ﻮﻬﻓ

yang terfokus pada Allah

s.w.t. sebagai Sang Pencipta dan Pengatur bagi alam semesta. Dalam hal ini, syifa' maupun terapi berarti menekankan pada nilai-nilai spiritual, akidah, tauhid maupun aspek aspek teologis dalam menyembuhkan

berbagai bentuk penyakit yang terfokus pada damir tu pada frase

ﺍﺫﺇﻭ

ﺖـﺿﺮﻣ

yang terpusat pada nilai-nilai kemanusiaan, rasionalitas, empiris, oprasional dan aplikatif baik yang terkait dengan penyakit ruhaniyah

(14)

maupun jasmaniyah, baik yang terkait dengan kerusakan akidah maupun pada kerusakan akhlaknya.

Relevansi syifa' dengan aspek-aspek terapi medis dan psikoterapi pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan kandungan makna dalam QS. al-Syu`ara' [26/27]: 80, terutama yang terfokus pada damir tu pada

frase

ﺖـﺿﺮﻣ

ﺍﺫﺇﻭ

yang terfokus pada penyakit fisik maupun psikologis.

Penyakit fisik maupun bentuk keluhan secara fisik bagi al-Razi adalah disebabkan adanya gangguan fungsional organ tubuh, sedangkan gangguan fungsi organ tubuh itu disebabkan adanya gangguan psikologis, baik kecemasan maupun depresi. Karena itu, kajian syifa' dalam tafsir al-Razi sangat relevan dan terkait dengan aspek-aspek terapi medis maupun psikoterapi, bahkan keduanya saling terkait antara satu dengan lainnya. Al-Razi menegaskan bahwa kesehatan fisik itu sendiri pada dasarnya disebabkan oleh kondisi psikologis yang stabil, sedangkan kestabilan merupakan akibat dari faktor kekuatan yang memaksanya untuk menjadi sehat. Demikian pula halnya dengan pemulihan kesehatan juga disebabkan adanya faktor kekuatan yang menekan terjadinya pemulihan kesehatan psikologis, yang setelah sebelumnya adalah cenderung mengalami kegoncangan maupun kegelisahan. Karena itu, sangat tepat jika syifa', terapi maupun penyembuhan harus tetap dipusatkan pada Allah s.w.t.,

sebagaimana diisyaratkan dalam ayat

ﲔﻔﺸﻳ

ﻮﻬﻓ

ﺖﺿﺮﻣ

ﺍﺫﺇﻭ

dengan tanpa

mengabaikan seorang dokter yang cerdas, sebagaimana penjelasan al-Razi ketika menyingkap kandungan makna syifa' dalam QS. Yunus [10/51]: 57. Menurutnya, seseorang yang penyakitnya sudah berat, kemudian tidak ada seorang dokter yang cerdas untuk menyembuhkannya, maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi kematian. Akan tetapi, apabila dijumpai dokter yang cerdas dalam menanganinya, kemudian fisiknya juga dapat menerima pengobatan, maka besar kemungkinan dapat memperoleh kesehatan dan menghilangkan penyakit.

Relevansi syifa' dengan aspek-aspek terapi holistik antara lain dapat di dasarkan pada QS. al-Taubah [9/113]: 14-15 yakni:

öΝèδθè=ÏF≈s% ÞΟßγö/Éj‹yèムª!$# öΝà6ƒÏ‰÷ƒr'Î/ öΝÏδÌ“øƒä†uρ öΝä.÷ŽÝÇΖtƒuρ óΟÎγøŠn=tæ É#ô±o„uρ u‘ρ߉߹ 7Θöθs% šÏΖÏΒ÷σ•Β ∩⊇⊆∪ ó=Ïδõ‹ãƒuρ xáø‹xî óΟÎγÎ/θè=è% 3 Ü>θçFtƒuρ ª!$# 4’n?tã tΒ â!$t±o„ 3 ª!$#uρ îΛÎ=tæ íΟŠÅ3ym

Secara seksama, ayat yang di dalamnya mengandung term syifa' tersebut memberikan isyarat mengenai integrasi antara aspek-aspek internal dan eksternal, antara aspek batin dan lahir, atau antara aspek ruhani dan jasmani, terutama yang diisyaratkan pada akhir ayat 14 dengan klausa

(15)

ﻒﺸﻳﻭ

ﺭﻭﺪﺻ

ﻡﻮﻗ

ﲔﻨﻣﺆـﻣ

yang dipersambungkan dengan permulaan ayat 15

ﻢﻮـﻠﻗ

ﻆﻴﻏ

ﺐﻫﺬﻳﻭ

. Dalam hal ini, makna syifa' yang terkandung pada ayat 14 sebagaimana penjelasan al-Razi adalah berkaitan dengan kesembuhan hati dari berbagai kesedihan dan kegelisahan orang-orang Islam dalam menunggu janji Fathu Makkah (dapat disebut sebagai penyembuhan hati dari dalam/internal), sedangkan ayat 15 yang disebutkan sesudah syifa', adalah berkaitan dengan kesembuhan hati dari berbagai bentuk intimidasi dan penyiksaan yang dilancarkan oleh orang-orang kafir (yang selanjutnya dapat disebut sebagai penyembuhan hati dari luar/eksternal). Dengan demikian, kedua ayat ini sesungguhnya merupakan keterkaitan antara aspek batin dan lahir, keterkaitan antara aspek ruhani (spiritual) dan jasmani (terapi medis maupun psikoterapi). Integrasi syifa' tersebut bukan hanya terfokus pada setiap individu, melainkan juga menunjuk pada komunitas umat manusia beserta lingkungannya, karena pada ayat tersebut tidak menggunakan frase lima fi

al-sudur (

ﺭﻭﺪـﺼﻟﺍ

ﺎـﳌ

), melainkan menunjuk pada klausa wayasfi sudura

qaumin mu'minin (

ﲔﻨﻣﺆﻣ

ﻡﻮﻗ

ﺭﻭﺪﺻ

ﻒﺸﻳﻭ

) yang diperkuat dengan berbagai

situasi, kondisi dan kandungan makna pada ayat sebelum dan sesudahnya (QS al-Taubah [9/113]: 13, 14 dan 15. Oleh karena itu, ayat ini dapat

dijadikan dasar sebagai syifa' holistik maupun terapi holistik.14

Syifa’ dalam bentuk integral antara lahir dan batin dewasa ini, justru dinilai sebagai pendekatan holistik baru di dalam dunia kedokteran

modern. 15 Dadang Hawari misalnya telah menulis dalam sebuah karya

dengan judul: Doa dan Dzikir Sebagai Pelengkap Terapi Medis. Menurutnya, doa dan dzikir dari sudut ilmu kedokteran jiwa (kesehatan jiwa) merupakan terapi psikiatrik, setingkat lebih tinggi daripada psikoterapi biasa. Hal ini dikarenakan doa dan dzikir mengandung unsur spiritual (kerohanian, keagamaan, ketuhanan) yang dapat membangkitkan harapan (hope), rasa percaya diri (self confident) pada diri seseorang yang sedang sakit, yang pada gilirannya kekebalan (imunitas) tubuh meningkat, sehingga mempercepat proses penyembuhan. Dalam hal ini, tidak berarti terapi dengan obat dan tindakan medis lainnya diabaikan. Terapi medis disertai doa dan dzikir merupakan pendekatan holistik baru di dunia kodekteran modern.

14Dadang Hawari, Al-Qur'an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Jakarta: Dana

Bhakti Prima Yasa, 1999), p. 28.

15Dadang Hawari, Do'a dan Dzikir Sebagai Pelengkap Terapi Medis, (Jakarta: Dana

(16)

5. Mekanisme syifa' dan Terapi Modern

Kandungan makna dalam QS. Yunus [10/51]: 57 juga mengisyaratkan bahwa mekanisme syifa' pada umumnya dapat ditempuh melalui empat tahap, 1) tahap mau`isah melalui proses identifikasi gejala-gejala tindakan mentalitas, jasmaniyyah, diagnosis dan prognosis; 2) tahap tindakan syifa' melalui proses mujahadah dalam penyucian (takhalli), pengisisan (tahlli) dan penampakan kebersihan ruh (tajalli); 3) tahap hudan melalui proses pencerahan alam nasut; malakut dan lahut; 4) tahap rahmah melalui proses pengembangan pancaran ruhaniyyah dan rabaniyyah,

qur'aniyyah dan burhaniyyah yang terfokus pada nilai-nilai nubuwwah.

Selanjutnya, terapi medis maupun psikoterapi akan lebih maksimal jika di dalam pelaksanaannya juga merujuk pada prinsip-prinsip dasar yang terkait dengan kajian syifa' dalam QS. al-Nahl [16/70]: 65-70. Karena kandungan ayat ini selain membentangkan aneka kebutuhan badaniyyah (fisik material) manusia, juga terkait dengan konsekuensi logisnya, baik jasdaniyyah maupun hayawaniyyah. Secara berurutan, pada ayat 65 antara lain menguraikan fungsi air hujan bagi orang-orang yang dapat mengambil

pelajaran (

ﻥﻮﻌﻤﺴﻳ

ﻡﻮﻘﻟ

). Pada ayat 66-67 antara lain mengandung pelajaran

tentang binatang, susu, kurma, anggur yang dapat berfungsi terhadap

orang-orang yang berakal (

ﻥﻮﻠﻘﻌﻳ

ﻡﻮﻘﻟ

), sedangkan pada ayat 68-69 antara

lain menyingkap fungsi lebah madu dengan berbagai karakteristik dan

manfaatnya bagi manusia yang mau berpikir (

ﻥﻭﺮﻜﻔﺘﻳ

ﻡﻮﻘﻟ

). Bahkan pada

ayat 70 yang mengisyaratkan adanya penyakit yang tidak dapat disembuhkan, yaitu tentang kematian dan lanjut usia.

C. Penutup

Syifa' dalam tafsir Mafatih al-Ghaib al-Razi selain menjelaskan 6 ayat yang menjadi fokus kajian ini, syifa' juga disebut sebagai nama lain dari al-Qur'an maupun nama lain dari surah al-Fatihah. Menurutnya, al-al-Qur'an secara keseluruhan dapat berfungsi sebagai syifa’ terhadap berbagai penyakit ruhaniyah maupun jasmaniyah. Demikian pula halnya dengan Surah al-Fatihah, karena surah al-Fatihah ini pada hakekatnya adalah menjadi sebab tercapainya syifa’-kesembuhan. Di sisi lain syifa' dapat ditunjang melalui minuman sejenis madu dengan segala sifat-sifat dan indikasinya bagi kehidupan umat manusia. Karena madu tersebut terkadang dapat diminum secara langsung atau dijadikan sebagai bahan minuman. Pendek kata, integritas petunjuk ayat-ayat qur'aniyah dan ayat-ayat kauniyah dapat berfungsi sebagai syifa' bagi kehidupan umat manusia.

(17)

Syifa’ dalam bentuk al-Qur’an dan minuman sejenis madu dengan berbagai karakter dan fungsinya tersebut merupakan satuan sistem yang tak terpisahkan antara satu dengan lainnya dalam realitas kehidupan umat

manusia. Keduanya merupakan hubungan aksedental dengan

transendental, bahkan keduanya merupakan pembuktian secara rabbaniyah menuju ilahiyah. Realitas al-Qur’an dan minuman sejenis madu beserta karakteristiknya dapat dijadikan sebagai petunjuk maupun tanda bukti bagi orang-orang yang beriman, berpikir, berakal dan yang berkenan mengambil pelajaran. Kerangka pembuktian tersebut pada esensinya terpusat pada bukti-bukti ketuhanan dengan melalui dua cara. Pertama, berpegang pada realitas menuju makna yang tersembunyi. Kedua, berargumentasi mulai dari yang paling mulia hingga menurun pada tingkatan yang paling rendah.

Konsep syifa’ dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib dapat diklasifikasikan menjadi tiga unsur utama, yaitu (a) syifa' berkaitan dengan al-Qur'an dan minumam sejenis madu beserta karakteristiknya bagi kehidupan umat manusia; (b) syifa' berkaitan dengan gangguan spiritualitas dan tindakan manusia, baik yang berhubungan dengan kebodohan, kesalahan dan kerusakan ruhani maupun jasmani; (c) syifa’ berkaitan dengan aktivitas perbaikan spiritualitas dan tindakan manusia demi tercapainya kesempurnaan hidup sehat lahir batin di hadapan Allah dan makhluk ciptaan-Nya. Dengan demikian, tampak dengan jelas bahwa realisasi syifa’ dalam tafsir al-Razi akan dapat memberikan manfaat secara global dan menyeluruh bagi kehidupan umat manusia beserta lingkungannya baik dimensi penyembuhan dan penguatan ruhani yang disebut sebagai bentuk usuliyyah, dimensi penyembuhan dan penguatan jasmani yang disebut sebagai bentuk furu`iyyah maupun penyembuhan dan penguatan ijmali yang disebut sebagai bentuk mukasyafat.

(18)

Daftar Pustaka

Abd al-Baqi, Muhammad Fu'ad, Al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an Beirut: Dar al-Fikr, 1992.

Abu Hayyan Andalusiy (w.745 H.), Tafsir Bahrul Muhit, Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1999.

al-Farmawi, `Abd al-Hayy, Muqaddimah fi al-Tafsir al-Mawdu'i, Kairo: Universitas Al-Azhar, 1988.

al-Razi, al-Imam Muhammad al-Razi Fakhruddin ibn al-`Allamah Diya'uddin `Umar yang terkenal dengan panggilan Khatib al-Rayy (544 -604 H.), Tafsir al-Fakhruddin al-Razi atau Al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al- Ghaib, Dar al-Fikr: Hay'at al-Buhus wa al-Dirasat, 1414 H./1992 M.

al-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman, Pengobatan Cara Nabi s.a.w., yang diterjemahkan dari aslinya As-Suyuthi's Medicine of the Prophet. Alih bahasa Luqman Hakim dan Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.

Bungin, Burhan, Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Darwazah, Muhammad `Azzah, Al-Tafsir al-Hadis (al-Suwar Murattabat Hasb al-Nuzul), Kairo: `Isa al-Babiy al-Halabiy, t.t.

Emoto, Masaru, The True Power of Water: Hikmah Air Dalam Olah Jiwa, terjemah dari Buku Aslinya, Mizu No Maryoku Kokoroto Karada No Uoutaa Hiiringu, Yokohama Municipal University Japan–2005, oleh Azam Transltor, Bandung: MQ Publising, 2006.

Hawari, Dadang, Al-Qur'an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1999.

_______, Do'a dan Dzikir sebagai Pelengkap Terapi Medis, Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1999.

Ibn Badis, `Abd Hamid, Tafsir ibn Badis fi Majalis Tafkir min Kalam al-Hakim al-Khabir, Mesir: Dar al-Fikr, 1979.

Ibn Faris ibn Zakariya, Abu al-Husain Ahmad, Mu`jam Maqayis al-Lughah, dengan tahqiq `Abd Salam Muhammad Harun, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

(19)

Ibn Mansur al-Ansariy (w.711), Jamal al-Din Muhammad ibn Mukarram. Lisan al-`Arab, al-Dar al-Misriah, t.t.

Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat , Bandung, Mizan, 2001.

_______, Tafsir al-Qur'an al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.

Referensi

Dokumen terkait

$QDOLVLV .RQIOLN $QWDUD .HSDOD 'DHUDK 'HQJDQ 'HZDQ 3HUZDNLODQ 5DN\DW 'DHUDK '35' '., 'DODP 3HQHWDSDQ $QJJDUDQ 3HQGDSDWDQ %HODQMD 'DHUDK $3%' 7DKXQ PHUXSDNDQ KXEXQJDQ NLQHUMD

Hasil dari penelitian ini kepuasan pada pimpinan tidak berpengaruh pada kinerja tenaga penjual, sehingga dapat disimpulkan meskipun kinerja tenaga penjual meningkat

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada ketiga sampel uji yang berupa tanah liat, dengan menggunakan dua buah sensor ultrasonik dapat disimpulkan bahwa frekuensi

Pcr1rulian Univ~rSitas Snwijaya d:m mel.akub n pcmbaca:m dari scgitiga tdcs:tur... Terscd

Perpustakaan SD Bakulan terletak di lantai dasar SD Bakulan Unit I. Ruangan perpustakaan cukup luas. Ruangan perpustakaan dilengkapi dengan karpet dan beberapa buah

Berdasarkan hasil penelitian analisis vegetasi HHK dan HHBK di Hutan Lindung Sungai Merah KPHP Unit IV Meranti maka di peroleh jumlah jenis HHK yang terdapat

Dengan memberikan bimbingan karir untuk para siswa akan membantu para siswa memiliki kreativitas pada diri mereka, semakin banyaknya informasi yang diberikan kepada para siswa maka

Dari tahun ketahun jumlah mahasiswa pun bertambah, maka fasilitas untuk mendukung kegiatan civitas akademik perlu ditingkatkan agar mahasiswa dapat mengikuti