BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tumbuhan Lagundi
Tumbuhan Lagundi (V. trifolia L.) merupakan pohon semak, tinggi berkisar 5 meter dan batangnya ditutupi oleh rambut-rambut lembut. Meski banyak kasiatnya, orang mengenal legundi sebagai obat asma.
Daunnya tersusun beraturan sepanjang batang dan biasanya majemuk, terdiri dari tiga selebaran linier yang berkisar antara 1-12 cm. Permukaan atas daun berwarna hijau dan permukaan bawahnya berwarna hijau keabu-abuan. Bunganya tumbuh dalam malai atau kelompok hingga 18 cm panjangnya. Bunga individu berwarna ungu violet memiliki dua bibir mahkota selebar 5 mm. Buahnya berdaging sekitar 6 mm dan mengandung 4 biji hitam kecil memiliki rasa pahit, pedas dan bersifat sejuk.
2.1.1 Morfologi Tumbuhan Lagundi (V. trifolia L.)
Tumbuhan lagundi memiliki batang pokok jelas, kulit batang coklat muda-tua, batang muda segi empat, banyak bercabang. Daun majemuk menjari, duduk, daun berhadapan, anak daun 1-3, daun ke 2 dan 3, duduk, anak daun ujung bertangkai kurang dari 0,5 cm, helaian bulat telur-elip-bulat memanjang bulat telur terbalik. Bunga susunan majemuk malai, dengan struktur dasar menggarpu, rapat dan berjejal. Tinggi daun kelopak 3-4,5 mm. Tabung mahkota 7-8 mm., diameter segmen median dari bibir bawah 4-6 mm. Benang sarinya 4 dekat pertengahan tabung mahkota, panjang dua. Putik: bakal buah sempurna 2 ruang, perruang 2 bagian, bakal biji duduk secara lateral, tangkai putik; rambut, ujung bercabang dua. Buah tipe drupa, duduk, berair atau kering, dinding keras. Waktu berbunga Januari - Desember. Daerah distribusi, Habitat dan Budidaya Di Jawa tumbuh di daerah dengan ketinggian 11100 m dpl, pada umumnya tumbuh
liar pada daerah hutan jati, hutan sekunder, di tepi jalan, pematang sawah. Perbanyakan dapat dilakukan dengan biji atau stek batang, jika menggunakan stek batang sebaiknya diambil dari
batang yang tidak terlalu muda. Stek batang tersebut mudah sekali tumbuh dan akan mulai bertunas setelah 4-5 hari terhitung dari sejak penanaman. Tumbuhan ini mudah tumbuh di segala jenis tanah, namun lebih menyukai tempat yang agak kering dan pada daerah yang terbuka. Tumbuh dengan baik pada media tumbuh yang terdiri dari campuran pasir, pupuk kandang dan lempung. ( Dalimartha,.2000)
2.1.2 Sistematika Tumbuhan Lagundi (V. trifolia L.)
Dari sistem sistematika (taksonomi), tumbuhan Lagundi (V. trifolia L.) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae Devisi : Spermatophyta Class : Dicotylendonae Ordo : Lamiales Famili : Verbenaceae Genus : Vitex
Spesies : Vitex trifolia L.
2.1.3 Manfaat Tumbuhan Lagundi (V. trifolia L.)
Daun tumbuhan lagundi dapat bermanfaat untuk obat influenza, demam, migren, sakit kepala, sakit gigi, sakit perut, diare, mata merah, rematik, beri-beri, batuk, luka terpukul, luka berdarah, muntah darah,analgesik, peluruh kencing, sedangkan akar lagundi mempunyai efek untuk mencegah kehamilan dan perawatan secara bersalin. Biji lagundi untuk obat pereda, penyegar badan dan perawatan rambut. Buah lagundi digunakan untuk obat cacing.Penggunaannya untuk obat-obatan dilakukan dengan meminum air rebusan daun atau batang atau buah lagundi dan diminum air rebusan (Dalimartha, 2000)
2.1.4 Efek Farmakologis dan Hasil Penelitian.
Tumbuhan lagundi mempunyai efek farmakologi antara lain sebagai anti bakteri, anti jamur, insektisida, anti kanker, analgesik, obat asma, anti alergi maupun obat batuk. Buah dan daun Lagundi mengandung senyawa golongan flavonoid, terpenoid, maupun sterol. Ekstrak
tanaman lagundi menunjukkan efek analgesik yang ringan pada tikus dengan metode geliat secara oral dan juga ekstrak diklorometan dan n-heksana daun lagundi (V. trifolia L.) menunjukkan aktivitas antifungsi dimana ekstrak n-heksana menghambat 100% selama 2 hari masa pertumbuhan, sedangkan ekstrak diklorometan menghambat 54% pertumbuhan. (Nugroho, A. 2005). Irawan (2005) juga telah melakukan penelitian isolasi dan identifikasi senyawa glikosida flavonoida dari daun lagundi. Pemeriksaan kandungan flavonoida dari fraksi n-heksan, etil asetat, dan air dengan kromatografi preparatife. Isolat yang didapat berwarna kuning.
2.2 Senyawa Flavonoida
Senyawa-senyawa flavonoida adalah senyawa-senyawa polifenol yang mempunyai 15 atom karbon, terdiri dari dua cincin benzena yang dihubungkan menjadi satu oleh rantai linier yang terdiri dari tiga atom karbon. Senyawa-senyawa flavonoida adalah senyawa 1,3 diaril propana, senyawa isoflavonoida adalah senyawa 1,2 diaril propana, sedangkan senyawa-senyawa neoflavonoida adalah 1,1 diaril propana.
Istilah flavonoida diberikan pada suatu golongan besar senyawa yang berasal dari kelompok senyawa yang paling umum, yaitu senyawa flavon; suatu jembatan oksigen terdapat diantara cincin A dalam kedudukan orto, dan atom karbon benzil yang terletak disebelah cincin B. Senyawa heterosoklik ini, pada tingkat oksidasi yang berbeda terdapat dalam kebanyakan tumbuhan. Flavon adalah bentuk yang mempunyai cincin C dengan tingkat oksidasi paling rendah dan dianggap sebagai struktur induk dalam nomenklatur kelompok senyawa-senyawa ini. Sifat struktur yaitu cincin A biasanya memiliki tiga gugus oksigen yang berselang seling. Sedangkan cincin B kebanyakan mempunyai gugus fungsional oksigen berkedudukan para dua oksigen, berkedudukan para atau meta terhadap C3 (Manitto, 1981).
Cara klasik untuk mendeteksi senyawa fenol sederhana ialah dengan menambahkan larutan besi (III) klorida dalam air atau etanol kepada larutan cuplikan, yang menimbulkan warna hijau, merah, ungu, biru, atau hitam yang kuat. Cara yang ini dimodifikasi dengan menggunakan campuran segar larutan besi (III) klorida 1% masih tetap digunakan secara umum untuk mendeteksi senyawa fenol pada kromatografi kertas. Tetapi kebanyakan senyawa fenol (terutama senyawa flavonoida) dapat dideteksi pada kromatogram berdasarkan warnanya atau floresensinya dibawah lampu UV, warnanya akan diperkuat atau berubah bila diuapi ammonia. Pigmen fenolik berwarna dapat terlihat jadi dan mudah disimak selama proses isolasi dan pemurnian (Harbone, 1987).
Sekitar 2% dari seluruh karbon yang difotosintesis oleh tumbuhan (atau kira-kira 1x109 ton/tahun) diubah menjadi flavonoida atau senyawa yang berkaitan dengannya. Sebagian besar tanin pun berasal dari flavonoida. Jadi flavonoida merupakan salah satu golongan fenol alam yang terbesar.
Senyawa flavonoida sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga, buah, dan biji. Kebanyakan flavonoida ini berada di dalam tumbuh-tumbuhan, kecuali alga. Namun ada juga flavonoida yng terdapat pada hewan, misalnya dalam kelenjar bau berang-berang dan sekresi lebah. Dalam sayap kupu - kupu dengan anggapan bahwa flavonoida berasal dari tumbuh-tumbuhan yang menjadi makanan hewan tersebut dan tidak dibiosintesis di dalam tubuh mereka. Penyebaran jenis flavonoida pada golongan tumbuhan yang tersebar yaitu angiospermae, klorofita, fungi, briofita (Markham, 1988).
Flavonoida merupakan senyawa 15-karbon yang umumnya tersebar di seluruh dunia tumbuhan. Lebih dari 2000 flavonoid yang berasal dari tumbuhan telah diidentifikasi. Kerangka dasar flavonoida biasanya diubah sedemikian rupa sehingga terdapat lebih banyak ikatan rangkap, menyebabkan senyawa itu menyerap cahaya tampak, dan ini membuatnya berwarna.
Ada tiga kelompok flavonoida yang amat menarik perhatian dalam fisiologi tumbuhan, yaitu antosianin, flavonol, dan flavon. Antosianin (dari bahasa Yunani anthos, bunga dan kyanos, biru-tua) adalah pigmen berwarna yang umunya terdapat di bunga berwarna merah, ungu, dan biru. Pigmen ini juga terdapat di berbagai bagian tumbuhan lain,
misalnya buah tertentu, batang, daun, dan bahkan akar. Sering flavonoida terikat di sel epidermis. Warna sebagian besar buah dan banyak bunga adalah akibat dari antosianin, walaupun beberapa warna tumbuhan lainnya, seperti buah tomat dan beberapa bunga kuning, karena karotenoid. Warna cerah daun musim gugur disebabkan terutama oleh timbunan antosianin pada hari cerah dan dingin, walaupun karotenoid kuning atau jingga merupakan pigmen terbesar di daun musim gugur pada beberapa spesies.
Antosianin umumnya tidak terdapat di lumut hati, ganggang, dan tumbuhan tingkat rendah lainnya, walaupun beberapa antosianin dan flavonoida ada di lumut tertentu. Antosianin jarang ditemui di gimnospermae, walaupun gimnospermae mengandung jenis lain dari flavonoida. Beberapa macam antosianin terdapat di tumbuhan tingkat tinggi, dan sering lebih dari satu macam terdapat di bunga tertentu atau organ lain. Mereka dijumpai dalam bentuk glikosida, biasanya mengandung satu atau dua unit glukosa atau galaktosa yang tertempel pada gugus hidroksil di cincin tengah, atau pada gugus hidroksil di posisi 5 cincin A. Bila gula dihilangkan, maka bagian sisa molekul, yang masih berwarna, dinamakan antosianidin (Salisbury, 1995)
2.2.1 Struktur Dasar Senyawa Flavonoida
Senyawa flavonoida adalah senyawa yang mengandung C15 terdiri atas dua inti fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. Struktur dasar flavonoida dapat digambarkan sebagai berikut :
C C C
A B
Gambar 1. Kerangka dasar senyawa flavonoida
O C3 OH HO C6 A O C3 HO C6 A
Namun sering terhidroksilasi lebih lanjut :
O C3 OH HO HO C6 A OCH3 O C3 OCH3 H3CO H3CO C6 A
Cincin B adalah karakteristik 4-, 3, 4-, 3,4, 5- terhidroksilasi
C3 (A) C6 R R' R'' B R = R’ = H, R’ = OH R = H, R’ = R” = OH R = R’ = R” = OH (juga, R = R’ = R” = H) (Sastrohamidjojo, 1996)
2.2.2 Klasifikasi Senyawa Flavonoida
Flavonoida mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi sehingga menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum sinar ultraviolet dan spektrum sinar tampak, umumnya dalam tumbuhan terikat pada gula yang disebut dengan glikosida (Harborne, 1996)
Pada flavonoida O-glikosida, satu gugus hidroksil flavonoida (atau lebih) terikat pada satu gula (lebih) dengan ikatan hemiasetal yang tak tahan asam. Pengaruh glikosilasi menyebabkan flavonoida menjadi kurang reaktif dan lebih mudah larut dalam air. Glukosa merupakan gula yang paling umum terlibat dan gula lain yang sering juga terdapat adalah
galaktosa, ramnosa, xilosa, dan arabinosa. Gula lain yang kadang-kadang ditemukan adalah alosa, manosa, fruktosa, apiosa, dan asam glukoronat serta galakturonat.
Pada flavonoida C-glikosida, gula terikat pada atom karbon flavonoida dan dalam hal ini gula tersebut terikat langsung pada inti benzena dengan suatu ikatan karbon-karbon yang tahan asam. Glikosida yang demikian disebut C-glikosida. Jenis gula yang terlibat ternyata jauh lebih sedikit ketimbang jenis gula pada O-glukosa, biasanya dari jenis glukosa yang paling umum, dan juga galaktosa, ramnosa, xilosa, dan arabinosa.
Pada flavonoida sulfat, senyawa ini mengandung satu ion sulfat, atau lebih, yang terikata pada hidroksil fenol atau gula. Senyawa ini sebenarnya bisulfat karena terdapat sebagai garam, yaitu flavon-O-SO3K. Banyak yang berupa glikosida bisulfat, bagian bisulfat
terikat pada hidroksil fenol yang mana saja yang masih bebas atau pada gula.
Pada biflavonoida, yaitu flavonoida dimer. Flavonoida yang biasanya terlibat adalah flavon dan flavanon yang secara biosintesis mempunyai pola oksigenasi yang sederhana 5,7,4’ dan ikatan antar flavonoida berupa ikatan-ikatan karbon atau kadang-kadang eter. Monomer flavonoida yang digabungkan menjadi biflavonoida dapat berjenis sama atau berbeda, dan letak ikatannya berbeda-beda. Biflavonoida jarang ditemukan sebagai glikosida, dan penyebarannya terbatas, terdapat terutama pada gimnospermae.
Pada aglikon flavonoida yang aktif-optik, sejumlah aglikon flavonoida mempunyai atom karbon asimetrik dan dengan demikian menunjukkan keaktifan optik (yaitu memutar cahaya terpolarisasi-datar). Yang termasuk dalam golongan flavonoida ini adalah flavanon, dihidroflavonol, katekin, rotenoid, dan lain-lain.
Pada golongan flavonoida yang mudah larut dalam air yang ditemukan hanya diflavonoida sulfat. Senyawa ini mengandung satu ion sulfat, atau lebih, yang terikat pada hidroksil fenol atau gula. Hanya terbatas pada angiospermae (Markham, 1988).
Menurut Robinson (1995), flavonoida dapat dikelompokkan berdasarkan keragaman pada rantai C3 yaitu :
1. Flavonol
Flavonol paling sering terdapat sebagai glikosida, biasanya 3-glikosida, dan aglikon flavonol yang umum yaitu kamferol, kuersetin, dan mirisetin yang berkhasiat sebagai antioksidan dan antiimflamasi. Flavonol lain yang terdapat di alam bebas kebanyakan merupakan variasi struktur sederhana dari flavonol. Larutan flavonol dalam suasana basa dioksidasi oleh udara tetapi tidak begitu cepat sehingga penggunaan basa pada pengerjaannya masih dapat dilakukan. O O OH flavonol 2. Flavon
Flavon berbeda dengan flavonol dimana pada flavon tidak terdapat gugusan 3-hidroksi. Hal ini mempunyai serapan UV-nya, gerakan kromatografi, serta reaksi warnanya. Flavon terdapat juga sebagai glikosidanya lebih sedikit daripada jenis glikosida pada flavonol. Flavon yang paling umum dijumpai adalah apigenin dan luteolin. Luteolin merupakan zat warna yang pertama kali dipakai di Eropa. Jenis yang paling umum adalah 7-glukosida dan terdapat juga flavon yang terikat pada gula melalui ikatan karbon-karbon. Contohnya luteolin 8-C-glikosida. Flavon dianggap sebagai induk dalam nomenklatur kelompok senyawa flavonoida.
O O
flavon
3. Isoflavon
Isoflavon merupakan isomer flavon, tetapi jumlahnya sangat sedikit dan sebagai fitoaleksin yaitu senyawa pelindung yang terbentuk dalam tumbuhan sebagai pertahanan terhadap serangan penyakit. Isoflavon sukar dicirikan karena reaksinya tidak khas dengan pereaksi warna manapun. Beberapa isoflavon (misalnya daidzein) memberikan warna biru muda cemerlang dengan sinar UV bila diuapi amonia, tetapi kebanyakan yang lain tampak sebagai bercak lembayung yang pudar dengan amonia berubah menjadi coklat.
O O
isoflavon
4. Flavanon
Flavanon terdistribusi luas di alam. Flavanon terdapat di dalam kayu, daun dan bunga. Flavanon glikosida merupakan konstituen utama dari tanaman genus prenus dan buah
jeruk ; dua glikosida yang paling lazim adalah neringenin dan hesperitin, terdapat dalam buah anggur dan jeruk.
O O
flavanon
5. Flavanonol
Senyawa ini berkhasiat sebagai antioksidan dan hanya terdapat sedikit sekali jika dibandingkan dengan flavonoida lain. Sebagian besar senyawa ini diabaikan karena konsentrasinya rendah dan tidak berwarna.
Flavanonol 6. Katekin
Katekin terdapat pada seluruh dunia tumbuhan, terutama pada tumbuhan berkayu. Senyawa ini mudah diperoleh dalam jumlah besar dari ekstrak kental Uncaria gambir
dan daun teh kering yang mengandung kira-kira 30% senyawa ini. Katekin berkhasiat sebagai antioksidan. OH O O OH OH HO
O HO OH OH OH OH katekin 7. Leukoantosianidin
Leukoantosianidin merupakan senyawa tak warna, terutama terdapat pada tumbuhan berkayu. Senyawa ini jarang terdapat sebagai glikosida, contohnya melaksidin, apiferol.
O OH HO OH Leukoantosianidin 8. Antosianin
Antosianin merupakan pewarna yang paling penting dan paling tersebar luas dalam tumbuhan. Pigmen yng berwarna kuat dan larut dalam air ini adalah penyebab hampir semua warna merah jambu, merah marak , ungu, dan biru dalam daun, bunga, dan buah pada tumbuhan tinggi. Secara kimia semua antosianin merupakan turunan suatu struktur aromatik tunggal yaitu sianidin, dan semuanya terbentuk dari pigmen sianidin ini dengan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil atau dengan metilasi atau glikosilasis.
O
OH Antosianin
9.Khalkon
Khalkon adalah pigmen fenol kuning yang berwarna coklat kuat dengan sinar UV bila dikromatografi kertas. Aglikon khalkon dapat dibedakan dari glikosidanya, karena hanya pigmen dalam bentuk glikosida yang dapat bergerak pada kromatografi kertas dalam pengembang air (Harborne, 1996)
O kalkon
10. Auron
Auron berupa pigmen kuning emas yang terdapat dalam bunga tertentu dan briofita. Dalam larutan basa senyawa ini berwarna merah ros dan tampak pada kromatografi kertas berupa bercak kuning, dengan sinar ultraviolet warna kuning kuat berubah menjadi merah jingga bila diberi uap amonia (Robinson, 1995).
HC
O
O
Auron
Menurut Harborne (1996), dikenal sekitar sepuluh kelas flavonoida dimana semua flavonoida, menurut strukturnya, merupakan turunan senyawa induk flavon dan semuanya mempunyai sejumlah sifat yang sama yakni:
Tabel 1. Golongan-golongan flavonoida menurut Harbone
Golongan flavonoida
Penyebaran Ciri khas
Antosianin
Proantosianidin
Flavonol
Flavon
Glikoflavon
pigmen bunga merah marak,dan biru juga dalam daun dan jaringan lain. terutama tan warna, dalam daun tumbuhan berkayu.
terutama ko-pigmen
tanwarna dalam bunga sianik dan asianik; tersebar luas dalam daun.
seperti flavonol
seperti flavonol
larut dalam air, λmaks 515-545 nm, bergerak dengan BAA pada kertas.
menghasilkan antosianidin bila jaringan dipanaskan dalam HCl 2M selama setengah jam.
setelah hidrolisis, berupa bercak kuning murup pada kromatogram Forestal bila disinari sinar UV;
maksimal spektrum pada 330 – 350 setelah hidrolisis, berupa bercak coklat redup pada kromatogram Forestal; maksimal spektrum pada 330-350 nm. Mengandung gula yang terikat melalui ikatan C-C; bergerak dengan pengembang air, tidak seperti flavon biasa.
Biflavonil
Khalkon dan auron
Flavanon
Isoflavon
tanwarna; hampir seluruhnya terbatas pada gimnospermae pigmen bunga kuning, kadang-kadang terdapat juga dalam jaringan lain
tanwarna; dalam daun dan buah( terutama dalam Citrus )
tanwarna; sering kali dalam akar; hanya terdapat dalam satu suku, Leguminosae
pada kromatogram BAA beupa bercak redup dengan RF tinggi .
dengan amonia berwarna merah, maksimal spektrum 370-410 nm.
berwarna merah kuat dengan Mg/HCl; kadang – kadang sangat pahit .
bergerak pada kertas dengan pengembang air; tak ada uji warna yang khas.
2.2.3 Metoda isolasi senyawa bahan alam menurut Harborne
Metode isolasi senyawa flavonoida oleh Harbone dilakukan dengan cara sebagai berikut : Daun yang segar dimaserasi dengan MeOH, lalu disaring. Ekstrak MeOH dipekatkan dengan rotarievaporator. Lalu ekstrak pekat yang dihasilkan diasamkan dengan H2SO4 2M,
didiamkan, lalu diekstraksi dengan kloroform. Lapisan kloroform diambil, lalu diuapkan, sehingga dihasilkan ekstrak polar pertengahan (Terpenoida atau senyawa fenol) (Harbone, 1988).
2.2.4 Sifat Kelarutan Flavonoida
Aglikon flavonoida adalah polifenol dan karena itu mempunyai sifat kimia senyawa fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga dapat larut dalam basa. Tetapi harus diingat, bila dibiarkan dalam larutan basa, dan disamping itu terdapat oksigen, banyak yang akan terurai. Karena mempunyai sejumlah gugus hidroksil, atau suatu gula, flavonoida merupakan senyawa polar, maka umumnya flavonoida cukup larut dalam pelarut polar seperti etanol (EtOH), metanol (MeOH), butanol (BuOH), aseton, dimetilsulfoksida (DMSO), dimetilformamida (DMF), air dan lain-lain. Adanya gula yang terikat pada flavonoida (bentuk yang umum ditemukan) cenderung menyebabkan flavonoida lebih mudah larut dalam air dan dengan demikian campuran pelarut yang disebut diatas dengan air merupakan pelarut yang lebih baik untuk glikosida. Sebaliknya, aglikon yang kurang polar seperti isoflavon, flavanon dan flavon serta flavonol yang termetoksilasi cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan kloroform (Markham, 1988)
2.2.5 Biosintesa Flavonoida
Semua varian flavonoida saling berkaitan karena alur biosintesa yang sama,yang memasukkan prazat dari alur sikimat dan alur asetat malonat, flavonoida pertama dihasilkan segera setelah alur itu bertemu. Flavonoida yang dianggap pertama kali terbentuk pada boisintesa adalah Khalkon. Modifikasi flavonoida lebih lanjut terjadi pada berbagai tahap dan menghasilkan : penambahan
atau pengurangan hidroksil, metilasi gugus hidroksil atau inti flavonoida, dimerisasi dan glikolisasi gugus hidroksil.
Gambar 2 : Biosintesa hubungan antara jenis monomer flavonoid dari alur asetat- malonat dan alur sikimat (Markham, 1988).
2.3 Teknik Pemisahan
Tujuan dari teknik pemisahan adalah untuk memisahkan komponen yang akan ditentukan berada dalam keadaan murni, tidak tercampur dengan komponen-komponen lainnya. Ada 2 jenis teknik pemisahan:
1. Pemisahan kimia adalah suatu teknik pemisahan yang berdasarkan adanya perbedaan yang besar dari sifat-sifat fisika komponen dalam campuran yang akan dipisahkan. 2. Pemisahan fisika adalah suatu teknik pemisahan yang didasarkan pada
perbedaan-perbedaan kecil dari sifat-sifat fisik antara senyawa-senyawa yang termasuk dalam suatu golongan (Muldja,1995).
2.3.1 Ekstraksi
Ekstraksi dapat dilakukan dengan metoda maserasi, sokletasi, dan perkolasi. Sebelum ekstraksi dilakukan, biasanya serbuk tumbuhan dikeringkan lalu dihaluskan dengan derajat kehalusan tertentu, kemudian diekstraksi dengan salah satu cara di atas. Ekstraksi dengan metoda sokletasi dapat dilakukan secara bertingkat dengan berbagai pelarut berdasarkan kepolarannya, misalnya n-heksana, eter, benzena, kloroform, etil asetat, etanol, metanol, dan air.
Ekstraksi dianggap selesai bila tetesan terakhir memberikan reaksi negatif terhadap senyawa yang diekstraksi. Untuk mendapatkan larutan ekstrak yang pekat biasanya pelarut ekstrak diuapkan dengan menggunakan alat rotari evaporator (Harborne, 1996).
2.3.2 Kromatografi
Kromatografi merupakan suatu cara pemisahan fisik dengan unsur-unsur yang akan dipisahkan terdistribusikan antara dua fasa, satu dari fasa-fasa ini membentuk lapisan stasioner denagn luas permukaan yang besar dan yang lainnya merupakan cairan yang merembes lewat. Fasa stasioner mungkin suatu zat padat atau suatu cairan dan fasa yang bergerak mungkin suatu cairan atau suatu gas (Underwood, 1981).
Cara-cara kromatografi dapat digolongkan sesuai dengan sifat – sifat dari fasa diam, yang dapat berupa zat padat atau zat cair. Jika fasa diam berupa zat padat disebut kromatografi serapan, jika berupa zat cair disebut kromatografi partisi. Karena fasa gerak dapat berupa zat cair atau gas maka ada empat macam sistem kromatografi yaitu:
1) Fasa gerak cair–fasa diam padat (kromatografi serapan): a.kromatografi lapis tipis
b.kromatografi penukar ion
2) Fasa gerak gas–fasa diam padat, yakni kromatografi gas padat
3) Fasa gerak cair–fasa diam cair (kromatografi partisi), yakni kromatografi kertas. 4) Fasa gerak gas–fasa diam zat cair, yakni :
a. kromatografi gas–cair b. kromatografi kolom kapiler
Semua pemisahan dengan kromatografi tergantung pada kenyataan bahwa senyawa – senyawa yang dipisahkan terdistribusi diantara fasa gerak dan fasa diam dalam perbandingan yang sangat berbeda – beda dari satu senyawa terhadap senyawa yang lain (Sastrohamidjojo 1991).
2.3.2.1 Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi Lapis Tipis pada plat berlapis yang berukuran lebih besar, biasanya 5x20 cm, 10x20 cm, atau 20x20 cm. Biasanya memerlukan waktu pengembangan 30 menit sampai satu jam. Pada hakikatnya KLT melibatkan dua fase yaitu fase diam atau sifat lapisan, dan fase gerak atau campuran pelarut pengembang. Fase diam dapat berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai permukaan penyerap atau penyangga untuk lapisan zat cair. Fase gerak dapat berupa hampir segala macam pelarut atau campuran pelarut (Sudjadi, 1986).
Pemisahan senyawa dengan Kromatografi Lapis Tipis seperti senyawa organik alam dan senyawa organik sintetik dapat dilakukan dalam beberapa menit dengan alat yang harganya tidak terlalu mahal. Jumlah cuplikan beberapa mikrogram atau sebanyak 5 g dapat ditangani. Kelebihan KLT yang lain ialah pemakaian jumlah pelarut dan jumlah cuplikan yang sedikit. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan salah satu metode pemisahan yang cukup sederhana yaitu dengan menggunakan plat kaca yang dilapisi silika gel dengan menggunakan pelarut tertentu (Gritter,1991).
Nilai utama Kromatografi Lapis Tipis pada penelitian senyawa flavonoida ialah sebagai cara analisis cepat yang memerlukan bahan sangat sedikit. Menurut Markham, Kromatografi Lapis Tipis terutama berguna untuk tujuan berikut:
1. Mencari pelarut untuk kromatografi kolom
2. Analisis fraksi yang diperoleh dari kromatografi kolom 3. Identifikasi flavonoida secara ko-kromatografi.
4. Isolasi flavonoida murni skala kecil
5. Penyerap dan pengembang yang digunakan umumnya sama dengan penyerap dan pengembang pada kromatografi kolom dan kromatografi kertas (Markham, 1988).
2.3.2.2 Kromatografi Lapis Tipis Preparatif
Metode kromatografi juga dapat dilakukan dengan metode kromatografi lapis tipis preparatif yaitu pemisahan yang terdiri atas sejumlah senyawa serupa dengan kromatografi jenis yang sukar dan kadang-kadang lama dipisahkan. KLT preparatif adalah cara ideal untuk memisahkan cuplikan kecil (50 mg sampai 1 g). Penyerap yang dipakai adalah silika gel dan dipakai untuk pemisahan campuran senyawa lipofil maupun campuran senyawa hidrofil. Ketebalan adsorben yang sering dipakai 0,5 – 2 mm. Ukuran plat kromatografi biasanya 20x20 cm atau 20x40 cm.
Cuplikan dilarutkan dalam sedikit pelarut sebelum ditotolkan pada plat kromatografi lapis tipis preparatif. Pelarut yang baik adalah pelarut organik seperti n-heksan , etil asetat, dan diklorometan. Cuplikan yang akan dipisahkan ditotolkan berupa garis pada salah satu sisi dari pelat lapisan besar dan dikembangkan secara tegak lurus pada garisan cuplikan sehingga campuran akan terpisah menjadi bebaerapa pita. Pita penyerap tersebut diharapkan mengandung komponen campuran murni kemudian dikerok dari pelat kaca dengan spatula dan ditampung dengan logam tipis atau kertas lilin. Penyerap diletakkan dalam corong kaca memakai kertas saring lalu dielusi beberapa kali dengan pelarut yang cocok (Gritter, 1991).
2.3.2.3 Kromatografi Kolom
Kromatografi cair yang dilakukan dalam kolom besar merupakan metode kromatografi terbaik untuk pemisahan dalam jumlah besar (lebih dari 1 g). Pada kromatografi kolom,
campuran yang akan dipisahkan diletakkan berupa pita pada bagian atas kolom penyerap yang berada dalam tabung kaca, tabung logam, dan tabung plastik. Pelarut atau fasa gerak dibiarkan mengalir melalui kolom karena aliran yang disebabkan oleh gaya berat atau didorong dengan tekanan. Pita senyawa linarut bergerak melalui kolom dengan laju yang berbeda, memisah, dan dikumpulkan berupa fraksi ketika keluar dari atas kolom (Gritter, 1991).
Dengan menggunakan cara ini, skala isolasi flavonoida dapat ditingkatkan hampir ke skala industri. Pada dasarnya, cara ini meliputi penempatan campuran flavonoida (berupa larutan) diatas kolom yang berisi serbuk penyerap (seperti selulose, silika atau poliamida), dilanjutkan dengan elusi beruntun setiap komponen memakai pelarut yang cocok. Kolom hanya berupa tabung kaca yang dilengkapi dengan keran pada salah satu ujung. (Markham, 1988).
2.3.2.4 Harga Rf (Reterdation Factor)
Mengidentifikasi noda-noda dalam lapisan tipis lazim menggunakan harga Rf yang diidentifikasikan sebagai perbandingan antara jarak perambatan suatu zat dengan jarak perambatan pelarut yang dihitung dari titik penotolan pelarut zat. Jarak yang ditempuh oleh tiap bercak dari titik penotolan diukur dari pusat bercak. Untuk mengidentifikasi suatu senyawa, maka harga Rf senyawa tersebut dapat dibandingkan dengan harga Rf senyawa pembanding.
Jarak perambatan bercak dari titik penotolan Rf =
2.3.3 Kristalisasi
Kristalisasi adalah pengendapan kristal dari larutan yang terbuat dari bahan tertentu. Selama proses pembentukan kristal, molekul akan cenderung menjadi melekat kristal tumbuh terdiri dari jenis yang sama molekul karena cocok dalam kisi kristal untuk molekul struktur yang sama daripada molekul yang lain. Jika proses kristalisasi diperbolehkan untuk terjadi dalam mendekati – kondisi kesetimbangan, preferensi molekul untuk deposit pada permukaan terdiri dari molekul seperti akan menyebebkan peningkatan dalam kemurnian bahan kristal. Sehingga proses rekristalisasi adalah salah satu metode yang paling penting tersedia bagi ahli kimia untuk pemurnian padatan. Prosedur tambahan dapat dimasukkan kedalam proses kristalisasi untuk menghilangkan pengotor. Termasuk filtrasi untuk menghilangkan pengotor yang sangat polar (Pasto, 1992).
2.3.4 Rekristalisasi
Amorf yang diperoleh dari isolasi dengan KLT preparatif dilarutkan kembali dengan EtOAc, diaduk hingga semua amorf larut sempurna. Kemudian ditambahkan n – heksana secara perlahan – lahan hingga pembentukan kembali senyawa yang lebih murni dari sebelumnya dan jatuh di dasar wadah. Didekantasi larutan bagian atas wadah. Lalu diuapkan sisa pelarut dari amorf hingga diperoleh kristal yang benar – benar bebas dari pelarut (Jacobs, 1974). .
2.4 Teknik Spektroskopi
Teknik spektroskopi adalah salah satu teknik analisis kimia–fisika yang mengamati tentang interaksi atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik. Ada dua macam instrumen pada teknik spektroskopi yaitu spektrometer dan spektrofotometer. Instrumen yang memakai monokromator celah tetap pada bidang fokus disebut sebagai spektrometer. Apabila spektrometer tersebut dilengkapi dengan detektor yang bersifat fotoelektrik maka disebut spektrofotometer (Muldja, 1955).
Informasi Spektroskopi Inframerah menunjukkan tipe – tipe dari adanya gugus fungsi dalam satu molekul dan Resonansi Magnetik Inti yang memberikan informasi tentang bilangan dari setiap tipe dari atom hidrogen dan juga memberikan informasi yang
menyatakan tentang lingkungan dari setiap tipe dari atom hidrogen. Kombinasinya dan data yang ada kadang – kadang menentukan struktur yang lengkap dari molekul yang tidak diketahui (Pavia, 1979).
2.4.1 Spektrofotometri Ultra Violet
Serapan molekul di dalam derah ultra violet dan terlihat dari spektrum bergantung pada struktur ultra elektronik dari molekul. Penyerapan sejumlah energi, menghasilkan percepatan dari elektron dalam orbital tingkat dasar ke orbital yang berenergi lebih tinggi di dalam keadaan tereskitasi (Silverstein, 1986).
Spektrum Flavonoida biasanya ditentukan dalam larutan dengan pelarut Metanol (MeOH) atau Etanol (EtOH). Spektrum khas terdiri atas dua maksima pada rentang 240-285 nm (pita II) dan 300-550 nm (pita I). Kedudukan yang tepat dan kekuatan nisbi maksima tersebut memberikan informasi yang berharga mengenai sifat flavonoida dan pola oksigenasinya. Ciri khas spektrum tersebut ialah kekuatan nisbi yang rendah pada pita I dalam dihidroflavon, dihidroflavonol, dan isoflavon serta kedudukan pita I pada spektrum khalkon, auron dan antosianin yang terdapat pada panjang gelombang yang tinggi.
Tabel 2. Rentangan serapan spektrum UV-Visible golongan flavonoida
λ maksimum utama (nm) λ maksimum tambahan (nm) (dengan intensitas nisbi)
Jenis flavonoida 475-560 390-430 365-390 350-390 250-270 330-350 300-350 275-295 ± 225 310-330 ± 275 (55%) 240-270 (32%) 240-260 (30%) ± 300 (40%) ± 300 (40%) tidak ada tidak ada 310-330 (30%) 310-330 (30%) 310-330 (25%) Antosianin Auron Kalkol Flavonol Flavonol
Flavon dan biflavonil Flavon dan biflavonil Flavanon dan flavononol Flavonon dan flavononon Isoflavon
(Markham, 1988).
2.4.2 Spektrofotometri Infra Merah (FT-IR)
Spektrum inframerah suatu molekul adalah hasil transisi antara tingkat energi getaran yang berlainan. Pancaran inframerah yang kerapatannya kurang dari 100 cm -1
Penyerapan ini tercantum, namun spektrum getaran terlihat bukan sebagai garis – garis melainkan berupa pita – pita. Hal ini disebabkan perubahan energi getaran tunggal selalu disertai sejumlah perubahan energi putaran (Silverstein, 1986).
(panjang gelombang lebih daripada 100 µm) diserap oleh sebuah molekul organik dan diubah menjadi putaran energi molekul.
Dalam molekul sederhana beratom dua atau beratom tiga tidak sukar untuk menentukan jumlah dan jenis vibrasinya dan menghubungkan vibrasi-vibrasi tersebut dengan energi serapan. Tetapi untuk molekul-molekul beratom banyak, analisis jumlah dan jenis vibrasi itu menjadi sukar sekali atau tidak mungkin sama sekali, karena bukan saja disebabkan besarnya jumlah pusat – pusat vibrasi, melainkan karena juga harus diperhitungkan terjadinya saling mempengaruhi (inter-aksi) beberapa pusat vibrasi.
Vibrasi molekul dapat dibagi dalam dua golongan , yaitu vibrasi regang dan vibrasi lentur.
1. Vibrasi regang
Di sini terjadi terus menerus perubahan jarak antara dua atom di didalam suatu molekul. Vibrasi regang ini ada dua macam yaitu vibrasi regang simetris dan tak simetri.
2.Vibrasi lentur
Di sini terjadi perubahan sudut antara dua ikatan kimia. Ada empat macam vibrasi lentur yaitu vibrasi lentur dalam bidang yang dapat berupa vibrasi scissoring atau vibrasi rocking dan vibrasi keluar bidang yang dapat berupa waging atau berupa twisting (Noerdin, 1985).
2.4.3 Spektrometri Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR)
Spektrometri Resonansi Magnetik Inti (Nuclear Magnetic Resonance, NMR) merupakan alat yang berguna pada penentuan struktur molekul organik. Teknik ini memberikan informasi mengenai berbagai jenis atom hidrogen dalam molekul.. Struktur NMR memberikan informasi mengenai lingkungan kimia atom hidrogen, jumlah atom hidrogen dalam setiap lingkungan dan struktur gugusan yang berdekatan dengan setiap atom hidrogen (Cresswell, 1982).
Spektrometri Resonansi Magnetik Inti (Nuclear Magnetic Resonance, NMR) pada umumnya digunakan untuk :
1. Menentukan jumlah proton yang memiliki lingkungan kimia yang sama pada suatu senyawa organik.
2. Mengetahui informasi mengenai struktur suatu senyawa organik (Dachriyanus, 2004).
Pergeseran kimia adalah pengukuran medan dalam keadaan bebas. Semua proton-proton dalam satu molekul yang ada dalam lingkungan kimia yang serupa kadang-kadang menunjukkan pergeseran kimia yang sama. Setiap senyawa memberikan penaikan menjadi puncak absorbsi tunggal dalam spektrum NMR. Di dalam medan magnet, perputaran elektron-elektron valensi dari proton menghasilkan medan magnet yang melawan medan magnet yang digunakan. Hingga setiap proton dalam molekul dilindungi dari medan magnet yang digunakan dan bahwa besarnya perlindungan ini tergantung pada kerapatan elektron yang mengelilinginya. Makin besar kerapatan elektron yang mengelilingi inti, maka makin besar pula medan yang dihasilkan yang melawan medan yang digunakan (Bernasconi,1995).
Senyawa yang paling lazim dan paling berguna dipakai sebagai acuan adalah tetrametilsilana (TMS). Beberapa keuntungan dari pemakaian standar internal TMS yaitu:
1. TMS mempunyai 12 proton yang setara sehingga akan memberikan spektrum puncak tunggal yang kuat.
CH3
H3C Si CH3
CH3
2. TMS merupakan cairan yang mudah menguap, dapat ditambahkan kedalam larutan sampel dalam pelarut CDCl3 atau CCl4 (Silverstein, 1986)
Pada spektrometri RMI integrasi sangat penting. Harga integrasi menunjukkan daerah atau luas puncak dari tiap – tiap proton . Sedangkan luas daerah atau luas puncak tersebut sesuai dengan jumlah proton. Dengan demikian perbandingan tiap integrasi proton sama dengan perbandingan jumlah proton dalam molekul (Muldja,1995).