• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II STRATEGI GURU REGULER DALAM PENGELOLAN KELAS DENGAN MELIBATKAN SISWA LOW VISION

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II STRATEGI GURU REGULER DALAM PENGELOLAN KELAS DENGAN MELIBATKAN SISWA LOW VISION"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

12 BAB II

STRATEGI GURU REGULER DALAM PENGELOLAN KELAS DENGAN MELIBATKAN SISWA LOW VISION

A. Konsep Dasar Strategi

Kata strategi berasal dari kata strategos (Yunani) atau strategus. Strategos berarti jenderal atau berarti pula perwira negara (state officer). Jenderal inilah yang bertanggung jawab merencanakan suatu strategi dan mengarahkan pasukannya untuk mencapi kemenangan. Secara spesifik Sherly (1978) merumuskan pengertian strategi sebagai keputusan bertindak yang diarahkan dan keseluruhannya diperlukan untuk mencapai tujuan. Sedangkan J. Salusu (1960 :101) merumuskan strategi sebagai suatu seni menggunakan kecakapan dan sumber daya untuk mencapai sasarannya melalui hubungan yang efektif dengan lingkungan dan kondisi yang paling menguntungkan.

Secara bahasa, strategi bisa diartikan sebagai “siasat”, “kiat”, atau “cara”. Sedang secara umum strategi ialh suatu garis besar haluan dalam bertindak untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.

Dalam perkembangannya, konsep strategi telah digunakan dalam berbagai situasi, termasuk untuk situasi pendidikan. Implementasi konsep strategi dalam kondisi belajar mengajar ini, sekurang kurangnya melahirkan pengertian berikut:

1) Strategi merupakan keputusan bertindak dari guru dengan menggunakan kecakapan dan sumber daya pendidikan yang tersedia untuk mencapai

(2)

13

tujuan melalui hubungan yang efektif antara lingkungan dan kondisi yang paling menguntungkan. Lingkungan disini adalah lingkungan yang paling memungkinkan peserta didik belajar dan guru mengajar. Sedangkan kondisi dimaksudkan sebagai suatu iklim kondusif dalam belajar dan mengajar seperti disiplin, kreativitas, inisiatif dan sebagainya.

2) Strategi merupakan garis besar haluan bertindak dalam mengelola proses belajar untuk mencapai tujuan pengajaran secara efektif dan efisien.

3) Strategi dalam proses belajar mengajar merupakan suatu rencana (mengandung serangkaian aktifitas) yang dipersiapkan secara seksama untuk mencapai tujuan tujuan belajar.

4) Strategi merupakan pola umum perbuatan guru–peserta didik di dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar. Pola ini menunjukan macam dan urutan perbuatan yang di tampilkan guru-peserta didik di dalam bermacam macam peristiwa belajar.

Dari uraian di atas, jika diterapkan dalam konteks kegiatan belajar mengajar, maka strategi belajar mengajar pada dasarnya memiliki implikasi sebagai berikut:

1) Proses mengenal karakteristik dasar anak didk yang harus dicapai melalui pembelajaran.

2) Memilih pendekatan belajar mengajar berdasarkan kultur, aspirasi, dan pandangan filosofis masyarakat.

3) Memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan teknik mengajar. 4) Menetapkan norma-norma atau kriteria keberhasilan belajar.

(3)

14

Jadi suatu strategi yang dipilih dan digunakan secara tepat oleh guru untuk keberlangsungan belajar mengajar secara terbuka dan penuh perhatian yang dapat diterima oleh anak low vision dan anak awas sebagai upaya pemenuhan kebutuhan layanan belajar anak didiknya.

B. Konsep Guru

Guru adalah tenaga pendidik yang memberikan sejumlah ilmu pengetahuan kepada anak didik di sekolah (Saiful Bahri Djamarah dalam Sutikno Sobry 2007: 43). Selain memberikan sejumlah ilmu pengetahuan, guru juga bertugas menanamkan nilai-nilai dan sikap kepada anak didik agar anak didik memiliki kepribadian yang sempurna. Dengan keilmuan yang dimilikinya, guru membimbing anak didik dalam mengembangkan potensinya.

Setiap guru memiliki kepribadian yang sesuai dengan latar belakang mereka sebelum menjadi guru. Kepribadian dan pandangan guru serta latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajar sangat mempengaruhi kualitas pembelajaran. Guru adalah manusia unik yang memiliki karakter sendiri-sendiri. Perbedaan karakter ini akan menyebabkan situasi belajar yang diciptakan oleh setiap guru bervariasi.

Seorang guru dituntut untuk menguasai berbagai kompetensi (kecakapan) dalam melaksanakan profesi keguruannya agar dapat menciptakan lingkungan belajar yang baik bagi peserta didik, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan optimal. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran seorang guru dalam menentukan keberhasilan pembelajaran.

(4)

15 C. Pengelolaan Kelas

1. Pengertian Pengelolaan Kelas

Hal yang tak dapat dipungkiri adalah bahwa kelas merupakan suatu lingkungan belajar yang diciptakan berdasarkan kesadaran kolektif dari suatu komunitas siswa yang relatif memiliki tujuan yang sama. Kesamaan tujuan merupakan kekuatan potensial pengelolaan kelas dan aktualisasinya adalah prose pembelajaran yang akseptabel (acceptable).

Pengelolaan kelas adalah sebuah keterampilan yang harus dikuasai oleh guru untuk menunjang keberhasilan kegiatan belajar megajar. Guru dalam kegiatan belajar mengajar bukan sekedar ditentukan oleh kemampuan dalam menguasai bahan pelajaran, tetapi juga dipengaruhi oleh kemampuannya dalam mengelola kelas. Keterampilan mengelola kelas, merupakan kemampuan guru dalam mewujudkan dan mempertahankan suasana belajar mengajar yang optimal. Kemampuan ini erat kaitannya dengan kemampuan guru untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan, menyenangkan peserta didik dan penciptaan disiplin belajar secara sehat.

Pengelolaan kelas mengarah pada peran guru untuk menata pembelajaran. Secara kolektif atau klasikal dengan cara mengelola perbedaan-perbedaan kekuatan ondividual menjadi sebuah aktivitas belajar bersama. Suharsimi Arikunto dalam Sobri Sutikno (2007:103), berpendapat bahwa pengelolaan kelas merupakan suatu usaha yang dilakukan guru untuk membantu menciptakan kondisi belajar yang optimal.

(5)

16

Pengertian di atas menunjukkan adanya beberapa variabel yang perlu dikelola secara sinegik, terpadu dan sistematik oleh guru, yakni: (1) ruang kelas menunjukkan batasan lingkungan belajar, (2) uasaha guru, tuntutan adanya dinamika kegiatan guru dalam mensiasati segala kemungkinan yang terjadi dalam lingkungan belajar, (3) kondisi belajar, merupakan batasan aktivitas yang harus diwujudkan dan (4) belajar yang optimal, merupakan ukuran kualitas proses yang mendorong mutu sebuah produk belajar.

Dalam pengertian yang lain dikemukakan bahwa pengelolaan kelas merupakan suatu proses seleksi tindakan yang dilakukan guru dalam fungsinya sebagai penanggungjawab kelas dan seleksi penggunaan alat-alat belajar tepat sesuai masalah yang ada dan karakteristik kelas yang dihadapi. Jadi, pengelolaan kelas sebenarnya merupakan upaya mendayagunakan seluruh potensi kelas, baik sebagai komponen utama pembelajaran maupun komponen pendukungnya.

Dari uraian tersebut, dapatlah dipahami bahwa pengelolaan kelas merupakan usaha yang dengan sengaja dilakukan oleh guru agar anak didik dapat belajar secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan pembelajaran.

2. Tujuan Pengelolaan Kelas

Secara umum tujuan pengelolaan kelas adalah untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Mutu pembelajaran akan tercapai, jika tercapainya tujuan pembelajaran.

Adapun tujuan dari pengeloaan kelas secara khusus adalah sebagai berikut:

(6)

17

1) Mewujudkan situasi dan kondisi kelas yang memungkinkan peserta didik mengembangkan kemampuannya secara optimal.

2) Memperhatikan keadaan yang stabil dalam suasana kelas, sehingga bila terjadi gangguan dalam belajar mengajar dapat dieliminir.

3) Menghilangkan berbagai hambatan dan pelanggaran disiplin yang dapat merintangi terwujudnya interaksi belajar mengajar.

4) Mengatur semua perlengkapan dan peralatan yang memungkinkan peserta didik belajar sesuai dengan lingkungan sosial, emosional, dan intelektual peserta didik dalam kelas.

5) Melayani dan membimbing peserta didik.

Untuk dapat menangani masalah-masalah pengeloaan kelas, maka seorang guru yang menangani anak berkebutuhan khusus dituntut mampu (1) mengenali secara tepat berbagai jenis masalah pengeloaan kelas, (2) memahami pendekatan pendekatan yang tepat dan kurang tepat sesuai dengan jenis masalahnya (3) memilih, menetapkan dan menerapkan pendekatan yang dianggap paling tepat sesuai dengan masalahnya. (Atang Setiawan, 2004).

Menurut Jonson and Bany (1970) dalam Atang Setiawan (2004) Berkaitan dengan masalah pengeloaan kelas, maka tugas guru sebagai berikut :

1. Mengenal sebanyak mungkin masing masing siswa.

2. Memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam mengoraganisasi kelas. 3. Memiliki kemampuan pemahaman masalah kelas.

(7)

18

4. Mampu menciptakan dan memelihara lingkungan belajar.

Dalam menangani masalah pengeloaan kelas secara efektif, sebaik teknik mengajar, keduanya sama pentingnya dalam mensukseskan siswa belajar.

Karakter kelas yang dihasilkan karena adanya proses pengelolaan kelas yang baik akan memiliki sekurang-kurangnya tiga ciri, yakni:

1) Speed, artinya anak dapat belajat dalam percepatan proses dan progress sehingga membutuhkan waktu yang relatif singkat.

2) Simple, artinya organisasi kelas dan materi menjadi sederhana, mudah dicerna dan situasi kelas kondusif.

3) Self-confidence, artinya anak dapat belajar dengan penuh rasa percaya diri atau menganggap dirinya mampu mengikuti pelajaran dan belajar berprestasi.

3. Penataan Ruang Kelas yang Kondusif dan Menyenangkan

Kemampuan mengelola proses belajar mengajar yang baik akan menciptakan situasi yang memungkinkan anak untuk belajar, sehingga merupakan titik awal keberhasilan pengajaran. Siswa dapat belajar dalam suasana wajar, tanpa tekanan dan dan dalam kondisi yang merangsang untuk belajar. Dalam kegiatan belajar mengajar siswa memerlukan sesuatu yang memungkinkan dia berkomunikasi secara baik, meliputi komunikasi guru-murid, murid-guru-murid, murid-lingkungan, murid-bahan ajar dan murid dengan dirinya sendiri.

Segala sesuatu dalam lingkungan kelas menyampaikan pesan yang memacu atau menghambat belajar. Belajar bukan hanya menerima “pidato”

(8)

19

guru tentang bahan ajar, melainkan pula melalui pesan lingkungan yang diterima sistem saraf otak. Bahkan belajar melalui segala peraga yang ada dijauh dapat dengan tiba-tiba menyalakan jalur saraf seperti nyalanya kembang api di malam hari. Segala yang dapat kita lihat, biasanya memberikan insnpirasi untuk melahirkan pikiran yang orsinil. Demikian juga lingkungan belajar yang tertata rapih memberi inspirasi berpikir yang cermat dan kekuatan belajar yang tak terhitung besarnya. Sayang sekolah kita seringkali mengabaikan banyak hal kecil yang sebenarnya berdampak besar dan terlalu memperhatikan hal besar secara berlebihan padahal berdampak besar dan terlalu memperhatikan hal besar secara berlebihan padahal berdampak kecil. Banyak hal yang dapat kita hidupkan dilingkungan sekolah.

D. Siswa Low Vision

Siswa low vision merupakan bagian dari siswa tunanetra, seperti yang diungkapkan oleh The World Health Organization (WHO) “definition blind divided into two groups: totally blind into near blind and blind; and low vision into severe and profond. (Scholl,1986: 29). Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa tunanetra dibagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama adalah tunanetra total yaitu mereka yang tidak dapat melihat sama sekali atau hanya memiliki persepsi cahaya, sedangkan kelompok ke dua adalah low vision yaitu mereka yang memiliki hambatan penglihatan ringan dan sedang.

Untuk memahami lebih lanjut tentang siswa yang termasuk kelompok low vision maka berikut akan dijelaskan tentang pengertian, klasifikasi, dan ciri-ciri umum dari siswa low vision.

(9)

20 1. Pengertian

WHO memaparkan bahwa anak low vision merupakan pribadi yang memiliki kecacatan visual yang jelas tetapi juga masih memiliki sisa penglihatan yang dapat digunakan (Widjajantin dan Hitipeuw, 1994: 200).

Secara lebih rinci, WHO menjelaskan kriteria low vision sebagai berikut:

a. Jika masih mempunyai kerusakan meskipun sudah dilakukan penangan medis, seperti operasi dan/atau koreksi refraktif dengan kacamata atau lensa,

b. Tajam penglihatannya kurang dari 6/18 meter sampai dengan persepsi cahaya,

c. luas penglihatannya kurang dari 10 derajat dari titik fiksasi,

d. Namun ia dapat atau kemungkinan besar dapat menggunakan penglihatannya untuk merencanakan dan/atau melakukan suatu pekerjaan.

Menurut Kirk dan Gallagher (1962: 348) “A child who scores between 20/70 and 20/200 on visual acuity, with corection, is legally partially sighted or low vision”. Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa mereka yang ketajaman penglihatannya antara 20/70 dan 20/200 setelah mendapatkan perbaikan, disebut kurang lihat atau low vision.

(10)

21

Tabel 2.1

Arti pecahan Snellen (Snellen Chart) (Widjajantin dan Hitipeuw, 1994: 36)

Meter Feet Dapat

Digunakan Kerusakan 6/6 20/20 100% 0,0% 6/9 20/30 91,5% 8,5% 6/12 20/40 83,6% 16,4% 6/15 20/50 76,5% 23,5% 6/21 20/70 64,0% 36,0% 6/30 20/100 48,9% 51,1% 6/60 20/100 20,0% 80,0%

Salah satu lembaga low vison center dalam situs internet menjelaskan bahwa;

Low vision is a bilateral impairment to vision that significantly impairs the function of patient and cannot be adequately corrected with medical, surgical, theraphy, conventional eye wear or contact lenses. It is often a loss of sharpness or acuity but may present as a loss of field of vision or loss of contrast. (www.lowvisioncenter.co.id: 2005).

Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa low vision adalah kerusakan fungsi penglihatan pada pasien dan tidak dapat dikoreksi pengobatan, operasi, terapi, maupun alat bantu penglihatan konvensional atau lensa kontak. Hal tersebut menyebabkan hilangnya ketajaman penglihatan, sensitifitas cahaya, lantang pandang dan atau kemampuan kontras.

Berdasarkan sudut pandang pendidikan, Low Vision Services of the United State of America (Widjajantin dan Hitipeuw, 1994: 200) menyatakan bahwa anak kurang lihat dinyatakan sebagai penurunan ketajaman penglihatan dan atau lantang pandang akibat adanya penyimpangan pada sistem visual.

(11)

22

Masih dalam sudut pandang pendidikan, Corn (Scholl, 1986: 28) menjelaskan bahwa “low vision is severelly visually impaired after correction but can increase visual function with optical or nonoptical and or with technique and environment modified”. Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa low vision adalah hambatan kemampuan penglihatan sedang meskipun telah dikoreksi, tetapi fungsi penglihatannya masih dapat ditingkatkan dengan alat bantu optikal dan nonoptikal dan/atau dengan memodifikasi teknik dan lingkungan.

Hallahan dan Kaufman (1991: 304) mengatakan bahwa “…who can read print, even if they need magnifying devices or large print books, as having low vision”. Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa mereka yang dapat membaca huruf awas bercetak tebal termasuk mereka yang memerlukan alat pembesar disebut low vision.

Dari berbagai definisi yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa low vision adalah mereka yang mengalami kerusakan, gangguan, dan hambatan dalam ketajaman penglihatan, lantang pandang, sensitifitas cahaya, dan kemampuan kontras, namun mereka masih memiliki sisa kemampuan penglihatan yang dapat dioptimalkan, bahkan untuk membaca huruf awas dengan berbagai modifikasi.

2. Klasifikasi

Berdasarkan pecahan Snellen, WHO mengklasifikasikan tingkat ketunanetraan berdasarkan ketajaman penglihatan seperti terlihat pada tabel 2.2 berikut ini.

(12)

23

Tabel 2.2

Klasifikasi tingkat ketunanetraan dari WHO

Kategori Ketajaman Penglihatan

Setelah Dikoreksi Definisi Standar WHO

0 6/6 – 6/18 Normal 1 <6/18 – 6/60 Visual Impairment/low vision 2 <6/60 – 3/60 Severe Visual Impairment/low vision 3 <3/60 – 1/60 Blind 4 <1/60 - PL Blind 5 NPL Blind

Berdasarkan tabel di atas, maka yang termasuk low vision adalah mereka yang termasuk dalam klasifikasi visual impairment atau mereka yang memiliki ketajaman penglihatan antara <6/18 – 6/60 dan klasifikasi severe visual impairment atau mereka yang memiliki ketajaman penglihatan antara <6/60 – 3/60.

Hosni (1994: 27) menjelaskan bahwa untuk kepentingan proses belajar mengajar, maka siswa tunanetra dikelompokkan menjadi:

a. Mereka yang mampu membaca cetakan standar.

b. Mereka yang mampu membaca cetakan standar dengan memakai kaca pembesar.

c. Mereka yang hanya mampu membaca cetakan besar (ukuran huruf no.18).

d. Mereka yang membaca kombinasi antara cetakan besar/regular print. e. Mereka yang mampu membaca cetakan besar dengan menggunakan

(13)

24

f. Mereka yang hanya mampu dengan braille tapi masih bisa melihat cahaya.

g. Mereka yang hanya mampu dengan braille tetapi sudah tidak mampu melihat cahaya.

Dari klasifikasi tunanetra yang dijelaskan di atas, maka klasifikasi siswa low vision terdapat pada klasifikasi point a sampai dengan point e, atau mereka yang masih bisa membaca huruf awas, walaupun dengan berbagai modifikasi.

Untuk kepentingan penempatan dalam pembelajaran integrasi bersama anak awas di sekolah umum, maka Nasichin (2002) mengklasifikasikan siswa low vision sebagai berikut:

a. Siswa low vision yang langsung dapat diintegrasikan dengan anak awas pada sekolah umum, adalah mereka yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1) Telah mendapatkan alat bantu khusus seperti kaca mata, alat pembesar (untuk membaca jarak dekat), dan teleskop (untuk membaca pada jarak jauh).

2) Telah mengenal huruf awas

3) Telah memiliki kematangan mental yang cukup 4) Telah memiliki kematangan sosial yang cukup

5) Telah memiliki kematangan orientasi dan mobilitas yang cukup

(14)

25

b. Siswa low vision yang membutuhkan layanan program transition untuk berintegrasi pada sekolah umum adalah mereka yang berkualifikasi sebagai berikut:

1) Telah mengenal huruf awas

2) Masih memerlukan bantuan dalam penggunaan alat bantu khusus

3) Telah memiliki kematangan mental yang cukup

4) Masih memerlukan bantuan dalam penyesuaian pada sekolah umum

5) Masih memerlukan bantuan dalam orientasi dan mobilitas c. Siswa low vision yang memerlukan layanan khusus adalah mereka

yang:

1) Belum mengenal huruf awas

2) Belum dapat menggunakan alat bantu 3) Belum memiliki kematangan sosial

4) Masih memerlukan bantuan dalam orientasi dan mobilitas

3. Ciri-ciri Siswa Low Vision

Secara umum tidak ada ciri-ciri utama siswa low vision. Tampilan fisik, sifat, dan karakteristik mereka adalah indvidu yang mempunyai ciri dan karakteristik berbeda-beda layaknya siswa biasa lainnya. Seperti diungkapkan oleh Scholl (1986: 24) “Persons with visual impairments are diverse group in society. They are thin and fat; tall and short; fun-loving and grouchy; they have all characteristics found in any group of people”.

(15)

26

Pernyataan Scholl di atas dapat diartikan bahwa orang yang mengalami hambatan dalam kemampuan penglihatan dalam kelompok masyarakat berbeda-beda. Mereka ada yang kurus dan gendut, tinggi dan pendek, periang-penyayang dan pemurung, mereka memiliki berbagai karakteristik layaknya orang lain dalam komunitas masyarakat.

Walaupun demikian, ada berbagai prilaku siswa low vision yang dapat diamati, seperti yang disampaikan Peabody dalam Mangunsong (2002) yaitu bahwa ciri-ciri umum low vision diantaranya adalah:

1) Underachievement

2) Mudah lelah

3) Mempunyai masalah emosional

Menurut The I.B. Foundation (The Baligvo Inverso Foundation) dalam Salamihardja dan Yudhana (www.indomedia.com/intisari/2001/juli/khas terapi.htm) semakin tinggi usianya, ciri-ciri anak yang menderita low vision akan semakin nyata, misalnya:

a. Setiap membaca atau menulis, jarak mata terlalu dekat, hanya dapat membaca huruf ukuran besar

b. Di tengah matanya terlihat putih (katarak) atau kornea (bagian bening di depan mata) terlihat berkabut.

c. Mata tidak terlihat menatap lurus ke depan, sering memicingkan atau mengerutkan kening terutama di cahaya terang atau saat mencoba melihat sesuatu.

(16)

27

d. Mengeluh lebih jelas melihat sesuatu siang hari dibandingkan malam hari.

e. Acapkali mendorong bola mata dengan jari atau buku jari untuk melihat sesuatu serta sering mengeluh pusing dan mual begitu selesai mengerjakan sesuatu dari jarak dekat.

f. Pernah mengalami operasi mata dan memakai kacamata sangat tebal, tetapi masih tidak dapat melihat dengan jelas.

E. Problematika Siswa Low Vision

Berdasarkan istilah, Pius dan Barry (1996: 626) dalam Kamus Ilmiah Populer mengartikan kata problematika sebagai berbagai persoalan sulit yang dihadapi.

Dalam hal ini problematika siswa low vision merupakan berbagai persoalan sulit yang dihadapi siswa low vision akibat dari hambatan dalam kemampuan penglihatannya. Berbagai problematika yang dimaksud terkait dengan berbagai segi yang ada pada diri siswa low vision, yaitu dalam hal fungsi fisik, pembentukan konsep diri, interaksi sosial, ekonomi, dan pandangan negatif masyarakat.

1. Problematika Fungsi Fisik Siswa Low Vision

Problematika yang dialami siswa low vision dalam hal fungsi fisik terjadi pada fungsi visual pada siswa low vision yang tidak sebaik fungsi visual siswa awas lainnya. Walaupun banyak aktivitas yang menggunakan penglihatan dapat dilakukan oleh siswa low vision, namun tidak seluruh

(17)

28

aktivitas yang dapat dilakukan dengan mudah oleh siswa awas dapat dilakukan dengan mudah pula oleh siswa low vision.

Biasanya, berbagai aktivitas yang sulit dilakukan oleh siswa low vision adalah berbagai kegiatan yang membutuhkan pengamatan detail dan spesifik, terutama yang berkaitan dengan objek-objek berukuran kecil, misalnya membaca, menulis, mengamati gambar berukuran kecil, atau berbagai media pembalajaran yang membutuhkan pengamatan detail dan spesifik. Siswa low vision akan lebih mengalami kesulitan jika harus melakukan berbagai aktivitas dalam ruangan yang kurang terang, atau berbagai aktivitas yang dilakukan pada sore dan malam hari.

Problematika lain yang berkaitan dengan fungsi fisik adalah dalam hal kemampuan mobilitas. Umumnya hambatan dalam kemampuan bagi siswa low vision akan nampak jika berada dalam keadaan lingkungan yang kurang terang, atau mobilitas yang dilakukan pada sore dan malam hari. 2. Problematika Kepribadian Siswa Low Vision

Allport dalam Supratiknya (1993: 24) mennyatakan bahwa “kepribadian merupakan organisasi dinamik dalam individu atas sistem-sistem psikofisik yang yang menentukan penyesuaian dirinya yang khas terhadap lingkungan”.

Konsep diri merupakan inti dari kepribadian seseorang, konsep diri ini mempengaruhi bentuk berbagai sifat. Jika konsep diri positif, anak akan memiliki kemampuan penilaian diri yang realistis dan menumbuhkan penyesuaian yang baik, sebaliknya jika konsep diri negatif maka anak

(18)

29

akan mengembangkan perasaan tidak mamu dan rendah diri dan menumbuhkan penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk (Hurlock, 1978: 238).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri seorang anak dapat dilihat seperti pada bagan berikut ini.

Bagan 2.1

Faktor-faktor pembentuk konsep diri seorang anak Crow dan Crow (Hurlock, 1978: 248)

Tuntutan Sekolah Harapan Orang Tua Kondisi Fisik Anak Kematan g-an Biologis Masalah Keluarga Ekonomi Keluarga Konsep Diri Anak Pengaruh Media Teman Sebaya Agama Kesempat -an Sekolah Sikap Terhadap Anggota Keluarga Sikap Terhadap Teman sebaya

(19)

30

Dari bagan di atas dapat dilihat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri pada diri seorang anak diantaranya adalah harapan orang tua, sikap terhadap anggota keluarga, kondisi fisik anak, kematangan biologis, pengaruh media, kesempatan sekolah, tuntutan sekolah, agama, teman sebaya, ekonomi keluarga, masalah keluarga, dan sikap terhadap teman sebaya.

Keterbatasan dalam kemampuan penglihatan pada diri siswa low vision termasuk ke dalam faktor kondisi fisik yang menyebabkan konsep diri yang dimiliki oleh siswa low vision cenderung negatif, sehingga mereka cenderung mengembangkan sifat-sifat seperti kepercayaan diri, harga diri, dan kemampuan untuk menilai dirinya secara negatif pula, hal ini menumbuhkan rasa ragu, tidak percaya, dan penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial yang kurang baik.

Mangunsong (2002) menjelaskan bahwa bentuk kepribadian yang umum muncul pada diri low vision adalah:

a. “Pasrah” pada keadaannya; atau bahkan memanfaatkan kondisinya tersebut untuk memperoleh kesenangan bagi dirinya.

b. Mengindentifikasikan dirinya sebagai orang awas/normal (menolak keadaan/penglihatannya yang kurang)

c. Berusaha menggunakan sisa penglihatannya semaksimal mungkin dan mereorganisasikannya secara mental dan fungsional.

(20)

31

3. Problematika Psiko-sosial Siswa Low Vision

Problematika psiko-sosial siswa low vision nampak dalam kemampuan interaksi sosial yang dialami siswa low vision, yaitu dalam hal keterampilan berhubungan dengan orang lain, terutama yang berkenaan dengan kepekaan terhadap orang lain, ketepatan tindakan dalam berhubungan dengan orang lain, merasa bebas bersama orang lain, dan perlindungan diri dalam berhubungan dengan orang lain.

Glass (Widjajantin dan Hitipeuw, 1994: 207) menjelaskan bahwa bentuk reaksi psiko-sosial yang dialami oleh siswa low vision adalah sering berusaha menyesuaikan diri dengan merubah harapan, tapi karena tidak tahu bagaimana caranya seringkali berakhir dengan meningkatnya kecemasan dan frustasi. Oleh karenanya siswa low vision biasanya menggunakan tiga cara untuk menghindari kecemasan, yaitu:

a. Mereka mendapatkan informasi tentang penampilan diri dan menolak situasi-situasi tertentu yang baru atau tidak dapat diterimanya.

b. Mereka merasionalisasikan ketidaksesuaian mereka dengan memproyeksikan terhadap orang lain atau mengkompensasikan dengan keterbatasannya.

c. Mereka mengurangi atau justru sebaliknya memperluas lapangan persepsi mereka.

d. Mereka akan berusaha menjadi ahli dan mendedikasikan seluruh hidup mereka pada salah satu bidang pekerjaan atau usaha atau

(21)

32

setidaknya selalu berusaha terlibat dalam aktifitas dan tanggung jawab besar yang dianggap sesuai dengan kemampuan dirinya. 4. Problematika Pandangan Negatif Masyarakat bagi Siswa Low Vision

Hurlock (1978: 250) menjelaskan bahwa “pengaruh keluarbiasaan pada kepribadian bergantung pada dua kondisi; kegiatan yang dapat diikuti anak dan sikap orang lain yang berkenaan dengan keluarbiasaan mereka”

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengaruh keluarbiasaan pada kepribadian ditentukan pula oleh sikap dan pandangan orang lain terhadap keluarbiasaan yang dimiliki seseorang. Semakin negatif pandangan orang-orang atau masyarakat yang ada dilingkungannya, maka akan semakin menambah problematika seseorang yang memiliki keluarbiasaan.

Biasanya orang lain akan menganggap siswa low vision selalu tidak mampu atau tidak bisa melakukan berbagai aktivitas yang membutuhkan penglihatan detail dan spesifik pada objek-objek kecil, lebih negatif lagi jika orang lain menganggap bahwa siswa low vision identik dengan penyakit menular atau sesuatu yang dianggap menjijikan sehingga siswa low vision dianggap sebagai ancaman dan harus dihindari.

Jika pandangan negatif masyarakat tersebut terjadi pada siswa low vision maka hal tersebut akan menambah rangkaian problematika yang dihadapi oleh siswa low vision. Dengan adanya pandangan negatif dari masyarakat yang ada di lingkungan sekitarnya, siswa low vision akan

(22)

33

semakin kesulitan dalam upaya menemukan eksistensi dirinya serta dalam upaya mengaktualisasikan diri.

5. Problematika Ekonomi Siswa Low Vision

Problematika dalam segi ekonomi umumnya terjadi pada setiap anak berkebutuhan khusus termasuk siswa low vision. Siswa low vision secara ekonomi akan terbebani biaya pengobatan dan perawatan serta upaya untuk memperbaiki kemampuan penglihatannya.

Upaya memeriksakan dan memperbaiki kemampuan penglihatan bagi siswa low vision bisa dilakukan secara medis atau dengan menggunakan alat bantu penglihatan atau dengan kedua-duanya. Namun upaya tersebut akan membuthkan biaya yang tidak sedikit, sehingga secara ekonomi siswa low vision akan mempunyai beban tambahan.

Apalagi bagi siswa low vision yang disebabkan oleh penyakit bersipat progresif, biaya yang dibutuhkan bukan hanya sekedar pemeriksaan saja atau dalam mendapatkan alat bantu untuk memperbaiki kemampuan penglihatannya tapi juga membutuhkan biaya untuk pengobatan dan pemeriksaan berkala sehingga penyakit mata yang progresif tersebut tidak semakin mengurangi kemampuan penglihatannya.

Lebih jauh lagi problematika ekonomi siswa low vision yaitu jika kelak mereka menyelesaikan sekolah dan harus kembali kepada masyarakat, tentunya mereka membutuhkan pekerjaan sebagai sumber penghidupan. Biasanya mereka akan lebih mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan atau profesi dibandingkan dengan mereka yang awas,

(23)

34

karena profesi atau pekerjaan yang dapat dilakukan oleh mereka harus disesuaikan dengan kondisi kemampuan penglihatannya.

F. Pembelajaran Siswa Low Vision Di Sekolah Dasar Umum

Dilihat dari sudut pandang pendidikan luar biasa, tidak setiap siswa low vision membutuhkan kelas khusus, sebagian siswa low vision hanya membutuhkan program khusus atau layanan khusus tanpa kelas khusus (Hosni, 2002).

Kompleksitas kebutuhan layanan pembelajaran bagi siswa low vision menuntut adanya modifikasi proses pembelajaran bagi siswa low vision. Berikut akan dijelaskan tentang pembelajaran, pendekatan, dan bantuan bagi siswa low vision yang dapat dilakukan di sekolah umum.

1. Pembelajaran

a. Konsep Dasar Pembelajaran

Pembelajaran merupakan proses komunikasi transaksional yang bersifat timbal balik, baik antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Ibrahim dkk., 2002: 48).

Pada proses pembelajaran mencakup aktifitas belajar, mengajar, tujuan pembelajaran dan evaluasi.

Belajar merupakan serangkaian upaya untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan dan sikap serta nilai siswa, baik

(24)

35

kemampuan intelektual, sosial, afektif, maupun psikomotor (Ibrahim dan Syaodih, 1996: 35).

Secara sempit mengajar diartikan sebagai proses penyampaian pengetahuan kepada siswa. Secara lebih luas mengajar diartikan sebagai segala kegiatan menciptakan situasi agar siswa belajar (Ibrahim dan Syaodih, 1996: 42).

Tujuan pembelajaran merupakan rumusan prilaku yang telah ditetapkan sebelumnya untuk menjadi milik dan harus nampak pada diri siswa sebagai akibat dari perbuatan belajar yang telah dilakukan. Evaluasi merupakan alat ukur untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran (Ibrahim dkk., 2002: 48).

Dalam proses pembelajaran, guru menempati posisi kunci dan strategis, karena guru bertanggung jawab untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif dan menyenangkan bagi siswa sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

Dengan kata lain, dalam pembelajaran yang terjadi adalah proses sebab akibat. Guru sebagai pengajar merupakan sebab utama terjadinya proses belajar bagi siswa, meskipun tidak semua perbuatan siswa sebagai akibat guru mengajar. Siswa sebagai peserta didik merupakan subjek utama dalam proses pembelajaran di sekolah. Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran banyak tergantung pada kesiapan dan cara belajar yang dilakukan oleh

(25)

36

siswa. Konsep pembelajaran dijelaskan secara sistematis melalui bagan oleh Ibrahim dkk. (2002: 49) sebagai berikut.

Bagan 2.2

Konsep dasar pembelajaran (Ibrahim dkk., 2002: 49)

b. Mekanisme Pembelajaran

Ibrahim dkk., (2002: 49-50) menjelaskan tentang mekanisme pembelajaran yang harus dilakukan dibagi menjadi empat tahap. Keempat tahap yang dimaksud yaitu; tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap evaluasi, dan tahap tindak lanjut.

MENGAJAR Guru BELAJAR Siswa Menyampaikan Memotivasi Membina Memonitor Mengevaluasi Merehabilitasi TUJUAN Universal Nasional Institusional Kurikuler Instruksional

BENTUK KEGIATAN BELAJAR

SUMBER-MEDIA-BAHAN AJAR PERUBAHAN PRILAKU

Kognitif Afektif Psikomotor

HUBUNGAN SEBAB AKIBAT

(26)

37 1) Tahap Persiapan

Pada tahap persiapan pembelajaran, guru dituntut untuk dapat melakukan berbagai persiapan dan penguasaan maksimal. Seorang guru profesional akan menyiapkan pembelajaran yang setidaknya meliputi; Tujuan, kegiatan belajar siswa, metode, media, sumber, dan evaluasi.

2) Tahap Pelaksanaan

Pada tahap pelaksanaan pembelajaran, pengetahuan, kemampuan dan keterampilan guru sangat penting bagi seorang guru untuk memandu kegiatan belajar siswa agar dinamika pembelajaran menjadi dinamis. Walaupun demikian, keberhasilan banyak ditentukan oleh sikap dan cara belajar siswa, baik secara perorangan maupun kelompok.

Tersedianya media pembelajaran yang sesuai akan sangat menunjang keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran. 3) Tahap Evaluasi

Tahap evaluasi merupakan alat yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan proses belajar siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Di samping itu, hasil evaluasi juga dapat digunakan untuk mengetahui berbagai kekurangan yang harus diperbaiki dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan.

(27)

38

Evaluasi yang baik adalah evaluasi yang dapat dijadikan sebagai alat ukur. Oleh karenanya, evaluasi harus tepat (valid), dapat dipercaya (reliable), dan memadai (adequate).

4) Tahap Tindak Lanjut

Tindak lanjut dari proses pembelajaran dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a) Promosi

Promosi adalah penetapan untuk melangkah lebih lanjut atas keberhasilan belajar siswa.

b) Rehabilitasi

Rehabilitasi adalah perbaikan atas kekurangan yang telah terjadi dalam proses pembelajaran, khususnya apabila terjadi tingkat keberhasilan siswa yang kurang memadai.

c. Komponen Pembelajaran

Komponen pembelajaran akan memberikan pengaruh yang sangat besar dan sangat menentukan tingkat keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran. Ibrahim dkk., (2002: 51) menyebutkan dan menjelaskan berbagai komponen pembelajaran, yaitu:

1) Raw input

Raw input merupakan kondisi dan keberadaan siswa yang mengikuti kegiatan pembelajaran. Beberapa hal yang terkait dengan raw input diantaranya; kapasitas dasar siswa, bakat

(28)

39

khusus, motivasi, minat, kematangan dan kesiapan, sikap, dan kebiasaan.

2) Instrumental input

Instrumental input merupakan sarana dan prasarana yang terkait dengan proses pembelajaran, dalam hal ini terkait dengan kualitas, kelengkapan, efektifitas dan penggunaan. Instrumental input terdiri dari; guru, metode dan teknik, media, bahan dan sumber belajar, program, dan lain-lain.

3) Environmental input

Situasi dan keberadaan lingkungan baik secara fisik, sosial, maupun budaya dimana kegiatan pembelajaran dilakukan akan ikut berpengaruh dalam proses mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.

4) Expected input

Berdasarkan rumusan normatif yang harus dimiliki oleh siswa setelah mengikuti proses pembelajaran, maka expected output ini perlu dijabarkan dalam rumusan yang lebih operasioanal, baik yang menggambarkan aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor.

d. Suasana Pembelajaran

Suasana pembelajaran akan berjalan dengan optimal jika guru sebagai pemandu proses pembelajaran memiliki kemampuan dan

(29)

40

keterampilan untuk dapat menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan.

Ibrahim dkk., (2002: 51-52) menyebutkan beberapa hal utama yang perlu dilakukan oleh guru dalam menyampaikan bahan ajar dan memelihara suasana pembelajaran, diantaranya yaitu:

1) Kejelasan guru dalam menyampaikan, menginformasikan, dan menjabarkan materi atau bahan ajar yang disesuaikan dengan tingkat kematangan dan daya serap siswa.

2) Penggunaan bahasa dan kosakata yang sederhana dan kalimat yang benar. Kejelasan, intonasi, dan penyampaian yang atraktif akan menumbuhkan antusiasme siswa untuk memperhatiakn dan menyimak materi yang disampaikan.

3) Tetap menjaga dan mengarahkan pembahasan materi pelajaran pada fokus materi pelajaran yang akan disampaikan.

4) Dapat menghormati dan menghargai perbedaan dan keragaman pandangan dan kemampuan siswa. Perbedaan yang ada akan menjadi modal utama untuk menjaga kedinamisan proses pembelajaran.

5) Mampu menguasai dan mengendalikan kegiatan dan suasana pembelajaran. Guru harus bisa menghindari proses pembelajaran yang monoton, tidak terarah, atau dominasi dari siswa-siswa tertentu.

(30)

41 2. Pembelajaran Bagi Siswa Low Vision

Pembelajaran bagi siswa low vision akan jauh lebih baik jika pembelajaran tersebut dilakukan dengan “mengefisiensikan penggunaan penglihatan” (eficiency in visual functioning) seperti dijelaskan Corn (1986: 99) “student with low vision may learn to maximize their use of vision through a variety of approaches and instruksional system”. Lebih lanjut Corn menjelaskan bahwa “Eficiency in visual functioning refers to the ability to use vision to perform desired task”. Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa siswa low vision dimungkinkan untuk belajar dengan berbagai pendekatan yang memaksimalkan penggunaan kemampuan penglihatannya. Efisiensi dalam penggunaan penglihatan disesuaikan dengan kemampuan penglihatan untuk mengerjakan tugas yang diinginkan.

Pendekatan pembelajaran dengan menggunakan penglihatan bagi siswa low vision didasarkan pada model dimensi penggunaan penglihatan dari Corn (Corn’s model of visual functioning) seperti tampak pada gambar berikut ini:

(31)

42

Gambar 2.1

Model dimensi penggunaan penglihatan dari Corn (Corn, 1986: 100)

Dimensi pertama yaitu kemampuan yang dimiliki Individu (stored and available individuality) yang terdiri dari aspek-aspek kemampuan; kognitif (cognition), Integrasi perkembangan sensori (sensory development integration), persepsi (perception), keadaan psikologis (psychological makeup), dan keadaan fisik (physical makeup).

Dimensi ke dua adalah kemampuan penglihatan (visual ability) yang terdiri dari aspek-aspek kemampuan; ketajaman (acuity), lantang pandang (visual fields), motilitas (motility), fungsi-fungsi pada otak (brain functions), dan persepsi cahaya dan warna (light & color perception).

(32)

43

Dimensi yang ke tiga adalah pengaruh lingkungan (environment cues) yang terdiri dari; warna (color), kekontrasan (contrast), waktu (time), ruang (space), dan pencahayaan (illumination).

Berdasarkan model dimensi penggunaan penglihatan pada siswa low vision dari Corn seperti yang telah dijelaskan di atas, Corn (1986: 101-102) menyampaikan tiga pendekatan pembelajaran yang dapat dilakukan bagi siswa low vision dengan mengefisiensikan penggunaan penglihatan, yaitu:

a. Program stimulasi penglihatan (vision stimulation programs) Program ini digunakan untuk menstimulasi siswa low vision yang memiliki sisa penglihatan sangat minim dan tidak berkembang. Program stimulasi penglihatan bertujuan untuk menstimulasi sisa penglihatan siswa low vision agar dapat terangsang, agar siswa low vision sadar bahwa walaupun sisa penglihatannya sangat minim namun masih dapat digunakan.

b. Latihan efisiensi penglihatan (visual eficiency training)

Latihan efisiensi penglihatan bertujuan untuk melatih siswa low vision agar dapat memfungsikan penglihatannya dalam situasi pendidikan dan interaksi dengan lingkungan. Latihan efisiensi penglihatan mengarahkan siswa low vision untuk belajar menentukan pola dari stimulus yang diterimanya, membedakan garis besar dan isi dari objek yang akhirnya ditransfer dalam bentuk gambar dua dimensi dan simbol.

(33)

44

c. Pengajaran penggunaan sisa penglihatan (vision utilitazation intruction)

Pengajaran dengan penggunaan sisa penglihatan adalah sebuah upaya pengajaran dengan memberikan bantuan atau koreksi, sehingga proses pembelajaran bagi siswa low vision dapat memaksimalkan penglihatan yang dimilikinya.

3. Bantuan Bagi Siswa Low Vision

Bantuan bagi siswa low vison dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu bantuan optikal dan bantuan nonoptikal.

a. Bantuan Optikal

Bantuan optikal adalah dengan menempatkan alat bantu lensa antara mata dengan objek yang dilihat. Misalnya dengan kacamata, kaca pembesar, atau teleskop, atau dengan lensa alat bantu yang bersifat elektronik, misalnya Closed Circuit Television (CCTVs). 1) Kacamata dan kaca pembesar

Kaca mata digunakan untuk membantu memperbaiki kemampuan penglihatan siswa low vision baik dari segi kemampuan ketajaman penglihatannya maupun segi lantang pandang.

Untuk membantu siswa low vision yang termasuk kelainan myopia, maka digunakan lensa minus, untuk siswa low vision dengan kelainan hypermetropia maka digunakan lensa plus. Bagi siswa untuk kelainan lantang pandang, maka digunakan lensa

(34)

45

sylindris. Atau jika mengalami kombinasi dua kelainan dari tiga jenis kelainan tersebut, maka digunakan lensa kombinasi pula.

2) Teleskop

Teleskop digunakan bagi siswa low vision yang tidak dapat terbantu dengan kaca mata atau kaca pembesar. Teleskop mengahasilkan objek yang dapat dilihat jauh lebih besar dan lebih detail daripada hanya sekedar dengan bantuan kaca mata atau kaca pembesar.

3) CCTVs

CCTVs berfungsi untuk memperbesar objek melalui transfer objek ke monitor (viewscan) dengan ukuran yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan melalui fungsi fiberoptics. CCTs juga mempunyai fungsi coloreader atau fungsi menampilkan warna pada tulisan sesuai warna tulisan aslinya.

b. Bantuan Nonoptikal

Bantuan nonoptikal berupa modifikasi lingkungan belajar dimana proses pembelajaran bagi siswa low vision dilaksanakan. Modifikasi lingkungan belajar juga bisa dilakukan dengan menyediakan sarana belajar dan media pembelajaran yang dimodifikasi sehingga sesuai dengan kebutuhan siswa low vision dalam proses belajar mengajar. Modifikasi lingkungan dapat dilakukan dengan memodifikasi warna, pencahayaan, kekontrasan, waktu, dan hubungan ruang. Sedangkan penyediaan sarana belajar

(35)

46

yang dimodifikasi diantaranya adalah penyangga buku (reading stand) yang ketinggiannya dan jaraknya dapat disesuaikan dengan kebutuhan siswa low vision. Modifikasi media pembelajaran adalah dengan memperhatikan kesesuaian kekontrasan warna dan ukuran media pembelajaran yang digunakan.

1) Kekontrasan

Pada aspek kekontrasan, modifikasi yang dilakukan pada siswa low vision harus memperhatikan jenis warna, determinasi warna, dan intensitas dari warna itu sendiri. Kekontrasan yang baik akan didapat dengan menempatkan warna yang benar-benar berbeda, misalnya hitam di atas putih, merah atau biru di atas kuning jauh lebih baik daripada misalnya menempatkan biru tua di atas biru muda atau hijau. Intensitas warna juga perlu diperhatikan, dalam hal ini adalah kecerahan dari warna yang digunakan, warna yang cerah akan jauh lebih membantu bagi siswa low vision. Misalnya merah, biru, hijau, dan kuning daripada hanya sekedar hitam, putih, dan warna-warna kelabu lainnya.

2) Pencahayaan

Dalam memodifikasi pencahayaan bagi siswa low vision ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu intensitas dan penempatan sumber cahaya.

(36)

47

Intensitas cahaya disesuaikan dengan kebutuhan siswa low

vision. Siswa low vision yang tingkat ketajaman

penglihatannya lebih ringan maka cahaya tidak harus sangat terang, sebaliknya bagi siswa low vision dengan ketajaman penglihatan lebih berat, maka cahaya yang lebih terang sangat dibutuhkan.

Penempatan sumber cahaya bertujuan untuk mengatur arah datang cahaya, usahakan agar sumber cahaya berada di belakang siswa low vision dan objek yang harus dilihat, sehingga arah datang cahaya tidak menyebabkan rasa silau bagi siswa low vision.

3) Ukuran

Suatu objek dapat dilihat oleh siswa low vision jika ukuran objek tersebut sesuai dengan ketajaman penglihatannya. Bantuan optikal sendiri di samping memperjelas objek juga bertujuan untuk memperbesar ukuran objek.

Jika memungkinkan, ukuran objek yang harus dilihat oleh siswa low vision baik media pembelajaran maupun ukuran tulisan harus lebih besar dari ukurannormal.

4) Hubungan ruang

Hubungan ruang adalah dengan memperhatikan jarak yang dibutuhkan oleh seorang siswa low vision untuk dapat melihat suatu objek dengan jelas. Jarak yang dimaksud adalah jarak

(37)

48

antara tempat siswa low vision berada dengan tempat objek yang akan dilihat. Jarak yang baik dan bisa membantu siswa low vision adalah jarak yang sesuai dengan kemampuan titik fiksasi pada penglihatan siswa low vision itu sendiri. Berikan jarak sedekat mungkin jika itu memang dibutuhkan oleh siswa low vision.

Pengaturan jarak baca untuk membaca buku bagi siswa low vision juga dapat dimodifikasi dengan menggunakan sarana belajar tertentu, misalnya penyangga buku yang dapat diatur ketinggiannya (reading stand), sehingga posisi duduk siswa low vision tetap ideal tanpa harus duduk dengan posisi membungkuk di atas meja.

5) Waktu

Hambatan dalam penglihatan membuat siswa low vision membutuhkan waktu yang lebih banyak dalam menyelesaikan tugas-tugas tertentu, terutama tugas-tugas yang berkaitan dengan pengamatan detail dan spesifik pada objek yang dilihat, sehingga waktu yang diberikan bagi siswa low vision dalam mengerjakan suatu tugas harus lebih banyak dibandingkan dengan waktu yang diberikan pada siswa biasa lainnya.

Referensi

Dokumen terkait

• TIDAK DIPERLUKAN URAIAN MATERI DENGAN KALIMAT PANJANG LEBAR.. • DITUNTUT KEMAMPUAN KREATIF DALAM MEMADUKAN TEKS, GAMBAR,

Elektron dari katoda yang bergerak dengan percepatan yang cukup tinggi, dapat mengenai elektron dari atom target (anoda) sehingga menyebabkan elektron tereksitasi dari atom,

Djohar (2004), “pembelajaran sains hendaknya mengarah pada 5 pencapaian kompetensi yaitu; kompetensi metodologis, konseptual, pemahaman konsep, aplikasi dan nilai”..

Kultivar yang pal ing peka terhadap tungau ini adalah keprok manis singkarak, dicirikan dengan umur nimfa tungau pal ing pendek (4,1 hari), umur imago pal ing lama (15,7

Pada indikator kedisiplinan dalam mengajar hasil TCR secara keseluruhan sebeasar 85% dan rata- rata 4,25 dengan kriteria baik, selanjutnya pada indikator

Dari data tersebut, diketahui bahwa data – data tersebut setelah diuji anava tidak berbeda bermakna sehingga dipilih salah satu dari data tersebut yaitu data yang

Adapun tetang perbedaan konsep kurban dalam perspektif agama Islam ataupun Hindu baik dalam asal-usul, dasar, hukum, bentuk, kaidah dan tujuan serta hikmahnya

membangun persepsi konsumen terhadap suatu produk. Brand Equity sendiri akan memberikan alasan untuk para konsumenya untuk melakukan pembelian dengan berbagai