• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEANEKARAGAMAN PAKU-PAKUAN TERESTRIAL DI TAMAN WISATA ALAM DELENG LANCUK KABUPATEN KARO T E S I S. Oleh DARYANTI /BIO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEANEKARAGAMAN PAKU-PAKUAN TERESTRIAL DI TAMAN WISATA ALAM DELENG LANCUK KABUPATEN KARO T E S I S. Oleh DARYANTI /BIO"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN PAKU-PAKUAN TERESTRIAL

DI TAMAN WISATA ALAM DELENG LANCUK

KABUPATEN KARO

T E S I S

Oleh

DARYANTI

067030005/BIO

SE K O L A H P A SCA S A R JANA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

Daryanti : Keanekaragaman Paku-Pakuan Terestrial Di Taman Wisata Alam Deleng Lancuk Kabuapten Karo, 2009 USU Repository © 2008

(2)

KEANEKARAGAMAN PAKU-PAKUAN TERESTRIAL

DI TAMAN WISATA ALAM DELENG LANCUK

KABUPATEN KARO

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Biologi

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

DARYANTI

067030005/BIO

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

(3)

Judul Tesis : KEANEKARAGAMAN PAKU-PAKUAN TERESTRIAL DI TAMAN WISATA ALAM DELENG LANCUK KABUPATEN KARO

Nama Mahasiswa : Daryanti Nomor Pokok : 067030005 Program Studi : Biologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS) Ketua

(Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc) Anggota

Ketua Program Studi,

(Dr. Dwi Suryanto, M.Sc)

Direktur,

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 12 Februari 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS

Anggota : 1. Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc 2. Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc, Ph.D

(5)

PERNYATAAN

KEANEKARAGAMAN PAKU-PAKUAN TERESTRIAL

DI TAMAN WISATA ALAM DELENG LANCUK

KABUPATEN KARO

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Februari 2009

(6)

ABSTRAK

Penelitian Keanekaragaman Paku-pakuan Terestrial di Taman Wisata Alam Deleng Lancuk, telah dilaksanakan pada bulan Januari 2008 – Maret 2008. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive sampling. Pengamatan dan pengambilan koleksi tumbuhan paku dilakukan dengan mengunakan metode kwadrat. Penelitian dibagi menjadi lima, berdasarkan jumlah bukit, yaitu bukit I, II, III, IV dan bukit V, yang mana kelima bukit ini berada pada ketinggian 1300 – 1600 m dpl. Areal pengamatan seluas 1,125 ha (3 x 3 x 25 x 5). Pada setiap bukit yang diamati, dibuat 25 plot dengan ukuran 3 x 3 dan jarak antara plot yang satu dengan plot yang lain adalah 25 m, total plot seluruhnya adalah 125 plot. Dari hasil penelitian diperoleh 27 jenis paku-pakuan yang terdiri dari 13 famili, dengan jumlah individu 2.235 Individu. Species yang mendominasi bukit I, II, III dan IV adalah Selaginella wildonewii dengan INP berturut-turut 54,84 %, 71,64 %, 82,26 % dan 50,24%, Sedangkan species yang mendominasi bukit V adalah Cyathea bornensis dengan INP 77,52 %. Kata kunci: Keanekaragaman Paku-pakuan Terestrial di Taman Wisata Alam Deleng

(7)

ABSTRACT

The research of diversity of terrestrial fern at the Natural Tourism Park of Deleng Lancuk has been carried out with in January to March 2008. The location of the research was determined by purposive sampling. The observation and collection of fern was done using quadratic method. The research was divided into five sections based on number of hills, hill I, II, III, IV and V in which all the five hills are located at the altitude ranging 1300 to 1600 above sea level. The observation area was of 1,125 Has (3 x 3 x 25 x 5 m). In each observed hill, 25 plots were made of 3 x 3 ms in size and the inter-plot spacing was of 25ms, therefore, the total plot was of 27 types of fern consisting of 13 families with the total 2.235 individual species. The species dominated the hills I, II,III and IV was selaginella wildenowii with the INP of 54.84%, 71.64%, 82.26% and 50.24%, respectively, whereas the species dominated the hill V was Cyathea bornensis with the INP of 77.52%.

(8)

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulilah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyeleseikan penelitian yang berjudul “Keanekaragaman Paku-pakuan Terestrial di Taman Wisata Alam Deleng Lancuk Kabupaten Karo”. Dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Magister Biologi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.Si sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Prof. Dr. Ing Ternala Alexsander Barus, M.Sc sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan selama penulis melaksanakan penelitian sampai selesainya penyusunan hasil penelitian ini.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc, Ph.D dan Prof. Dr. Sengli J. Damanik sebagai Dosen Penguji yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan penyusunan hasil penelitian ini.

2. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc sebagai Ketua Program Studi Magister Biologi.

3. T. Alief Aththorick, M.Si yang telah banyak memberikan bantuan dan pemikiran mulai dari awal survei sampai penulis menyelesaikan hasil penelitian ini.

(9)

4. Gubernur Provinsi Sumatera Utara dan Kepala Bapeda Sumatera Utara yang telah memberikan beasiswa S-2 kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi S-2.

5. Kepada Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam Sumatera Utara yang telah memberikan izin lokasi penelitian.

6. Kepala SMAN 11 Medan (Drs. Ramli), yang telah memberikan izin dinas dan dukungan bagi penulis untuk dapat melakukan penelitian ini.

7. Supraba Ikasari, S.Pd. S,Si, yang telah memberikan dukungannya.

8. Suami (Iman Tauhid), Ayah (Warjan) ibu (Sudarsih) mertua (Suryani) serta anak-anak tercinta (Riki dan Rizki) yang telah memberikan doa dan dukungannya. 9. Teman-teman dalam tim penelitian dan adik-adik mahasiswa yang telah

meluangkan waktunya menemani penulis sejak awal survei sampai saat penelitian, khususnya Nurmaini, S.Si, Marlia S,Si, Eka Rahmadani, S,Si, Mahya, Yurik, Ciko, Misran, Rahmat, Boy, Kabul, Verta, Idom dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu

Akhir kata semoga Allah selalu memberikan rahmat-Nya dalam kita mengejar ilmu dan semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.

Terima kasih.

Medan, Februari 2009 Penulis

(10)

RIWAYAT HIDUP

DARYANTI dilahirkan pada tanggal 8 Mei 1967 di Sukajadi Bandung Provinsi Jawa Barat. Anak dari pasangan Ayahanda Wardjan dan Ibu Sudarsih, sebagai anak pertama dari empat bersaudara.

Tahun 1980 penulis lulus dari SD Negeri Kesatrian IV Cimahi, tahun 1983 lulus dari SMP Negeri 1 Maos, Kabupaten Cilacap dan tahun 1986 lulus dari SMA Swasta Indonesia Raya Bandung. Pada tahun 1986 memasuki Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung jurusan Biologi D-3 Kependidikan dan lulus pada tahun 1990. Pada tahun 1991 diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil di SMAN 1 Cileunyi, Kabupaten Bandung. Tahun 1995 pindah tugas ke SMAN 1 Cimahi. Pada tahun 2000 memasuki Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia (IKIP) Bandung, dan lulus tahun 2001. Pada tahun 2004 pindah tugas ke SMAN 11 Medan dan bertugas di sekolah tersebut hingga sekarang. Tahun 2006, mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan Program Magister (S2) di Program Studi Biologi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan beasiswa dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.

Menikah pada tanggal 3 Juni 1993 dengan Serma Iman Tauhid anak dari pasangan Bapak Slamet Soeripno (alm) dan Ibu Suryani. Telah dikaruniai 2 orang anak 1 putra dan 1 putri, yaitu:

1. Riky Ramadhani S. 2. Rizki Dwi Hafsari.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix DAFTAR LAMPIRAN ... xi BAB I : PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Permasalahan ... 3 1.3. Tujuan Penelitian ... 3 1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Ciri-ciri Umum Paku-pakuan ... 4

2.2. Klasifikasi Paku-pakuan ... 5

2.3. Daur Hidup Tumbuhan Paku ... 9

2.4. Penyebaran Tumbuhan Paku pada Hutan Pegunungan... 11

2.5. Manfaat Tumbuhan Paku ... 13

BAB III : DESKRIPSI AREA ... 15

3.1. Letak dan Luas Area ... 15

3.2. Topografi... 15

3.3. Tipe Iklim... 16

3.4. Vegetasi... 16

BAB IV : BAHAN DAN METODE ... 17

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 17

4.2. Pelaksanaan Penelitian... 17

4.2.1. Di Lapangan ... 17

4.2.2 Di Laboratorium ... 18

(12)

BAB V : HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

5.1 Keanekaragaman Jenis Paku-pakuan ... 21

5.2 Komposisi Paku-pakuan ... 26

5.3. Indeks Nilai Penting Paku-pakuan Terestrial... 36

5.4. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) pada Kelima Bukit Penelitian... 42

5.5. Indeks Kesamaan ... 44

5.6. Analisis Korelasi ... 46

BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

6.1. Kesimpulan ... 75

6.2 Saran ... 75

(13)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

5.1. Jenis Paku-pakuan yang Diperoleh pada Kelima Bukit Penelitian

di Taman Wisata Alam Deleng Lancuk ... 22

5.2. Komposisi Paku-pakuan pada Bukit I ... 26

5.3. Komposisi Paku-pakuan pada Bukit II... 28

5.4. Komposisi Jenis Paku-pakuan pada Bukit III... 30

5.5. Komposisi Paku-pakuan pada Bukit IV ... 32

5.6. Komposisi Jenis Paku-pakuan di Bukit V ... 34

5.7. Indeks Nilai Penting Paku-pakuan Terestrial pada Kelima Bukit Penelitian ... 36

5.8. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) pada Kelima Bukit Penelitian... 42

5.9. Indeks Similaritas (IS) Paku-pakuan pada Kelima Bukit Penelitian.. 44

5.10 Nilai Analisis Korelasi Pearson dengan Metode Komputerisasi SPSS Ver. 11.00 ... 46

(14)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1. Skema Metagenesis Paku Homospora... 6

2.2. Skema Metagenesis Paku Heterospora... 7

2.3. Metagenesis Paku Peralihan ... 8

2.4. Daur Hidup Tumbuhan Paku... 10

5.1 Famili dengan Jumlah Jenis Terbesar... 23

5.2. Nilai Dominasi Tertinggi pada Kelima Bukit Penelitian... 24

5.3 Komposisi Jenis Paku-pakuan Terestrial Terbesar pada Bukit I... 27

5.4. Komposisi Jenis Paku-pakuan Terbesar pada Bukit II ... 29

5.5 Komposisi Jenis Paku-pakuan Terestrial Terbesar pada Bukit III ... 31

5.6 Komposisi Jenis Paku-pakuan Terestrial Terbesar pada Bukit IV .... 33

5.7. Komposisi Jenis Paku-pakuan Terbesar pada Bukit V... 35

5.8 Angiopteris angustifolia Persl ... 48

5.9 Athyrium dilatatum (Bl.) milde ... 49

5.10 Athyrium sp... 50

5.11 Asplenium pellucidum Lam ... 51

5.12 Asplenium Phyllitidis Don ... 52

5.13 Christella siamensis (Tagawa & Iwatsuki) Holtt ... 53

(15)

5.15 Cyclosorus interuptus (Willd) Ching ... 55

5.16 Colysis macrophylla (Bl.) Presl... 56

5.17 Davalia sp... 57

5.18 Dicranopteris curranii Copel ... 58

5.19 Didymochlaena truncatula Sw. J. Sm ... 59

5.20 Dipteris conjugata Reinw... 60

5.21 Dryopteris polita Rosenst ... 61

5.22 Diplazium pallidum Bl... 62

5.23 Diplazium riparium Holtt ... 63

5.24 Lastreopsis wurunuran (Domin) ... 64

5.25 Leptochilus sp ... 65

5.26 Microsorum heterocarpum (Bl.) Ching... 66

5.27 Nephrolepis dicksonioides Christ ... 67

5.28 Oleandra pistillaris (Sw.) C. Chr ... 68

5.29 Daun Steril... 69

5.30 Daun Fertil... 69

5.31 Phenomeris sinensis ... 70

5.32 Phymatosorus longissima (BL.) Pichi. Serm... 71

5.33 Selaginella willdenowii (Desv) Backer ... 72

5.34 Selaginella sp2... 73

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

A. Peta Lokasi Penelitian... 78

B. Jalur Penelitian Kawasan Taman Wisata Alam Deleng Lancuk ... 79

C. Plot Penelitian ... 81

D. Nilai KM, KR, FM, FR, INP Paku-Pakuan Terestrial di Taman Wisata Alam Deleng Lancuk... 86

E. Data Faktor Fisik Di TWA Deleng Lancuk... 89

F. Nilai H’ dan E... 90

G. Perhitungan Nilai KM, KR, FM, INP, H’, E dan IS... 93

H. Analisa Korelasi Pearson Dengan Metode Komputerisasi SPSS Ver. 11.00 ... 96

I. Hasil Identifikasi ... 97

J. Hasil Identifikasi Spesimen ... 98

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Tumbuhan paku merupakan salah satu kelompok tumbuhan yang tertua yang masih dapat dijumpai di daratan. Diduga tumbuhan paku merupakan tumbuhan berkormus tertua yang menghuni daratan bumi. Tumbuhan berkormus adalah tumbuhan yang memiliki batang, akar & daun yang sebenarnya. Artinya batang, akar dan daunnya sudah memiliki pembuluh angkut yaitu xylem & floem.

Cara tumbuh paku-pakuan amat heterogen, baik ditinjau dari segi habitus maupun dari cara hidupnya. Ada jenis paku-pakuan yang kecil dengan daun yang kecil dan struktur yang masih sangat sederhana, ada pula yang besar dengan daun mencapai ukuran panjang sampai 2 meter atau lebih. Dari cara hidupnya tumbuhan paku ada yang hidup di air (tumbuhan hidrofit), hidup di tempat lembab (higrofit), hidup menempel pada tumbuhan lain (epifit) dan ada yang hidup pada sisa-sisa tumbuhan lain/sampah-sampah (tumbuhan saprofit).

Diantara kelompok tumbuh-tumbuhan di Indonesia yang mempunyai banyak jenis adalah tumbuhan paku. Di muka bumi ini tumbuh sekitar 10.000 jenis paku. Dari jumlah tersebut, kawasan Malesia yang terdiri sebagian besar atas kepulauan Indonesia, diperkirakan memiliki tidak kurang dari 1.300 jenis (Sastrapraja, 1980).

(18)

Paku menyukai daerah yang lembab, dapat hidup di tanah, atau menumpang pada jenis-jenis pohon seperti aren, kihujan dan cemara, juga dipelihara secara ekstensif di kebun-kebun dan rumah kaca karena daunnya yang sangat menarik. Kebanyakan paku-pakuan memiliki perawakan yang khas, sehingga tidak mudah keliru dengan macam tumbuhan lain.

Sebagian kekhasan itu adalah daun yang masih muda bergelung, yang akan membuka jika dewasa, ciri yang hampir unik ini disebut vernasi bergelung, sebagai akibat lebih lambatnya pertumbuhan permukaan daun sebelah atas dari pada sebelah bawah pada perkembangan awalnya (Loveless, 1989).

Melihat banyaknya variasi-variasi paku-pakuan yang dapat hidup di daerah tropik dan sebagian paku-pakuan dikembangkan sebagai tanaman hias serta ada yang dapat digunakan sebagai tanaman obat, sehingga penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Keanekaragaman Paku-pakuan Terestrial di Kawasan Taman Wisata Alam Deleng Lancuk Kabupaten Karo”.

Hutan Wisata Alam Deleng Lancuk mempuyai luas 435 ha, termasuk Danau Lau kawar yang berada pada ketinggian antara 1300 sampai 1600 meter di atas permukaan laut (dpl) diperkirakan memiliki jenis-jenis paku pada bukit tertentu. Namun sejauh ini data mengenai keberadaan paku-pakuan di lima bukit belum pernah dilaporkan, maka berdasarkan hal itu perlu dilakukan penelitian tentang keanekaragaman paku-pakuan di Kawasan Taman Wisata Alam Deleng Lancuk

(19)

1.2. Permasalahan

Paku-pakuan merupakan jenis tumbuhan yang bermanfaat sebagai bahan makanan, tanaman hias dan untuk tanaman obat. Di Taman Wisata Alam Deleng Lancuk, banyak ditemukan jenis paku-pakuan, namun demikian masih belum ada informasi bagaimana keanekaragaman paku-pakuan di Taman Wisata Alam Deleng Lancuk.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman paku-pakuan terestrial di Kawasan Taman Wisata Alam Deleng Lancuk, Kabupaten Karo.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan informasi ilmiah mengenai keanekaragaman paku-pakuan di Taman Wisata Alam Deleng Lancuk Kabupaten Karo Sumatera Utara dan sebagai masukan bagi peneliti, pemerintah, instansi atau lembaga terkait yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai tumbuhan paku-pakuan dengan harapan paku-pakuan dapat terjaga kelestariannya.

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ciri-ciri Umum Paku-pakuan

Tumbuhan paku-pakuan (Pteridophyta) merupakan satu devisi tumbuhan yang warganya telah jelas memiliki kormus, artinya tubuhnya dengan nyata dapat dibedakan dalam tiga bagian pokok yaitu akar, batang dan daun. Namun demikian, pada tumbuhan paku belum dihasilkan biji, alat perkembangbiakan tumbuhan paku-pakuan yang utama adalah berupa spora (Tjitrosoepomo, 1989). Tumbuhan paku umumnya dicirikan oleh pertumbuhan pucuknya yang melingkar. Di samping itu pada permukaan bawahnya ada bintik-bintik yang kadang-kadang tumbuh teratur dalam barisan, menggerombol ataupun tersebar. Masing-masing bintik itu adalah kotak spora yang dikenal dengan sporangium (Sastrapraja et al, 1980).

Perkembangbiakan paku-pakuan dapat secara kawin dan tak kawin dan secara umum mengalami metagenesis/pergiliran keturunan. Daur hidupnya secara umum dimulai dengan perkecambahan. Spora membentuk protalium yang merupakan gametofit. Umur dari protalium sangat singkat, bahkan pada beberapa species sukar didapatkan. Protalium merupakan suatu bentuk tubuh tumbuhan yang hanya satu lapis sel, berwarna hijau. Protalium ini dalam waktu singkat berkembang lebih sempurna dari pada anteridium. Zigot yang terjadi akibat pembuahan sel telur yang dihasilkan

(21)

arkegonium dan anteridium menghasilkan spermatozoid akan berkembang menjadi sporofit (Irianto, 1994 dalam Harianti 2000).

Menurut Sastrapraja (1979) paku-pakuan kebanyakan terdiri atas rerumputan, jarang berupa semak atau pohon, menyukai tempat-tempat yang lembab (hidrofit), di hutan-hutan tropis dan subtropis, di tepi pantai (paku laut) sampai ke lereng-lereng gunung bahkan ada yang hidup di sekitar kawah-kawah (paku kawah).

2.2. Klasifikasi Paku-pakuan

Dalam taksonomi, menurut Tjitrosoepomo (1989) tumbuhan paku termasuk kedalam Divisio pteridophyta yang terdiri atas 4 kelas termasuk yang sudah punah, yaitu:

1. Kelas Psilophynae (Paku Purba)

Contoh: Rhynia mayor, Psilotum nodum, P. triquetrum. 2. Kelas Lycopodiinae (Paku Kawat atau Paku Rambat)

Contoh: Lycopodium cernuum, L. clavatum, Selaginella (paku rane), S. caudata,

S. plana dan S. willdenowii.

3. Kelas Equisetinae (Paku Ekor Kuda)

Contoh: Equisetum debile, E. ramosissimum, Hyenia legans, terdapat dan masih hidup di Indonesia, E. arvens, E. pretense (di Eropa).

4. Kelas Filicinae (Paku Sejati)

Filicinae terbagi atas tiga sub kelas, yaitu: a. Eusporanggiatae

(22)

Contoh: Botrychium ternatum, Angiopteris evecta, Maratia frakxinea,

Helminthos zeylanica.

b. Filices/Leptosporagiatae

Contoh: Pteris ensiformis, Adiantum cuneatum, Dryopteris rusfescent,

Polypodium trilobum.

c. Hydropterides (Paku Air)

Contoh: Salvinia natans, Azolla piñata, Marsilea crenata, Regnellidium

diphylum.

Berdasarkan jenis spora yang dihasilkan, menurut Sudjadi et.al (2004) tumbuhan paku dapat dibagi memjadi tiga golongan, yaitu:

1. Paku homospor/isospor yaitu paku-pakuan yang menghasilkan satu jenis spora saja misalnya paku kawat (Licopodium sp), seperti tampak pada skema Gambar 2.1 sebagai berikut.

Spora(n)

Protalium(n)

Anteridium (n) Arkegonium Sperma Sel telur

Zigot(2n)

Tumbuhan paku Tumbuhan paku dewasa

(23)

2. Paku heterospor, yaitu paku yang menghasilkan dua jenis spora, misalnya:

a. Mikrospora yang kecil berkelamin jantan dan dihasilkan dalam mikrosporagium. Microsporangium akan tumbuh menjadi mikroprotalium atau protalium jantan. Padanya terdapat anteridium yang akan menghasilkan spermatozoid.

b. Makrospora yang besar berkelamin betina, mengandung banyak makanan cadangan dibentuk di dalam macrosporangium atau megasporangium dan pada waktu perkecambahan akan tumbuh menjadi protalium yang agak besar yang menpunyai arkegonium. seperti tampak pada skema Gambar 2.2 sebagai berikut.

Mikrospora Makrospora

Mikroprotalium Makroprotalium

Anteridium Arkegonium

Spermatozoid Sel telur

Zigot Tumbuhan paku Mikrosporofil Makrosporofil Mikrosporangium Makrosporangium

Sel induk mikrospora Sel induk makrospora

Mikrospora Makrospora

(24)

3. Paku peralihan antara homospora dan heterospor

Paku peralihan merupakan kelompok tumbuhan paku yang dapat menghasilkan spora dengan bentuk dan ukuran sama. Akan tetapi, sebagian spora ada yang berkelamin jantan dan ada yang berkelamin betina. Contoh: Equisetum debile (paku ekor kuda). Seperti tampak pada skema Gambar 2.3 sebagai berikut.

Spora (n) Spora (n) Protalium (n) Protalium (n) Anteridium (n) Arkegonium (n) Spermatozoid (n) Ovum (n) Zigot (2n) Embrio (2n) Tumbuhan paku (2n) Sporofil (2n) Sporangium(2n) Sel induk Spora (2n)

Spora Spora

Gambar 2.3. Metagenesis Paku Peralihan

Batang tumbuhan paku jarang yang muncul dan berdiri tegak di atas tanah, kecuali paku tiang (Alsophila, Cyathea). Batang pada umumnya berupa akar tongkat (rizoma). Dalam penampang lintang batang tampak bagian-bagiannya dari luar ke dalam sebagai berikut:

(25)

a. Epidermis:

Terdapat jaringan penguat yang terdiri atas sklerenkim. b. Korteks (Kulit Pertama):

Banyak mengandung lubang (ruang-ruang antar sel yang besar). c. Stele (Silinder Pusat):

Terdiri atas xylem & floem yang membentuk berkas pengangkut bertipe konsentris. Daun memiliki bentuk, ukuran, dan susunan anatomi yang sangat beraneka ragam ada yang seperti rambut-rambut atau sisik. Daun paku-pakuan tidak bertangkai dan tidak bertulang daun atau hanya memiliki satu tulang daun seperti terdapat pada paku ekor kuda dan paku kawat. Daun yang berukuran besar-besar, bertangkai dan bertulang daun yang bercabang atau bahkan dengan tangkainya daun dapat mencapai dua meter atau lebih.

Berdasarkan ukuran daun menurut Loveless (1989) tumbuhan paku dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:

a. Mikrofil (daun kecil): hanya setebal selapis sel dan berbentuk rambut. Tidak memiliki mesofil (daging daun). Belum ditemukan tangkai dan tulang daun. b. Makrofil (daun besar): berukuran cukup besar dan tipis. Sudah memiliki

bagian-bagian tangkai daun, tulang daun, epidermis dan mesofil.

2.3. Daur Hidup Tumbuhan Paku

Tumbuhan paku menghasilkan spora yang sangat lembut. Spora-spora dihasilkan oleh kotak spora dan tersimpan rapat-rapat di dalamnya. Bila kotak spora telah masak, dinding pecah dan berhamburlah sporanya (Sastrapraja, 1979).

(26)

Spora paku cukup ringan sehingga mudah dibawa angin, karena itu mudah tersebar luas. Dalam udara kering spora mampu mempertahankan viabilitasnya selama beberapa bulan, tetapi jika dibasahi pada suhu yang cocok, spora akan berkecambah (Loveless, 1989), seperti tampak pada Gambar 2.4 berikut.

Gambar 2.4. Daur Hidup Tumbuhan Paku

Sporangium pada tumbuhan paku berbentuk gada, masing-masing memiliki tangkai yang semampai dan steril serta kepala yang mendatar dan fertil. Sel-sel sporangium yang sedang berkembang adalah diploid, tetapi ketika sporangium menjelang dewasa, beberapa sel di dalamnya mempunyai isi yang padat dan menjadi sel induk spora. Tiap sel induk spora membelah diri secara meiosis menjadi empat spora haploid Loveless (1989).

Sporangium pecah membuka dan sporanya dilepaskan dengan keras agar mendarat dekat induknya. Pelontaran spora terjadi melalui dua tahap, yaitu pada

(27)

tahap pertama sporangium membuka perlahan-lahan dengan sebagian besar sporanya melekat pada daerah dinding yang terjatuh dari tangkainya. Pada tahap kedua, annulus berlaku sebagai pegas, tiba-tiba meletik kemuka kembali sehingga sporanya terlempar ke udara (Tjitrosoepomo et.al, 1983).

2.4. Penyebaran Tumbuhan Paku pada Hutan Pegunungan

Hutan di lereng kaki gunung hampir tidak dapat dibedakan dengan hutan dataran rendah lainnya. Namum dengan naiknya ketinggian tempat, pohon-pohon semakin pendek, kelimpahan epifit serta tumbuhan pemanjat berubah (Anwar et.al, 1987). Lebih lanjut Mackinon et.al (2000), menyatakan bahwa di hutan pegunungan terdapat zona-zona vegetasi, dengan jenis dan struktur penampilan yang berbeda. Zona-zona vegetasi tersebut dapat dikenali di semua gunung di daerah tropis meskipun tidak ditentukan oleh ketinggian saja.

Tumbuhan paku terdapat di dalam semua zona iklim mulai dari daerah tropik hingga sub- tropik. Mereka membutuhkan tempat yang lembab. Hanya sedikit species yang toleran terhadap iklim kering, namun bukan di daerah yang sama sekali tidak ada air (Raven et.al, 1992). Mengingat jumlah jenisnya banyak, paku dapat dijumpai dari tepi pantai sampai ke pegunungan tinggi. Di tepi-tepi sungai banyak tumbuh paku baik yang hidup di tanah, merambat atau menumpang di kayu. Umumnya di daerah pegunungan, jumlah jenis paku lebih banyak dari pada di dataran rendah. Hal ini disebabkan kelembaban yang lebih tinggi, banyaknya aliran air dan adanya

(28)

kabut. Banyaknya curah hujan pun mempengaruhi jumlah paku yang dapat tumbuh (Sastrapraja et.al, 1987 dalam Sari, 2005).

Paku pohon umumnya dijumpai di dalam hutan pegunungan bagian bawah. Semua jenis paku pohon yang dijumpai di Sumatera termasuk warga Cyanthea, sedangkan satu yang terkecuali adalah jenis dari Dicksonia selanjutnya Anwar et.al, (1987) juga menyatakan bahwa suhu udara, suhu tanah dan intensitas cahaya berpengaruh sangat nyata terhadap keanekaragaman Cyantea sp di hutan Tongkoh kawasan taman Hutan Raya Bukit Barisan Sumatera Utara.

Holtum (1968) menyatakan, bahwa lingkungan tumbuhan paku mencakup tanah untuk akarnya, sinar matahari yang sampai ke daun, hujan, angin, perubahan suhu, termasuk tumbuhan lain yang tumbuh di sekitarnya. Kondisi lingkungan di hutan tertutup ditandai dengan sedikitnya jumlah sinar yang menembus kanopi hingga mencapai permukaan tanah dan kelembaban udaranya sangat tinggi. Dengan demikian paku hutan memiliki kondisi hidup seragam dan lebih terlindung dari panas. Kondisi ini dapat terlihat dari jumlah paku yang dapat beradaptasi dengan cahaya matahari penuh tidak pernah dijumpai di hutan yang benar-benar tertutup. Beberapa paku hutan tidak dapat tumbuh di tempat yang dikenai cahaya matahari.

Di hutan hujan tropis, paku epifit tumbuh melekat pada batang, cabang, bahkan pada daun-daun pohon, belukar dan liana. Lygodium japonicum adalah contoh paku perambat (liana) yang mudah dikenal dari daun yang pinggirnya tersobek-sobek.

Selaginella willdenowii, S. ornata atau pun L. cernnum adalah paku yang hidup

(29)

pohon untuk tempat merambat Richards, (1952) dalam Sari (2005). Selanjutnya menurut Holtum (1968) penyebaran paku epifit tidak memperlihatkan zonasi yang jelas, hal ini dikarenakan paku epifit dapat beradaptasi secara morfologi terhadap fluktuasi kelembaban dan cahaya yang besar.

Holtum (1968) menyatakan bahwa akar tumbuhan paku ditemukan terlindung dengan berbagai cara dan sering tumbuh bersama lumut. Pada iklim yang kering, paku epifit mempunyai metoda untuk mencegah kehilangan air. Diantaranya permukaan daun yang ditutupi lapisan kertas kutikula dan pada kondisi yang sangat ekstrim mereka menggugurkan daunnya.

Menurut Ewusie (1990), vegetasi pada pegunungan sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim pada ketinggian yang berbeda-beda. Suhu, secara teratur menurun sejalan dengan ketinggian yang meningkat. Anwar et.al (1987), menyatakan bahwa laju penurunan suhu umumnya sekitar 0,6 0C setiap penambahan ketinggian sebesar

100 m. Tetapi hal ini berbeda-beda, tergantung kepada tempat, musim, waktu, kandungan uap air dalam udara dan lain sebagainya.

2.5. Manfaat Tumbuhan Paku

Nilai ekonomi tumbuhan paku terutama terletak pada keindahan dan sebagai tanaman holtikultura. Beberapa jenis paku digunakan sebagai tanaman hias misalnya

Platycerium bifurcatum (Paku tanduk rusa), Asplenium sp (paku sarang burung), Adiantum sp (suplir) dan Selaginella (paku rane) dan paku kawat yang merayap

(30)

digunakan dalam pembuatan karangan bunga, sedang sporanya yang kecil-kecil mudah terbakar karena kandungan akan lemak (Polunim, 1994).

Beberapa jenis paku dapat juga dimanfaatkan untuk sayuran misalnya

Marsilia crenata (semanggi), Pteridium aquilium dan obat-obatan tradisional. Batang

paku yang tumbuh baik dan yang sudah keras, digunakan untuk berbagai keperluan, misalnya sebagai tiang rumah, untuk penganti kayu (Sastrapradja et.al, 1980). Daun-daun muda Cyathea sp dapat dipergunakan untuk sayuran dan telah dibudidayakan sebagai tanaman hias, batangnya sering dipakai sebagai tempat untuk menempelkan anggrek dan kadang-kadang dicincang halus untuk medium di pot. Batangnya yang besar mulai disukai untuk tiang-tiang dekorasi di rumah-rumah mewah, atau pada hotel-hotel di kota besar (Tjitrosoepomo, 1989).

Paku-pakuan yang berhasiat obat antara lain yaitu jenis Dryopteris marginalis yang diambil rimpangnya beserta sisa-sisa tangkai daun, dan bahan itu dalam dunia farmasi terkenal dengan nama rhizoma filices. Untuk kepentingan ini jenis tersebut sengaja dibudidayakan (Tjitrosoepomo, 1994).

Fungsi ekologi tumbuhan paku yang umum dapat diperbandingkan dengan fungsi lumut sejati, karena peranannya dalam pembentukan tanah dan dalam siklus- siklus pelapukan (Tjitrosoepomo et.al, 1983). Selanjutnya menurut Sastrapraja et.al (1980) tumbuhan paku khususnya Cyanthea sp mempunyai peranan yang sangat besar bagi keseimbangan ekosistem hutan antara lain sebagai pencegah erosi dan pengatur tata guna air.

(31)

BAB III

DESKRIPSI AREA

3.1. Letak dan Luas Area

Secara administratif kawasan Taman Wisata Alam Deleng Lancuk terletak di Desa Kuta Gugung, Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo. Lokasi Taman Wisata Alam Deleng Lancuk terletak pada garis median 980 20’ – 980 30’ BT dan 030 10’ – 030 15’ LU. Hutan Deleng Lancuk adalah nama sebuah bukit yang berada di kawasan Sibayak II. Di kaki selatan terdapat danau seluas lebih kurang 100 ha, yang dikenal dengan Danau Lau Kawar. Jarak dari Medan ke Taman Wisata Deleng Lancuk kurang lebih 60 km dan dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi dan kendaraan umum melalui Brastagi selama 1 jam 30 menit.

Hutan Deleng Lancuk mempunyai luas 435 ha. Termasuk Danau Lau Kawar yang telah ditunjuk menjadi Taman Wisata Alam sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No.08/Kpts/II/1989 tanggal 6 Februari 1989. Secara administratif pemerintah Kawasan Hutan Wisata ini terletak di Kabupaten Daerah Tingkat II Tanah Karo Kecamatan Simpang Empat Desa Lau Kawar.

3.2. Topografi

Berdasarkan pengamatan di lapangan, pada umumnya Taman Wisata Alam Deleng Lancuk memiliki topografi yang relatif bergelombang sampai dengan curam.

(32)

Taman Wisata Alam Deleng Lancuk terletak pada ketinggian antara 1300 sampai 1600 m dpl.

3.3. Tipe Iklim

Kawasan Wisata Alam Deleng Lancuk berdasarkan Schmidt – Ferguson mempunyai tipe iklim B, berdasarkan informasi Badan Meteorologi dan Geofisika diperoleh data curah hujan di Kawasan Taman Wisata Alam Deleng Lancuk berkisar antara 1250 mm sampai 1700 mm pertahun.

3.4. Vegetasi

Berdasarkan pengamatan di lapangan tipe vegetasi dataran tinggi, ditandai dengan pohon-pohon besar yang banyak ditumbuhi oleh lumut. Tumbuhan yang terdapat pada Hutan Wisata Alam Deleng Lancuk ini didominasi oleh jenis Keliung (Quercus sp), Castanopsis sp, dan jenis Ficus sp dan Pandannaceae dari jenis

Freycinetia sp yang merambat di pohon-pohon tinggi.

Pada pinggiran danau (tebing) banyak dijumpai berbagai jenis anggrek epifit dengan bunga-bungaan yang indah, diantaranya Spatoghlothis plicta, Phaleonopsis

sp. Sedangkan tumbuhan bawah agak jarang, dan terdiri dari tumbuhan berbatang

(33)

BAB IV

BAHAN DAN METODE

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2008 sampai dengan Maret 2008, di Kawasan Hutan Taman Wisata Alam Deleng Lancuk, Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo. Penelitian dilakukan di 5 bukit yang berbeda. Peta lokasi penelitian dan jalur penelitian dapat dilihat pada Lampiran A dan B.

4.2. Pelaksanaan Penelitian 4.2.1. Di Lapangan

Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan Metode

Purposive Sampling berdasarkan keberadaan tumbuhan paku yang dianggap

mewakili tempat tersebut. Pengamatan dan pengambilan koleksi tumbuhan paku dilakukan dengan menggunakan Metode Kuadrat.

Pada setiap bukit, dibuat 25 plot dengan ukuran 3 x 3 dan jarak antara plot yang satu dengan plot yang lain adalah 25 meter. Total plot seluruhnya adalah 125 plot. Untuk setiap plot pengamatan dicatat setiap jenis tumbuhan paku yang dijumpai dan jumlah individu setiap jenis. Dilakukan pengkoleksian spesimen dari seluruh jenis paku yang tidak diketahui dengan diberi label gantung bernomor. Setiap sampel yang diambil diusahakan yang mengandung spora. Dicatat deskripsi setiap paku yang

(34)

dikoleksi. Paku yang telah dikoleksi diawetkan dengan alkohol 70% yang terlebih dahulu diatur sedemikian rupa diantara lipatan koran dan dimasukkan ke dalam kantong plastik.

Pada lokasi pengamatan, dilakukan pengukuran faktor abiotik yang meliputi ketinggian dengan menggunakan altimeter, intensitas cahaya dengan lux meter, suhu udara dengan thermometer, suhu tanah dengan soil termometer, kelembaban udara dengan hygrometer dan pH tanah dengan soil tester.

4.2.2. Di Laboratorium

Setelah pengamatan di lapangan berakhir, tumbuhan paku yang telah dikoleksi dibuka kembali dan disusun sedemikian rupa untuk dikeringkan dalam oven pengering dengan temperatur kurang lebih 60°C selama 24 jam. Spesimen yang telah benar-benar kering didentifikasi di Herbarium MEDA USU di bawah naungan Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara dengan menggunakan buku acuan antara lain:

1. Taksonomi tumbuhan (A.G. Piggot, 1984). 2. Jenis Paku Indonesia (Sastrapradja et.al, 1980). 3. Kerabat Paku (Sastrapadja & Afrisiani, 1985).

(35)

Jenis paku yang tidak dapat diidentifikasi di laboratorium Taksonomi tumbuhan, dikirim ke Herbarium Universitas Andalas (UNAN) Padang untuk diidentifikasi lebih lanjut.

4.3. Analisis Data

Dari data yang diperoleh, dihitung nilai kerapatan, kerapatan relatif, frekwensi, frekwensi relatif, indeks nilai penting, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, indeks kesamaan dengan menggunakan rumus Soerianegara & Indrawan (1988) sebagai berikut:

a. Kerapatan Mutlak Km suatu jenis = contoh petak area luas Total contoh petak dalam individu Jumlah b. Kerapatan Relatif (KR) K relative (KR) = jenis seluruh Kerapatan jenis suatu Kerapatan X 100% c. Frekwensi (FM) Frekwensi =

contoh petak sub Seluruh species suatu ditemukan petak sub d. Frekwensi Relatif (FR) Frekwensi relatif = x 100% jenis seluruh F jenis suatu F

(36)

e. Indeks Nilai Penting (INP)

INP = KR + FR

f. Indeks Keanekaragaman (H’)

H’ = - ∑ pi ln pi

Keterangan:

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon – Wienner Pi = Ni / N

Ni = Jumlah individu satu jenis N = Jumlah total individu

g. Indeks Keseragaman (E) E = max H ' H Keterangan:

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon – Wienner H max = ln S ; S = Jumlah jenis

h. Indeks Kesamaan (IS) IS = x 100% ) B A ( 2C + Keterangan:

A = Jumlah jenis yang ada pada lokasi A B = Jumlah jenis yang ada pada lokasi B

(37)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Keanekaragaman Jenis Paku-pakuan

Hasil penelitian tentang keanekaragaman paku-pakuan yang dilakukan di lima bukit di Hutan Taman Wisata Alam Deleng Lancuk Kabupaten Karo, menunjukkan bahwa pada lokasi penelitian terdapat 27 jenis paku-pakuan dengan jumlah individu 2.235 individu/1,125 ha yang termasuk kedalam 13 famili seperti yang tercantum pada Tabel 5.1. Paku-pakuan tersebut dapat dikelompokkan kedalam 2 kelas yaitu kelas Lycopodinae dengan satu ordo Selaginales dan 1 famili Selaginaceae dan kelas Filicine, dengan 2 ordo yaitu ordo Marattiales dengan 1 famili Marattiaceae dan ordo Filicales dengan 11 famili.

Ditinjau dari segi habitatnya, pakuan tersebut terdiri atas 27 jenis paku-pakuan terestrial. Dari Tabel 5.1 dapat diketahui bahwa jumlah jenis pada bukit I ada 13 jenis, bukit II ada 11 jenis, bukit III ada 14 jenis, bukit IV ada 15 jenis dan bukit V ada 14 jenis. Dengan demikian jumlah jenis tertinggi terdapat pada bukit IV. Tingginya jenis paku-pakuan pada bukit IV kemungkinan disebabkan oleh faktor-faktor abiotik yang sesuai untuk kehidupan berbagai jenis paku. Pada bukit IV, intensitas cahaya rata-rata berkisar 187,6 lux dengan kelembaban udara rata-rata 92%. Sebaliknya pada bukit II, di mana naungan pohon lebih berkurang dengan intensitas cahaya rata-rata 266,6 lux dan kelembaban udara sekitar 84% membuat

(38)

jenis paku-pakuan sedikit menurun. Menurut Holdridge (1967) dalam Ewuse (1990) menunjukkan bahwa berkurangnya keanekaragaman dalam jumlah jenis dapat dikaitkan dengan meningkatnya ketinggian dan curah hujan yang berkurang.

Tabel 5.1. Jenis Paku-pakuan yang Diperoleh pada Kelima Bukit Penelitian di Taman Wisata Alam Deleng Lancuk

Bukit No Kelas Ordo Famili Nama jenis Jlm

Ind I II III IV V

01 Lycopodinae Selaginales Selaginaceae Selaginella sp 2 8 2 - 4 2

02 Selaginella sp 3 18 - - - 18 -

03 S wildonewii 896 166 254 235 149 92

04 Filicinae Maratiales Maratiaceae Angiopteris angustifolia 18 - 3 9 3 3

05 Filicales Aspidiaceae Didymoclaena trunculata 3 2 - - 1 -

06 Dryopteris polita 14 - 14 - - -

07 Laptreopsis wurunuran 59 - - - 56 3

08 Aspleniaceae Asplenium pelucidum 5 - - - 2 3

09 A. phylitidis 9 - 1 5 3 -

10 Athhyriaceae Athyrium dilatatum 1 - - 1 - -

11 Athyrium sp 13 - - - - 13

12 Diplazium palidum 30 - - 2 26 2

13 D. riparium 6 - - 2 - 4

14 Cyatheaceae Cyathea bornensis 315 28 32 35 63 157

15 Davaliaceae Davalia sp 64 17 1 23 18 5

16 Gleicheniaceae Dicranopteris curanii 41 37 - - 3 1

17 Lincaceae Phenomeris chinensis 4 4 - - - -

18 Nephrolepidaceae Nephrolepis dicsonioides 275 68 50 64 61 32

19 Oleandraceae Oleandra pistilaris 151 103 40 2 6 -

20 Polypodiaceae Colysis macrophyla 3 - - 3 - -

21 Dipteris conjungata 28 28 - - - -

22 Lepthochilus sp 1 - - - - 1

23 Microsorum heterocarpum 10 - 10 - - -

24 Phymatopteris triloba 18 8 9 1 - -

25 Phymatosorus longissima 2 - - - 2 -

26 Thelypreridiaceae Christella siamensis 241 22 111 39 47 22

27 Cylosorus interuptus 2 2 - - - -

Jumlah individu 2235 487 525 425 458 340 Jumlah jenis 27 13 11 14 15 14 Keterangan:

(39)

Famili dengan jumlah jenis terbesar dapat dilihat pada Gambar 5.1.

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

Jumlah jenis

I

II

III

IV

V

Bukit penelitian

Selaginelaceae

Polypodiaceae

Thelypteridaceae

Aspleniaceae

Aspidiaceae

Athyriaceae

Gambar 5.1. Famili dengan Jumlah Jenis Terbesar

Dari Gambar 5.1 dapat dilihat bahwa famili dengan jumlah jenis yang paling banyak menempati bukit I adalah famili selaginaceae, famili Polypodiaceae dan famili Thelipteridiaceae masing-masing sebanyak 2 jenis. Pada bukit II, jumlah famili terbanyak adalah famili Polypodiaceae sebanyak 2 jenis. Pada bukit III jumlah famili terbanyak adalah Polypodiaceae dan Atheriaceae masing-masing sebanyak 3 jenis, diikuti oleh famili Selaginaceae sebanyak 2 jenis. Pada bukit IV jumlah famili terbesar adalah Selaginaceae sebanyak 3 jenis, famili Aspidiaceae dan famili Aspleniaceae masing-masing sebanyak 2 jenis. Pada bukit V jumlah famili terbanyak adalah famili Athyriaceae sebanyak 3 jenis. Famili Selaginaceae dan Polypodiaceae merupakan famili yang dapat ditemukan paling banyak pada bukit penelitian. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingginya tingkat toleransi jenis-jenis ini untuk dapat

(40)

tumbuh dan berkembang serta mempunyai kemampuan untuk menguasai suatu kawasan. Sastrapraja et.al (1980) menyatakan bahwa Selaginaceae dapat tumbuh baik di tempat yang lembab dengan ketinggian 400 – 1800 m dpl.

Banyaknya jenis famili Polypodiaceae yang terdapat pada bukit penelitian juga disebabkan oleh kondisi faktor abiotik pada bukit penelitian yang sesuai bagi kehidupan dan perkembangan jenis famili tersebut. Lawrence (1958) dalam Sari (2005) menyatakan bahwa famili Polypodiaceae merupakan famili dari tumbuhan paku yang paling banyak jumlahnya yaitu sekitar 170 genera dan 7000 jenis yang tersebar di seluruh dunia. Selanjutnya Holtum (1968) juga menyatakan bahwa famili Polypodiaceae mempunyai jumlah anggota terbesar di kawasan Malesia, yang sebagian besar terdapat di kepulauan Indonesia.

Nilai dominasi tertinggi pada kelima bukit penelitian, dapat dilihat pada Gambar 5.2. 0 20 40 60 80 100 I II III IV V Bukit penelitian

Niai dominasi relatif (%)

Nephrolepis dicksonioides Oleandra pistilaris Selaginela wildenowi Crisella siamensis Cyathea bornensis

(41)

Dari Gambar 5.2 dapat dilihat bahwa pada bukit I, II, III dan IV, Selaginella

wildenowii mendominasi setiap bukit penelitian dengan nilai dominasi relatif pada

bukit I sebesar 53,59%, bukit II sebesar 71,64%, bukit III sebesar 82,26%, dan bukit IV sebesar 50,24%, Sedangkan pada bukit V didominasi oleh Cyathea bornensis dengan nilai dominansi relatif sebesar 77,52%. Hal ini disebabkan karena kondisi faktor abiotik pada bukit I, II, III dan IV, sesuai bagi kehidupan dan perkembangan jenis Selaginella willdenowi. Menurut Sastrapraja et.al (1980), Selaginella

willdonowi termasuk jenis paku yang mempunyai daun berukuran kecil, hidup

di tanah terutama di tempat yang basah baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Selaginella willdenowi tersebar di Asia tenggara. Pada bukit V, Cyathea

bornensis sangat mendominasi sehingga dapat menutupi keberadaan jenis

paku-pakuan terestrial lainnya, dengan nilai dominasi relatif 77,52%. Diikuti oleh

Selaginella wildenowii dan Nephrolepis dicksonioides dengan nilai dominansi

berturut-turut 41,98% dan 21,35%. Pada bukit V, intensitas cahaya sebesar 245 lux dan kelembaban 94%. Holtum (1968) menyatakan bahwa Cyathea spp menyukai cahaya matahari yang langsung mengenainya dan cahaya tersebut berfungsi untuk pertumbuhan tajuk pohon. Menurut Ewusie (1990), cahaya mempunyai peranan penting dalam penyebaran dan orientasi tumbuhan yang merupakan faktor pembatas di dalam hutan tropika.

(42)

5.2. Komposisi Paku-pakuan

Untuk mengetahui komposisi paku-pakuan, dapat dilihat berdasarkan keberadaan dan jumlah individu suatu jenis yang menempati wilayah di Taman Wisata Alam Deleng Lancuk (Tabel 5.2, 5.3, 5.4, 5.5, 5.6).

Tabel 5.2. Komposisi Paku-pakuan Pada Bukit I

No Jenis Jumlah Individu KR (% )

1 Christella siamensis 22 4.52 2 Cyathea bornensis 28 5,75 3 Cylosorus interruptus 2 0,41 4 Davalia sp 17 3,49 5 Dicranopteris curannii 37 7,60 6 Didynoclaena trunculata 2 0,41 7 Dipteris conjungata 28 5,75 8 Nephrolepis dicksonioides 68 13,96 9 Oleandra pistilaris 103 21,15 10 Phenomeris sinensis 4 0,82 11 Phymatopteris triloba 8 1, 64 12 Selaginella willdonowi 166 34,08 13 Selaginela sp 2 2 0,41 Total 487 100.00 Keterangan: KR = Kerapatan relatif (%)

Komposisi paku-pakuan pada bukit 1 terdiri dari 13 jenis dengan jumlah individu sebanyak 487/225 m2 (Tabel 5.2).

Komposisi jenis paku-pakuan terestrial terbesar pada bukit I, dapat dilihat pada Gambar 5.3.

(43)

4.35 5.54 0.4 3.36 7.32 0.4 5.54 13.45 20.38 0.79 1.58 32.84 0.4 Christella siamensis Cyathea bornensis Cylosorus interruptus Davalia sp Dicranopteris curannii Didynoclaena trunculata Dipteris conjungata Nephrolepis dicksonioides Oleandra pistilaris Phenomeris sinensis Phymatopteris triloba Selaginella willdonowi Selaginela sp 2

Gambar 5.3. Komposisi Jenis Paku-pakuan Terestrial Terbesar pada Bukit I

Dari Gambar 5.3 dapat diketahui pada bukit I, Selaginella wildenowii memiliki nilai kerapatan relatif tertinggi yaitu sebesar 32,84%, diikuti oleh Oleandra

pistilaris, Nephrolepis dicksonioides dan Dicranopteris curannii dengan nilai

(44)

Tabel 5.3. Komposisi Paku-pakuan pada Bukit II

No Jenis Jumlah Individu KR (%)

1 Angiopteris angustifolia 3 0,57 2 Asplenium phylitidis 1 0,19 3 Christella siamensis 111 21,14 4 Cyathea bornensis 32 6,10 5 Davalia sp 1 0,19 6 Dryopteris polita 14 2,67 7 Microsorum heterocarpum 10 1,90 8 Nephrolepis dicksonioides 50 9,52 9 Oleandra pistilaris 40 7,62 10 Phymaptopteris triloba 9 1,71 11 Selaginella wildenowii 254 48,38 Total 525 100.00 Keterangan: KR = Kerapatan relatif (%)

Dari Tabel 5.3 dapat diketahui bahwa komposisi paku-pakuan pada bukit 2 terdiri dari 11 jenis dengan jumlah individu sebanyak 525 individu/225 m2.

Komposisi jenis paku-pakuan terestrial terbesar pada bukit II, dapat dilihat pada Gambar 5.4.

(45)

0.57 0.19 21.14 6.1 0.19 2.67 1.9 9.52 7.62 1.71 48.38 Angiopteris angustifolia Asplenium phylitidis Christella siamensis Cyathea bornensis Davalia sp Dryopteris polita Microsorum heterocarpum Nephrolepis dicksonioides Oleandra pistilaris Phymaptopteris triloba

Gambar 5.4. Komposisi Jenis Paku-pakuan Terbesar pada Bukit II

Pada bukit II dijumpai 11 jenis paku-pakuan terestrial. Di mana jumlah jenis di bukit ini paling sedikit diantara bukit lainnya. Rendahnya jumlah jenis di bukit ini kemungkinan disebabkan oleh faktor abiotik yang kurang mendukung untuk pertumbuhan paku-pakuan. Di bukit II intensitas cahaya berkisar 266,6 lux dan kelembaban 84%. Jumlah individu tertinggi di bukit II adalah Selaginella wildenowii yaitu 254 individu/225 m2 dengan nilai kerapatan sebesar 48,38%, diikuti oleh

Cristela siamensis 111 individu/225 m 2 dengan nilai kerapatan 21,11%, Nephrolepis dicksonioides 50 individu/225 m2 nilai kerapatan 9,52% dan Oleandra pistilaris 40

(46)

Tabel 5.4. Komposisi Jenis Paku-pakuan pada Bukit III

No Jenis Jumlah Individu KR (%)

1 Angiopteris angustifolia 9 2,12 2 Athyrium dilatatum 1 0,24 3 Asplenium phylitidis 5 1,18 4 Christella siamensis 39 9,18 5 Cyathea bornensis 35 8,24 6 Colysis makrophyla 3 0,71 7 Davalia sp 23 5,41 8 Diplazium palidum 2 0,47 9 D. riparium 2 0,47 10 Nephrolepis dicksonioides 64 15,06 11 Oleandra pistilaris 2 0,47 12 Phymatopteris triloba 1 0,24 13 Selaginella wildenowii 235 55,29 14 Selaginela sp 2 4 0,94 Total 425 100.00

Di bukit III, komposisi paku-pakuan terestrial terdiri atas 14 jenis dengan jumlah individu sebanyak 425 individu/225 m2.

Komposisi jenis paku-pakuan terestrial pada bukit III, dapat dilihat pada Gambar 5.5.

(47)

18.84 16.91 1.45 11.11 0.97 0.97 30.92 0.97 0.48 55.29 1.94 2.42 4.35 0.48 Angiopteris angustifolia Athyrium dilatatum Asplenium phylitidis Christella siamensis Cyathea bornensis Colysis makrophyla Davalia sp Diplazium palidum D. riparium Nephrolepis dicksonioides Oleandra pistilaris Phymatopteris triloba Selaginela wildonowi Selaginela sp 2

Gambar 5.5. Komposisi Jenis Paku-pakuan Terestrial Terbesar pada Bukit III

Dari Gambar 5.5 dapat dilihat bahwa Selaginella wildonowii memiliki jumlah individu terbanyak yaitu 55,29 individu/225 m2 dengan nilai kerapatan relatif sebesar 55,29%.

(48)

Tabel 5.5. Komposisi Paku-pakuan pada Bukit IV

No Jenis Jumlah Individu KR (%)

1 Angiopteris angustifolia 3 0,66 2 Asplenium pelusidum 2 0,44 3 Asplenium phylitidis 3 0,66 4 Christella siamensis 47 10,26 5 Cyathea bornensis 63 13,76 6 Davalia sp 18 3,93 7 Dicranopteris curannii 3 0,66 8 Didymoclaena trunculata 1 0,22 9 Diplazium palidum 26 5,68 10 Lastreopsis wurunuran 56 12,23 11 Nephrolepis dicksonioides 26 5,68 12 Oleandra pistilaris 6 1,31 13 Phymatosorus longisima 2 0,44 14 Selaginela wildonowi 149 32,53 15 Selaginela sp 3 18 3,93 Total 458 100.00

Di bukit IV, komposisi paku-pakuan terestrial tersusun atas 15 jenis dengan jumlah individu sebanyak 458 individu/225 m2.

Komposisi jenis paku-pakuan terestrial terbesar pada bukit IV, dapat dilihat pada Gambar 5.6.

(49)

13.76 3.93 0.66 32.53 5.68 5.68 1.31 0.44 12.23 0.22 0.66 3.93 10.26 0.44 0.66 Angiopteris angustifolia Asplenium pelusidum Asplenium phylitidis Christella siamensis Cyathea bornensis Davalia sp Dicranopteris curannii Didymoclaena trunculata Diplazium palidum Lastreopsis wurunuran Nephrolepis dick sonioides Oleandra pistilaris Phymatosorus longisima Selaginela wildonowi Selaginela sp 3

Gambar 5.6. Komposisi Jenis Paku-pakuan Terestrial Terbesar pada Bukit IV

Dari Gambar 5.6 dapat diketahui bahwa pada bukit IV, Selaginella wildenowii memiliki nilai kerapatan tertinggi yaitu sebesar 32,53%, diikuti oleh Cyathea

bornensis, Nephrolephis dicksonioides dan Lastreopsis wurunuran dengan nilai

(50)

Tabel 5.6. Komposisi Jenis Paku-pakuan di Bukit V

No Jenis Jumlah Individu KR (%)

1 Angiopteris angustifolia 3 0,88 2 Athyrium sp 13 3,82 3 Asplenium pelucidum 3 0,88 4 Christella siamensis 22 6,47 5 Cyathea bornensis 157 46.8 6 Davalia sp 5 1,47 7 Dicranopteris curannii 1 0,29 8 Diplazium palidum 2 0,59 9 D riparium 4 1,18 10 Lastreopsis wurunuran 3 0,88 11 Leptochilus sp 1 0,29 12 Nephrolepis dicksonioides 32 9,41 13 Selaginela wildonowi 92 27,06 14 Selaginela sp 2 2 0,59 Total 340 100.00 Keterangan: KR = Kerapatan relatif (%)

Komposisi paku-pakuan pada bukit V terdiri dari 14 jenis individu dengan jumlah individu sebanyak 340 individu/225 m 2

Komposisi jenis paku-pakuan terbesar pada bukit V, dapat dilihat pada Gambar 5.7.

(51)

46.8 27.06 0.59 0.88 9.41 0.59 0.88 1.18 0.29 1.47 0.29 6.47 0.88 3.82 Angiopteris angustifolia Athyrium sp Asplenium pelucidum Christella siamensis Cyathea bornensis Davalia sp Dicranopteris curannii Diplazium palidum D riparium Lastreopsis wurunuran Leptochilus sp Nephrolepis dick sonioides Selaginela wildonowi Selaginela sp 2

Gambar 5.7. Komposisi Jenis Paku-pakuan Terbesar pada Bukit V

Pada bukit V yang memiliki nilai kerapatan relatif terbesar adalah Cyathea

bornensis dengan nilai kerapatan relatif sebesar 46,18% diikuti oleh Selaginella willdenowii, Nepholepis diksonioides dan Christella siamensis dengan nilai kerapatan

relatif berturut-turut 27,06%, 9,41% dan 6,47%.

Dari Gambar (5.3; 5.4; 5.5; 5.6), dapat diketahui bahwa pada bukit I, II, III dan IV Selaginella wildenowii memiliki nilai kerapatan relatif tertinggi yaitu sebesar 32,84% pada bukit I, 48,38% pada bukit II, 55,29% pada bukit III dan 32,53% pada bukit IV. Tingginya nilai kerapatan relatif Selaginella willdenowii pada bukit I, II, III dan IV, disebabkan oleh banyaknya individu dari jenis ini bila dibandingkan dengan jenis lainnya yang terdapat pada bukit penelitian dan seringkali Selaginella

wildenowii membentuk belukar yang cukup lebat. Pertumbuhan yang subur pada ke

empat bukit ini salah satunya juga disebabkan oleh faktor abiotik yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan Selaginella wildenowii.

(52)

Sastrapraja et.al (1980), menyatakan bahwa Selaginella wildonewii hidupnya

di tanah terutama di tempat yang basah baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi.

5.3. Indeks Nilai Penting Paku-pakuan Terestrial

Dari data yang telah dianalisis, diperoleh nilai kerapatan relatif, frekwensi relatif dan indeks nilai penting pada kelima bukit penelitian seperti yang dapat dilihat pada Tabel 5.7.

Tabel 5.7. Indeks Nilai Penting Paku-pakuan Terestrial pada Kelima Bukit Penelitian No Jenis KR (%) FR (%) INP (%) Bukit I 1 Cristela siamensis 4,52 8,89 13,41 2 Cyathea bornensis 5,75 9,88 15,63 3 Cylosorus innteruptus 0,41 0,99 1,40 4 Davalia sp 3,49 2,96 6,45 5 Dicranopteris curanii 7,60 8,89 16,49 6 Dicdymoclaena trunculata 0,41 0,99 1,40 7 Dipteris conjungata 5,75 5,15 10,90 8 Nephrolepis dicksonioides 13,96 17,79 31,75 9 Oleandra pistilaris 21,15 15,81 36,96 10 Phenomeris sinensis 0,82 1,98 2,80 11 Phymatopteris triloba 1,64 3,95 5,59 12 Selaginella wildenowii 34,09 20,75 54,84 13 Selaginella sp 2 0,41 1,98 2,39 Total 100,00 100,00 200,00 Bukit II No Jenis KR (%) FR (%) INP (%) 1 Angiopteris angustifolia 0,57 2,33 2,90 2 Asplenium phylitidis 0,19 1,16 1,35 3 Cristela siamensis 21,14 22,09 43,24 4 Cyathea bornensis 6,10 17,44 23,54 5 Davalia sp 0,19 1,16 1,35

(53)

No Jenis KR (%) FR (%) INP (%) 6 Dryopteris polita 2,67 2,33 4,99 7 Microsorum heterocarpum 1,90 4,65 6,56 8 Nephrolepis dicksonioides 9,52 19,77 29,29 9 Oleandra pistilaris 7,62 4,65 12,27 10 Phymatopteris triloba 1,71 1,16 2,88 11 Selaginella wildenowii 48,38 23,26 71,64 Total 100,00 100,00 200,00 Bukit III 1 Angiopteris angustifolia 2,12 2,25 4,36 2 Athyrium dilatatum 0,24 1,12 1,36 3 Asplenium phylitidis 1,18 4,49 5,67 4 Cristela siamensis 9,18 17,98 27,15 5 Cyathea bornensis 8,24 14,61 22,84 6 Colosis makrophilla 0,71 2,25 2,95 7 Davalia sp 5,41 6,74 12,15 8 Diplazium palidum 0,47 2,25 2,72 9 D. riparium 0,47 1,12 1,59 10 Nephrolepis dicksonioides 15,06 15,73 30,79 11 Oleandra pistilaris 6,47 1,12 1,59 12 Phymatopteris triloba 0,24 1,12 1,36 13 Selaginella wildenowii 55,29 26,97 82,26 14 Selaginella sp 2 0,94 2,25 3,19 Total 100,00 100,00 200,00 Bukit IV 1 Angiopteris angustifolia 0,66 2,08 2,74 2 Asplenium pelusidum 0,44 2,08 2,52 3 Asplenium phylitidis 0,66 2,08 2,74 4 Cristela siamensis 10,26 16,67 26,93 5 Cyathea bornensis 13,76 17,71 31,46 6 Davalia sp 3,93 8,33 12,26 7 Dicranopteris curanii 0,66 1,04 1,70 8 Dicdymoclaena trunculata 0,22 1,04 1,26 9 Diplazium palidum 5,68 4,17 9,84 10 Lastreopsis wurunuran 12,23 8,33 20,56 11 Nephrolepis dicksonioides 13,32 14,58 27,90 12 Oleandra pistilaris 1,31 1,04 2,35 13 Phymatosorus longisima 0,44 1,04 1,48 14 Selaginella wildenowii 32,53 17,71 50,24 15 Selaginella sp 3 3,93 2,08 6,01 Total 100,00 100,00 200,00 Lanjutan Tabel 5.7

(54)

Lanjutan Tabel 5.7 Bukit V No Jenis KR FR INP 1 Angiopteris angustifolia 0,88 2,99 3,87 2 Athyrium sp 3,82 7,46 11,29 3 Asplenium pelusidum 0,88 2,99 3,87 4 Cristela siamensis 6,47 13,43 19,90 5 Cyathea bornensis 46,18 31,34 77,52 6 Davalia sp 1,47 5,97 7,44 7 Dicranopteris curanii 0,29 1,49 1,79 8 Diplazium palidum 0,59 1,49 2,08 9 D. riparium 1,18 1,49 2,67 10 Lastreopsis wurunuran 0,88 1,49 2,37 11 Leptochilus 0,29 1,49 1,79 12 Nephrolepis dicksonioides 9,41 11,94 21,35 13 Selaginella wildenowii 27,06 14,93 41,98 14 Selaginella sp 2 0,59 1,49 2,09 Total 100,00 100,00 200,00

Dari Tabel 5.7 dapat dilihat bahwa nilai kerapatan relatif pada bukit I berkisar antara 0,41% - 34,09%. Tiga nilai kerapatan tertinggi pada bukit I terdapat pada jenis

Selaginella wildenowii yaitu 34,09%, Oleandra pistilaris yaitu 21,15% dan Nephrolepis dicksonioides yaitu 13,96%. Adapun jenis paku yang memiliki nilai

kerapatan relatif terendah adalah Cylosorus interuptus, Didymochlaena trunculata dan Selaginella sp 2 masing-masing nilai kerapatannya sebesar 0,41%.

Pada bukit II diperoleh nilai kerapatan relatif berkisar antara 0,19% - 48,38%. Seperti pada bukit I, pada bukit II Selaginela wildonewii merupakan jenis paku yang kerapatan relatifnya tertinggi yaitu sebesar 48,38% diikuti oleh Cristela siamensis dan Nephrolepis dicksonioides dengan nilai kerapatan relatif 21,14% dan 9,52%, sedangkan yang memiliki nilai kerapatan terendah adalah jenis Asplenium pilitidis dan Davalia sp yang nilai kerapatan relatifnya adalah 0,19%.

(55)

Nilai kerapatan di bukit III, juga masih Selaginella wildenowi yang paling tinggi, diikuti oleh Nephrolepis dicksonioides dan Cristela siamensis dengan nilai kerapatan berturut-turut 55,29%, 15,06% dan 9,18%. Sedangkan yang terendah adalah Athyrium dilatatum dan Phymatopteris triloba dengan nilai kerapatan 0,24%.

Pada bukit IV nilai kerapatan relatif tertinggi berturut-turut adalah Selaginella

wildenowii, Cyathea bornensis dan Nephrolepis dicksonioides dengan nilai kerapatan

relatif berturut-turut 32,5%, 13,75% dan 13,32%, sedangkan yang terendah adalah

Didymoclaena trunculata yang nilai kerapatan relatifnya 0,22%.

Nilai kerapatan relatif Selaginella wildenowii yang tinggi pada bukit I, II, III dan IV menunjukkan bahwa faktor abiotik pada keempat bukit yaitu antara lain: suhu udara rata- rata 17,55 0C, pH rata-rata 5,45, kelembaban rata-rata 89,25%, intensitas cahaya rata-rata 309,02 lux dan suhu tanah rata-rata 18,8 yang mendukung pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut Foster & Gifford (1967), Selaginella banyak terdapat pada daerah tropis yang lembab, daerah terlindung, beberapa pada tempat yang sejuk atau dingin, bebatuan dan lantai hutan. Selanjutnya Ewusie (1990) menyatakan bahwa, temperatur dan air secara ekologis merupakan faktor lingkungan yang penting. Suin (2002) dalam Sari (2005) juga menyatakan faktor lingkungan abiotik sangat menentukan penyebaran dan pertumbuhan suatu organisme dan tiap jenis hanya dapat hidup pada kondisi abiotik tertentu yang berada dalam kisaran toleransi tertentu yang cocok bagi organisme tersebut. Tjitrosoepomo (1994), menyatakan bahwa Selaginella tumbuhnya membentuk rumpun, ada yang memanjat dan tunasnya dapat mencapai beberapa meter.

(56)

Frekwensi kehadiran suatu jenis organisme di suatu habitat menunjukkan keseringhadiran jenis tersebut di habitat itu. Dari frekwensi kehadiran dapat tergambar penyebaran jenis tersebut pada habitat. Frekwensi relatif suatu jenis adalah proporsi frekwensi jenis tersebut dari frekwensi semua jenis (Suin, 2002) dalam Sari (2005)

Dari Tabel 5.7 dapat dilihat bahwa nilai frekwensi relatif pada bukit I berkisar antara 0,99% - 20,75%. Selaginella wildonewii mempunyai nilai frekwensi relatif tertinggi yaitu 20,75%. Frekwensi relatif tertinggi pada bukit II diperoleh nilai berkisar antara 1,16% - 23,26%. Selaginella wildonewii, Cristela siamensis dan

Nephrolepis dicksonioides adalah merupakan jenis-jenis yang memiliki nilai

frekwensi relatif tertinggi yaitu berturut-turut 23,26%, 22,09% dan 19,77%. Pada bukit III frekwensi relatifnya berkisar antara 1,12% - 26,97%. Selaginella wildenowii,

Cristela siamensis dan Nepholepis dicksonioides adalah 3 jenis paku-pakuan yang

memiliki nilai frekwensi relatif tertinggi yaitu berturut-turut 26,97%, 17,98% dan 15,73%. Sedangkan pada bukit IV nilai frekwensi relatif antara 1,04%-17,71%. Dengan nilai frekwensi relatif tertinggi adalah Selaginella wildenowii dan Cyathea

bornensis memiliki nilai frekwensi relatif 17,71% sedangkan Nephrolepis dicksonioides 14,58%. Menurut Whitmore (1984), tingginya nilai frekwensi relatif

suatu jenis menunjukkan bahwa hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor lingkungan yang mendukung jenis ini untuk dapat bertahan dan berkembang.

Dari Tabel 5.7 juga dapat dilihat bahwa jenis Selaginella wildenowii pada bukit I, II, III dan IV memiliki indek nilai penting jenis tertinggi yaitu berturut-turut

(57)

54,58%, 71,64%, 82,26% dan 50,24%. Tingginya nilai ini berasal dari kerapatan relatif dan frekwensi relatif yang nilai masing-masingnya sangat tinggi. Dengan demikian Selaginella wildenowii mempunyai peranan yang penting dalam komunitas ini. Menurut Wirakusumah (2003), beberapa jenis bisa memberi arti yang lebih penting dari jenis lainnya dalam suatu komunitas, pengaruh ini dapat mengubah ekosistem karena bersifat dominan dari jenis lainnya. Selanjutnya Irwan (1997) menyatakan bahwa jenis yang mengendalikan suatu komunitas dapat menentukan keanekaragaman dan aspek struktur komunitas. Heddy & Kurniati (1996) dalam Sari (2005) menyatakan bahwa umumnya jenis yang dominan dalam suatu komunitas mempunyai peranan yang penting dan merupakan jenis dengan produktivitas yang besar.

Dari Tabel 5.7 di atas dapat dilihat bahwa nilai frekwensi relatif pada bukit V berkisar antara 1,49%-31,34%. Cyathea bornensis mempunyai nilai frekwensi relatif tertinggi yaitu 31,34%. Disusul oleh jenis Selaginella wildenewii sebesar 14,93%. Tjitrosoepomo (1994) mengemukakan bahwa sorus pada famili Cyatheaceae mengandung banyak sporangium yang tidak terdapat pada tepi daun melainkan pada permukaan bawah. Selanjutnya Polunim (1990) dalam Sari (2005) menyatakan bahwa pemencaran spora yang berukuran sangat kecil dengan bantuan angin dapat mencapai jarak beratus mil tanpa kehilangan kemampuannya untuk mulai dengan kehidupan yang baru setelah memperoleh kondisi yang sesuai.

Tingginya nilai frekwensi relatif pada jenis C. bornensis menunjukkan hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor lingkungan yang mendukung jenis ini di mana

(58)

suhu udara rata-rata adalah 16,6 0C, pH tanah 5,3, kelembaban udara 94%, intensitas cahaya 245 lux dan suhu tanah 18,5, untuk dapat bertahan dan berkembang. Selain itu, spora dari paku jenis Cyathea sangat banyak dengan ukuran yang kecil dan ringan sehingga penyebaran menjadi sangat luas.

Dari Tabel 5.7 juga dapat dilihat bahwa C. bornensis memiliki indeks nilai penting tertinggi yaitu 77,52%. Tingginya nilai ini berasal dari kerapatan relatif dan frekwensi relatif yang nilai masing-masing sangat tinggi. Dengan demikian C.

bornensis, mempunyai peranan yang penting dalam komunitas tersebut.

5.4. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) pada Kelima Bukit Penelitian

Dari hasil yang didapat pada masing-masing bukit penelitian, diperoleh nilai indeks keanekaragaman Shannon – Wiener (H’) dan Indeks keseragaman (E) sebagai berikut:

Tabel 5.8. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) pada Kelima Bukit Penelitian

Bukit H’ E I 1,9262 0,7510 II 1,5656 0,6529 III 1,5123 0,5730 IV 2,0310 0,7500 V 1,5691 0,5946

(59)

Dari Tabel 5.8 dapat dilihat bahwa nilai indeks keseragaman Shannon – Wiener (H’) untuk paku-pakuan pada bukit I sebesar 1,9262, bukit II sebesar 1,5656, bukit III sebesar 1,5656, bukit IV sebesar 2,0310 dan bukit V sebesar 1,5691.

Menurut Masson (1980), menyatakan bahwa kisaran dan pengelompokan indeks keanekaragaman yaitu keanekaragaman rendah apabila H’<1, keanekaragaman sedang apabila 1<H’<3 dan keanekaragaman tinggi apabila H’>3.

Berdasarkan pernyataan Masson tersebut secara keseluruhan dapat dilihat bahwa indeks keseragaman paku-pakuan terestrial di Taman Wisata Alam Deleng Lancuk tergolong sedang. Odum (1996) dalam Sari (2005) menyatakan bahwa semakin banyak jumlah species, maka semakin tinggi keanekaragamannya. Sebaliknya bila nilainya kecil maka komunitas tersebut didominasi oleh satu atau sedikit jenis. Keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh pembagian penyebaran individu dalam tiap jenisnya, karena suatu komunitas walaupun banyak jenisnya, tetapi bila penyebaran individu tidak merata maka keanekaragaman jenis dinilai rendah. Menurut Smith (1992), keanekaragaman jenis didalam dan diantara berbagai komunitas melibatkan 3 komponen yaitu ruang, waktu dan makanan.

Menurut Soeryaatmadja (1997), bahwa dengan memperhatikan

keanekaragaman dalam komunitas dapat diperoleh gambaran tentang kedewasaan organisasi komunitas tersebut. Biasanya makin beranekaragam suatu komunitas, makin tinggi organisasi di dalam komunitas tersebut. Hal ini menunjukkan tingkat kedewasaannya, sehingga keadaannya menjadi lebih mantap.

(60)

Dari Tabel 5.8 juga dapat diketahui nilai indeks keseragaman pada paku terestrial adalah 0,7510 untuk bukit I, untuk bukit II 0,6529, bukit III 0,5730, bukit IV 0,7500 dan untuk bukit V 0,5946. Menurut Krebs (1985) keseragaman rendah apabila E bernilai 0-0,5 dan keseragaman tinggi apabila E bernilai 0,5-1. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada bukit I, II, III, IV dan V, memiliki keseragaman jenis yang tinggi.

5.5. Indeks Kesamaan

Suatu komunitas dapat dibedakan dengan komunitas lainnya dengan memperhatikan struktur komunitas tersebut. Dari daftar komposisi dapat dihitung secara kuantitatif apakah suatu komunitas sama atau berbeda dengan komunitas lainnya. Bila dua komunitas jenis organisme penyusunnya sama berarti kedua komunitas itu sama. Hal ini berarti tingkat kesamaannya 100% (Suin, 2002) dalam Sari (2005).

Dari data yang telah dianalisis, diperoleh data mengenai tingkat kesamaan dari 5 bukit pada Kawasan Taman Wisata alam Deleng Lancuk.

Tabel 5.9. Indeks Similaritas (IS) Paku-pakuan pada Kelima Bukit Penelitian

Bukit I II III IV V I - 58,33% 51,58% 57,14% 44,44% II - - 72,00% 61,53% 48,00% III - - - 55,17% 57,14% IV - - - - 68,96% V - - - - -

Gambar

Gambar 2.1. Skema Metagenesis Paku Homospora
Gambar 2.2. Skema Metagenesis Paku Heterospora
Gambar 2.4. Daur Hidup Tumbuhan Paku
Gambar 5.1. Famili dengan Jumlah Jenis Terbesar
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian mengetahui Indeks Keanekaragaman, Indeks Dominansi, dan Kerapatan tumbuhan paku di kawasan Hutan Girimanik pada ketinggian tempat berbeda, 1.200

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji keanekaragaman burung pada Taman Wisata Alam Semongkat dan Hutan Produksi Jati di Sumbawa dan mendeskripsikan pengaruh

Identifikasi dan Pemetaan Potensi Wisata Alam di Hutan Pendidikan USU Taman Hutan Raya Bukit Barisan Kabupaten Karo [skripsi].. Program Studi

Dariana : Keanekaragaman Nepenthes Dan Pohon Inang Di Taman Wisata Alam Sicikeh-Cikeh Kabupaten Dairi Sumatera Utara, 2010... Dariana : Keanekaragaman Nepenthes Dan Pohon Inang

Hasil penelitian di Hutan Aek Nauli Kabupaten Simalungun yang dilakukan di lima lokasi berdasarkan ketinggian ditemukan 60 jenis tumbuhan paku yang terdiri dari 42 jenis tumbuhan

Berikut ini data mengenai komposisi jenis dan jumlah Individu dari setiap jenis tumbuhan bawah yang diperoleh pada lokasi penelitian di Kawasan Deleng Macik Taman Hutan Raya

Hasil penelitian di Taman Nasional Bukit Duabelas Provinsi Jambi dapat disimpulkan bahwa, keanekaragaman jenis tumbuhan paku relatif cukup tinggi yaitu 42 jenis yang

Spesies Amfibi ordo anura di Taman Wisata Alam Pulau Sangiang Berdasarkan penelitian keanekaragaman jenis amfibi ordo anura yang telah dilakukan di Taman Wisata Alam Pulau Sangiang