• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemetaan Zonasi Mikro Kerentanan Gempabumi Propinsi D.I. Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pemetaan Zonasi Mikro Kerentanan Gempabumi Propinsi D.I. Yogyakarta"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Simposium Geologi Yogyakarta - 23 Maret 2010 | 1

Pemetaan Zonasi Mikro Kerentanan Gempabumi Propinsi D.I. Yogyakarta

Salahuddin Husein, Subagyo Pramumijoyo, and Dwikorita Karnawati Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

corresponding email: shddin@gmail.com

SARI

Lebih dari 5700 orang meninggal dan lebih dari 200 ribu keluarga kehilangan tempat tinggal akibat gempabumi Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006, yang berlangsung selama 57 detik dengan kekuatan 5,9 skala Richter. Selain dipengaruhi oleh kualitas bangunan yang buruk dengan material dan rancangan yang tidak tahan terhadap gempabumi, kondisi geologi tampaknya menjadi faktor utama dalam respon lahan setempat terhadap tingkat kerusakan bangunan. Untuk mempelajari hal itu, Jurusan Teknik Geologi FT UGM sedang melakukan pengukuran mikrotremor di Propinsi D.I. Yogyakarta yang didukung oleh pemboran geologi teknik. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk meneliti berbagai faktor geologi pengontrol sifat respon lahan yang mempengaruhi tingkat kerusakan diatasnya dan untuk selanjutnya dikembangkan menjadi suatu peta zonasi mikro kerentanan gempabumi. Kehadiran peta zonasi mikro tersebut sangat penting untuk mendukung perbaikan kode pembangunan (building code) dan manajemen pemanfaatan lahan di daerah rawan gempabumi. Terdapat 4 zonasi mikro yang mengindikasikan berbagai tingkat respon lahan terhadap getaran gempabumi, yaitu zona penguatan sangat tinggi, penguatan tinggi, penguatan sedang dan penguatan rendah. Pengontrol utama tingkat respon penguatan lahan terhadap getaran gempabumi tersebut adalah kondisi stratigrafi atau urutan vertikal batuan setempat, terutama yang terkait dengan jenis batuan, berat jenisnya serta ketebalannya. Pengontrol lainnya adalah kehadiran sistem-sistem patahan pada batuan dasar dan konfigurasi geometri batuan dasar.

PENDAHULUAN

Pada tanggal 27 Mei 2006, pukul 05.54 WIB telah terjadi gempabumi tektonik dengan kekuatan 5,9 skala Richter atau dengan intensitas VI – VII skala MMI (BMG, 2006). Pusat gempa berada pada kedalaman 11.8 km dan titik episentrum gempa tersebut terletak 37.2 km selatan Yogyakarta pada lokasi 8.03 LS – 110.32 BT (Gambar 1). Getaran gempabumi dirasakan selama 57 detik di seluruh wilayah Provinsi D.I. Yogyakarta dan sebagian Provinsi Jawa Tengah, menghasilkan 5.778 orang meninggal, 37.883 orang terluka, 2.111.872 orang menjadi pengungsi, 139.859 rumah roboh, 190.025 rumah rusak berat, 278.124 rumah rusak ringan, 386 fasilitas kesehatan roboh dan rusak, 1.180 tempat ibadah roboh dan rusak, 2.936 sekolah roboh dan rusak, serta 1.368 kantor pemerintahan roboh dan rusak (Bakornas PBP, 2006).

Melihat dampak kerusakan sosial-ekonomi yang sangat serius tersebut, Jurusan Teknik Geologi FT UGM dengan dibantu oleh Jurusan Teknik Sipil, Jurusan Teknik Geodesi, Program Studi Geofisika UGM, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Yogyakarta, Pusat Survey Geologi (PSG) Bandung, Universitas Kyushu dan Universitas Kyoto di Jepang, dan Universitas East Anglia di Inggris, segera mengambil langkah-langkah kajian ilmiah untuk mendukung program pemulihan dan perbaikan daerah bencana.

(2)

Simposium Geologi Yogyakarta - 23 Maret 2010 | 2 Kondisi geologi lokal dan pengaruh topografi mengontrol sebaran kerusakan akibat gempabumi. Pada daerah yang berada di suatu lembah perbukitan dan disusun oleh sedimen lunak, penguatan atau amplifikasi getaran gempabumi seringkali terjadi dan menambah tingkat kerusakan yang ada. Sehingga penguatan atau amplifikasi getaran gempabumi oleh kondisi lokal tersebut memiliki implikasi penting dalam penataan ruang dan wilayah.

Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa tingkat kerusakan sosial-ekonomi yang serius tersebut disebabkan oleh tingkat pemahaman masyarakat terhadap bencana alam gempabumi yang masih rendah. Hampir semua bangunan yang rusak dibangun tidak mengikuti kode pembangunan (building code) untuk daerah rawan gempabumi. Aturan pembangunan yang ada umumnya masih bersifat regional dan berdasarkan pada informasi geologi yang bersifat regional pula. Keragaman tingkat kehancuran yang ada akibat gempabumi Yogyakarta tersebut menunjukkan adanya kontrol geologi lokal. Sehingga penyediaan informasi skala detail mengenai karakteristik lahan dan geologi setempat dimana bangunan tersebut berada menjadi sangat diperlukan. Makalah ini mencoba untuk memaparkan hasil penelitian zonasi mikro tingkat kerentanan gempabumi untuk Propinsi D.I. Yogyakarta yang tengah berjalan. Diharapkan melalui makalah ini masyarakat luas dapat mengambil manfaat yang diperlukan dalam menata ruang lingkungan tinggal.

KONDISI GEOLOGI DAN SEJARAH KEGEMPAAN YOGYAKARTA Geologi Yogyakarta

Yogyakarta merupakan suatu depresi atau cekungan yang dibatasi di bagian utara oleh Gunung Merapi yang berumur Kuarter; bagian timurnya dibatasi oleh Pegunungan Selatan dan bagian baratnya dibatasi oleh Pegunungan Kulon Progo, dimana keduanya disusun oleh batuan berumur Tersier; serta bagian selatannya dibatasi oleh Samudera India (Gambar 2). Batuan berumur Tersier yang ada di Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon Progo terdiri dari serial batuan klastik produk gunungapi purba (Formasi Nanggulan, Kebobutak, Semilir, Nglanggran, Wuni dan Sambipitu) dengan kisaran umur sekitar 57 – 18 juta tahun lalu, yang ditumpangi oleh serial batuan karbonat produk pengendapan laut dangkal (Formasi Wonosari, Jonggrangan, Kepek dan Sentolo) dengan kisaran umur sekitar 20 – 1.6 juta tahun silam.

Pengangkatan Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon Progo pada sekitar 1.6 juta tahun lalu telah menciptakan sebuah cekungan atau depresi diantara keduanya, yang diberinama geografis sebagai Cekungan Yogyakarta. Gunungapi Merapi kemudian muncul di sebelah utara dan mengisi Cekungan Yogyakarta dengan endapan volkaniknya, yang sebagian besar dibawa oleh sungai-sungai yang berhulu di lereng gunungapi tersebut. Ketebalan endapan volkanik Merapi tersebut dapat mencapai lebih dari 100 m (Hendrayana, 1993). Hingga saat ini, proses sedimentasi oleh sungai masih terus mendominasi di Cekungan Yogyakarta, mengendapkan kerikil, pasir, lanau dan lempung di sepanjang lembah alirannya. Di sepanjang pesisir selatan, pasir halus yang kaya unsur besi yang telah dibawa oleh sungai-sungai tersebut ke laut diendapkan kembali oleh angin sebagai gumuk-gumuk pasir.

Suatu sistem patahan yang terletak diantara Cekungan Yogyakarta dan Pegunungan Selatan berhasil dikenali dari survey gaya berat (Untung dkk., 1973). Patahan tersebut dikenal dengan nama Patahan Opak dengan blok bagian baratnya relatif turun terhadap blok bagian timur (Gambar 2; Rahardjo dkk., 1995). Kertapati dkk. (1992) menginterpretasikan Patahan Opak sebagai patahan aktif namun tidak diketahui jenis

(3)

Simposium Geologi Yogyakarta - 23 Maret 2010 | 3 pergerakannya. Sudarno (1997) melengkapi sistem Patahan Opak dan mengidentifikasi berbagai patahan berarah utara – selatan dan baratlaut – tenggara di sekitar Patahan Opak. MacDonald & Partners (1984) dengan pemboran geoteknik dan survey geolistrik telah menginterpretasikan sistem patahanyang tertimbun endapan volkanik Merapi yang berarah utara – selatan dan timur – barat yang merupakan kelanjutan dari Patahan Opak ke arah Cekungan Yogyakarta.

Sejarah kegempaan Yogyakarta

Yogyakarta seringkali mengalami peristiwa gempabumi. Berikut beberapa gempabumi historis yang pernah dicatat oleh BMG (Gambar 3; Husein et al., 2007). Pada tanggal 10 Juni 1867 pernah terjadi gempabumi dengan intensitas VIII – IX skala MMI, menyebabkan 5 orang meninggal dan 372 rumah roboh. Titik episentrumnya diperkirakan berada di darat di sekitar Patahan Opak (Visser, 1922). Getarannya terasa sampai Surakarta, Jawa Tengah, dan mengakibatkan runtuhnya tugu Kraton Yogyakarta dan rusaknya kompleks peristirahatan raja di Tamansari. Kediaman Residen Belanda di Gedung Agung juga turut ambruk.

Pada tanggal 27 September 1937 terjadi gempabumi dengan intensitas VII – IX skala MMI yang berpusat pada posisi 8.7 LS – 110.8 BT. Akibat gempa ini dilaporkan 2.200 rumah roboh di Klaten, 326 rumah roboh di Prambanan, banyak rumah yang rusak di Yogyakarta dan seorang menunggal. Dilaporkan getaran gempa ini terasa sampai ke Lombok.

Pada tanggal 23 Juli 1943 terjadi gempabumi yang berpusat di 8.6 LS - 109.9 BT pada kedalaman 90 km dengan kekuatan 8,1 skala Richter atau dengan intensitas VII – VIII skala MMI. Getarannya terasa dari Garut hingga Surakarta. Gempa di Samudra Hindia ini menelan korban 213 orang meninggal, 1.842 orang luka berat, 2.096 luka ringan, 12.603 rumah roboh, 166 rumah rusak berat dan 15.275 rumah rusak ringan (van Bemmelen, 1949).

Pada tanggal 12 Oktober 1957 terjadi gempabumi dengan kekuatan 6.4 skala Richter atau intensitas VII skala MMI dan berpusat di 8.3 LS – 110.3 BT pada kedalaman 87 km. Getaran gempa terasa di Yogyakarta.

Pada tanggal 14 Maret 1981 terjadi gempa berkekuatan 6 skala Richter atau intensitas VII skala MMI. yang berpusat pada 7.2 LS - 109.3 BT di kedalaman 33 km. Gempa tersebut meretakan dinding Hotel Ambarukmo.

Pada tanggal 9 Juni 1992 terjadi gempa tektonik berkekuatan 6.5 skala Richter dengan kedalaman 106 km. Kejadian ini berlangsung sekitar satu menit dan sangat terasa di daerah Yogyakarta, Semarang, Solo, dan Magelang.

Pada tanggal 25 Mei 2001 terjadi gempa dengan kekuatan 6.2 skala Richter yang berpusat di 8.62 LS - 110.11 BT dan mengguncang Semarang, Kudus, Surakarta, Magelang, dan Yogyakarta. Beberapa bangunan di Bantul mengalami keretakan.

Pada tanggal 19 Agustus 2004 terjadi gempa tektonik mengguncang wilayah Yogyakarta berkekuatan 6.3 skala Richter yang berpusat 9.22 LS - 109.58 BT dan kedalaman 55 km.

Pada tanggal 19 Juli 2005 kembali terjadi gempabumi dengan kekuatan 5.5 skala Richter dengan pusat gempa pada jarak 220 km di selatan Yogyakarta di Samudra

(4)

Simposium Geologi Yogyakarta - 23 Maret 2010 | 4 Indonesia dengan kedalaman 33 km dengan. Gempa tersebut hanya berlangsung selama 5 detik dan tidak menimbulkan kerusakan berarti.

METODOLOGI

Untuk mengetahui kondisi geologi lokal, beberapa metode penyelidikan dipilih. Data amplifikasi lahan diperoleh dengan survei mikrotremor. Karakteristik sedimen lepas pengisi Cekungan Yogyakarta didapatkan dari data pemboran geologi teknik.

Mikrotremor adalah pengukuran frekuensi resonansi alamiah suatu titik di permukaan bumi. Prinsip dasarnya adalah untuk menjelaskan gejala amplifikasi oleh energi gempabumi ketika gelombang gempabumi mengalami pengurangan kecepatan rambat ketika memasuki lapisan batuan atau sedimen dengan densitas yang lebih kecil. Amplifikasi gempabumi tergantung terutama pada perbedaan atau kontras impedansi (nilai perkalian berat jenis batuan dan kecepatan gelombang S) antara lapisan keras dibawah dengan lapisan sedimen lunak diatasnya. Dalam beberapa kasus, nilai besaran amplifikasi dapat mencapai 20 kali, yang terjadi karena adanya lapisan sedimen sangat lunak yang berada diatas batuan dasar yang sangat keras.

Sebuah teknik empiris untuk memperkirakan karakteristik resonansi lapisan sedimen adalah dengan teknik Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR) atau sering pula disebut sebagai Teknik Nakamura (1989). Teknik ini membandingkan komponen spektrum horisontal terhadap komponen spektrum vertikalnya. Secara teori, frekuensi resonansi yang diukur nilainya mendekati nilai yang dihitung dari analisa standar rekaman langsung dari gempabumi besar (Lermo dkk., 1988). Namun demikian, faktor amplifikasi dari HVSR cenderung lebih kecil dari faktor amplifikasi sebenarnya dari gempabumi sesungguhnya. Dengan demikian faktor amplifikasi dari HVSR masih dapat dipergunakan sebagai nilai pendekatan minimal terhadap faktor amplifikasi tanah (Bard, 2000; Bonnefoy-Claudet et al., 2004).

Pengukuran mikrotremor dilakukan pada lintasan dengan interval 500 m antara lintasan. Pada lintasan pengukuran, data diambil di setiap interval 500 m, namun dapat didetailkan hingga interval 250 m untuk daerah yang memiliki variasi amplifikasi yang besar. Perekaman mikrotremor dilakukan sekitar 5 menit dengan menggunakan seismometer L4C-D dan data-logger Datamark LS-7000. Pada beberapa titik, pengukuran dilakukan selama 20 hingga 30 menit untuk kontrol kualitas data.

Hasil terolah dibagi menjadi empat kelas, yaitu amplifikasi sangat kuat bila terjadi getaran tanah > 7 kali lebih besar daripada getaran di batuan dasar, amplifikasi kuat bila getaran tanah 5 – 7 kali lebih besar daripada getaran batuan dasar, amplifikasi menengah bila getaran tanah 3 – 5 kali lebih kuat daripada getaran batuan dasar dan amplifikasi rendah bila getaran tanah < 3 kali lebih besar daripada getaran batuan dasar (Ratdomopurbo, 2006).

HASIL DAN DISKUSI

Batuan dasar di daerah Yogyakarta dan Bantul tersusun dalam bentuk lembah cekungan besar dan dibatasi oleh patahan turun yang berarah timurlaut-baratdaya. Patahan turun tersebut menjadi batas timur membentuk lembah aliran Sungai Opak. Dari berbagai titik pemboran geologi teknik, dapat diketahui bahwa batuan dasar cekungan yang tersusun oleh breksi andesit dijumpai pada kedalaman sekitar 40 m dari permukaan tanah. Batuan

(5)

Simposium Geologi Yogyakarta - 23 Maret 2010 | 5 dasar breksi andesit tersebut kemudian ditutup oleh endapan lumpur dari rawa purba dengan ketebalan sekitar 2 m.

Setelah pengendapan lumpur rawa tersebut, cekungan Yogyakarta kemudian terisi oleh endapan sungai yang bersifat lepas dan tersusun oleh pasir kerikilan dan pasir lempungan dengan diselingi oleh endapan lahar yang tersusun oleh pasir kerikilan masif. Penguatan respon lahan terhadap gempabumi diinterpretasikan dari pengukuran mikrotremor dan hasilnya menunjukkan bahwa proses penguatan tersebut hanya terjadi pada endapan sungai yang bersifat lepas dalam jangkauan kedalaman sekitar 30 m saja.

Di Kabupaten Kulon Progo, pada daerah dataran rendah di sebelah timur terisi oleh material rombakan dari Pegunungan Kulom Progo. Sebagai besar tertutup oleh lempung akibat terbentuknya rawa-rawa antar pegunungan, sebelum kemudian tertutup oleh material debris hasil erosi dan gerakan massa lereng pegunungan. Demikian juga untuk dataran rendah di sebelah selatan, sedimen yang menutupinya berasal dari proses pantai dan laut, karena merupakan endapan pantai purba. Di daerah tersebut, beberapa tempat dijumpai endapan lempung yang tebal, sebagai produk endapan rawa pantai yang tertimbun oleh pasir pantai. Kondisi tersebut menyebabkan terjadi penguatan getaran gempabumi secara lokal yang cukup kuat. Hasil pemetaan zonasi mikro dapat dilihat pada Gambar 4.

REFERENSI

Badan Meterologi dan Geofisika. 2006. Berita Gempabumi No. : 66 /NSC/V/2006, 27 Mei 2006.

Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi. 2006. Buletin Laporan Perkembangan Penanganan Bencana Gempa Bumi Di Jogjakarta dan Jawa Tengah, No. 32, 3 Juli 2006, 13 halaman + lampiran.

Bard, P.-Y., 2000. Lecture notes on ‘Seismology, Seismic Hazard Assessment and Risk

Mitigation’, International Training Course, Potsdam, p. 160.

Bonnefoy-Claudet, S., C. Cornou, J. Kristek, M. Ohrnberger, M. Wathelet, P-Y Bard, P. Moczo, D. Fäh, and F. Cotton (2004) Simulation Of Seismic Ambient Noise: I Results of H/V and Array Techniques on Canonical Models, Proceedings of the 13th

World Conference on Earthquake Engineering, Vancouver, B.C., Canada, August

1-6, 2004, Paper No. 1120.

Hendrayana, H., 1993. Hydrogeologie und Grundwasssergewinnung im Yogyakarta – Becken, Indonesien. Doktors der Naturwissenschaften genehmigte Dissertation, Technischen Hochschule Aaachen, 117 hal.

Kertapati, E. K., Soehaemi, A. dan Djuhanda, A., 1992. Peta Seismotektonik Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

Lermo, J., Rodriguez, M. dan Singh, S.K., 1988. Natural Periods of Sites in the Valley of Mexico from Microtremor Measurements and Strong Motion Data. Earthquake Spectra, 4-4, hal. 805-814.

Nakamura, Y., 1989. A Method for Dynamic Characteristics Estimation of Subsurface Using Microtremor on the Ground Surface. QR of R.T.R., Vol. 30, No.1, hal. 25-33. Rahardjo, W., Sukandarrumidi dan Rosidi H. M. D., 1995. Peta Geologi Lembar

Yogyakarta, Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

Ratdomopurbo, A., 2006. Laporan Survei Mikrotremor Pengukuran Amplifikasi Lahan di Wilayah Bantul, Jogjakarta. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian, Yogyakarta. Tidak dipublikasikan. 22 hal.

(6)

Simposium Geologi Yogyakarta - 23 Maret 2010 | 6 MacDonald, Sir M., dan Partners., 1984. Greater Yogyakarta Groundwater Resources Study - Vol 2 Hydrology. Report of Groundwater Development Project (P2AT), Directorate General of water Resources Development, Ministry of Public Works, Government of the Republic of Indonesia, Sir M MacDonald & Partners in association with Binnie & Partners, Hunting Technical Services Ltd.

Suantika, G. dan Surono, 2006. Aftershock and Deformation Research of Yogyakarta Earthquake May 27, 2006. Dipresentasikan pada Seminar Nasional Geologi Indonesia: Dinamika dan Produknya. Bandung, 5 Desember 2006.

Sudarno, Ign. 1997. Kendali Tektonik Terhadap Pembentukan Struktur pada Batuan Paleogen dan Neogen di Pegunungan Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sekitarnya. Thesis Magister Program Studi Geologi, Institut Teknologi Bandung, 167 p.

Untung, M., Ujang K. dan Ruswandi E. 1973. Penyelidikan gaya berat di daerah Yogyakarta- Wonosari, Jawa Tengah. Publikasi Teknik Seri Geofisika, no. 3, Direktorat Geologi Bandung

UNOSAT. 2006. Preliminary Damage Assessment – Java Earthquake.

http://unosat.web.cern.ch/unosat/asp/prod_free.asp?id=21.

Van Bemmelen, R.W. 1949. The Geology of Indonesia, vol. 1A, General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagoes. Martinus Nijhoff, The Haque.

Visser, S., 1922. Inland and Submarine Epicentra of Sumatra and Java Earthquakes. Koninklijk Magnetisch en Meteorologisch Observatorium te Batavia, 9, hal.1-14.

(7)

Simposium Geologi Yogyakarta - 23 Maret 2010 | 7 Gambar 1. Titik episentrum gempabumi 27 Mei 2006 (bintang merah; BMG, 2006) dan peta intensitas gempabumi dalam skala MMI (garis merah; Suantika and Surono, 2006) untuk daerah Yogyakarta dan sekitarnya, serta peta sebaran kerusakan fisik sementara (poligon berwarna; UNOSAT, 2006). Garis hitam tebal adalah sebaran patahan (Rahardjo dkk., 1995) dan garis hitam putus-putus adalah sebaran patahan tertimbun (MacDonald, 1984). Daerah dengan kerusakan paling parah dan daerah dengan intensitas paling tinggi terletak di sepanjang zona Patahan Opak yang berarah timurlaut – baratdaya.

(8)

Simposium Geologi Yogyakarta - 23 Maret 2010 | 8 Gambar 2. Diagram 3 dimensi kondisi geologi Yogyakarta (Setijadji et al., 2007; dimodifikasi dari Rahardjo dkk., 1985). Garis putus-putus merupakan batas administratif Provinsi Yogyakarta. Garis tebal adalah patahan, dimana garis tebal putus-putus adalah Patahan Opak.

(9)

Simposium Geologi Yogyakarta - 23 Maret 2010 | 9 Gambar 3. Sebaran episentrum gempabumi yang pernah terjadi di Yogyakarta dan pesisir selatan Jawa Tengah 1867 – 2006 (sumber data dari BMG; kecuali garis episentral tahun 1867 dari Visser, 1922).

(10)

Simposium Geologi Yogyakarta - 23 Maret 2010 | 10 Gambar 4. Sebaran amplifikasi lahan di Kabupaten Kulon Progo.

Referensi

Dokumen terkait

Semua informasi yang berhubungan dengan produk ini dan / atau saran untuk penanganan dan penggunaan yang tercantum disini adalah benar dan dapat dipercaya. .Akan tetapi Akzo

Berdasarkan fenomena yang ada, peneliti tertarik untuk mengetahui banyak tentang entrepreneur mindset Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), yaitu bagaimana latar

Dapat disimpulkan bahwa 92,36% UMKM sudah menggunakan perangkat IT baik berupa komputer, laptop, tablet, dan smartphone untuk mendukung usaha mereka sedangkan yang tidak

Studi pendahuluan menemukan bahwa siswa kelas X SMAN 2 Jombang mengalami miskonsepsi pada materi listrik dinamis dengan topik: arus dikonsumsi oleh komponen (model konsumsi

Proses pengelasan dimana energi panas untuk melelehkan logam dasar (base metal) dan logam pengisi (filler) berasal dari terak yang berfungsi sebagai tahanan listrik ketika

Tabel4.19 Distribusi jawaban saya bekerja semata-mata ingin memperoleh penghargaan dari pimpinan...60 Tabel4.20 Distribusi jawaban tentang saya bekerja hanya ingin

Peningkatan skor baik pada pengetahuan, sikap, dan keterampilan pada kelompok intervensi mengindikasikan bahwa metode yang dipergunakan dalam pelatihan ini

non perizinan, Kepala BPTSP atas nama Gubernur dapat memberikan pemberitahuan .tertulis secara manual dan/atau elektronik kepada Kepala SKPD/UKPD Teknis terkait dengan