• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabel 1 Daya tahan Brucella abortus pada berbagai kondisi lingkungan (Crawford et al. 1990). Terkena sinar matahari langsung Tanah : tanah kering

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tabel 1 Daya tahan Brucella abortus pada berbagai kondisi lingkungan (Crawford et al. 1990). Terkena sinar matahari langsung Tanah : tanah kering"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Kabupaten Belu

Letak Geografis, Topografi dan Iklim. Kabupaten Belu adalah salah satu kabupaten dari lima kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak di daratan Timor di bagian paling timur dan berbatasan langsung dengan Negara Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Dalam posisi astronomis, wilayah Kabupaten Belu terletak antara koordinat 124º 38’ 33” BT– 125º 11’ 23” BT dan 08º 56’ 30” LS – 09º 47’ 30” LS. Kabupaten Belu secara geografis meliputi wilayah dengan-batas-batas sebagai berikut:

- Sebelah utara :: berbatasan dengan Selat Ombai - Sebelah selatan :: berbatasan dengan Laut Timor - Sebelah timur :: berbatasan dengan wilayah RDTL

- Sebelah barat :: berbatasan dengan wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) (Bappeda Kab. Belu 2009)

Secara administratif, Kabupaten Belu yang memiliki luas wilayah mencapai 2.240,05 km2, terbagi atas 24 kecamatan serta 208 desa hasil pemekaran ke-2. Keadaan topografi Kabupaten Belu bervariasi antara ketinggian 0 sampai dengan +1500 m.dpal (meter di atas permukaan laut). Variasi ketinggian rendah (0-150 m.dpal) mendominasi wilayah bagian selatan dan sebagian kecil di bagian utara. Sementara pada bagian tengah wilayah ini terdiri dari area dengan dataran sedang (200-500 m.dpal). Dataran tinggi di Kabupaten Belu ini hanya menempati kawasan pada bagian timur yang berbatasan langsung dengan RDTL. Zona-zona dataran rendah di bagian selatan ini sebagian besar digunakan sebagai areal pertanian dan kawasan cagar alam hutan mangrove (Bappeda Kab. Belu 2009).

Secara umum Kabupaten Belu beriklim tropis, dengan musim hujan yang sangat pendek (Desember – Maret) dan musim kemarau yang panjang (April– Nopember). Temperatur di Kabupaten Belu suhu rata-rata berkisar 27,6º C dengan interval 21,5º - 33,7º C. Temperatur terendah 21,5º C yang terjadi pada bulan Agustus dengan temperatur tertinggi 33,7º C yang terjadi pada bulan Nopember (Bappeda Kab. Belu 2009).

Komposisi penggunaan lahan wilayah Kabupaten Belu saat ini secara garis besar terbagi atas dua kelompok utama jenis penggunaan, yaitu

(2)

penggunaan lahan basah/sawah dan penggunaan lahan kering. Penggunaan lahan basah antara lain terdiri dari irigasi teknis setengah teknis, irigasi sederhana, irigasi desa dan sawah tadah hujan. Dari seluruh lahan basah yang ada, komposisi terbesar ditunjukan oleh irigasi setengah teknis dengan prosentase hanya mencapai 1,29% dari luas lahan keseluruhan Kabupaten Belu. Sedangkan untuk penggunaan lahan kering meliputi 11 jenis penggunaan, mulai dari penggunaan lahan pekarangan untuk wilayah terbangun, tegalan/kebun, ladang, padang rumput, rawa, tambak, kolam/empang, tanah kosong, hutan rakyat, hutan negara serta penggunaan lainnya (Bappeda Kab. Belu 2009).

Kabupaten Kupang

Letak Geografis, Topografi dan Iklim. Kabupaten Kupang merupakan kabupaten yang terletak paling selatan di Indonesia. Secara geografis Kabupaten Kupang terletak pada 121o30’ BT- 214o11’ BT dan 9o19’ LS – 10o57’ LS dengan batas-batas wilayah :

- Sebelah utara :: berbatasan dengan Laut Sawu dan Selat Ombai - Sebelah selatan :: berbatasan dengan Samudera Hindia

- Sebelah timur :: berbatasan dengan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Ambeno (Timor Leste)

- Sebelah barat :: berbatasan dengan Kabupaten Rote Ndao dan Laut Sawu (KPDE Kab. Kupang 2007)

Luas wilayah Kabupaten Kupang 53.958,28 km2 yang terdiri dari wilayah daratan seluas 7.178,28 km2 dan wilayah laut seluas 46.780 km2 dengan garis pantai ± 492,4 km. Topografi kabupaten ini bergunung-gunung dan berbukit dengan derajat kemiringan sampai 45o. Permukaan tanah kritis dan gundul sehingga peka terhadap erosi, namun pada hamparan dataran rendah merupakan lahan yang subur dan luas dimana biasanya penduduk terkonsentrasi disana (KPDE Kab. Kupang 2007).

Kabupaten Kupang umumnya beriklim tropis dan kering yang juga cenderung dipengaruhi oleh angin. Musim hujan sangat pendek yaitu 3-5 bulan, sedangkan lama musim kemarau 7-8 bulan. Kabupaten ini dikategorikan sebagai daerah semi arid karena curah hujan yang relatif rendah dan keadaan vegetasi yang didominasi savana dan stepa. Kondisi iklim tersebut mempengaruhi pola bercocok tanam dan bertani masyarakat, dimana 3% atau sekitar 7.453 ha dari

(3)

luas wilayah merupakan tanah sawah kering dan 97% atau sekitar 572.365 ha merupakan tanah kering pekarangan atau tegalan. Kabupaten ini mempunyai lahan potensial untuk dijadikan padang penggembalaan seluas 15.465 ha, yang memungkinkan untuk pengembangan peternakan (KPDE Kab. Kupang 2007).

Kajian Biaya Manfaat Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Pada umumnya, penyakit yang terjadi pada populasi ternak piaraan (dan kadang-kadang pada hewan yang tidak dipelihara) dapat menurunkan jumlah dan/atau kualitas dari produk ternak tersebut yang digunakan untuk konsumsi manusia. Penyakit dapat meningkatkan biaya produksi menjadi dua kali. Pertama, karena sumber daya yang digunakan menjadi tidak efisien sebagai akibat dari produk yang dihasilkan memerlukan biaya tambahan. Kedua, yaitu biaya tambahan yang dikeluarkan oleh konsumen akibat rendahnya kualitas produk yang dikonsumsi. Ringkasnya, penyakit akan meningkatkan biaya (biaya produksi) dan menurunkan kualitas dari produk (Budiharta dan Suardana 2007). Menurut Morris (1997), efek penyakit terhadap produktivitas ternak antara lain : kematian premature, penurunan nilai ternak dan produk ternak yang dipotong, penurunan hasil dan produk ternak (seperti telur, susu), penurunan berat hidup dan penurunan konversi pakan (feed conversion).

Kajian biaya manfaat merupakan suatu kajian ekonomi untuk menentukan program/proyek yang memberikan keuntungan yang layak, dengan membandingkan biaya dan manfaatnya (Gittinger 1986). Pada keadaan dimana sumber-sumber yang tersedia bagi pembangunan terbatas, maka penghitungan biaya dan manfaat dari berbagai alternatif program sangat diperlukan untuk menghindari pengorbanan sumber-sumber yang langka (Kadariah 1986). Kajian manfaat dari biaya suatu program pengendalian penyakit dapat digunakan sebagai alat untuk membuat keputusan dengan mengacu kepada adanya keterbatasan sumber daya yag dialokasikan (Budiharta dan Suardana 2007).

Kajian ekonomi terhadap pengendalian penyakit hewan merupakan suatu hal yang kompleks. Hal ini dipengaruhi oleh keragaman penyakit, epidemiologi, kejadian penyakit dan kegiatan pencegahan dan pengendalian yang dilakukan. Untuk melakukan hal ini, diperlukan kombinasi pengetahuan tentang biologi dan kedokteran hewan dengan pertimbangan-pertimbangan finansial. Dengan demikian, pengetahuan mengenai kedua faktor tersebut, yaitu tentang ekonomi dan non ekonomi sangat diperlukan dalam kajian ekonomi ini (Tisdell 2006).

(4)

Menurut Gittinger (1986), semua kajian ekonomi terhadap suatu program/proyek menggunakan suatu asumsi. Harga merupakan gambaran dari nilai.

Menurut Sudardjat (2004), dengan kajian ekonomi yang tepat, secara obyektif dapat memberikan gambaran besarnya biaya maupun tingkat keuntungan yang bisa diperoleh dari masing-masing program yang ditawarkan. Kajian ekonomi dapat juga dipakai sebagai dasar argumentasi untuk meyakinkan pihak-pihak yang berkepentingan, terutama bagi pengambil keputusan dan bagi pihak pengolah dan penyedia dana.

Menghitung keuntungan dari suatu proyek atau program pengendalian penyakit jauh lebih sulit dan lebih rumit dibandingkan dengan menghitung pembiayaannya. Hal ini disebabkan komponen keuntungan yang diperhitungkan terdiri dari kategori-kategori keuntungan finansial dan non finansial, serta keuntungan yang bersifat sosial dan keuntungan lain yang merupakan implikasi langsung dan tidak langsung dari keberhasilan program yang bersangkutan (Sudardjat 2004).

Biaya (kerugian) ekonomi suatu penyakit hewan adalah suatu pertimbangan yang amat penting untuk membuat suatu program kontrol penyakit hewan. Perhitungan biaya ekonomi suatu penyakit hewan akan memperlihatkan suatu ukuran yang mana biaya kontrol suatu penyakit dapat diperbandingkan, sehingga dapat diidentifikasi program kontrol penyakit hewan yang paling efisien dan efektif dari segi pembiayaannya (Leksmono dan Holden 1994).

Total biaya ekonomi dari suatu penyakit hewan dapat diukur sebagai jumlah dari kerugian output/hasil ditambah dengan biaya kontrol. Penurunan terhadap output merupakan suatu kerugian karena keuntungan yang diperoleh menjadi terbuang (tidak maksimal). Disisi lain, biaya untuk input menjadi meningkat dan biasanya terkait dengan biaya kontrol penyakit, seperti biaya untuk dokter hewan dan obat-obatan (Budiharta dan Suardana 2007).

Brucellosis

Brucellosis disebabkan oleh bakteri Brucella sp, Hampir semua hewan domestik dapat terinfeksi, kecuali kucing yang diketahui resisten terhadap infeksi brucella. Patogen utama pada sapi adalah genus Brucella abortus (Crawford et al. 1990). Pada sapi, brucellosis disebut juga penyakit Bang (Bang’s disease), contagious abortion, infectious abortion dan enzootic abortion. Penyakit ini bersifat zoonosis. Pada manusia, penyakit ini disebut juga demam undulant

(5)

(undulant fever, malta atau mediterranean fever, maltese fever dan Bang’s fever (Merchant dan Barner 2004). Sapi dapat terinfeksi oleh Brucella melitensis dan Brucella suis ketika merumput atau menggunakan secara bersama-sama peralatan kambing, domba atau babi yang terinfeksi (PAHO 2003).

Brucella abortus Biovar 1 terdapat di seluruh dunia dan paling umum ditemukan diantara 7 Biovar yang terdapat di dunia (PAHO 2003). Geong (1999) mengatakan bahwa hanya Biovar 1 yang dapat dikultur dari sapi di Pulau Timor-NTT.

Cairan higroma merupakan spesimen terbaik untuk mengisolasi dan menemukan Brucella abortus. Sapi seropositif mempunyai proporsi 24,1 kali lebih besar untuk menderita higroma dibandingkan sapi seronegatif (Geong 1999). Pada kondisi ideal, Brucella abortus dapat menetap pada material organik seperti feses, cairan abortus dan susu sampai 6 bulan dan dalam fetus yang diabortuskan dapat bertahan sampai 8 bulan. Bakteri tersebut sangat rentan terhadap pengawetan dan pengeringan serta cahaya langsung. Semua jenis desinfektan standar dapat merusak Brucella sp. (AHA 2005). Tabel 1 di bawah ini menyajikan daya tahan Brucella abortus pada berbagai kondisi lingkungan.

Tabel 1 Daya tahan Brucella abortus pada berbagai kondisi lingkungan (Crawford et al. 1990).

Kondisi lingkungan Daya tahan

Terkena sinar matahari langsung

Tanah : tanah kering 4 hari

tanah lembab 66 hari

tanah dingin 151-185 hari

Air : air minum 5-114 hari

air tercemar 30-150 hari

Fetus yang diabortuskan 180 hari

Sumber utama infeksi adalah material abortus dari sapi betina abortus yang mencemari lingkungan via fetus, litter dan peralatan yang terkontaminasi. Ingesti pakan/makanan yang terkontaminasi merupakan rute utama penularan brucellosis. Penularan juga dapat terjadi melalui inhalasi debu yang mengandung kuman Brucella atau melalui kontak langsung. Brucella abortus paling sering ditemukan pada kelompok ternak yang bebas brucellosis melalui pemasukan sapi betina dan dara yang terinfeksi secara laten. Infeksi dapat juga berasal dari hewan lain yang telah terinfeksi (kuda, babi, kambing, domba, anjing) dan manusia yang terpapar (Blaha 1989).

(6)

Pada infeksi alam, masa inkubasi sulit ditentukan. Suatu penelitian menunjukkan bahwa masa inkubasi bervariasi dan tergantung tahap perkembangan fetus, masa inkubasi terpendek adalah pada hewan dengan usia kebuntingan tua. Jika betina terinfeksi secara oral pada saat masa kawin, masa inkubasi dapat mencapai 200 hari, sedangkan jika betina tersebut terinfeksi 6 bulan setelah masa kawin, maka masa inkubasi kira-kira 2 bulan. Masa “inkubasi serologi” (waktu dari terinfeksi sampai timbulnya antibodi) adalah beberapa minggu sampai beberapa bulan. Masa inkubasi bervariasi tergantung dari virulensi, dosis bakteri, rute infeksi dan kepekaan hewan (PAHO 2003).

Brucella masuk ke tubuh hewan dan berkembang biak mula-mula dalam limponodus regional dan kemudian dibawa oleh cairan limfe dan darah ke organ lainnya. Pada suatu percobaan, bakterimia terdeteksi 2 minggu pasca infeksi dan bakteri dapat diisolasi dalam aliran darah. Bakteri Brucella seringkali ditemukan dalam limponodus, uterus, mammae, limpa, hati dan pada organ genital sapi jantan (PAHO 2003).

Penyebaran brucellosis terutama melalui mutasi ternak pembawa (carrier) dari daerah tertular ke daerah bebas. Penyebaran penyakit terjadi dengan cepat pada kawasan dengan sistem peternakan ekstensif. Sedangkan pada daerah dengan sistem peternakan intensif, penyebaran penyakit relatif lambat (Rompis 2002).

Faktor yang berperan secara signifikan dalam penyebaran brucellosis adalah manajemen beternak, terutama dalam hal manajemen induk yang melahirkan dan lalu-lintas ternak (Makka 1989). Geong (1999) mengatakan bahwa lalulintas ternak yang seringkali tanpa didahului dengan tes terhadap brucellosis, mempunyai peranan yang signifikan dalam penyebaran brucellosis di daratan Pulau Timor. Transmisi Brucella abortus kemungkinan juga dipermudah oleh sistem peternakan di Pulau Timor yang bersifat ekstensif.

Makka (1989) mengemukakan bahwa terdapat perbedaan prevalensi brucellosis di antara kabupaten-kabupaten di Sulawesi Selatan. Infeksi brucellosis lebih sering pada sapi yang digembalakan di dataran tinggi daripada di dataran rendah. Hal ini kemungkinan karena perbedaan kepadatan populasi, jumlah sapi yang digembalakan di dataran tinggi lebih banyak daripada yang di dataran rendah, dimana sapi lebih sering ditambatkan dan dikandangkan. Menurut Crawford et al. (1990), terdapat hubungan antara kepadatan populasi dalam suatu kelompok ternak dan prevalensi penyakit, dimana kepadatan

(7)

populasi meningkatkan potensi kontak antara ternak yang sehat dengan ternak sakit.

Gejala utama brucellosis pada betina bunting adalah abortus, stillbirth (anak mati sesaat setelah dilahirkan) atau kelemahan anak yang dilahirkan. Umumnya, abortus terjadi pada pertengahan kebuntingan, seringkali disertai retensi placenta, yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya metritis ataupun infertilitas permanen. Pada betina yang dinseminasi dengan semen yang terinfeksi, dapat menyebabkan estrus berulang. Pada betina yang tidak bunting, tidak memperlihatkan gejala klinis, dan jika terinfeksi sebelum kawin, seringkali tidak terjadi abortus. Pada pejantan, bakteri Brucella dapat terlokalisir di testis, yang menyebabkan kebengkakan testis, berkurangnya libido dan infertilitas. Kadangkala testis menjadi atropi, adhesi dan fibrosis. Dapat pula terjadi seminal vesikulitis, ampulitis, higroma dan arthritis. (PAHO 2003).

Menurut Gul dan Khan (2007), terdapat banyak faktor yang mempengaruhi prevalensi brucellosis, yaitu kondisi iklim, geografi, spesies, jenis kelamin, umur hewan dan tes diagnosa yang digunakan. Berdasarkan penelitian Geong (1999), pada tahun 1996 seroprevalensi brucellosis di Kabupaten Kupang adalah 3,0% dan secara signifikan lebih rendah daripada di Kabupaten Belu dengan seroprevalensi 29,2%. Bersamaan dengan hasil penelitian tersebut, diketahui bahwa terdapat keterkaitan antara gejala klinis yang ada dengan seropositif terhadap CFT atau RBT. Di Kupang, 2,3% dari jumlah RBT positif menunjukkan stillbirth (anak mati sesaat setelah dilahirkan), 9,1% infertil (terhitung sudah 4 tahun sampai saat survei dilakukan tidak memproduksi/ menghasilkan anak). Tidak ada laporan abortus pada sapi seropositif, sedangkan 2% dari sapi seronegatif dilaporkan abortus.

Kabupaten Belu yang mempunyai seroprevalensi tinggi, sebanyak 32,9% sapi seropositif mengalami abortus, sedangkan sapi seronegatif yang mengalami abortus mencapai 9,1%, infertil mencapai 21,2%, stillbirth mencapai 11,8% dan yang menderita higroma mencapai 2% (Geong 1999).

Di Belu, stillbirth, abortus dan higroma secara lebih signifikan dapat dideteksi pada sapi seropositif daripada sapi seronegatif. Sapi yang abortus 9,6 kali lebih besar kecenderungan hasil pemeriksaan serologinya positif daripada sapi yang tidak abortus. Sapi Bali di Belu 5,9 kali lebih cenderung mengalami abortus daripada sapi di Kupang. Sapi di Kupang 13,5 kali lebih cenderung dapat menghasilkan anak yang normal daripada sapi dari Belu (Geong 1999).

(8)

Pengendalian dan Pemberantasan Brucellosis di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang

Pada prinsipnya, tujuan dan sasaran program pemberantasan brucellosis pada sapi adalah memperbaiki lingkungan budi daya peternakan sehingga bebas dari brucellosis, meningkatkan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi dan pada akhirnya untuk meningkatkan pendapatan petani peternak (Rompis 2002).

Strategi pemberantasan brucellosis harus disesuaikan dengan kondisi sistem peternakan setempat. Di Indonesia, usaha peternakan sapi kebanyakan dalam skala kecil dan bersifat tradisional atau peternakan rakyat. Sistem manajemen peternakan seperti ini sangat mempengaruhi pola penularan penyakit (Rompis 2002).

Menurut Ditkeswan (2001), daerah tertular brucellosis terbagi atas 2 kriteria yaitu daerah tertular ringan dan daerah tertular berat. Daerah tertular ringan yaitu daerah dengan prevalensi brucellosis ≤ 2% (dengan uji CFT), sedangkan daerah tertular berat yaitu daerah dengan prevalensi brucellosis > 2% (dengan uji CFT).

Program pengendalian dan pemberantasan brucellosis di Kabupaten Kupang dan Belu dimulai sejak ditetapkannya Surat Keputusan Gubernur Nomor 13 Tahun 1993 tentang Pedoman Pencegahan dan Pemberantasan Brucellosis di Provinsi Nusa Tenggara Timur (Disnak Prov. NTT 2008c). Pencegahan dan pemberantasan brucellosis di Provinsi NTT dilaksanakan melalui survei penyakit, vaksinasi, pengujian ternak, pemotongan bersyarat, pengaturan lalu lintas ternak dan identifikasi ternak (Gubernur Kepala Daerah Tk. I NTT 1993a).

Kabupaten Belu merupakan daerah tertular berat (prevalensi brucellosis >2%) dan kegiatan pemberantasan dilakukan melalui vaksinasi menggunakan vaksin Brucella strain 19. Sapi yang positif terhadap uji RBT diberi cap“S” di pipi kiri dan dianjurkan untuk dipotong bersyarat. Pengeluaran ternak sapi bibit untuk sementara dihentikan sampai Brucellosis dapat dikendalikan. Pengeluaran ternak sapi potong dari Kabupaten Belu hanya diijinkan melalui Pelabuhan Wini dan Pelabuhan Atapupu (Gubernur Kepala Daerah Tk. I NTT 1993b).

Data perkembangan prevalensi brucellosis di Kabupaten Belu tahun 1986-2009 disajikan pada Tabel 2.

(9)

Tabel 2 Perkembangan prevalensi brucellosis di Kabupaten Belu Tahun Prevalensi 1986 29,6 1991 30,0 1994 33,4 1996 31,2 2000 20,39 2002 20,6 2003 15,66 2004 14,66 2005 13,44 2006 12,74 2007 2008 15,62 11,24 2009* 14,5

Sumber : Disnak Prov. NTT *Lake PRMT 2010

Menurut Ditkeswan (2001), vaksinasi massal pada daerah tertular berat (prevalensi >2%), dilakukan serentak terhadap seluruh populasi selama 5 tahun berturut-turut. Vaksinasi tahun pertama dilakukan pada semua umur, pada tahun kedua dan seterusnya pada yang umur muda saja dan yang belum tervaksin pada tahun-tahun sebelumnya. Kemudian setelah tahun kelima dilakukan tes prevalensi, dan jika prevalensi sudah ≤ 2 % dilanjutkan dengan test and slaughter sampai tercapai status bebas.

Hasil survei Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI Denpasar di Kabupaten Belu pada tahun 2004, dari 5.066 sampel yang diperiksa dan berasal dari 4 kecamatan (Sasitamean, Malaka Timur, Tasifeto Barat dan Kobalima) sebanyak 395 (7,79%) positif reaktor brucellosis secara CFT, yang mengindikasikan bahwa program vaksinasi telah mampu menekan penyebaran brucellosis di lapangan (Dartini et al. 2004).

Vaksin Brucella abortus S19 merupakan jenis vaksin yang paling sering digunakan dalam pengendalian brucellosis dibandingkan jenis vaksin yang lain (OIE 2009). Jenis vaksin ini dapat memberikan kekebalan selama lebih dari 7 tahun (Pusvetma 2007). Pengendalian dengan vaksinasi massal bertujuan untuk menurunkan prevalensi penyakit serendah-rendahnya. Di negara Chili, prevalensi brucellosis turun dari 7% menjadi 3% dalam kurun waktu 10 tahun dengan proteksi 72,9%. Sedangkan di Argentina, prevalensi brucellosis turun dari 17% menjadi 13% dalam kurun waktu 10 tahun dengan proteksi 79,4% (Noor 2008).

Kabupaten Kupang merupakan daerah tertular brucellosis dengan prevalensi ≤ 2% (tertular ringan), sehingga pengendalian brucellosis melalui

(10)

potong bersyarat (test and slaughter) terhadap ternak sapi yang positif terhadap uji RBT (ternak reaktor). Ternak reaktor diberikan penandaan cap “S” di pipi kiri (Disnak Prov. NTT 2008b).

Gambar 1. Peta Administrasi Provinsi NTT

Menurut Ditkeswan (2001), test and slaughter dilakukan dengan :

(1) Tes RBT pada semua (100%) ternak sapi betina umur 12 bulan atau lebih dengan rincian :

a) Tes pertama pada semua desa di unit lokasi sasaran.

b) Tes kedua hanya pada desa-desa tertular/positif CFT dari test pertama saja.

c) Tes ketiga pada tahun ke-2 dan hanya pada desa-desa yang positif CFT sebelumnya sampai tidak ditemukan reaktor brucellosis (bebas sementara/provisionally free).

(2) Tes CFT pada semua sapi yang positif hasil tes RBT. (3) Pemotongan reaktor pada semua sapi yang positif CFT.

Pada daerah tertular ringan (prevalensi ≤ 2%) jika tidak dilakukan pemberantasan sejak dini, maka dalam 10 tahun mendatang prevalensi akan naik menjadi > 10% bahkan sampai 50-80% (Ditkeswan 2001). Kegiatan pemotongan bersyarat terhadap reaktor brucellosis diharapkan dapat mengakibatkan penurunan jumlah reaktor/sumber infeksi dari kelompok ternak (minimal 1%), penurunan jumlah desa dengan kategori tertular secara bertahap,

(11)

perluasan wilayah bebas brucellosis, peningkatan jumlah kelahiran hidup dan penurunan jumlah sapi abortus, higroma dan infertil (Disnak Prov. NTT 2008b).

Pemasukan ternak sapi ke wilayah NTT harus disertai surat keterangan uji brucellosis negatif. Pengeluaran ternak sapi bibit harus disertai dengan surat keterangan uji brucellosis negatif (Gubernur Kepala Daerah Tk. I NTT 1993a). Ternak sapi bibit yang dikeluarkan melalui Pelabuhan Laut harus dilakukan tindak karantina minimal 40 hari dan dilakukan uji RBT sebanyak 2 kali, yaitu pertama di holding ground pemerintah/swasta dan di karantina pelabuhan pengeluaran ternak. Ternak bibit yang positif uji brucellosis tahap I atau tahap II diberi cap “S” di pipi kiri dan dianjurkan untuk dipotong bersyarat (Gubernur Kepala Daerah Tk. I NTT 1993b).

Data perkembangan prevalensi brucellosis di Kabupaten Kupang tahun 1986-2009 disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Perkembangan prevalensi brucellosis di Kabupaten Kupang

Tahun Prevalensi (%) 1986 1,5 1991 5,0 1994 3,0 1996 0,7 2000 - 2002 - 2003 - 2004 1,6 2005 1,1 2006 1,98 2007 2008 - 6,85 2009* 2,0

Sumber : Disnak Prov. NTT *Perwitasari 2010

Noor (2008) mengatakan bahwa pemberantasan brucellosis dengan potong bersyarat dapat memberikan hasil yang sangat nyata apabila prevalensi penyakit rendah. Potong bersyarat harus dilakukan secara ketat untuk menghindarkan reinfeksi. Adapun negara yang menerapkan sistem ini dan berhasil adalah Cekoslovakia dan Swiss.

Gambar

Tabel  1    Daya  tahan  Brucella  abortus  pada  berbagai  kondisi  lingkungan  (Crawford et al
Tabel 2  Perkembangan prevalensi brucellosis di Kabupaten Belu  Tahun  Prevalensi  1986  29,6  1991  30,0  1994  33,4  1996  31,2  2000  20,39  2002  20,6  2003  15,66  2004  14,66  2005  13,44  2006  12,74  2007  2008  15,62 11,24  2009*  14,5
Tabel 3  Perkembangan prevalensi brucellosis di Kabupaten Kupang

Referensi

Dokumen terkait

Pada perguruan tinggi, penjadwalan kuliah sangat penting dalam proses perkuliahan, karena aktivitasdosen dan mahasiswa tergantung pada jadwal kuliah. Untuk mengatasi

Puji Syukur Kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis ucapkan karena skripsi dengan judul “ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSUMEN DALAM MEMILIH JASA EVENT ORGANIZER

Penelitian dalam tugas akhir ini berjudul “Pengaruh Ekstrak Alpukat (Persea Americana) Terhadap Penurunan Kadar Low Density Lipoprotein (LDL) Pada Tikus Putih

Pertama-tama, orang harus mengeluarkan uang yang banyak, termasuk pajak yang tinggi, untuk membeli mobil, memiliki surat ijin, membayar bensin, oli dan biaya perawatan pun

Kebutuhan fungsional ini meliputi semua hal yang dapat dihasilkan oleh sistem yang berhubungan dengan fitur, berikut kebutuhan fungsional yang akan dibangun pada

Berdasarkan hasil pengujian SPK ini menunjukkan bahwa penggabungan metode SAW dan TOPSIS pada aplikasi ApeMDos yang dibangun mampu membantu proses pengambilan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

(1) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola