• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kriminalisasi dari segi pandang Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsep

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kriminalisasi dari segi pandang Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsep"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Kriminalisasi

Dalam penulisan ini akan dipaparkan mengenai bagaimana konsep kriminalisasi dari segi pandang Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsep kriminalisasi menurut para ahli hukum dan Kriteria Kriminalisasi.

1. Pengertian Kriminalisai Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

Kriminalisasi ialah proses dimana yang menunjukkan perilaku yang awal mulanya tidak disebut sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat.15 Dalam hal kriminalisasi dapat diartikan sebagai suatu peristiwa atau kejadian berdasarkan suatu perilaku yang semula tidak dianggap sebagai suatu tindak pidana, tetapi kemudian karena suatu hal didalam prosesnya digolongkan menjadi peristiwa atau kejadian yang dapat dikatakan menjai tindak pidana. Yang mengakibatkan peristiwa itu menjadi tindak pidana, semisalnya karena peristiwa tersebut merugikan orang lain, mengganggu kepentingan umum, memberi kesan tidak enak dan menimbulkan dampak negatif lain-lainnya. Sehingga, suatu perilaku dalam suatu peristiwa oleh masyarakat dianggap menjadi peristiwa pidana.

(2)

2. Pengertian Kriminalisasi Menurut Para Ahli Hukum

Pemahaman tentang kriminalisasi tentunya tidak asing lagi bagi semua yang berkutat diranah hukum. Bahwa kriminalisasi mempunyai arti proses dimana penetapan suatuu perbuatan yang pada semula bukan dikategorikan sebagai tindak pidana berubah menjadi semacam tindak pidana diikuti dengan ancaman sanksi dalam pidana. Dalam prosesnya ini berujung dibentuknya suatu Undang-Undang didalam isinya tercantum bahwa perbuatan itu dinyatakan menjadi tindak pidana beserta tercantum ancaman sanksi pidananya. Mengenai definisi dari kriminalisasi itu sendiri sangatlah luas sekali, para ahli hukum berbeda-beda bentuk didalam menjelaskan definisi dari kriminalisasi tersebut.

Mengutip pendapat dari Soerjono Soekanto, proses kriminalisasi artinya suatu proses penyebutan, dimana suatu perbuatan tertentu yang oleh masyarakat tindakan atau pada suatu golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang bisa dipidana. Prosesnya ini berakhir terbentuknya peraturaan hukum pidana.16 Disini bisa ditarik pengertian bahwa proses kriminalisasi suatu perbuatan yang semula belum dianggap sebagai perbuatan pidana kemudian ditetapkan sebagai perbuatan pidana dengan tahap akhir dituangkan dalam bentuk peraturan hukum pidana.

Berdasarkan definisi-definisi berkaitan dengan pengertian kriminalisasi menurut para ahli hukum yang sudah dipaparkan diatas, dalam hal ini penulis merangkum yang pada dasarnya kriminalisasi itu

16Soerjono Soekanto. 1981. Kriminologi: Suatu Pengantar, Cetakan Pertama, Jakarta.Ghalia

(3)

adalah suatu bentuk proses dimana menyatakan suatu perbuatan pada awal mulanya bukan dikategorikan sebagai Tindak pidana berubah menjadi tindak pidana beserta dengan ancaman sanksi ancaman pidana. Dalam prosesnya ini berujung pada pembentukan suatu Undang-Undang yang isinya memuat bahwa perbuatan tersebut dinyatakan menjadi tindak pidana beserta termuat ancaman sanksi pidananya.

3. Kriteria Kriminalisasi

Kriminalisasi masuk kedalam politik penal, dapat disebut dengan kebijakan kriminal atau kebijakan dengan pendekatan hukum pidana. Pelaksanaan kriminalisasi tentunya tidak mudah dan tidak boleh sembarangan penggunaannya, karena perlu diingat bahwa kriminalisasi merupakan bagian dari hukum pidana yang sudah diketahui dikalangan hukum bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam menanggulangi kejahatan.

Didalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional yang diselenggarakan Agustus 1980 di Semarang. Sejalan dengan laporan yang dijelaskan didalamnya mengenai kriteria kriminalisasi dan dekriminalisasi, laporan tersebut menetapkan suatu perbuatan berubah menjadi disebut tindak pidana, diperlukan lebih lanjut dalam hal melihat kriteria umumnya yaitu:17

17Barda Nawawi Arief. 2010. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta. Prenada

(4)

a. Dalam melihat apakah suatu perbuatan dibenci maupun tidak disukai dilingkungan masyarakat karena merugikan maupun bisa merugikan, menimbulkan korban;

b. Dalam melihat terhadap biaya kriminalisasi apakah sepadan terhadap pencapaian hasilnya, berawal dari proses pembentukan Undang-Undang, penegakkan hukum, dan pengawasan hukum, serta beban yang ditanggung oleh pelaku kejahatan maupun terhadap korban yang harus sepadan dengan keadaan tertib hukum yang tercipta kedepannya;

c. Dalam melihat terhadap keseimbangan tugas pihak aparat hukumnya, apakah sudah sesuai kemampuan aparat penegak hukumnya sehinga tidak memberatkan tugasnya tersebut;

d. Dalam melihat perbuatan yang bisa berpotensi dalam membahayakan bagi masyarakat sehingga bisa menghalangi maupun menghambat cita maupun tujuan Bangsa Indonesia.

Di samping kriteria umum yang sudah disebutkan sebelumnya, Simposium juga menganggap penting dalam memerhatikan sudut pandang, perilaku dan sikap masyarakat berkaitan dengan apakah patut tercelanya suatu perbuatan tertentu, dengan langkah melakukan suatu penelitian, lebih khusus mengenai perkembangan sosial dan kemajuan perkembangan teknologi.18

(5)

Mengutip pendapat dari Sudarto, dalam melakukan kriminalisasi ada 4 (empat) syarat yang harus terpenuhi , ialah:

a. Dalam kriminalisasi suatu perbuatan harus mempunyai tujuan yang dapat menciptakan ketertiban dalam lingkungan masyarakat sehingga terciptanya Negara kesejahteraan.

b. Memperhatikan bahwa perbuatan yang bisa dikriminalisasikan ialah harus perbuatan yang memunculkan korban dan akan menciptakan kerusakan meluas didalam masyarakat.

c. Dalam kriminalisasi mempertimbangkan keseimbangan dalam faktor biaya yang dikeluarkan dan hasil yang akan dicapai.

d. Dalam kriminalisasi harus memperhatikan kemampuan aparat penegak hukumnya, tidak boleh melewati beban maupun melewati batasannya.19

4. Asas-asas Kriminalisasi

Dalam penggunaan kriminalisasi selain harus memperhatikan kriteria-kriteria suatu perbuatan yang dapat dikriminalisasikan, dalam melakukan kriminalisasi juga perlu memperhatikan asas-asas kriminalisasi untuk menjadi pedoman dalam penetapan suatu perbuatan dapat dikriminalisasikan menjadi tidak pidana.

Asas merupakan prinsip-prinsip atau berupa landasan dasar pembuatan suatu aturan kebijakan dan pengambilan keputusan berhubungan dengan kegiatan di kehidupan manusia. Asas hukum sendiri

(6)

ialah, konsep/gambaran falsafah negara, norma hidup dan doktrin tujuan. Disamping itu, asas hukum juga disebut sebagai suatu pikiran yang mengarahkan, dasar hukum, pertimbangan terhadap suatu kebijakan, gambaran harapan masyarakat, sudut pandang manusia. Dalam proses kriminalisasi ada 3 (tiga) asas kriminalisasi yang perlu dicermati dalam pembentukan Undang-Undang, sehingga dapat ditetapkan suatu perbuatan yang dapat disebut menjadi tindak pidana beserta ancaman sanksi pidana yang mengikuti, asas-asasnya ialah sebagai berikut: asas legalitas, asas subsidaritas, dan asas persamaan atau kesamaan.20

a. Asas legalitaas

Berbicara mengenai asas legalitas, sejatinya asas ini sudah dijadikan prinsip yang tertuang didalam KUHP yang berlaku sekarang. Ketentuan mengenai asas legalitas tersebut diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP. Mengutip pendapat yang dikemukakan Tongat, asas legalitas mempunyai arti bahwa prihal aturan pidana dalam undang-undaang hanya bisa berlaku terhadap suatu tindak pidana yang terbentuk setelah aturan pidana didalam Undang-Undang tersebut diberlakukan. Dengan demikian, mengenai tindak pidana yang terjadinya sebelum adanya aturan pidana didalam undang-undang sah diberlakukan, maka terhadap aturan pidana itu tidak bisa dijerat terhadap tindak pidana yang terjadi tersebut. Dapat dikatakan,

20Salman Luthan. 2009. Asas dan Kriteria Kriminalisasi. Jurnal Hukum. Nomor1. Vol.16.

(7)

aturan pidana dalam undang-undang itu hanya berlaku untuk waktu setelah disahkan undang-undang.21

Mengutip pendapat Moeljatno, asas legalitas merupakan pedoman yang menyatakan bahwa tidak ada perbuatan yang tidak diperbolehkan atau dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan atau tercantum lebih dulu dalam perundang-undangan. Istilah tersebut sering dikenal dalam bahasa Latinnnya ialah “Nullum

delictum nulla poena sine praevia lege” yang dikemukakan oleh Von

Feuerbach.22 Asas legallitas merupakan dasar dianggap paling berpengaruh dalam hukum pidana, khususnya dalam menjadi asas pokok atau utama dalam penetapan kriminalisasi.23

b. Asas Subsidaritas

Ada 2 faktor yang menjadikan asas subsidaritas dipandang berpengaruh dan penting didalam melakukan langkah upaya pelaksanaan kriminalisasi terhadap suatu perbuatan dapat menjadi tindak pidana, sebagai berikut:24

1) Melibatkan asas subsidaritas akan mendorong terciptanya hukum pidana yang bersifat adil;

2) Praktik perundang-undangan memunculkan dampak kurang baik terhadap sistem hukum pidana akibat dari overkriminalisasi dan

21Tongat. 2012. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan.

Malang. Umm Press. Hal.45.

22Moeljatno 2008. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta. Rineka Cipta. Hal.25. 23Salman Luthan. 2009. “Asas Dan Kriteria Kriminalisasi”…., Op.Cit. Hal.25. 24 Roeslan Salah. 1981. Asas Hukum Dalam Perspektif. Jakarta. Aksara Baru. Hal.48.

(8)

overpenalisasi, sehingga hukum pidana menjadi kehilangan martabat atau pengaruhnya dalam masyarakat.

c. Asas Persaman

Asas ini memiliki posisi yang penting dalam melakukan upaya kriminalisasi terhadap suatu perbuatan dapat menjadi tindak pidana. Menurut pendapat Lacretelle, asas ini bukan hanya sebagai suatu bentuk dorongan terhadap hukum pidana yang adil, tetapi juga bagaimana menetapkan hukuman pidana yang tepat pada sasaran kebutuhan aturan dalam masyarakat.25

A. Tinjauan Umum Tentang Pemalsuan

Dalam penulisan ini akan dipaparkan mengenai bagaimana pengertian pemalsuan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dan menurut Hukum Pidana Indonesia.

1. Pengertiaan Pemalsuan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

Secara jelas diuraikan pengertian pemalsuan didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu, pemalsuan adalah proses, cara, perbuatan memalsu. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan pengertian lebih lanjut didalam intelektual yaitu pemalsuan isi surat atau tulisan. Pemalsuan awalnya dari kata palsu, penulis memfokuskan pengertian palsu yang berkaitan dengan topik pembahasan pada tulisan ini yaitu palsu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian ke-1 yaitu palsu

(9)

artinya tidak tulen dan pengertian ke-4 yaitu palsu artinya curang, tidak jujur.26

2. Pengertian Pemalsuan Menurut Hukum Pidana Indonesia

Pengaturan mengenai pemalsuan surat dijumpai ketentuannya dalam Pasal 263 KUHP. Yang dimaksud dengan surat dalam pasal ini yaitu surat baik yang ditulis dengan tangan, mesin ketik maupun dicetak dan lain sebagainya. Surat yang dipalsukan disini memiliki kriteria yaitu:27

a. Surat tersebut bisa menciptakan sesuatu hak (contohnya: surat tanah, ijazah, tanda masuk, karcis, surat andil dan lain sebagainya);

b. Surat tersebut bisa menerbitkan suatu perjanjian (contohnya: surat perjanjian jual beli, surat perjanjian piutang, surat perjanjian sewa dan sebagainya);

c. Surat tersebut bisa menerbitkan suatu pembebasan hutang (cek, kwitansi dan dan lain sebagainya);

d. Surat yang dipergunakan untuk keterangan terhadap suatu perbuatan maupun suatu peristiwa (contohnya surat tanda kelahiran, buku nikah, buku khas, buku tabungan, surat angkutan, obligasi, dan lain sebagainya).

Mengutip pendapat menurut R.Soesilo, Bentuk-bentuk dari Pemalsuan surat dilakukan dengan cara sebagai berikut:28

26 Tim Redaksi Kamus, Op.Cit. Hal.1005-1006.

27R. Soesilo. 1996. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta

Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor. Politeia. Hal.195.

(10)

a. Melakukan pembuatan surat palsu, yang tidak benar dengan membuat isi surat tersebut bukan semestinya.

b. Melakukan pemalsuan surat dengan cara mengubah suatu surat sedemikian rupa sehingga isi surat tersebut menjadi lain dari isi yang asli atau sebenarnya. Menggunakan bermacam-macam cara seperti bisa dengan surat tersebut diganti dengan yang lainnya, bisa dengan cara mengurangkan, bisa juga dengan menambah maupun merubah sesuatu dari surat tersebut.

c. Melakukan pemalsuan tanda tangan, hal tersebut juga termasuk dari pengertian memalsu surat tersebut.

d. Dengan penempelan pada foto dari orang lain dari pemegang yang berhak (contohnya yaitu foto dalam ijazah sekolah).

e. Melakukan pemalsuan surat pada saat itu harus dengan maksud akan menggunakan maupun menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak palsu.

f. Dalam penggunaan surat tersebut harus dapat mendatangkan kerugian. Kata “Dapat” maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul sudah ada, jika terjadi baru kemungkinan akan adanya kerugian itu sudah cukup, perlu diperhatikan disini kata “kerugian” tidak hanya kerugian materiil, akan tetapi, juga meliputi kerugian kesusilaan, kerugian kemasyarakatan, kerugian kehormatan dan sebagainya.

g. Dalam hal ini yang dihukum tidak hanya pelaku yang memalsukan surat, tetapi juga juaga sengaja menggunakan surat palsu tersebut. Kata

(11)

“sengaja” maksudnya disini bahwa orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar-benar , bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu, ia tidak dihukum.

h. Dalam pelaku menggunakan surat palsu harus pula dibuktikan, bahwa pelaku bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula perbuatan itu harus dapat menimbulkan kerugian.

Pengaturan mengenai pemalsuan nama penulis buku dan lain-lain dapat kita lihat ketentuannya dalam Pasal 380 KUHP. Mengutip pendapat dari Prof. Wirjono Prodjodikoro berkaitan isi pasal 380 KUHP diatas, akan dijelaskan perbuatannya sebagai berikut:

a. Pertama, korban dibohongi ialah setiap orang lain yang melihat hasil pekerjaan itu tidak ada penyebutan terhadap akibat dari kebohongan yang dilakukan, terhadap pelaku maupun terhadap siapa yang melihatnya. Bisa dikatakan, bahwa tindak pidana tersebut dapat dibuat terlebih dahulu sehingga pelaku pemalsuan merasa bangga memiliki hasil pekerjaan dari orang lain yang namanya sudah diubah tersebut, b. Kedua, terlihat nyata terjadi penipuan terhadap seorang yang membeli

atau yang ditawari pekerjaan ini. Maka, timbul pertanyaan, mengapa tidakhanya tindak pidana yang kedua saja yang dimuat? Menurut Noyonlangemeyer, dalam hal ini tidak diarahkan untuk melindungi hak

(12)

cipta dari hasil pekerjaan-pekerjaan tersebut, tetapi lebih menitik beratkan kepada perlindungan kepercayaan masyarakat umum.29

B. Tinjauan Umum Tentang Hak Cipta

Pengertiannya berasal dari 2 (dua) penggabungan istilah yakni hak dan cipta. Mengutip dari KBBI, “Hak” mempunyai arti suatu kewenangan yang diberikan kepada pihak lain yang bisa disebut bersifat bebas dalam hal penggunaan yang dilakukan atau tidak dilakukan.30 sedangkan “cipta” maupun “ciptaan” sendiri ialah suatu hasil dari usaha yang disebut karya manusia dengan menggunakan perasaan, akal pemikiran, imajinasi, pengalaman dan pengetahuan.31

Hak cipta ialah masuk kedalam hukum HAKI, yang mana termasuk salah satu dari sekumpulan hak yang diatur tersendiri pada bidang ilmu hukum. Masuk kedalam bidang hak-hak yuridis dari buah karya-karya yang merupakan hasil dari pemikiran manusia berhubungan terhadap kepentingan dalam sifat moral dan ekonomi.32 Pembidangan yang meliputi hak-hak berdasar kekayaan intelektual sangat banyak, yang dapat berupa ilmu pengetahuan, seni, karya musik, karya sastra dan lain sebagainya.33

Secara yuridis, hak cipta diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pada dasarnya hak cipta

29Wirjono Prodjodikoro. 2003.Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Jakarta. Refika

Aditama. Hal.43-44.

30 Tim Redaksi Kamus, Op.Cit. Hal.382. 31 Ibid. Hal.215.

32Eddy Damian. 2002. Hukum Hak Cipta menurut beberapa konvensi Internasional,

Undng-undang Hak Cipta 1997 dan Perlindunganya Terhadap Buku serta Perjanjian Penerbitnya.

Bandung. Alumni. Hal.8.

33Suyud Margo. 2010. Hukum Hak Cipta Indonesia: Teori dan Analisis Harmonisasi

(13)

merupakan suatu hasil karya manusia yang keberadaannya haruslah diperhatikan dan dilindungi oleh negara. Dalam hal ini hak cipta yang selanjutnya akan dijelaskan dalam penulisan ini yaitu berhubungan dengan hak cipta yang merupakan hasil buah karya dari seseorang yang dilindungi oleh hukum yang ada dan berlaku. Pada penulisan hukum ini yang dimaksud hak cipta yang menjadi pembahasan adalah karya ilmiah yang berupa skripsi yang cara mendapatkannya dengan tidak halal atau dengan perbuatan curang memalsu.

C. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Dalam Lingkup Akademik 1. Pengertian Tindak Pidana

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tindak mempunyai arti langkah, perbuatan.34 Sedangkan arti pidana ialah perbuatan pidana (perbuatan kejahatan).35 Tindak pidana dapat disebut delik, yang mana delik mempunyai arti suatu perbuatan bisa dijerat hukuman karena dapat dikatakan sebagai pelanggaran terhadap Undang-Undang. Hal ini dapat diuraikan bahwa tindak pidana secara garis besar merupakan suatu perbuatan yang dilakukan mengarah pada kejahatan.

Para ahli hukum biasanya menyebut tindak pidana sebagai

strafbaarfeit, yang mengacu pada istilah perbuatan pidana, tindak pidana,

peristiwa pidana maupun delik. Istilah “strafbaar feit” sendiri diserap dari bahasa Belanda tersebut terdiri dari 3 (tiga) istilah, yaitu straf yang berarti hukuman (pidana), baar yang berarti dapat (boleh), dan feit yang

34Tim Redaksi Kamus, Op.Cit. Hal.1466. 35 Ibid.

(14)

berarti tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Jadi istilah

strafbaarfeit yakni peristiwa yang bisa disebut dipidana atau perbuatan

yang bisa dipidana.36

Mengutip pendapat dari Bambang Poernomo, perbuatan pidana memiliki arti suatu perbuatan didalam kandungan suatu peraturan hukum pidana dilarang maupun diancam dengan pidana terhadap barang siapa yang sengaja melanggar larangan itu.37 Mengenai penjabaran secara spesifik mengenai perbuatan pidana, Moeljatno mengemukakan, perbuatan pidana itu ialah perbuatan yang diancam dengan pidana, terhadap barang siapa melanggar larangan itu.38

Setelah diketahui hubungan pengertian bagaimana perbuatan diatas, kesimpulannya bahwa dapat dikatakan sebagai perbuatan/tindak pidana dimana suatu perbuatan dikatakan (sifatnya melawan hukum) yang dilakukan haruslah meemenuhi unsur-unsur yang dituangkan dalam rumusan undang-undang (melanggar ketentuan) yang didalamnya terdapat sanksi pidana.

Suatu hal bisa disebut sebagai tindak pidana disini haruslah suatu perbuatan yang sudah diatur dan memuat unsur-unsur tindak pidana, aturannya itu sudah ditetapkan dalam aturan hukum pidana yang didalamnya sudah termuat suatu sanksi pidana bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut dan pelakunya haruslah mempunyai kemampuan atau daya tanggungjawab. Kemampuan bertanggung jawab

36 I Made Widnyana. 2010. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta. Fikahati Aneska. Hlm.32. 37 Bambang Poernomo. 1992. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta. Ghalia Indonesia. Hlm.130 38 Tongat. 2012. Dasar-dasar Hukum Pidana…. Op.Cit. Hal.96.

(15)

disini memiliki artian bahwa pelaku kejahatan harus mampu bertanggungjawab atas apa yang diperbuatanya dalam artian tidak memiliki gangguan jiwa. Jika seseorang memiliki gangguan jiwa maka tidak bisa dikenai pidana.

Dengan demikian, dari penjabaran berkaitan dengan pengertian tindak pidana didalam rumusan rancangan KUHP Baru tentunya tidak terlepas dari unsur-unsur pembentuknya, sehingga dapat dijabarkan mengenai suatu pemahaman bahwa didalam suatu tindak pidana mengandung adanya perbuatan yang mana perbuatan yang bersifat positif (melakukan perbuatan) atau perbuatan yang bersifat negatif (tidak melakukan perbuatan), maksudnya ialah didalam peraturan dinyatakan sebagai perbuatan terlarang dan diancam menggunakan pidana. Perbuatan tersebut juga sifatnya melawan hukum, yang oleh masyarakat dilabeli menentang maupun berlawanan terhadap kesadaran hukum masyarakat umumnya dan tidak ada alasan yang digunakan untuk pembenaran perbuatan itu.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Secara umumnya dapat digolongkan kedalam 2 (dua) macam yaitu sebagai berikut:39

a. Unsur Objektif, yakni unsur yang terdapat diluar pelaku (dader) yang dapat berupa:

(16)

1) Perbuatan, disini dijabarkan dalam arti melakukan perbuatan maupun dalam arti tidak melakukan perbuatan.

2) Akibat, yakni menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam oleh Undang-Undang dan menyangkut syarat mutlak dalam perbuatan Pidana.

3) Kondisi maupun Masalah-masalah tertentu yang terlarang dan diancam oleh Undang-Undang.

b. Unsur Subjektif, yakni unsur yang terdapat dalam diri pelaku (dader) yang meliputi:

1) Suatu hal yang bisa dipertanggungjawabkannya seseorang berdasarkan perbuatan yang telah diperbuatanya (Kemampuan bertanggung jawab).

2) Kesalahan.40

Didalam unsur subjektif tindak pidana menekankan kemampuan dalam bertanggung jawab atas kesalahan berdasarkan perbuatan yang dilakukan seseorang sehingga dikatakan sebagai suatu tindak pidana. Tiga syarat untuk mengetahui seseorang bisa disebut mampu bertanggung jawab yaitu sebagai berikut:

a) Seseorang dapat mengerti akan nilai perbuatannya dan akibat perbuatannya tersebut;

b) Seseorang bisa menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang dilakukannya;

(17)

c) Seseorang haruslah sadar atas mana perbuatan yang dilarang dan mana perbuatan yang tidak dilarang oleh Undang-Undang maupun nilai yang hidup dalam masyarakat.41

3. Sifatnya Melawan Hukum Materiil

Ialah dimana perbuatan itu tidak hanya didasarkan pada peraturan maupun hukum tertulis saja, tetapi haruslah berpandangan dengan hukum yang tidak tertulis juga. Maka, menurut ajaran sifat yang melawan hukum, perbuatan itu dapat berpedoman pada hukum tertulis (undang-undang) dan hukum tidak tertulis.42

4. Penggolongan Tindak Pidana Menurut Doktrin

Umumnya dapat dibedakan ke dalam beberapa bagian-bagian, yakni sebagai berikut:43

a. Berdasarkan secara kualitatif atas kejahatan dan pelanggaran 1) Kejahatan

Perbuatan-perbuatan yang berlawanan dengan keadilan, tidak memandang perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang maupun tidak diancam. Namun, keberadaan perbuatan tersebut benar dirasakan dalam masyarakat sebagai suatu perbuatan yang menyimpang dan berlawanan dengan keadilan.44

41 Ibid.

42 Tongat. 2012. Dasar-dasar Hukum Pidana…. Op.Cit. Hal.176-177 43Ibid. Hal.105.

(18)

2) Pelanggaran

Merupakan suatu jenis perbuatan pidana yang oleh masyarakat baru disadari keberadaannya sebagai tindak pidana, dan oleh undang-undng dirumuskan menjadi delik.45

b. Digolongkan menjadi tindak pidana kesengajaan (dolus) dan tindak pidana kealpaan (culpa)

1) kesengajaan/dolus yakni delik yang mengandung unsur kesengajaan.

Didalam Penjelasan KUHP Belanda “kesengajaan” atau opzet diartikan sebagai “menghendaki” dan “mengetahui”. Dengan pembatasan tersebut secra umum dapatlah dijabarkan, bahwa “kesengajaan” mengandung artian bahwa adanya “kehendak” dan adanya “kesadaran/pengetahuan” dalamdiri seseorang yang melakukan perbuatan pidna. Berdasarkan konstruksi tersebut, maka seseorang dikatakan “sengaja” melakukan suatu perbuatan pidna apabila seseorang itu “menyadari/mengetahui” mengenai apa yang dilakukannya tersebut.46

a) Pandangan/ teori-teori tentang kesengajaan (a) Teori Kehendak

Seseorang dianggap “sengaja” melakukan suatu perbuatan (pidana) apabila orang itu “menghendaki” dilakukannya perbuatan itu. Dengan demikian seseorang dikatakan telah

45 Ibid. Hal.106. 46 Ibid. Hal.213-214.

(19)

dengan “sengaja” melakukan perbuatan suatu perbuatan (pidana) apabila dalam diri orang itu ada “kehendak” untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang.47

(b) Teori Pengetahuan/membayangkan

“sengaja” berarti “membayangkan” akan timbulnya akibat perbuatannya. Dalam pandangan teori ini, orang tidak bisa “menghendaki akibat” (suatu perbuatan), tetapi hanya bisa “membayangkan” (akibat yang akan terjadi).48

Dua teori kesengajaan yang diuraikan diatas, dapat ditarik kesimpulan yakni seseorang dianggap melakukan perbuatan pidana apabila orang itu menghendaki melakukan perbuatan pidana tersebut dan mengerti akibat yang akan ditimbulkan dari perbuatan pidana tersebut.

b) Bentuk/ Corak Kesengajaan

(a) Kesengajan sebagai maksud/tujuan

Hal tersebut akan terjadi apabila pelaku “menghendaki” melakukan sesuatu perbuatan sekaigus “menghendaki” terhadap timbulnya akibat perbuatan itu. Artinya, “kehendak” untuk melakukan “perbuatan” tersebut memang

47 Ibid. Hal.214. 48 Ibid. Hal.215.

(20)

“dimaksudkan” atau “ditujukan” untuk menimbulkan “akibat” untuk dikehendaki.49

(b) Kesengajaan dengan tujuan yang pasti atau yang merupakan keharusan atau Kesengajaan dengan sadar akan kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn/noodzakelijkheidbewustzijn) Hal ini akan terjadi apabila pelaku melakukan suatu perbuatan memiliki tujuan untuk memunculkan akibat tertentu, tetapi disamping akibat dituju itu pelaku menyadari, bahwa dengan menimbulkan akibat yang tertentu tersebut, perbuatan tersebut “pasti” akan menimbulkan akibat lain yang sebenarnya tidak dikehendaki hanya berdasarkan “kepastian” akan terjadinya.50

2) Tindak pidana kealpaan/culpa yakni delik yang mengandung unsur kealpaan.

Kealpaan/kelalaian merupakan penyebutan yang digunakan oleh masyarakat untuk menunjukkan pada setiap perbuatan yang tidak dilakukan dengan sengaja.51

Secara doktrinal, untuk timbulnya “kealpaan/kelalaian” harus dipenuhi dua syarat, yaitu sebagai berikut:

(a) Tidak adaya “kehati-hatian” yang diperlukan atau tidak adanya ketelitian yang diperlukan.

49 Ibid. Hal.216. 50 Ibid. Hal.217 51 Ibid. Hal.248.

(21)

Bahwa untuk adanya “kealpaan/kelalaian” pada seseorang maka harus dapat dibuktikan, bahwa orang itu telah berbuat “tidak hati-hati”. Dengan demikian, syarat pertama diatas hakikatnya ditunjukkan pada “kealpaan/kelalaian” terhadap “perbuatannya”, bukan terhadap akibatnya.52

(b)Adanya “akibat” yang dapat diduga sebelumnya

Syarat kedua ini mengandung pengertian, bahwa untuk adanya “kealpaan/kelalaian” pada diri seorang pelaku, harus dapat dibuktikan, bahwa pelaku “dapat” menduga akan timbulnya “akibat” dari perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian, syarat kedua diatas hakikatnya ditunjukkan pada “kealpaan/kelalaian” terhadap “akibatnya”,bukan terhadap perbuatannya.53

Uraian mengenai kesengajaan dan kealpaan dalam perbuatan tindak pidana dalam penelitian Hukum disini bertujuan dalam memudahkan penulis dalam pembahasan mengenai kualifikasi unsur-unsur kesengajaan pada suatu perbuatan pidana.

5. Tindak Pidana dalam Konsep KUHP Baru

Dalam Konsep KUHP Baru Tahun 2004 tindak pidana tidak dikualifikasikan atas kejahatan dan pelanggaran, tetapi diklasifikasikan

52 Ibid. Hal.249. 53 Ibid. Hal.251.

(22)

atas tindak pidana ringan, tindak pidana berat, dan tindak pidana sangat berat/serius. Berikut ini akan dijelaskan:54

a. Sangat ringan

Berasal dari tindak pidana yang oleh KUHP nya sekarang berlaku dikualifikasikan sebagai, yaitu tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda ringan (yaitu denda kategori I dan II) secara tunggal. Tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai “Pelanggaran”. b. Berat

Dalam hal ini tindak pidana yang pada dasarnya diancam dengan pidana penjara di atas 1 (satu) tahun sampai dengan 7 (tujuh) tahun dan dialternatifkan dengan denda kategori III dan IV.

c. Sangat berat/ serius

Dalam hal ini tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 7 (tujuh) tahun dan diancam dengan pidana yang lebih berat, yaitu pidana mati atau pidana seumur hidup, misalnya tindak pidana pembunuhan berencana dan lain-lain.

Sementara itu berkaitan dengan ketentuan kategori denda, ketentuannya dirumuskan dalam pasal 77 (3) Konsep KUHP baru yang menyatakan:

Kategori I Maksimum satu juta lima ratus ribu rupiah Kategori II Maksimum tujuh juta lima ratus ribu rupiah Kategori III Maksimum tiga puluh juta rupiah

(23)

Kategori IV Maksimum tujuh puluh lima juta Kategori V Maksimum tiga ratus juta rupiah Kategori VI Maksimum tiga miliar rupiah 6. Subjek Tindak Pidana

a. Manusia

Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang terjadi menjadi masalah pokok dalam hukum pidana. Bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah perbuatan manusia. Dengan demikian, maka pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu adalah manusia (natuurlijke person). Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa yang dapat menjadi pelaku tindak pidana itu adalah manusia.55

b. Korporasi/ Badan Hukum

Apabila badan hukum/ korporasi dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti mengadakan perjanjian, melakukan transaksi jual beli dan sebagainya. Sehingga, dikatakan bahwa badan hukum/ korporasi bisa melakukan tindak pidana.56

7. Tinjauan Umum Lingkup Akademik

Mengutip pendapat dari Chaplin, akademik ialah proses berfikir, daya menghubungkan, proses kognitif, kemampuan menilai, dan

55Ibid. Hal.117-118. 56Ibid. Hal.120.

(24)

kemampuan dalam mempertimbangkan dan juga merupakan kemampuan intelegensi maupun mental.57

Dalam penelitian ini, penulis lebih mengarahkan apa yang dimaksud Lingkup Akademik disini yaitu lebih mengarah pada pelaku pengguna maupun penyedia dalam Jasa Pembuat Karya Ilmiah dari kalangan yang berilmu dan berpendidikan tinggi. Dimana seharusnya hal tersebut tidak dilakukan karena mencidrai kemurnian akademik yaitu merusak hakikat kemurnian pendidikan dan menimbulkan kerusakan moral.

Pengaturan sanksi pidana mengenai pengguna maupun penyedia dalam Jasa Pembuat Karya Ilmiah skripsi atau karya ilmiah diranah akademik ini juga bersinggungan dengan adanya unsur-unsur dalam Pasal 25 ayat (2) dan Pasal 70 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

57Fatmi Sarah.2015. Kebebasan Inteklektual di Perpustakaan. Yogyakarta. Jurnal Iqra’.

Referensi

Dokumen terkait

Melalui identi- fikasi awal hambatan melaluipembelajaran bersama dengan guru PAUD Gugus 11 Arjowinangun untuk menemukenali faktor kegagalan pemahaman pada K13 PAUD dari

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan manajemen, proses manajemen, motivasi ekstrinsik, kompetensi organisasi, dan infrastruktur TI berpengaruh positif dan

Batubara daerah Ransiki, Papua Barat menarik untuk diteliti karena berada pada Formasi Tipuma yang berumur Pra-Tersier.. Batubara Pra-Tersier ini diharapkan memiliki

Dalam penelitian ini, penulis menganalisis struktur naratif pada artikel storytelling project sunlight “menyebarkan kebiasaan baik” dan “simak tips” dengan menerapkan

semikonduktor ini banyak digunakan sebagai bahan dasar untuk berbagai macam piranti optoelektronik antara lain fotodioda dan sel surya. a) Struktur kristal silikon

Dengan tingkat kepadatan yang sangat tinggi, Depok termasuk kota metropolitan. Ketersediaan hunian yang terjangkau dan strategis sangat diminati oleh warga kota.