• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL KURIKULUM SEKOLAH DASAR (SD) KONTEKS MASYARAKAT PERTANIAN DAERAH TANDUS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MODEL KURIKULUM SEKOLAH DASAR (SD) KONTEKS MASYARAKAT PERTANIAN DAERAH TANDUS"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

MODEL KURIKULUM

SEKOLAH DASAR (SD)

KONTEKS MASYARAKAT PERTANIAN DAERAH TANDUS

INSPIRASI DIVERSIFIKASI KURIKULUM

(Latar Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta)

Pusat Kurikulum dan Perbukuan

Badan Peneli an dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

(3)

Hak Cipta @2020 pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dilindungi Undang-Undang

INSPIRASI DIVERSIFIKASI KURIKULUM (Latar Kabupaten Gunung Kidul, DI. Yogyakarta) MODEL KURIKULUM SEKOLAH DASAR (SD):

KONTEKS MASYARAKAT PERTANIAN TANDUS ISBN: 978-602-244-391-9

Penyusun/Penulis Naskah: Jarwadi (Puskurbuk) Budi Santosa (Puskurbuk)

Meira Sar ka (SDI Nurul Hasanah Kota Tangerang)

Kontributor:

Vera Gin ng (Puskurbuk) Fera Herawa (Puskurbuk) Anggraeni (Puskurbuk)

SD Negeri Karangmojo II, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta (sebagai basis pengembangan model)

SD Negeri Paliyan II, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta (sebagai sekolah uji coba model) SD Negeri Je s I, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta (sebagai sekolah uji coba model) SD Negeri Semin I, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta (sebagai sekolah uji coba model) SD Negeri Cibungbun, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat (sebagai sekolah uji coba model) SD Negeri Margahayu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat (sebagai sekolah uji coba model) SD Negeri 2 Sukamenak, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat (sebagai sekolah uji coba model) SD Negeri 3 Cibalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat (sebagai sekolah uji coba model) SD Negeri 2 Kepandean, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (sebagai sekolah uji coba model) SD Negeri 3 Margadadi, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (sebagai sekolah uji coba model) SD Negeri 1 Babadan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (sebagai sekolah uji coba model) SD Negeri 1 Karangsong, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (sebagai sekolah uji coba model)

usat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) yang salah satu tugas dan fungsinya adalah fasilitasi pengembangan kurikulum dalam rangka penyiapan bahan kebijakan teknis pengembangan kurikulum. Salah satu program Puskurbuk tahun 2020 adalah melakukan pengembangan model kurikulum kontekstual satuan pendidikan. Pengembangan model kurikulum kontekstual satuan pendidikan dimaksudkan untuk memberikan inspirasi kepada satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum operasional sesuai dengan potensi lingkungan serta memperha kan prioritas pembangunan daerahnya.

Pengembangan model kurikulum kontekstual dilakukan dengan memilih latar daerah dan satuan pendidikan di daerah latar untuk diiden fi kasi karakteris k dan dukungan sumber dayanya. Pengembangan model kontekstual juga merujuk pada kebijakan pembangunan daerah, serta beberapa data pendukung untuk menguatkan konteks yang ingin dibangun dalam model. Model kurikulum kontekstual ini disusun dengan merujuk pada Kurikulum 2013 yang pelaksanaannya disesuaikan dengan konteks yang dibangun di satuan pendidikan. Model kurikulum ini memperha kan berbagai dinamika di masyarakat dan kebijakan pendidikan, kecuali pandemi covid 19 yang memindahkan pembelajaran dari ruang kelas ke rumah.

Tahun 2020 ini, dikembangkan 3 model kurikulum kontekstual, yaitu (1) Model Kurikulum Sekolah Dasar (SD): Konteks Masyarakat Pertanian Daerah Tandus di Kabupaten Gunungkidul (DI Yogyakarta), (2) Model Kurikulum Sekolah Menengah Pertama (SMP): Konteks Daerah Urban Sosial Ekonomi Rendah di Kota Administrasi Jakarta Timur (DKI Jakarta), dan (3) Model Kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA): Konteks Masyarakat Pertanian di Kabupaten Nganjuk (Jawa Timur). Pengembangan model kurikulum kontekstual ini mengacu pada aturan minimum penyusunan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dengan modifi kasi format yang lebih operasional agar kebermaknaan dan ngkat keterbacaan nggi.

KATA PENGANTAR

P

Diterbitkan oleh:

Pusat Kurikulum dan Perbukuan

Badan Peneli an dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020.

(4)

Model ini menawarkan beberapa rancangan program yang terintegrasi sebagai prak k pengetahuan yang nyata bagi peserta didik sebagai suatu inovasi kurikulum di satuan pendidikan. Harapannya model kurikulum kontekstual ini menginspirasi satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum sesuai konteks daerahnya sehingga dapat menjawab permasalahan di masyarakat dan memberikan kontribusi pada pembangunan sumber daya manusia di daerah.

Jakarta, 30 Desember 2020 Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan

Maman Fathurrohman, S.Pd.Si., M.Si., Ph.D.

Halaman Sampul ... i

Tim Penyusun ... ii

Kata Pengantar ... iii

Da ar Isi ... v

Pengembangan Model Kurikulum Kontekstual Satuan Pendidikan ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Acuan Penyusunan Kurikulum ... 5

C. Tujuan ... 6

D. Ruang Lingkup ... 6

BAB II LATAR SATUAN PENDIDIKAN ... 7

A. Kondisi Umum Daerah ... 7

B. Kebijakan Pemerintah Daerah ... 12

C. Kondisi Umum Satuan Pendidikan ... 14

BAB III KONTEKSTUALISASI KURIKULUM ... 17

A. Struktur dan Muatan Kurikulum Sekolah Dasar ... 19

B. Ragam Program dalam Pembelajaran ... 21

C. Bentuk Kegiatan Pembelajaran Satuan Pendidikan ... 22

BAB IV RANCANGAN PEMBELAJARAN ... 23

A. Penger an Pembelajaran Kontekstual ... 25

B. Hakikat Pembelajaran Kontekstual ... 26

C. Karakteris k Pembelajaran Kontekstual ... 27

D. Komponen Pembelajaran Kontekstual ... 28

E. Kegiatan dan Strategi Pembelajaran Kontekstual ... 31

F. Menyusun Rencana Pembelajaran Berbasis Kontekstual ... 31

G. Rancangan Pembelajaran Model Kurikulum Sekolah Dasar Konteks Masyarakat Pertanian Daerah Tandus ... 34

Bahan Ajar Kelas 2 ... 59

Bahan Ajar Kelas 4 ... 65

Da ar Pustaka ... 73

(5)

Gambar 1. Alur pengembangan kurikulum

PENGEMBANGAN MODEL KURIKULUM

KONTEKSTUAL SATUAN PENDIDIKAN

s lah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) muncul sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Satuan pendidikan diberikan kewenangan untuk menyusun kurikulum operasionalnya sendiri dengan kebutuhan masyarakat sekitar, sebagai cerminan kehidupan nyata peserta didik dengan tetap mengacu pada pencapaian tujuan pendidikan nasional yang selaras dengan arah kebijakan pembangunan Daerah. Pengembangan kurikulum kontekstual di satuan pendidikan sangat tepat dalam konteks Indonesia yang memiliki kemajemukan baik ‘kemajemukan horizontal’ (etnis, agama, bahasa, dan budaya) maupun ‘kemajemukan ver kal’ (kelas sosial-ekonomi, desa-kota, Jawa-non Jawa). Kurikulum kontekstual tentunya akan dituangkan dalam pembelajaran kontekstual yang harapannya akan mendekatkan peserta didik dengan konteks kehidupan yang melingkupinya, baik secara ekonomi, poli k, dan sosial budaya.

Konstruksi kurikulum secara nasional yang berupa ide, desain, struktur kurikulum dan pedoman kurikulum untuk implementasinya diperlukan penyiapan pela han bagi pelaksanan dan sistem monitoring dan evaluasinnya sebelum diterapkan di satuan pendidikan. Selanjutnya, satuan pendidikan dalam menyusun kurikulum operasionalnya perlu melakukan analisis konteks atau iden fi kasi kebutuhan satuan pendidikan yang disesuaikan dengan ketersediaan sumber daya dalam menerapkan kurikulum nasional sesuai konteks daerah dan masyarakat, dan tentu kebijakan pemerintah daerah. Hasil dan dampak kurikulum dapat dilihat keberhasilannya dari implementasinya di satuan pendidikan. Implementasi kurikulum ini perlu evaluasi hasil dan dampaknya untuk perbaikan implementasi kurikulum selanjutnya.

Kebijakan Daerah Pemberdayaan Keluarga, DUDI, Masyarakat

I

Konstruksi Kurikulum Ide, Desain, Struktur Kurikulum, Pedoman Implementasi Pela han, Persiapan, Pelaksanaan, Monev Satuan Pendidikan Analisis Konteks, Rancangan KTSP, Daya Dukung Hasil dan Dampak Kurikulum

Tahap pengembangan model kurikulum kontekstual mengiku alur pengembangan berikut.

(6)

A. Latar Belakang

Perubahan kurikulum merupakan salah satu rencana pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan agar dak ter nggal oleh bangsa lain. Perubahan kurikulum dalam bidang pendidikan sifatnya menyempurnakan kekurangan-kekuarangan yang terdapat pada perangkat maupun pelaksanaan kurikulum sebelumnya.

Perubahan kurikulum hendaknya berkesinambungan dan sekaligus merupakan bentuk penyesuaian dari kurikulum sebelumnya. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum merupakan proses yang dak pernah berakhir sejalan dengan perkembangan dan perubahan zaman dan tuntutan kebutuhan masyarakat. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 36 Ayat (2) yang menyatakan bahwa kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifi kasi kurikulum yang merupakan kebijakan dari daerah sebagai wahana yang menjabarkan lebih lanjut dari kurikulum nasional dengan cara menyesuaikan, memperluas, dan memperdalam kompetensi serta bahan kajian pelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan, kemampuan, dan keadaan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Memperha kan kondisi demografi Indonesia, pengembangan kurikulum juga memperha kan tantangan internal dalam masalah jumlah penduduk usia produk f. Kondisi itu akan mencapai puncaknya pada tahun 2020-2035 pada saat angkanya mencapai 70%. Oleh sebab itu, tantangan besar yang dihadapi adalah bagaimana mengupayakan agar sumber daya manusia usia

PENDAHULUAN

(7)

produk f yang melimpah ini dapat ditransformasikan menjadi sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan keterampilan melalui pendidikan agar dak menjadi beban. Sedangkan tantangan eksternal terkait dengan arus globalisasi dan berbagai isu yang terkait dengan masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi dan informasi, kebangkitan industri krea f dan budaya, dan perkembangan pendidikan di ngkat internasional. Arus globalisasi akan menggeser pola hidup masyarakat dari agraris dan perniagaan tradisional menjadi masyarakat industri dan perdagangan modern.

Kondisi geografi s suatu daerah tentunya berdampak pada bidang pangan dari masyarakat setempat. Keberadaan satuan pendidikan di lingkungan masyarakat atau daerah tertentu menjadi per mbangan utama dalam mengembangkan kurikulumnya. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang mengamanatkan negara untuk menjamin kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan. Negara menetapkan kebijakan pangan dengan memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.

Selain itu, keberadaan satuan pendidikan di suatu daerah tertentu juga menjadi per mbangan dalam pengembangan kurikulum dengan berpijak pada kebijakan pembangunan daerah. Orientasi dan kebijakan pembangunan di daerah berpengaruh langsung terhadap dunia pendidikan setempat, mengingat terlembaganya desentralisasi dan otonomi daerah. Hal ini berpengaruh pada proses penyelenggaraan kurikulum dan capaian pendidikan yang terkunci dalam dinamika pembangunan sosial, budaya dan ekonomi di daerah. Tantangan dunia hari ini yang paling terasa dan dialami se ap hari tentulah dunia lokal tempat anak didik, orang tua peserta didik, dan komunitas setempat tumbuh dan berkembang. Hal ini sesuai dengan amanat UU Sisdiknas Pasal 36 ayat (3) yang menyatakan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, antara lain dengan memperha kan keragaman potensi daerah dan lingkungan; tuntutan pembangunan daerah dan nasional dan dinamika perkembangan global. Keragaman konteks selalu berar keragaman masalah dan tantangan bagi efek vitas penyelenggaraan kurikulum di satuan pendidikan. Keragaman konteks mencakup aspek sosial, ekonomi, budaya dan kebijakan pemerintah

daerah yang secara langsung mempengaruhi keluarga anak didik dan komunitas pendidikan di daerah, baik di ngkat kabupaten maupun provinsi. Ke mpangan ekonomi atau ngkat kesejahteraan antarmasyarakat, misalnya, secara langsung mempengaruhi daya dukung keluarga dan komunitas terhadap proses belajar peserta didik, performa guru, dan menyulitkan komunikasi terlembaga antara pendidik dan orang tua peserta didik.

Prinsip diversifi kasi dalam kurikulum tersebut salah satu pologinya adalah kondisi geografi s yang harus menjadi per mbangan. Kondisi geografi s suatu daerah berdampak pada bidang pangan dari masyarakat setempat. Keberadaan satuan pendidikan di lingkungan masyarakat atau daerah tertentu menjadi per mbangan utama dalam mengembangkan kurikulumnya. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang mengamanatkan negara untuk menjamin kedaulatan pangan, kemandirisan pangan, dan ketahanan pangan. Negara menetapkan kebijakan pangan dengan memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Keterkaitan antara kondisi geografi s dan bidang pangan tersebut dapat dilihat pada pologi masyarakat tandus yang berada di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Is mewa Yogyakarta (DIY).

(8)

Secara agraris, kawasan tandus selalu ditandai dengan suasana yang gersang, warga mengalami kesulitan air terutama saat kemarau. Ciri lainnya yaitu struktur tanah yang didominasi batu cadas membuat upaya menggali sumur nyaris mustahil (mediaindonesia.com). Warga di daerah tandus bertahan hidup dengan bertani secara subsisten di ladang-ladang berbaru yang mereka kelola secara turun temurun. Kawasan tandus bukan hanya dipahami secara agraris tetapi juga secara sosio kultural. Masyarakat di daerah ini memiliki subkultur yang berbeda dengan masyarakat agraris umumnya.

Jika masyarakat agraris, pola dan struktur kehidupannya tergantung kepada sum-ber-sumber pertanian dan peternakan, adapaun masyarakat di kawasan tan-dus harus berjuang mengelola lahan pertaniannya dengan mengandalkan kon-disi alam apa adanya. Yang menjadi menarik adalah munculnya krea fi tas dan inovasi dari masyarakat pertanian untuk bertahan hidup dalam mengelola lahan pertanian. Dalam hal ini, kata kuncinya terletak pada strategi adaptasi masyarakat di daerah tandus yang berbeda dengan masyarakat agraris umum nya.

Menjawab tantangan internal dan eksternal ini, perlu dilakukan perubahan prak k pendidikan dan pembelajaran secara nasional. Perubahan itu bukan hanya untuk mengejar keter nggalan dengan negara lain dan untuk mencapai kualitas pendidik, mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan bekal kepada generasi penerus bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan mampu memprak kannya untuk memecahkan masalah yang dihadapi bangsa. Oleh karena itu, satuan pendidikan memiliki posisi dan peran pen ng dalam melakukan perubahan prak k pembelajaran sebagai penjabaran kurikulum nasional disesuaikan dengan konteks masyarakat dan daerahnya. Berdasarkan penjelasan di atas maka salah satu upaya Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan Peneli an dan Pengembangan dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2020 ini adalah melakukan pengembangan model kontekstualisasi kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang diawali dengan analisis kondisi internal dan eksternal yang melingkupi kondisi pendidikan saat ini.

Pengembangan model kontekstualisasi kurikulum Sekolah Dasar (SD) dilakukan dengan menerjemahkan kurikulum nasional dalam bentuk kurikulum ngkat

satuan pendidikan berbasis konteks masyarakat pertanian daerah tandus dengan memperha kan kebijakan pemerintah daerah, dan pemberdayaan keluarga, serta pelibatan komunitas. Adapun latar pengembangan model kurikulum kontekstual ini adalah Kabupaten Gunungkidul, Daerah Is mewa Yogyakarta (DIY).

B. Acuan Penyusunan Kurikulum

Penyusunan model kurikulum ini mengacu pada:

1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan (SNP) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan

Pe nyelenggaraan Pendidikan sebagaimana diubah dengan Per atur an Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Per aturan Pe me-rintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Pe nye lenggaraan Pendidikan.

4. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Dasar/Madrasah Ib daiyah.

5. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.

6. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2018 tentang Kompetensi In dan Kompetensi Dasar Pelajaran Pada Kurikulum 2013 Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. 7. Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2019

tentang Penyederhanaan RPP.

8. Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan Masa Darurat.

(9)

S

alah satu langkah pen ng sebelum satuan pendidikan mengembangkan kurikulum terlebih dahulu harus melakukan analisis konteks, yaitu melakukan analisis terhadap kekuatan, kelemahan, hambatan maupun peluang, baik dari aspek internal maupun eksternal dikaitkan dengan konteks daerah. Berikut deskripsi latar satuan pendidikan dengan konteks masyarakat pertanian daerah tandus di Kabupaten Gunungkidul.

A. Kondisi Umum Daerah 1. Kondisi Geografi s

Wilayah Kabupaten Gunungkidul secara geografi s di bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Sleman dan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah; di bagian mur berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah; di bagian selatan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia; dan di bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Bantul, Daerah Is mewa Yogyakarta. Kabupaten Gunungkidul memiliki luas wilayah 1.485 km2 dan secara admisitra f terdiri atas 18 kecamatan dan 144 desa. Dari

jumlah desa tersebut terdapat 73 desa (60,69%) merupakan wilayah desa ter nggal (h p://gdhe.web.id/pen ngnya-pendidikan-di-gunungkidul/). Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu daerah di wilayah Daerah Is mewa Yogyakarta, pusat pemerintahannya berada di Kota Wonosari dengan luas wilayahnya sekitar seper ga dari dari luas daerah induknya yaitu sekitar 1.485.36 km2. Sebagian besar wilayah kabupaten ini berupa perbukitan dan

pegunungan kapur yang dikenal sebagai daerah tandus dan sering mengalami kekeringan pada musim kemarau sehingga dak dapat ditanami. Wardhana,

LATAR SATUAN PENDIDIKAN

C. Tujuan

Penyusunan model kurikulum ini bertujuan untuk memandu guru dan satuan pendidikan dalam menyusun kurikulum sekolah sesuai dengan karakteris k daerahnya masing-masing. Dari beragam karakteris k daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia salah satunya adalah karakteris k masyarakat pertanian dengan mengambil contoh karakteris k masyarakat pertanian daerah tandus di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Is mewa Yogyakarta. Oleh sebab itu, prinsip pengembangan model kurikulum ini disesuaikan dengan karakteris k masyarakat pertanian daerah tandus (kurang subur). Harapannya, model kurikulum kontekstual ini dapat menjadi inspirasi bagi sekolah/satuan pendidikan dalam menyusun kurikulum sesuai dengan karakteris knya dan dapat mengimplementasikan dengan baik.

D. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Model Kurikulum Sekolah Dasar dengan kontekstual masyarakat pertanian daerah tandus ini berisi: pendahuluan, latar satuan pendidikan, kontekstualisasi kurikulum, dan rancangan pembelajaran.

(10)

et.al (2012) menjelaskan wilayah Kabupaten Gunungkidul dulunya merupakan hutan yang lebat sebelum tahun 1800-an. Proses deforestasi dilakukan pada tahun 1800-an secara masif dan terstruktur ke ka Belanda masuk ke Jawa setelah memaksa memecah wilayah Gunungkidul sebagian menjadi wilayah Kraton Mangkunegaran dan Kraton Yogyakarta. Deforestasi yang dilakukan adalah untuk kepen ngan konversi ke kebun dan pertanian bahwa tahun 1940 sampai dengan 1950-an terdapat perkebunan kopi di wilayah ini. Saat ini, masyarakat hanya mengandalkan tadah hujan untuk mengairi ladang karena berada di daerah perbukitan tetapi daerah ini menyimpan kekhasan sejarah yang unik, seper potensi wisata, budaya maupun kuliner.

Berdasarkan kondisi topografi Kabupaten Gunungkidul dibagi menjadi 3 ( ga) zona pengembangan, yaitu: 1. Zona Utara disebut wilayah Batur Agung dengan ke nggian 200-700 m di atas permukaan laut (mdpl). Keadaannya berbukit-bukit, terdapat sumber-sumber air tanah dengan kedalaman 6-12 m dari permukaan tanah. Jenis tanah didominasi latosol dengan batuan induk vulkanik dan sedimen taufan. Wilayah ini melipu Kecamatan Patuk, Gedangsari, Nglipar, Ngawean, Semin, dan Kecamatan Ponjong bagian utara. 2. Zona Tengah disebut wilayah pengembangan Ledok Wonosari, dengan ke nggian 150-200 mdpl. Jenis tanah didominasi oleh asosiasi mediteran merah dan grumosol hitam dengan bahan induk

sumber: bappeda.gunungkidulkab.go.id

Gambar 3. Peta Wilayah Kabupaten Gunungkidul

batu kapur, sehingga meskipun musim kemarau panjang, par kel-par kel air masih mampu bertahan.

Di daerah tersebut terdapat sungai di atas tanah, tetapi pada musim kemarau sungai-sungai tersebut kering. Kedalaman air tanah berkisar antara 60-120 meter di bawah permukaan tanah. Wilayah ini melipu Kecamatan Playen, Wonosari, Karangmojo, Ponjong bagian tengah dan Kecamatan Semin bagian utara. 3. Zona Selatan disebut wilayah pengembangan Gunung Seribu (Duizon gebergton atau Zuider gebergton), dengan ke nggian 0-300 mdpl. Batuan dasar pembentuknya adalah batu kapur dengan ciri khas bukit-bukit kerucut (conical limestone) dan merupakan kawasan karst. Pada wilayah ini banyak dijumpai sungai bawah tanah. Zona Selatan ini melipu Kecamatan Saptosari, Paliyan, Girisubo, Tanjungsari, Tepus, Rongkop, Purwosari, Panggang, Ponjong bagian selatan, dan Kecamatan Semanu bagian selatan.

Kabupaten Gunungkidul mempunyai beragam potensi perekonomian mulai dari pertanian, perikanan dan peternakan, hutan, fl ora dan fauna, industri, tambang serta potensi pariwisata. Pertanian yang dimiliki Kabupaten Gunungkidul sebagian besar adalah lahan kering tadah hujan (±90%) yang tergantung pada daur iklim khususnya curah hujan. Lahan sawah beririgasi rela f sempit dan sebagian besar sawah tadah hujan. Sumber daya alam tambang yang termasuk golongan C berupa: batu kapur, batu apung, kalsit, zeolit, bentonit, tras, kaolin dan pasir kuarsa. Kabupaten Gunungkidul juga mempunyai panjang pantai yang cukup luas yang terletak di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, membentang sepanjang sekitar 65 Km dari Kecamatan Purwosari sampai Kecamatan Girisubo dan memiliki pulau. Potensi hasil laut dan wisata sangat besar dan terbuka untuk dikembangkan. Potensi lainnya adalah industri kerajinan, makanan, pengolahan hasil pertanian yang semuanya sangat potensial untuk dikembangkan.

2. Kondisi Sosial Ekonomi dan Kultural

Daerah Kabupaten Gunungkidul rela f lebih rendah kepadatan pen-duduknya dibandingkan dengan daerah kabupaten lainnya di wilayah DIY. Daerah tandus di Gunungkidul dengan pologi dan iden k se bagai lahan gersang, kering, dan berbatu serta masyarakatnya hidup dalam kungkungan kemiskinan. Pemeo Cedak watu adoh ratu dapat mengilustrasikan bahwa masyarakat adalah golongan marjinal baik dari sisi lingkungan maupun

(11)

Gambar 4. Goa Pindul obyek wisata di Kabupaten Gunungkidul

ekonomi (Mar as, 2014). Meski dengan kondisi seper ini dak menyurutkan warga setempat untuk mengelola kehidupan sosial ekonominya agar bisa mengalami peningkatan kesejahteraan di kalangan masyarakat. Kondisi sosiokultural masyarakat pengguna layanan pendidikan di sekolah dasar (SD) sangat bervariasi, walaupun daerahnya sama-sama tandus tetapi ada perbedaan yang dimiliki yaitu dalam hal budaya, wisata, kuliner, dan lain sebagainnya. Seper Gunungkidul, daerahnya sebagian terdiri dari perbukitan kapur (karst) dan terdapat air mengalir di bawah tanah sehingga daerah itu banyak bermunculan tempat wisata seper goa maupun pantai.

rumah tangga yang terdiri dari kumpulan beberapa rumah tangga yang menempa satu rumah membentuk keluarga besar (Extended Family). Ciri-ciri pemukiman yang rapat itu secara sosiologis akan membentuk pola perilaku masyarakat, di mana masyarakat tersebut lebih bersifat kolek f (kebersamaan), gotong royong, dan kekeluargaan. Hal ini bisa dibandingkan dengan pola pemukiman penduduk pedesaan dimana letaknya berjauhan dan masyarakatnya lebih bercirikan individualis dengan ikatan-ikatan ekonomis yang bersifat rasional. Kondisi sosial ekonomi masyarakat Gunungkidul dapat dilihat dari tata guna tanah atau penggunaan tanah oleh petani. Penggunaan tanah oleh petani dak hanya terbatas pada satu macam tanah saja apabila dilihat dari letak tanahnya.

Terdapat ga macam tanah yang dapat diusahakan oleh petani yaitu tanah perkarangan, tanah tegalan, dan tanah lereng bukit atau lereng gunung. Tanah perkarangan biasanya ditanami dengan pohon-pohon seper pisang, mlinjo, jeruk, kelapa, pepaya, dan tanaman yang lainnya. Kadang-kadang perkarangan juga ditanami dengan umbi-umbian, sayuran, dan juga tanaman obat-obatan. Bagi petani yang dak memiliki tanah tegalan dak jarang mereka juga memanfaatkan tanah perkarangan untuk menanam tanaman pangan seper tanah tegalan.

Hasil dari tanaman perkarangan seringkali mempunyai nilai ekonomis yang sangat besar dengan kata lain hasil-hasil yang didapat dari hasil panennya dapat diperdagangkan. Hasil dari perkarangan sebagian besar dipergunakan untuk konsumsi sendiri, walaupun dak sedikit yang dijual ke pasar desa atau kepada tengkulak kelapa dan buah-buahan. Para tengkulak se ap musim panen tanaman tertentu datang ke desa-desa untuk membeli hasil dari tanah perkarangan yang bernilai nggi bagi petani. Hasil dari tanaman perkarangan ini mampu menambah pendapatan keluarga petani. Kebiasaan petani setempat dalam memulai menggarap tanah dengan melihat tanda-tanda alam sekitar.

Sebagai tanda-tanda alam tersebut adalah rasi bintang luku yang menjadi simbol para petani. Jika posisi rasi bintang tersebut tegak lurus maka balah saat bagi petani untuk memulai menggarap tanah sebagai persiapan seper memperbaiki pematang, mengangkut pupuk kandang, dan juga membajak tanah. Pada saat posisi kira-kira condong 45 derajat ke arah barat pertanda bila petani sudah diperbolehkan untuk menebarkan benih padi maupun palawija yang tahan panas.

Gambar 5. Pantai di Kabupaten Gunungkidul

Pemukiman desa atau padukuhan-padukuhan di Gunungkidul umumnya membentuk pola bergerombol dan berdekatan satu sama lain, selain itu dak jarang membentuk komunitas tersendiri yang diikat oleh tata cara dan adat is adat desa. Unit pemukiman terbagi ke dalam petak-petak tanah yang merupakan kesatuan rumah tempat nggal. Unit pemukiman yang lainnya milik orang lain dibatasi oleh pagar bambu atau tatanan batu memanjang (pematang), tetapi ada juga yang ditanami dengan pohon-pohon. Pemukiman di pedesaan biasanya terdapat jalan-jalan desa di mana rumah penduduk menghadap ke jalan itu. Rumah-rumah di pedesaan antara satu dengan rumah yang lain jaraknya berdekatan, bahkan kadang-kadang dalam satu perkarangan terdapat lebih dari satu

(12)

Kondisi geografi s dan sosial-ekonomi-kultural suatu daerah tentunya men-jadi per mbangan dalam mengembangkan kurikulum oleh semua satuan pendidikan di daerah masing-masing. Dalam hal ini, hakekat diversifi kasi kurikulum menjadi lebih bermakna dalam proses pengembangan sampai pada implementasi kurikulum ini sendiri, secara khusus melipu perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian atau evaluasi kurikulum.

B. Kebijakan Pemerintah Daerah

1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Is mewa Yogyakarta 2017-2022.

Kebijakan pembangunan daerah yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Is mewa Yogyakarta (RPJMD DIY) adalah mewujudkan Daerah Is mewa Yogyakarta pada Tahun 2025 sebagai Pusat Pendidikan, Budaya, dan Daerah Tujuan Wisata Terkemuka di Asia Tenggara dalam lingkungan Masyarakat yang Maju, Mandiri dan Sejahtera. Adapun sasaran pembangunan dalam pendidikan dengan indikator Angka Harapan Lama Sekolah (AHLS).

Sementara itu, kesejahteraan masyarakat DIY dilihat dari aspek sosial dan aspek seni dan budaya tercatat beberapa capaian. Pertama, beberapa capaian indikator pendidikan, seper Angka Harapan Lama Sekolah (AHLS) dan angka rata-rata lama sekolah menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan antarwilayah di DIY.

Capaian indikator Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta berada di atas rata-rata capaian DIY sedangkan Kabupaten Bantul, Gunungkidul, dan Kulon Progo masih rela f rendah. Angka Harapan Lama Sekolah dihitung untuk penduduk berusia 7 tahun ke atas. Capaian AHLS DIY tahun 2016 adalah sebesar 15,23 tahun, meningkat 0,20 poin dari 15,03 pada tahun 2015. Untuk kabupaten/kota, capaian ter nggi Kota Yogyakarta sebesar 16,81 tahun dan capaian terendah Kabupaten Gunungkidul sebesar 12,93 tahun. Angka rata-rata lama sekolah adalah rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk untuk menempuh semua jenis pendidikan formal yang pernah dijalani dari masuk sekolah dasar sampai dengan ngkat pendidikan terakhir. Capaian angka rata-rata lama sekolah mencerminkan bentuk kesadaran masyarakat akan pen ngnya pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Angka rata-rata lama sekolah dipengaruhi oleh beberapa faktor seper : ngkat kemiskinan,

aksesibilitas layanan pendidikan, beban ketergantungan keluarga, permasalahan sosial lainnya, dan faktor dari internal peserta didik sendiri. Dilihat data per kabupaten/kota, capaian rata-rata lama sekolah tahun 2015 ter nggi adalah Kota Yogyakarta sebesar 11,41 tahun sedangkan capaian terendah adalah Kabupaten Gunungkidul sebesar 6,46 tahun, dengan kata lain terdapat ke mpangan yang mencolok antara Kota Yogyakarta yang rata-rata penduduknya menyelesaikan jenjang pendidikan menengah dengan Kabupaten Gunungkidul yang rata-rata penduduknya menyelesaikan pendidikan hanya di ngkat dasar.

2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Gunungkidul 2016-2021

Salah satu program RPJMD Kabupaten Gunungkidul adalah isu strategis di bidang pendidikan, antara lain:

a. Harapan lama sekolah penduduk masih rendah. b. Masih adanya anak putus sekolah.

c. Akses dan kualitas layanan pendidikan belum op mal. d. Standar pelayanan minimal pendidikan belum terpenuhi.

e. Capaian standar nasional pendidikan sebagai keberlanjutan dari standar pelayanan minimal belum merata dan op mal.

f. Jumlah dan distribusi tenaga kependidikan belum merata.

g. Pendidikan berbasis keunggulan dan kearifan lokal yang berwawasan global serta teknologi informasi belum dikembangkan dengan baik. h. Atmosfi r yang kondusif dan infrastruktur pendidikan yang berkualitas

bagi proses pendidikan, peneli an, pengembangan wawasan ke-ilmuan belum tercipta.

i. Pendidikan karakter yang mengintegrasikan nilai-nilai keagamaan dan landasan moralitas serta kepribadian mulia untuk memberikan landasan pada keberlanjutan pendidikan dan berorientasi pem-bentukan karakter kewirausahaan belum op mal.

j. Penuntasan wajib belajar 12 tahun belum berjalan sesuai harapan k. Daya saing pendidikan masih perlu di ngkatkan.

3. Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Gunungkidul No. 420/109/KPTS/2011 tentang Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif Jenjang SD, SMP, SMA/SMK.

Kebijakan daerah menentukan arah pembangunan di suatu daerah ter-ma suk dalam pendidikan. Kebijakan pendidikan melalui keputusan Dinas

(13)

Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Gunungkidul tersebut meng amanatkan bahwa seluruh sekolah di Kabupaten Gunungkidul diwajibkan menerima siswa didik dengan kondisi apapun, khususnya bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

Terkait dengan pengembangan model kurikulum kontekstual ini tentu-nya sabagai salah satu upaya menjalankan amanat Undang-Undang Sis-diknas terkait dengan diversifi kasi kurikulum yang perlu diselaraskan dengan kebijakan daerah dalam bidang pendidikan terutama dalam mengembangkan kurikulum satuan pendidikan.

C. Kondisi Umum Satuan Pendidikan

1. Kondisi Fisik Lingkungan Sekolah, Peserta Didik dan Latar Peserta Didik

Data BPS Tahun 2020 menunjukkan jumlah sekolah dasar (baik Sekolah Dasar maupun Madrasah Ib daiyah) di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2019/2020 terdapat 548 sekolah terdiri atas 468 sekolah dasar (SD) dan 80 madrasah ib daiyah (MI). Dari 468 sekolah dasar terdapat 413 sekolah negeri dan 55 sekolah swasta; sedangkan dari 80 madrasah ib daiyah terdapat 12 sekolah negeri dan 68 sekolah swasta. Adapun jumlah guru SD adalah 3.652 orang terdiri atas 3.259 orang guru negeri dan 393 orang guru swasta; sedangkan jumlah siswa adalah 49.608 anak terdiri atas 43.524 dari sekolah negeri dan 6.084 anak dari sekolah swasta. Sementara jumlah guru MI adalah 756 orang terdiri atas 147 orang guru negeri dan 609 orang guru swasta; jumlah siswa ada 6.666 anak terdiri atas 1.894 dari MI negeri dan 4.772 anak dari MI swasta.

Kondisi satuan pendidikan khususnya sekolah dasar di Kabupaten Gu-nung kidul pada umumnya memiliki areal lahan cukup memadai yang dimanfaatkan untuk gedung sekolah, halaman, ruang kelas, dan fasilitas lainnya. Dukungan sumber daya pendidik dan tenaga pendidikan umum-nya cukup memadai meskipun ada juga sebagian besar yang kekurangan terutama di daerah pegunungan maupun pesisir. Sementara itu jumlah peserta didik di se ap satuan pendidikan juga sangat bervariasi, ada sebagian sekolah yang sampai menolak peserta didik baru namun di sisi lain sebagian sekolah kekurangan peserta didik.

Latar belakang sosial ekonomi masyarakat di wilayah Kabupaten Gu-nungkidul umumnya dan secara khusus dilihat dari pekerjaan orang tua siswa bervariasi seper buruh, karyawan/pegawai swasta, pengusaha, dan

sebagian besar petani. Pada umumnya dari suku Jawa dan beragama Islam walaupun ada sebagian kecil yang beragama nonmuslim. Jarak antara rumah siswa ke sekolah: rata-rata 0,5 km masih satu wilayah kecamatan sekitar 90%, sedangkan yang 10%, kira-kira jaraknya sekitar 5 km. Adapun transportasi siswa ke sekolah umumnya berjalan kaki dan bersepeda, dan sebagian kecil diantar orang tua/wali.

Ak vitas anak sehari-hari adalah membantu orang tua, ibadah, dan belajar. Berbagai bantuan untuk siswa di sekolah ini, antara lain: Kartu Indonesia Pintar/PIP, Kartu Cerdas, dan beasiswa. Seper halnya di daerah lain yang terkena dampak pandemi Covid-19 maka proses pembelajaran dak memungkinkan untuk pembelajaran tatap muka sehingga dilakukan pembelajaran jarak jauh. Dalam prak knya ternyata pelaksanaan jarak jauh mengalami kendala karena faktor ekonomi orang tua/anak dalam mengiku proses pembelajaran dari rumah (daring) namun pihak sekolah menetapkan kebijakan dengan melaksanakan program kunjungan guru ke rumah siswa. Sesuai dengan kebijakan Dinas Dikpora Kabupaten Gunungkidul dimana se ap sekolah wajib menyelenggarakan program inklusi, dimana se ap sekolah wajib menerima siswa didik dengan kondisi apapun, khususnya bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

Namun demikian dak semua siswa ABK mampu dilayani dan diterima di sekolah reguler/umum. Siswa ABK yang masuk di sekolah umumnya dengan kategori slow learner (lambat belajar) sedangkan siswa ABK lain umumnya tetap dilayani di sekolah khusus (sekolah luar biasa/SLB). Pelaksanaan sekolah inklusi didukung pemerintah daerah Kabupaten Gunungkidul maupun Dinas Pendidikan Daerah Is mewa Yogyakarta dengan memberikan guru pendamping meskipun kedatangan ke sekolah hanya 1 minggu sekali.

Seper halnya di daerah lain, kebijakan daerah Kabupaten Gunungkidul dalam pendidikan pada masa pandemi adalah pelaksanaan belajar dari rumah (BDR). Beberapa dampak siswa terkait dengan adanya pandemi adalah anak merasa bosan dan terbebani dengan adanya tugas yang harus diselesaikan dan dikirim secara online. Namun demikian, kondisi seper itu dapat diatasi dengan adanya pelibatan forum orang tua dalam mendukung semua kegiatan sekolah selama pandemi.

(14)

2. Pengelolaan Sumber Belajar dan Program Sekolah

Seper halnya sekolah lain, dalam penyediaan buku teks dan non teks bagi siswa di sekolah ini dak masalah karena ada dana Bantuan Opersioanl Sekolah (BOS). Upaya pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar sudah mulai dilaksanakan, misalnya prak k pembelajaran ke pasar tradisional dan tempat lain di sekitar sekolah.

Sekolah ini juga dekat dengan situs sejarah dan obyek wisata Goa Pindul dan susur sungai. Untuk mendukung operasional, sekolah masih mem-butuhkan perangkat komputer beserta perangkat pendukung lainnya terkait pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Namun de mi kian perlu didukung juga pela han untuk peningkatan kemampuan guru dan tenaga kependidikan dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Berdasarkan kondisi tersebut, sekolah sudah berupaya menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, antara lain sejak tahun 2017 menerapkan Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) terutama dalam mengembangkan dan melaksanakan inovasi pembelajaran. Selain itu, kultur atau budaya sekolah terlihat melalui program literasi membaca buku, kitab-kitab kepercayaan, pendidikan berbasis budaya, tadarus, shalat dhuha, shalat zuhur berjamaah dan kegiatan keagamaan lainnya yang pelaksanaannya baik sebelum maupun sesudah belajar.

sumber: kemdikbud.go.id

Gambar 6. SDN Karangmojo di Kabupaten Gunungkidul

P

rinsip pengembangan kurikulum diversifi kasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik merupakan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terutama pada Pasal 36 Ayat (2). Oleh karena itu, sudah selayaknya satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum harus menyesuaikan dengan kontekstual daerah dan masyarakatnya, dalam hal ini konteks masyarakat pertanian daerah tandus. Dalam hal ini, pelaksanaan diversifi kasi kurikulum salah satunya dilakukan dengan kontekstualisasi kurikulum. Kontekstualisasi kurikulum hendaknya dilakukan dalam pengembangan kurikulum satuan pendidikan, mulai dari penyusunan program sekolah baik jangka menengah maupun tahunan, kultur atau budaya sekolah, penyusunan program kurikulum dalam bentuk kegiatan kurikuler, kokurikuler, maupun ekstrakurikuler sampai pada pengembangan perangkat pembelajaran. Satuan pendidikan dalam menyusun program sekolah hendaknya berdasarkan hasil analisis konteks yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil iden fi kasi tersebut terdiri dari kondisi umum daerah, kebijakan daerah, dan kondisi umum satuan pendidikan. Tahapan atau langkah penyusunan program sekolah dapat dimulai dari menyusun visi, misi, tujuan sekolah sampai ke dalam program-program sekolah. Visi merupakan cita-cita jangka panjang yang ingin diwujudkan atau diraih oleh satuan pendidikan. Visi perlu disusun oleh satuan pendidikan untuk dijadikan arah dari tujuan yang ingin dicapai oleh satuan pendidikan, membangun kesamaan pemahaman pada semua pelaksanaan (pendidik dan tenaga kependidikan) yang ada di satuan pendidikan sebagai cita-cita bersama yang ingin diwujudkan, dan membangun mo vasi pendidik, tenaga kependidikan, dan orang tua untuk meraih

KONTEKSTUALISASI

KURIKULUM

(15)

cita-cita bersama. Visi ini harus dapat mencirikan sesuai konteksnya yaitu pertanian daerah tandus. Contohnya: “Unggul dalam prestasi, berbudi peker luhur, berwawasan lokal dan global berlandaskan iman dan takwa”.

Misi digunakan oleh satuan pendidikan untuk menjadi acuan/rujukan dalam penyusunan program, memberikan keluwesan dan ruang gerak pengembangan kegiatan di satuan pendidikan, dan menggambarkan kekhasan atau keunggulan layanan di satuan pendidikan. Adapun cara menyusun misi, di antaranya menjabarkan indikator dari se ap nilai atau cita-cita yang ada dalam visi, menetapkan fasilitas yang harus dilakukan satuan pendidikan untuk mendukung indikator yang ada dalam visi dengan menyesuaikan dengan kontekstual kurikulum yang dikembangkan di satuan pendidikan. Berikut adalah contoh misi yang menyesuaikan dengan visi

1. membentuk/menciptakan siswa yang taat beribadah;

2. membentuk sikap dan perilaku yang baik, santun, sopan, dan berkarakter; 3. mewujudkan suasana kekeluargaan antarwarga sekolah;

4. mewujudkan siswa/i yang disiplin;

5. menciptakan suasana pembelajaran yang ak f, inova f, krea f, f, menyenangkan, gembira;

6. mewujudkan siswa yang berprestasi;

7. mewujudkan sekolah yang dapat memanfaatkan keunggulan daerah yaitu pertanian daerah tandus.

Tujuan sekolah berisi rumusan hasil keluaran/output yang dicapai pada waktu tertentu. Tujuan sekolah merupakan rencana kegiatan dan pelaksanaan program berdasarkan visi dan misi yang telah dikembangkan. Contoh rumusan tujuan sekolah, diantaranya:

1. siswa taat beribadah terhadap Tuhan Yang Maha Esa; 2. mengembangkan potensi bakat dan minat siswa dan guru; 3. siswa berprestasi dalam bidang keagamaan;

4. siswa cerdas dalam Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Agama; 5. Siswa berprestasi dalam bidang olimpiade MIPA;

6. siswa berprestasi dalam olahraga voli mini, sepak takraw, dan pencak silat; 7. warga sekolah dapat memanfaatkan pertanian daerah tandus menjadi

keunggulan sekolah.

Dalam penyusunan visi, misi, dan tujuan sekolah dapat melibatkan seluruh

stakeholder terkait dan dak hanya komite sehingga semua dapat dilaksanakan.

Melalui penetapan visi, misi, dan tujuan sekolah maka kemudian di ndaklanju dengan penyusunan program sekolah baik jangka menengah maupun tahunan dengan mengacu pada hasil analisis konteks. Berikut contoh rencana program sekolah dimaksud:

No Kegiatan Indikator dan Target Waktu Pelaksana

1 Kegiatan kurikuler, kokurikuler maupun ekstrakurikuler Dokumen 1 Kurikulum Sekolah Awal tahun pelajaran Kepala Sekolah dan komite 2 Budaya atau kultur

sekolah (GSM) Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Awal tahun pelajaran Warga sekolah 3 Perencanaan pembelajaran

Dokumen Silabus dan RPP yang mencerminkan GSM

Awal tahun pelajaran

Kepala sekolah dan guru

A. Struktur dan Muatan Kurikulum Sekolah Dasar 1. Struktur Kurikulum

Tabel 1. Tabel Struktur Kurikulum Kelas 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 Mata Pelajaran Alokasi Waktu Per Minggu

KELOMPOK A I II III IV V VI

1 Pendidikan Agama dan Budi Peker 4 4 4 4 4 4 2 Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan

5 5 5 5 5 5

3 Bahasa Indonesia 8 9 10 7 7 7

4 Matema ka 5 6 6 6 6 6

5 Ilmu Pengetahuan Alam - - - 3 3 3

6 Ilmu Pengetahuan Sosial - - - 3 3 3

KELOMPOK B

1 Seni Budaya dan Prakarya 4 4 4 5 5 5

2 Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan

4 4 4 4 4 4

3 Muatan Lokal: Wajib:

Bahasa Jawa (konteksnya ada pertani an, misal ada kisah-kisah tentang per ta nian, permainan dikaitkan dengan pertanian) Pilihan:………

2 2 2 2 2 2

(16)

2. Pengembangan Diri

Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat se ap peserta didik yang disesuaikan dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir peserta didik.

Berikut adalah contoh kegiatan ekstrakurikuler sesuai dengan minat dan bakat peserta didik:

a. Kewiraan 1) Pramuka. 2) UKS/ Dokter Kecil. b. Olahraga 1) Renang. 2) Futsal. 3) Bola voli. 4) Pencak Silat. 5) Bulu Tangkis. c. Seni 1) Seni Lukis. 2) Seni Tari.

3) Seni Musik dan Vokal.

3. Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dan Global

Pendidikan berbasis keunggulan lokal terintegrasi pada pendidikan ekstra-kurikuler diberikan melalui beberapa kegiatan yang terintegrasi pada kegiatan-kegiatan yang disesuaikan dengan sarana dan prasarana yang ada di lingkungan melipu :

Kegiatan Bidang Pertanian dan Perkebunan

Lahan pertanian dan perkebunan yang tersedia dapat dimanfaatkan untuk: a. Tanaman Obat Keluarga (TOGA) di antaranya: (jahe, sirih, kunyit,

lengkuas, dan lain-lain).

b. Warung Hidup di antaranya: cabai, bayam, dan lain-lain.

c. Lumbung Hidup di antaranya: ubi kayu, singkong, jagung, pisang, pepaya, dan lain-lain.

d. Vertukultur di antaranya: sawi, kangkung, dan lain-lain.

Sedangkan pendidikan keunggulan global terintegrasi pada kegiatan yang melipu program penguasaan IPTEK peserta didik melalui ekstrakurikuler komputer, penguasaan bahasa asing, dan sebagainya.

B. Ragam Program dalam Pembelajaran

Sekolah yang memiliki konteks masyarakat pertanian daerah tandus akan menyusun program sekolah yang disesuaikan dengan konteks tersebut. Ragam pembelajarannya pun dapat mengintegrasikan dari tema-tema terkait pertanian daerah tandus ke dalam kegiatan intrakurikuler, ekstrakurikuler dan kultur atau budaya sekolah. Dalam kegitan intrakurikuler salah satu kegiatan yang sudah dilakukan adalah pelaksanaan tutor sebaya, di mana anak yang memiliki kelebihan akan membantu teman lainnya.

Kegiatan intrakurikuler yang lain tentunya perlu dikembangkan lebih lanjut dengan mengacu pada konteks lokal. Pembiasaan anak berdiskusi/bertanya dalam proses pembelajaran sangat perlu diterapkan. Dalam kegiatan ekstrakurikuler atau muatan lokal seper : memba k dan karawitan masih tergantung pada pihak luar terutama fasilitatornya sehingga sekolah perlu menerapkan program pela han bagi guru atau mengop malkan orang tua/wali atau pemangku kepen ngan di sekolah untuk memfasilitasi kegiatan tersebut. Pengembangan nilai karakter disiplin yang sudah dilakukan perlu dikembangkan lebih lanjut, misalnya 3S (senyum-salam-sapa) ke ka memasuki lingkungan sekolah dapat berlanjut dan diterapkan di rumah dan lingkungan masyarakat. Kegiatan pembiasaan yang lain yaitu pembiasaan anak untuk memimpin kegiatan tertentu, misalnya petugas upacara, pemimpin ibadah masing-masing agama, dan lain-lain perlu dikembangkan lebih lanjut disertai keteladanan dari pendidik.

(17)

Di sisi lain, sekolah juga terletak di daerah yang memiliki potensi wisata baik wisata alam pantai, sungai, goa, maupun kuliner lokal. Hal ini pun perlu diakomodir sebagai bagian dari rencana program sekolah. Dalam kegiatan intrakurikuler, potensi wisata daerah dapat menjadi wacana atau konteks dalam pembelajaran baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Upaya pelestarian kuliner lokal dapat dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler maupun pembiasaan dalam budaya sekolah, misalnya pada acara tertentu atau agenda ru n mingguan/bulanan dapat membiasakan anak membawa bekal berupa makanan lokal. Terlebih saat ini sesuatu yang sifatnya lokal dan alami semakin menjadi daya tarik dan sekaligus mendukung menjadi daerah tujuan wisata.

C. Bentuk Kegiatan Pembelajaran Satuan Pendidikan

Satuan pendidikan dalam mengimplementasikan kegiatan pembelajarannya, dapat mencakup pembelajaran tatap muka, kunjungan lapang (fi eldtrip), kegiatan pentas seni, olah raga, bazar, peneli an sederhana, prak k pertanian, dan sebagainya.

Pembelajaran tatap muka dengan mengaitkan tema-tema yang mendukung, misalnya: mari bertanam palawija/bibit lainnya yang dapat tumbuh di daerah tandus. Siswa/i diajak untuk menanam bibit palawija atau bibit lainnya sehingga siswa/i memamahi bahwa bibit-bibit apa saja yang dapat ditanami di daerah tandus dan yang dak bisa ditanami. Setelah itu, anak diajak melakukan pengamatan dari tanaman yang telah ditanamnya sampai tanaman tersebut panen.

Setelah tanaman dipanen, kemudian dapat dibuat bazar atau market day dimana anak bisa sebagai penjual dan mengundang orang tua atau masyarakat sekitar sebagai pembelinya. Kunjungan yang dapat dilakukan yaitu dengan mengajak siswa/i ke kebun. Siswa/i juga dapat diajak untuk melakukan pene li an sederhana dengan melihat tanaman yang dapat atau dak dapat tumbuh di daerah tandus kemudian menuliskan hasilnya dalam bentuk laporan sederhana.

B

anyak model yang dapat digunakan untuk melaksanakan proses belajar mengajar (pembelajaran). Secara diametral model-model tersebut dapat dibedakan ke dalam dua model yang sangat berbeda, yaitu model ekspositori (expository) dan model inkuiri (inquiry teaching method).

Menurut Slavin (2010: 225), model pembelajaran adalah suatu acuan kepada suatu pendekatan pembelajaran termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungannya, dan sistem pengelolaanya. Sedangkan menurut Trianto (2009: 35) model pembelajaran merupakan pendekatan yang luas dan menyeluruh serta dapat diklasifi kasikan berdasarkan tujuan pembelajarannya, sintaks (pola urutannya), dan sifat lingkungan belajarnya. Dari dua pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah suatu pendekatan yang komprehesif yang dapat diklasifi kasikan yang memuat tujuan, sintaks, lingkungan belajar, dan sistem pengelolaanya. Pengajaran inkuiri yaitu suatu model pengajaran yang menempatkan siswa dalam situasi di mana mereka harus berpar sipasi ak f untuk menemukan sesuatu untuk mereka sendiri. Belajar dengan inkuiri pada hakikatnya adalah suatu cara di mana murid menemukan sesuatu untuk dirinya sendiri. Model ekspositori lebih dikenal dengan model pengajaran di mana ak vitas dalam proses belajar mengajar didominasi oleh guru (pengajar). Tugas guru bukan semata-mata mengajar (teacher

centered), akan tetapi lebih kepada membelajarkan siswa (student centered).

Belajar pada hakikatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu siswa. Belajar dapat dipandang sebagai proses yang diarahkan kepada tujuan dan proses berbuat melalui berbagai pengalaman belajar yang dirancang dan dipersiapkan oleh guru.

Pengembangan model-model pembelajaran merupakan suatu keniscayaan yang ha-rus dipersiapkan dan dilakukan guru dalam kegiatan pembelajaran. Guru merupakan ujung tombak keberhasilan kegiatan pembelajaran di sekolah/madrasah yang

(18)

terlibat langsung dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembelajaran. Kualitas pembelajaran yang dilakukan sangat bergantung pada perencanaan dan pelaksanaan proses pembelajaran guru.

Hakikat belajar adalah suatu ak vitas yang mengharapkan perubahan ngkah laku (behavioral change) pada diri individu yang belajar. Perubahan ngkah laku terjadi karena usaha individu yang bersangkutan. Belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor: bahan yang dipelajari, faktor instrumental, faktor lingkungan, dan kondisi individual si pelajar. Faktor-faktor tersebut diatur sedemikian rupa, agar mempunyai pengaruh yang membantu tercapainya kompetensi secara op mal. Proses belajar yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran merupakan proses yang kompleks dan senan asa berlangsung dalam berbagai situasi dan kondisi. Masukan sistem pendidikan/sistem belajar adalah orang, informasi, dan sumber lain. Sedangkan keluaran terdiri dari orang/siswa dengan penampilan yang lebih maju dalam berbagai aspek.

Pada prinsipnya belajar adalah proses perubahan ngkah laku sebagai akibat dari interaksi antara siswa dengan sumber-sumber belajar, baik sumber yang didesain maupun yang dimanfaatkan. Proses belajar dak hanya terjadi karena adanya interaksi antara siswa dengan guru, bahkan hasil belajar yang maksimal dapat pula diperoleh lewat interaksi antara siswa dengan sumber-sumber belajar lainnya. Belajar juga dapat dipandang sebagai proses melihat, mengama , dan memahami sesuatu yang ada di sekitas siswa. Kegiatan pembelajaran dilakukan oleh guru dan siswa. Perilaku guru adalah membelajarkan dan perilaku siswa adalah belajar. Perilaku pembelajaran tersebut terkait dengan mendesain dan menerapkan model-model pembelajaran. Model pembelajaran kontekstual (contekstual teaching and

learning) adalah merupakan proses pembelajaran yang holis k dan bertujuan

membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dan mengaitkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan/ keterampilan yang dinamis dan fl eksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara ak f pemahamannya.

Agar pembelajaran yang diselenggarakan dapat memaksimisasikan manfaat, maka perlu dipilih suatu pendekatan atau model pembelajaran yang sesuai dan efek f untuk suatu mata pelajaran tertentu. Dalam pembelajaran mata pelajaran ekonomi saat ini baru dikembangkan beberapa pendekatan/model pembelajaran, yang diyakini memiliki efek vitas, produk vitas, dan kemanfaatan besar, serta bermakna. Salah satu model pembelajaran tersebut yakni pendekatan/model

Contextual Teaching and Learning (CTL).

A. Penger an Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran kontekstual pada awalnya dikembangkan oleh John Dewey dari pengalaman pembelajaran tradisionalnya. Pada tahun 1918 Dewey merumuskan kurikulum dan metodologi pembelajaran yang berkaitan dengan pengalaman dan minat siswa. Siswa akan belajar dengan baik jika yang dipelajarinya terkait dengan pengetahuan dan kegiatan yang telah diketahuinya dan terjadi di sekelilingnya. Kata kontekstual (contextual) berasal dari kata

context yang berar ”hubungan, konteks, suasana, dan keadaan (konteks)”.

Adapun penger an CTL menurut Tim Penulis Depdiknas adalah sebagai berikut: Pembelajaran Konstektual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka seharihari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efek f, yakni: konstruk visme (construc vism), bertanya (ques oning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modelling), refl eksi (refl ec on) dan peneli an sebenarnya (authen c assessment).

Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa, strategi pembelajaran lebih dipen ngkan daripada hasil. Siswa didorong untuk menger apa makna belajar, apa manfaatnya, dan bagaimana mencapainya. Dengan demikian mereka akan memposisikan dirinya sebagai pihak yang memerlukan bekal untuk hidupnya nan .

Menurut Elaine B. Johnson (Hasibuan, 2014) mengatakan pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna. Lebih lanjut, Elaine mengatakan bahwa pembelajaran kontekstual adalah suatu sistem pembelajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa.

Sementara itu, Kenneth Howey R. mendefi nisikan CTL sebagai: “Contextual

teaching is teaching that enables learning in wich student aploy their academic understanding and abili es in a variety of in-and out of school context to solve simulated or real world problems, both alone and with others” (CTL adalah

pembelajaran yang memungkinkan terjadinya proses belajar di mana siswa menggunakan pemahaman dan kemampuan akademiknya dalam berbagai konteks

(19)

dalam dan luar sekolah untuk memecahkan masalah yang bersifat simula f ataupun nyata, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (Rusman, 2017). Untuk memperkuat dimilikinya pengalaman belajar yang aplika f bagi siswa, tentu saja diperlukan pembelajaran yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan, mencoba, dan mengalami sendiri (learning

to do), dan bahkan dak hanya sekedar pendengar yang pasif sebagaimana

penerima terhadap semua informasi yang disampaikan guru. Dengan demikian pembelajaran kontekstual mengutamakan pada pengetahuan dan pengalaman atau dunia nyata (real world learning), berfi kir ngkat nggi, berpusat pada siswa, siswa ak f, kri s, krea f, memecahkan masalah, siswa belajar menyenangkan, mengasyikkan, dak membosankan (joyfull and quantum

learning), dan menggunakan berbagai sumber belajar.

B. Hakikat Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Ada tujuh komponen utama pembelajaran efek f, yakni: konstruk visme (Construc vism), bertanya (Ques oning), menemukan Contextual Teaching and Learning (CTL) sebagai Model (Inquiry), masyarakat belajar (Learning

Community), permodelan (Modeling), refl eksi (Refl ec on), dan penilaian

sebenarnya (Authen c Assessment).

Kata-Kata Kunci Pembelajaran 1) Real world learning 2) Mengutamakan pengalaman nyata 3) Berpikir ngkat nggi 4) Berpusat pada siswa 5) Siswa ak f, kri s, dan krea f 6) Pengetahuan bermakna dalam kehidupan 7) Dekat dengan kehidupan nyata 8) Siswa proak f, bukan menghafal 9) Learning bukan teaching 10) Educa on bukan instruc on 11) Pembentukan manusia 12) Memecahkan masalah 13) Siswa ak ng, guru mengarahkan 14) Perubahan perilaku 15) Hasil belajar diukur dengan berbagai cara bukan hanya dengan tes. Terdapat Lima Elemen Belajar yang Konstruk vis k 1) Ac va ng knowledge (pengak fan pengetahuan yang sudah ada) 2) Acquiring knowledge (pemerolehan pengetahuan baru) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperha kan detailnya. 3) Understanding

knowledge (pemahaman pengetahuan): dengan cara menyusun (1) konsep

sementara/hipotesis, (2) melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan/validasi, (3) konsep tersebut direvisi dan dikembangkan. 4)

Applying knowledge (memprak kkan pengetahuan dan pengalaman tersebut)

5) Refl ec ng knowledge (melakukan refl eksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut (Zahorik. 1995: 14 - 22).

C. Karakteris k Pembelajaran Kontekstual

Menurut Johnson dalam Nurhadi (2002: 13), ada 8 komponen yang menjadi karakteris k dalam pembelajaran kontekstual, yaitu sebagai berikut: 1. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningfull connec on). Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara ak f dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat (learning by doing). 2. Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifi kan (doing

signifi cant work). Siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan

berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat. 3. Belajar yang diatur sendiri (self-regulated

learning). Siswa melakukan kegiatan yang signifi kan: ada tujuannya, ada

urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produknya atau hasilnya yang sifatnya nyata. 4. Bekerja sama (collabora ng). Siswa dapat bekerja sama. Guru dan siswa bekerja secara efek f dalam kelompok, guru membantu siswa memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi. 5. Berpikir kri s dan krea f (cri cal and crea ve thinking). Siswa dapat menggunakan ngkat berpikir yang lebih nggi secara kri s dan krea f: dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan buk -buk . 6. Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the

individual). Siswa memelihara pribadinya: mengetahui, memberi perha an,

memberi harapan- harapan yang nggi, memo vasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa dak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa. 7. Mencapai standar yang nggi (reaching high standard). Siswa mengenal dan mencapai standar yang nggi: mengiden fi kasi tujuan dan memo vasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan kepada siswa cara mencapai apa yang disebut “excellence”. 8. Menggunakan penilain auten k (using

authen c assessment). Siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam

(20)

boleh menggambarkan informasi akademis yang telah mereka pelajari untuk dipublikasikan dalam kehidupan nyata.

D. Komponen Pembelajaran Kontekstual

Terdapat 7 (tujuh) komponen pembelajaran kontekstual yaitu konstruk visme, penemuan, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refl eksi, dan penilaian oten k.

1. Konstruk visme (Construc vism)

Konstruk visme adalah mengembangkan pemikiran siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. Menurut Sardiman, teori atau aliran ini merupakan landasan berfi kir bagi pendekatan kontekstual (CTL). Pengetahuan riil bagi para siswa adalah sesuatu yang dibangun atau ditemukan oleh siswa itu sendiri. Jadi pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang diingat siswa, tetapi siswa harus merekonstruksi pengetahuan itu kemudian memberi makna melalui pengalaman nyata.

2. Menemukan (Inquiry)

Menemukan atau inkuiri adalah proses pembelajaran yang didasarkan pada proses pencarian penemuan melalui proses berfi kir secara sistema s, yaitu proses pemindahan dari pengamatan menjadi pemahaman sehingga siswa belajar mengunakan keterampilan berfi kir kri s. Menurut Lukmanul Hakim, guru harus merencanakan situasi sedemikian rupa, sehingga para siswa bekerja menggunakan prosedur mengenali masalah, menjawab pertanyaan, menggunakan prosedur peneli an/inves gasi, dan menyiapkan kerangka berfi kir, hipotesis, dan penjelasan yang relevan dengan pengalaman pada dunia nyata.

3. Bertanya (ques oning)

Bertanya, yaitu mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui dialog interak f melalui tanya jawab oleh keseluruhan unsur yang terlibat dalam komunitas belajar. Dengan penerapan bertanya, pembelajaran akan lebih hidup, akan mendorong proses dan hasil pembelajaran yang lebih luas dan mendalam. Dengan mengajukan pertanyaan, mendorong siswa untuk selalu bersikap dak menerima suatu pendapat, ide atau teori secara mentah. Ini dapat mendorong sikap selalu ingin mengetahui dan mendalami (curiosity) berbagai teori, dan dapat mendorong untuk belajar lebih jauh.

4. Masyarakat Belajar (learning community)

Konsep masyarakat belajar (learning community) ialah hasil pembelajaran yang diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Guru dalam pembelajaran kontekstual (CTL) selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen. Siswa yang pandai mengajari yang lemah, yang sudah tahu memberi tahu yang belum tahu, dan seterusnya. Dalam prak knya “masyarakat belajar” terwujud dalam pembentukan kelompok kecil, kelompok besar, mendatangkan ahli ke kelas, bekerja sama dengan kelas paralel, bekerja kelompok dengan kelas di atasnya, bekerja sama dengan masyarakat.

5. Pemodelan (modelling)

Dalam pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, perlu ada model yang bisa di ru oleh siswa. Model dalam hal ini bisa berupa cara mengoperasikan, cara melempar atau menendang bola dalam olah raga, cara melafalkan dalam bahasa asing, atau guru memberi contoh cara mengerjakan sesuatu. Guru menjadi model dan memberikan contoh untuk dilihat dan di ru. Apapun yang dilakukan guru, maka guru akan ber ndak sebagai model bagi siswa. Ke ka guru sanggup melakukan sesuatu, maka siswapun akan berfi kir sama bahwa dia bisa melakukannya juga.

6. Refl eksi (refl ec on)

Refl eksi merupakan upaya untuk melihat, mengorganisir, menganalisis, mengklarifi kasi, dan mengevaluasi hal-hal yang telah dipelajari. Realisasi prak k di kelas dirancang pada se ap akhir pembelajaran, yaitu dengan cara guru menyisakan waktu untuk memberikan kesempatan bagi para siswa melakukan refl eksi berupa: pernyataan langsung siswa tentang apa-apa yang diperoleh setelah melakukan pembelajaran, catatan atau jurnal di buku siswa, kesan, dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu, diskusi, dan hasil karya.

7. Penilaian Oten k (authen c assessment)

Pencapaian siswa dak cukup hanya diukur dengan tes saja, hasil belajar hendaknya diukur dengan asesmen auten k yang bisa menyediakan informasi yang benar dan akurat mengenai apa yang benar-benar diketahui dan dapat dilakukan oleh siswa atau tentang kualitas program pendidikan. Penilaian oten k merupakan proses pengumpulan berbagai data untuk memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Data ini dapat berupa tes tertulis, proyek (laporan kegiatan), karya siswa, performance (penampilan presentasi) yang terangkum dalam portofolio siswa.

(21)

Model pembelajaran kontekstual mengacu pada sejumlah prinsip dasar pembelajaran. Menurut Ditjen Dikdasmen Depdiknas 2002, menyebutkan bahwa kurikulum dan pembelajaran kontekstual perlu didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. Keterkaitan, relevansi (rela on)

Proses belajar hendaknya ada keterkaitan dengan bekal pengetahuan (prerequisite knowledge) yang telah ada pada diri siswa.

b. Pengalaman langsung (experiencing)

Pengalaman langsung dapat diperoleh melalui kegiatan eksplorasi, penemuan (discovery), inventory, inves gasi, peneli an dan sebagainya.

Experiencing dipandang sebagai jantung pembelajaran kontekstual. Proses

pembelajaran akan berlangsung cepat jika siswa diberi kesempatan untuk memanipulasi peralatan, memanfaatkan sumber belajar, dan melakukan bentuk-bentuk kegiatan peneli an yang lain secara ak f.

c. Aplikasi (applying)

Menerapkan fakta, konsep, prinsip dan prosedur yang dipelajari dalam kelas dengan guru, antara siswa dengan narasumber, memecahkan masalah, dan mengerjakan tugas bersama merupakan strategi pembelajaran pokok dalam pembelajaran kontekstual.

d. Alih pengetahuan (transferring)

Pembelajaran kontekstual menekankan pada kemampuan siswa untuk mentransfer situasi dan konteks yang lain merupakan pembelajaran

ngkat nggi, lebih dari pada sekedar hafal. e. Kerja sama (coopera ng)

Kerja sama dalam konteks saling tukar pikiran, mengajukan, dan menjawab pertanyaan, komunikasi interak f antar sesama siswa, antara siswa. Penge-tahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang telah dimiliki pada situasi lain. Berdasarkan uraian di atas, prinsip-prinsip tersebut merupakan bahan acuan untuk menerapkan model kontekstual dalam pembelajaran.

Implementasi model pembelajaran kontekstual lebih mengutamakan strategi pembelajaran dari pada hasil belajar, yakni proses pembelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Dengan menerapkan CTL tanpa disadari pendidik telah mengiku ga prinsip ilmiah modern yang menunjang dan mengatur segala sesuatu di alam semesta, yaitu: 1. Prinsip

Kesalingbergantungan, 2. Prinsip Diferensiasi, dan 3. Prinsip Pengaturan Diri. Prinsip kesalingbergantungan mengajarkan bahwa segala sesuatu di alam semesta saling bergantung dan saling berhubungan. Dalam CTL prinsip kesalingbergantungan mengajak para pendidik untuk mengenali keterkaitan mereka dengan pendidik lainnya, dengan siswa-siswa, dengan masyarakat dan dengan lingkungan. Prinsip kesalingbergantungan mengajak siswa untuk saling bekerja sama, saling mengutarakan pendapat, saling mendengarkan untuk menemukan persoalan, merancang rencana, dan mencari pemecahan masalah.

E. Kegiatan dan Strategi Pembelajaran Kontekstual

Kegiatan dan strategi pembelajaran kontekstual dapat ditunjukkan berupa kombinasi dari kegiatan-kegiatan berikut ini: 1. Pembelajaran oten k (authen c instruc on), yaitu pembelajaran yang memungkinkan siswa belajar dalam konteks yang bermakna, sehingga menguatkan ikatan pemikiran dan keterampilan memecahkan masalah-masalah pen ng dalam kehidupannya. 2. Pembelajaran berbasis inkuiri (inquiry based learning), yaitu memaknakan strategi pembelajaran dengan metode-metode sains, sehingga diperoleh pembelajaran yang bermakna. 3. Pembelajaran berbasis masalah (problem

based learning), yaitu pendekatan pembelajaran yang menggunakan

masalah-masalah yang ada di dunia nyata atau di sekelilingnya sebagai konteks bagi siswa untuk belajar kri s dan keterampilan memecahkan masalah, dan untuk memperoleh konsep utama dari suatu mata pelajaran. 4. Pembelajaran layanan (serve learning), yaitu metode pembelajaran yang menggabungkan layanan masyarakat dengan struktur sekolah untuk medrefl eksikan layanan, menekankan hubungan antara layanan yang dialami den pembelajaran akademik di sekolah. 5. Pembelajaran berbasis kerja (work based learning), yaitu pendekatan pembelajaran yang menggunakan konteks tempat kerja dan membahas penerapan konsep mata pelajaran di lapangan. Prinsip kegiatan pembelajaran di atas pada dasarnya adalah penekanan pada penerapan konsep mata pelajaran di lapangan, dan menggunakan masalah-masalah lapangan untuk dibahas di sekolah.

F. Menyusun Rencana Pembelajaran Berbasis Kontekstual

Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan Contextual Teaching and Learning (CTL)

Gambar

Gambar 1. Alur  pengembangan kurikulum
Gambar 1. Paparan Anak untuk Mensiasa   Tanaman di Daerah Tandus
Gambar 2. Lahan pertanian di pegunungan Sewu
Gambar 3. Peta Wilayah Kabupaten Gunungkidul
+7

Referensi

Dokumen terkait

From the analysis, there are three main points drawn. First, Chick Benetto is a person who is messy, rude, selfish, rebellious, introvert, dishonest, tender, and wishy- washy.

pemotongan/pemungutan pajak, faktur pajak atau dokumen lain yang dipersamakan dengan faktur pajak... Dalam hal permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak

Sebagai remaja yang tidak bisa lepas dari pengaruh kemajuan teknologi agar bisa membedakan hal-hal yang merupakan pengaruh yang baik dari kemajuan teknologi dan pengaruh yang buruk

Pada penelitian ini didapatkan hasil analisis yang menunjukkan bahwa rata-rata morfologi spermatozoa wistar jantan ( Rattus norvegicus ) setelah diberi perlakuan dengan

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN TEACHING GAMES FOR UNDERSTANDING TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL DAN KETERAMPILAN BERMAIN BOLA BASKET.. Universitas Pendidikan Indonesia

Senam otak telah diakui sebagai salah satu teknik belajar yang paling baik oleh National Learning Foundation USA karena senam otak ini memberikan keuntungan yaitu

Berdasarkan kajian teori yang telah dipaparkan diatas, maka dapat diuraikan bahwa faktor motivasi memegang peranan penting dalam mencapai kesuksesan belajar

Pelajar dapat mempelajari rekabentuk laman web bagi aspek elemen multimedia supaya dapat menghasilkan laman web yang menarik dan berkesan. Pembelajaran topik ini