• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENAMPILAN REPRODUKSI DOMBA LOKAL YANG DISINKRONISASI DENGAN MEDROXY PROGESTERON ACETAT PADA KONDISI PETERNAK DI KELURAHAN JUHUT, KABUPATEN PANDEGLANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENAMPILAN REPRODUKSI DOMBA LOKAL YANG DISINKRONISASI DENGAN MEDROXY PROGESTERON ACETAT PADA KONDISI PETERNAK DI KELURAHAN JUHUT, KABUPATEN PANDEGLANG"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

PENAMPILAN REPRODUKSI DOMBA LOKAL YANG

DISINKRONISASI DENGAN MEDROXY PROGESTERON

ACETAT PADA KONDISI PETERNAK DI KELURAHAN

JUHUT, KABUPATEN PANDEGLANG

(Local Sheep Reproductive Performance Synchronized With Medroxy

Progesterone Acetat on Farmer Condition in Juhut Village,

District of Pandeglang, Banten)

UMI ADIATI danD.PRIYANTO

Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

ABSTRACT

One effort improving local body weight sheep meat type is crossing with fellow tropical sheep that has a good body performance. St. Croix sheep, Sumatra Composite and Garut composite has been widely used to cross with thin-tail sheep on the scale of the experimental station. Field research was carried out at Village Juhut, district of Karang Tanjung, Pandeglang, Banten who attempted as the source of breed and for meat purposes. The number of respondents were 25 farmers with 74 head of synchronized ewes. Before crossing in field, it will elected on Research Institute of Animal Production. The system will naturally but there would be synchronised with the use of medroxy progesterone acetate in sponges which aims to produce lamb in a uniform age. After leading up to the age of 60 days (two months), the sheep are examined since mated using USG. Measured parameters are the mating percentage result of synchronised, number lamb who are born and mortality of postweaning lamb. The result showed that mating percentage of synchronised obtained by 83,02%, 75.7% birth rate by the number lamb produced 82 heads and litter size was 1,55. The mortality percentage of postweaning 38.02% happens in one lamb 18.2%, 45.8 % in twins, 57.1% in triplets and a 75% quadruplets.

Key Words: Sheep, Medroxy Progesterone Acetate, Synchronization

ABSTRAK

Salah satu upaya meningkatkan bobot badan ternak domba lokal tipe pedaging adalah dengan mengawin silangkan dengan sesama domba tropis yang memiliki performan badan yang baik. Domba St. Croix, Komposit Sumatra dan Komposit Garut telah banyak digunakan untuk menyilangkan domba Ekor Tipis pada skala stasiun percobaan. Penelitian lapangan ini dilakukan di Kelurahan Juhut, Kecamatan Karang Tanjung, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten yang diupayakan sebagai daerah sumber bibit ternak domba untuk tujuan pembibitan dan daging. Jumlah peternak responden yang terlibat sebanyak 25 orang dengan jumlah induk domba disinkronisasi 74 ekor. Sebelum dilakukan persilangan dilapangan maka pejantan yang akan digunakan untuk mengawini adalah pejantan terpilih yang sudah dilakukan seleksi di stasiun percobaan Balai Penelitian Ternak. Sistem perkawinannya secara alami akan tetapi ada perlakuan penyerentakan berahi dengan menggunakan medroxy progesteron acetate dalam spons yang bertujuan untuk mendapatkan anak yang seragam umurnya. Setelah menjelang umur 60 hari (dua bulan) sejak dikawinkan, ternak diperiksa kebuntingannya dengan menggunakan USG. Parameter yang diukur adalah persentase kebuntingan hasil penyerentakan berahi, jumlah anak yang dilahirkan dan kematian anak prasapih. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa tingkat kebuntingan ternak domba hasil sinkronisasi diperoleh sebesar 83,02%, sedangkan tingkat kelahiran 75,7% dengan jumlah anak yang dihasilkan sebanyak 82 ekor dan jumlah anak sekelahiran (JAS) sebesar 1,55. Persentase kematian anak prasapih 38,02% yang terjadi pada anak tunggal 18,2%, kembar dua 45,8%, kembar tiga 57,1% dan kembar empat sebesar 75%.

(2)

PENDAHULUAN

Pola persilangan antara domba lokal dengan domba unggul Balitnak menunjukkan bahwa anak yang dihasilkan memiliki laju pertumbuhan bobot badan yang cukup tinggi, namun pada saat mencapai bobot potong, domba hasil persilangan tersebut memiliki sistem perlemakan yang tinggi sehingga mengurangi preferensi konsumen. CHESTNUTT (1994) menjelaskan bahwa seiring dengan laju pertumbuhan bobot badan ternak domba maka proporsi lemak dalam karkas akan meningkat baik itu terjadi di dalam otot maupun antar otot. Oleh karenanya, pada kondisi pemotongan ternak yang memiliki bobot badan tinggi cenderung diikuti dengan tingginya kandungan lemak tubuh yang didapat. Demikian pula menurut POLLOT et al. (1994) mengatakan bahwa terdapat korelasi genetik yang kuat antara bobot badan dengan ketebalan lemak tubuh.

Hasil pengamatan dari beberapa laporan terdahulu menunjukkan bahwa penampilan produksi anak hasil persilangan antara domba rambut dengan lokal Sumatera lebih baik dibanding dengan penampilan domba lokal itu sendiri. SUBANDRIYO et al. (1996) melaporkan bahwa penampilan anak domba hasil persilangan mendekati penampilan yang ditunjukkan dari ternak murni impor. Selanjutnya dilaporkan pula hal yang sama oleh INOUNU et al. (1999) terhadap hasil persilangan antara domba lokal Garut dengan pejantan St. Croix dari Virgin Island (Amerika) maupun Moulton Charollais dari Perancis memberikan hasil bahwa bobot badan anak tunggal domba lokal maupun hasil persilangan secara statistik tidak menunjukkan perbedaan, baik pada anak jantan maupun betina. Namun secara rataan dari kedua jenis kelamin tersebut bobot anak domba lokal lebih rendah dibanding bobot anak hasil persilangan.

Guna mendapatkan beberapa kepentingan dalam rangka meningkatkan produktivitas domba lokal khususnya peningkatan bobot badan, maka perlu adanya induk-induk domba lokal yang telah ditingkatkan mutu genetiknya. Perbaikan induk dapat dilihat dari tingkat kesuburan yang tinggi, diimbangi dengan rendahnya kematian anak pada periode pra sapih serta kemampuan anak yang terlahir memiliki laju pertambahan bobot badan yang

tinggi. Atas dasar pertimbangan tersebut maka cara yang paling baik adalah dengan mengkawin-silangkan antara domba lokal dengan domba-domba unggul

Tujuan kegiatan penelitian ini adalah mendapatkan anak domba hasil persilangan yang memiliki bobot badan yang lebih tinggi dan seragam umurnya.

MATERI DAN METODA

Kegiatan penelitian dilakukan di Desa Cinyurup, Kelurahan Juhut, Kecamatan Karang Tanjung, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten dengan melibatkan peternak sebanyak 25 responden. Pertimbangan dipilihnya desa tersebut diatas, karena sumber pakan hijauan yang tersedia cukup baik.

Ternak yang digunakan sebanyak 74 ekor induk domba yang diserentakkan berahinya dengan menggunakan medroxy progesterone acetate dalam spons dan dikawinkan secara alami yang bertujuan untuk mendapatkan anak domba hasil persilangan yang memiliki bobot badan yang lebih tinggi dan seragam umurnya. Sebelum dilakukan persilangan dilapangan maka pejantan yang akan digunakan untuk mengawini adalah pejantan terpilih yang sudah dilakukan seleksi di stasiun percobaan Balai Penelitian Ternak. Penyerentakan berahi dilakukan dengan cara memasukkan spons yang berisi hormone medroxy progesterone acetate ke dalam vagina domba dan dibiarkan selama 14 hari, kemudian dicabut. Setelah spons dicabut kemudian dilakukan perkawinan dengan cara memasukkan ternak jantan ke dalam kelompok selama 7 hari, kemudian dikeluarkan. Perkawinan dilakukan secara kelompok dengan komposisi lebih kurang 10 ekor induk dengan dua ekor pejantan yang dibagi ke dalam 5 kelompok rumpun bangsa pejantan yaitu Komposit Sumatra, Komposit Garut, Barbados Cross, St Croix dan Garut. Setelah menjelang umur 60 hari (dua bulan) sejak dikawinkan, ternak diperiksa kebuntingannya dengan menggunakan alat Ultra Sonografi (USG) untuk mengetahui kebuntingan ternak domba.

Parameter yang diukur adalah persentase kebuntingan hasil penyerentakan berahi, jumlah anak yang dilahirkan dan kematian pra sapih.

(3)

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi umum wilayah penelitian

Kelurahan Juhut adalah salah satu kelurahan di Kecamatan Karangtanjung yang merupakan klasifikasi desa ”Swasembada”. Lokasi Kelurahan tersebut memiliki batas wilayah yakni: disebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Cigadung, sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Pandeglang, sebelah Barat berbatasan dengan kawasan kehutanan, dan sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Pandeglang, yang dibatasi oleh jalan raya Provinsi. Ketinggian lokasi adalah antara 250 m – 700 m dari permukaan laut (dpl) yang membentang antara Tenggara dan Barat laut dengan bentangan jarak sekitar 2,7 km. Kriteria ketinggian lokasi dibedakan dalam wilayah terendah yakni di perkampungan Juhud dan sekitarnya (250 – 300 m dpl), sedangkan perkampungan sedang adalah di Kampung Canggoang (300 – 400 m dpl), dan perkampungan tertinggi (paling atas) adalah perkampungan Cinyurup dan sekitarnya (400 – 700 m dpl) dengan kondisi kemiringan terjal, dengan luas wilayah mencapai 387,45 ha yang dikatagorikan wilayah dengan kondisi agro-ekosistem lahan kering.

Distribusi pemanfaatan lahan sebagai ladang/tegalan sangat dominan yakni mencapai 294,41 ha atau mencapai 75,99 persen dari total luas areal, areal pemukiman penduduk 14,30 persen, areal sawah 30 ha yang terdistribusi di lokasi Dusun Juhud dan Dusun Canggoang masing-masing 20 ha dan 10 ha. Potensi lahan untuk penyediaan hijauan pakan ternak masih tersedia banyak, yang terbukti bahwa peternak tidak kekurangan akan pakan ternak (berupa rumput lapang maupun legume pohon) yang tertanam di lahan tegalan, dan

terdistribusi secara berkelanjutan walaupun pada musim kemarau serta dapat mencukupi kebutuhan seluruh ternak domba di Kelurahan Juhut (total populasi 416 ekor). Disamping itu, potensi hijauan juga dapat diperoleh dari lahan kehutanan yang terletak berbatasan dengan lokasi disebelah Barat dan Utara wilayah. Kelurahan Juhut memiliki jumlah penduduk 6.191 jiwa yang terdiri dari 1.383 Kepala Keluarga (KK) dengan pekerjaan pokok mayoritas sebagai petani.

Kinerja reproduksi induk domba

Perkawinan ternak dilakukan secara kelompok dengan komposisi lebih kurang 10 ekor induk dengan dua pejantan unggul yang sama rumpun bangsanya. Penempatan ternak jantan ini hanya 7 hari dalam kandang kelompok karena ternak induk sudah diserentakkan berahinya sehingga dengan cara perkawinan ini maka perkiraan kelahiran anak sudah dapat diprediksi.

Bobot badan saat kawin memiliki pengaruh terhadap bobot badan anak yang terlahir. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa kondisi bobot badan betina pada kelompok di atas 30 kg saat kawin persentasenya paling rendah yaitu sebesar 14,86% atau sebanyak 11 ekor, hal ini dapat dimengerti bahwa induk-induk yang telah mencapai bobot tinggi merupakan induk tua yang telah melewati bobot dewasa tubuh. Jumlah ternak domba dengan bobot kawin berkisar antara 20 sampai dengan di bawah 25 kg merupakan kelompok yang paling tinggi persentasenya yaitu 37,84%. Kelompok bobot badan terbesar kedua diperoleh pada bobot kisaran di bawah 20 kg sebesar 22,98%, sedangkan bobot antara 25 kg sampai dengan

Tabel 1. Distribusi jumlah dan persentase bobot betina saat kawin menurut pejantan yang mengawini (ekor)

Jenis pejantan (ekor) Kisaran bobot (kg)

KS KG BC SC Garut Total Persentase (%)

< 20 - 6 - 8 3 17 22,98

20  > 25 2 14 4 5 2 28 37,84

25  < 30 3 4 4 5 2 18 24,32

> 30 2 5 - 1 3 11 14,86

(4)

di bawah 30 kg yaitu 24,32%. Tingginya kelompok bobot induk ini terutama terjadi pada induk yang dikawinkan dengan pejantan Komposit Garut (KG).

Rataan bobot kawin ternak domba betina pada seluruh ternak yang diserentakkan berahi adalah 23,65 ± 5,71 kg, namun apabila dikelompokkan menurut kelompok pejantan hasil yang didapat adalah pejantan Komposit Sumatra dikawinkan dengan betina yang memiliki rataan bobot badan sebesar 26,20 ± 3,60 kg; pejantan Komposit Garut dikawinkan dengan betina yang rataan bobot badannya adalah 24,81 ± 7,20 kg; pejantan Barbados Cross dikawinkan dengan betina yang rataan bobot badannya adalah 23,45 ± 5,16 kg; pejantan St. Croix dikawinkan dengan betina yang rataan bobot badannya adalah 21,52 ± 4,40 kg dan pejantan Garut dikawinkan dengan betina yang rataan bobot badannya adalah 23,73 ± 5,74 kg. Angka bobot badan yang terdapat pada pejantan St Croix relatif paling rendah dibandingkan dengan rataan bobot betina yang dikawinkan dengan pejantan lainnya.

Pada Tabel 2. terlihat dari hasil pemeriksaan kebuntingan menunjukkan bahwa rataan persentase kebuntingan mencapai 83,02%, hasil ini lebih baik dari penelitian ADIATI et al (2006) sebelumnya yang menggunakan hormon progesteron acetate dengan perkawinan secara IB yang menghasilkan persentase kebuntingan sebesar

76,37%. Tingkat kebuntingan tertinggi didapat pada induk yang dikawini oleh pejantan Barbados Cross yaitu 100% ternak bunting, kemudian diikuti oleh induk-induk yang dikawini pejantan Komposit Garut, Komposit Sumatra dan Garut masing-masing persentase kebuntingan diperoleh sebesar 86,2; 85,7; 80%, sedangkan persentase kebuntingan terendah diperoleh induk yang dikawini pejantan St. Coix hanya sebesar 63,2%.

Rataan tingkat kegagalan domba betina untuk bunting hanya sebesar 16,98% (14 ekor). Ini banyak terjadi pada induk dalam kelompok perkawinan dengan pejantan St. Croix sebesar 36,8% (7 ekor). Kegagalan bunting ini lebih banyak disebabkan karena spons yang digunakan lepas sehingga ternak tidak berahi dan tidak dikawini oleh pejantan.

Pada Tabel 3. terlihat bahwa dari induk yang bunting diperoleh produksi anak sebanyak 82 ekor dengan rataan jumlah anak sekelahiran (JAS) sebesar 1,55 ekor per induk. Hasil ini lebih rendah dengan hasil penelitian sebelumnya yang mendapatkan JAS sebesar 1,77 (YULISTIANI et al. 2000). Distribusi JAS dari penelitian ini adalah 40,2% tunggal, 29,3% kembar dua, 25,6% kembar tiga dan 4,9% kembar empat. Hal ini menunjukkan bahwa domba lokal induk mempunyai fertilitas yang tinggi dan merupakan ternak yang cukup prolifik (dapat beranak banyak), karena suatu populasi ternak dapat dikelompokkan menjadi prolifik bila mempunyai rataan jumlah anak

Tabel 2. Kinerja reproduksi induk domba menurut pejantan yang mengawini

Jenis Pejantan Peubah

KS KG BC SC Grt

Jumlah induk (ekor) 7 29 9 19 10

Jumlah induk bunting (ekor) 6 25 9 12 8

Jumlah induk keguguran (ekor) - 2 2 - -

Jumlah induk tidak bunting (ekor) 1 4 - 7 2

Persentase kebuntingan (%) 85,7 86,2 100 63,2 80,0

Jumlah induk beranak (ekor) 6 21 7 12 7

Jumlah anak lahir (ekor) 8 35 9 20 10

Jumlah anak sekelahiran 1,33 1,67 1,29 1,67 1,43

Jumlah anak mati 1 15 3 10 3

Persentase mortalitas anak (%) 12,5 42,9 33,3 50,0 30,0

(5)

Tabel 3. Distribusi jumlah anak yang lahir menurut tipe kelahiran pada domba lokal

Tipe Kelahiran Uraian

1 2 3 4 Jumlah

Jumlah induk beranak (ekor) 33 12 7 1 53

Jumlah anak lahir (ekor) 33 24 21 4 82

Jumlah anak lahir hidup (ekor) 27 13 9 1 50

Jumlah anak mati (ekor) 6 11 12 3 32

Persentase anak hidup (%) 81,8 54,2 42,9 25 61,0

Persentase kematian anak prasapih (%) 18,2 45,8 57,1 75 39,0

lahir banyak dengan JAS > 1,75 ekor (INOUNU, et al. 1999). Pada Tabel 3. Jumlah anak lahir hidup adalah 81,8% pada kelahiran tunggal, 54,2% kembar dua, 42,9% kembar tiga. Sedangkan anak yang bertahan hidup pada anak kembar empat hanya 25%. Hal ini menunjukkan kecenderungan bahwa persentase daya hidup anak pada kelahiran tunggal lebih besar daripada kelahiran kembar. Tingkat kematian anak prasapih cukup tinggi yaitu 39,02%, dan ini banyak terjadi pada anak kelahiran kembar dua (45,8%) dan tiga (57,1%), sedangkan 75% kematian terjadi pada anak kembar empat. Tingginya tingkat kematian anak disebabkan karena manajemen yang kurang baik seperti anak terinjak induk karena disatukan dalam kandang kelompok.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penyerentakan berahi dengan hormon medroxy progesteron acetate dan dikawinkan secara alam dengan bangsa baru dilapangan dapat dilakukan dengan tingkat kebuntingan yang cukup baik yaitu 83,02%.

Jumlah anak sekelahiran (JAS) sebesar 1,55 dari jumlah produksi anak hidup sebanyak 82

ekor dengan persentase kematian anak prasapih 39,02% yang terjadi pada anak kelahiran kembar.

DAFTAR PUSTAKA

ADIATI, U., D.A. KUSUMANINGRUM dan D. PRIYANTO. 2007. Penyerentakan berahi dengan progesterone dalam spons pada ternak domba di Kabupaten Cianjur. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak.

INOUNU, I., B. TIESNAMURTI, SUBANDRIYO dan H. MARTOJO. 1999. Produksi anak pada domba prolifik. JITV 4(3): 148 – 160.

SUBANDRIYO, B. SETIADI, M. RANGKUTI, K. DIWYANTO, E. HENDIWIRAWAN, E. ROMJALI,

M. DOLOKSARIBU, S. ELISER dan L. BATUBARA. 1996. Pemuliaan bangsa domba

sintetis hasil persilangan antara domba lokal sumatera dengan domba bulu. Puslitbang Peternakan, Bogor.

YULISTIANI, D., B. SETIADI, B.TIESNAMURTI,

SUBANDRIYO dan U.ADIATI. 2000. Tampilan productivitas induk kambing Kosta secara exsitu. Pros. Simposium Nasional Pemuliaan dan Plasma Nutfah. PERIPI. hlm. 621 – 629

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan penawaran yang masuk kurang dari 3 (tiga), dan telah dilakukannya evaluasi administrasi, evaluasi teknis, evaluasi harga untuk penawaran paket

Atas dasar tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap volume ekspor manggis Indonesia periode 1989-2004 dan

Tanda pelunasan pajak tahun terakhir (SPT tahun 2013) dan Laporan Bulanan Pajak (PPh pasal 21, PPh pasal 23 bila ada transaksi, PPh pasal 25/29 dan PPN) untuk 3 (tiga) bulan

marcescens sebagai bakteri kitinolitik terhadap cendawan patogen secara umum yaitu, pertama bakteri menghasilkan senyawa bioaktif, dalam hal ini enzim kitinase

Terkait dengan tujuan penulisan kitab hadis sekunder di masa depan, penulis merekomendasikan tiga hal kepada siapapun yang hendak menulis kitab hadis sekunder; yaitu

Kegiatan refleksi dilaksanakan setelah pelaksanaan tindakan pada pertemuan pertama, kedua dan ketiga siklus I ini. Hasil refleksi ini diambil dari lembar

Untuk Kelompok 2: Program studi sedang berproses untuk memperoleh akreditasi internasional yang dibuktikan dengan Dokumen Evaluasi Diri sesuai aturan dan kriteria lembaga

Dari hasil gambar/ video yang didapatkan dapat disimpulkan stabil atau tidaknya, getaran yang berlebihan menyebabkan ketidakstabilan pada wahana ketika terbang