• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

7 2.1. Subjective Well-Being

2.1.1. Pengertian Subjective Well-Being

Menurut Deiner dan Pavot subjective well-being (SWB) merupakan kategori yang luas mengenai fenomena yang menyangkut respon-respon emosional orang, domain kepuasan dan penilaian-penialian global atas kepuasan hidup (Deiner, Scollon, & Lucas, 2003). Subjective well-being merupakan salah satu prediktor kualitas hidup individu karena subjective well-being mempengaruhi keberhasilan individu dalam berbagai domain kehidupan (Pavot & Deiner, 2004).

Diener et al (1999) mengungkapkan bahwa subjective well-being terdiri dari dua komponen, yaitu afek dan kepuasan hidup. Afek merupakan gambaran evaluasi langsung individu atas peristiwa yang terjadi dalam hidupnya, individu akan beraksi dengan afek positif jika mengalami sesuatu yang baik, dan sebaliknya. Afek positif yang dominan cenderung direfleksikan sebagai subjective well-being yang tinggi. Lebih lanjut Diener (1999) mengemukakan bahwa kepuasan hidup merupakan bentuk kemampuan seseorang untuk menikmati pengalaman disertai dengan kegembiraan. Penilaian kepuasan didasarkan pada perbandingan antara kondisi diri tertentu dibandingkan dengan berbagai standar, yang mencakup : orang lain, kondisi masa lalu, tingkat aspirasi dan ide dari kepuasan, dan kebutuhan atau tujuan lain.

(2)

Diener, Suh & Oishi menjelaskan bahwa individu dikatakan memiliki subjective well-being tinggi jika mengalami kepuasan hidup, sering merasakan kegembiraan dan jarang merasakan emosi yang tidak menyenangkan seperti kesedihan atau kemarahan. Sebaliknya, individu diaktakan memiliki subjective well-being rendah jika tidak puas dengan kehidupannya, mengalami sedikit kegembiraan dan afeksi, serta lebih sering merasakan emosi negatif seperti kemarahan atau kecemasan (Eid & Larsen, 2008).

2.1.2. Komponen Subjective Well-Being

Menurut Diener (Eid & Larsen, 2008) subjective well-being terbagi dalam dua komponen umum, yaitu :

1. Komponen Kognitif

Komponen kognitif adalah evaluasi dari kepuasan hidup, yang didefinisikan sebagai penilaian dari hidup seseorang. Evaluasi terhadap kepuasan hidup dapat dibagi menjadi :

a. Evaluasi terhadap kepuasan hidup secara global (life satisfaction), yaitu evaluasi responden terhadap kehidupannya secara menyeluruh. Kepuasan hidup secara global dimaksudkan untuk mempresentasikan penilaian responden secara umum dan reflektif terhadap kehidupannya. Secara lebih spesifik, kepuasan hidup secara global melibatkan persepsi seseorang terhadap perbandingan keadaan hidupnya dengan standard unik yang mereka punyai.

b. Evaluasi terhadap kepuasan pada domain tertentu, adalah penilaian yang dibuat seseorang dalam mengevaluasi domain dalam kehidupannya,

(3)

seperti kesehatan fisik dan mental, pekerjaan, rekreasi, hubungan sosial dan keluarga.

Kedua komponen tersebut tidak sepenuhnya terpisah. Evaluasi terhadap kepuasan hidup secara global merupakan refleksi dari persepsi seseorang terhadap hal-hal yang ada dalam hidupnya, ditambah dengan bagaimana kultur mempengaruhi pandangan hidup yang positif dari seseorang.

2. Komponen Afektif

Secara umum, komponen aktif subjective well-being merefleksikan pengalamann dasar dalam peristiwa yang terjadi di dalam hidup seseorang. Dengan meneliti tipe-tipe dari refleksi afektif yang ada seorang peneliti dapat memahami cara seseorang mengevaluasi kondisi dan peristiwa di dalam hidupnya. Komponen afektif subjective well-being dapat dibagi menjadi : a. Afek Positif (positive affect)

Afek positif mempresentasikan mood dan emosi yang menyenangkan seperti kasih sayang. Emosi positif atau menyenangkan adalah bagian dari subjective well-being karena emosi-emosi tersebut merefleksikan reaksi seseorang terhadap peristiwa-peristiwa yang menunjukkan bahwa hidup berjalan sesuai dengan apa yang ia inginkan. Afek positif terlihat dari emosi-emosi spesifik seperti tertarik atau berminat akan sesuatu (interested), gembira (excited), kuat (strong), antusias (enthusiastic), waspada atau siap siaga (alert), bangga (proud), bersemangat (inspired), penuh tekad (determined), penuh perhatian (attentive) dan aktif (active).

(4)

b. Afek Negatif (negatif affect)

Afek negatif adalah pravelensi dari emosi dan mood yang tidak menyenangkan dan merefleksikan respon negatif yang dialami seseorang sebagai reaksinya terhadap kehidupan, kesehatan, keadaan dan peristiwa yang mereka alami. Afek negatif terlihat dari emosi-emosi spesifik seperti sedih atau susah (distressed), kecewa (disappointed), bersalah (guilty), takut (scared), bermusuhan (hostile), lekas marah (irritable), malu (shamed), gelisah (nervous), gugup (jittery) dan khawatir (afraid).

2.1.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being

Berikut yang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being (dalam Arianti, 2010) :

1. Harga diri positif

Campbell menyatakan bahwa harga diri merupakan prediktor yang menentukan subjective well-being. Harga diri yang tinggi akan meyebabkan seseorang memiliki kontrol yang baik terhadap rasa marah, mempunyai hubungan yang intim dan baik dengan orang lain, serta kapasitas produktif dalam pekerjaan. Hal ini akan menolong individu untuk mengembangkan kemampuan hubungan interpersonal yang baik dan menciptakan kepribadian yang sehat.

2. Kontrol diri

Kontrol diri diartikan sebagai keyakinan individu bahwa ia akan mampu berperilaku dalam cara yang tepat ketika menghadapi suatu peristiwa. Kontrol diri ini akan mengaktifkan proses emosi, motivasi,

(5)

perilaku dan aktivitas fisik. Dengan kata lain, kontrol diri akan melibatkan proses pengambilan keputusan, mampu mengerti, memahami serta mengatasi konsekuensi dari keputusan yang telah diambil serta mencari pemaknaan atas peristiwa tersebut.

3. Ekstraversi

Individu dengan kepribadian ekstravert akan tertarik pada hal-hal yang terjadi di luar dirinya, seperti lingkungan fisik dan sosialnya. Penelitian Deiner dkk (1999) mendapatkan bahwa kepribadian ekstravert secara signifikan akan memperediksi terjadinya kesejahteraan individual. Orang-orang dengan kepribadian ekstravert biasanya memiliki teman dan relasi sosial yang lebih banyak, merekapun memiliki sensitivitas yang lebih besar mengenai penghargaan positif pada orang lain.

4. Optimis

Secara umum, orang yang optimis mengenai masa depan merasa lebih bahagia dan puas dengan kehidupannya. Individu yang mengevaluasi dirinya dalam cara yang positif, akan memiliki kontrol yang baik terhadap hidupnya, sehingga memiliki impian dan harapan yang positif tentang masa depan. Scheneider menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis akan tercipta bila sikap optimis yang dimiliki oleh individu bersifat realistis. 5. Relasi sosial yang positif

Realsi sosial yang positif akan tercipta bila adanya dukungan sosial dan keintiman emosional. Hubungan yang di dalamnya ada dukungan dan keintiman akan membuat individu mampu mengembangkan harga diri,

(6)

meminimalkan masalah-masalah psikologis, kemampuan pemecahan masalah yang adaptif dan membuat individu menjadi sehat secara fisik. 6. Memiliki arti dan tujuan dalam hidup

Dalam beberapa kajian, arti dan tujuan hidup sering dikaitkan dengan konsep religiusitas. Penelitian melaporkan bahwa individu yang memiliki kepercayaan religi yang besar, memiliki kesejahteraan psikologis yang besar.

2.2. Konsep Diri

2.2.1. Pengertian Konsep Diri

Konsep diri merupakan kesadaran seseorang mengenai dirinya sendiri. Menurut Schlenker dalam (Walgito,2011) konsep diri merupakan teori dimana orang mengkonstruksi dirinya sendiri. Konsep diri mempunyai beberapa fungsi penting bagi individu. Konsep diri dapat dipandang sebagai mekanisme yang memungkinkan seseorang memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan hal-hal yang menyakitkan selama hidupnya.

Menurut Deaux, Dane, & Wrightsman dalam (Sarwono & Meinarno, 2009) konsep diri adalah sekumpulan keyakinan dan perasaan seseorang mengenai dirinya. Keyakinan seseorang mengenai dirinya bisa berkaitan dengan bakat, minat, kemampuan, penampilan fisik dan lain sebagainya. Dalam kamus psikologi konsep diri adalah evaluasi individu mengenai diri sendiri, penilaian atau penafsiran mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan (Chaplin, 2008).

(7)

Konsep diri pada dasarnya merupakan suatu skema, yaitu pengetahuan yang terorganisasi mengenai sesuatu yang kita gunakan untuk mengintepretasikan pengalaman. Dengan demikian, konsep diri adalah skema diri (self-schema) yaitu pengetahuan tentang diri, yang mempengaruhi cara seseorang mengolah informasi dan mengambil tindakan (Vaughan & Hogg, dalam Sarwono & Meinarno, 2009). Menurut Higgins ada tiga jenis skema diri, yaitu : actual self yaitu bagaimana diri kita saat ini, ideal self yaitu bagaimana diri kita yang kita inginkan dan ought self yaitu bagaimana diri kita seharusnya (Sarwono & Meinarno, 2009).

Skema diri ini dapat terbentuk karena individu tersebut dipengaruhi oleh interaksi manusia dengan lingkungannya. Konsep diri juga dapat terbentuk karena pengaruh dari orang-orang terdekat (significant others). Dari merekalah, secara perlahan-lahan kita membentuk konsep diri kita. Senyuman, pujian, penghargaan dan pelukan dapat membuat seseorang menilai dirinya secara positif. Ejekan, cemohan dan hardikan dapat membuat pandangan terhadap diri menjadi negatif (Rakhmat, 2011)

2.2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Konsep Diri

Pudjijogyanti (1993) mengemukakan ada beberapa peranan atau faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri, antara lain :

a. Peranan citra fisik

Tanggapan dari individu lain mengenai keadaan fisik individu yang ia lihat akan didasari oleh adanya dimensi tubuh ideal. Dimensi mengenai bentuk tubuh ideal berbeda antara kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dari waktu ke waktu. Tetapi pada umumnya bentuk tubuh ideal

(8)

laki-laki adalah atletis, berotot dan kekar, sedangkan bentuk tubuh ideal wanita adalah halus, lemah dan kecil. Dengan adanya dimensi tubuh ideal sebagai patokan untuk menanggapi keadaan fisik individu lain, maka setiap individu berusaha mencapai patokan ideal tersebut. Setiap individu menganggap bahwa ia akan mendapat tanggapan positif dari individu lain apabila ia berhasil mencapai patokan tubuh ideal. Kegagalan atau keberhasilan mencapai patokan tubuh ideal yang telah ditetapkan masyarakat merupakan keadaan yang sangat mempengaruhi pembentukan citra fisiknya, padahal citra fisik merupakan sumber untuk memebentuk konsep diri.

b. Peranan jenis kelamin

Adanya perbedaan biologis antara laki-laki dan wanita menentukan pula peran masing-masing jenis kelamin. Perbedaan peran tersebut menyebabkan dunia wanita hanya terbatas pada dunia keluarga, sehinggga dikatakan wanita tidak mampu mengembangkan diri sepanjang hidupnya. Sementara itu, laki-laki dapat lebih mengembangkan diri secara optimal, karena laki-laki berkecimpung dalam kehidupan di luar rumah (Budiman, 1982, dalam Pudjijogyanti, 1993). Dengan adanya perbedaan peran jenis kelamin, wanita selalu bersikap negatif terhdap dirinya. Wanita juga kurang percaya diri apabila ia diminta menunjukkan seluruh kemampuannya. Wilson dan Wilson (1976, dalam Pudjijogyanti, 1993) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa laki-laki mempunyai sumber konsep diri yang berbeda dengan wanita. Konsep diri laki-laki bersumber

(9)

pada keberhasilan pekerjaan, persaingan dan kekuasaan. Konsep diri wanita bersumber pada keberhasilan tujuan pribadi, citra fisik dan keberhasilan hubungan keluarga. Sejalan dengan penelitian ini Douvan dan Adelson (1996, dalam Pudjijogyanti, 1993) menyimpulkan bahwa konsep diri laki-laki dipengaruhi oleh prestasinya, sedangkan konsep diri diri wanita oleh daya tarik fisik dan popularitas diri. Dari kedua penelitian ini dapat disimpulkan bahwa konsep diri laki-laki bersumber pada keberhasilan dalam menunjukkan citra kelaki-lakiannya, yaitu keagresifan dan kekuatan. Sedangkan konsep diri wanita bersumber pada keberhasilan menunjukkan citra kewanitaannya, yaitu kelembutan.

c. Peranan perilaku orang tua

G.H Mead (1934, dalam Pudjijogyanti, 1993) menulis bahwa konsep diri merupakan produk sosial yang dibentuk melalui proses internalisasi dan organisasi pengalaman-pengalaman psikologis. Pengalaman-pengalaman psikologis ini merupakan hasil eksplorasi individu terhadap lingkungan fisiknya dan refleksi dirinya yang diterima dari orang-orang penting di sekitarnya. Lingkungan pertama yang menanggapi perilaku kita adalah lingkungan keluarga, maka dapat dikatakan bahwa keluarga merupakan ajang pertama dalam pembentukan konsep diri anak. Cara orang tua memenuhi kebutuhan fisik anak dan kebutuhan psikologis anak merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap seluruh perkembangan kepribadian anak. Pengalaman anak dalam berinteraksi dengan seluruh anggota keluarga merupakan penentu

(10)

pula dalam berinteraksi dengan orang lain di kemudian hari. Jadi, bagaimana pandangan dan sikap individu terhadap dunia luar, mempercayai atau mencurigai, banyak dipengaruhi oleh pengalaman masa kecil ketika berinteraksi dengan lingkungan keluarga.

d. Peranan faktor sosial

Konsep diri terbentuk karena adanya interaksi individu dengan orang-orang disekitarnya. Apa yang dipersepsi individu lain mengenai diri individu, tidak terlepas dari struktur, peran dan status sosial yang disandang individu. Struktur, peran dan status sosial merupakan gejala yang dihasilkan dari adanya interaksi antara individu dengan kelompok, atau antara kelompok dengan kelompok. Adanya struktur, peran dan status sosial yang menyertai persepsi individu lain terhadap diri individu merupakan petunjuk bahwa seluruh perilaku individu dipengaruhi oleh faktor sosial. Hai ini sejalan dengan teori yang dikemukakan Kurt Lewin, yaitu perilaku individu merupakan fungsi dari karakteristik individu dan karakteristik lingkungannya.

2.2.3. Jenis-Jenis Konsep Diri

Menurut Calhoun dan Acocella (1990), dalam perkembangannya konsep diri terbagi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif.

a. Konsep Diri Positif

Konsep diri positif menunjukan adanya penerimaan diri dimana individu dengan konsep diri positif mengenal dirinya dengan baik sekali. Konsep diri yang positif bersifat stabil dan bervariasi. Individu

(11)

yang memiliki konsep diri positif dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri sehingga evaluasi terhadap dirinya sendiri menjadi positif dan dapat menerima dirinya apa adanya. Individu yang memiliki konsep diri positif akan merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk dapat dicapai, mampu menghadapi kehidupan di depannnya serta menganggap bahwa hidup adalah suatu proses penemuan.

b. Konsep Diri Negatif

Calhoun dan Acocella (1990) membagi konsep diri negatif menjadi dua tipe, yaitu :

1. Pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur, tidak memiliki perasaan, kestabilan dan keutuhan diri. Individu tersebut benar-benar tidak tahu siapa dirinya, kekuatan dan kelemahannya atau yang dihargai dalam kehidupannya. 2. Pandangan tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur. Hal

ini bisa terjadi karena individu dididik dengan cara yang sangat keras, sehingga menciptakan citra diri yang tidak mengizinkan adanya penyimpangan dari seperangkat hukum yang dalam pikirannya merupakan cara hidup yang tepat.

2.2.4. Aspek-Aspek Konsep Diri

Menurut Fitss (dalam Amaliah, 2012), konsep diri terdiri dari empat aspek yang merupakan detail yang akan menjelaskan mengenai diri secara utuh, yaitu :

(12)

a. Aspek Kritik Diri

Aspek ini menunjukkan bagaimana seseorang menggambarkan dirinya serta pribadinya, apakah bersifat defensif/menutupi atau bersikap terbuka terhadap kekurangan dan kelemahan diri. Aspek ini juga menggambarkan bagaimana seseorang bersikap dalam menerima umpan balik atau kritik dari orang lain. Apakah mau menerima dan mengevaluasi lebih lanjut atau langsung menutupi diri dan menolak dengan tegas.

Konsep diri mungkin saja terbentuk karena penilaian diri yang tidak tepat, yang bersumber dari sikap defensif individu, misalnya kurang terbuka meggambarkan siapa aku sesungguhnya, kurang adanya kesesuaian untuk mengakui kelemahan dan kekurangan pribadi.

b. Aspek Harga Diri

Aspek ini sesungguhnya merupakan inti dari konsep diri. Fitts (dalam Amaliah, 2012) menganggap bahwa aspek ini sebagai komponen yang dominan dalam konsep diri seseorang. Pada waktu seseorang mengamati dirinya, ia pun mengadakan penilaian seperti suka atau tidak suka, puas, puas sekali, dll. Harga diri erat hubungannya dengan perasaan berhasil dan pemahaman tentang potensi diri. Harga diri berkembang dari sejumlah perasaan/penilaian tentang diri sendiri dan keyakinan diri.

c. Aspek Integrasi Diri

Aspek ini menunjuk pada derajat integrasi antara bagian-bagian diri, yaitu kemampuan seseorang menyatukan seluruh aspek konsep diri menjadi satu keseluruhan yang utuh. Sejauhmana komponen-komponen

(13)

tersebut dapat disatukan. Menunjukan pada sejauhmana kesesuaian (konsistensi) antara patokan perilaku dan perilaku yang ditampilkan individu dalam kenyataannya. Konsistensi tersebut menunjukkan adanya integrasi yang cukup baik, dimana semakin berintegrasi bagian-bagian diri seseorang , akan semakin baik ia dalam menjalankan fungsinya.

d. Aspek Keyakinan Diri

Aspek ini berisi tentang keyakinan individu terhadap nilai-nilai, tingkah laku dan kemampuan yang dimilikinya. Aspek ini menunjukan seseorang untuk yakin/tidak dalam menilai dirinya. Keyakinan diri seseorang berasal dari tingkat kepuasan terhadap dirinya sendiri. Semakin besar aspek keyakinan diri seseorang, ia semakin percaya pada kemampuan dirinya. Dengan kata lain, ia semakin yakin dalam menilai dirinya termasuk kemampuan-kemampuan yang dimilikinya.

2.2.5. Dimensi-Dimensi Konsep Diri

Menurut Fitts (dalam Amaliah, 2012), keempat aspek konsep diri yang disebutkan di atas yang dimiliki individu ini akan mengevaluasi/menilai dan menggambarkan bagian-bagian diri yang digolongkan dalam dua dimensi, yaitu internal dan eksternal. Masing-masing dimensi ini memiliki komponen yang spesifik, yang merupakan detil dari bagian-bagian diri. Adapun kedua dimensi tersebut, yaitu :

a. Dimensi Internal

Dimensi internal terdiri dari tiga komponen pokok, yaitu komponen identitas diri, komponen perilaku dan komponen penilaian.

(14)

1. Komponen Identitas Diri (Identity Self)

Komponen ini merupakan konsep paling dasar dari konsep diri yang merupakan jawaban-jawaban atas pertanyaan dasar “siapakah saya ?”. Dalam komponen ini terkumpul segala macam label, simbol dan julukan yang berkenaan dengan karakteristik seseorang. Identitas berkembang sejalan dengan meluasnya kegiatan sosial seseorang. Identitas bersumber pada perilaku karena merupakan hasil penilaian terhadap dirinya, yang selanjutnya hasil penilaian akan mewarnai perilaku yang ditampilkan. Misalnya, “tubuh saya sehat”.

2. Komponen Perilaku (Behavioral Self)

Komponen ini timbul berdasarkan umpan balik, baik yang bersifat internal maupun eksternal, terhadap tingkah laku yang ditampilkan. Umpan balik atau respon yang diterima oleh individu atas tingkah lakunya, akan mempengaruhi kelanjutan dari tingkah laku tersebut, apakah tingkah laku tersebut akan bertahan atau hilang. Bila umpan balik bersifat positif, maka tingkah laku akan dipertahankan dan sebaliknya, bila umpan balik bersifat negatif maka tingkah laku akan dihilangkan, tingkah laku yang dipertahankan, akan mempengaruhi pembentukan konsep diri. Misalnya, “saya merawat tubuh saya sebaik mungkin”.

3. Komponen Penilaian (Judging Self)

Komponen ini berfungsi utama sebagai penilai, disamping sebagai pengamat, pengatur standar, pembanding serta penengah antara

(15)

komponen identitas dan komponen perilaku. Komponen juga akan mengevaluasi persepsi indvidu terhadap perilaku dan identitas yang dimiliki. Komponen ini pula yang akan memberi pengaruh paling besar terhadap aspek harga diri. Misalnya, “saya suka wajah saya sebagaimana adanya”.

b. Dimensi Eksternal

Dimensi eksternal terdiri dari lima komponen, yaitu komponen fisik, komponen moral etis, komponen diri personal, komponen diri keluarga, komponen diri sosial.

1. Komponen Fisik (Physical Self)

Komponen ini mencakup bagaimana individu mempersepsikan keberadaan dirinya baik secara fisik, kesehatan maupun seksualitas, misalnya bentuk dan proporsi tubuh. Contoh, “saya rapih sepanjang waktu”.

2. Komponen Moral Etis (Moral-Ethical Self)

Komponen ini merupakan komponen yang menunjukkan persepsi individu mengenai kerangka acuan moral etika, nilai-nilai moral, hubungan dengan Tuhan, perasaan-perasaan sebagai orang baik/buruk dan rasa puas terhadap kehidupan. Misalnya, “saya orang yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip agama”.

3. Komponen Diri Pribadi (Personal Self)

Perasaan individu terhadap nilai pribadi, perasaan adekuat sebagai pribadi dan penilaian individu terhadap kepribadiannya sendiri terlepas

(16)

dari penilaian fisik atau hubungannya dengan orang lain. Misalnya, “saya orang yang selalu gembira”.

4. Komponen Diri Keluarga (Family Self)

Perasaan individu dalam kaitannya dengan anggota keluarga, teman sepermainannya serta sejauhmana dirinya merasa adekuat sebagai anggota keluarga dan teman terdekatnya tersebut. Misalnya, “jika saya menghadapi masalah, keluarga saya siap membantu”. 5. Komponen Diri Sosial (Social Self)

Komponen ini berisi perasaan dan penilaian diri sendiri dalam interaksinya dengan orang lain dalam lingkungan yang lebih luas. Misalnya, “saya suka berteman”.

2.3. Mahasiswa

2.3.1. Pengertian Mahasiswa

Pengertian mahasiswa dalam peraturan pemerintah RI No. 30 tahun 1990 adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tertentu. Selanjutnya menurut Sarwono (1978) mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan batas usia 18-30 tahun.

Pengertian mahasiswa menurut Knopfemacher (dalam Sarwono, 1978) adalah merupakan insan-insan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi (yang makin menyatu dengan masyarakat) dididik dan diharapkan menjadi calon-calon intelektual.

(17)

2.4. Hubungan antara Konsep Diri dengan Subjective Well-Being

Menurut Deaux, Dane & Wrightsman konsep diri juga merupakan sekumpulan keyakinan dan perasaan seseorang mengenai dirinya (Sarwono & Meinarno, 2009). Selain itu konsep diri dapat dipandang sebagai mekanisme yang memungkinkan seseorang untuk memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan hal-hal yang menyakitkan selama hidupnya (Walgito, 2011). Dapat dikatakan konsep diri merupakan keyakinan dan kesadaran seseorang mengenai dirinya sendiri. Konsep diri dapat digunakan oleh individu dalam bertindak dan menentukan sikap dalam menghadapi berbagai situasi tertentu.

Dalam setiap kehidupannya individu tidak terlepas dari berbagai peristiwa kehidupan yang harus dilaluinya. Peristiwa itu dapat berupa peristiwa yang menyenangkan ataupun peristiwa yang tidak menyenangkan. Orang yang memiliki konsep diri positif akan melihat peristiwa yang tidak menyenangkan tersebut bukan sebagai halangan tetapi melihat sebagai tantangan dan kesempatan. Sehingga orang-orang seperti ini akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif. Orang yang memiliki konsep diri positif juga akan memiliki harga diri yang positif. Harga diri yang tinggi akan menyebabkan seseorang memiliki kontrol yang baik terhadap rasa marah. Kontrol diri ini akan mengaktifkan proses emosi, motivasi, perilaku

Sebaliknya orang yang memiliki konsep diri negatif apabila dihadapkan pada peristiwa yang tidak menyenangkan ini, akan melihat peristiwa tersebut sebagai suatu halangan dan akan terlihat seperti orang yang pesimis dan mudah putus asa. Orang-orang seperti ini akan memiliki harga diri yang negatif dan tidak

(18)

memiliki kontrol diri, sehingga sulit dalam mengontrol emosi, motivasi dan perilakunya yang akan mempengaruhi tujuan hidup kedepannya. Berbagai peristiwa yang dihadapi ini akan menimbulkan suatu perasaan bagi individu, baik perasaan positif maupun perasaan negatif.

Rasa optimis, kontrol diri yang dapat mempengaruhi proses emosi, motivasi dan perilaku sehingga dapat mengarahkan seseorang dalam mencapai tujuan hidupnya merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi subjective well-being.

2.5. Kerangka Pemikiran

2.6. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

Ha1 : Ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan subjective well-being afek pada mahasiswa.

Ha2 : Ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan subjective well-being kognitif pada mahasiswa.

Subjective

well-being

(Y)

Konsep Diri

(X)

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 16 Tahun 2007 tentang Pembentukan Organisasi Dinas Daerah di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bantul (Lembaran Daerah

PROFITABILITAS, LIKUIDITAS, KEBIJAKAN HUTANG DAN FREE CASH FLOW TERHADAP KEBIJAKAN DIVIDEN ( Studi Empiris pada Perusahaan Industri Barang Konsumsi yang terdaftar

This study aims to find translation procedures from source language (English) to target language (Indonesian) used in translating the Eclipse novel which have

[r]

diterima, dengan demikian diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered

Memperhatikan ketentuan-ketentuan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana diubah terakhir dengan

Selain ruam ini, timbul gejala-gejala lainnya, seperti demam, pembesaran kelenjar getah bening, sakit tenggorokan, sakit kepala, kehilangan berat badan, nyeri otot, dan perlu

Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Underpricing Saham pada saat Initial Public Offering (ipo) di Bursa Efek Indonesia Periode 2005–2009. Skripsi, Program