• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Pengertian pelabuhan perikanan dan pelabuhan perikanan nusantara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Pengertian pelabuhan perikanan dan pelabuhan perikanan nusantara"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pelabuhan Perikanan

Pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan disekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh dan atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan (DKPa, 2008). Keberadaan pelabuhan perikanan diperlukan untuk memperlancar aktivitas perikanan tangkap mulai saat pendaratan sampai pada pemasarannya.

Pelabuhan perikanan di Indonesia, dalam pengklasifikasiannya dikelompokkan menjadi 4 (empat) tipe, yaitu tipe A (pelabuhan perikanan samudera), tipe B (pelabuhan perikanan nusantara), tipe C (pelabuhan perikanan pantai), dan tipe D (pangkalan pendaratan ikan).

2.1.1 Pengertian pelabuhan perikanan dan pelabuhan perikanan nusantara Pelabuhan perikanan merupakan salah satu jenis pelabuhan yang termasuk kategori pelabuhan khusus yaitu pelabuhan yang berfungsi untuk berlabuh dan bertambatnya kapal yang hendak bongkar muat hasil tangkapan ikan atau mengisi bahan perbekalan untuk melakukan penangkapan ikan di laut (Lubis, 2006; 2008).

Lubis (2006; 2008) menyatakan bahwa, pelabuhan perikanan dapat diklasifikasikan menurut letak dan jenis usaha perikanannya. Pengklasifikasian pelabuhan perikanan dapat dipengaruhi oleh berbagai parameter, yaitu :

(1) Luas lahan, letak dan kontruksi bangunannya;

(2) Tipe dan ukuran kapal-kapal yang masuk pelabuhan; (3) Jenis perikanan dan skala usahanya;

(4) Distribusi dan tujuan ikan hasil tangkapan.

Direktorat Jenderal Perikanan yang diacu oleh Lubis (2006; 2008) mengelompokkan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu menjadi pelabuhan perikanan tipe B berdasarkan skala perikanannya. Kriteria-kriteria pelabuhan perikanan nusantara (tipe B), yaitu :

(2)

(1) Tersedianya lahan seluas 30 ha - 40 ha;

(2) Diperuntukkan bagi kapal-kapal perikanan >50 GT - 100 GT; (3) Melayani kapal-kapal perikanan 50 unit/hari;

(4) Jumlah ikan yang didaratkan 100 ton/hari;

(5) Tersedianya fasilitas pembinaan mutu, sarana pemasaran dan lahan kawasan industri perikanan.

DKPa (2008) menyatakan, kriteria lain mengenai pelabuhan perikanan nusantara (tipe B) berdasarkan kriteria teknis juga tercantum dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per 16/Men/2006 yaitu :

(1) Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di laut teritorial dan ZEE Indonesia;

(2) Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-kurangnya 30 GT;

(3) Panjang dermaga sekurang-kurangnya 150 meter, dengan kedalaman kolam sekurang-kurangnya minus 3 meter;

(4) Mampu menampung sekurang-kurangnya 75 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 2250 GT kapal perikanan sekaligus;

(5) Terdapat industri perikanan. 2.1.2 Fungsi pelabuhan perikanan

Lubis (2006; 2008) menyatakan bahwa, fungsi pelabuhan perikanan berdasarkan pendekatan kepentingan yaitu mempunyai fungsi maritim, fungsi komersial dan fungsi jasa. Fungsi pelabuhan perikanan ditinjau dari segi aktivitasnya merupakan pusat kegiatan ekonomi perikanan baik ditinjau dari aspek pendaratan dan pembongkaran ikan, pengolahan, pemasaran dan pembinaan terhadap masyarakat nelayan.

Penjelasan Pasal 4 menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.16/Men/2006 tentang Pelabuhan Perikanan yang diacu oleh DKPb (2008) menyatakan bahwa fungsi pelabuhan perikanan dalam mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya sebagaimana dimaksud adalah:

(3)

(1) Pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan kapal pengawas perikanan;

(2) Pelayanan bongkar muat;

(3) Pelaksanaan pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan; (4) Pemasaran dan distribusi ikan;

(5) Pengumpulan data tangkapan dan hasil perikanan;

(6) Pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan; (7) Pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan;

(8) Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumberdaya ikan; (9) Pelaksanaan kesyahbandaran;

(10) Pelaksanaan fungsi karantina ikan;

(11) Publikasi hasil riset kelautan dan perikanan; (12) Pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari;

(13) Pengendalian lingkungan (kebersihan, keamanan, dan ketertiban (K3), kebakaran, dan pencemaran).

2.2 Sejarah Pelelangan

Istilah "lelang" berasal dari bahasa Latin augēre, yang berarti "meningkatkan" atau “menambah”. Para ahli menemukan di dalam literatur Yunani bahwa lelang telah dikenal sejak 450 tahun sebelum Masehi. Jenis lelang yang terkenal saat itu adalah lelang karya seni, tembakau, kuda, dan budak. Lelang secara resmi masuk dalam perundang-undangan Indonesia sejak tahun 1908 yaitu dengan berlakunya Vendu Reglement Stbl. 1908 No 189 dan Vendu Instructie No 190. Peraturan-peraturan dasar lelang ini masih berlaku hingga saat ini dan menjadi dasar hukum penyelenggaraan lelang di Indonesia (McAfee, 2006).

Selanjutnya dikatakan bahwa dalam sistem perundang-undangan Indonesia, lelang dikategorikan sebagai proses pembelian dan penjualan barang atau jasa khusus yang prosedurnya berbeda dengan sistem jual beli pada umumnya. Pejabat lelang memberi kesempatan kepada peserta lelang untuk menawar, dan kemudian menjual barang kepada penawar pemenang.

(4)

2.2.1 Landasan hukum pelelangan di Indonesia

Landasan hukum mengenai pelelangan dibagi menjadi dua kelompok yaitu:

(1) Ketentuan umum: peraturan perundang-undangan yang tidak secara khusus mengatur tentang tata cara/prosedur lelang;

(2) Ketentuan khusus: peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang tata cara/prosedur lelang.

Ketentuan khusus landasan hukum mengenai pelelangan termuat dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 507/KMK. 01/2000 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 337/KMK. 01/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 337/KMK.01/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang yaitu:

1. Ketentuan Pasal 10 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 10 berbunyi: Pasal 10

Setiap peserta lelang menyetor uang jaminan penawaran lelang yang besarnya ditentukan oleh penjual, kecuali ditentukan lain.

2. Ketentuan Pasal 20 ayat (2) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 20 berbunyi: Pasal 20

(1) Nilai Limit ditentukan oleh penjual dan diserahkan kepada pejabat lelang selambat-lambatnya pada saat akan dimulainya pelaksanaan lelang;

(2) Dihapus

3. Ketentuan Pasal 22 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 22 berbunyi: Pasal 22

(1) Setiap lelang dilaksanakan di hadapan pejabat lelang, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang- undangan yang berlaku;

(2) Pelaksanaan lelang yang menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah tidak sah.

4. Ketentuan Pasal 39 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 39 berbunyi: Pasal 39

(1) Pembayaran uang hasil lelang oleh pembeli kepada pejabat lelang dilunasi selambatnya-lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah pelaksanaan lelang;

(2) Pembayaran uang hasil lelang oleh pembeli di luar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dibenarkan setelah

(5)

mendapat ijin tertulis dari Kepala Badan atas nama Menteri Keuangan; (3) Permohonan ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh

penjual kepada Kepala Badan sebelum pengumuman lelang dengan tembusan kepada Kepala Kantor Lelang di wilayah dimana lelang tersebut dilaksanakan;

(4) Dalam hal pembeli tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), maka pejabat lelang membatalkan penetapannya sebagai pembeli.

(5) Penetapan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) didahului dengan surat untuk mengingatkan kewajiban pembeli dan surat peringatan;

(6) Pembeli yang tidak dapat memenuhi kewajibannya setelah ditetapkan sebagai pemenang lelang tidak diperbolehkan mengikuti lelang di seluruh wilayah Indonesia dalam waktu 6 (enam) bulan.

5. Ketentuan Pasal 40 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 40 berbunyi: Pasal 40

(1) Penyetoran hasil bersih lelang kepada penjual selambat- lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah pembayaran diterima oleh bendaharawan penerima;

(2) Bendaharawan penerima menyetorkan Bea Lelang, Uang Miskin dan Pajak Penghasilan (PPh) ke Kas Negara, selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) hari kerja setelah pembayaran diterima.

6. Ketentuan Pasal 42 huruf (d) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 42 berbunyi: Pasal 42

Bagian Kepala Risalah Lelang memuat sekurang-kurangnya: a) Hari, tanggal, dan jam lelang ditulis dengan huruf dan angka;

b) Nama lengkap, pekerjaan dan tempat tinggal/domisili dari Pejabat Lelang; c) Nama lengkap, pekerjaan dan tempat tinggal/domisili penjual;

d) Penjelasan mengenai legalitas subyek dan obyek lelang; e) Nomor/tanggal surat permohonan lelang;

f) Tempat pelaksanaan lelang;

g) Sifat barang yang dilelang dan alasan barang tersebut dilelang; h) Cara bagaimana lelang tersebut telah diumumkan oleh penjual; dan i) Syarat-syarat umum lelang;

j) Dalam hal yang dilelang barang-barang tidak bergerak berupa tanah dan/atau bangunan harus disebutkan:

(1) status hak tanah atau surat lain yang menjelaskan bukti kepemilikan; (2) batas-batasnya;

(3) surat keterangan tanah dari Kantor Pertanahan; (4) keterangan lain yang membebani tanah tersebut;

(6)

7. Ketentuan Pasal 53 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 53 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 53

Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001. (http://www.djkn.depkeu.go.id/index.php)

2.2.2 Pelelangan ikan

Aktivitas pelelangan ikan di TPI merupakan salah satu aktivitas di suatu pelabuhan perikanan yang termasuk dalam kelompok aktivitas yang berhubungan dengan pendaratan dan pemasaran ikan. Pelelangan ikan memiliki peran yang cukup penting untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam pemasaran ikan. Pelelangan ikan adalah suatu kegiatan di tempat pelelangan ikan guna mempertemukan penjual dan pembeli sehingga terjadi tawar-menawar harga ikan yang disepakati bersama. Pelelangan ikan adalah salah satu mata rantai tata niaga ikan (Mahyuddin, 2001).

Aktivitas pelelangan ikan merupakan salah satu contoh aplikasi pasar persaingan sempurna (perfect competition). Farid (2008) menyatakan bahwa, pasar persaingan sempurna merupakan struktur pasar yang paling ideal, karena dianggap sistem pasar ini adalah struktur pasar yang akan menjamin terwujudnya kegiatan produksi barang atau jasa yang optimal efisiensinya. Pasar persaingan sempurna didefinisikan sebagai struktur pasar atau industri yang terdapat banyak penjual dan pembeli. Setiap penjual ataupun pembeli tidak dapat mempengaruhi keadaan di pasar.

Ciri-ciri pasar persaingan sempurna (perfect competition) yaitu:

(1) Perusahaan/produsen berperan sebagai pengambil harga (price taker). Perusahaan/produsen di dalam pasar tidak dapat menentukan atau mengubah harga pasar;

(2) Perusahaan/produsen mudah keluar atau masuk. Produsen yang ingin melakukan kegiatan di industri tersebut dapat dengan mudah melakukan kegiatan yang diinginkannya;

(3) Menghasilkan barang serupa (barang bersifat homogen). Barang yang dihasilkan berbagai perusahaan tidak mudah untuk dibeda-bedakan.

(7)

(4) Terdapat banyak perusahaan/produsen di pasar. Sifat ini meliputi dua aspek, yaitu jumlah perusahaan/produsen sangat banyak dan masing-masing perusahaan adalah relatif kecil apabila dibandingkan dengan keseluruhan jumlah perusahaan/produsen di dalam pasar. Akibatnya, produksi setiap perusahaan/produsen sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah produksi dalam industri tersebut;

(5) Pembeli mempunyai pengetahuan yang sempurna mengenai pasar. Jumlah pembeli dalam pasar persaingan sempurna sangat banyak. Masing-masing pembeli mempunyai pengetahuan yang sempurna mengenai keadaan di pasar, yaitu mengetahui tingkat harga yang berlaku dan perubahan-perubahan ke atas harga tersebut. Akibatnya para produsen tidak dapat menjual barangnya dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang berlaku di pasaran.

2.2.3 Tipe pelelangan ikan

Aktivitas pelelangan ikan di Indonesia umumnya masih dilakukan dengan cara-cara sederhana. Hal ini dikarenakan pihak pengelola pelelangan belum mampu berkoordinasi secara optimal dengan pengelola pelabuhan maupun Dinas Perikanan untuk menyediakan sarana dan prasarana yang memadai serta upaya untuk menarik minat masyarakat agar ikut serta dalam proses pelelangan ikan.

Klemperer (1999) yang diacu oleh DKP (2006) menerangkan bahwa terdapat empat tipe pelelangan ikan (fish auction) yang umum dikenal. Keempat tipe pelelangan tersebut, masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Keempat tipe pelelangan tersebut adalah:

(1) Tipe Inggris (english type auction); (2) Tipe Belanda (dutch type auction);

(3) Tipe lelang tertutup (first-price sealed bid auction);

(4) Tipe Vickrey (vickrey type auction) atau yang lebih umum dikenal adalah second-price sealed bid auction.

Tipe Inggris (english type auction) mempunyai karakteristik harga lelang ditentukan secara meningkat (ascending-bid auction). Harga lelang mengalami kenaikan hingga menyisakan seorang pelelang yang menentukan harga tertinggi. Pemenang lelang inilah yang kemudian mendapatkan barang yang dilelang.

(8)

Lelang dilakukan secara terbuka dengan cara mengucapkan langsung harga lelang (call out). Mekanisme lelang tipe Inggris di luar negeri, biasanya melalui sistem elektronik dimana peserta lelang menekan tombol elektronik berdasarkan harga yang ditawarkan. Negara Jepang menerapkan lelang tipe Inggris berdasarkan kehadiran peserta lelang. Peserta lelang yang mengundurkan diri dari lelang (peserta yang telah mengundurkan diri tidak diperbolehkan kembali untuk mengikuti lelang), dianggap bahwa peserta telah menyerah dengan harga yang telah ditawarkan oleh peserta lainnya. Sistem ini sering disebut dikalangan ekonom sebagai auction theorists atau sering juga disebut japanese auction (Klemperer, 1999 yang diacu oleh DKP, 2006).

Selanjutnya dikatakan bahwa karakteristik lain dari pelelangan ikan juga terdapat pada tipe Belanda, pada tipe ini pelelangan dilakukan dengan sistem penurunan harga (descending-bid auction). Harga ditentukan pada level yang sangat tinggi kemudian menurun secara kontinyu sampai ada peserta lelang yang menerima harga tersebut pertama kali. Peserta lelang ini kemudian ditentukan sebagai pemenang lelang.

Tipe ketiga yaitu tipe lelang tertutup, lelang dilakukan secara tertutup oleh peserta lelang secara independen (peserta lelang tidak mengetahui harga lelang yang ditawarkan satu sama lain). Harga lelang diputuskan dari harga tertinggi (first price) yang ditawarkan oleh peserta lelang. Tipe keempat yaitu vickrey type auction memiliki karakteristik yang hampir sama dengan tipe lelang tertutup, namun perbedaannya terletak pada penentuan harga lelang, dimana harga lelang ditetapkan berdasarkan harga kedua (second highest price) bukan berdasarkan harga tertinggi. Tipe lelang yang keempat sangat jarang dilakukan bila dibandingkan dengan ketiga tipe lelang yang lain (Klemperer, 1999 yang diacu oleh DKP, 2006).

Sistem lelang yang digunakan untuk komoditas perikanan di Indonesia pada umumnya adalah tipe Inggris (english type auction), dimana harga ditetapkan secara meningkat, disampaikan secara terbuka dan peserta lelang dengan harga penawaran tertinggi ditetapkan sebagai pemenang (Klemperer, 1999 yang diacu oleh DKP, 2006).

(9)

2.2.4 Landasan hukum penyelenggaraan pelelangan ikan di Indonesia DKP (2009) menyatakan bahwa, landasan hukum penyelenggaraan pelelangan ikan di Indonesia diatur oleh beberapa ketentuan yang berlaku, yaitu: (1) PP No 64 Tahun 1957 tentang Penyerahan sebagian dari Urusan Pemerintah

Pusat di Lapangan Perikanan Laut, Kehutanan dan Karet Rakyat kepada Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I;

(2) PP No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom;

(3) PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;

(4) Kepres RI No 5 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Pengakuan Kewenangan Kabupaten/Kota;

(5) Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian, Menteri Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil Nomor 139 Tahun 1997-902/kpts/PL.420/9/97-03/SKB/M/IX/1997 berisi tentang Penyelenggaraan Pelelangan Ikan;

(6) Keputusan Mendagri Nomor 130-67 Tahun 2002 tentang Pengakuan Kabupaten/Kota;

7) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No KEP. 44/MEN/2004 tentang Pedoman Standar Pelayanan Minimal Bidang Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota.

2.2.5 Penyelenggaraan pelelangan ikan di PPN Palabuhanratu

Kebijakan yang mengatur tentang penyelenggaraan pelelangan ikan di PPN Palabuhanratu adalah Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan, yakni mengatur tata cara pelelangan ikan, siapa yang ditunjuk sebagai penyelenggara lelang dan besarnya retribusi lelang. Selanjutnya Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat mengeluarkan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan. Pemegang izin

(10)

penyelenggaraan pelelangan ikan selanjutnya tertera dalam Perda Jabar No 5 Tahun 2005 di bawah ini :

BAB III

IZIN PENYELENGGARAAN PELELANGAN IKAN Pasal 5

(1) Penyelenggara pelelangan ikan harus memiliki izin dari gubernur;

(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan kepada KUD Mina yang memenuhi syarat;

(3) Jika pada suatu lokasi TPI tidak terdapat KUD Mina yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggara pelelangan ikan dapat diberikan kepada Dinas Kabupaten atau Kota.

Tata cara permohonan bagi KUD yang hendak menyelenggarakan pelelangan ikan selanjutnya diatur dalam Peraturan Gubernur Jawa Barat No 13 Tahun 2006 seperti yang tertera dibawah ini :

BAB V

TATA CARA PERMOHONAN, PERSYARATAN, PERPANJANGAN, PENOLAKAN DAN PENCABUTAN IZIN

Pasal 10

(1) KUD Mina yang akan menyelenggarakan pelelangan ikan, mengajukan permohonan izin kepada Gubernur melalui Kepala Dinas dengan mengajukan formulir PI. 1, tembusannya disampaikan kepada PUSKUD Mina dan Dinas Kabupaten/Kota yang bersangkutan dengan dilampiri : a) Fotokopi surat keputusan pengesahan badan hukum, anggaran dasar

dan anggaran rumah tangga;

b) Susunan kepengurusan KUD Mina dan daftar calon pegawai TPI; c) Neraca akhir yang disahkan oleh pejabat berwenang;

d) Data potensi unit penangkapan ikan, nelayan, dan pembeli/bakul berdasarkan klasifikasi kegiatan usahanya;

e) Surat pernyataan kesanggupan menaati segala ketentuan yang berlaku di atas kertas bermaterai cukup.

(2) Ketua PUSKUD Mina dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang bersangkutan, memberikan pertimbangan atas permohonan yang diajukan KUD Mina paling lambat 6 (enam) hari kerja setelah menerima tembusan surat permohonan;

(3) Untuk TPI yang belum dikelola oleh KUD Mina, permohonan izin diajukan oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang bersangkutan kepada Gubernur melalui Kepala Dinas dengan menggunakan formulr model PI. 1, tembusannya disampaikan kepada Bupati/Walikota yang bersangkutan dengan dilampiri :

a) Daftar pegawai TPI;

b) Data potensi nelayan dan pembeli/bakul berdasarkan klasifikasi kegiatan usahanya;

(11)

(4) Bupati/Walikota yang bersangkutan memberikan pertimbangan atas permohonan izin yang diajukan oleh Dinas Kabupaten/Kota paling lambat 6 (enam) hari kerja setelah menerima surat permohonan sebagaimana dimaksud ayat (3);

(5) Untuk permohonan izin yang memenuhi persyaratan, dan setelah memperhatikan pertimbangan yang diberikan oleh pejabat/instansi pemberi pertimbangan Kepala Dinas menerbitkan surat izin dengan menggunakan formulir model PI. 4 paling lambat 6 (enam) hari kerja sejak surat permohonan diterima.

2.3 Retribusi Pelelangan Ikan

Mekanisme pemasaran melalui pelelangan ikan memiliki beberapa prosedur/tata cara yang harus dipatuhi oleh nelayan dan pembeli yang ikut serta dalam lelang ikan tersebut, salah satunya adalah pembayaran retribusi pelelangan ikan. Retribusi diperlukan agar dapat menjamin keberlangsungan aktivitas lelang ikan. Retribusi merupakan pembayaran aktif sejumlah uang yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak pengelola sebagai bentuk pungutan timbal balik atas pelayanan yang diperoleh. Retribusi dibayarkan secara langsung agar dapat memenuhi kebutuhan dalam menjalankan aktivitasnya sehingga manfaat dari adanya retribusi juga bisa dirasakan langsung. Retribusi lebih spesifik ditujukan kepada orang-orang tertentu yang mendapatkan pelayanan tertentu pula. Dampak adanya retribusi dapat dirasakan langsung oleh pihak nelayan maupun pihak lain yang mengelola pelelangan ikan, sehingga Retribusi Penyelenggaraan Pelelangan Ikan dikelompokkan kepada Retribusi Pasar Grosir yang merupakan jenis retribusi jasa usaha (Dispenda, 2008).

Selanjutnya dikatakan bahwa retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Berbeda dengan pajak pusat seperti Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak, retribusi yang dapat di sebut sebagai Pajak Daerah yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah. 2.3.1 Landasan hukum retribusi pelelangan ikan

Pemerintah melakukan berbagai kebijakan perpajakan daerah dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan otonomi, diantaranya dengan menetapkan UU No 34 Tahun 2000 sebagai

(12)

perubahan atas UU No 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dimana, provinsi hanya mengatur 4 (empat) jenis pajak yaitu:

(1) Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air;

(2) Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air; (3) Pajak bahan bakar kendaraan bermotor; dan

(4) Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah serta air permukaan. Mahyuddin (2001) mengatakan bahwa, berdasarkan ketentuan di atas maka peraturan mengenai pelelangan ikan seharusnya dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota bukan oleh Pemerintah Provinsi karena lokasi pelelangan ikan berada di Kabupaten/Kota. Kenyataannya, ketentuan retribusi pelelangan saat ini bukan diatur oleh Pemerintah Kabupaten/Kota tetapi oleh Perda yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi, sehingga pengawasan dan pengendalian terhadap aktivitas pelelangan ikan di setiap pelabuhan perikanan hasilnya kurang optimal.

Pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi daerah, diharapkan dapat lebih mendorong pemerintah daerah terus berupaya untuk mengoptimalkan PAD, khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah. Retribusi Penyelenggaraan Pelelangan Ikan dikelompokkan sebagai retribusi jasa usaha. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1997 menjelaskan tentang Retribusi Daerah yaitu pada Bab III Pasal 3 tentang Retribusi Jasa Usaha. Jenis-jenis retribusi jasa usaha tersebut adalah:

(1) Retribusi pemakaian kekayaan daerah; (2) Retribusi pasar grosir dan atau pertokoan; (3) Retribusi terminal;

(4) Retribusi tempat khusus parkir; (5) Retribusi tempat penitipan anak;

(6) Retribusi tempat penginapan/pesanggrahan/villa; (7) Retribusi penyedotan kakus;

(8) Retribusi rumah potong hewan; (9) Retribusi tempat pendaratan kapal; (10) Retribusi tempat rekreasi dan olah raga; (11) Retribusi penyeberangan di atas air;

(13)

(12) Retribusi pengolahan limbah cair;

(13) Retribusi penjualan produksi usaha daerah.

Obyek Retribusi adalah pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pelayanan tersebut belum cukup disediakan oleh swasta. Subyek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang diberikan ijin yang bersangkutan. Ketentuan lebih lanjut tentang ruang lingkup masing-masing jenis retribusi perizinan tertentu untuk Daerah Tingkat I dan Daerah tingkat II ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa usaha yang bersangkutan.

2.3.2 Besar retribusi pelelangan ikan di PPN Palabuhanratu

Kebijakan tentang retribusi pelelangan ikan di PPN Palabuhanratu adalah Peraturan Daerah Provinsi Dati I Jawa Barat No 5/2005 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan, yakni mengatur tata cara pelelangan ikan, siapa yang ditunjuk sebagai penyelenggara lelang dan besarnya retribusi lelang. Selanjutnya Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat mengeluarkan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan (Pemda Jawa Barat, 2005).

Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 menetapkan besarnya tarif retribusi sebesar 5% (lima persen) dari harga nilai transaksi yang dibebankan kepada pembeli/bakul 3% (tiga persen) dan kepada penjual/nelayan sebesar 2% (dua persen). Penggunaan retribusi diatur sebagai berikut :

(a) Penerimaan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten atau Kota sebesar 1,60% (satu koma enam puluh persen) terdiri dari:

1) Pemerintah Daerah sebesar 0,60% (nol koma enam puluh persen); 2) Pemerintah Kabupaten atau Kota sebesar 1% (satu persen).

(b) Biaya operasional dan pemeliharaan TPI sebesar 0,80% (nol koma delapan puluh persen) terdiri dari:

1) Biaya pembinaan/pengawasan oleh Pemerintah Daerah (Provinsi) sebesar 0,15% (nol koma lima belas persen);

(14)

2) Biaya pembinaan/pengawasan oleh Pemerintah Kabupaten atau Kota sebesar 0,15% (nol koma lima belas persen);

3) Biaya pembangunan Daerah Perikanan sebesar 0,10% (nol koma sepuluh persen);

4) Biaya operasional PUSKUD Mina dan DPD HNSI Provinsi Jawa Barat sebesar 0,15% (nol koma lima belas persen);

5) Biaya pemeliharaan TPI sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen). (c) Biaya penyelenggaraan dan administrasi pelelangan ikan sebesar 1,65% (satu

koma enam puluh lima persen).

(d) Dana-dana nelayan sebesar 0,80% (nol koma delapan puluh persen) terdiri dari:

1) Tabungan nelayan sebesar 0,35% (nol koma tiga puluh lima persen); 2) Asuransi nelayan sebesar 0,15% (nol koma lima belas persen); 3) Dana paceklik sebesar 0,20% (nol koma dua puluh persen);

4) Dana sosial (penanggulangan darurat kecelakaan di laut) sebesar 0,10% (nol koma sepuluh persen).

(e) Biaya bantuan keamanan dan kas desa sebesar 0,15% (nol koma lima belas persen) terdiri dari:

1) Biaya keamanan sebesar 0,10% (nol koma sepuluh persen);

2) Dana bantuan kas desa sebesar 0,05% (nol koma nol lima persen).

2.4 Ekonomi Kelembagaan

Aktivitas pelelangan ikan merupakan aktivitas ekonomi yang melibatkan beberapa pihak secara langsung maupun tidak langsung yang terikat dalam suatu kelembagaan. Kelembagaan yang terlibat dalam pelelangan ikan antara lain kelembagaan nelayan sebagai produsen, kelembagaan bakul/tengkulak sebagai konsumen, dan kelembagaan TPI/KUD. Kesalingterkaitan interaksi sosial ekonomi antar kelembagaan dalam aktivitas pelelangan ikan disebut sebagai ekonomi kelembagaan.

Yustika (2008: 314-315) menyatakan bahwa setiap aktivitas ekonomi mempunyai struktur organisasi, meskipun sederhana. Teori ekonomi sering mengandaikan bahwa „pasar‟ dan „organisasi‟ merupakan dua bentuk struktur

(15)

yang berbeda dan terpisah, pasar dianggap dapat berjalan tanpa struktur atau organisasi. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar, karena di dalam pasar (dalam pengertian yang luas, bukan hanya sekedar tempat bertemunya antara pembeli dengan penjual/Marketplace) terdapat regulasi yang disepakati bersama antar partisipannya. Regulasi (kelembagaan) tersebut adalah isi dari organisasi (content of organization). Pasar bisa berjalan apabila telah dilengkapi dengan regulasi yang utuh.

Pandangan tersebut berkebalikan dengan tinjauan umum yang berpandangan bahwa pasar tidak memerlukan regulasi maupun organisasi karena semuanya telah diatur oleh hukum permintaan dan penawaran, dimana sinyal harga yang akan menuntun berlangsungnya transaksi. Penawaran dan permintaan tersebut tidak membutuhkan organisasi karena sudah diatur oleh tangan-tangan tersembunyi (invisible hand) (Yustika, 2008: 314-315).

2.4.1 Definisi kelembagaan

Aktivitas pelelangan ikan merupakan suatu kegiatan yang dikelola oleh institusi berwenang. Institusi tersebut didirikan atas sejumlah peraturan yang harus ditegakkan. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam aktivitas pengelolan pelelangan ikan tersusun dalam suatu kelembagaan yang memiliki wadah tersendiri. Manig (1992) yang diacu oleh Yustika (2008: 34) menyebutkan bahwa kelembagaan adalah regulasi yang stabil dan prinsip-prinsip atau aturan-aturan organisasi yang mengelola proses interaksi antara orang-orang.

Sumber lain menyatakan bahwa pada dasarnya kelembagaan mempunyai dua pengertian yaitu, kelembagaan sebagai suatu aturan main (rule of the game) dalam interaksi personal dan kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hierarki. Kelembagaan sebagai aturan main diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dan lingkungannya yang menyangkut hak-hak dan perlindungan hak-hak serta tanggung jawabnya (Hayami dan Kikuchi, 1981 yang diacu oleh Baga, L. M dkk, 2009: 4). Winardi (2003) yang diacu oleh Baga, L. M dkk (2009: 4) menyatakan bahwa, kelembagaan sebagai suatu organisasi dapat dinyatakan sebagai sebuah kumpulan orang-orang yang dengan sadar berusaha untuk memberikan sumbangsih ke arah pencapaian suatu tujuan umum.

(16)

Kelembagaan sebagai organisasi biasanya menunjuk pada lembaga-lembaga formal seperti departemen dalam pemerintah, koperasi dan bank.

2.4.2 Definisi transaksi dan biaya transaksi

Transaksi adalah transfer atau perpindahan barang dari satu tahap ke tahap lain melalui teknologi yang terpisah. Satu tahapan selesai dan tahap berikutnya dimulai (Williamson, 1981a: 552; 1981b: 1544; McCann dan Easter, 2002: 5; Furutborn dan Ritcher, 2000: 41 yang diacu oleh Yustika, 2008: 81).

Selanjutnya dikatakan bahwa salah satu alat analisis yang populer digunakan dalam ilmu ekonomi kelembagaan adalah ekonomi biaya transaksi (transaction cost economics). Konsep tentang biaya transaksi sangat berguna untuk mengenali bentuk dan struktur sebuah pertukaran/transaksi. Alat analisis ini sering digunakan untuk mengukur efisien tidaknya desain kelembagaan. Semakin tinggi biaya transaksi yang terjadi dalam kegiatan ekonomi (transaksi), berarti semakin tidak efisien kelembagaan yang didesain, sebaliknya jika biaya transaksi yang terjadi dalam kegiatan ekonomi rendah maka kelembagaan yang didesain tersebut efisien. Teori ekonomi kelembagaan merupakan pemekaran dari teori biaya transaksi (transaction cost) yang muncul akibat kegagalan pasar (Yeager, 1999: 29-30 yang diacu oleh Yustika, 2008: 80). Pandangan neoklasik menganggap pasar berjalan secara sempurna tanpa biaya apapun (costless) karena pembeli (consumers) memiliki informasi yang sempurna dan penjual (producers) saling berkompetisi sehingga menghasilkan harga yang rendah (Stone, et. al. 1996: 97 yang diacu oleh Yustika, 2008: 80). Faktanya adalah sebaliknya, informasi, kompetisi, sistem kontrak, dan proses jual beli bisa sangat asimetris. Hal inilah yang menimbulkan adanya biaya transaksi, yang sekaligus bisa didefinisikan sebagai biaya-biaya untuk melakukan proses negosiasi, pengukuran dan pemaksaan pertukaran. Teori biaya transaksi menggunakan transaksi sebagai basis unit analisis, sedangkan teori neoklasik memakai produk sebagai dasar unit analisis (Greif, 1998: 3 yang diacu oleh Yustika, 2008: 80).

Literatur ekonomi memberikan beberapa definisi yang beragam tentang biaya transaksi. Williamson (1981) yang diacu oleh Yustika (2008: 82) menyebutkan bahwa biaya transaksi adalah „biaya untuk menjalankan sistem ekonomi‟ (the cost of running the economic system) dan „biaya untuk

(17)

menyesuaikan terhadap perubahan lingkungan‟ (cost to a change in circumstances). North (1991b:203) yang diacu oleh Yustika (2008: 82) mendefinisikan biaya transaksi sebagai ongkos untuk menspesifikasi dan memaksakan (enforcing) kontrak yang mendasari pertukaran, sehingga dengan sendirinya mencakup semua biaya organisasi politik dan ekonomi yang memungkinkan kegiatan ekonomi mengutip laba dari perdagangan (pertukaran). Biaya transaksi adalah biaya untuk melakukan negosiasi, mengukur, dan memaksakan pertukaran (exchange).

Zhang (2000: 288) yang diacu oleh Yustika (2008: 97) menyatakan bahwa, faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya biaya transaksi pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga hal berikut:

(1) What: the identity of bundle of rights. Hak-hak (atau komoditas) memiliki banyak atribut yang nilai, pengukuran, kebijakan dan pemaksaannya beragam dari satu jenis dengan tipe yang lain. Kesulitan mendapatkan informasi yang lengkap untuk mengidentifikasi bagaimana sulitnya menggambarkan hak-hak ini (Barzel, 1997 vide Zhang, 2000: 288 yang diacu oleh Yustika 2008: 97), dan tentu saja hal ini mempengaruhi biaya di dalam pertukaran;

(2) Who: the identity of agents involved in the exchanges. Erat kaitannya dengan faktor-faktor manusia yang muncul dalam asumsinya (Williamson, 1975 vide Zhang 2000: 288 yang diacu oleh Yustika 2008: 97), yakni rasionalitas terbatas/terikat (yang mewartakan keterbatasan fisik tentang kemampuan manusia untuk menerima, menyimpan, mencari, memproses informasi, dan batas-batas bahasa dalam penyampaian pengetahuan kepada orang lain), oportunisme, dan kurangnya informasi (information impactedness);

(3) How: the institutions, technical and social, governing the exchange and how to organize the exchange. Pasar diandaikan sebagai kelembagaan untuk memfasilitasi proses pertukaran, yang keberadaannya dibutuhkan untuk mengurangi biaya pertukaran, sedangkan perusahaan firms (atau keluarga/families) juga dianggap sebagai kelembagaan yang memfasilitasi pertukaran yang saling menguntungkan (mutual exchange). Preposisi ini

(18)

menganggap jika biaya transaksi melalui pasar dianggap tidak ada (zero), maka sebetulnya tidak ada yang namanya pasar; demikian halnya bila biaya koordinasi di dalam perusahaan adalah nol, maka sesungguhnya tidak ada yang namanya perusahaan.

Sumber: Yustika (2008: 98)

Gambar 1 Bagan determinan biaya transaksi

Beckman (2000: 16) yang diacu oleh Yustika (2008:98) menyatakan bahwa, berdasarkan bagan di atas maka terdapat empat determinan penting dari biaya transaksi sebagai unit analisis, yaitu:

(1) Atribut perilaku yang melekat pada setiap pelaku ekonomi (behavioral attributes of actors), yaitu rasionalitas terbatas/terikat (bounded rationality) dan oportunisme (opportunism);

(2) Sifat yang berkenaan dengan atribut dari transaksi (attributes of the transaction), yaitu spesifisitas aset (asset specificity), ketidakpastian (uncertainty), dan frekuensi (frequency);

(3) Hal-hal yang berkaitan dengan struktur tata kelola kegiatan ekonomi (governance structures), yaitu pasar (market), hybrid, hirarki (hierarchy), dan pengadilan (courts), regulasi (regulations), birokrasi publik (public bureaucracy);

Atribut perilaku dari pelaku  Rasionalitas terbatas  Oportunisme

Struktur tata kelola  Pasar, hibrid, hirarki

 Pengadilan, regulasi, birokrasi

Kelembagaan lingkungan  Hak milik dan kontrak  Budaya Biaya Transaksi Atribut transaksi  Spesifisitas aset  Ketidakpastian  Frekuensi

(19)

(4) Faktor yang berdekatan dengan aspek lingkungan kelembagaan (institutional environment), yaitu hukum kepemilikan, kontrak, dan budaya. 2.4.3 Penegakan pertukaran

Aktivitas pelelangan ikan memungkinkan terjadinya suatu proses pertukaran. Teori ekonomi menyatakan bahwa sebuah pelelangan dapat merujuk kepada mekanisme atau menetapkan aturan untuk perdagangan pertukaran (McAfee, 2006). Seluruh pelaku pertukaran harus melakukan tawar-menawar antara satu dengan yang lainnya. Penegakan pertukaran muncul karena adanya penegakan aturan yang memunculkan biaya transaksi. Biaya transaksi dapat ditekan bila dalam sekali proses pertukaran seluruh kesepakatan bisa dilakukan dengan baik. Biaya transaksi timbul karena dibutuhkan mekanisme pemaksaan yang menjamin proses pertukaran bisa berlangsung (Yustika, 2008: 83).

Referensi

Dokumen terkait

dikeringkan lagi pakai lap kain yang sudah disediakan. Selanjutnya 0awa P&1 polos ts0 ke ruang setrika 0ersama cetakan layout P&19nya... 4etakkan gam0ar cetakan layout

Sebagaimana kita ketahui zat-zat asing berbahaya yang dihisap oleh perokok tersebut adalah zat yang terkandung dalam dalam asap rokok dan ada 4000 zat kimia yang terdapat

Penerimaan pertambangan minyak bumi yang dibagikan ke daerah adalah penerimaan negara dari sumber daya alam pertambangan minyak bumi dari wilayah daerah yang bersangkutan

Hasil dari pengumpulan data yang diperoleh menunjukan bahwa ada hubungan positif dengan derajat sedang (0.683) antara perilaku pimpinan dengan kohesifitas karyawan

Sekam padi dapat diperoleh dengan sangat mudah, biaya yang relatif murah dan suhu yang rendah yakni dengan metode ekstraksi alkalis (Kalapathy dkk, 2000; Daifullah

Beberapa tanaman yang mengandung eugenol, diantaranya adalah daun cengkeh ( Syzygium aromaticum ), daun kemangi ( Ocimum sp), daun kayu putih ( Melaleuca sp), daun

Analisis Dampak Kafein Terhadap Hasil Perhitungan Heart rate Lari 100 M dan Illinoise Agility Kafein mempunyai efek ergogenik yang dapat meningkatkan peforma, terutama

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bimbingan kelompok untuk mengurangi kecemasan berbicara di depan kelas pada siswa kelas x SMA NW Pancor tahun