• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Tabe l 1 Populasi ternak sapi potong di Indonesia dari tahun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Tabe l 1 Populasi ternak sapi potong di Indonesia dari tahun"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Perkembanga n Sapi Potong di Indonesia

Sapi potong merupakan penyuplai terbesar daging dari ternak jenis ruminansia bagi masyarakat Indonesia. Secara proporsional 69 % daging ternak ruminansia dihasilkan oleh sapi, kemudian domba 12 %, kambing 11%, dan kerbau 8 persen (Ditjen Peternakan 2010). Data pop ulasi ternak sapi di Indonesia dalam sembilan tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabe l 1 Populasi ternak sapi potong di Indonesia dari tahun 2002 – 2010

No Tahun Populasi (ekor) Perubahan populasi (%) 1 2002 11 297 625 2 2003 10 504 128 -7.02 3 2004 10 532 889 0.27 4 2005 10 569 312 0.35 5 2006 10 875 125 2.89 6 2007 11 514 871 5.88 7 2008 12 256 604 6.44 8 2009 12 760 000 4.10 9 2010 13 358 000 6.44 Rataan 2.42

Sumber : Ditjen Peternakan (2010)

Upa ya untuk memenuhi kebutuhan daging, dilakukan impor sapi potong pada tahun 2008, impor sapi bakalan mencapai 570 000 ekor, sapi bibit 1 300 ekor, dan daging 45 708.5 ton (Ditjen Peternakan 2009). Salah satu penyebab menurunnya populasi ternak adalah menurunnya daya dukung lahan untuk usaha ternak karena konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian sehingga ketersediaan pakan terbatas (Haryanto 2004). Disamping faktor pakan, manajemen reproduksi yang belum efisien da n jumlah pe motongan yang tidak terkontrol juga merupakan faktor yang berkontribusi terhadap penurunan kuantitas dan kualitas sapi potong yang ada (Tawaf dan Kuswaryan 2006).

Pemerintah melalui Direktorat jendral Peternakan telah menetapkan Program Kecukupa n Daging 2010 (PKD 2010), sebelumnya bernama Program

(2)

Swa-Sembada Daging, mengacu kepada salah satu program Departemen Pertanian yaitu Program Ketahanan Pangan. Dalam PKD 2010, diharapkan produksi dalam negeri mampu memberikan konrtribusi kecukupan daging sebesar 90-95 persen dan sisanya 5-10 persen dari impor (Tawaf dan Kuswaryan 2006). Pada tahun 2005 pemerintah telah mencanangkan Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang melibatkan unsur- unsur pe merintah, dunia usaha, perguruan tinggi, professional, LSM, dan masyarakat untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan petani dan mengurangi kemiskinan, (2) menciptakan kesempatan usaha dan kerja baru, (3) membangun ketahanan pangan dan kebutuhan pokok lain, (4) meningkatkan daya saing, (5) melestarikan lingkungan, dan (6) membangun daerah (Krisnamurti 2006).

Pemerintah menetapkan program Percepatan Pencapaian Swa-Sembada Daging Sapi 2010, melalui tujuh langkah operasional yakni ; (1) optimalisasi akseptor dan kelahiran melalui Inseminasi buatan (IB) dan kawin alam; (2) pengembangan Rumah Potong Hewan (RPH) dan pengendalian pemotongan sapi betina produktif; (3) perbaikan mutu dan penyediaan bibit; (4) penanganan gangguan reproduksi dan kesehatan hewan; (5) intensifikasi kawin alam; (6) pengembangan pakan local, serta (7) pengembangan SDM dan Kelembagaan. Pelaksanaan P2SDS difokuskan di 18 provinsi yang dikelompokkan dalam tiga daerah prioritas berdasarkan potensi sumberdaya (lahan, ternak, SDM, teknologi, sarana pendukung, pola budidaya, dan pasar) yaitu : (1) daerah prioritas IB yaitu propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali; (2) daerah campuran IB dan kawin alam yaitu Propinsi NAD, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sumatra Selatan dan Gorontalo; (3) daerah prioritas Kawin Alam yaitu propinsi N usa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tengggara. Program-program pada intinya bertujuan meningkatkan produksi daging dalam negeri untuk mengatasi kesenjangan antara demand da n suplai (Tawaf dan Kuswaryan 2006).

Di Jawa Barat, peningkatan populasi sapi selama lima tahun (2004-2008) berkisar antara 1-9 % dengan rata-rata 6.2 % (Tabel 2). Jumlah pemotongan yang cukup tinggi mengakibatkan kondisi populasi sapi bervariasi dengan sedikit penurunan selama periode tersebut.

(3)

Tabe l 2 Perkembangan populasi sapi potong di Jawa Barat tahun 2004-2008

No Tahun Populasi (ekor) Kenaikan/ Penurunan (%) Pemotongan (ekor) Kenaikan/ penurunan (%) 1 2004 232 949 282 353 2 2005 234 840 0.81% 256 981 -0.090 3 2006 254 243 8.26% 273 163 0.063 4 2007 272 264 7.09% 270 569 -0.009 5 2008 295 554 8.55% 270 569 0.000 Rataan 257 970 6.18% 270 727 -0.009

Sumber : Diolah dari Dinas Peternakan Jawa Barat 2010

Penyebabnya antara lain adalah jumlah sapi potong yang masuk sebagai bibit cukup tinggi dan pada kondisi lain pemotongan sapi cenderung mengalami penuruna n yaitu rata-rata 0.009 persen per tahun (BPS 2009)

Sistem Produksi Usaha Sapi Potong

Sistem produksi sapi potong umumnya dikelompokkan menjadi dua po la berdasarkan pemeliharaan yaitu (1) pola pembibitan dan perbesaran dan (2) pola penggemukan. Sebagaian besar peternakan rakyat di Indonesia termasuk ke dalam kategori pola pembibitan dan perbesaran. Kedua pola peternakan rakyat ini umumnya menerapkan sistem pemeliharaan tradisional dengan memanfaatkan sumberdaya manusia dan pakan yang tersedia (Preston and Leng 1987).

Pemeliharaan ternak sapi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam sistem usaha tani tradisional, sehingga ternak sapi merupakan salah satu sumber pendapatan bagi petani dan sekaligus sebagai tabungan yang dapat digunakan jika diperlukan, seseorang yang terlibat dalam aktivitas usaha ternak akan mendapat insentif sebagai ke untungan da ri usaha ternaknya de ngan cara : (1) memanfaatkan lahan yang tidak tergarap, (2) memanfaatkan hasil ikutan limbah pertanian yang tidak bernilai menjadi lebih bernilai (daging/kerja), (3) membantu kebutuhan protein hewani keluarga, (4) memanfatkan ternak sebagai sumber tenaga kerja, dan (5) meningkatkan serta memperbaiki kesuburan tanah (Dasuki 1981).

Tujuan usaha pe meliharaan ternak sapi antara lain adalah menambah pendapatan bagi petani penerimaan usaha tani keseluruhan. Beberapa faktor yang mempengaruhi pendapatan usaha tani ternak, yaitu ; (1) skala kepemilikan ternak, (2) kombinasi cabang usaha, (3) Umur dan pengetahuan petani, dan (4)

(4)

efisiensi usaha (Dasuki 1981). Pengertian efisiensi yaitu kemampuan seseorang/ individu untuk melakuka n atau menghasilka n sesuatu tanpa pemborosan waktu, tenaga, biaya dan sebagainya (Arifin 1986).

Menurut laporan Wiyatna (2002), sebagian besar usaha peternakan sapi di Kabupaten Sumedang dilakukan secara tradisional, jumlah kepemilikan kecil (1-3 ekor), seba gai usaha sambilan sehingga kontribusi terhadap pendapatan yang berasal dari usaha tani relatif kecil. Apabila faktor- faktor pendukung efisiensi dipertimbangkan, usaha sapi potong di wilayah ini memiliki keunggulan dibandingkan dengan daerah lain di Jawa Barat. Santosa et al. (2000) melaporkan bahwa pendapatan usaha dari pemeliharaan sapi potong di wilayah Kabupaten Sumedang lebih besar dibandingkan Kabupaten Subang dan Ciamis. Dengan kepemilikan sekitar 1.7 ST sapi potong tiap keluarga peternak dapat menghasilkan penerimaan bersih sebesar Rp 599 223.26/ST/tahun. Hal ini disebabkan besarnya ketersediaan hijauan sehingga dapat menekan biaya pakan dan tenaga kerja. Dengan demikian usaha ternak sapi potong di Kabupaten Sumedang lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan wilayah Utara (Kabupa ten Subang) da n wilayah selatan (Kabupaten Ciamis). Pendapatan tersebut akan lebih besar jika skala kepemilikan ternak dan manajemen usaha ditingkatkan sehingga efisiensi usaha lebih tinggi.

Secara sederhana, sistem produksi sapi potong melibatkan ternak, tanaman, dan tanah yang saling berinteraksi dengan manusia serta lingkungannya dapat dilihat pada Gambar 2. Sistem produksi sapi potong dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial, dan lingkungan, hal ini akan mempengaruhi tingkat input yang digunakan dalam produksi sapi potong dan akhirnya mempengaruhi tingkat

(5)

Gambar 2 Arah alir sistem produksi sapi potong menurut Leaver (1989)

Pada kondisi yang sama sistem produksi sapi potong juga dipengaruhi oleh sistem usaha tani lain, sehingga aloka si input produksi dipengaruhi oleh

input usaha tani lain dan sebaliknya sistem usaha tani lain dipengaruhi sistem

produksi sapi potong (Leaver 1989).

Produktivitas Sapi Potong

Ditinjau dari dinamika populasi, produktivitas ternak diartikan sebagai perkembangan populasi ternak dalam periode waktu tertentu (umumnya satu tahun) dan sering dinyatakan dalam persen (%), apabila dibandingkan dengan populasi ternak secara keseluruhan (Basuki 1998). Produktivitas ternak sapi dapat dinilai melalui dua indikator, pertama, performan produksi diantaranya penampilan bobot hidup dan pertambahan bobot badan; kedua, performan reproduksi diantaranya produksi anak (calf crop) dalam satu tahun. Calf crop adalah angka yang menggambarkan jumlah anak lepas sapih yang diproduksi dalam satu tahun terhadap jumlah induk dalam persen. Calf crop dipengaruhi oleh jumlah anak sekelahiran, presentase induk yang melahirkan dalam total populasi induk, persentase kematian (mortalitas) pada saat anak belum disapih, dan jarak beranak. Jarak kelahiran dipengaruhi oleh lama kebuntingan dan jarak antara melahirkan dan perkawinan berikutnya (service period).

Sosial Lingkungan

Ekonomi

Sistem Produksi Sapi Potong

Sistem produksi usaha tani lain

(6)

Service period dipengaruhi oleh keterampilan peternak dalam mengawinkan ternak yang ditunjukan oleh besarnya angka service per conception dan waktu menyusui (Fraser 1979).

Karakteristik Produksi

Pertumbuhan seekor ternak diartikan sebagai pertambahan bobot tubuh per satuan waktu, meliputi perubahan ukuran otot daging, tulang, dan organ-organ internal lainnya. Pertumbuhan ternak dipengaruhi oleh bangsa ternak, jenis kelamin, jumlah dan kualitas pakan serta fisiologi lingkungan ternak (Soeparno 1998). Bobot hidup beberapa jenis sapi berdasarkan umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabe l 3 Bobot hidup Sapi Madura, Sapi Bali, dan sapi PO/SO menurut umur dan jenis kelamin (kg)

Uraian Madura Bali PO

Bobot lahir - Jantan - Betina 14 14 16 16 20 20 Bobot 1 tahun - Jantan - Betina 90 70 110 90 120 90 Bobot umur 2 tahun

- Jantan - Betina 180 130 220 170 230 180 Bobot umur 3 tahun

- Jantan - Betina 250 180 320 240 330 250 Dewasa - Jantan - Betina 300 – 305 180 – 220 400 – 554 300 400 – 550 300 – 408 Sumber : Hutasoit, 1974.

Bobot hidup umumnya digunakan sebagai indikator pertumbuhan seekor ternak. Bobot hidup sapi-sapi lokal menurut jenis kelamin pada berbagai tingkat umur dari beberapa laporan penelitian disajikan pada Tabel 3.

Perbedaan laju pertumbuhan antar bangsa dan individu ternak di dalam suatu bangsa disebabkan oleh perbeda an ukuran tubuh de wasa, bangsa ternak yang besar akan lahir lebih berat, tumbuh lebih cepat dan bobot tubuh lebih berat saat mencapai kedewasaan dari pada bangsa ternak yang kecil (Tulloh 1978).

(7)

Karakteristik Reproduksi.

Kemampuan reproduksi seekor ternak akan berpengaruh terhadap penampilan produksi dari ternak tersebut, terutama mengenai jumlah anak yang dilahirkan. Terdapat empat hal yang menjadi kendala reproduksi ternak sapi potong, yaitu; (1) lama bunting yang panjang, (2) panjangnya interval dari lahir sampai estrus pertama, (3) tingkat konsepsi rendah, (4) kematian anak sampai umur sapih yang tinggi (Toelihere 1983). Perbedaan penampilan reproduksi bangsa ternak bias dipengaruhi oleh keragaman lingkungan yang meliputi keragaman genetik, ketersediaan nutrisi, dan tatalaksana reproduksi. Aktivitas reproduksi dan jarak beranak, 95% dipengaruhi oleh faktor non genetik dan lingkungan, mencakup tatalaksana pakan dan kesehatan. Karakteristik reproduksi sapi-sapi lokal di Indonesia yang dilaporkan beberapa peneliti dapat dilihat pada Tabe l 4.

Tabe l 4 Karakteristik reproduksi sapi-sapi lokal di Indonesia

Uraian Madura Bali PO/SO

Fertilitas + +++ ++

Umur pubertas (bln) 24-30 18-24 20-24

Umur beranak pertama, (th) 3 – 4 2.3 3.4

S/C 1.7 – 2 1.2 – 1.8 1.3

Lama kebuntinga n (hari) 270 270 – 300 289

Jarak beranak (hari) 420 330-550 526

Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan (1977).

Kendala dan Peluang Penge mbanga n Sapi Potong

Pengemba ngan sapi po tong di suatu wilayah, secara umum harus memperhatikan tiga faktor, yaitu pertimbangan teknis, sosial dan ekonomis. Pertimbangan teknis mengarah pada kesesuaian pada sistem produksi yang berkesinambungan, ditunjang oleh ke mampuan manusia, dan ko ndisi agroekologis. Pertimbangan sosial mempunyai arti bahwa eksistensi ternak di suatu daerah dapat diterima oleh sistem sosial masyarakat dalam arti tidak menimbulkan konflik sosial. Pertimbangan ekonomis mengandung arti bahwa

(8)

ternak yang dipelihara harus menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian daerah dan bagi peternak yang memelihara (Santosa 1997). Disamping ketiga faktor tersebut terdapat faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan peternakan antara lain: infrastruktur, keterpaduan dan koordinasi lintas sektoral, perkembangan penduduk serta kebijakan pengembangan wilayah atau kebijakan pusat da n daerah. (Saragih 2001).

Dalam pembangunan peternakan nasional, peternakan rakyat ternyata masih memegang peranan sebagai aset terbesar, tetapi sampai saat ini tipologinya masih bersifat sambilan (tradisional) yang dibatasi oleh skala usaha kecil, teknologi sederhana, dan produknya berkualitas rendah (Soehadji 1995). Sudrajat (2003) menyatakan bahwa beberapa kendala yang dijumpai dalam pengembangan sapi potong adalah : (1) Penyempitan lahan pangonan, (2) Kualitas sumberdaya manusia rendah, (3) produktivitas ternak rendah, (4) Akses ke pemodal sulit, (5) Koordinasi lintas sektoral belum kondusif, dan (5) Penggunaan teknologi masih rendah.

Strategi Penge mbanga n Sapi Potong

Sejak dikeluarkannya UU No. 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang, maka semua kegiatan pembangunan yang menggunakan, memanfaatkan, dan mengelola sumberdaya alam yang berada di darat, laut dan udara harus menyesuaikan de ngan rencana pe nataan ruang, seba gai suatu strategi nasional dalam memanfaatkan, menggunakan kekayaan sumberdaya alam dan mendorong pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara nasional dan berkelanj utan.

Pengembangan sapi potong merupakan upaya untuk meningkatkan produksi ternak secara kuantitas maupun kualitas, meningkatkan kecernaan bahan pakan, membangun sistem agribisnis peternakan, mengembangkan penggunaan sumberdaya yang tersedia, dan meningkatkan nilai tambah dan pendapatan bagi peternak sebagai pengelola usaha peternakan tersebut (Gurnadi 1998).

(9)

Program perencanaan pengembangan ternak pada suatu daerah, perlu dianalisis po tensi sumberda ya yang tersedia, yang mencakup ke tersediaan lahan dan pakan, tenaga kerja, dan potensi ternak yang akan dikembangkan. Sistem produksi ternak merupakan suatu tranformasi dari input yang tersedia menjadi out put. Untuk dapat mengembangkan sistem produksi secara efisien diperlukan suatu keahlian manajemen dalam menekan resiko yang merugikan untuk mencapai tujuan. Identifikasi potensi dan sumberdaya yang tersedia dengan cara menganalisis semua faktor yang berka itan dengan usaha sapi potong yang menyangkut kelemahan, kekuatan, peluang dan tantangan pada suatu daerah perlu dilakukan untuk merumuskan strategi pengembangan usaha sapi potong sesuai de ngan kebut uhan masyaraka t (Wahyono dan Hardianto 2004).

Sumber input : • Lahan • Iklim • Tenaga Kerja • Modal TRANSFORMASI • Keahlian manajamen o Kerugian o Rekording o Intervensi o Tujuan pe ternak • Stabilitas & keberlanjutan

Standar Produksi

Output

(10)

Tujuan pengembangan peternakan sapi potong antara lain (1) meningkatkan kesejahteraan peternak, (2) meningkatkan produksi ternak, (3) meningkatkan kecernaan bahan pakan (kualitas pakan), (4) membangun sistem agribisnis peternakan, dan (5) mengembangkan penggunaan sumber daya lokal tersedia (local resources). Unt uk mencapa i tujuan tersebut diperluka n suatu strategi yang didasarkan pada informasi tentang potensi pengembangan usaha sapi potong pada wilayah tersebut. Pada umumnya ada tiga pendekatan yang digunakan, yaitu (1) pendekatan teknis dengan meningkatkan kelahiran, menurunkan kematian, mengontrol pemotongan ternak, dan perbaikan genetik ternak, (2) pendekatan terpadu yang menerapkan teknologi produksi, manajemen ekonomi, pertimbangan sosial budaya yang tercakup dalam “sapta usaha peternakan”, serta pembentukan kelompok peternak yang bekerja sama dengan instansi- instansi terkait, (3) Pendekatan agribisnis de ngan tujuan mempercepat pengembangan peternakan melalui integrasi dari keempat aspek yaitu input produksi (lahan, pakan, plasma nutfah, dan sumberdaya manusia), proses produksi, pengolahan hasil, dan pemasaran (Gurnadi 1998).

Agribis nis dan Farming System

Konsep Agribisnis yang dikemukakan oleh Davis dan Golberg (1957) telah dikenalkan di Thailand, Malaysia dan Filipina sekitar tahun 1960-an. Di Indonesia, agribisnis baru diperkenalkan pada tahun 1984, kemudian mulai populer sekitar tahun 1990-an.

Secara definisi “Agribisnis merupakan suatu sistem bila akan dikembangkan harus terpadu dan selaras dengan semua sub-sistem yang ada di dalamnya. Fungsi agribisnis adalah kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana produksi, kegiatan produksi primer/budidaya, pengolahan (agroidustri) dan pemasaran; fungsi- fungs i ini disusun menjadi suatu sistem”

(11)

Setiap sub sistem dalam sistem agribisnis mempunyai keterkaitan ke depan dan belakang. Agribisis memerlukan lembaga penunjang seperti keuangan, pertahanan, penelitian, pendidikan dan sebagainya. Lembaga-lembaga tersebut (pendidikan dan latihan) mempersiapkan tenaga profesional bagi pelaku agribisnis, sedangkan lembaga penelitian memberikan sumbangan berupa teknologi dan informasi. Lembaga keuangan akan mendukung kelancaran kegiatan agribisnis didalam memberikan fasilitas kredit (Gambar 4).

Pada suatu kawasan lahan atau daerah, manuasia sebagai subyek pembangunan memegang posisi sentral, bagi eksistensi tanaman dan ternak serta unsur ekosistem lainnya. Manusia yang memegang peranan sentral tersebut harus mampu mengambil keputusan untuk mempertahankan kesinambungan kehidupan, dengan mengambil manfaat dari hubungan antara tanaman dengan ternak yang hidup dalam kawasan tersebut. Hubungan keterkaitan antara tanaman dengan ternak akan menjadi lebih penting lagi dimana kondisi penguasaan lahan pertanian yang sempit seperti yang terjadi di Indonesia. Dalam membangun pertanian skala kecil yang berkelanjutan, ternak memegang peranan penting. Hubungan antara komponen dalam suatu ekosistem pertanian serta tujuan pemanfaatannya dapat dilihat pada Gambar 4.

Dua fakor utama dalam membangun perbaikan usaha tani ternak skala kecil adalah melalui peningkatan suplai pakan serta kualitas bibit ternak yang baik.

SSI 1 Pengadaan dan penyaluran produksi SSI 2 Produksi primer SSI 3 Pengolahan SSI 4 Pe masaran

Le mbaga Penunjang Agribisnis (Keuangan, Pertanahan, Penelitian)

(12)

Dalam ko ndisi dimana lahan pa ngonan yang sangat terbatas, jalan yang terbuka untuk memperbaiki produktivitas ternak adalah ternak diproduksi dengan cara penggemukan atau dengan cara terkurung (stall feeding), dimana rumput diberikan secara cut and carry (Devendra da n Chantalakhana 1992).

Pada sistem ini kekuranga n ketersediaan pakan yang berasal dari limbah pertanian perlu ditingkatkan sehingga tidak tergantung pada biji-bijian sebagai sumber pangan manusia. Dibutuhkan suatu pola yang jelas antara ketersediaan rumput, leguminosa, jerami padi serta limbah pertanian lainnya sehingga suplai pakan dapat berlangsung secara berkesinambungan. Pola suplai pakan ini tentu akan sangat terka it de ngan fluktuasi curah huj an yang terjadi pada masing-masing daerah (Preston and Leng 1987).

AGRO-EKOS IS TEM  Topografi  Arid  Semi-Arid  Ekuator TARGETS SUM BER DAYA LINGKUNGAN

 Lahan  Air  Tanaman/hijauan  Ternak M anajemen efisien Penggunaan  Perlindungan lingkun gan  M eningkatkan produksi bahan p angan  M enekan angka kemiskinan

 Kemakmuran (gizi dan pendidikan)

 Ketahanan p angan Teknologi

Intervensi USAHA TANI TERPADU

(TERNAK--TANAMAN)

LINGKUNGAN SOSIAL-EKONOM I

Kebijakan

Gambar 5 Sistem usaha tani berkelanjutan (Devendra dan Chantalakhana 1992)

Penge lolaa n Limbah

Perkembangan teknologi dan penduduk yang tidak terkendali dapat menyebabkan kerugian pada berbagai hal, diantaranya berdampak terhadap kesehatan lingkungan. Konsekuensi dari tingginya jumlah penduduk diantaranya adalah limbah rumah tangga berupa sampah, buangan tinja dan urine. Limbah

(13)

rumah tangga tersebut akan menjadi masalah dan menimbulkan polusi lingkungan jika tidak ditangani dengan serius. Begitu pula dengan kegiatan usaha peternakan sering dikecam sebagai penyebab polusi bagi lingkungan terutama di daerah sekitar usaha peternakan (Wiyatna 2007).

Limbah ternak masih menga ndung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk mendorong kehidupan jasad renik yang dapat menimbulkan pencemaran. Suatu studi mengenai pencemaran air oleh limbah peternakan telah dilaporkan bahwa kotoran (manure) sapi dengan bobot badan total 5000 kg dapat mencemari air sebanyak 9.084 x 107 m3

Menurut Wahyono da n Hardianto (2004) dalam merencanakan pengembangan ternak di suatu daerah, perlu dianalisis potensi sumberdaya yang tersedia, yang mencakup ketersediaan lahan dan pakan, tenaga kerja, dan potensi ternak yang akan dikembangkan. Sistem produksi ternak merupakan suatu tranformasi dari input yang tersedia menjadi output. Untuk dapat mengembangkan sistem produksi secara efisien diperlukan suatu keahlian manajemen da lam meneka n resiko yang merugi ka n untuk mencapai tujuan.

. Selain melalui air, limbah peternakan sering mencemari lingk ungan secara biologis yaitu sebagai media untuk berkembangbiaknya lalat. Kandungan air manure antara 27-86% merupakan media yang paling baik untuk pertumbuhan dan perkembangan larva lalat, sementara kandungan air manure 65-95 % merupakan media optimal untuk bertelur lalat (Dyer 1986).

Limbah peternakan ini akan memberikan manfaat bagi lingkungan dan manusia jika dikelola dengan baik. Limbah padat dan cair dari kegiatan peternakan dapat dimanfaatkan diantaranya menjadi pupuk organik da n gas methan alternatif sumber energi. Tingginya harga pupuk anorganik seperti urea atau TSP da n tingginya kebutuhan terhadap pupuk bagi kegiatan pertanian merupakan suatu peluang yang cukup menjanjikan. Disamping itu banyaknya kegiatan usaha peternakan dan tingginya populasi ternak merupakan kekuatan bagi upa ya pe manfaatan limbah peternaka n yang diuba h menjadi sesuatu yang bermanfaat bukan menjadi masalah bagi manusia (Wiyatna 2007).

(14)

Identifikasi potensi dan sumberdaya yang tersedia dengan cara menganalisis semua faktor yang berkaitan dengan usaha sapi potong yang menyangkut kelemahan, kekuatan, peluang dan tantangan pada suatu daerah perlu dilakukan untuk merumuskan strategi pengembangan usaha sapi potong sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Untuk menghitung daya tampung lahan menggunakan rumus perhitungan KPPTR, merujuk pada metode Nell dan Rollinson (1974). Persamaan yang digunakan adalah :

PMSL = a LG + b PR + c H

PM (SL) = Potensi maksimum wilayah untuk ternak ruminansia (ST) berdasarkan sumberdaya lahan padang rumput (PR), lahan garapan (LG), pekarangan da n hutan (H)

a* = koefisien da ya tampung lahan penggembalaan PR = luas penggembalaan (ha)

b * = koefisien da ya tampung lahan garapa n LG = Luas garapa n tanaman pa ngan (ha)

c * = koefisien daya tampung lahan pekarangan dan hutan H = luas areal pekarangan da n hutan (ha)

Model Penge mbanga n Sapi Potong Pendekatan sistem

Pendeka tan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis (Marimin 2004). Banyak definisi kata sistem telah ditemuka n, tetapi dalam arti luas, setiap dua atau lebih obyek berinteraksi secara kooperatif untuk mencapai beberapa tujuan fungsi. Pengembangan agroindustri sapi potong berbasis sumber daya lokal memerlukan kajian dengan pendekatan sistem yaitu merumuskan segala fungsi ataupun aktifitas yang harus dimengerti dalam hal bagaimana mereka mempengaruhi, maupun dipengaruhi oleh elemen-elemen dan aktifitas-aktifitas lain beserta interaksinya. Hal ini bertujuan mencapai keberhasilan optimal dari usaha- usaha kearah pengembangan industrinya. Pengembangan memerlukan sebuah

(15)

perencanaan yang tepat dengan memperhatikan aspek internal maupun eksternal (Grady 2006) dalam Purnomo (2010).

Suatu kegiatan usaha didirikan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berbagai faktor yang mempe ngaruhi. Berbagai faktor tersebut muncul disebabkan oleh berbagai kepentingan. Kepentingan yang berbeda sebagai akibat adanya banyak pihak yang terlibat. Pihak-pihak yang teribat tersebut membentuk sebuah sistem. Oleh karena itu untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan bagi para pihak yang terlibat secara optimal di dalam sistem tersebut, maka memerlukan suatu analisis sistem (Grady 2006) dalam

Menurut Eriyatno (1999), pada pendekatan sistem, tahap permodelan lebih kompleks namun relatif tidak banyak ragamnya ditinjau dari jenis sistem ataupun tingkat kecanggihan model. Permodelan abstrak menerima input berupa

Purnomo (2010).

Model

Model adalah abstraksi dari sebuah ob yek atau situasi aktual dan merupakan hasil penyederhanaan secara abstraks dari sebuah realitas. Proses penyede rhanaan diperlukan karena sebuah realitas yang sangat kompleks sulit untuk disalin secara pasti. Model dianggap lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang sedang dikaji (Turban 1990; Eriyatno 1999).

Salah satu dasar utama dalam mengembangkan model adalah menemukan peubah-pe uba h yang pe nting dan tepa t. Penemuan peubah tersebut sangat erat hubungannya dengan pengkajian hubungan-hubungan yang terdapat di antara peubah. Teknik kuantitatif seperti persamaan regresi dan simulasi digunakan untuk mempelajari keterkaitan antar peubah dalam sebuah model (Turban 1990; Eriyatno 1999).

Pada tahap menggunakan suatu model yang lebih abstrak dengan hubungan yang kompleks maka untuk menent uka n perlakuan percobaan yang memungkinkan ada lah de ngan ba ntua n mode l matematika. Jenis model matematik yang umum digunakan adalah persamaan (equation) (Turban 1990; Eriyatno 1999; Turban et al. 2003). Menurut Turban (1990), model matematika berisi tiga komponen dasar, yaitu: 1) variabel- variabel keputusan, 2) parameter dan variabe l- variabel tidak terkendali, dan 3) variabel- variabel hasil.

(16)

alternatif sistem yang layak. Proses ini membentuk dan mengimplementasikan mod el- mode l matematik yang dimanfaatkan untuk merancang program terpilih untuk dipraktekkan di dunia nyata pada tahap berikutnya. Output utama dari tahap ini adalah deskripsi terperinci dari keputusan yang diambil berupa perencanaan, pengendalian dan kebijakan lainnya. Tahap-tahap permodelan abstrak adalah sebagai berikut:

1) Tahap Seleksi Konsep. Tahap ini merupakan tahap awal yaitu melakukan seleksi alternatif konsepsi dari tahap evaluasi kelayakan. Seleksi dilakukan untuk menent uka n alternatif mana yang bermanfaat da n bernilai cukup untuk dilakukan permodelan abstraknya.

2) Tahap Rekayasa Model. Langkah awal dari permodelan adalah menetapkan jenis model abstrak yang akan diterapkan, sejalan dengan tujuan dan karakteristik sistem. Selanjutnya tugas tahap permodelan terpusat pada pembentukan model abstrak yang realistik.

3) Tahap Perumusan Model. Berdasarkan peubah-peubah terpenting hasil analisis terpilih sebagai peubah kunci dalam pengembangan model. Dalam tahap ini implementasi model matematik diwujudkan pada bentuk persamaan fungsi dari hubungan- hubungan dari beberapa peubah kunci. 4) Tahap Validasi. Validasi model adalah usaha menyimpulkan apakah model

tersebut dapat mewakili dari realitas yang dikaji dan dapat menghasilkan kesimpulan yang menyakinkan.

Dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang ditemuka n, rumusan-rumusan solusi terhadap permasalahan yang ada dianalisis secara detail, kemudian dapat dilanjutkan dengan merumuskan model usaha ternak sapi potong secara matematik sehingga dapat dilihat terjadi peningkatan produktivitas ternak. Seluruh atribut yang tergabung dalam sistem, merupakan komponen yang perlu dianalisis keberlanjutannya melalui analisis proyeksi dan analisis ekonomi yang layak (Eriyatno 1999).

Gambar

Tabe l 1  Populasi ternak sapi potong di Indonesia dari tahun 2002 – 2010
Tabe l 3    Bobot hidup Sapi Madura, Sapi Bali, dan sapi PO/SO  menurut umur  dan jenis kelamin (kg)
Tabe l 4    Karakteristik reproduksi sapi-sapi lokal di Indonesia
Gambar 3  Konsep pengembangan sistem produksi ternak  (Wilson 1998)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pada pertandingan semifinal, tim yang unggul dan paling efektif dalam rata-rata komponen statistik per pertandingan adalah tim Satria Muda Pertamina yang unggul dalam field

Bandawasa sebagai kota kabupaten daerah tingkat II Banda- wasa, Propimi Jawa Timur terletak di jalur jalan antara Kota Besuki dengan Jernber dan antara Jember dengan

Simpulan yang didapatkan dari kegiatan ini adalah program pengabdian dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana, yang terlihat dari kehadiran mitra yang sesuai

bredasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa ekstrak kulit buah naga putih (Hylocereus undatus) memiliki efektivitas anti kanker terhadap sel MCF-7 yang lebih

Obat utama yaitu obat kronis yang diresepkan oleh Dokter Spesialis/Sub Spesialis di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan dan tercantum pada Formularium Nasional

Kesimpulan yang diambil dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif yang signifikan antara layanan bimbingan konseling sekolah dengan interaksi sosial artinya variabel

(Tak berapa lama berselang, ketika Boru Hutajulu hendak mengangkat padi-padinya, Pasaribu melintas. Mereka saling pandang, lalu menunduk

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Smith dan Graves (2005) menunjukkan bahwa semakin besar ukuran perusahaan yang diukur dari besarnya aset dapat mendukung kemampuan